Anda di halaman 1dari 163

Dasar-Dasar Menulis

D E N G A N P E N E R A PA N N Y A

Daftar Pustaka i
DASAR-DASAR MENULIS
ii dengan Penerapannya
Dr. Mohammad Siddik, M.Pd

Dasar-Dasar Menulis
D E N G A N P E N E R A P A N N Y A

Daftar Pustaka iii


Dasar-Dasar Menulis
D E N G A N P E N E R A PA N N YA

Dr. Mohammad Siddik, M.Pd

Layout
Tim Tunggal Mandiri Publishing

Desain Cover
Moch. Imam Bisri

Penerbit
TUNGGAL MANDIRI PUBLISHING
Anggota IKAPI JTI No. 120
Jln. Taman Kebun Raya A-1 No. 9 Pakis
Malang 65154
Tlp./Fax. (0341) 795261
HP. 082233663896
e-mail: tunggalmandiri.cv@gmail.com

Jumlah: viii + 154 hlm.


Ukuran: 15,5 x 23 cm

Cetakan I, Januari 2016

ISBN: 978-602-95201-1-8

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit.

DASAR-DASAR MENULIS
iv dengan Penerapannya
Kata Pengantar

P
enulis menyampaikan puji syukur ke hadirat Allah swt berkat
rahmat dan hidayahNya lah maka buku Dasar-dasar Menulis
dengan Penerapannya dapat diterbitkan. Buku ini berisi tentang
pengetahuan dasar tulis-menulis, berbagai istilah yang berhubungan
dengan bentuk-bentuk tulisan/karangan, penggunaan bahasa dalam
karangan, dan tentang praktik menulis itu sendiri.
Buku ini diharapkan dapat memberi bekal dan memacu para
pelajar, mahasiswa, dan peminat tulis-menulis untuk dapat menuang-
kan segala buah pikiran dan pengalamannya secara tertulis. Semoga
buku ini dapat dengan mudah dipahami bagi para pembaca. Saran
dan kritik penulis harapkan untuk perbaikan buku ini.

Samarinda, Januari 2016

Penulis

Daftar Pustaka v
DASAR-DASAR MENULIS
vi dengan Penerapannya
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ........................................................................ v
DAFTAR ISI ..................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1


1.1 Menulis sebagai Bentuk Keterampilan Berbahasa .......... 2
1.2 Pengertian Menulis ..................................................... 3
1.3 Tujuan Menulis .......................................................... 4
1.4 Menulis Sebagai Kegiatan Komunikasi Tertulis ............. 4

BAB II TEORI DASAR MENULIS ................................................ 7


2.1 Penentuan Tema dan Judul .......................................... 8
2.2 Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ............... 13
2.3 Penetapan Metode Penulisan dan Tujuan Penulisan ......... 15
2.4 Kerangka Karangan ..................................................... 18
2.5 Penataan Karangan ...................................................... 22

BAB III BENTUK- BENTUK KARANGAN ..................................... 25


3.1 Bentuk Eksposisi (Paparan) .......................................... 26
3.2 Bentuk Deskripsi (Lukisan) ......................................... 29
3.3 Bentuk Narasi (Cerita) ................................................ 33
3.4 Bentuk Argumentasi (Karangan Beralasan) .................... 36
3.5 Keterpaduan Bentuk Karangan ..................................... 40

BAB IV ISTILAH KARANGAN ILMIAH, KARANGAN NON-


ILMIAH POPULER, DAN KARANGAN TIDAK ILMIAH... 43
4.1 Istilah Karangan Ilmiah ............................................... 44
4.2 Karangan NonIlmiah .................................................. 46
4.3 Karangan Ilmiah Populer ............................................. 46
4.4 Karangan Tidak Ilmiah ................................................ 47

BAB V BAHASA DALAM KARANGAN ....................................... 49


5.1 Pilihan Kata ............................................................... 50
5.2 Kalimat Efektif ........................................................... 59
5.3 Paragraf dan Pengembangannya .................................... 77
5.4 Ragam Bahasa ............................................................ 89
5.5 Ejaan dan Tanda Baca.................................................. 94

BAB VI PENALARAN DALAM KARANGAN ................................ 101

Daftar Pustaka vii


BAB VII TATA CARA PENGUTIPAN DAN PENULISAN DAFTAR
PUSTAKA ......................................................................... 107

BAB VIII MENULIS UNTUK BERBAGAI KEPERLUAN PRAKTIS ..... 113


8.1 Menulis Resensi Buku ................................................ 113
8.2 Menulis Ringkasan Buku ............................................ 117
8.3 Menulis Teks Pidato/Sambutan .................................... 123
8.4 Menulis Berita ........................................................... 128
8.5 Menulis Hasil Diskusi/Seminar ................................... 131
8.6 Menulis Makalah ....................................................... 133

BAB IX HAMBATAN DALAM MENGARANG DAN CARA


MENGATASINYA ............................................................ 137

BAB X LATIHAN MENULIS ADALAH CARA TEPAT UNTUK


MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS .............. 143

BAB XI PENUTUP ........................................................................ 149

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 151

TENTANG PENULIS ....................................................................... 153

DASAR-DASAR MENULIS
viii dengan Penerapannya
BAB 1
BAB 1
Pendahuluan

M
engarang atau disebut juga dengan istilah menulis
merupakan keterampilan berbahasa yang paling akhir
dikuasai, setelah seseorang terlebih dahulu terampil men-
dengarkan (menyimak), berbicara dan membaca. Oleh karena itu,
umumnya orang menganggap atau berpendapat bahwa mengarang
atau menulis itu sesuatu yang sulit. Perlu ditambahkan di sini bahwa
istilah mengarang dengan menulis tidak dibedakan.
Banyak pelajar atau mahasiswa yang lemah sekali kemampuan
mengarangnya. Mereka ataupun kita tampaknya lebih terbiasa melaku-
kan kegiatan berkomunikasi secara lisan atau berbicara. Artinya,
jika kita bandingkan dengan kegiatan komunikasi tertulis/mengarang
jauh lebih rendah kadarnya. Hal inilah mungkin yang menyebabkan
kita merasa asing atau terkadang tidak mampu melakukan kegiatan
mengarang sebagai perwujudan bentuk komunikasi tertulis. Padahal
kita semua tentu tidak bisa melepaskan diri dari kegiatan ini, walau-
pun dalam hal-hal sederhana seperti menulis surat atau menyam-
paikan kabar/informasi tertulis kepada keluarga, kenalan, rekan
sekerja, dan kepada siapa saja yang kita perlukan. Bagi para wartawan
juga setiap harinya selalu berurusan dengan bahasa tulis di samping
melakukan kegiatan bahasa lisan seperti berwawancara dengan
orang-orang yang menjadi sumber berita. Mereka yang mengaktifkan
diri pada organisasi, tentu sering membuat laporan atau harus mem-
buat semacam kesimpulan suatu rapat, seminar, diskusi, dan kegiatan
lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kita sama sekali tidak bisa
melepaskan diri dari perbuatan menulis. Mereka yang bekerja di
suatu instansi atau kantor tertentu, tidak jarang diminta oleh pim-
pinan atau atasannya untuk memberikan sambutan tertulis, yang
sedikit banyaknya harus dirancang terlebih dahulu. Begitulah sete-
rusnya, semua kita sebaiknya berupaya untuk memperbaiki atau
meningkatkan kemampuan kita dalam menulis.

BAB 1
Pendahuluan
1
Kepandaian seseorang dalam mengarang tidak selalu ditentukan
oleh tinggi rendahnya tingkat pendidikan, tetapi lebih banyak diten-
tukan oleh kuat dan kerasnya kemauan, banyak latihan yang dila-
kukan (rutin), dan tentu saja faktor bakat juga memengaruhi “jadi-
nya” seseorang membentuk dirinya sebagai penulis. Jelaslah, bahwa
faktor bakat jika tidak dikembangkan, maka ia bagaikan mutiara
yang terpendam di dasar laut. Kita harus melakukan penyelaman
dengan peralatan dan perbekalan yang cukup, agar bisa menemukan
mutiara itu untuk kita gosok hingga bercahaya dan memikat bagi
siapa yang melihatnya.
Menurut Pambudi dalam bukunya yang berjudul “Cara Me-
nulis Buku Non Fiksi dan Petunjuk bagi Pengarang” menyatakan
bahwa menjadi pengarang, calon pengarang harus belajar sendiri;
salah satu caranya ialah dengan mulai mengarang dan meneruskannya
sampai. Dengan demikian, jelaslah bahwa kepandaian mengarang
hanya diperoleh dengan banyak melatih diri untuk mengarang. Oleh
karena itulah, segala macam buku yang berisi penuntun atau petunjuk
pengarang, pada akhirnya hanyalah alat bantu atau sebagai penunjang
bagi calon pengarang. Walaupun demikian kita harus tetap banyak
mengkaji atau menelaah buku-buku atau bahan bacaan yang membi-
carakan atau yang memberi arahan tentang kegiatan karang-menga-
rang yang kini sudah banyak beredar atau dijual di toko-toko buku.

1.1 Menulis sebagai Bentuk Keterampilan Berbahasa


Keterampilan menulis atau dengan sebutan menulis merupakan
suatu bentuk keterampilan berbahasa di samping tiga keterampilan
yang lain, yaitu keterampilan mendengarkan (menyimak), keteram-
pilan berbicara dan keterampilan membaca. Keempat keterampilan
itu pada dasarnya merupakan satu kesatuan atau catur tunggal (Tari-
gan, 1982:1).
Keempat keterampilan berbahasa itu saling berkaitan satu sama
lain. Pemerolehan keempat keterampilan ini ada yang didapat atau
dikuasai secara alamiah (secara sendirinya) seperti mendengarkan
dan berbicara. Walaupun dalam proses selanjutnya kedua keteram-
pilan ini ada yang dikuasai melalui cara-cara formal atau secara
khusus, misalnya dalam rangka tujuan-tujuan praktis seperti upaya
mengkaji sejauh mana seseorang mampu menyerap atau menangkap
apa yang didengar dan mempelajari atau melatih diri dalam mening-

DASAR-DASAR MENULIS
2 dengan Penerapannya
katkan penguasaan bahasa lisan seperti adanya kursus pidato, latihan
keprotokolan dan termasuk pula latihan/praktik mengajar bagi para
calon guru. Selain itu, ada pula yang mengadakan pendalaman tentang
keempat keterampilan berbahasa tersebut, seperti para mahasiswa
yang berstudi pada jurusan Bahasa pada Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan atau IKIP. Mereka bertahun-tahun mengikuti per-
kuliahan keterampilan-keterampilan berbahasa sebagai bekal untuk
menjadi guru atau pengajar bahasa. Secara umum para mahasiswa
sebenarnya juga mempelajari keterampilan-keterampilan itu, tetapi
penekanannya lebih banyak pada keterampilan menulis karangan
ilmiah, misalnya dengan adanya penyajian mata kuliah Bimbingan
Skripsi dan sejenisnya. Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa
menulis merupakan bahan studi atau sumber telaah yang dapat diper-
dalam dan mempunyai sejumlah teori acuan yang mendasar sebagai
salah satu dari empat keterampilan berbahasa.

1.2 Pengertian Menulis


Untuk mendefinisikan atau membuat suatu pengertian tentang
sesuatu atau hal tertentu tidaklah mudah. Banyak di antara kita
yang terbiasa menyebutkan sesuatu baik benda, perbuatan atau peris-
tiwa, tetapi bila ditanyakan apa yang kita nyatakan itu, maka terasa
sulit bagi kita untuk menjawabnya. Karenanya, wajar saja jika ada
orang yang berpendapat bahwa mendefinisikan sesuatu secara tepat
tidak pernah tercapai. Ada pula yang menyatakan bahwa sesuatu
hanya sama, hanya tepat dengan sesuatu itu. Benda A hanya sama
dengan benda A, dan seterusnya. Pendefinisian seperti ini tentu sama
sekali tidak memberikan kejelasan dan malah bisa lebih mengaburkan.
Oleh karena itu, sebaiknya kita berusaha membuat suatu pengertian
tentang apa saja yang memang kita perlukan.
Apakah yang dimaksud dengan istilah menulis itu? Tarigan
(1982:27) memberikan suatu batasan atau pengertian tentang apakah
yang dimaksud menulis itu. Menurutnya bahwa menulis ialah menu-
runkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambar-
kan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain
dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut, kalau mereka
memahami bahasa dan gambaran grafik itu.
Menulis berarti melahirkan atau mengungkapkan pikiran dan/
atau perasaan melalui suatu lambang (tulisan). Tentu saja segala

BAB 1
Pendahuluan
3
lambang (tulisan) yang dipakai haruslah merupakan hasil kesepakatan
para pemakai bahasa yang satu dan lainnya saling memahami. Apabila
seseorang diminta untuk menulis maka berarti ia akan mengung-
kapkan pikiran dan/atau perasaannya ke dalam bentuk tulisan. Jadi
menulis itu berarti melakukan hubungan dengan tulisan.

1.3 Tujuan Menulis


Secara garis besar, penulis dengan tulisannya berupaya untuk
memberikan atau menyampaikan segala bentuk dan macam informasi
kepada pembaca. Tentu saja penulis dengan karyanya itu berharap
agar pembaca menerima semua yang diungkapkannya sebagai ma-
sukan yang berharga. Di sini ada semacam unsur memengaruhi dari
penulis kepada pembaca. Bila tujuan penulis tercapai, maka dengan
sendirinya pembaca telah merasa mendapatkan sesuatu dari penulis.
Dengan demikian, kita tidak bisa memisahkan antara tujuan
menulis dengan tujuan penulis itu sendiri. Penulis melalui pengung-
kapannya mengharapkan apa-apa yang diungkapkannya itu bisa
sampai sesuai dengan konsep berpikir penulis yang tertuang dalam
karangan. Di sini tidak akan terjadi penyimpangan atau salah peneri-
maan. Oleh karena itu, sudah selayaknya penulis membuat atau
menyusun tulisannya dengan bahasa yang mudah dipahami, jelas
dan penyajian yang sistematis atau teratur.

1.4 Menulis Sebagai Kegiatan Komunikasi Tertulis


Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa menulis adalah
suatu keterampilan berbahasa yang bertujuan untuk memberikan
segala bentuk informasi dari penulis kepada pembaca. Pemberian
informasi pada hakikatnya merupakan proses komunikasi. Keteram-
pilan berbahasa ini bisa diartikan sebagai wujud kemampuan dalam
berkomunikasi lebih singkat lagi dapat dikatakan bahwa berbahasa
berarti berkomunikasi atau melakukan hubungan antar manusia.
Komunikasi melalui bahasa dapat berwujud lisan (melalui
berbicara) dan dapat pula berwujud tulisan. Karenanya, menulis
disebut juga bentuk kegiatan komunikasi tertulis (komunikasi tidak
langsung antara penulis dengan pembaca).

DASAR-DASAR MENULIS
4 dengan Penerapannya
Sifat menulis (tulisan sebagai sarana berkomunikasi) terbatas,
penerima atau pembaca hanya berhadapan dengan bacaan yang ter-
bentuk dari berbagai bentuk bahasa tulis. Antara penulis dengan
pembaca terjadi hubungan melalui bacaan. Jadi, kontak ini dijem-
batani oleh kegiatan membaca. Pembaca berusaha untuk memahami
maksud atau pesan dari penulis secara cermat.
Proses pemberian dan penerimaan informasi harus didasarkan
pada adanya pemahaman bahasa yang digunakan penulis untuk dise-
rap atau diterima pembaca. Bisa saja terjadi bahwa pembaca bukan
penutur bahasa yang digunakan dalam bacaan, tetapi ia memahami
bahasa bacaan itu. Bisa pula seorang penulis menuangkan buah pi-
kirannya ke dalam bahasa yang dalam sehari-harinya bukan bahasanya
sendiri, dan pembaca pun juga demikian. Semua pemakaian bahasa
dalam tulisan ini bertumpu pada pemahaman terhadap bahasa bacaan.
Dengan demikian proses komunikasi berlangsung secara baik,
informasi yang disampaikan penulis mencapai sasaran dan keinginan
pembaca untuk mencari informasi pun terlaksana.
Dengan kegiatan menulis ini, sungguh memperluas jangkauan
komunikasi antara penulis dengan pembaca yang bukan saja untuk
satu masa dengan penulis, tetapi bisa berlanjut untuk lapisan pembaca
yang akan datang. Artinya, dengan tulisan yang disusun oleh penulis
seorang penulis, maka ia akan bermanfaat bagi generasi sesudahnya.
Bukankah dengan karya tulis, maka dapat terabadikan berbagai infor-
masi dan perbendaharaan ilmu pengetahuan? Seorang yang namanya
terkenal di waktu hidup, maka jika selama hidupnya tidak meninggal-
kan karangan atau karya tulis, maka ada kemungkinan keter-
kenalannya akan hilang. Melalui karya tulis tentu akan melestarikan
segala khazanah ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang. Kita
ambil contoh, betapa hebat dan beruntung nya Buya Hamka, sebagai
ulama, budayawan, pujangga, dan sekaligus pengarang, sehingga
kebesaran beliau akan terasa. Hamka banyak menulis buku yang
berhubungan dengan agama, kehidupan, sastra dan budaya. Rupanya
Hamka mempunyai keistimewaan khusus, beliau lancar dan menarik
bila berbicara serta pandai pula mengarang.
Mungkin kita masih dapat menderetkan beberapa nama penga-
rang lainnya. Bolehlah kita simpulkan bahwa dengan penulis, maka
kita bisa berhubungan dengan mereka yang telah tiada dengan cara
membaca dan menelaah karya-karyanya, sehingga kita bisa pula
mengambil dan menemukan berbagai informasi yang berharga bagi

BAB 1
Pendahuluan
5
kehidupan ini. Sudah saatnya, jika para pemikir, cendekiawan, dan
mereka yang berprestasi untuk berkarya, untuk menulis, untuk
mengabadikan dan mewariskan apa yang ia miliki bagi generasi
sekarang dan generasi mendatang.
Hal ini lebih merupakan suatu kebutuhan jika dikaitkan dengan
upaya peningkatan kualitas hidup manusia dalam arti khusus terkait
langsung dengan mencerdaskan bangsa.

DASAR-DASAR MENULIS
6 dengan Penerapannya
BAB 2

Teori Dasar Menulis

J
ika kita pergi ke toko-toko buku, maka tidak sedikit kita temukan
buku yang menguraikan tentang tulis menulis. Ada buku yang
khusus membahas tentang cara membuat jenis karangan tertentu
seperti: petunjuk menyusun atau menulis karangan ilmiah, bagaimana
menulis karangan kesusastraan, dan untuk keperluan karangan yang
lain.
Bagaimana lengkap dan jelasnya buku tentang tulis menulis
itu, pada akhirnya hanya sebagai penuntun atau penunjang. Kita
sebagai calon pengarang lah yang menentukan berhasil tidaknya
dalam membuat suatu karangan yang baik. Namun demikian, tentu
saja segala buku yang membicarakan tentang tulis menulis atau karang
mengarang tetap diperlukan dan patut dipelajari sebagai bekal kita
dalam menyusun suatu karangan.
Apa yang dikemukakan di bagian Teori Dasar Menulis ini
bukan suatu kemutlakan yang harus dijadikan sebagai acuan dalam
proses menulis. Namun demikian, secara umum bahwa kegiatan
atau langkah yang ditempuh dalam menulis paling tidak ada lima
bagian yaitu: penentuan tema dan judul karangan, perumusan masalah
dan pembatasan masalah, penetapan metode penulisan dan yang
berhubungan dengan tujuan penulisan, pembuatan garis-garis besar
apa yang akan dimuat dalam karangan atau kerangka karangan, dan
hal-hal yang berhubungan dengan penataan karangan.
Perlu di ketengahkan pula bahwa sementara penulis yang
menyusun karangan tanpa secara nyata memerhatikan langkah-
langkah sebagaimana layaknya orang menyusun karangan. Penulis
artikel pada koran, tidak jarang langsung saja menuangkan buah
pikirannya ke atas mesin ketik. Jika kita telaah, sebenarnya setiap
penulis selalu melalui langkah-langkah dasar yang kurang lebih sama
dengan yang dikemukakan di atas, tetapi seakan-akan karena begitu
terlatih dan terbiasa, maka berjalan dengan sendirinya, Bukankah

BAB 2
Teori Dasar Menulis
7
apabila orang ingin menulis, tentu telah menentukan secara yakin
apa yang akan ditulis. Dia juga berpikir dan berbuat bagaimana
harus menyelesaikan karangan itu. Apa-apa saja yang perlu dimuatnya
dalam karangannya, sehingga dapat memberikan kesan dan
menimbulkan tanggapan dari pembacanya. Di sini termasuk pula
bagaimana ia mengorganisasikan dan menata segala ide atau gagasan
yang diungkapkannya. Ini semua berarti menerapkan langkah-langkah
menulis.
Dengan demikian, khususnya bagi penulis pemula, bagi pelajar
dan mahasiswa perlu mengetahui langkah-langkah dasar, yang boleh
kita katakan sebagai teori sederhana dalam mengarang.

2.1 Penentuan Tema dan Judul


Menurut Goreys Keraf (1980:107) memberikan suatu batasan
singkat tentang tema, yaitu suatu amanat utama yang disampaikan
oleh penulis melalui karangannya. Dalam Kamus Umum Bahasa In-
donesia susunan Poerwadarminta yang diolah kembali oleh Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa disebutkan bahwa arti kata
tema, antara lain adalah pokok pikiran atau dasar cerita (yang diper-
cakapkan, yang dipakai sebagai dasar mengarang).
Dengan memerhatikan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa tema adalah amanat yang disampaikan penulis melalui ka-
rangannya, yang menjadi inti atau isi pokok karangan.
Di samping itu, kita sering menemukan istilah tema dari sudut
lain, yaitu yang biasa kita dengar atau kita baca pada spanduk atau
pengumuman dalam kegiatan tertentu. Misalnya, dalam rangka mem-
peringati Hari Kemerdekaan, oleh panitia peringatan dibuatkan tema
tertentu. Sehubungan dengan Hari Anak-Anak, biasa juga ditemui
tema yang dipilih dan menjiwai setiap acara yang diselenggarakan.
Untuk Hari Sumpah Pemuda, ada pula temanya. Setiap tahun peri-
ngatan temanya tidak selalu sama. Ada pula dalam rangka kegiatan
seminar, diskusi, musyawarah, dan pertemuan lainnya, dibuatkan
orang temanya. Begitulah seterusnya. Jadi, tema merupakan pusat
perhatian atau inti pembicaraan, dapat pula disebut semacam kebu-
latan pemikiran. Untuk itu, biasanya setiap tema dirumuskan secer-
mat dan setepat mungkin.
Jika ditinjau dari segi penemuan tema, ada dua pandangan.
Pertama, dari segi karangan yang telah selesai (kita membaca suatu

DASAR-DASAR MENULIS
8 dengan Penerapannya
karangan lalu kita cari tema yang terkandung di dalamnya); kedua,
dari segi karangan yang akan disusun atau persiapan sebelum menga-
rang.
Pada bagian ini yang akan dikemukakan ialah segi yang kedua.
Karenanya, penentuan tema dalam karangan berarti penentuan
mengenai hal yang akan di karang atau berupa amanat yang akan
dituangkan ke dalam tulisan. Penentuan tema merupakan landasan
berpijak yang akan menjadi patokan dan akan menjiwai seluruh
materi tulisan yang kita kerjakan.
Kita harus betul-betul mempertimbangkan dalam menentukan
tema, agar dalam memproses atau menyusun suatu karangan dapat
terarah dan tidak mengalami kesulitan. Tema yang ditentukan harus
pula diukur atau diperhitungkan dengan pengetahuan atau kemam-
puan yang kita miliki. Dengan demikian, kita telah cukup siap dan
mengetahui tentang hal yang harus kita tulis, sehingga kita tidak
akan menyimpang dari sasaran semula.
Di manakah tema itu kita temukan? Hal ini berkaitan erat
dengan sumber tema atau gagasan inti yang kita kerjakan atau yang
bisa kita angkat ke suatu tulisan. Tema bisa muncul pergaulan sehari-
hari (pengalaman bergaul). Berbagai peristiwa dapat membangkitkan
kita menulis. Pengalaman membaca yang banyak juga sering memacu
kita memperoleh ide-ide bagus. Dapat pula tema muncul dari keya-
kinan dan sikap kita terhadap suatu hal, seperti sikap kita terhadap
lingkungan hidup, terhadap gelandangan dan pengemis; keyakinan
kita tentang perlunya pendidikan agama sedini mungkin kepada anak-
anak; pemenuhan kita terhadap tema karangan yang telah “dipesan”
atau “ditentukan” oleh suatu panitia atau lembaga tertentu; penga-
laman yang mungkin aneh atau yang paling berkesan bagi kita, ataupun
sumber lainnya.
Dalam hal ini dibutuhkan kepekaan atau kekuatan daya tangkap
kita untuk memanfaatkan sumber tema ke dalam tulisan.
Jika kita hendak menulis tentang Keluarga Berencana dengan
tema “Keluarga Berencana adalah Program Pemerintah yang harus
disukseskan oleh Seluruh Masyarakat Indonesia”, maka kita
pertanyakan dahulu: seberapa jauh pengetahuan kita tentang Keluarga
Berencana (KB)? Apakah kita pernah mengikuti penataran atau
penyuluhan tentang KB? Bagaimana pendapat atau pandangan ulama?
Selain itu, diperlukan juga pertanyaan lainnya. Dengan demikian,
kita akan lebih terpacu atau lebih cepat dalam menyelesaikan tulisan.

BAB 2
Teori Dasar Menulis
9
Karangan tentang KB bila tidak disertai pengetahuan dan
pengalaman tentang KB, tentu hasilnya kurang memuaskan. Karangan
menjadi dangkal dan cenderung dari itu ke itu saja. Sebelum hal
seperti itu terjadi, langkah yang perlu kita pertimbangkan ialah pemi-
lihan atau penentuan tema: apakah memang bisa kita kerjakan dengan
baik?
Contoh lain, bila kita ingin menulis tentang sekolah kejuruan,
kita harus membaca buku-buku mengenai sekolah tersebut, seperti
tentang jenis-jenisnya, kurikulum nya, hubungannya dengan kebu-
tuhan tenaga kerja, dan kesesuaiannya terhadap kondisi daerah ter-
tentu.
Jelaslah bagi kita bahwa untuk menulis suatu karangan yang
baik, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh, mulai dari pencarian
sumber bacaan, pemanfaatan nara sumber (orang-orang yang diper-
lukan buah pikirannya), pengamatan langsung ke lapangan, sampai
pada penggunaan daya pikir (daya nalar) yang cermat. Kita yakin
bahwa melalui karangan atau tulisan yang kita buat, kita seakan-
akan berhadapan langsung dengan pembaca. Karena itu, kita ber-
usaha untuk menyajikan yang terbaik, sesuai dengan kemampuan
kita.
Dengan demikian, kita tidak menempatkan diri kita secara
“sendirian”. Kita kaji tentang hal-hal yang diperlukan pembaca; de-
ngan gaya bahasa yang disukai pembaca. Dari situ timbullah hasrat
untuk menyusun kalimat yang efektif. Kata-kata yang digunakan
pun sudah terpilih, walaupun pada akhirnya tidak ada karangan
yang sempurna, ada saja kekurangannya. Namun demikian, tekad
untuk menyempurnakannya tidak pernah luntur. Karena itu, setiap
pengarang harus membuka diri atau menerima kritik dari siapa pun.
Sifat keterbukaan pengarang biasanya tergambar dari kata
pengantar karangan. Jika kita sudah menentukan tema, kita dapat
menetapkan judul karangan. Judul atau kepala karangan harus mam-
pu menarik perhatian orang (dapat membangkitkan hasrat orang
untuk membaca karangan kita atau membuat orang ingin tahu lebih
jauh terhadap karangan yang kita sajikan). Judul harus jelas, artinya
judul tidak menimbulkan keraguan dan penafsiran ganda; judul harus
singkat, artinya tidak terlalu panjang. Memang ada judul karangan
yang ditulis secara khusus, yang cukup pendek, tetapi diberi judul
tambahan.

DASAR-DASAR MENULIS
10 dengan Penerapannya
Contoh judul yang demikian ialah sebagai berikut.
Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa
BAHASA INDONESIA
Anda bertanya? Inilah Jawabannya
Ada pula judul yang agak panjang, tetapi memang diperlukan,
sesuai dengan isi karangan.
Penulisan Karangan Ilmiah
Dengan Bahasa Indonesia yang Benar
PERJUANGAN TANGGUNG JAWAB
DALAM KESUSASTRAAN
Selain itu, ada judul yang pendek seperti di bawah ini:
DASAR-DASAR ILMU POLITIK
MEDIA PENDIDIKAN
Yang penting dalam merumuskan judul ialah adanya kesesuaian
dengan isi karangan. Judul tidak perlu “berapi-api”, artinya tidak
sesuai dengan isi karangan. Bisa jadi judul yang dibuat terlalu luas
atau terlalu sempit. Pemberian judul dapat dilakukan dengan dua
cara: pertama sebelum karangan ditulis; kedua, sesudah karangan
telah selesai ditulis. Karena itu dapat saja disodorkan beberapa judul
untuk satu karangan; kita hanya memilih yang lebih cocok. Walaupun
begitu sebaiknya judul karangan dibuat lebih dahulu, apalagi bagi
mahasiswa dan pelajar yang biasanya sudah menjadi keharusan untuk
mengajukan judul karangan terlebih dahulu. Hal demikian terasa
sekali bagi mahasiswa yang akan menyusun makalah (paper),skripsi,
dan tesis.
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh judul yang kurang
jelas serta perbaikannya.

BAB 2
Teori Dasar Menulis
11
Sebagai bahan pelajaran bagi para pemula ialah pentingnya
membiasakan diri untuk membaca dan memerhatikan judul karangan
yang terdapat di berbagai media massa, seperti surat kabar, majalah,
buletin, dan buku bacaan. Kita dapat membandingkan judul-judul
yang dibuat orang lain sebagai judul yang kita buat sendiri.
Tampaknya persoalan tentang judul memang sederhana, bahkan
kadang-kadang meremehkan. Padahal sering sangat menentukan
dalam hal dibaca-tidaknya suatu karangan oleh “calon pembaca”.
Ada pembaca yang membatalkan niatnya untuk membaca suatu
karangan karena judulnya sama sekali tidak menarik perhatiannya.
Memang, belum tentu kalau judul yang jelek, maka isinya juga jelek.
Umumnya orang akan lebih dahulu melihat sesuatu itu dari luarnya.
Karena itu, judul harus dibuat sebaik mungkin dan harus pula sesuai
dengan isi karangan.
Sebagai tambahan, tentang tata cara penulisan huruf pada kata-
kata yang terdapat pada judul. Apabila judul ditulis dengan huruf
besar dan huruf kecil, maka untuk “kata tugas” huruf awalnya ditulis
dengan huruf kecil, kecuali jika kata itu terletak di depan judul,
maka huruf awalnya tetap menggunakan huruf besar.
Berikut ini merupakan penulisan judul yang salah atau tidak
sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD)
serta perbaikannya.

DASAR-DASAR MENULIS
12 dengan Penerapannya
Apabila judul ditulis dengan huruf besar semua, maka tidak
ada pengecualian; semuanya menggunakan huruf besar, misalnya:
KARANG TARUNA SEBAGAI WADAH
KEGIATAN REMAJA

2.2 Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah


Istilah “perumusan masalah” dan “pembatasan masalah”
kadang-kadang ada yang menyamakannya. Padahal kedua istilah itu
berbeda. Hal itu perlu dilihat secara terpisah, walaupun keduanya
berkaitan. Perumusan masalah berarti suatu penjelasan tentang hal
yang dikarang. Hal itu biasa dilakukan dengan menjelaskan bentuk
pengungkapan yang ada pada judul. Dari perumusan masalah akan
dapat diketahui hal yang dimaksudkan penulis. Khusus untuk maha-
siswa, biasanya selalu berhadapan dengan tugas membuat makalah
dan skripsi, maka pemahaman mengenai perumusan masalah dan
pembatasan masalah sangat diperlukan.
Di bawah ini merupakan contoh tentang cara merumuskan
masalah.
Judul karangan:
“PERANAN KOPERASI DALAM MENINGKATKAN
KESEJAHTERAAN RAKYAT PEDESAAN”.

BAB 2
Teori Dasar Menulis
13
Secara sederhana dapat dirumuskan mengenai hal yang kita
kehendaki terhadap judul tersebut. Kita kemukakan arti “peranan”,
“koperasi”, dan “meningkatkan kesejahteraan rakyat di pedesaan”.
Untuk keperluan merumuskan masalah, kita bisa menggunakan
kamus, baik kamus umum maupun kamus khusus yang memuat
istilah-istilah tertentu. Penggunaan kamus bukan hal yang mutlak,
yang penting kita dapat memberikan atau menjelaskan hal yang akan
kita tulis.
Perumusan masalah pada rancangan (proposal) penelitian dan
karya ilmiah lainnya sangat diperhatikan. Untuk penulisan karya
ilmiah yang sederhana, seperti: laporan perjalanan, kesan-kesan sete-
lah mengikuti kegiatan tertentu, dan yang biasa terbit di koran,
perumusan masalah tidak terlalu diperhatikan.
Selanjutnya ialah tentang pembatasan masalah. Pengertian
pembatasan masalah diarahkan pada suatu upaya penentuan sampai
sejauh mana masalah yang kita karang. Dapat pula pengertian
pembatasan masalah disamakan dengan “ruang lingkup”. Pembatasan
masalah merupakan hal yang mendasar bagi karangan karena dari
situ pengarang dapat meyakinkan pembaca bahwa hal yang sudah
dibatasi itulah yang akan dibicarakannya (bistok, dkk., 1985:6).
Biasanya suatu pokok masalah yang akan dikarang merupakan
bahasan yang bersifat umum. Karenanya, dengan adanya pembatasan
yang kita buat, maka akan jelas tentang dari dan sampai sejauh
mana hal yang akan kita karang itu.
Berikut ini merupakan contoh masalah atau topik umum dan
pembatasannya.

DASAR-DASAR MENULIS
14 dengan Penerapannya
Dari sejumlah topik umum tersebut, masing-masing dapat
ditetapkan pembatasannya yang ditinjau dari segi tertentu yang di-
anggap perlu untuk ditulis. Hasil pembatasan itulah nantinya dikem-
bangkan ke dalam bentuk karangan.
Semua topik di atas kebetulan dapat langsung dijadikan ka-
rangan, walaupun hal itu bukan tujuan dari pembatasan. Pembatasan
dilakukan tidak lain ialah untuk menemukan dari mana dan sejauh
mana hal-hal yang akan kita tulis.
Topik “Beasiswa” yang telah dibatasi menjadi “Beasiswa bagi
Anak Cacat” sudah menunjukkan bahwa pengarang tidak akan mem-
bicarakan beasiswa secara keseluruhan. Pengarang hanya mengemu-
kakan hal-hal yang berkaitan dengan beasiswa yang akan diberikan
kepada para anak cacat. Bisa saja pengarang menyinggung beasiswa
secara umum, tetapi hanya sebagai pengantar atau penjelas terhadap
isi karangan. Dengan demikian, pengarang tidak akan berbicara ke
sana ke mari. Dia sudah membatasi dirinya.
Topik “Keajaiban Dunia” juga terlalu luas, akibatnya sulit untuk
dikembangkan. Karena itu, kita adakan pembatasan, yaitu “Candi
Borobudur” sebagai Salah Satu Keajaiban Dunia. Yang diuraikan itu
hanya salah satu dari sekian banyak yang dianggap ajaib atau karya
besar yang ada di dunia. Benda atau bangunan lainnya bisa saja
dikemukakan sebagai pembanding atau untuk lebih meyakinkan
pembaca bahwa Borobudur memang patut dan tepat dikategorikan
sebagai satu keajaiban.
Demikian pula terhadap topik “Surat Kabar”, “P4” “Kesehatan
Masyarakat”, dan seterusnya. Dengan pembatasan masalah, baik
dicantumkan langsung dalam karangan (seperti yang sering dilakukan
mahasiswa ketika menyusun makalah, skripsi dan tesis) maupun
dibuat pada bagian pendahuluan dalam buku-buku umum. Ketegasan
penulis pun akan tampak dari pembatasan itu. Akhirnya, pembatasan
masalah dapat kita anggap seperti pagar yang membatasi dan melin-
dungi segala tanaman atau bunga yang ada di taman, sehingga tumbuh
teratur dan menyenangkan setiap orang yang memandangnya.

2.3 Penetapan Metode Penulisan dan Tujuan Penulisan


Metode penulis merupakan cara yang ditempuh penulis dalam
membuat suatu karangan. Perlu diketengahkan bahwa bila kita menye-

BAB 2
Teori Dasar Menulis
15
but “metode penulisan”, maka cukup banyak ragam dan segi pem-
bahasannya. Ada yang menguraikan tentang cara penulisan karangan
ilmiah (seperti buku Penulisan Karangan Ilmiah oleh Mukayat Broto-
widjoyo) dan ada pula yang membahas cara menulis buku, yang di
dalamnya secara tidak langsung mengemukakan cara atau metode
penulisan (seperti buku Cara Menulis Buku Nonfiksi dan Petunjuk
bagi Pengarang oleh Hassan Pambudi).
Pada dasarnya metode penulisan itu ada dua, yakni: 1) metode
kepustakaan, dan 2) metode observasi. Metode kepustakaan dilaku-
kan dengan cara mempelajari berbagai buku atau bahan bacaan
yang dianggap relevan dengan masalah yang dikarang. Penulis secara
cermat memilih buku-buku yang berkaitan dengan pokok bahasan.
Dengan banyaknya bahan bacaan yang dijadikan sumber peng-
ambilan, penulis dapat memperkaya karangannya dengan berbagai
pendapat dari penulis yang sudah cukup dikenal dan dapat mengkaji
semua sumber yang telah diperoleh. Hal itu bukan berarti kita meng-
ekor atau menerima begitu saja segala pendapat atau materi yang
terdapat dalam bahan bacaan itu, tetapi kita menyaring dan mene-
laahnya secara seksama kita kutip atau kita ambil pendapat orang
lain jika memang diperlukan. Kita sendiri harus pula berani menya-
takan pendapat kita pun berhak untuk menolak pendapat orang
lain, tentu saja berdasarkan alasan yang kuat. Selain itu, jangan
sampai hampir seluruh karangan hanya pendapat orang lain atau
kutipan. Itu sama artinya dengan pengarang yang tidak kreatif. Jadi,
dapat kita simpulkan bahwa metode kepustakaan berarti suatu cara
seseorang dalam mengarang dengan memanfaatkan berbagai sumber
tertulis untuk mengisi dan menunjang penyelesaian karangan yang
dibuatnya. Metode demikian banyak dipergunakan para pelajar ketika
menyelesaikan karya tulis yang ditugaskan sekolah kepada mereka,
juga oleh para mahasiswa yang membuat makalah ataupun karya
tulis lainnya. Metode kepustakaan cukup mudah ditempuh.
Adapun metode yang kedua ialah metode observasi (kadang-
kadang disamakan saja dengan “teknik observasi”). Metode observasi
dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk menga-
dakan pengamatan. Penulis datang ke lapangan atau tempat yang
telah ditetapkan untuk mencari berbagai informasi atau data yang
diperlukan. Biasanya cara observasi ini disertai dengan wawancara
atau tanya jawab (mungkin juga penulis mengedarkan angket) dengan
pihak-pihak atau orang yang dinilai dapat memberikan masukan

DASAR-DASAR MENULIS
16 dengan Penerapannya
dalam proses pembuatan dan penyelesaian tulisan atau karangan.
Segala informasi atau data yang terkumpul kita pilih-pilih mana
yang kira-kira amat penting atau yang menyangkut inti persoalan
dan mana yang hanya sebagai penunjang. Dalam melakukan observasi
sebaiknya kita membawa rekaman agar kemungkinan hilangnya atau
terlepasnya informasi yang kita perlukan tidak terjadi. Observasi ini
erat kaitannya dengan penelitian yang dikerjakan oleh para peneliti.
Namun, sesuai dengan bahasan kita bahwa observasi di sini ialah
dalam rangka kelengkapan suatu karangan yang akan kita buat. Hal
ini perlu agar kita tidak terperangkap pada apa yang disebut langkah-
langkah atau metodologi penelitian.
Dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode
kepustakaan berfokus pada pemanfaatan buku atau bahan bacaan,
sedangkan metode observasi berfokus pada pemanfaatan lapangan,
baik berupa orang ataupun benda-benda.
Seorang penulis dapat saja menggunakan kedua metode di
atas sekaligus. Hal itu mungkin karena ia merasa belum lengkap
bila menggunakan informasi atau data dari bahan bacaan saja, sehing-
ga ia melakukan observasi.
Ada pula penulis yang menyusun sebuah karangan dengan tidak
melakukan studi pustaka. Ia langsung mengungkapkan pikirannya
dan menuliskannya di atas kertas. Hal demikian karena sebelumnya,
ia telah banyak memiliki pengetahuan dan pengalaman, baik dari
membaca maupun dari berbagai kegiatan, sehingga baginya sudah
cukup untuk menuangkannya secara langsung.
Hal itu terjadi pada pengarang yang sudah lama berkecimpung
dalam dunia tulis-menulis. Itu mungkin terbatas, yaitu hanya untuk
penulisan karangan pendek atau artikel yang akan dikirim ke majalah
atau surat kabar. Namun, jika pengarang itu ingin membuat karangan
yang panjang, seperti tentang ilmu pengetahuan, riwayat hidup,
naskah film, karya sastra, ataupun bentuk karangan yang panjang
lainnya, tentu ia lebih hati-hati, lebih cermat, dan lebih jeli. Ia pun
mengkaji berbagai bahan bacaan dan melakukan pengamatan. Semua
itu menunjukkan bahwa pengarang yang bagaimanapun hebatnya
perlu memanfaatkan karangan orang lain dan terjun ke lapangan
untuk menyelesaikan karangannya.
Berikut ini kita tinjau tentang tujuan penulisan. Tujuan penu-
lisan merupakan kehendak yang ingin dicapai sehubungan dengan
pembuatan suatu karangan. Jika penulis membuat karangan dengan

BAB 2
Teori Dasar Menulis
17
judul “Karang Taruna sebagai Wadah Kegiatan Remaja”, maka perlu
ditetapkan lebih dahulu tujuan yang diharapkan, yang dapat dicapai
melalui karangan tersebut. Secara sederhana, mungkin penulis
merumuskan tujuan penulisannya antara lain: untuk mengetahui
sejauh mana kegiatan Karang Taruna dalam aspirasi para remaja;
untuk mengetahui hambatan-hambatan dalan kegiatan Karang
Taruna; dan untuk memberikan cara-cara untuk mengatasi hambatan-
hambatan itu. Bila penulis ingin menulis tentang tentang kelestarian
hutan dengan judul “Beberapa Upaya dalam rangka Pelestarian hutan
di Kalimantan Selatan”, maka tujuan yang dirumuskan dapat berupa:
untuk mengungkapkan beberapa upaya yang mungkin berguna bagi
pelestarian hutan dan untuk memberikan informasi tentang penting-
nya upaya pelestarian hutan, serta tujuan lainnya yang relevan.
Kadang-kadang terdapat tujuan penulisan yang kurang tepat.
Hal itu biasa ditemui dalam karya tulis para pelajar dan mahasiswa.
Tujuan dirumuskan dengan ungkapan, yaitu untuk memenuhi tugas.
Sebenarnya hal demikian kurang tepat, tidak bergayut langsung
dengan pokok bahasan yang dikarang, walaupun ada juga benarnya,
tetapi keliru menempatkannya. Sebaiknya pernyataan “pemenuhan
tugas” dimuat dalam “kata pengantar” atau pada halaman muka.
Jadi, tujuan penulisan harus jelas dan berhubungan langsung dengan
hal yang dikarang.

2.4 Kerangka Karangan


Seorang penulis dalam membuat suatu karangan, setelah
menentukan tema dan judul, ia membuat semacam “aba-aba” atau
garis besar dari hal-hal yang akan dituangkan ke dalam karangan.
Dari situlah dikenal istilah “kerangka karangan”.
Kita tentunya sudah mengerti tentang kerangka karangan,
bahkan mungkin kita pernah membuatnya, atau paling tidak kita
pernah melihatnya.
Menurut Gorys Keraf (1980:132) bahwa yang dimaksud
dengan kerangka karangan adalah suatu rencana kerja yang memuat
garis-garis besar dari suatu karangan yang akan digarap. Kerangka
karangan biasa juga disebut “out line”.
Dengan adanya kerangka karangan, penulis dapat lebih mudah
menyelesaikan karangannya serta mengurangi kemacetan yang
mungkin dialaminya. Melalui kerangka karangan akan dapat dicip-

DASAR-DASAR MENULIS
18 dengan Penerapannya
takan kesinambungan dalam menungkan buah pikiran. Secara lebih
terinci Gorys Keraf (1980:132) menjelaskan tentang manfaat kerang-
ka karangan, yaitu: untuk menyusun karangan secara teratur; untuk
memudahkan penulis menciptakan klimaks yang berbeda-beda; untuk
menghindari penggarapan sebuah topik sampai dua kali atau lebih;
untuk memudahkan penulis mencari materi pembantu; dan untuk
memudahkan penyusutan karangan bila diperlukan.
Para penulis yang sudah berpengalaman mungkin masih mem-
buat karangan-karangan yang sederhana, khususnya untuk koran
atau majalah. Kalau mereka berkeinginan menyusun karangan berupa
buku, tentu mereka akan menyiapkan kerangka yang mapan dan
teratur.
Untuk menyusun karangan yang panjang, seperti esai (uraian)
atau buku, perlu sekali disiapkan out line (Nafiah, 1981:96). Jadi,
jika kita akan menyusun karangan yang panjang, penyusunannya
lebih rumit daripada karangan yang pendek. Untuk menulis karangan
yang pendek, bagi penulis yang mahir kadang-kadang ia dapat lang-
sung menyelesaikan di atas mesin tik.
Dengan kerangka karangan, diharapkan tidak akan terjadi
kesimpangsiuran ide yang diungkapkan. Penulis dapat memusatkan
perhatiannya secara bertahap dan berkesempatan untuk mengem-
bangkan setiap bagian karangan. Penyajian ide-ide dapat lebih teratur,
tidak akan terjadi penumpukan ide. Di samping itu, seperti yang
dikemukakan terdahulu, dengan adanya kerangka karangan, akan
mempercepat dan mempermudah selesainya sebuah karangan. Lebih
dari itu, dengan adanya kerangka karangan berarti sebagian besar
karangan sudah berada di tangan kita. Karena itu, buatlah kerangka
karangan sebaik dan secermat mungkin.
Sekarang, bagaimana proses pembuatan kerangka karangan
itu?
Nafiah (1981) menyebutkan bahwa proses pembuatan kerangka
karangan (out line) ada empat tahap, yaitu:
1) mencatat di atas kertas segala gagasan yang timbul dari pikiran
atau yang dikumpulkan dari sumber-sumber (tertulis dan lisan)
yang berhubungan dengan topik yang ditentukan dan pokok
pikiran yang dirumuskan;
2) pengaturan, pengorganisasian, dan pensistematisan semua gagasan
yang terkumpul;

BAB 2
Teori Dasar Menulis
19
3) penelaahan kembali terhadap semua gagasan, mungkin ada yang
perlu ditambah atau dikurangi; dan
4) pembuatan out line yang lengkap dan terinci, di sini dicantumkan
pokok-pokok pikiran yang mendasari outline.

Dari uraian di atas jelas bahwa untuk membuat out line, tidak
asal jadi, tetapi harus dengan langkah-langkah yang berjenjang sampai
pada tingkat penyelesaian sebuah kerangka karangan yang mapan.
Semakin cepat penulis memperoleh gagasan yang berhubungan
dengan hal yang akan dikarang, semakin cepat pula selesai kerangka
tersebut.
Sebagai contoh, jika kita ingin mengarang tentang “Karang
Taruna sebagai Wadah Kegiatan Remaja”, kita dapat menyusun
beberapa pokok pikiran yang berkaitan dengan topik tersebut, antara
lain:
l Pengertian Karang Taruna sebagai organisasi bagi generasi muda’
l Tujuan didirikannya Karang Taruna;
l Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan melalui Karang Taruna;
l Manfaat nyata yang dirasakan para remaja sebagai anggota
Karang Taruna
l Dampak positif dengan adanya Karang Taruna bagi kemajuan
masyarakat;
l Hambatan-hambatan yang dialami dan yang mungkin timbul
dalam kegiatan Karang Taruna dan cara mengatasinya;
l Perlunya kerjasama antarorganisasi pemuda dengan Karang Taruna
agar saling mendukung dalam setiap kegiatan yang dilakukan;
l Beberapa upaya pembinaan Karang Taruna.

Sebuah pokok pikiran di atas secara langsung merupakan


bagian-bagian penting dari suatu kerangka karangan yang akan dikem-
bangkan penulis, sehingga menjadi sebuah karangan yang utuh. Kita
dapat menambah pokok pikiran tersebut, selama masih berhubungan
dengan topik yang dibahas. Kita bisa saja menderetkan sejumlah
pikiran penunjang atau penjelas. Walaupun demikian, hal itu tidak
harus dilakukan pada saat yang bersamaan. Mungkin saja ia muncul
ketika kita mengembangkan kerangka karangan dalam pekerjaan
mengarang yang sebenarnya atau pada saat kita mengisi dan mem-
perpadat uraian yang kita ungkapkan. Kita siapkan kertas lain untuk

DASAR-DASAR MENULIS
20 dengan Penerapannya
mencatat semua inspirasi yang muncul secara tiba-tiba. Hal itu
penting agar tidak terlewatkan atau terlupakan ide-ide itu. Di situlah
perlunya kejelian kita.
Untuk lebih memperjelas bahasan tentang kerangka karangan
(out line), berikut ini merupakan contoh kerangka yang berpijak
pada pokok-pokok pikiran di atas serta dengan penomorannya.
Bab I Pendahuluan
1.1 Pengertian Karang Taruna
1.2 Latar Belakang dan Tujuan Berdirinya Karang Taruna
1.3 Struktur Kepengurusan Karang Taruna
Bab II Manfaat Adanya Karang Taruna bagi Remaja
2.1 Membina Pergaulan yang Positif
2,2 Mengurangi Kegiatan yang Tidak Terarah
2.3 Memupuk Semangat Belajar dan Bekerja
2.4 Melatih Diri Ikut Bertanggung Jawab terhadap
Pembangunan
Bab III Kegiatan yang Dapat Dilaksanakan Melalui Karang Taruna
3.1 Membentuk Kelompok Belajar
3.2 Mendirikan Kursus Bahasa
3.3 Melaksanakan Kursus Keterampilan
3.4 Melaksanakan Kegiatan Keagamaan
3.5 Melaksanakan Peringatan Hari-hari Besar
3.6 Membentuk Kelompok Seni
3.7 Melaksanakan Kegiatan Olahraga
Bab IV Hambatan-hambatan dalam Melaksanakan Kegiatan
Karang Taruna dan Cara Mengatasinya
Bab V Penutup
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Kerangka karangan di atas tentu dapat disempurnakan lagi,
yaitu dengan ditambah atau dikurangi, sesuai dengan penilaian dan
keperluan kita. Bilamana muncul gagasan baru, kita pertimbangkan,
mungkin dimasukkan ke dalam kerangka atau sebagai bagian uraian
dalam bab atau subbab. Yang penting, semua gagasan itu harus dicatat
pada kertas sehingga sewaktu-waktu tidak sulit mencarinya.

BAB 2
Teori Dasar Menulis
21
Kerangka karangan di atas termasuk kerangka karangan for-
mal, kerangka karangan yang biasa digunakan untuk penulisan karya
ilmiah yang mempergunakan bab dan subbab, walaupun dalam ukuran
sederhana. Kerangka karangan lainnya ialah kerangka karangan
nonformal, yang biasanya hanya mengurutkan semua gagasan atau
pokok pikiran tanpa keterikatan adanya bab dan subbab, tetapi pada
hakikatnya yang demikian tetap merupakan kerangka karangan, hanya
bentuknya yang berbeda.
Untuk keperluan mahasiswa, biasanya digunakan kerangka
karangan formal. Karena itu, para mahasiswa perlu mempelajari
dan mengusai cara penyusunan kerangka karangan, baik yang for-
mal maupun nonformal. Menyusun suatu karangan bagi mahasiswa
merupakan kegiatan rutin, khususnya dalam rangka menyelesaikan
tugas-tugas perkuliahan. Apalagi mahasiswa yang akan menyelesaikan
masa studinya, yang akan menyusun skripsi atau tesis, maka sangat
perlu mengusai proses pembuatan kerangka karangan agar tidak
banyak mengalami hambatan.

2.5 Penataan Karangan


Penataan karangan merupakan upaya meninjau kembali hal
yang telah kita cantumkan dan yang kita kembangkan dalam kerangka
karangan. Tentunya segala informasi atau data yang sudah terkumpul
itu perlu dilihat lagi kerelevansiannya atau kesesuainnya dengan
pokok pikiran yang kita perluas itu. Sebab tidak jarang terjadi ketidak-
cocokan antara perluasan dengan inti yang dibicarakan, sehingga
yang timbul ialah kalimat-kalimat yang sama sekali tidak berhubungan
dengan yang dijelaskan. Bisa pula terjadi tumpang-tindih atau penum-
pukan ide, yang seharusnya ide-ide itu diungkapkan secara terpisah
atau dimasukkan pada bagian yang lain.
Dengan penataan yang baik, berarti mengurutkan secara tepat
tahap-tahap karangan. Segala istilah yang digunakan pun harus
diperiksa kembali, kalau-kalau ada kesalahan atau ketidak-taat-asasan.
Mungkin pula melalui penataan itu, ada hal yang penting yang terlu-
pakan atau ada hal yang perlu ditegaskan lagi pada bagian yang lain.
Kita tidak selalu berkeyakinan bahwa karangan yang sudah
siap ketik itu telah selesai. Kita masih ada kesempatan untuk memper-
baikinya. Tentu saja selama hal itu masih bisa kita lakukan perbaikan.

DASAR-DASAR MENULIS
22 dengan Penerapannya
Dengan menata karangan, berarti kita mempelajari secara lebih
cermat tentang hal yang kita tulis. Semua pembaca mengharapkan
agar tulisan yang dibacanya merupakan hasil tertinggi penulisnya.
Di situlah perlunya kehati-hatian dan kearifan kita sebagai penulis
dalam melihat dan menata karangan.
Saat penulis menuangkan pikiran ke dalam tulisan, kadang-
kadang ia tidak memikirkan lagi tentang hal yang ditulisnya. Ia lancar
sekali menulis seperti air yang mengalir. Baru ketika tulisan itu
dibacanya kembali, terlihatlah lubang-lubang yang perlu ditutupi.

BAB 2
Teori Dasar Menulis
23
DASAR-DASAR MENULIS
24 dengan Penerapannya
BAB 3

Bentuk-Bentuk Karangan

A
da berapa bentukkah karangan itu? Sulit mencari jawaban
yang tepat untuk itu. Pembagian atau penjenisan karangan
dapat ditinjau dari banyak segi. Di sini semua itu tidak diurai-
kan.
Pada hakikatnya semua bentuk karangan mengandung unsur
mendasar, yakni memuat segala informasi sebagai wadah komunikasi
tertulis antara penulis dan pembaca.
Ada yang membagi karangan menurut penggunaan bahasa
(karya kesastraan), ada yang berbentuk puisi dan ada yang berbentuk
prosa. Prosa meliputi cerita pendek (cerpen) dan roman atau novel.
Menurut subjeknya, karangan bisa berupa karya ilmu pengetahuan,
dan karya kesusastraan yang meliputi sejarah, riwayat hidup, lukisan,
ulasan, kisah dan ajakan (Poerwadarminta, 1979). Di samping itu,
ada pula istilah “esai” sebagai bentuk karangan ulasan. Esai seakan-
akan dilekatkan untuk berbagai kupasan yang biasa kita temui di
majalah dan surat kabar. Ada esai sastra dan ada pula esai umum.
Dari segi kesahihan fakta yang disajikan dan metode penulisan-
nya, ada yang disebut karangan ilmiah, karangan nonilmiah, karangan
ilmiah populer dan karangan tidak ilmiah. Status keilmiahan itu di
samping ditentukan oleh fakta yang disajikan dan metode penulisan-
nya juga ditentukan oleh bahasa yang digunakan dalam karangan itu
(secara khusus akan dibahas pada Bab V).
Bentuk-bentuk karangan yang dikemukakan di sini sudah
cukup dikenal oleh para pelajar dan mahasiswa. Adapun dasar
penjenisan karangan di sini berorientasi pada tujuan penulisan.
Bentuk-bentuk karangan yang dimaksud ialah: 1) ekposisi atau
paparan, 2) deskripsi atau lukisan, 3) narasi atau cerita, dan 4)
Argumentasi atau karangan yang memuat alasan-alasan dan bukti-
bukti.

BAB 3
Bentuk-Bentuk Karangan
25
Penjenisan karangan di atas tampak sederhana dan mudah dipa-
hami. Walaupun demikian, jika kita diminta untuk membuat masing-
masing karangan itu, maka akan terasa sulit juga. Karena itu, kita
harus lebih memahami dan menyelami ciri khas setiap jenis karangan
itu. Unsur-unsur yang membentuk sebuah eksposisi harus diketahui,
demikian pula untuk bentuk yang lainnya.

3.1 Bentuk Eksposisi (Paparan)


Eksposisi atau paparan merupakan salah satu jenis karangan
yang berusaha untuk menuangkan atau menjelaskan pokok pikiran
yang dapat memperluas pengetahuan orang yang membaca uraian
tersebut (bistok, dkk, 1985:151). Tujuan ekposisi seperti yang tertera
di atas ialah untuk memberi penerangan atau penjelasan tentang
sesuatu kepada pembaca. Bisa pula dengan paparan, seorang penulis
ingin mengembangkan gagasan yang dimilikinya melalui pengung-
kapan yang mudah dicerna, terurai, dan tentu saja sistematis atau
teratur.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari bentuk eksposisi banyak
digunakan. Misalnya, segala macam resep atau tata cara membuat
makanan dan minuman, petunjuk pemakaian suatu alat, petunjuk
tentang cara melakukan penanggulangan kecelakaan atau musibah,
penjelasan tentang cara membuat ramuan atau obat tradisional, atau-
pun hal-hal lain yang bersifat praktis. Karena itu, sering kita dapati
bahwa eksposisi itu pendek dan sederhana. Walaupun demikian,
sebuah paparan dapat saja panjang, seperti uraian seorang guru/
dosen dalam memberikan pelajaran/perkuliahan di depan kelas.
Uraian itu tentu telah disiapkan atau telah dibagikan kepada siswa/
mahasiswa.
Paparan harus berisi fakta dan gagasan yang lengkap dan logis.
Susunan penyajiannya pun mencerminkan suatu proses kerja dan
berpikir yang mudah diserap. Karena itu, tiap-tiap bagian karangan
harus merupakan kesatuan dan mencerminkan kesinambungan yang
saling mendukung.
Jika kita ingin membuat paparan, maka sebagaimana lazimnya
lebih-lebih dahulu kita tentukan topik yang akan kita paparkan.
Apakah kita ingin memaparkan suatu benda, proses pembuatan, dan
petunjuk pemakaian benda? Ataukah kita hendak memaparkan suatu
gagasan? Dengan demikian, kita tetapkan tujuan pemaparan itu secara

DASAR-DASAR MENULIS
26 dengan Penerapannya
jelas agar hasilnya tidak mengecewakan pembaca. Setelah itu kita
buatkan kerangka yang cukup terinci sehingga tinggal mengembang-
kan saja. Karena biasanya paparan tidak terlalu panjang, maka
topiknya harus betul-betul dibatasi agar dengan keterbatasan itu,
dapat lebih dalam dan lebih jelas mengemai hal-hal yang disampaikan.
Eksposisi atau paparan itu banyak ragamnya. Kita bisa mene-
mukannya dalam majalah dan surat kabar, seperti resep makanan,
kegunaan suatu barang, dan keistimewaan bahan makanan.
Berikut ini merupakan contoh eksposisi yang berisi tentang
cara meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia lisan.

Beberapa Cara untuk Meningkatkan Kemampuan


Berbahasa Indonesia Lisan
Sebagai warga negara Indonesia dan pemakai bahasa Indonesia, kita
berkeinginan agar dapat menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan
benar. Hal itu merupakan suatu kewajaran dan dapat dikatakan suatu
keharusan. Kemampuan berbahasa Indonesia demikian tidak akan
diperoleh begitu saja, tetapi memerlukan tekad dan upaya yang nyata.
Dalam uraian ini akan dikemukakan beberapa cara yang dapat kita
terapkan dalam rangka meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia
lisan.

a. Melalui Kegiatan Membaca


Kegiatan membaca di sini lebih ditekankan pada membaca
nyaring(bersuara) untuk kesempurnaan pelafalan bunyi bahasa Indone-
sia. Di samping itu, dengan membaca kita dapat menambah ilmu
pengetahuan (yang mungkin akan kita ungkapkan secara lisan kepada
orang lain) dan melatih daya nalar atau pikiran ke arah berpikir yang
teratur dan sistematis.
Seseorang dapat berbahasa Indonesia lisan secara baik banyak
ditunjang oleh bacaan yang pernah dibacanya. Dengan kata lain, makin
banyak ia membaca, maka kemungkinan besar makin baik bahasa
lisannya; paling tidak ia tidak akan merasa gagap atau macet jika
menyampaikan informasi kepada orang lain.

b. Melalui Kegiatan Menulis


Tidak sedikit mereka yang gemar menulis merasakan bahwa
kemampuan berbahasa lisannya menjadi semakin baik karena seringnya
dia menyelesaikan suatu tulisan. Kita mengetahui bahwa bahasa tulis
cenderung lebih hati-hati daripada bahasa lisan. Karenanya pekerjaan
menulis cukup sulit untuk dikuasai.

BAB 3
Bentuk-Bentuk Karangan
27
Hal yang terpenting di sini ialah bahwa antara kegiatan menulis
dengan berlisan (berbicara) mempunyai hubungan yang erat. Untuk
latihan pengucapan (pelafalan), kita dapat membaca tulisan kita secara
lisan; dan hal demikian biasa dilatih melalui forum diskusi (kalau kita
sebagai penyaji kertas kerja atau pembaca makalah).

c. Melalui Kegiatan Menyimak (Mendengarkan)


Cara yang paling mudah dan murah jika kita ingin meningkatkan
bahasa lisan ialah melalui menyimak atau mendengarkan. Kita bisa
menyimak siaran dari TVRI, khususnya penyampaian warta berita dan
acara-acara resmi, termasuk acara Pembinaan Bahasa Indonesia yang
diadakan sekali seminggu. Kita dapat mencontoh lafal yang mendekati
lafal standar.
Selain mendengarkan siaran-siaran tersebut, kita dapat memanfaatkan
pidato-pidato atau ceramah-ceramah umum yang lebih banyak mengarah
pada penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar (sebab ada
ceramah yang menggunakan bahasa daerah).
Dengan mendengarkan perkataan orang lain yang kita anggap lebih
baik bahasa Indonesianya, kita bisa memperbaiki diri, dalm arti
mengoreksi kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan dengan penuh
keterbukaan.

d. Melalui Cara Berpikir Sebelum Berkata


Cara yang keempat ini agak aneh dan abstrak atau kurang operasional.
Maksud berpikir sebelum berkata adalah melatih diri kita untuk tidak
berkata “asbun” (asal bunyi). Kita mencoba menilai kata-kata yang akan
kita ucapkan sebelum menjadi kalimat (kewaspadaan merangkai atau
menyusun kata-kata). Tentu saja dalam prakteknya kita tidak akan
mengartikan bahwa kita harus memberi waktu bagi mulut kita untuk
beberapa saat. Kalau kita berlatih “berpikir sebelum berkata”, ini akan
menjadi otomatis (terjadi sendiri) tanpa harus berbicara berhenti-henti.
Hal itu pun berkaitan langsung dengan bekal banyak sedikitnya
pengetahuan atau informasi yang akan kita sampaikan, termasuk
pengalaman membaca yang kita miliki.
Demikianlah, dengan cara atau melalui kegiatan membaca, menulis,
menyimak (mendengarkan), dan berpikir sebelum berkata, kita dapat
meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia lisan. (Dikutip dari
Banjarmasin Post, 27 Juli 1987).

Kutipan di atas termasuk eksposisi karena memiliki ciri yang


biasa kita temukan dalam eksposisi, seperti adanya semacam petunjuk,
penuntun, dan hal yang dapat diterapkan atau nilai praktis. Dalam

DASAR-DASAR MENULIS
28 dengan Penerapannya
kutipan itu, walaupun berisi gagasan, ia merupakan acuan sederhana
tentang cara agar kemampuan berbahasa Indonesia secara lisan bisa
lebih ditingkatkan. Cara untuk peningkatan kemampuan berbahasa
Indonesia lisan itu ada empat, yaitu dengan: kegiatan membaca,
kegiatan menulis, kegiatan menyimak (mendengarkan), dan dengan
cara berpikir sebelum berkata.
Kita tentu dapat menemukan banyak karangan yang tergolong
eksposisi. Bisa kita cari di berbagai majalah, surat kabar, ataupun
brosur-brosur serta ikaln-iklan tertentu.
Satu hal yang perlu kita camkan bahwa kita akan menulis
karangan yang titik beratnya atau terkategori ke bentuk eskposisi,
maka harus ada perasaan ingin menguraikan atau menjelaskan hal
yang dikarang itu dengan sejelas-jelasnya agar mudah dicerna oleh
pembaca. Dengan demikian, kita berusaha untuk menggunakan
ungkapan yang wajar, logis, serta kata-kata yang terpilih. Jika ada
kekaburan atau kekurangjelasan uraian, maka akibatnya dapat
menghilangkan nilai praktis karangan. Dapat dibayangkan, betapa
sulitnya mencari jalan keluar kalau petunjuk pemakaian alat tertentu
tidak lengkap atau tidak dapat dipahami oleh pembaca yang akan
menggunakan alat itu. Dari situ tampak bahwa berhasil tidaknya
suatu eksposisi (paparan) sangat tergantung pada kejelasannya
sehingga pembaca dapat memanfaatkannya.

3.2 Bentuk Deskripsi (Lukisan)


Jika pada eskposisi seorang penulis berusaha untuk mema-
parkan atau menjelaskan sesuatu dengan sejelas-jelasnya, maka pada
deskripsi penulis berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan
sesuatu secara sehidup-hidupnya, seperti keadaan alam, ruangan,
dan keindahan wajah seseorang. Dengan lukisan, diharapkan pembaca
seolah-olah dapat melihat sendiri hal yang disaksikan, dapat menyi-
mak sendiri yang kita simak, dan dapat merasakan hal yang kita
rasakan.
Unsur penting yang harus kita perhatikan apabila ingin
melukiskan sesuatu ialah tajamnya pengamatan. Fungsi mata dan
pemusatan pikiran mutlak diperlukan. Bagaimana agar pengamatan
yang kita lakukan dapat meresap sampai ke pikiran dan perasaan?
Kita harus banyak melatih diri. Sewajarnya seorang penulis yang
ingin melukiskan suatu keadaan alam tidak memandang begitu saja

BAB 3
Bentuk-Bentuk Karangan
29
dengan matanya. Ia harus lebih banyak memperhatikan hal yang
diamatinya, lalu membutirinya satu per satu serta memberi kesan
yang mampu menghidupkannya dalam tulisan. Keterbatasan daya
pandang akan berpengaruh terhadap pengungkapan kalimat-kalimat
serta pilihan kata cenderung hambar dan mungkin bertele-tele. Kita
tidak bisa menyatakan bahwa keadaan alam di daerah Batu Benawa
Pagat, Barabai, indah dan mengesankan jika kita sama sekali belum
pernah ke sana. Mungkin pula kita pernah mengunjunginya, tetapi
sudah terlalu lama dan itu pun hanya sebentar. Kita tidak sempat
secara serius dan bersantai memperhatikan derasnya sungai di sana.
Hawanya yang sejuk di sisi bebatuan yang terendam di pinggir sungai
itu, juga tidak kita nikmati. Akhirnya, lukisan tentang keindahan
daerah Pagat itu tak bisa memukau pembaca.
Untuk melukiskan keadaan ruangan besar yang di dalamnya
penuh dengan perlengkapan keperluan upacara, pengamat yang ingin
menggambarkannya tentu harus cermat betul. Sebenarnya ungkapan
keadaan itu bila disampaikan dengan bahasa lisan, peranan peng-
hayatan dan penguasaan kosakata amat besar bagi keberhasilan gam-
baran konkret yang disampaikan. Karena itu, dalam bahasa tulis
lukisan harus sama terlihatnya bila diwujudkan dengan ungkapan
lisan. Segala indera dituntut untuk difungsikan oleh penulis. Penulis
sejeli mungkin membutiri semua yang terdapat di ruangan itu.
Bagaimana kelengkapan fasilitas yang ada? Segala keistimewaan
ruangan harus diutarakan dengan bahasa yang jelas. Namun demikian,
jika terasa ada kekurangannya, sebaiknya disampaikan. Sebab, lukisan
dikemukakan sehidup-hidupnya dan apa adanya. Boleh dikatakan
bahwa melukiskan sesuatu dalam karangan berarti memindahkan
semua yang ada di penglihatan, di perasaan dan di pikiran melalui
bahasa tulis.
Secara garis besar, deskripsi (lukisan) mempunyai dua corak,
yaitu lukisan yang bercorak sastra dan lukisan bercorak bukan sastra.
Deskripsi yang bercorak sastra banyak terdapat dalam roman atau
novel dan cerpen. Keperluan pendekripsian, pembaca tersentuh emo-
sinya.
Deskripsi yang bercorak bukan sastra merupakan pelukisan
secara wajar terhadap suatu obyek tanpa pemakaian ungkapan yang
lebih melibatkan emosi. Ada deskripsi tentang keadaan kota atau
daerah masa lalu. Semua penjelasan diusahakan setepat mungkin
sehingga setiap pembaca dapat memperoleh gambaran sekonkretnya

DASAR-DASAR MENULIS
30 dengan Penerapannya
tentang kota atau daerah itu. Ada deskripsi tentang kejadian sekeliling
kita, seperti terjadinya bencana alam. Deskripsi hampir sama fungsi-
nya dengan eskposisi karena berisi penjelasan serta dapat digolongkan
ke dalam karangan ilmu pengetahuan. Jika deskripsi sastra lebih
mengarah pada banyaknya unsur penggugah atau emosi, maka
deskripsi bukan sastra lebih mengarah pada pemikiran. Bisa saja
dalam satu karangan keduanya berbaur. Hal itu kadang-kadang sulit
untuk dipilah-pilah. Dalam hal ini dituntut adanya peran penulis
untuk menempatkannya. Untuk apa penulis mendeskripsikan sesuatu
itu? Bila dimaksudkan untuk lebih mengarah ke sastra, maka ung-
kapannya pun harus disesuaikan. Ia lebih menekankan penggunaan
bahasa yang bernapaskan ajakan dan gugahan perasaan. Pilihan kata
(diksi) yang dilakukan juga sudah mampu membuat pembaca ter-
pesona, gembira, sedih, cemas dan ingin tahu. Sebaliknya bila ka-
rangan dimaksudkan sekedar memberitahukan atau sebagai penam-
bahan pengetahuan bagi pembaca, maka penulis harus menggunakan
ungkapan yang wajar, dengan arti semua bahan yang digunakan tidak
mementingkan gugahan perasaan. Diksi yang digunakan pun sama
sekali tidak bermakna ganda, tetapi harus satu makna dan logis.
Untuk lebih memperjelas pembicaraan tentang deskripsi
(lukisan), berikut ini dikemukakan contoh karangan yang tergolong
ke dalam bentuk deskripsi.

Boneka Pengusir Burung


Pada zaman Yunani kuno untuk mengusir burung-burung gereja yang
akan menjarah panen “Cherry”, anggur ataupun gandum, selalu dipasang
di ladang atau kebun buah patung boneka Dewa Priapus yang berwajah
buruk menakutkan. Di Amerika jauh sebelum kedatangan Columbus
para petani Indian selalu memasang boneka pengusir burung di ladang-
ladang jagung mereka.
Sekarang ini boneka-boneka pengusir burung semacam itu masih
juga digunakan. Untuk membuatnya sangat mudah, si Petani hanya
membuat palang dari dua potong kayu lalu mendandaninya sehingga
mirip dengan wujud manusia. Biasanya diberi pakaian bekas, kepalanya
terbuat dari jerami yang dibungkus dengan kain atau kaos kaki.
“Semakin mirip dengan wujud manusia boneka pengusir burung itu
akan semakin efektif untuk menakut-nakuti burung”, kata seorang petani
yang cukup berpengalaman asal Inggris. Ternyata bakat seni petani itu
sangat alami dan sangat mengagumkan. Cita rasa artistiknya cukup tajam
dan daya imajinasinya sungguh hidup.

BAB 3
Bentuk-Bentuk Karangan
31
Patung-patung boneka pengusir burung yang tampak menakutkan
itu bisa dianggap lambang contoh nyata suatu seni primitif. Selain itu,
patung-patung boneka pengusir burung semacam itu sering dijadikan
subjek favorit oleh para penulis terkenal ataupun para pendongeng mulai
dari Kitab Injil sampai buku cerita anak-anak modern. Nathaniel
Hawthorne, misalnya, menjadikan patung boneka pengusir burung sebagai
pemeran utama dalam salah satu cerita pendeknya. Belum lama ini secara
terpisah dua orang fotografer, yaitu Ann Parker yang warga Amerika dan
Hans Silvester warga Jerman merasa tertarik sehingga memotret objek-
objek patung boneka pengusir burung itu. Mereka berkelana ke pedesaan
di seluruh dunia. Keduanya memotret segala macam bentuk patung
boneka pengusir burung yang mereka anggap sebagai suatu hasil karya
seni naif, selain sebagai pengungkapan spontan seni budaya populer daerah
pedesaan.
Sejumlah patung boneka pengusir burung hasil foto (pengamatan =
pen) mereka adalah sebagai berikut:
1) Biasanya dibuat semirip mungkin dengan si pembuat. Patung boneka
ini dibuat oleh seorang petani yang tinggal dekat dengan daerah
pelabuhan
2) Patung boneka pengusir burung terbuat dari kaleng-kaleng bekas
3) Berbentuk wanita yang sedang menari, dipasang pada sebuah kebun
anggrek di Inggris. Pembuatnya seorang petani wanita.
4) Boneka pengusir burung di suatu ladang kacang di Portugal
5) Di suatu kebun sayur berwujud seorang gadis kecil berkerudung
membawa untaian bunga
6) Pada sebagian daerah pedesaan patung boneka pengusir burung sering
disebut “Hantu Sawah”. Inilah contohnya, boneka hantu sawah
yang terdapat di Spanyol ini bermantek putih, membawa untaian
kaleng kosong yang akan berbunyi berkerontang jika ditiup angin
7) Di daerah pedesaan Perancis berwujud petani yang lagi baik sepeda
menuju ke ladangnya
8) “Don Quixote”, berdiri menjaga kebun melon di daerah Andalusia,
Spanyol
9) Berbentuk abstrak orang pedesaan
10) Di beberapa negara patung boneka pengusir burung dipercayai
mempunyai kekuatan magis. Sejenis misteri menakutkan terasa
memancar dari boneka yang dibuat seorang petani Polandia
11) Dua buah patung boneka pengusir burung dari Jepang dipasang di
tengah ladang padi mereka. Dewa pelindung ladang padi penganut
agama Shinto atau dewa pengusir adalah “Sohodo – No – Kami”.
(Dikutip dari Warna Sari No. 114, Juli 1988)

DASAR-DASAR MENULIS
32 dengan Penerapannya
Kutipan di atas berisi gambaran keadaan di ladang atau di
kebun. Yang menjadi sorotan ialah boneka pengusir burung yang
dibuat para petani. Penulis dapat melengkapi lukisannya dengan
memuat gambar-gambar yang sesuai dengan materi yang dilukiskan
dalam karangan. Dengan demikian, para pembaca dapat semakin
memahami, walaupun gambar atau potret itu bukan bagian dari tata
cara mengarang yang bersifat melukiskan atau deskriptif.

3.3 Bentuk Narasi (Cerita)


Narasi atau cerita merupakan karangan yang berisi rangkaian
peristiwa atau kejadian. Yang menjadi inti ialah kejadian dalam kehi-
dupan manusia sebagai makhluk individu dengan segala pengalaman,
pemikiran dan gejolak perasaannya; manusia dalam kehidupannya
sebagai makhluk sosial dengan kegiatan komunikasinya antarmanusia
serta tindakannya terhadap alam; manusia dalam kehidupannya
sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan segala bentuk pengabdiannya
terhadap Penciptanya.
Dalam kehidupan manusia sebagai makhluk individu, makhluk
sosial dan makhluk yang berketuhanan itulah lahir serangkaian peris-
tiwa dan pengalaman hidup. Perjalanan hidup manusia mulai dalam
kandungan kemudian dilahirkan, berkembang hingga dewasa dan
akhirnya kembali kepada Tuhan, sungguh menyimpan banyak rahasia
yang cukup menarik untuk diungkapkan ke dalam cerita. Memang
benar bahwa kehidupan ini mengandung seribu satu macam persoalan,
yang maksudnya juga mengandung berbagai cerita.
Mereka yang arif akan menulis peristiwa hidupnya dan kejadian
sekelilingnya dalam cerita yang menarik. Dengan penuturannya
demikian, akan terasa berfaedah; berbagi pengalaman antar sesama
untuk dijadikan pelajaran atau teladan hidup. Bukankah kita sangat
banyak mendengar cerita selama ini? Ada cerita yang biasa diung-
kapkan oleh ayah-ibu atau kakek-nenek kita, walaupun mungkin
cerita itu disajikan secara lisan dan sederhana. Namun demikian,
tidak jarang cerita-cerita itu dibukukan sebagai santapan santai pada
waktu lowong bagi anak-anak. Dari situ muncullah berbagai majalah
anak-anak yang berisi cerita lucu dan menarik. Cerita untuk remaja
dan orang dewasa tersalur lewat cerpen dan novel itu.
Selain itu, ada cerita dalam bentuk riwayat hidup para tokoh.
Cerita itu ada yang ditulis oleh tokohnya sendiri dan ada pula yang

BAB 3
Bentuk-Bentuk Karangan
33
ditulis oleh orang lain. Dalam penulisan riwayat hidup itu penulis
berusaha menuangkan dan membutiri jalan hidup tokoh yang
ditulisnya. Peristiwa apa yang berkesan? Bagaimana pandangan
tentang rumah tangga? Keistimewaan apa yang tampak pada dirinya?
Apa saja cita-citanya? Bagaimana pengabdiannya terhadap nusa,
bangsa dan agama? Adakah kegagalan yang dapat mematahkan
semangat hidupnya? Apa kesenangannya? Bagaimana prinsip
hidupnya? Mungkin sederet pertanyaan lagi akan muncul untuk
merekam riwayat seseorang.
Jelaslah bagi kita bahwa penulis berita berusaha merekam
peristiwa dengan selengkap-lengkapnya, walaupun pada sisi lain ada
istilah cerpen (cerita pendek) dalam karya sastra yang berusaha
menjadikan peristiwa tertentu sebagai pokok masalah cerita yang
disebut “anekdot” yang secara sekilas dapat mengesankan pembaca.
Pada umumnya orang menyukai cerita. Hal itu sesuai dengan
naluri dasar manusia yang selalu ingin tahu. Salah satu peluapan
rasa ingin tahu itu diwujudkan dengan cara menikmati cerita (kadang-
kadang disebut kisah). Cerita yang ditulis dapat berupa hasil daya
khayal penulis, yaitu dengan membuat rangkaian peristiwa yang
sebenarnya tidak ada. Selain itu, ada cerita yang benar-benar terjadi.
Jika kita menyaksikan suatu drama atau film, maka pada hakikatnya
ia merupakan pembeberan kembali cerita yang telah ditulis dengan
cara bermain peran, beraksi di depan penonton. Karena itu, banyak
film yang diangkat dari novel-novel. Tentu saja novel-novel itu harus
menarik dan telah mendapat hati di masyarakat.
Kenyataan menunjukkan bahwa cerita amat luas jangkauannya.
Kita mungkin sependapat bahwa sejarah pun dapat dikategorikan
cerita karena memuat berbagai peristiwa dan urutan waktu tertentu.
Sebuah laporan perjalanan pun termasuk cerita. Yang terakhir ini
berdampingan dengan pengalaman tinggal di suatu kota atau negara
tertentu, yang menghasilkan uraian tentang setahun di negeri anu
atau sebulan di kota anu, dan seterusnya. Dari situ banyak peristiwa
yang dapat diangkat ke dalam karangan narasi.
Untuk lebih jelasnya tentang bentuk karangan narasi itu, berikut
ini dikemukakan contoh narasi yang berkadar sejarah, yaitu mengenai
awal adanya Radio Republik Indonesia (RRI).

DASAR-DASAR MENULIS
34 dengan Penerapannya
RRI Berawal Dari Gedung Bekas Hotel
Sebagai bangsa yang pernah mengalami pahit getirnya perjuangan
mencapai kemerdekaan, maka riwayat keradioan di Indonesia pun ikut
bergelombang seirama dengan keadaan negara. Secara resmi Radio
Republik Indonesia (RRI) lahir 11 September 1945. Akan tetapi, pada
awal abad ke-20 ketika Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu
mempunyai sarana komunikasi dunia, keradioan di negeri ini ikut pula
berperan.
Ketika pecah Perang Dunia I, kebutuhan radio semakin terasa. Sebagai
satu-satunya sarana pengiriman berita rahasia dari Nederland pada saat
itu ialah telegraf melalui laut Eden. Padahal waktu itu Eden telah jatuh
ke tangan Inggris.
Setelah melalui berbagai macam percobaan, barulah pada akhir
Perang Dunia I sistem jaringan radio yang didambakan itu terwujud.
Namun, belum ada siaran tetap dengan program lengkap, apalagi siaran
untuk kepentingan politik. Cara kerja sistem gelombang pendek pun
belum cukup dikenal. Siaran hanya dapat digunakan melalui gelombang
di atas seribu meter.
Siaran perdana dengan program tetap dalam bahasa Belanda baru
terlaksana 16 Juni 1925, yaitu hari lahirnya Perkumpulan Radio Batavia
(Bataviase Radiovereniging). Siaran pertamanya dilakukan dari sebuah
ruangan di Hotel Des Indes, sekarang Duta Merlin. Kemunculan BRV
itu diikuti oleh radio lain di berbagai kota, seperti PMY di Bandung dan
VERAL di Yogyakarta.
Keberadaan radio sebagai alat komunikasi saat itu mulai pula
dimanfaatkan oleh para pedagang untuk mempropagandakan berbagai
barang. Dari situ lahirnya berbagai radio Progandis. Masyarakat pun
mendengar iklan piringan hitam, stok kopi, lada, gula, dan sebagainya.
Acara musik pun mulai terdengar menyelingi siaran iklan. Keadaan
demikian menarik perhatian Pemerintah Hindia Belanda, lalu mereka
memesan seperangkat peralatan radio dari Amerika Serikat.
Berdirilah Perusahaan Siaran Radio Hindia Belanda atau yang
disingkat NIROM (Nederlands Indisce Radio Omroep Maatscappj). Basis
utama di wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dukungan dananya cukup
kuat dari Pemerintah Hindia Belanda, sehingga NIROM pun semakin
berkembang pesat. Di samping membangun stasiun di Surabaya,
Semarang, Bandung dan Medan, beberapa stasiun relai mereka dirikan
pula. Untuk memperkuat daya pancar siaran pusat, dibangun stasiun-
stasiun utama di sebuah gedung bekas hotel di Jakarta, Sounevack
(sekarang bangunan RRI). Sejak saat itu pula pemilik pesawat radio
dikenakan pajak. (Dikutip dari Warna Sari No. 116, September 1988)

BAB 3
Bentuk-Bentuk Karangan
35
Kutipan tersebut walaupun sangat sederhana, dapat digolong-
kan ke dalam narasi. Di dalamnya terdapat serangkaian peristiwa
dan urutan penyajian yang bertolak dari tahapan atau waktu tertentu.
Pada bagian akhir terdapat informasi yang merupakan inti kutipan,
yaitu tentang bekas hotel yang dijadikan tempat beroperasi RRI.
Cerita yang bernapaskan sejarah itu dapat diperluas dengan memasuk-
kan berbagai peristiwa lain yang berhubungan dengan keberadaan
dan kegiatan RRI. Namun demikian, penulis mempunyai tinjauan
tertentu untuk mengambil hal-hal yang dirasa menarik bagi pembaca.
Jadi, jelaslah bahwa cerita yang pendek dapat merupakan bagian
cerita yang memakan ratusan halaman. Hal demikian sesuai dengan
kejadian di dunia yang dialami oleh manusia dan alam sekelilingnya.
Dari situ tampak bahwa jika kita ingin menulis cerita, diperlukan
jangkauan pengamatan dan penganalisisan yang saksama dan terinci
dari kita.

3.4 Bentuk Argumentasi (Karangan Beralasan)


Jika karangan eksposisi berusaha untuk menjelaskan atau
menguraikan sesuatu; deskripsi berupaya untuk memberikan lukisan
atau gambaran sejelas-jelasnya atau sehidup-hidupnya; narasi disajikan
untuk mengungkapkan berbagai peristiwa nyata dan daya khayal,
maka argumentasi adalah karangan yang mengemukakan berbagai
alasan, contoh, dan bukti agar pembaca menerima dan meyakininya.
Secara singkat, karangan argumentasi adalah karangan yang memuat
alasan yang meyakinkan.
Dengan argumentasi, penulis berusaha untuk memengaruhi
atau mengarahkan pembaca agar memahami dan meyakini hal yang
disampaikannya. Karena itu, bahasa yang digunakan harus tegas,
jelas, dan sedikit bernada otoriter atau seakan-akan menunjukkan
kepastian. Semua ide atau gagasan yang dikemukakan diperkuat
dengan berbagai bukti dan contoh. Alasan-alasan yang perlu dikemu-
kakan harus merupakan hal yang sulit dibantah; bila perlu, penulis
argumentasi melengkapi tulisannya dengan berbagai perbandingan
atau analogi dan dapat dengan pertentangan-pertentangan. Semua
itu pada akhirnya, penulis menyimpulkan atau memberikan alternatif
pemecahannya.
Para penulis yang mempunyai daya pikir tajam, buah karyanya
yang berupa artikel ataupun buku banyak memuat pendapat yang

DASAR-DASAR MENULIS
36 dengan Penerapannya
meyakinkan pembaca. Jika seorang ulama menulis, maka akan laris
sekali, lebih-lebih bagi pembaca yang terpelajar. Umumnya karya
ulama tergolong karya berat dan berisi, sehingga dalam membacanya
diperlukan ketelitian dan aspek pikiran. Jika ia seorang ahli politik,
karyanya banyak disenangi orang karena pengungkapannya yang logis
dan bahasanya betul-betul tidak menimbulkan keraguan, sehingga
pembaca biasanya selalu menerimanya. Konsep-konsep politiknya
sangat merasuk dan memengaruhi pembaca; argumen-argumennya
jitu sekaligus merupakan cermin kharismanya. Demikian pula jika
penulis sebagai ekonom, teknokrat, kritikus sastra, dan sebagainya
akan membuahkan karya yang penuh ide dan pembaharuan yang
diungkapkan secara hati-hati pemikiran yang dapat dipertanggung-
jawabkan.
Dari yang dikemukakan di atas, jelas bahwa untuk membuat
karangan argumentasi, cukup sulit. Kita harus dapat mencari suatu
rumusan pemikiran yang berupa pendapat sebagai alasan atas suatu
gagasan umum atau hal yang kita bicarakan. Daya nalar atau daya
pikir penggunaannya dituntut semaksimal mungkin. Hal itu dimaksud-
kan agar kita dapat merumuskan dasar-dasar pemikiran yang dike-
mukakan, membahas pendapat orang lain, dan membandingkannya
dengan pendapat sendiri. Selain itu, amat berguna untuk mengambil
kesimpulan dan rekomendasi atau usul-usul yang harus dipertimbang-
kan oleh berbagai pihak. Kejernihan dan daya tangkap seseorang
akan dapat dilihat dari karangannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menemukan karangan
yang bernada argumentasi (kalau tidak keseluruhan, berarti sebagian)
seperti artikel-artikel yang membicarakan berbagai bidang ilmu serta
gejala sosial dan kasus tertentu. Media massa seperti koran dan
majalah, biasa memuat tulisan yang disebut tajuk rencana, editorial,
ulasan, fokus, dan istilah-istilah lain yang berisi berbagai pendapat
atau pandangan.
Oleh karena dalam argumentasi dirumuskan kesimpulan-
kesimpulan, maka dalam prosesnya digunakan langkah penalaran,
yang dalam perlakuannya ada yang dengan cara “deduksi” (penarikan
kesimpulan dari hal yang umum ke hal yang khusus) dan ada dengan
cara “induksi” (penarikan kesimpulan dari hal yang khusus ke hal
yang umum).
Untuk melengkapi pembahasan tentang karangan argumentasi,
berikut ini di kutipkan satu Tajuk Rencana (Induk Karangan).

BAB 3
Bentuk-Bentuk Karangan
37
Timur Masih Unggul
Olimpiade Seoul memasuki hari kelima memperlihatkan bahwa
dalam kelas sepuluh besar peraih medali, enam diantaranya adalah
negara-negara sosialis, dipelopori Uni Soviet, disusul Jerman Timur dan
Bulgaria. Amerika Serikat masih menguntit di belakang pada nomor
empat.
Olimpiade Seoul itu ajang petaruh besar. Petaruh spor, petaruh dagang,
petaruh diplomasi, dan petaruh kepentingan-kepentingan purna
Olimpiade. Karena ukuran wibawa dan gengsi memang dipacu dalam
ukuran perolehan medali-medali dari klasemennya, pertarungan untuk
menerobos angka-angka prestasi lama, melampaui dan mengalahkannya,
merupakan ambisi-ambisi pokok dalam turnamen-turnamen.
Cita-cita tuan rumah Korea Selatan untuk menjadi yang diperhitungkan
dalam jumlah perolehan medali, kini menjadi tanda tanya. Pada hari
kelima ia baru mencapai 1 emas, 2 perak dan 3 perunggu. Amerika
Serikat 3 emas, 3 perak dan 4 perunggu. Sedangkan Uni Soviet 7 emas,
3 perak dan 8 perunggu. Dalam beberapa hari ini akan bisa dilihat
bagaimana kontingen-kontingen peserta membaca situasi lapangan,
memacu diri, meningkatkan perolehan atau mengoreksi kelemahan. Tapi
yang jelas, ada beberapa negara yang agak bahagia. Misalnya Turki yang
memperoleh emas dari angkat besi oleh atlet pelarian dari Bulgaria,
Naim Suleymanoglu. Costa Rica yang gempar karena perenang putrinya
Sylvia Pool berhasil pertama kali memberi negaranya – walau – medali
perak, sesudah costa Rica mengambil bagian dalam pesta Olimpiade
selama 92 tahun. Suriname pun lewat perenang Anthony Nesty,
menyingkirkan jago AS, Matt Biondi, dan menggondol emas. Suatu
kejutan.
Angkasa prestasi dari pesta Olimpiade 1988 ini diisi banyak bintang-
bintang baru yang cukup memukau. Mereka naik dari tingkatan prestasi
lebih bawah atau muncul secara dadakan, tapi itu tanda bahwa turnamen-
turnamen ini cukup menantang. Dengan demikian, perspektif pemburuan
medali dan prestasi menjadi ciri yang amat mewarnai Olimpiade XXIV
ini.
Hanya sayang bahwa kebanyakan rakyat Korea cuma menonton dari
jauh. Olimpiade dikecam sebagai pesta orang-orang kaya dari dalam
dan dari luar, semua ongkos dan karcis amat mahal. Dengan demikian,
rakyat telah ditutup pintu untuk mengikuti perlombaan-perlombaan
langsung dari lapangan pertandingan, kecuali lewat pesawat televisi di
rumahnya masing-masing. Seluruh upaya serta pameran yang ditampilkan
terbatas dalam lingkaran spesifik kubu elit. Olimpiade memang belum
bisa dianggap sebagai telah dan mampu memasyarakat. Penyelenggaraan
di Korea memperkuat asumsi itu.

DASAR-DASAR MENULIS
38 dengan Penerapannya
Bahwa negara-negara Blok timur selalu unggul dalam turnamen-
turnamen olahraga internasional, terutama Olimpiade, ini barangkali
karena kedudukan olahraga dalam sosialisme mendapat tempat yang
unggul. Sistem sosial, ekonomi, dan moral mereka ikut menunjang hal
itu. Antara lain, karena tidak ada dan sangat dilarang serta tidak
diperkenankannya komersialisasi olahraga. Kemurnian olahraga bukan
hanya tegak bulat dan utuh di negara-negara itu, juga penggemblengan
atlet-atletnya mendapat prioritas dalam perhatian negara. Maka tertakdir
bahwa mereka selalu unggul.
Kenyataan menunjukkan bahwa hampir seluruh negara Blok Timur
hadir di Seoul, ini bisa dilihat dari banyak faktor. Selain olahraga,
peristiwa pesta olahraga sedunia ini digunakan untuk mengembangkan
kontak-kontak baru dalam pergaulan antarbangsa yang akan mengubah
pola konflik ideologi; dan ini bagi perkembangan Semenanjung Korea
merupakan landasan psikologis yang amat vital bagi koeksistensi dan
reunifikasi.
Dari latar belakang demikian, Olimpiade Seoul memperoleh
pengakuan melebihi apa yang diduga oleh para penyelenggaraannya,
meskipun tetap ada persoalan-persoalan yang menggantung. Sesudah
Olimpiade akan muncul epilog-epilog baru yang belum diduga bentuknya.

Sekalipun demikian, melihat apa yang sedang berlangsung,


meski diakui bahwa hal-hal yang kurang dari Olimpiade Moskow
1980 dan Los Angeles 1984 telah dapat diisi dan diatasi oleh Olim-
piade Seoul. Ini tentu merupakan prestasi tertinggi dan tersendiri.
(dikutip dari harian Merdeka, 23 September 1988)
Kutipan tersebut banyak memuat pernyataan yang berfokus
pada pendapat-pendapat tentang pesta olahraga yang terbesar, Olim-
piade Seoul 1988. Inti kutipan mengemukakan bahwa Blok Timur
yang berhasil unggul ditandai dengan kesuksesan Uni Soviet. Alasan-
nya pun dikemukakan untuk meyakinkan hal itu. Fakta-fakta dibeber-
kan, seperti tingkat pemerolehan medali dan pernyataan pendukung-
nya yang realistis.
Kita pun telah menemukan suatu ungkapan yang membuat
dan menimbulkan pengaruh akan isi kutipan itu, yaitu dari judul
karangan itu yang berbunyi: “Timur Masih Unggul”. Rupanya judul
karangan yang berisi pokok pikiran dan pendapat mampu mengajak,
memengaruhi, dan membangkitkan hasrat orang untuk mengetahui
isinya secara keseluruhan. Kalimat-kalimatnya betul-betul saling me-
nunjang dan saling menjelaskan. Berbagai data dan fakta disertakan
sehingga hal yang disampaikan lebih berbobot. Karena itu, wajar

BAB 3
Bentuk-Bentuk Karangan
39
saja bila argumentasi disebut juga karangan beralasan, artinya ka-
rangan yang memuat alasan-alasan untuk meyakinkan pembaca.

3.5 Keterpaduan Bentuk Karangan


Bentuk-bentuk karangan yang dibicarakan di atas (eksposisi,
deskripsi, narasi, dan argumentasi) tidak selalu kita temui secara
terpisah. Suatu uraian tentang cara pembuatan dan pemakaian sebuah
alat yang mengemukakan gagasan, dikategorikan ke dalam eksposisi,
banyak memuat argumen yang mendasari uraian itu. Dari situ terdapat
keterpaduan isi antara eksposisi dan hal-hal yang menjadi ciri argu-
mentasi. Bisa pula menulis menyertakan gambaran tertentu yang
merupakan upaya pendeskripsian. Jadi, dapat terjadi pemaduan isi
yang terkandung dalam sebuah karangan.
Penulis melukiskan suatu pemandangan alam, lalu ia menyata-
kan pendapat bahwa hal itu amat menarik dan mempunyai harapan
positif untuk dijadikan daerah wisata. Penulis mengemukakan berbagai
alasan atas penilaiannya itu, sehingga orang akan yakin bahwa daerah
itu cukup indah dan mengesankan. Itu merupakan penerapan unsur
argumentasi ke dalam deskripsi. Mungkin pula penulis lebih jeli
lagi, yaitu dengan cara menambah cerita atau semacam laporan per-
jalanan ke daerah yang dikatakannya cocok menjadi daerah wisata,
maka unsur narasi pun masuk ke dalam deskripsi.
Demikian pula dalam penulisan cerita, unsur deskripsi sangat
menonjol. Bagian awal cerita sering terdapat pendeskripsian tentang
alam, bangunan, manusia, dan suasana-suasana yang mendukung
cerita. Hal itu terlihat pula pada bagian demi bagian cerita . Penulis
cerita/menggambarkan suatu peristiwa dengan sedetail-detailnya. Ia
lukiskan pula akibat dari peristiwa yang ditampilkannya itu. Argumen-
argumen dari tokoh cerita bermunculan untuk menanggapi dan meni-
lai hal-hal yang perlu ditanggapi dan dinilainya. Tokoh-tokoh cerita
bergerak dan berbuat dengan latar belakang pemikiran dan perasaan-
nya. Unsur argumentasi pun akhirnya mengisi narasi.
Selanjutnya, dalam naskah-naskah pidato, khotbah, dan buku-
buku yang memuat berbagai pendapat, yang cenderung termasuk
argumentasi, tidak lepas dari isi mengisi atau keterpaduan itu. Penulis
(berarti juga penyampai naskah) mengikutsertakan berbagai gam-
baran, penjelasan, dan cerita sebagai ilustrasi atau tambahan. Semua

DASAR-DASAR MENULIS
40 dengan Penerapannya
itu ditujukan untuk memperkuat dan mendukung alasan, pernyataan,
dan pendapatnya. Dengan demikian, argumentasi semakin mapan;
para pembaca (penyimak, bila naskah dibacakan) semakin yakin dan
terpengaruh terhadap hal yang disampaikan penulis. Akhirnya, penulis
berhasil mempengaruhi sikap dan arah pikiran pembaca, sehingga
pembaca melakukan hal yang diinginkannya atau berpendirian sama
dengan yang dimaksudkannya.
Apa manfaatnya kita mempelajari ciri-ciri tiap bentuk karangan
di atas? Manfaat yang nyata ialah kita dapat menempatkan pokok
masalah yang dikarang dengan cermat. Di samping itu, kita tidak
akan sampai melakukan penyimpangan dari tujuan yang telah kita
kehendaki. Yang penting, jika kita ingin menulis karangan yang lebih
mengarah pada argumentasi, kita tidak boleh tenggelam ke dalam
ungkapan-ungkapan yang lebih mengarah pada bentuk narasi atau
bentuk lainnya. Jadi, yang diandalkan tetap pada adanya argumen
(alasan), bukti, dan hal-hal yang meyakinkan orang lain.
Kita tentunya pernah membaca makalah atas kertas kerja yang
diseminarkan atau didiskusikan, isinya terasa tidak atau kurang ber-
bobot. Seharusnya dalam makalah itu disajikan hal-hal yang dapat
membangkitkan daya pikir dan tidak menyimpang dari pokok masalah
serta tidak mengarah kepada karya satra. Namun, nyatanya banyak
penyajian hal yang tidak penting, gaya bahasanya seperti orang
“bersastra”. Itu tidak tepat. Dalam makalah yang diseminarkan sewa-
jarnya digunakan ungkapan dan gaya bahasa yang pantas, dalam arti
tidak mengarah pada hal-hal yang menggerakkan emosi. Dengan
kata lain, kata-kata yang digunakan harus logis dan satu makna.
Karena itu, pengetahuan dan penguasaan mengarang dengan bentuk-
bentuknya yang berbeda-beda itu sangat penting bagi setiap penulis.

BAB 3
Bentuk-Bentuk Karangan
41
DASAR-DASAR MENULIS
42 dengan Penerapannya
BAB 4

Istilah Karangan Ilmiah,


Karangan Nonilmiah Populer,
dan Karangan Tidak Ilmiah

I
stilah ilmiah-tidaknya suatu karangan perlu kita pahami. Pada
bagian ini tidak dibicarakan secara terinci tentang istilah-istilah
yang berhubungan dengan keilmuan suatu karya tulis. Karena
itu, di sini tidak dimaksudkan untuk memberikan petunjuk yang
lengkap mengenai cara penyusunan karangan ilmiah.. Hal demikian
selaras dengan inti penyajian dari buku ini, yakni sekadar memberi
masukkan atau arahan dasar bagaimana pengetahuan dan praktik
menulis.
Dari uraian ini kita dapat mengenal karakteristik atau ciri-ciri
suatu karangan: apakah tergolong ilmiah, non ilmiah, ilmiah populer
atau tidak ilmiah? Hal itu sangat penting agar kita tidak sembarangan
menilai terhadap setiap karangan yang dibaca. Kenyataannya menun-
jukkan bahwa kadang-kadang orang dengan begitu saja mengatakan
tidak ilmiah atau juga ilmiah populer terhadap suatu karangan. Jika
ditanya, apa alasan yang mendasari pernyataan itu? Ternyata ia tidak
dapat mengemukakannya. Yang lebih gawat lagi, bila penilaian itu
disertai emosi yang meluap-luap. Seharusnya salah satu sikap ilmiah
yang perlu diterapkan ialah pemakaian unsur pikiran, bukan gejolak
perasaan. Dengan mengetahui keilmiahan suatu karangan, akan mem-
beri kemudahan bagi kita untuk membuat karya ilmiah yang akan
disajikan dalam kesempatan diskusi, seminar, ataupun pertemuan
ilmiah lainnya.

BAB 4 Istilah Karangan Ilmiah,


Karangan Nonilmiah Populer, dan Karangan Tidak Ilmiah
43
4.1 Istilah Karangan Ilmiah
Pada dasarnya menulis karangan ilmiah tidak jauh berbeda
dengan menulis karangan ilmiah, diperlukan kecermatan dalam proses
penulisannya dan materinya harus betul-betul dapat dipertanggung-
jawabkan serta adanya keterbukaan untuk menerima masukan atau
kritikan. Penulis karangan ilmiah tidak sewajarnya mempertahankan
diri dengan hal yang dikemukakannya, jika ternyata memang terdapat
kesalahan atau penyimpangan
Brotowijaya menyatakan dalam buku Penulisan Karangan Ilmiah
bahwa karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta umum
dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan benar
(1958:8-9). Ada dua hal mendasar yang menunjukkan ilmiah tidaknya
suatu karangan, pertama, adanya penyajian fakta umum; dan kedua,
adanya ketepatan dan keteraturan metode penulisannya.
Yang dimaksud dengan fakta umum adalah fakta yang dapat
dibuktikan kebenarannya atau dapat diuji sejauh mana fakta itu
dapat diterima. Bila ternyata sebaliknya, maka berarti fakta itu gagal
dan akan tersisih. Fakta umum ada yang bernilai tidak ilmiah, seperti
“Mobil itu berjalan berderet dua-dua” dan “Pesawat terbang itu
jatuh di hutan lindung itu”. Fakta-fakta itu menunjukkan kebenaran,
tetapi tidak dapat dipakai untuk membuat suatu pernyataan atau
kesimpulan. Contoh fakta umum yang bernilai ilmiah ialah “Setetes
air itu terdiri dari sejumlah molekul air yang tiap molekul terdiri
dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen” (Brotowidjojo,
1985:4).
Fakta-fakta umum atau pernyataan-pernyataan yang ilmiah
tidak diungkapkan begitu saja, tetapi sudah dipikirkan dan terbuka
kemungkinan untuk diuji. Karena itu, segala pemikiran yang mengarah
pada hal-hal yang bersifat mistik, jelas tidak akan termuat di
dalamnya. Kebenaran yang dihasilkan dari suatu pembuktian atau
pengujian pernyataan ilmiah biasa disebut dengan “kebenaran ilmiah”.
Untuk menyusun suatu karangan ilmiah, diperlukan prosedur
dan tahap-tahap tertentu. Dalam hal ini Arifin (1987:7) mengemuka-
kan, ada lima tahap, yaitu: 1) tahap persiapan, 2) tahap pengumpulan
data, 3) tahap pengorganisasian dan pengonsepan, 4) tahap peme-
riksaan atau penyuntingan konsep, dan 5) tahap penyajian atau
pengetikan.

DASAR-DASAR MENULIS
44 dengan Penerapannya
Dalam hal-hal yang termasuk ke dalam masing-masing tahap
itu, Arifin menyatakan bahwa untuk tahap persiapan meliputi: a)
pemilihan masalah atau topik, b) penentuan judul, c) pembuatan
kerangka karangan atau ragangan. Tahap pengumpulan data terdiri
atas: a) pencarian keterangan dari bahan bacaan, b) pencarian kete-
rangan dari pihak-pihak yang mengetahui masalah yang akan digarap,
c) pengamatan langsung ke objek, dan d) percobaan dan pengujian
di lapangan atau di laboratorium. Tahap pengorganisasian dan
pengonsepan meliputi: a) pengelompokan bahan, yakni pengelom-
pokan bagian yang didahulukan dan yang dikemudiankan, b)
pengonsepan, dan c) pemeriksaan atau penyuntingan konsep; yang
kurang dilengkapi, yang tidak/kurang relevan dibuang. Yang termasuk
ke dalam tahap penyajian ialah pengetikan hasil penelitian.
Dari uraian di atas jelas bahwa untuk menulis karangan ilmiah
diperlukan persiapan yang matang, pengumpulan data atau bahan,
baik melalui sumber tertulis maupun sumber lain di lapangan (ter-
masuk di laboratorium). Data atau bahan yang terkumpul diolah
sedemikian rupa, kemudian disajikan dengan teratur. Juga, data itu
sudah disunting dan dikonsep sehingga dapat diperbaiki jika diper-
lukan.
Wujud karangan ilmiah itu di antaranya: makalah, kertas kerja,
skripsi, tesis dan disertasi. Penamaan itu didasarkan pada keluasan
bahasan dan adanya karakteristik tersendiri bagi tiap-tiap karangan
imiah itu.
Arifin (1985:23) memberikan penjelasan terhadap nama-nama
karangan ilmiah tersebut, yaitu : makalah adalah karya ilmiah yang
menyajikan suatu masalah yang pembahasannya berdasarkan data di
lapangan yang bersifat empiris-objektif; kertas kerja (sama dengan
makalah) adalah karya tulis ilmiah yang menyajikan sesuatu berdasar-
kan data di lapangan yang bersifat empiris-objektif. Analisis dalam
kertas kerja lebih sering dibandingkan dengan analisis dalam makalah,
inilah perbedaannya. Skripsi adalah karya tulis ilmiah yang mengemu-
kakan pendapat penulis berdasarkan pendapat orang lain; pendapat
yang diajukan harus disertai data dan fakta yang empiris-objektif,
baik berdasarkan penelitian langsung (observasi lapangan) maupun
penelitian tidak langsung (studi kepustakaan). Tesis adalah karya
tulis ilmiah yang bersifat lebih mendalam daripada skripsi. Disertasi
adalah karya tulis ilmiah yang mengemukakan suatu dalil yang dapat

BAB 4 Istilah Karangan Ilmiah,


Karangan Nonilmiah Populer, dan Karangan Tidak Ilmiah
45
dibuktikan oleh penulis berdasarkan data dan fakta yang sahih dengan
analisis yang terinci.
Jelaslah bagi kita bahwa penamaan itu diartikan sebagai sesuatu
yang “ berjenjang naik dan ber tangga turun”. Karena itu kadang-
kadang ada mahasiswa yang gagal dan mundur ketika mendapat
tugas untuk membuat karangan ilmiah. Seharusnya hal itu tidak
sampai terjadi jika kita betul-betul yakin dan siap sebelum menggarap
tugas yang dibebankan kepada kita.

4.2 Karangan NonIlmiah


Keilmiahan suatu karangan ditentukan oleh adanya fakta umum
dan penulisan yang benar. Apabila fakta yang disajikan ialah fakta
pribadi, bukan fakta umum, serta ditulis berdasarkan metodologi
yang benar, maka hasilnya disebutkan karangan non-ilmiah.
Apakah yang dimaksud dengan fakta pribadi itu? Brotowidjoyo,
(1985:6) menyatakan bahwa fakta pribadi adalah fakta yang ada
pada diri seseorang atau yang ada dalam batin seseorang, sifatnya
subjektif, berupa sesuatu yang dipikirkan Apabila kita menyebarkan
angket kepada responden, maka data yang terkumpul itu termasuk
non ilmiah, walaupun telah diolah sedemikian rupa. Hal itu disebab-
kan oleh adanya unsur subjektif atau yang berkenaan dengan batin.
Segala data yang diperoleh dari angket itu diorganisasikan dan ditulis
berdasarkan metodologi yang benar, hasilnya disebut “karangan non-
ilmiah yang ilmiah (disingkat menjadi “karangan non-ilmiah).

4.3 Karangan Ilmiah Populer


Istilah karangan ilmiah populer muncul karena cara penya-
jiannya yang berbeda dengan karangan ilmiah. Penambahan kata
“populer” ditinjau dari segi kepada siapa karangan itu ditujukan.
Jelasnya, karangan itu ditujukan untuk masyarakat umum. Karena
itu, bahasanya sederhana dan susunan kalimatnya cenderung dapat
dipahami pembaca secara mudah.
Pertimbangan penyajian pada karangan ilmiah populer ber-
dasarkan atas adanya pemikiran bahwa tujuan penyajiannya adalah
untuk mereka yang tingkat berpikirnya beragam. Jika penyajiannya
sama dengan karangan ilmiah, maka akan sulit untuk dipahami oleh

DASAR-DASAR MENULIS
46 dengan Penerapannya
mereka yang tingkat berpikirnya beraneka atau berbeda. Contoh
karangan itu dapat kita cari dalam majalah, surat kabar, dan buku-
buku yang memang pengadaan nya untuk keperluan orang banyak
atau masyarakat luas.
Tidak semua aturan atau metodologi penulisan karangan ilmiah
diterapkan ke dalam karangan ilmiah populer. Unsur penceritaan
(gaya narasi) sebagai pengantar atau pelengkap, juga sering digunakan
agar pembaca merasa diarahkan dan dilibatkan secara berangsur-
angsur ke masalah yang diungkapkan pengarangnya. Karangan ilmiah
populer sering berkembang cukup pesat saat ini; seiring dengan
kemajuan masyarakat yang sudah mulai menyenangi bacaan dalam
kehidupannya sehari-hari.

4.4 Karangan Tidak Ilmiah


Suatu karangan dikatakan tidak ilmiah bila tidak ditulis
berdasarkan metodologi penulisan yang benar. Artinya, walaupun
yang disajikan dalam karangan itu fakta umum, tanpa ditulis dengan
prosedur tertentu, tidak ilmiah-lah karangan itu. Penerapan cara
penulisan merupakan kunci pokok bagi keilmiahan suatu karangan.
Dengan demikian, tuntutan agar karangan disusun secara sistematis,
tidak bisa diremehkan sama sekali.

BAB 4 Istilah Karangan Ilmiah,


Karangan Nonilmiah Populer, dan Karangan Tidak Ilmiah
47
DASAR-DASAR MENULIS
48 dengan Penerapannya
BAB 5

Bahasa dalam Karangan

B
ahasa dalam karangan amat penting diperhatikan oleh setiap
penulis. Hubungan antara penulis dengan pembaca ditentukan
oleh bahasa yang dipakai dalam karangan. Segala gagasan atau
buah pikiran yang dipindahkan ke bahasa tulis tidak sama dengan
yang dipindahkan melalui bahasa lisan. Semua kejanggalan dan keran-
cuan pada bahasa tulis terekam abadi dalam karangan, sampai ada
ralat atau perbaikan yang dilakukan penulis. Kita dapat membayang-
kan akibatnya jika suatu karangan tersaji dengan banyak kerancuan
kalimat dan penampilan bahasanya yang tidak komunikatif. Hal itu
tidak mudah diperbaiki. Bobot suatu karangan hanya ditinjau dari
segi isi dan sistematis, bahasanya pun turut menentukan.
Pembaca yang jeli akan dapat menilai bahasa yang digunakan
penulis. Apakah bahasanya mudah dipahami; ataukah terlalu sulit
dicerna? Adakah penulis mempergunakan gaya bahasa yang menarik
sehingga pembaca dapat mengikuti bagian-bagian karangan dengan
cepat, tanpa harus terhenti oleh adanya kata-kata yang tidak lazim
dan keasing-asingan.
Bahasa dalam karangan merupakan alat penyampai gagasan
atau buah pikiran penulis, yang mempunyai keterbatasan dibanding-
kan dengan bahasa lisan. Keterbatasan itu terasa bila gagasan yang
disampaikan tidak sepenuhnya dapat dibahasatuliskan. Karena itu,
diperlukan pemakaian tanda baca dan upaya tambahan dari penulis,
seperti adanya penjelasan yang lebih rinci terhadap istilah yang dike-
mukakan. Di samping itu, kita mengetahui bahwa bahasa tulis meru-
pakan bahasa kedua setelah bahasa lisan. Dengan kata lain, manusia
terlebih dahulu mengenal bahasa lisan, kemudian muncul budaya
tulis menulis. Sudah sewajarnya seorang penulis secara cermat me-
merhatikan pengungkapan bahasa yang dituangkan ke dalam
karyanya. Suatu hal yang mustahil bila penulis dalam mengarang

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
49
tidak memikirkan pembacanya. Ini sekaligus berarti bahwa ia memi-
kirkan alat penyampai gagasan, yaitu bahasa. Pada saat penulis menu-
runkan kalimat demi kalimat tentu telah dipikirkan sedalam mungkin
bahwa kalimat-kalimatnya itu sudah efektif. Penggunaan kalimat yang
panjang dan bertele-tele akan dihindarkannya. Bukankah penggunaan
bahasa yang baik dan benar merupakan cermin berpikir penulisnya?
Jelaslah bahwa dalam mengarang seorang penulis dituntut untuk
dapat menata bahasa tulis dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian,
segala tuturan yang dituliskan tidak lepas dari arah, tidak asal tulis
dan asal melancarkan pena. Semuanya diproses melalui pertimbangan.
Kepada siapa tulisannya akan disodorkan? Apakah kalimat atau ung-
kapan yang ditulis sudah sarat dengan maksud yang ingin disampai-
kan? Kepuasan penulis akan terasa bilamana tujuan yang ingin disam-
paikannya dapat diserap pembaca. Demikian pula halnya pembaca,
ia merasa memperoleh suatu yang berharga dari karangan yang diba-
canya. Sebab, kita mengetahui bahwa hakikat yang terdalam dari
pembaca ialah adanya rasa ingin tahu dan ingin menambah ilmu
pengetahuan, termasuk santapan rohani. Semua itu harus dapat dipe-
nuhi oleh penulis melalui karangan itu sendiri.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pemakaian
bahasa dalam karangan harus dapat bersambung atau komunikatif;
dengan kata lain, dapat dengan mudah dicerna dan diterima penikmat
karangan. Selanjutnya, pembahasan tentang bahasa dalam karangan,
di dalamnya tercakup hal-hal seperti: pemilihan kata dalam kalimat
atau diksi, pembuatan kalimat yang efektif, paragraf atau alinea dan
pengembangannya, gaya bahasa, ragam bahasa, dan pengungkapan
lainnya yang merupakan manifestasi atau perwujudan pemindahan
buah pikiran dan perasaan secara tertulis.

5.1 Pilihan Kata


Pilihan kata disebut juga diksi. Seluk-beluk pilihan kata meru-
pakan hal yang mendasar dalam karang mengarang. Dari katalah
akhirnya terangkat kalimat. Ketetapan dalam memilih kata akan
menentukan sampai tidaknya kandungan makna atau maksud yang
ada dalam kalimat secara utuh. Kata yang tepat akan membantu
seseorang mengungkapkan dengan tepat sesuatu yang diinginkannya,
baik lisan maupun tulisan (Arifin, dkk.,1986:150). Kata merupakan
bahan bakal untuk karangan (Poerwadarminta, 1979:19). Diksi yang

DASAR-DASAR MENULIS
50 dengan Penerapannya
akan memungkinkan pengarang menyatakan pikiran dan perasaannya
dalam suatu cara yang sesuai dengan maksudnya (Bistok, dkk.,
1985:15).
Dalam memilih kata ada empat hal yang perlu diperhatikan
yaitu: kelaziman, ketepatan, kesesuaian, dan keefekan.
Suatu kata dikatakan mempunyai kelaziman bila telah banyak
dikenal dan digunakan orang. Hal itu juga berkaitan dengan waktu
dan tempat penggunaannya. Dapat saja suatu kata hilang dari
pemakaiannya di masyarakat. Jika sudah tidak digunakan lagi, bukan
saja akan tidak lazim, tetapi malah menjadi mati atau usang. Karena
itu, kita hendaknya memerhatikan kelaziman kata-kata yang disodor-
kan kepada pembaca. Hal itu sangat penting agar kata sebagai
penyampai konsep atau makna tertentu tidak terputus atau kabur.
Adanya kata yang tidak lazim mempunyai kaitan dengan gerak dan
perkembangan masyarakat sebagai pemakai bahasa itu. Untuk melihat
adanya kata yang tidak lazim, di sini di kutipkan sebagian cerita
“Hang Tuah”.
Maka sekalian orang pun datanglah menghadap masing-masing
dengan persembahannya, maka dianugerahi oleh Baginda akan segala
mereka itu. Maka mereka itu pun terlalu suka cita (Pamuncak,
1960:13).
Pengungkapan kutipan tersebut jika dipakai pada saat ini,
sudah tidak biasa atau tidak lazim lagi. Pemakaian kata orang pun,
persembahannya, baginda, dan dengan suka cita. Jadi, tampaknya
ada kata-kata yang menjadi tidak lazim bila dirangkai untuk memberi
ciri gaya penuturan masa lalu.
Kata-kata yang sudah tidak bisa dipakai lagi untuk saat ini
cukup banyak terdapat dalam bacaan cerita lama dan buku ilmu
pengetahuan yang terbit 50-an tahun yang lewat. Ada kata sebermula,
syahdan, penggal (dalam arti jilid atau bagian), sang, nang, bersahaja,
bersengatan, (dalam arti sengat), duli, (dalam duli tuanku), hulu-
balang, berdatang (dalam berdatang sembah), titah, dan lain-lain.
Adapun kelompok kata yang tidak lazim lagi seperti: jikalau,
berhimpun, sekalian mereka itu, akan yang kedua, tiada jadi, tiada
ada, tiada sah, tiada pagi, dan pada menyatakan.
Ragam penuturan cerita yang ditulis masa lalu berbeda dengan
yang ditulis zaman sekarang. Kalau dahulu ungkapan-ungkapan yang
digunakan sangat terikat, tapi sekarang telah cukup bebas. Untuk
menggambarkan kecantikan seorang gadis saja, dahulu dan sekarang

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
51
berbeda. Untuk melukiskan keindahan alam, kata-kata atau ung-
kapannya pun semakin bervariasi, tidak dari itu ke itu saja. Rupa
kemajuan pola berpikir dan cara memandang alam sekitar mewujud-
kan bentuk ekspresi baru dalam bahasa tulis. Seakan-akan para
penulis sekarang bersepakat untuk mengubur kata-kata atau ung-
kapan lama; untuk menggantikannya dengan yang baru, yang sesuai
dengan kemajuan bahasa saat ini, dan yang sesuai dengan pandangan
dan gaya hidup manusia sekarang. Jadi, suatu kata dapat saja sangat
terkenal pada suatu masa dan tempat tertentu, tetapi berangsur-
angsur dapat menjadi kurang dikenal (berarti juga kurang dipakai)
dan akhirnya menjadi usang atau mati. Dari situ terdapat istilah
atau kata-kata yang tidak lazim atau tidak patut lagi untuk dipakai
dalam bertutur, baik untuk keperluan lisan maupun tulisan.
Seperti yang dikemukakan di atas kelaziman suatu kata tergan-
tung pada masa dan tempat. Ada sejumlah kata atau ungkapan yang
bila dipakai di Indonesia akan terasa asing, meskipun pada mulanya
digunakan dalam pemakaian bahasa Indonesia. Contoh itu ialah dari
bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia, yaitu pemakaian kata-
kata seperti: penuang (pelindung), memperkatakan (membahas atau
membicarakan), daripada (dari), dijemput (diundang), yang berhormat
(yang terhormat, yang dihormati), palang gol (tiang gawang). Puluhan
tahun yang lalu kata-kata itu masih dipakai di Indonesia, tetapi
sekarang sudah tidak dipakai lagi, meskipun ada yang tetap digunakan
untuk maksud atau makna yang berbeda. Tampak bahwa faktor
tempat turut memengaruhi pemakaian suatu kata atau istilah.
Kata-kata yang tidak lazim sedapat mungkin akan dihindarkan
oleh setiap penulis, jika ia berkeinginan agar pembaca tidak menga-
lami kesulitan dalam mencerna isi karangan secara keseluruhan.
Namun demikian, masih ada kemungkinan untuk memakai suatu
kata yang tergolong belum lazim (berbeda dengan tidak lazim) ke
dalam tulisannya.
Akhir-akhir ini kita telah mengenal kata-kata seperti: pakar
(ahli), mantan (bekas, eks), pemerhati (orang-orang yang memerhati-
kan), sarasehan (pembicaraan, diskusi). Kata-kata itu belum mempu-
nyai kelaziman, tetapi mengarah menjadi lazim. Karena itu, setiap
penulis berkesempatan untuk memasukkan kata-kata itu ke dalam
karangannya. Dari situ akan terlihat keadaan pemakai bahasa atau
masyarakat untuk menerimanya. Semakin banyak yang mengguna-
kannya, semakin besar pula kata-kata itu untuk disebut telah mempu-

DASAR-DASAR MENULIS
52 dengan Penerapannya
nyai kelaziman. Jadi, bila suatu kata belum lazim, maka tampak
adanya rasa asing terhadap kata itu. Namun, dengan adanya pema-
kaian kata-kata itu secara terus-menerus, lama-kelamaan masyarakat
tidak akan merasa asing lagi. Hal itu berhubungan dengan adanya
kata atau istilah baru yang muncul sekarang, terutama yang dipra-
karsai oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Selain kelaziman suatu kata yang menjadi pertimbangan penulis
dalam memilih kata yang akan dipakainya, menjadi perhatian tentang
ketepatannya. Kata dinilai mempunyai ketepatan bila dipakai dalam
situasi dan tempat pemakaiannya. Pemilihan kata disesuaikan dengan
jenis dan isi karangan. Kata-kata yang mengarah atau biasa digunakan
dalam karya sastra. Dalam karya ilmiah sudah pasti tidak digunakan
kata-kata yang bernapaskan sastra dan ungkapan-ungkapan yang
menggerakkan perasaan. Ketepatan pemakaian suatu kata berarti
ketepatan penempatan dalam suatu karangan. Dari situ muncullah
istilah bahasa umum dan bahasa khusus.
Untuk menyebut angin dalam karangan umum, tidak perlu
diganti dengan bayu; Hari Raya tidak disebut Hari Agung, ombak
menenggelamkan kapal tidak akan disebut ombak menelan kapal;
menghasilkan pendapat bersama tidak akan disebut dengan menelur-
kan pandapat bersama dan contoh lainnya.
Masalah ketepatan pemakaian kata menyangkut pula nilai rasa
kata itu. Ada kata yang sama mempunyai makna dasar, tetapi jika
dirangkai dalam kalimat, dapat menimbulkan tertentu bagi orang
lain. Kita mengenal sejumlah kata atau ungkapan untuk menyatakan
bahwa seseorang telah meninggal, seperti: wafat, mangkat, kemali
ke hadirat-Nya, berpulang, gugur, meninggal dunia, menghembuskan
napas yang terakhir, sampai ajal, mati dan mampus. Penggunaan
kata atau ungkapan itu banyak sedikitnya harus memerhatikan atau
mempertimbangkan orang yang meninggal. Apakah ia raja, ulama,
orang besar, ataukah manusia biasa saja? Seorang prajurit yang me-
ninggal di medan perang disebut gugur; seorang raja biasa dipakai
mangkat; ulama yang meninggal disebut wafat; seorang penjahat
telah patut disebut mampus. Pemakaian bahasa untuk keperluan
tertentu telah menjadi sepakat, walaupun tanpa persetujuan resmi.
Bahasa kita banyak memiliki perwujudannya sebagai sarana penyam-
pai konsep atau makna. Hanya yang perlu diperhatikan ialah cara
mendayagunakannya agar tidak terjadi kejanggalan, apalagi dalam
bahasa tulis.

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
53
Penulis yang baik tentu pandai memilih kata yang sesuai dengan
situasi pemakaiannya. Ia selalu berkeyakinan bahwa ia akan melayani
pembaca dengan sebaik-baiknya. Kapan ia menulis dengan gaya baha-
sa sastra? Kapan ia menulis dengan gaya bahasa untuk keperluan
karangan umum atau bukan sastra?
Kelaziman kata berarti bahwa kata itu telah banyak dipakai
dan dikenal luas; ketetapan kata berarti bahwa kata itu telah sesuai
dengan situasi pemakaian.
Yang ketiga ialah keserasian, yakni bahwa kata yang dipakai
sesuai dengan maksud atau keinginan penulis/pembicara.
Keserasian pemakaian suatu kata erat hubungannya dengan
keinginan penulis (dalam karangan) dan pembicara (dalam komunikasi
lisan). Pemakaian kata disempurnakan tidak sama dengan digantikan
atau diluruskan; ungkapan kurang sependapat tidak sama dengan
tidak sependapat; kata diharapkan berbeda dengan dimintakan; kata
berceramah berbeda dengan bercakap-cakap; kata pemugaran tidak
sama dengan pembangunan. Jadi, keserasian pemakaian kata seiring
dengan isi pikiran dan perasaan yang ingin disampaikan. Hal itu
juga berhubungan dengan ketegasan maksud. Dengan demikian, tidak
akan terjadi penafsiran yang beragam dan salah dari pembaca. Selain
itu, dengan keserasian, akan dapat dihindarkan pernyataan yang
bertele dan semu atau tidak jelas, yang sebenarnya diungkapkan
penulis.
Istilah keserasian disebut pula keseksamaan. Seksama berarti
serasi benar dengan apa yang hendak dituturkan (Poerwadarminta
1979:43). Dapat saja suatu kata telah menunjukkan keserasian sesuai
dengan maksud penulis, tetapi ia tidak lazim dan penempatannya
tidak tepat. Dengan demikian, kata itu harus dikeluarkan dari kalimat,
kemudian dicarikan kata lain yang serasi, lazim, dan tepat penem-
patannya. Keserasian, kelaziman, dan ketetapan memiliki hubungan
yang erat dan menduduki posisi yang sama pentingnya. Karena itu,
seorang penulis sebaiknya merumuskan lebih dahulu hal yang ingin
diutarakannya kepada pembaca. Kita mengetahui bahwa bahasa tulis
sangat terbatas, sehingga bila semuanya saja dikeluarkan maka
karangan pun menjadi tidak komunikatif. Pembaca mudah jenuh
dan kemungkinan besar ia tidak akan membaca sampai selesai.
Hal yang berikutnya yang perlu kita perhatikan ialah keefekan.
Keefekan berarti semacam dampak atau pengaruh pemakaian suatu
kata dalam kalimat. Hal itu berkaitan dengan nilai rasa suatu kata.

DASAR-DASAR MENULIS
54 dengan Penerapannya
Suatu kata dapat menimbulkan efek atau kesan negatif bagi
pembaca bila tidak mengindahkan nilai rasa. Kata tolol tentu tidak
begitu saja disamakan dengan bodoh . Kata tolol mengandung ejekan;
kata bodoh merupakan lawan dari kata cerdas. Dari kata atau ung-
kapan yang dituturkan dalam karangan kadang-kadang dapat diberi
ciri bahwa karangan yang ditulis oleh si anu bernada keras, kata
yang digunakan terlalu bombastis atau kurang mencerminkan keso-
panan.
Dari situ timbul istilah kata-kata atau ungkapan yang kasar.
Walaupun bahasa Indonesia (yang bersumber dari bahasa Melayu)
tidak mengenal tingkatan pemakaian dalam berbahasa, masalah ke-
efekan dan nilai rasa tetap ada.
Untuk menjaga agar efek kata atau ungkapan yang dikeluarkan
sesuai dengan yang diinginkan, diperlukan kekayaan kosakata atau
perbendaharaan kata. Dengan perbendaharaan kata yang cukup,
penulis dapat memilih kata yang lazim, tepat, serasi, dan tidak menim-
bulkan dampak negatif.
Dengan memerhatikan kelaziman, ketepatan, keserasian, dan
keefekan kata, diharapkan agar isi dan maksud karangan dapat sampai
dengan mudah dan tepat dipahami pembaca. Karena itu, seorang
penulis tidak akan sembarangan memindahkan buah pikiran dan
perasaannya, tanpa mempertimbangkan kata-kata yang akan dipakai.
Selain keempat hal tersebut, masih perlu kita perhatikan tentang
adanya istilah kata dengan makna denotatif dan konotatif. Makna
denotatif berarti makna yang berdasarkan kewajaran atau makna
sebenarnya. Contohnya, kata garam dalam kalimat “Ibu menggulai
sayur bercampur garam”. Garam pada kalimat itu berarti sejenis
benda yang berwarna putih dan berasa asin. Namun, jika garam
dalam kalimat “Orang itu sudah banyak makan garam”, maka kata
garam di sini berarti pengalaman hidup; hal ini disebut makna kono-
tatif, yaitu arti atau makna yang timbul kemudian, bukan arti sebe-
narnya.
Pemakaian kata dengan makna denotatif dan konotatif harus
sesuai dengan situasi dan letaknya dalam kalimat. Pada karangan
ilmiah kata-kata yang digunakan harus bermakna denotatif, sama
sekali tidak dibenarkan penggunaan kata yang menimbulkan arti
ganda atau lebih dari satu. Penuturan dalam karangan ilmiah harus
konsisten, jelas, sederhana, dan ringkas serta kuat efeknya kepada
pembaca (Brotowidjoyo, 1985:75).

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
55
Dalam karya sastra banyak digunakan kata-kata yang mempu-
nyai makna lebih dari satu atau makna ganda. Karenanya, jika kita
membaca karya sastra (apalagi puisi), kita memerlukan daya rasa
dan apresiasi yang tinggi. Wajar saja bila dikatakan bahwa karya
sastra arahnya kepada perasaan, sedangkan karya bukan sastra arah-
nya kepada pikiran.
Kita harus mampu menempatkan suatu kata pada tempatnya,
baik untuk kepentingan karya keilmuan ataupun kesastraan. Penge-
tahuan tentang makna denotatif dan konotatif akan dapat membantu
kita agar suatu kata yang sesuai penempatannya, apakah untuk keper-
luan karya sastra atau bukan? Dengan demikian, akan terawasi mak-
na kata itu dari segala kekaburan dan kesimpangsiuran.
Khusus tentang arti konotatif, Di samping penggunaan kata
secara satu per satu, termasuk di dalamnya pemakaian kata-kata
secara gabungan. Ada gabungan kata atau ungkapan panjang tangan,
ringan tangan, tangan kanan, kaki tangan, gelap mata, mata-mata,
cendera mata, mata keranjang, berputih mata, mata hati, keras kepala,
kepala batu, besar kepala, berkepala dingin, kepala kerja, sakit hati,
berat hati, mengetuk hati, menyentuh hati, buah hati, lapang dada,
mengurut dada, dan masih banyak lagi.
Penggunaan kata-kata yang berbentuk ungkapan dimaksudkan
untuk menghidupkan karangan dan mengajak pembaca untuk
menyimak lebih dalam terhadap nilai-nilai dan makna yang ditimbul-
kan oleh ungkapan itu. Ungkapan ada beberapa macam, ada yang
disebut persamaan (menyamakan dua hal), perumpamaan (hampir
sama dengan persamaan, tetapi ada yang berbeda), metafora (persa-
maan langsung, sebutan benda yang satu digantikan dengan sebutan
yang lain), metonimia (mengecilkan suatu himpunan yang besar),
personifikasi (menghidupkan benda atau hal tertentu seperti manusia),
litotes (merendahkan diri dengan berlebih-lebihan), hiperbola (per-
nyataan yang berlebih-lebihan), dan lain-lain.
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh ungkapan-ungkapan
tersebut.
1) persamaan
– Wajahnya yang manis dan menarik itu bagai bulan purnama
– Gadis yang peramah itu seperti bunga Mawar di kampung
kami

DASAR-DASAR MENULIS
56 dengan Penerapannya
2) perumpamaan
– Seperti telur di ujung tanduk
– Seperti kejatuhan bulan
3) metafora
– Saya telah bertemu dengan si Jantan dari desa itu
– Kita jangan sampai menjadi sampah masyarakat
4) metonimia
– Jono pulang-pergi dengan Garuda
– Jika Iwan tidak cidera, mungkin memperoleh emas dalam
pertandingan itu
5) personifikasi
– Makam pahlawan itu memberi bukti betapa berat dan
susahnya merebut kemerdekaan dari tangan penjajah
– Buku Aulia yang banyak itu menjadi saksi keberhasilannya
dalam menempuh studinya di perguruan tinggi
6) litotes
– Habis sudah air mata Wati karena sangat berduka ketika
ibunya meninggal
– Jangankan gedung, gubuk pun aku tak punya
7) hiperbola
– Harapan Amin telah sirna sehingga badannya kurus tertinggal
ualang
– Harga barang di pasaran telah mencekik leher

Ungkapan-ungkapan atau majas di atas banyak kita temukan


dalam karya sastra dan karya umum yang digunakan untuk menghi-
dupkan karangan. Jika dahulu ungkapan diwujudkan dengan bahasa
yang agak terikat, sekarang telah berkembang, bervariasi, sesuai
dengan kemajuan masyarakat dan perkembangan bahasa. Kata-kata
yang dirangkai dalam kalimat yang bermakna kias dipilih sedemikian
rupa sehingga mampu meninggalkan tersendiri bagi pembaca.
Selain itu, dalam hal pemilihan kata ada yang disebut sinonim,
homonim, dan polisemi. Sinonim adalah kesamaan atau kemiripan
makna dua buah kata atau lebih, tetapi bentuknya berbeda. Penggu-
naan sinonim dimaksudkan untuk variasi dan agar tidak terjadi kebo-
sanan. Untuk membuat variasi dalam bacaan atau tulisan, diperlukan
penguasaan kosakata yang memadai, yaitu di antaranya dengan ba-
nyak membaca.

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
57
Kosakata bahasa Indonesia banyak terdapat yang ber sinonim,
baik dalam pengertian ber sinonim penih maupun yang hanya me-
ngandung kemiripan. Kemiripan muncul di antaranya karena kata
itu berjenis kata benda, kemudian dikaitkan dengan fungsi atau mak-
na kata dalam kehidupan sehari-hari. Kata rumah, misalnya, ber
sinonim dengan wisma, hotel, losmen, asrama, mess, aula, audito-
rium, bangsal, gedung, sasana, balai, gubuk, pondok, lepau, dan
kata lain yang mirip maknanya. Ada kata cahaya dan ada kata sinar.
Ada kata mati, adapula kata mangkat, meninggal, tewas, gugur, dan
sebagainya. Ada kata bisa ada kata dapat. Arifin (1987:155) menyata-
kan bahwa dalam pemakaiannya bentuk-bentuk kata yang bersinonim
akan menghidupkan bahasa seseorang dan mengkonkretkan bahasa
seseorang sehingga kejelasan komunikasi (lewat bahasa itu) akan
terwujud.
Selanjutnya, homonim adalah dua buah kata yang sama
wujudnya, tetapi maknanya berbeda. Contohnya, ada kata bisa yang
berarti racun; ada pula kata bisa yang berarti dapat atau mampu.
Misalnya dalam kalimat berikut ini:
– Bisa ular itu sangat berbahaya
– Tak kusangka bahwa anak itu bisa mengangkat barang yang
berat. (berarti dapat atau mampu).

Dari uraian itu yang dikemukakan pada bagian pilihan kata


itu dapat disimpulkan bahwa untuk memilih dan menempatkan suatu
kata dalam rangkaian kalimat harus diperhatikan beberapa hal, yaitu
kelaziman, ketepatan, keserasian, dan keefekan. Selain itu, perlu
juga dipahami tentang makna denotatif dan konotatif suatu kata
dalam kaitannya dengan bentuk karangan yang sedang ditulis. Juga,
pengetahuan mengenai sinonim dan homonim sangat berguna bagi
penulis, sehingga kata-kata yang digunakan dapat bervariasi.
Dalam kaitannya dengan diksi atau pilihan kata kita harus
memperhatikan dengan cermat, mungkin saja kita ada menggunakan
kata-kata dari bahasa daerah yang belum menjadi milik umum.
Dengan kata lain, kita senantiasa berhati-hati dalam menggunakan
bahasa tutur ataupun bahasa daerah agar tidak masuk ke karangan
yang sedang dikerjakan. Kalaupun kita ingin juga memasukkannya,
sebaiknya disertakan penjelasan atau persamaan dalam bahasa In-
donesia. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari salah penafsiran
dari pembaca. Bisa saja semua kata yang dipakai termasuk kosakata

DASAR-DASAR MENULIS
58 dengan Penerapannya
bahasa Indonesia, tetapi strukturnya dipengaruhi oleh bahasa daerah.
Hal itu pun harus dihindari sedapat mungkin.

5.2 Kalimat Efektif


Seorang penulis tidak akan begitu saja menuangkan buah
pikiran atau perasaannya ke dalam bentuk kalimat-kalimat, tanpa
memerhatikan apakah kalimat-kalimat itu dapat mewakili buah
pikiran atau perasaannya itu dan apakah mudah untuk diserap dan
dipahami pembaca. Suatu kalimat dalam karangan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kalimat-kalimat yang lain. Dengan demi-
kian, seorang penulis bila menuliskan satu kalimat, berarti ia telah
menuangkan ide tertentu yang memang perlu dikemukakan dan pen-
ting untuk orang lain atau pembaca.
Kita tentunya pernah mendengar orang yang mengatakan bah-
wa karangan si Anu kalimat-kalimatnya sulit dipahami dan kata-
kata yang digunakan dari itu ke itu saja. Ada pula orang yang menya-
takan bahwa suatu karangan enak dibaca dan kalimat-kalimatnya
mudah dicerna. Tampak bahwa ada pembaca atau penikmat memberi-
kan tanggapan tentang dan daya tarik kalimat-kalimat dalam karangan.
Karena itu, sebaiknya kita pelajari tentang kalimat efektif, sehingga
muatan dalam karangan dapat mencapai tujuan. Bukankah setiap
karangan selalu mempunyai tujuan? Yang penting mendasar adalah
bahwa pengarang dengan karangannya bermaksud memberikan infor-
masi atau buah pikiran kepada pembaca.
Sebelum kita membicarakan kalimat efektif, perlu kita ketahui
apa yang dimaksud dengan kalimat. Menurut Sutan Takdir Alisyah-
bana (1978) bahwa kalimat ialah satuan kumpulan kata yang terkecil
yang mengandung pikiran yang lengkap. Zainal Arifin dan Amran
Tasai (1987) mengemukakan bahwa kalimat ialah suatu bagian per-
nyataan yang sesuai dan menunjukkan pikiran yang lengkap. Poer-
wadarminta (1979) menyatakan bahwa kalimat adalah kesatuan ben-
tuk ketatabahasaan yang menyampaikan buah pikiran atau hasrat.
Gorys Keraf (1980) mengemukakan bahwa kalimat merupakan suatu
bentuk bahasa yang mencoba menyusun dan menuangkan gagasan-
gagasan seseorang secara terbuka untuk dikomunikasikan kepada
orang lain.

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
59
Dengan memerhatikan sejumlah pengertian kalimat di atas,
dapat disimpulkan bahwa kalimat adalah bentuk pengungkapan yang
dituangkan melalui kata atau kata-kata yang selesai dan menunjukkan
pikiran yang lengkap. Sebuah kalimat jika dituliskan, memiliki tanda
yang mudah untuk diketahui; sebuah kalimat dimulai dengan huruf
besar (kapital) dan diakhiri dengan tanda titik (.) atau tanda tanya
(?) ataupun tanda seru (!)
Pembicaraan mengenai kalimat efektif ini tidak dititikberatkan
pada segi tata bahasa, tetapi lebih disesuaikan dengan keperluan
pembuatan karangan.
Sekarang, apakah yang dimaksud dengan kalimat efektif? Gorys
Keraf (1980) menyatakan bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang
memenuhi syarat-syarat seperti yang disebutkan di bawah ini.
1) secara tepat dapat mewakili gagasan atau perasaan pembicara
atau penulis; dan
2) sanggup menimbulkan gagasan yang sama tepatnya dalam pikiran
pendengar atau pembaca seperti yang dipikirkan oleh pembicara
atau penulis.

Menurut Zainal Arifin dan Amran tasai (1987) bahwa kalimat


efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan
kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca
seperti yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis. Sabarti dkk
(1985) menyatakan bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang jelas
dan baik, serta mudah dipahami orang lain.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kalimat dika-
takan efektif apabila kalimat itu mudah dipahami dan sesuai dengan
makna yang dikandung dalam kalimat itu sendiri, sehingga penerima
kalimat memahami dengan tepat maksud penyampai kalimat. Selain
itu, kalimat efektif harus mencerminkan pemakaian kaidah bahasa
yang benar.
Memang tidak mudah untuk mencapai kefektifan kalimat, tetapi
paling tidak kita berusaha agar kalimat yang kita buat tidak mempu-
nyai makna ganda ataupun rancu. Dengan demikian, kita terhindar
dari pembuatan kalimat yang bertele-tele dan menjenuhkan pembaca.
Di sinilah perlunya kecermatan kita dalam membuat setiap kalimat
yang akan kita masukkan ke karangan.
Untuk membuat kalimat menjadi efektif, ada beberapa hal
yang perlu kita perhatikan, yaitu:

DASAR-DASAR MENULIS
60 dengan Penerapannya
1) kesepadanan dan kesatuan antara struktur bahasa dengan jalan
pikiran yang bisa diterima atau masuk akal;
2) kesejajaran bentuk bahasa yang digunakan;
3) penekanan bagian tertentu dalam kalimat yang dimaksudkan
untuk memperjelas dan mengungkapkan ide pokok;
4) kehematan dalam memakai kata, sesuai dengan muatan yang
dikehendaki kalimat; dan
5) kevariasian atau keragaman dalam cara pengungkapan yang
dimaksudkan untuk menimbulkan daya tarik dan menghindari
adanya kebosanan atau kejenuhan.

Dalam sebuah kalimat dituntut adanya kejelasan unsur-unsur


kalimat, yaitu: subjek, predikat, objek, dan keterangan. Suatu kalimat
minimal harus ada subjek dan predikat. Subjek berarti inti
pembicaraan; predikat berarti unsur yang berfungsi sebagai penjelas
dan pencerita terhadap inti pembicaraan itu.
Marilah kita perhatikan beberapa contoh berikut ini:
1) Kita mendambakan kedamaian dalam hidup
2) Para pelajar merupakan bagian generasi muda
3) Film yang bermutu itu berhasil memukau ribuan penonton
4) Aulia Akbar menjadi juara pertama dalam pertandingan catur di
kecamatan itu.

Bagian yang dicetak miring di atas disebut subjek (inti


pembicaraan); bagian lainnya merupakan predikat yang disertai objek
dan keterangan.
Selanjutnya, perhatikan pula kalimat-kalimat di bawah ini:
1) Kepada para petani diharap mendaftarkan diri di KUD
2) Di dalam musyawarah itu merupakan bukti kerja sama antar-
warga desa itu
3) Di sekolah-sekolah sudah mempunyai perpustakaan
4) Daripada emas cincin itu dibuat.

Kalimat-kalimat di atas tampak janggal, subjeknya kurang jelas,


sehingga kurang mencerminkan jalan berpikir yang baik. Kalimat-
kalimat itu dapat kita ubah agar menjadi jelas dan mudah dipahami.
1) Para petani diharapkan mendaftarkan diri ke KUD
2) Musyawarah itu merupakan bukti kerja sama antarwarga desa
itu

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
61
3) Sekolah-sekolah sudah mempunyai perpustakaan
4) Cincin itu dibuat dari emas.

Jika kita ingin menggabungkan dua buah kalimat menjadi


sebuah kalimat, maka kalimat yang merupakan hasil penggabungan
itu hendaknya jangan sampai bertele-tele. Bila dalam penggabungan
itu kita memakai kata dan, hasilnya ialah kalimat majemuk setara;
jika kita menggunakan kata yang, hasilnya ialah kalimat majemuk
bertingkat, maksudnya, kalimat yang baru itu terdiri dari induk
kalimat dan anak kalimat. Seperti penggabungan berikut ini:
1) Petani di Desa tambangan merasakan bahwa hasil panen tahun
ini menurun
2) Peningkatan hasil panen merupakan tugas berat para PPL.

Kedua kalimat di atas dapat digabungkan menjadi sebuah


kalimat sebagai berikut:
– Petani di Desa Tambangan merasakan bahwa hasil panen
tahun ini menurun dan menurun dan peningkatannya
merupakan tugas berat para PPL.

Kita perhatikan lagi contoh penggabungan berikut:


1) Kongres Bahasa Indonesia V diadakan di Jakarta
2) Kongres itu membicarakan berbagai masalah yang berkaitan
dengan bahasa Indonesia dan hubungannya dengan pembangunan
nasional.

Kedua kalimat di atas sebaiknya digabungkan menjadi kalimat


berikut ini:
– Kongres Bahasa Indonesia V yang diadakan di Jakarta
membicarakan berbagai masalah yang berkaitan dengan
bahasa Indonesia dan hubungannya dengan pembangunan
nasional.

Untuk menjaga keutuhan pikiran yang terkandung dalam


sebuah kalimat, harus diperhatikan penggunaan kata-kata yang
menyatakan sebab, waktu, akibat, dan tujuan. Penggunaan kata
karena menyatakan sebab. Contohnya:
1) Karena kebakaran besar melanda desa itu, warga desa mengungsi
ke pulau seberang

DASAR-DASAR MENULIS
62 dengan Penerapannya
2) Karena pekerjaan di tempat itu dapat memberikan jaminan
hidup yang layak untuk keluarganya, ia memutuskan akan
mencari pekerjaan di daerah yang baru dibuka itu.

Penggunaan kata ketika menyatakan waktu. Contohnya:


1) Ketika kebakaran besar melanda desa itu, warga desa mengungsi
ke pulau seberang
2) Ketika pekerjaan di tempat itu dapat memberikan jaminan
hidup yang layak untuk keluarganya, ia memutuskan akan
mencari pekerjaan di daerah yang baru dibuka itu.

Penggunaan kata sehingga menyatakan akibat. Hal itu melihat


dari penggabungan dua kalimat berikut ini:
1) Semua tata tertib rapat telah ditetapkan
2) Para anggota KUD tidak semuanya saja mengeluarkan pendapat.

Kedua kalimat di atas menjadi kalimat berikut:


– Semua tata tertib rapat telah ditetapkan, sehingga para
anggota KUD tidak semuanya saja mengeluarkan pendapat.

Penggunaan kata agar atau supaya menyatakan tujuan.


Contohnya:
– Semua tata tertib rapat telah ditetapkan agar para anggota
KUD tidak semuanya saja mengeluarkan pendapat.

Pemakaian kata karena, ketika, sehingga, dan agar/supaya tidak


dapat sembarangan, tetapi semuanya harus mencerminkan jalan
pikiran penulisnya. Jika penulis ingin menyampaikan hal yang menya-
takan sebab, maka ia harus menggunakan kata karena; bila hendak
manyatakan tentang waktu, ia menggunakan ketika; dan penggunaan
kata yang lainnya.
Tampak bahwa pemakaian kata-kata itu mempunyai kaitan
yang erat dengan sejumlah pertanyaan yang dapat muncul dalam
menghadapi suatu pembicaraan.
Apa sebab terjadi begitu? Kata karena dapat dipakai untuk
menjawabnya. Kapan peristiwa itu terjadi? Kata ketika lebih cocok
digunakan. Demikian pula untuk kata-kata yang lainnya.
Pemakaian kata terjemahan di mana (where) dan yang mana
(which) sering salah. Contohnya sebagai berikut:

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
63
1) Desa di mana ia dilahirkan, sekarang telah mengalami kemajuan
yang pesat
2) Para pelajar memerlukan perpustakaan yang mana perpustakaan
itu harus dapat mencukupi buku-buku dan bahan bacaan lainnya
untuk menunjang keberhasilan belajar mereka
3) Seorang penulis pemula sebelum mengarang sebaiknya membuat
kerangka karangan yang cukup terperinci, untuk mana diperlukan
kecermatan dan ketekunan
4) Setelah kita mendengarkan dan meresap kan pengarahan yang
mana dikemukakan oleh Pak Lurah, maka jelaslah hal yang akan
kita kerjakan dalam pemugaran bangunan tua yang bersejarah
itu.

Dalam pemakaian kata di mana dan yang mana yang seharus-


nya digunakan untuk kalimat tanya, ternyata telah menyimpang.
Bahkan sering kita temui berbagai penggunaannya yang mengagetkan,
seperti kata untuk mana, dari mana, dan hal mana. Hal semacam itu
dapat mengaburkan makna atau maksud kalimat.
Kita juga perlu memerhatikan panjang-pendek kalimat. Sebuah
kalimat tidak mesti selalu panjang atau selalu pendek. Kita membuat
kalimat yang panjang karena memang diperlukan. Sebaliknya, kita
menyusun kalimat pendek karena situasinya memang tepat. Yang
penting ialah bahwa dalam pembentukan kalimat, jangan sampai
terjadi penumpukan ide pokok. Jika sejumlah ide pokok telah ter-
tumpuk, sewajarnya dipecah atau dibagi ke dalam beberapa kalimat,
sehingga untuk setiap kalimat mempunyai satu ide pokok.
Marilah kita perhatikan contoh berikut.
– Daerah Batu Benawa Pagat dikenal sebagai daerah wisata
yang amat menonjol di Kalimantan Selatan, letaknya sekitar
165 km dari Banjarmasin, alamnya yang indah dan air
sungai nya yang jernih, batu-batu yang kukuh melekat di
tepi sungai dan beberapa di antaranya tepat terletak di
tengah sungai dan konon Batu Benawa Pagat menyimpan
suatu cerita tentang Raden Pengantin yang durhaka kepada
ibunya.

Kalimat di atas terlalu panjang dan ide-ide pokoknya saling


berdesakan. Kalimat tersebut dapat dipecah menjadi beberapa kali-
mat.

DASAR-DASAR MENULIS
64 dengan Penerapannya
– Daerah Batu Benawa Pagat dikenal sebagai daerah wisata
yang amat menonjol di Kalimantan Selatan. Letak daerah
itu sekitar 165 km dari Banjarmasin. Alamnya yang indah
dan air sungai nya yang jernih. Ada batu-batu yang kukuh
melekat di tepi sungai dan beberapa di antaranya berada di
tengah sungai. Konon Batu Benawa Pagat menyimpan suatu
cerita tentang Raden Pengantin yang durhaka kepada ibunya.

Penumpukan ide pokok dapat terjadi karena ketidaksengajaan


atau keasyikan, sehingga bermacam ide pokok muncul seketika serta
langsung dituangkan ke dalam kalimat yang teramat panjang. Karena
itu, kita perlu meninjau kembali setiap ide yang muncul untuk ditata
sedemikian rupa. Sebuah kalimat yang terlalu panjang dan mengan-
dung beberapa ide pokok, sebaiknya kita pecah menjadi beberapa
kalimat agar dapat memperjelas tiap-tiap ide pokok yang disampai-
kan. Dengan demikian, pembaca merasa dituntun untuk memahami
kalimat demi kalimat, tanpa harus berpikir dua-tiga kali.
Persyaratan kedua agar kalimat menjadi efektif ialah adanya
kesejajaran bentuk bahasa yang digunakan. Kesejajaran bentuk bahasa
yang dimaksud ialah adanya kesamaan bentuk kata yang digunakan
dalam kalimat. Apabila kita menggunakan awalan me- pada bentuk
pertama, maka pada bentuk kedua dan seterusnya kita juga
menggunakan awalan me-. Sebaliknya, jika kita menggunakan awalan
di-, maka untuk seterusnya kita gunakan awalan di-. Mari kita perha-
tikan contoh berikut.
1) Ia mengambil tas itu kemudian menyerahkannya kepada anak
kecil
2) Kita semua tentu mendambakan kedamaian, ketenangan, dan
kesejahteraan hidup
3) Bangunan yang bersejarah itu memerlukan pemeliharaan dan
pemugaran
4) Kepala sekolah mengharapkan agar para pelajar dapat mematuhi
tata tertib sekolah
5) Segala nasihat orang tua memang sewajarnya didengarkan,
dicamkan, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila tidak ada kesejajaran dalam kalimat, maka akan dapat


menimbulkan kejanggalan, walaupun tidak mengaburkan makna

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
65
kalimat secara keseluruhan. Mari kita perhatikan contoh di bawah
ini.
1) Media komunikasi memberikan segala informasi yang berharga,
penanaman sikap ingin tahu, peningkatan daya pikir, dan
mendidik kepada setiap orang akan pentingnya media komunikasi
sebagai media untuk menambah ilmu pengetahuan
2) Rotan-rotan itu dikumpulkannya, lalu diikat nya dengan tali
kemudian diletakkannya di teras rumah untuk menjualnya ke
pasar.

Kedua kalimat di atas dapat kita perbaiki menjadi berikut ini.


1) Media komunikasi memberikan segala informasi yang berharga
menanamkan sikap ingin tahu, meningkatkan daya pikir, dan
mendidik kepada setiap orang akan pentingnya media komunikasi
sebagai media untuk menambah ilmu pengetahuan
2) Rotan-rotan itu dikumpulkannya, lalu diikat nya dengan tali
kemudian diletakkannya di teras rumah untuk di jualnya ke
pasar.

Dengan adanya kesejajaran bentuk yang digunakan dalam


kalimat, maka secara langsung mencerminkan kecermatan dan keje-
lasan makna kalimat. Pembaca akan merasa lebih mudah memahami
hal yang dimaksudkan penulis.
Bila hal itu kita kaitkan dengan banyaknya bentukan baru
yang semakin berkembang sekarang, maka dalam membuat kalimat
kita dapat lebih cermat dan hati-hati. Ada kata ketidakadilan, ketidak-
beresan, ketidaknyamanan, ketidakbersihan, kekurang-stabilan,
kekurangmapanan, keku angserasian, dikambinghitamkan, dirumah-
kan, dikemukakan, diketengahkan, dialihbahasakan, dimasyarakat-
kan, dipetieskan, dan sebagainya. Jika bentukan-bentukan itu hanya
satu buah dipakai kalimat, maka tidak akan menimbulkan keraguan.
Mari kita perhatikan contoh berikut ini.
1) kekurangstabilan ekonomi di desa itu disebabkan oleh tingkah
laku para tengkulak
2) Perkara itu jangan sampai dipetieskan
3) Ketidakbersihan lingkungan dapat menimbulkan berbagai bibit
penyakit
4) Pendapat itu dikemukakannya secara jelas dan tegas

DASAR-DASAR MENULIS
66 dengan Penerapannya
Persyaratan ketiga agar kalimat menjadi efektif ialah adanya
penekanan bagian tertentu dalam kalimat. Penekanan dilakukan agar
kalimat dapat lebih jelas.
Dalam penggunaan bahasa secara lisan pembicara mengungkap-
kan hal yang dipentingkan dengan bantuan tinggi-rendah dan keras-
lemahnya suara, serta dapat pula dengan cara mengulang kata-kata
tertentu atau bagian yang dipentingkan.
Dalam penggunaan bahasa secara tertulis penekanan dilakukan
dengan berbagai cara. Ada penekanan dengan cara menempat-kannya
pada awal kalimat; ada penekanan dengan cara mengulang kata-
kata tertentu; ada penekanan dengan partikel pun atau lah; ada
dengan cara atau gaya mempertentangkan nya; dan ada dengan cara
mengurutkan bentukan tertentu untuk menyesuaikannya dengan jalan
pikiran yang benar.
Penekanan dengan menempatkan bagian yang dipentingkan pada
awal kalimat dapat kita lihat pada contoh berikut ini.
1) Kemampuan menulis pada hakikatnya tidak selalu ditentukan
oleh tinggi-rendahnya latar belakang pendidikan
2) Membaca merupakan salah satu kebutuhan manusia
3) Kegiatan Pramuka sudah memasyarakat sampai ke desa-desa
terpencil
4) Para tokoh masyarakat di desa itu menurut rencana akan
menyelenggarakan musyawarah untuk membicarakan kemung-
kinan didirikannya perpustakaan yang dapat dimanfaatkan oleh
segenap warga desa
5) Program Keluarga Berencana harus dilaksanakan secara terpadu,
sehingga akan dicapai tujuan yang telah ditetapkan.

Kelima kalimat di atas dapat kita ubah letak tekanannya,


sehingga unsur yang menjadi inti kalimat tetap dikedepankan. Peru-
bahan kelima kalimat itu ialah sebagai berikut.
1) Pada hakikatnya kemampuan menulis tidak selalu ditentukan
oleh tinggi-rendahnya latar belakang pendidikan
2) Salah satu kebutuhan manusia ialah membaca
3) Sampai ke desa-desa terpencil kegiatan Pramuka sudah
memasyarakat
4) Menurut rencana, Para tokoh masyarakat di desa itu akan
menyelenggarakan musyawarah untuk membicarakan kemung-

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
67
kinan didirikannya perpustakaan yang dapat dimanfaatkan oleh
segenap warga desa
5) Harus dilaksanakan secara terpadu program Keluarga Berencana,
sehingga akan dicapai tujuan yang telah ditetapkan.

Kita dapat pula menekankan hal tertentu dengan cara mengu-


lang kata atau kelompok kata dalam kalimat. Misalnya dalam kalimat
berikut.
1) Kita tidak boleh berpangku tangan dalam meraih cita-cita sebab
cita-cita keluar dari lubuk hati yang terdalam disertai tekad
untuk maju; tanpa belajar dan bekerja keras; mustahil cita-cita
akan menjadi kenyataan.
2) Sembahyang berarti mendidik jiwa agar menjadi suci; dengan
sembahyang, seseorang akan merasa betapa kecil dirinya di
hadapan Tuhan yang maha besar; dengan sembahyang akan
mendidik seseorang untuk menghargai waktu dan tata tertib
kehidupan; sembahyang memang cara yang paling tepat untuk
meningkatkan kualitas kemanusiaan.
3) Kemewahan bukan berarti lambang kebahagiaan; kemewahan
akan dapat membawa seseorang ke arah perilaku yang tidak
terpuji; kemewahan adalah gemerlapnya nilai-nilai kebendaan;
dan kemewahan hanya sebagai lambang ketidakpuasan.

Penekanan dalam kalimat dengan menggunakan partikel pun


atau lah dapat kita lihat pada contoh berikut ini.
1) Hasan pun setuju dengan pendapat Karim tentang perlunya
para pemuda membekali diri dengan berbagai keterampilan.
2) Seluruh soal itu dijawab Amir dengan teliti, sehingga tidak satu
pun jawabannya salah.
3) Si Tonilah yang berhasil meraih peringkat pertama di kelas itu
4) Kota Martapuralah yang dikenal sebagai Kota Intan di Indone-
sia karena di sanalah banyak terdapat tambang intan

Penulis dapat juga mempertentangkan suatu maksud yang


diungkapkan dengan kata-kata yang menarik untuk menekankan
bagian yang menjadi inti kalimat. Contohnya sebagai berikut.
1) Orang yang kaya itu tidak sombong dan kikir, tetapi ramah dan
dermawan

DASAR-DASAR MENULIS
68 dengan Penerapannya
2) Hairani sebagai pelajar teladan di sekolah itu tidak memen-
tingkan diri sendiri, tetapi dia suka bekerja sama dengan teman-
teman dalam rangka memajukan sekolahnya
3) Kita sama sekali tidak dibenarkan untuk melupakan dan tidak
menghargai jasa para pahlawan yang telah berkorban demi
tegaknya kemerdekaan, tetapi kita harus mengenang nya dan
kita isi kemerdekaan ini dengan belajar dan bekerja keras,
sebagai tanda penghargaan kita atas segala pengorbanan yang
mereka berikan

Untuk memperjelas makna suatu kalimat, seorang penulis dapat


membuat urutan kata yang menciptakan ketepatan jalan pikiran yang
diungkapkan. Contohnya seperti di bawah ini.
1) Jika ia menerima undangan untuk sarasehan iut, ia akan meng-
hargai, menghadiri, dan mengikutinya dengan penuh kesungguhan
2) Pengusaha rotan itu telah memberikan uangnya untuk pemba-
ngunan pesantren, bukan puluhan ribu rupiah, bukan pula
ratusan ribu rupiah, tetapi telah menjadi jutaan rupiah

Selain sejumlah cara penekanan di atas, ada satu cara penekanan


dalam kalimat, yaitu penekanan dengan cara mengulang bentuk yang
ber sinonim atau berdekatan maknanya, baik yang terdiri dari satu
kata ataupun kelompok kata. Hal itu dapat digolongkan sebagai
gaya pengungkapan seorang penulis. Mari kita perhatikan contoh
berikut.
1) Setiap orang mendambakan hidup yang sejahtera, hidup yang
layak, hidup yang makmur, dan hidup yang terpenuhi segala
kebutuhan sehari-hari
2) Mahasiswa hendaknya melatih diri untuk berpikir cermat, ber-
pikir rasional, berpikir teratur, berpikir jauh ke depan, dan
berpikir sesuai dengan kedudukannya sebagai insan terdidik
3) Anak hendaknya dididik untuk berlaku jujur, tidak berdusta,
tidak berbohong, berkata benar, dan menyatakan sesuatu yang
bertentangan dengan isi hatinya

Persyaratan yang keempat dalam menyusun suatu kalimat


efektif ialah adanya kehematan dalam menyusun atau memakai kata,
sesuai dengan muatan atau kandungan makna yang terdapat dalam

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
69
kalimat. Kata atau kelompok kata yang memang tidak perlu, haruslah
dibuang. Untuk melakukan penghematan, diperlukan kecermatan
dan daya berpikir yang teliti. Penghematan bukan berarti kita tidak
boleh membuat kalimat yang panjang. Kita mengetahui bahwa jika
dikatakan kalimat panjang, berarti banyak memuat kata. Pada prinsip-
nya yang perlu diperhatikan ialah penting-tidaknya atau tepat-tidaknya
suatu bentukan dimuat dalam kalimat.
Kehematan memakai kata dalam kalimat secara langsung
merupakan pertanda ketidaksimpangsiuran suatu kalimat dan seka-
ligus mencerminkan ketegasan hal yang akan disampaikan penulisnya.
Mari kita perhatikan contoh berikut ini
1) Para siswa segera tenang setelah mereka mengetahui wali kelas
datang
2) Sekelompok pemuda itu segera mengubah rencananya setelah
mereka bertemu dengan kepala desa pagi tadi
3) Abdurrahman ketika berkhotbah di masjid memakai baju lengan
panjang berwarna putih
4) Warna merah muda adalah warna kesayangan Wati
5) Amir menghadiri rapat di balai desa itu hari Senin lalu
6) Mahasiswa dari Universitas Palangka Raya mengadakan
kunjungan ke Universitas Lambung Mangkurat
7) Cincin itu terbuat daripada emas
8) Anak itu turun ke bawah melalui tangga yang telah disediakan
9) Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak yang
telah memberikan bantuan untuk menyelesaikan sengketa tanah
seminggu yang lalu
10) Penyajian cerita dalam novel itu amat menarik sekali

Kalimat-kalimat yang tertera di atas dapat diperbaiki dengan


cara membuang kata-kata atau bagian yang tidak penting (yang ber
cetak miring) agar hemat dan sesuai dengan kaidah bahasa.
Penghematan dapat dilakukan dengan tidak mengulang subjek
kalimat, meneliti makna kata agar tidak mubazir (pemakaian dua
kata yang semakna), dan dengan memerhatikan fungsi suatu kata.
Kata putih berarti sudah termasuk warna; kata turun sudah pula
berarti ke bawah. Kata dari dipakai untuk menyatakan arah (tempat)
dan asal; kata daripada hanya digunakan untuk membandingkan
suatu benda atau hal dengan benda yang lain. Kita harus teliti pula
dalam menggunakan kata agar, supaya, untuk, guna, dan dalam rang-

DASAR-DASAR MENULIS
70 dengan Penerapannya
ka. Kata-kata itu mempunyai makna yang hampir sama. Karena itu,
dalam memasukkannya ke kalimat jangan sampai terulang atau mema-
kainya secara berdampingan. Mari kita perhatikan contoh di bawah
ini.
1) Penyuluhan hukum diselenggarakan agar supaya masyarakat
tidak buta hukum
2) Penyuluhan hukum diselenggarakan dalam rangka untuk mena-
namkan kesadaran masyarakat terhadap hukum
3) Guna untuk lebih menanamkan kesadaran masyarakat terhadap
hukum, maka diselenggarakan lah penyuluhan hukum

Ketiga kalimat di atas dapat kita ubah menjadi:


1) Penyuluhan hukum diselenggarakan agar masyarakat tidak buta
hukum
2) Agar masyarakat tidak buta hukum, maka diselenggarakan penyu-
luhan hukum
3) Penyuluhan hukum diselenggarakan dalam rangka menanamkan
kesadaran masyarakat terhadap hukum
4) Penyuluhan hukum diselenggarakan untuk menanamkan kesa-
daran masyarakat terhadap hukum
5) Guna lebih menanamkan kesadaran masyarakat terhadap hukum,
maka diselenggarakan penyuluhan hukum
6) Untuk lebih menanamkan kesadaran masyarakat terhadap
hukum, maka diselenggarakan penyuluhan hukum

Pada dasarnya upaya penghematan pemakaian kata dalam kali-


mat berjalan seiring dengan proses ketika kita akan menuangkan
kata-kata itu ke dalam bentuk kalimat. Seharusnya tidak terjadi
pembuangan kata atau pergantian kata bila kalimat sudah ditulis.
Hal itu tentu saja memerlukan latihan yang berkesinambungan agar
tidak harus bekerja dua kali, menata kata-kata yang telah kita jadikan
kalimat. Inilah yang dimaksud dengan “berpikir dahulu sebelum
menulis”, sama dengan “berpikir dahulu sebelum berbicara”.
Persyaratan kelima agar kalimat yang dibuat menjadi efektif
ialah adanya kevariasian atau keragaman dalam cara pengungkapan.
Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan kalimat lebih menarik dan
tidak membosankan.

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
71
Untuk membuat variasi atau keragaman dalam kalimat dapat
dilakukan dengan cara memindahkan pola-pola kalimat. Tidak selalu
kalimat dipolakan S-P-O-K, bisa dengan pola P-O-S, O-P-S, K-P-O-
S, dan sebagainya. Yang jelas bahwa pola kalimat jangan sampai
selalu berpola sama. Hal demikian berkaitan dengan kemampuan
kita dalam menggunakan kata-kata. Perbendaharaan kata yang banyak
akan memberikan peluang besar bagi terciptanya kevariasian itu.
Kita dituntut untuk lebih menambah kata-kata sebanyak-banyaknya
agar kita lebih bebas memilih dan merangkainya dalam kalimat.
Dengan demikian, dalam setiap karangan akan terdapat kalimat yang
panjang dan yang pendek. Pembaca merasa enggan untuk berhenti
membaca. Ada semacam kepuasan yang diterima pembaca dalam
menyerap kalimat-kalimat yang dihadapinya. Terkadang kita menggu-
nakan kalimat tanya, kalimat perintah, dan kalimat berita. Kita ajak
pembaca untuk menjawab sendiri permasalahan yang kita sodorkan.
Segala informasi dapat disajikan dengan gaya berita atau mungkin
pembaca diminta untuk berbuat atau berpikir tentang hal yang kita
sajikan. Mari kita perhatikan beberapa kalimat berikut.
1) Di sebelah selatan pulau itu terdapat tambang batu bara yang
kini giat digali oleh pemerintah
2) Kini pemerintah giat menggali tambang batu bara yang terdapat
di sebelah selatan pulau itu
3) Tambang batu bara yang terdapat di sebelah selatan pulau itu
kini giat digali oleh pemerintah
4) Dengan peralatan yang serba modern, pemerintah kini giat
menggali tambang batu bara yang terdapat di sebelah selatan
pulau itu
5) Kita harus menghemat bahan bakar!
6) Apakah kita semuanya saja menggunakan bahan bakar?
7) Penghematan penggunaan bahan bakar memang amatdiperlukan
8) Sudah saatnya kita memikirkan kelestarian hutan di negeri ini
9) Lestarinya hutan berarti andil besar terwujudnya kesejahteraan
umat manusia
10) Dengan gayanya yang khas, Roma Irama tampil di Gelanggang
Remaja Banjarmasin

Kevariasian suatu kalimat akan terasa bila disajikan dalam


bentuk paragraf. Ada kecenderungan bahwa bila kalimat yang dibuat
tidak mencerminkan kevariasian, maka perannya dalam paragraf

DASAR-DASAR MENULIS
72 dengan Penerapannya
menjadi kurang tepat. Secara umum, Paragraf yang terangkai dari
kalimat-kalimat yang tidak bervariasi mengundang kejenuhan dan
tidak dapat membangkitkan minat orang untuk membaca karangan
sampai tuntas.
Dari uraian di atas jelas bahwa untuk membentuk kalimat
efektif, diperlukan berbagai persyaratan. Hal demikian sesuai dengan
hakikat kalimat efektif, yaitu bahwa kalimat efektif harus dapat
mewakili ide penulis secara tepat dan sampai kepada pembaca dengan
mudah. Selain itu, suatu kalimat tidak sekadar untuk dapat dipahami
atau asal dapat dimengerti. Hal itu karena kalimat sebagai bagian
bahasa dalam karangan mempunyai peran yang sangat penting. Kalau
terjadi kalimat terputus, maknanya goyah, maka dapat menimbulkan
berbagai penafsiran pembaca.
Kalimat merupakan hal yang sangat penting, boleh dikatakan
bahwa inti terbentuknya karangan ialah kalimat. Paragraf pun terdiri
atas kalimat-kalimat. Jika semua kalimat telah efektif, maka jelas
bahwa bahasa karangan pun akan terpelihara dan dapat direkam
oleh pembaca.
Untuk membuat kalimat yang efektif, amat ditentukan oleh
kepandaian kita dalam memilih kata. Karena itu, erat sekali
keterkaitan antara pilihan kata dengan penyusunan kalimat.
Penguasaan terhadap cara pemilihan kata yang memadai berarti
memungkinkan kita untuk menyusun kalimat yang mudah diterima
orang lain, yaitu kalimat yang menarik dan mencerminkan muatan
pikiran yang terarah. Tuntutan untuk mengenal banyak kata dan
maknanya secara jelas tidak dapat diabaikan jika kita ingin menyusun
kalimat yang baik. Bagaimana mungkin kita dapat menciptakan
kalimat yang penuh variasi jika penguasaan kosakata kita masih
sangat kurang? Di sini bukan berarti bahwa dengan bekal kata-kata
yang banyak, kita lantas dapat melahirkan sederet kalimat yang sesak
dengan kata-kata atau kalimat yang panjang-panjang.
Dengan bekal kosakata, kita dapat lebih bebas bergerak untuk
memakai kata-kata itu, tanpa harus lama berpikir. Terasa sekali
betapa perlunya kata-kata pada saat kita menulis. Adanya kebuntuan
kita dalam meneruskan karangan kadang-kadang disebabkan oleh
ketidakmampuan kita menemukan kata-kata yang tepat dalam me-
nuangkan ide yang ada pada benak kita. Memang ada saja sejumlah
yang dapat digunakan, tetapi karena tidak menggambarkan keva-
riasian, maka kita urung kan untuk memuatnya. Hal itu tentu

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
73
dimaksudkan agar setiap kalimat yang ada untuk diungkapkan tidak
menjenuhkan. Di situ terlihat kembali betapa erat nya hubungan
antara pilihan kata (diksi) dengan pembentukan kalimat efektif.
Untuk melihat kejelasan hubungan diksi dengan pembentukan
kalimat efektif, di bawah ini terdapat contoh yang menggambarkan
ketidaktepatan dalam diksi sehingga kalimat yang terbentuk menjadi
tidak efektif.
1) Kelemahan manusia sering diingatkan oleh Allah pada setiap
tingkah laku umat manusia sebagaimana lapar, tidur, dan tidak
selamanya manusia gagah segar bugar, tetapi tentu mengalami
sakit juga, kadang-kadang kalau sakitnya sudah sangat lalu
menangis merintih menyesali perbuatannya, menyesali sanak
saudaranya dan akhirnya mati, tidak selamanya kita manusia
dapat menikmati kekayaan, kebanggaan dan kesenangan dunia
tetapi akhirnya berpisah juga apabila sudah mati. (dikutip dari
teks Khotbah Jum’at).
2) Bagaimana pun utamanya petunjuk-petunjuk atau nasihat-nasihat
dari orang lain, namun kalau sifat takabur menguasai dalam hati
seseorang, maka manusia tidak mau mengindahkan nasihat-
nasihat orang lain, justru karena merasa dirinya lebih baik,
maka yang tampak dalam pikirannya hanya cela-cela orang lain,
tetapi tidak mengetahui cela-celanya sendiri dan sesungguhnya
sifat takabur adalah sifatnya Allah. (Dikutip dari teks Khotbah
Jumat).
3) Dengan mengambil pengertian syukur seperti yang telah kita
kemukakan itu, berarti para nelayan hendaklah berusaha mening-
katkan penghasilannnya dalam mencari ikan di laut dengan
jalan mengikuti penyuluhan yang telah diberikan oleh pemerintah
dan mengikuti cara baru yang sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, bukan hanya mengikuti cara-cara tradisional
yang telah kita dapati dari nenek moyang kita saja. (Dikutip
dari teks Khotbah Jumat).

Ketiga kalimat di atas tidak efektif. Kalimat itu terlalu panjang


dan banyak kata yang dipakai tidak tepat. Ide kalimat tampak ber-
desak-desak. Sebaiknya kalimat-kalimat itu dipecah ke dalam kalimat-
kalimat yang sederhana. Dari situ tampak adanya pemilihan kata
yang kurang mantap sehingga terbentuklah kalimat yang sudah

DASAR-DASAR MENULIS
74 dengan Penerapannya
dipahami. Pembaca dituntut untuk memeras otak guna menangkap
makna yang ingin disampaikan penulis.
Ketidakefektifan ketiga kalimat itu, mungkin disebabkan adanya
ketidakjelian penulis dalam membatasi ide-ide yang ingin
disampaikan. Jika ide-ide itu disusun, diurut, dan dikemukakan satu
per satu,tentu tidak akan terjadi kejanggalan. Mungkin karena itulah
penulis kurang menguasai kaidah bahasa, yang semestinya secara
garis besar dikuasai oleh mereka yang menuangkan segala pikirannya
melalui tulisan.
Kita melihat bahwa kalimat pertama pada contoh tersebut
sebenarnya dapat disempurnakan dengan membaginya ke bentuk
kalimat-kalimat yang pendek, padat, dan sesuai dengan jalan pikiran
yang tepat. Untuk itu, diperlukan perubahan yang cukup banyak,
walau intinya tetap berkisar tentang kelemahan manusia. Mari kita
lihat perbaikan kalimat yang pertama tersebut.

Manusia memiliki banyak kelemahan. Allah sering mengingatkan tentang


adanya kelemahan-kelemahan tersebut. Manusia bisa merasa lapar,
menghajatkan tidur, dan terkadang merasa sakit, tak ada yang terus
segar-bugar. Jika manusia mengalami sakit yang berat, dia menangis,
merintih, menyesali perbuatannya, menyesali sanak-saudaranya, dan
akhirnya mungkin dia mati. Manusia tidak selamanya dapat menikmati
kekayaan, kebanggaan, dan kesenangan dunia. Akhirnya, manusia
berpisah juga dengan dunia atau mati.

Jika kalimat yang pertama sangat panjang dengan jumlah kata


58 Buah, maka kalimat kedua juga masih terlalu panjang dengan
jumlah kata 51 buah. Kalimat pertama dapat dipecah menjadi lima
kalimat, sedangkan kalimat kedua dengan segala perubahannya
dipecah menjadi tiga kalimat. Mari kita lihat pecahkan kalimat kedua
tersebut.
Jika sifat takabur menguasai seseorang, maka orang itu tidak akan meng-
indahkan nasihat-nasihat orang lain. Dia merasa lebih baik, yang tampak
dalam pikirannya hanya cela-cela orang lain, tetapi tidak mengetahui
cela-cela dirinya. Sesungguhnya sifat takabur adalah sifat yang hanya
dimiliki Allah.

Kalimat ketiga di atas juga terlalu panjang dan bertele-tele.


Jumlah kata dalam kalimat itu ada 54 buah. Makna yang terkandung

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
75
dalam kalimat itu berkisar tentang “perlunya nelayan bekerja lebih
giat lagi untuk meningkatkan penghasilannya”. Kalimat itu sebaiknya
diubah atau dipecah sedemikian rupa agar jelas hal yang hendak
disampaikan penulisnya. Kalimat itu mencerminkan ketidaktepatan
diksi, ketidakhematan pemakaian kata, dan ketidaksepadanan unsur-
unsur kalimat. Mari kita lihat perubahan kalimat ketiga itu.
Makna bersyukur bagi para nelayan berarti mereka harus berusaha
meningkatkan penghasilan. Segala penyuluhan yang diberikan oleh
pemerintah harus diikuti. Cara-cara tradisional yang selama ini
diterapkan para nelayan tidak memadai, sehingga sudah saatnya untuk
disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang.

Dengan memerhatikan ketiga kalimat di atas serta perbaikan


dan perubahannya, maka jelas bahwa masalah pilih-memilih kata
merupakan hal yang cukup mendasar. Kata-kata yang begitu saja
dirangkai dan disambung tanpa kendali mengakibatkan kalimat yang
terwujud tidak jelas, sehingga lahirlah kalimat yang tidak efektif.
Kalimat yang tidak didasarkan pada kehematan dapat diartikan seba-
gai pemborosan kata. Kalimat yang tidak mencerminkan adanya
kesejajaran berarti penulisnya belum menguasai secara tentang kata
dengan segala bentuk perubahannya.
Pengalaman menunjukkan bahwa kita sering membaca karangan
yang kalimat-kalimatnya tidak efektif. Kita baru memahami hal yang
disampaikan penulis setelah cukup lama memikirkan kembali kalimat
yang kita baca itu. Apabila sudah terdapat kelambatan pemahaman
itu, besar kemungkinan kalimatnya ada yang tidak efektif. Bukankah
kita selalu berhasrat menyajikan hal yang terbaik, yang sesuai untuk
orang lain?
Salah satu cara agar hal yang kita tulis dapat tersajikan dengan
baik ialah dengan cara penyuguhan kalimat-kalimat yang mudah
dicerna dan tidak menimbulkan makna ganda. Kita sebaiknya, mem-
baca ulang semua kalimat yang kita tulis. Bila memang diperlukan
perbaikan, maka kita perbaiki. Tidak jarang ada kalimat yang perlu
perubahan. Upaya membaca atau melihat kalimat kita lakukan karena
kita selalu memikirkan orang lain, pembaca yang akan menikmati
karangan kita secara menyeluruh.

DASAR-DASAR MENULIS
76 dengan Penerapannya
5.3 Paragraf dan Pengembangannya
Menurut Poerwadarmita (1979) bahwa paragraf adalah kesa-
tuan yang terdiri beberapa kalimat. Gorys keraf (1980) dalam Kom-
posisi mengemukakan bahwa paragraf merupakan himpunan dari
kalimat-kalimat yang bertalian dalam suatu rangkaian untuk memben-
tuk sebuah gagasan atau topik. Zainal Arifin dan Tasai (1987) menya-
takan bahwa paragraf adalah satuan bahasa yang membicarakan
suatu gagasan atau topik. Biston dkk (1985) menyatakan bahwa
paragraf adalah kelompok kalimat atau kesatuan dari keseluruhan
arus ujaran.
Dengan memerhatikan sejumlah pengertian tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa paragraf atau alinea adalah satuan yang
berisi suatu gagasan yang terdiri lebih dari satu kalimat. Dapat kita
katakana bahwa paragraf adalah gabungan dari beberapa kalimat,
walaupun masih ada sebuah paragraf yang berisi satu kalimat. Hal
itu sebenarnya kurang tepat, apalagi jika dikaitkan dengan istilah
bahwa sebuah paragraf merupakan suatu bentuk karangan mini.
Meskipun sebuah paragraf terdiri dari beberapa kalimat, semua
kalimat itu saling berkaitan dan hanya berisi satu gagasan. Karena
itu, tidak mungkin dua gagasan dituangkan ke dalam satu paragraf.
Kedudukan setiap kalimat dalam suatu paragraf berbeda-beda.
Ada yang berfungsi sebagai kalimat utama. Jika sebuah paragraf
terbentuk dari tiga kalimat, maka ada dua kalimat yang berfungsi
sebagai penjelas dan satu kalimat yang berfungsi sebagai kalimat
utama. Ada paragraf yang terbentuk tanpa kalimat utama, semua
bersifat sama penting membentuk paragraf yang utuh.
– Kalimat utama yang terdapat di awal paragraf
Kemerdekaan kita peroleh dengan segala pengorbanan. Betapa banyak
pahlawan yang gugur di medan perang. Mereka rela mati demi meraih
kebebasan yang lama hilang ditelan keangkuhan penjajahan. Tak ada
seorangpun dari pejuang kita yang berpaling muka dari penderitaan
bangsanya. Karena itu, sudah selayaknya kita menghargai jasa mereka
dan mengisi kemerdekaan ini dengan belajar dan bekerja keras.
– Kalimat utama yang terdapat di tengah paragraf
Keadaan desa itu jauh berbeda jika dibandingkan dengan sepuluh
tahun yang lalu. Jalan-jalan yang dulu tampak rusak berat, kini telah
beraspal dan mulus. Bangunan baru bermunculan menghiasi desa.
Berbagai perubahan menandai keberhasilan pembangunan desa tersebut.

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
77
Semua warga desa merasakan hasil pembangunan. Mereka dapat
menikmati terang-benderang nya lampu pada malam hari. Mereka dengan
leluasa bias menyaksikan acara televise. Kemajuan lain yang cukup berarti
ialah dengan masuknya Koran yang setiap hari menyajikan berbagai cerita
dan informasi.
– Kalimat utama yang terdapat di akhir paragraf
Setiap hari hendaknya ada kegiatan bermanfaat yang kita lakukan.
Membaca buku-buku dan surat kabar bermutu merupakan kebiasaan
yang baik. Dengan membaca, kita memperoleh berbagai masukan yang
berharga. Tak ada waktu yang lewat tanpa arti. Memang hidup merupakan
lapangan buat berkarya.
– Kalimat utama di awal dan akhir paragraf
Keikutsertaan segenap lapisan masyarakat dalam usaha penyuksesan
program Keluarga Berencana sangat diharapkan. Sudah saatnya
masyarakat lebih mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera. Kesadaran
masyarakat dalam ber-KB kini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan
pada saat awal dicanangkan nya program KB. Kalau dulu banyak terdengar
suara yang tidak menyetujui adanya program KB sekarang sudah tidak
terdengar lagi. Masyarakat semakin yakin dengan tujuan digalakkannya
program KB. Hanya saja dalam pelaksanaannya hendaknya selalu
diarahkan agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup di masya-
rakat. Hal ini perlu diperhatikan karena keikutsertaan seluruh anggota
masyarakat tak dapat diabaikan.
– Paragraf tanpa kalimat utama
Anak itu tampak gembira sekali. Wajahnya berseri dan sesekali
tersungging senyum di bibirnya. Terkadang dia berlari-lari kecil dan
melompat-lompat kegirangan. Hari itu ia mengenakan baju baru. Karena
sangat gembira, dia memeluk ayah dan ibunya.

Pada umumnya, kebanyakan penulis lebih terbiasa meletakkan


kalimat utama pada awal paragraf. Mungkin hal itu dirasakan lebih
mudah daripada meletakkannya pada akhir paragraf. Yang terpenting
ialah bahwa suatu paragraf mempunyai gagasan inti. Jika kalimat
utama dalam paragraf dibuat secara tersirat atau tidak tersurat,
maka hal demikian cocok untuk karangan cerita atau deskripsi khu-
sus. Suatu paragraf tentunya mempunyai kalimat utama. Dengan
adanya kalimat utama itulah pembaca akan dapat membutiri makna
paragraf secara mudah dan tepat. Dengan kata lain, dengan kalimat
utama itu pembaca akan memperoleh inti bahasan yang dikemukakan
penulis.

DASAR-DASAR MENULIS
78 dengan Penerapannya
Hal yang perlu kita perhatikan ialah bahwa penulis mungkin
tidak secara sadar menyatakan dan memikirkan akan adanya kalimat
utama dalam paragraf-paragraf yang dibuatnya. Apalagi bagi penulis
yang sudah banyak pengalaman, semua bentuk pengungkapan bahasa
dalam karangan berjalan lancer sekali, mulai memilih kata, menyusun
kalimat, dan sampai membentuk paragraf bagi mereka hal itu keluar
dengan sendirinya, bahkan cukup teratur serta mudah untuk dipahami
pembaca.
Bagi penulis pemula, sebaiknya mempelajari tentang wujud
bahasa karangan yang baik, termasuk cara pembentukan paragraf.
Dengan demikian, tidak akan terjadi tumpang-tindih pikiran utama
yang mengisi paragraf. Apabila ada penumpukan kalimat utama dalam
sebuah paragraf, hal ini merugikan penulis. Sebaiknya kalimat utama
yang lebih dikembangkan lagi menjadi paragraf yang baru. Hal
demikian akan berpengaruh pada upaya pengembangan paragraf
sebagai perluasan karangan. Dengan demikian, kemacetan penuangan
pikiran dapat teratasi, sehingga secara langsung diperoleh hal yang
harus diisi dalam paragraf yang akan ditulis.
Sebuah paragraf yang baik harus mempunyai kesatuan, dalam
arti bahwa kalimat-kalimat dalam paragraf itu saling berkaitan dan
hanya membicarakan satu pokok bahasan. Seluruh kalimat harus
mencerminkan kekompakan, tidak ada kalimat yang lepas atau tidak
berfungsi. Di samping itu, sebuah kalimat yang baik harus dapat
merinci kan pokok pembicaraan secara jelas dan terarah.
Bagaimana kesatuan paragraf yang tertulis berikut ini?
Banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya kenakalan remaja.
Orang tua sebagai lingkungan terdekat harus dapat mendidik anak-
anaknya. Pendidikan yang dilakukan harus bijaksana dan memperhatikan
serta mengenal ciri-ciri kehidupan remaja. Dengan demikian, diharapkan
dapat menekan munculnya berbagai kenakalan remaja. Faktor lingkungan
luar keluarga turut memengaruhi pembentukan sikap dan perilaku anak.
Kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan dan pembinaan bagi
kehidupan anak tentu harus ditingkatkan. Remaja perlu juga dilatih untuk
dapat memanfaatkan waktu sehari-harinya dengan kegiatan yang terarah.
Faktor pemanfaatan waktu ini juga bila tidak diarahkan dapat merupakan
penyebab munculnya kenakalan remaja.

Paragraf di atas tidak menunjukkan adanya kesatuan. Gagasan


yang ingin ditonjolkan dalam paragraf itu berkisar tentang faktor-

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
79
faktor yang melatarbelakangi munculnya kenakalan remaja (tampak
pada kalimat awal). Sebenarnya faktor-faktor yang akan disebutkan
ada pada paragraf itu, tetapi karena tidak disusun dan dirumuskan
secara cermat, maka peran masing-masing kalimat kurang jelas.
Tampak pula adanya suatu pokok pikiran yang seharusnya tidak
baik untuk dimasukkan, ada dalam paragraf itu. Kalimat “Pendidikan
yang dilakukan harus bijaksana dan memerhatikan serta mengenal
cirri-ciri kehidupan remaja” sebaiknya dilepas, bahkan mungkin dapat
diuraikan dalam paragraf lain.
Paragraf tersebut dapat kita perbaiki sehingga mempunyai
kesatuan seperti dibawah ini.
Banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya kenakalan remaja. Peran
orang tua atau keluarga merupakan faktor utama yang memengaruhi
tingkah laku seorang remaja. Faktor lingkungan pergaulan remaja di
luar keluarganya sedikit banyak memengaruhi munculnya kenakalan
remaja itu sendiri. Faktor lain yang cukup besar pengaruhnya adalah
tentang pemanfaatan waktu, yang apabila tidak diisi dengan kegiatan
positif, tentu membuka kemungkinan timbulnya perilaku-perilaku yang
menyimpang dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Selanjutnya, bagaimana kejelasan urutan pikiran dalam para-


graf di bawah ini?
Orang tua perlu menyediakan buku cerita bagi anak-anaknya. Ada
banyak manfaat yang bisa dirasakan oleh anak-anak bila mereka gemar
membaca cerita-cerita. Dengan kegiatan ini, anak dapat mengisi waktu-
nya sebaik mungkin dan tidak melupakan kesempatan mereka untuk
bermain dan bergaul dengan teman-temannya. Membaca buku cerita
yang bermutu dan sesuai dengan tingkat usia anak dapat mendorong
mereka untuk memulai hidup teratur, tertib, dan memupuk rasa kemanu-
siaan yang tinggi, yang mampu menyerap pesan-pesan berharga dari
setiap cerita yang dibacanya dapat menjadikannya sebagai bahan renungan
dan teladan dalam berbuat.

Paragraf di atas perlu diperbaiki dan kalimat-kalimatnya harus


ditata sehingga lebih jelas serta gagasannya akan mudah dipahami.
Perbaikannya sebagai berikut:
Orang tua perlu menyediakan buku cerita bagi anak-anaknya.
Banyak manfaat yang dirasakan oleh anak-anak bila mereka gemar
membaca buku cerita. Dengan kegiatan itu, anak-anak dapat mengisi

DASAR-DASAR MENULIS
80 dengan Penerapannya
waktunya sebaik mungkin, walaupun tak dilupakan kesempatan mereka
untuk bermain dan bergaul dengan teman-temannya. Membaca buku
cerita yang bermutu dan sesuai dengan tingkat usia anak dapat mendorong
mereka untuk memulai hidup teratur, tertib, dan memupuk rasa
kemanusiaan yang tinggi. Anak-anak yang mampu menyerap pesan-pesan
berharga dari setiap cerita yang dibacanya dapat menjadikannya sebagai
bahan renungan dan teladan dalam berbuat.

Apa guna paragraf yang kurang jelas urutan pikirannya? Harus-


kah kita perbaiki? Memang tampak sepele, padahal untuk menentu-
kan sampai tidaknya gagasan yang diungkapkan melalui paragraf,
terasa cukup sulit. Karena itu, perlu peninjauan kembali terhadap
paragraf yang kita tulis apakah sudah cukup jelas atau masih meragu-
kan?
Keteraturan pengemukakan pokok-pokok pikiran utama dan
penjelasan-penjelasannya dalam karangan merupakan ciri bahasa
karangan yang komunikatif (tersambung). Apabila semua paragraf
telah menunjukkan kesatuan dan ketepatan dalam urutan pikirannya,
maka secara langsung mencerminkan keutuhan bagian demi bagian
karangan. Bukankah secara lahiriah karangan itu merupakan kum-
pulan paragraf? Karena kedudukan paragraf sangat penting, seorang
penulis perlu menguasai cara pembentukan dan pengembangannya.
Berikut ini dikemukakan tentang upaya pengembangan paragraf
yang dapat dipraktikkan dalam rangka membuat karangan.

a. Pengembangan paragraf dengan memberikan contoh-contoh


Seorang penulis dapat mengembangkan paragraf dengan
memberikan suatu keterangan atau penjelasan berupa contoh-contoh
untuk memperkuat gagasan yang disampaikannya. Memang, para
pembaca akan merasa puas bila yang diserap nya dari karangan
disertai contoh. Tidak jarang bahwa pemberian contoh menjadi suatu
keharusan. Mari kita perhatikan paragraf di bawah ini.
Kegiatan pramuka sudah memasyarakat sampai ke desa-desa
terpencil. Misalnya, di Desa Tambangan sudah banyak anak-anak yang
aktif menjadi anggota pramuka. Mereka mengadakan latihan setiap Sabtu
sore di halaman balai desa. Warga desa merasa bangga dengan adanya
kegiatan pramuka itu. Sebelum itu anak-anak Desa Tambangan lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk bermain bebas dan tidak terarah.
Sekarang, setelah mereka menjadi anggota pramuka, mereka belajar dan

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
81
bermain teratur. Selain itu, dampak positif yang dapat dirasakan masya-
rakat, di antaranya, anak-anak desa sudah pandai mengabdikan dirinya
kepada masyarakat melalui kegiatan aksi kebersihan jalan dan tempat-
tempat ibadah.

b. Pengembangan paragraf dengan memberikan fakta-fakta


Pemberian fakta-fakta juga salah satu cara dalam mengem-
bangkan paragraf. Fakta sebagai suatu kenyataan atau peristiwa yang
benar-benar terjadi dapat berfungsi sebagai penjelas, penguat dan
pemadat suatu paragraf. Untuk itu, seorang penulis perlu menyer-
takan fakta untuk mendukung setiap gagasan yang akan disampai-
kannya kepada pembaca. Mari kita perhatikan paragraf di bawah
ini.
Siswa SMA Sumber Ilmu Daha Utara tergolong siswa yang giat
belajar. Mereka membentuk kelompok-kelompok belajar pada setiap
kelas. Mereka mengadakan kegiatan belajar kelompok dua kali seminggu
yaitu setiap Sabtu sore dan Rabu sore. Tempat mereka belajar tidak
menetap, ada kalanya di rumah, di balai desa, dan ada kalanya di kebun.
Sesekali guru mereka ikut dalam kegiatan belajar itu untuk memberikan
bimbingan dan semangat kepada para siswa.

c. Pengembangan paragraf dengan memberikan alasan-alasan


Alasan merupakan keterangan atau dasar yang kuat untuk lebih
mengukuh suatu pendapat, pernyataan atau hal tertentu. Karena
itu, alasan amat berguna untuk mengembangkan suatu paragraf.
Semakin mantap alasan yang dikemukakan, semakin utuh suatu
paragraf.
Ketetapan alasan yang dikemukakan penulis akan dapat meng-
hilangkan keraguan dan tanda tanya pembaca. Dengan alasan yang
kuat, kita mampu menghindari penguraian yang setengah-setengah.
Sudah merupakan hal wajar bila pembaca ingin memperoleh penje-
lasan yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu,
setiap-setiap penulis harus terlatih dalam menyampaikan alasan-
alasan. Alasan akan mengisi dan menentukan upaya pengembangan
paragraf. Hal itu bukan berarti bahwa pemberian alasan yang dipakai
itu memegang diperlukan pemuatannya dalam paragraf. Marilah per-
hatikan paragraf berikut.

DASAR-DASAR MENULIS
82 dengan Penerapannya
Guru adalah orang digugu dan ditiru. Ungkapan itu menunjukkan bahwa
guru sumber keteladanan tindak-tanduk atau pola anutan, khususnya
bagi anak didik. Karena itu, predikat guru yang melekat pada seseorang
mengandung tanggung jawab moral yang besar. Sebab, bagaimanapun
seorang guru harus dapat membina kepribadian dirinya semapan
mungkin agar bisa diteladani anak didiknya. Jelaslah bahwa untuk men-
jadi guru yang baik, guru yang patut dijadikan cermin bagi anak didiknya,
bukanlah hal yang mudah. Seorang guru harus dapat menilai kemampuan
dan keberadaannya agar mampu meningkatkan kualitas kepribadiannya.
Semua tuntutan dan sikap yang harus dijiwai oleh guru itu mengharuskan
dirinya untuk menjaga sebutan yang diberikan kepadanya, yakni sebagai
panutan bagi anak didiknya.

d. Pengembangan paragraf dengan cara bercerita


Seorang penulis dapat membeberkan suatu peristiwa dengan
bercerita untuk mengembangkan paragraf. Dengan bercerita, kita
dapat lebih menghidupkan suatu peristiwa atau kejadian sehingga
pembaca merasa lebih yakin dan tersentuh pikiran dan perasaannya.
Tentu saja cerita yang disajikan merupakan cerita yang menarik dan
mampu menimbulkan kesan, seakan-akan pembaca menyaksikan
sendiri kejadian yang disampaikan itu. Dalam karya sastra
pengembangan paragraf dengan cara demikian sangat kuat, bervariasi
dan tidak menjenuhkan. Mari kita perhatikan paragraf berikut ini.
Mereka telah melewati Desa Muning. Kini jalan tampak berbatu-
batu dan banyak berlubang. Mobil yang mereka tumpangi berjalan
perlahan. Sopir mobil beberapa kali membelokkan mobil untuk
menghindari bagian jalan yang berlubang. Di kiri kanan jalan terhampar
sawah nan luas menghijau. Sungguh indah pemandangan itu sehingga
guncangan mobil ketika menerpa batu yang agak besar atau tergeser ke
lubang jalan, seolah-olah tak terasa. Itulah Desa Muning, 7 Km Dari
Kota Negara.

e. Pengembangan paragraf dengan cara membandingkan dan


mempertentangkan
Seorang penulis dapat membandingkan dan mempertentangkan
antara hal yang satu dengan hal yang lain, antara tokoh yang satu
dengan tokoh yang lain, dan sebagainya. Dengan cara begitu, akan
jelas keberadaan suatu hal, benda dan lain-lain yang menjadi sorotan

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
83
penulis. Untuk membandingkan dan mempertentangkan, diperlukan
daya pemikiran dan pengamatan yang cermat agar pembaca betul-
betul dapat mengenal dan memahami hal yang dibicarakan penulis.
Bila kita membandingkan dan mempertentangkan sesuatu, berarti
kita tidak mengungkapkan ciri-ciri dan batas-batas hal yang kita
bicarakan.
Penulis harus mampu memanfaatkan cara tersebut dalam rang-
ka mengembangkan suatu paragraf. Mungkin penulis dapat dengan
panjang lebar melakukan perbandingan dan pertentangan terhadap
pokok pembicaraan dalam suatu paragraf sehingga paragraf menjadi
lebih luas dan hidup. Dengan cara demikian , akan terpenuhi hasrat
setiap pembaca yang suka membandingkan dan mempertentangkan
suatu benda kemudian berpindah ke benda lain.
Dengan cara memperbandingkan dan mempertentangkan,
penulis dapat mengajak pembaca untuk memilih dan menilai hal-hal
yang patut diambil, disenangi, maupun dibuang untuk dijadikan
sekadar pengetahuan. Untuk memperjelas perbandingan dan perten-
tangan itu, penulis hendaknya mampu mengungkapkan hal yang
diperbandingkan dan dipertentangkan itu dengan bahasa yang mudah
dipahami, tidak bertele-tele, dan sesuai dengan pertimbangan akal
sehat. Marilah kita perhatikan paragraf berikut ini:
Roman lebih panjang daripada novel, sedangkan novel lebih panjang
daripada cerpen. Roman menceritakan seluruh kehidupan tokohnya dari
kecil sampai mati, novel menceritakan suatu kejadian yang luar biasa
dari kehidupan orang-orang yang menimbulkan pergolakan jiwa sehingga
mengubah nasib hidup tokohnya, dan dalam cerpen hanya menceritakan
suatu kejadian hidup yang luas. Dalam cerpen terjadi pergolakan
jiwa(krisis) tetapi tidak mengakibatkan perubahan nasib sang tokoh.
Roman dan novel terdiri dari beberapa alur, bahkan memungkinkan
adanya degresi. Cerpen hanya terdiri dari satu alur cerita. Roman terdiri
atas beberapa bagian dan bab, sedangkan pada novel dan cerpen tidak.
Roman menceritakan perihal tokoh-tokohnya secara panjang lebar
mengenai perbuatan lahirnya dan perbuatan batinnya. Novel melukiskan
watak dan perbuatan tokoh-tokohnya tidak mendalam. Cerpen
menceritakan kejadian atau tokoh-tokohnya tidak mendalam. Cerpen
menceritakan kejadian atau tokoh-tokohnya dengan singkat, hanya
diambil sarinya (dikutip dari buku Penuntut Pelajaran Bahasa Indonesia
oleh Dra. Suparni, 1987, dengan perubahan seperlunya).

DASAR-DASAR MENULIS
84 dengan Penerapannya
f. Pengembangan paragraf dengan penguraian dari hal yang umum
ke hal yang khusus dan dari hal yang khusus ke hal yang umum
Penulis biasanya menggunakan kedua cara tersebut dalam
mengembangkan suatu gagasan yang membentuk paragraf-paragraf.
Dengan kata lain, ada dua kemungkinan yang harus dipilih: apakah
ia lebih dahulu mengemukakan hal yang paling penting atau utama,
kemudian mengemukakan hal yang bersifat penjelas, atau sebaliknya.
Itulah yang disebut pengembangan paragraf dari umum ke khusus
dan dari khusus ke umum. Kedua cara demikian berkaitan dengan
penempatan kalimat utama dalam paragraf. Bila kalimat utama ter-
letak pada awal paragraf, ini disebut penguraian dari umum ke khusus;
dan bila kalimat utama terletak pada akhir paragraf, ini disebut
penguraian dari khusus ke umum.
Berikut ini adalah contoh paragraf dengan penguraian dari
umum ke khusus.
Tak ada bahasa yang sama di dunia ini. Bukan hanya bahasa Inggris
berbeda dari bahasa Rusia, Bahasa Cina dan Bahasa Indonesia, tetapi
juga Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Batak Toba, Bahasa Makasar,
dan 200 bahasa lain di Indonesia ini berbeda-beda. Salah satu prinsip
linguistik ialah bahwa tidak bahasa merupakan sistem yang unik; kaidah
yang berlaku bagi suatu bahasa belum tentu kena bagi bahasa lain. Tiap
bahsa mempunyai pola bunyi, pola bentuk, pola makna, perbendaharaan
kata yang khas dengan kaidahnya yang khas pula. Contoh: Bahasa Jawa,
Bahasa Sunda, Bahasa Bali, Bahasa Madura, dan Bahasa Sasak membeda-
kan tingkat-tingkat bahasa menurut stratifikasi sosial yang berlaku dalam
masyarakat masing-masing. Tingkat-tingkat bahasa itu tidak bisa diterje-
mahkan dalam bahasa-bahasa lain yang tidak mempunyai sistem itu,
dalam Bahasa Melayu misalnya. Kecuali itu, tingkat-tingkat bahasa yang
ada dalam Bahasa Jawa tidak sama dengan yang ada dalam Bahasa Bali
serta dengan yang lainnya. ( dikutip dari buku Fungsi Bahasa dan Sikap
Bahasa oleh Harimurti Kridalaksana).

Contoh paragraf dengan penguraian dari khusus ke umum dapat


dilihat berikut ini.
Jika kita akan menulis suatu karangan ilmiah, maka kita perlu memer-
hatikan tentang kelogisan hal-hal yang dikemukakan dalam karangan.
Segala penjelasan atau penguraian harus dapat diterima dengan cara
berpikir yang benar. Kesistematisan hal-hal yang dimuat dalam karangan

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
85
juga merupakan faktor penting keutuhan suatu karangan ilmiah. Dari
situ tampak diperlukan adanya kaitan dan kesinambungan setiap gagasan
yang diungkapkan. Dengan demikian, akan dapat terjalin suatu urutan
yang tepat sehingga dapat memberikan kemudahan kepada pembaca
dalam menyerap isi karangan. Hal yang perlu diperhatikan ialah tentang
kelugasan bahasa dan penyajian yang digunakan agar tidak terjadi kesim-
pangsiuran penafsiran. Ketiga hal itu, yakni kelogisan, kesistematisan,
dan kelugasan karangan merupakan faktor penentu utama untuk dapat
tidaknya suatu karangan merupakan faktor penentu utama untuk dapat
tidaknya suatu karangan dipahami dan diserap pembaca.

Dari uraian tersebut jelas bahwa banyak cara yang dapat dipa-
kai penulis untuk membentuk dan mengembangkan paragraf yang
merupakan isi karangan. Cara lain yang sering berkaitan dan kadang-
kadang satu paragraf terdapat dua atau lebih cara yang dipakai
penulis dalam mengembangkan paragraf, antara lain: dengan mema-
parkan suatu proses, dengan mengemukakan hal-hal yang kurang
penting beranjak ke hal yang amat penting, atau sebaliknya, dengan
memakai sebab-akibat atau akibat-sebab. Kita tidak harus terikat
pada satu cara saja, kita bebas menggunakan cara-cara itu dalam
karangan.
Kevariasian dalam pengembangan paragraf akan dapat mem-
buat daya tarik pembaca terhadap keseluruhan bahasa dalam ka-
rangan. Jika sudah terlatih, penulis dapat dengan lancar membentuk
dan mengembangkan paragraf tanpa harus berpikir tentang cara
yang harus dipakainya. Ada baiknya bagi penulis pemula untuk lebih
banyak meneliti paragraf-paragraf yang ditulis oleh penulis kenamaan
agar mampu mengisi diri untuk cepat dan tepat dalam mengembang-
kan paragraf.
Apabila kita ingin mengembangkan suatu paragraf, langkah
awal ialah dengan menentukan hal yang akan dimuat dalam paragraf
itu. Sebuah paragraf yang sudah terbentuk hendaknya dapat memacu
diri kita untuk menciptakan paragraf-paragraf baru. Jangan sampai
terjadi setelah kita selesai menulis satu paragraf lantas macet total,
sehingga lama sekali untuk bisa membentuk paragraf baru. Dengan
demikian, kita selalu berusaha agar ide-ide itu perlu kita inventarisasi
secermat mungkin supaya tidak terlewatkan atau terlupakan. Dari
situ dapat dikatakan bahwa yang disebut mengarang merupakan
suatu kerja mengorganisasikan dan mewujudkan berbagai ide.

DASAR-DASAR MENULIS
86 dengan Penerapannya
Untuk mengembangkan suatu paragraf, kita harus mempertim-
bangkan kepentingan ide-ide yang akan masuk ke setiap paragraf.
Jadi, setiap paragraf dengan sendirinya memuat ide yang memang
diperlukan untuk diungkapkan sehingga keterkaitan bagian demi
bagian karangan dapat terjamin.
Jika kita mengembangkan paragraf dari awal karangan hingga
akhir karangan, perlu diingat bahwa paragraf-paragraf itu pada dasar-
nya termasuk ke dalam tiga jenis, yaitu: 1) paragraf pembuka, 2)
paragraf pengembang, dan 3) paragraf penutup.
Paragraf pembuka merupakan paragraf yang mengantar atau
memberi arah ke pembicaraan yang diungkapkan penulis. Melalui
paragraf pembuka, penulis memperkenalkan dan menjelaskan hal
yang akan disampaikannya secara teratur atau sistematis. Paragraf
pembuka juga berfungsi untuk memberikan gambaran umum tentang
seluruh isi karangan. Paragraf-paragraf pembuka harus dibuat seme-
narik mungkin dan harus mampu mendorong pembaca untuk terus
menikmati materi karangan selanjutnya. Dalam sebuah karangan
yang panjang paragraf-paragraf pembuka dapat dibuat sebanyak
mungkin dengan gaya yang menarik dan bermuara pada inti
persoalan. Namun demikian, dalam sebuah karangan tidak mungkin
paragraf pembuka lebih banyak daripada paragraf pengembang.
Dengan kata lain, paragraf pembuka harus tetap menjadi pengantar
ke arah isi karangan.
Dalam karya sastra seperti cerpen, novel, dan roman, paragraf
pembuka biasanya diisi dengan ungkapan-ungkapan khas yang
merangsang orang untuk membaca karya itu sampai selesai. Bisa
pula paragraf pembuka diisi dengan pendeskripsian atau pelukisan
tentang keindahan alam dan ciri-ciri tokoh cerita.
Dalam karya bukan sastra paragraf pembuka biasanya berisi
berbagai pernyataan dan argumentasi mengenai pentingnya inti ka-
rangan. Penulis dapat mengemukakan berbagai pendapat dari nara
sumber atau para tokoh yang dianggap patut untuk ditampilkan
dalam karangan. Mereka yang telah terlatih dalam mengarang tentu
tidak mengalami kesulitan dalam bentuk paragraf pembuka, bahkan
mungkin karena sangat asyik, terjadi “pembengkakan” pada bagian
pendahuluan karangan. Karena itu, dalam menyusun karangan sangat
diperlukan kecermatan untuk membentuk paragraf pembuka agar
pembaca tidak merasa bosan.

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
87
Setelah hal-hal awal dikemukakan pada paragraf pembuka,
penulis dapat memusatkan perhatian pada isi karangan yang akan
diungkapkan ke dalam paragraf-paragraf pengembang. Sebelum sam-
pai ke paragraf pengembang, penulis biasanya membuat paragraf
peralihan. Paragraf peralihan berfungsi sebagai alat untuk menyesuai-
kan pembaca untuk berpindah ke hal yang baru. Paragraf pengembang
berjumlah lebih banyak daripada paragraf pembuka karena di dalam-
nya dimuat inti karangan. Semua paragraf pengembang dalam
karangan yang panjang akan tampak pada bab-bab atau bagian-bagian
setelah pendahuluan. Walaupun demikian, hubungan paragraf pem-
buka dengan paragraf pengembang selalu berkaitan dan tidak dapat
berdiri sendiri serta merupakan satu kesatuan.
Melalui paragraf pengembang, seorang penulis mengemukakan
hal-hal yang berhubungan langsung dengan isi karangan. Segala ide
yang dikemukakan dalam karangan diorganisasikan dan dikembang-
kan sejelas-jelasnya melalui paragraf-paragraf pengembang. Kemam-
puan penulis dalam menyusun karangan secara utuh akan terlihat
dari ketepatan dan kelancarannya dalam membentuk paragraf-para-
graf pengembang.
Setelah paragraf pengembang ialah paragraf penutup. Paragraf
penutup merupakan paragraf akhir dalam suatu karangan. Paragraf
penutup berisi kesimpulan. Memperoleh semacam tanda yang me-
mungkinkannya untuk mengingat dan membutiri kembali hal-hal
yang telah dibacanya. Dengan demikian, secara tidak langsung pem-
baca dapat menilai isi karangan dan mungkin memberikan tanggapan-
nya, lebih-lebih terhadap karangan yang berisi ilmu pengetahuan.
Apabila paragraf-paragraf yang telah dibuat kurang menunjuk-
kan adanya kesatuan dan kepaduan, maka karangan pun akan menjadi
kurang baik. Kemantapan paragraf-paragraf sebuah karangan akan
menggambarkan kemantapan dan keefektifan bahasanya. Karena itu,
latihan membentuk dan mengembangkan paragraf tidak dapat
diabadikan jika kita ingin membuahkan karya yang bermutu. Jadi,
jelaslah bahwa paragraf dan pengembangannya merupakan kunci
pokok terciptanya suatu karangan.

DASAR-DASAR MENULIS
88 dengan Penerapannya
5.4 Ragam Bahasa
Bahasa sebagai alat untuk menyatakan pikiran dan perasaan
diwujudkan dalam bentuk tulisan dan lisan. Kedua bentuk itu
merupakan pertanda adanya dua ragam bahasa, masing-masing mem-
punyai perbedaan atau ciri. Bila kita berbicara tentang ragam bahasa,
maka terdapat ragam tulisan dan ragam lisan. Ada yang menyatakan
bahwa ragam tulis (bahasa tulis) merupakan pemindahan dari ragam
lisan (bahasa lisan). Hal itu tidak dapat diterima begitu saja sebab
keduanya memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Pernyataan itu
ada juga benarnya karena memang bahasa lisan lebih dahulu muncul
dan dikuasai manusia. Bahasa tulis baru ada setelah manusia mengenal
tulisan.
Bahasa tulis atau sebagai ragam tulis dalam penerapannya lebih
terikat pada kaidah-kaidah bahasa. Seorang penulis tidak mungkin
dapat sumbangan menulis suatu kalimat, tanpa ada memerhatikan
unsur-unsur pokok terbentuknya sebuah kalimat, seperti adanya
subjek dan predikat. Sekali keluar kalimat dari pikirannya kemudian
tertuang ke dalam tulisan maka berarti telah tersimpan dan sulit
diralat, apalagi bila dalam karangan yang telah beredar. Urutan
pikiran yang dikemukakan tentunya sesuai dengan wujud kalimat
yang ada dalam tulisannya karena merupakan wakil pikiran penulis.
Ragam lisan sebagai wujud bahasa pertama sangat terikat pada
keadaan dan waktu, tetapi agar longgar keterikatannya dari kaidah-
kaidah bahasa. Hanya saja kadang-kadang ada unsur pokok dalam
kalimat yang bisa ditinggalkan. Ragam lisan memerlukan orang kedua
sebagai lawan bicara maupun sebagai pendengar saja seperti dalam
ceramah dan pidato, tanpa teks. Keefektifan ragam lisan sangat
tergantung pada kualitas suara dan penampilan pembicara.
Suatu hal yang perlu kita perhatikan ialah bawah ada ragam
tulis yang dilisankan, dan sebaliknya ada ragam lisan yang dituliskan.
Ragam tulis yang dituliskan mempunyai ciri-ciri bahasa tulis dan
kaidah bahasanya sangat berperan. Berikut ini contoh ragam tulis
yang dilisankan.
Disiplin nasional itu hanya berlaku dalam kehidupan bernegara
saja, akan tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Ini berarti panggilan tugas bersama tokoh-tokoh dan pemuka-pemuka
masyarakat kita, dari semua kalangan dan lapisan. Apabila dalam
Pancakrida Kabinet Pembangunan V dinyatakan bahwa aparatur negara

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
89
harus merupakan pelopor dalam menegakkan disiplin nasional, maka
hal itu mencerminkan adanya tanggung jawab moral dan tanggung jawab
formal aparatur negara yang tugasnya memang untuk melayani bangsa
dan masyarakatnya. Kepeloporan di sini berarti bahwa aparatur negara
harus menjadi kekuatan pendorong yang memberi teladan yang baik,
dengan menegakkan disiplin dalam dirinya sendiri dan dalam pelayanan
terhadap masyarakat. Dengan demikian, aparatur negara sekaligus me-
mainkan peranan yang aktif dalam mewujudkan pemerintahan yang
bersih dan berwibawa. Dalam rangka semua itu telah diambil langkah
awal untuk membudayakan dan melaksanakan pengawasan melekat yang
kini sedang giat-giat nya dilancarkan di kalangan aparatur negara. (Dikutip
dari “ Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia. Soeharto, tanggal
16 Agustus 1988”, yang dimuat dalam surat kabar jawa pos terbitan 16
Agustus 1988).

Selanjutnya ialah contoh ragam lisan yang dituliskan, yang secara


umum terdapat dalam karya sastra seperti cerpen dan novel.

“Apa kabar, wi?” sapa kamu tenang.


Dengan susah payah kutelan ludahku sebelum berkata terbata-bata,”Ba…
baik, La.”
Dari rumah?”
“I….iya, La.”
“Mari masuk,” kata kamu seraya menepi kan diri ke daun pintu.
“Terima kasih, La,”anggukku seraya melangkah dengan canggung.
“Kok, sendirian?” tanya kamu setelah kita duduk. “mana pacarmu?”
Uh, La. Jangan tanyakan itu, La. Dia bukan pacarku. Pacarku adalah
kamu!. Maafkan aku. Terimalah aku kembali sebagai kekasihmu. Aku butuh
kamu, La. Aku berjanji nggak akan mengecewakan kamu lagi. Aku janji
nggak akan menyakiti hatimu lagi. Pokoknya aku janji nggak akan macam-
macam lagi.
Mungkin karena aku diam terlalu lama, maka kamu berdiri.
“ aku buatkan minum dulu. O,iya, kamu mau minum apa? Teh? Kopi?
Sirup? Atau….”.
“Nggak usah, La”
Kamu duduk lagi sambil menghela napas. Lalu menunduk.
“La,a…aku datang kemari, mau…mau…”
Kamu mengangkat kepala.
“Mau meminta maaf atas perlakukanku yang lalu itu, La”
Kamu kembali menghela napas. “ Aku sudah memaafkan nya.”
“Aku menyesal, La.”

DASAR-DASAR MENULIS
90 dengan Penerapannya
“Syukurlah,”kata kamu datar.
“Aku berharap… aku harap kamu bisa… bisa menerima aku lagi, La.”
“ Tak mungkin, Wi.”
Aku terhenyak.”Ke…kenapa, La?’
Aku sudah memperoleh penggantimu.”
(dikutip dari cerpen” duh, Gusti”karya Dian Imansyah dalam Anita
Cemerlang edisi Juli 1988)
Istilah ragam tulis dan ragam lisan didasarkan pada perwujudan
bahasa yang dipakai. Dari segi kebakuannya, ada ragam baku dan
ragam tidak baku. Ragam baku merupakan ragam yang telah dikenal
dan diakui oleh sebagian besar pemakai bahasa serta senantiasa
dapat dipertanggungjawabkan kemantapan kaidah yang digunakan.
Ragam tidak baku berarti pemakaian bahasa yang tidak sepenuhnya
dapat dipertanggungjawabkan terhadap kaidah yang berlaku.
Ragam baku meliputi ragam baku tulis dan ragam baku lisan.
Ragam baku tulis seperti pada buku-buku ilmu pengetahuan (walau-
pun kadang-kadang terdapat pemakaian unsur bahasa yang tidak
baku). Ragam baku lisan agak sulit diterapkan. Ciri ragam baku
lisan ialah tidak adanya atau sedikit sekali pengaruh bahasa daerah
pada saat seseorang menggunakan bahasa Indonesia.
Ragam bahasa yang muncul karena pergaulan sehari-hari, ada
yang disebut ragam sosial. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan
masyarakat, juga dengan bahasa dalam lingkungan kerja. Ragam
yang patut kita perhatikan, khususnya bagi yang terjun dalam dunia
tulis-menulis, ialah ragam profesional yang muncul dalam hubungan-
nya dengan profesi, pekerjaan, serta dalam keilmuan dan teknologi,
kebudayaan, keagamaan, kedokteran, hukum politik, ekonomi,
kemiliteran dan sebagainya.
Dari ragam-ragam profesional itu melahirkan berbagai istilah
bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa hukum, bahasa
kedokteran, bahasa ekonomi, bahasa jurnalistik dan sebagainya.
Ragam demikian berkembang cukup pesat, terbukti dengan adanya
kamus-kamus khusus seperti kamus politik, kamus ekonomi dan
kamus hukum.
Untuk memperjelas pembicaraan tentang ragam bahasa,
khususnya yang berhubungan dengan ragam profesional, maka
berikut ini dikembangkan beberapa contoh.

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
91
Contoh bahasa dalam ragam ekonomi:
Inflasi dapat juga bersumber pada keadaan psikologi sekelompok
orang. Perubahan-perubahan seperti itu dapat kita saksikan di bursa saham
dan obligasi di Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang. Perubahan
politik, keberhasilan atau kegagalan seorang kepala pemerintahan dapat
menurunkan atau menaikkan nilai saham. Kalau orang-orang menduga
keadaan akan memburuk, maka harga saham akan turun, meskipun
ternyata bahwa keadaan tidak memburuk. Sedikit banyak para pedagang
saham di pasar bursa itu harus juga mengerti soal-soal politik dan
perekonomian luar negeri. Keadaan psikologi seperti ini di Indonesia
pun ada. Kalau diduga pemerintahan akan mengubah kebijaksanaan
sedemikian rupa sehingga barang-barang akan langka, maka harga
cenderung untuk naik, dan demikian sebaliknya. ( dikutip dari wacana
yang berjudul “Inflasi dan Deflasi” oleh Prof. Ace Parta dalam buku
Penuntun Bahasa dan Sastra Indonesia oleh Nani Sidarta).
Contoh bahasa dalam ragam keagamaan:
Satu hal yang paling menonjol dan penting ialah memantapkan iman
dan keyakinan dalam hari dan jiwa kita bahwa kita ini adalah hamba
Allah, sehingga kita harus tunduk patuh melaksanakan perintah-Nya
serta menghayati sungguh-sungguh bahwa Allah Pencipta alam semesta
selalu melihat, memerhatikan dan mengawasi tingkah laku, perkataan
dan perbuatan kita makhluknya. Seorang yang ber puasa tidak berani
menjamah makanan milik sendiri, mencampuri istrinya sendiri,
membicarakan aib orang lain, berdusta, berlaku curang, dan sebagainya,
walaupun di tempat yang sunyi sepi, terpisah jauh dari alat negara dan
satu pun tidak ada yang melihat. (Dikutip dari Buletin dakwah, Juni
1987).
Contoh bahasa dalam ragam hukum:
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal
dari pihak yang lain, dan yang lain itu berkewajiban memenuhi tuntutan
itu; sedangkan perjanjian adalah peristiwa di mana seseorang berjanji
kepada seseorang yang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal. Karena itu, perjanjian menimbulkan
perikatan. Jadi, dengan demikian perikatan bersumber pada perjanjian,
dan perjanjian bersumber pada persetujuan. Perikatan bersifat abstrak
dan perjanjian sudah bersifat konkret, kemudian perjanjian dapat lagi
dibedakan dengan kontrak karena kontrak adalah bentuk perjanjian
yang bersifat tertulis. (Dikutip dari tulisan yang berjudul “Syarat Sah
Sebuah Perjanjian” oleh Harun Utuh dalam majalah Vidya Karya terbitan
1987).

DASAR-DASAR MENULIS
92 dengan Penerapannya
Contoh bahasa dalam ragam kedokteran atau kesehatan:
Ginjal adalah salah satu organ yang fungsinya membersihkan dan
menyalurkan sisa-sisa metabolisme yang harus dibuang dari tubuh
manusia. Secara umum, orang akan terkena sakit ginjal bila ginjal nya
bekerja terlalu keras atau melebihi batas, kalau terkena infeksi dan lain-
lain.
Ada dua gejala awal dialami orang yang terkena sakit ginjal. Pertama,
gejala yang sama seperti sakit pada umumnya, yaitu demam, panas, lemah.
Kedua, gejala khusus berupa sakit pinggang di daerah ginjal, terasa sakit
kita buang air seni, air seni yang keluar sedikit bahkan Cuma menetes,
warnanya keruh atau bercampur darah, dan lain-lain. (Dikutip dari tulisan
yang berjudul ”Kenapa Anda Sakit Ginjal” oleh dr. Abraham Tangyong
dalam Femina, Juli 1988).

Dari keempat contoh tersebut (ragam ekonomi, ragam keaga-


maan, ragam hukum dan ragam kedokteran), walaupun hanya seba-
gian kecil yang tertangkap oleh kita, tampak adanya kekhasan pada
masing-masing ragam bahasa yang berdasarkan keprofesian itu. Selain
itu, masih banyak ragam bahasa yang terus berkembang di masya-
rakat.
Seiring dengan berkembangnya ragam-ragam bahasa, untuk
lebih memantapkan keberadaannya, kita lihat adanya media khusus
seperti majalah dan tulisan lainnya yang memuat hal-hal yang ber-
hubungan dengan ekonomi, kedokteran, hukum, dan sebagainya.
Ada majalah hukum, ada majalah sastra, dan majalah lainnya. Hal
itu berkaitan langsung dengan pembinaan setiap ragam pemakaiannya.
Jangkauan yang dikehendaki melalui berbagai penerbitan itu tampak
terbatas bagi mereka yang berminat untuk memperluas pengetahuan-
nya dalam bidang-bidang tertentu.
Dalam rangka kegiatan tulis-menulis yang terpenting ialah
penyesuaian antara bidang atau materi yang ditulis dengan bentuk
karangan yang akan dimuat. Jika kita ingin menulis tentang hal-hal
yang berkaitan dengan ekonomi, maka kita harus berusaha mene-
rapkan ragam bahasa dalam dunia ekonomi. Kita mencoba untuk
mendalami segala istilah yang digunakan dalam bahasa ekonomi.
Kita mencoba untuk mendalami segala istilah yang digunakan dalam
bidang itu. Bila kita hendak menulis artikel keagamaan, maka sudah
sewajarnya kita mengetahui hal yang menjadikan ciri dari tulisan
yang bernada mengajak atau semacam dakwah. Tulisan mengenai
politik tentu berbeda dengan tulisan sastra. Dengan demikian, setiap

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
93
karangan yang materinya berbeda, ada kemungkinan ragamnya pun
tidak sama. Namun, kita harus kembali memerhatikan ragam baku
dan ragam tidak baku yang diungkapkan melalui tulisan dan lisan.
Sesuai dengan kepentingan kita untuk tulis-menulis, maka
sedapat mungkin berusaha untuk menguasai ragam tulis baku. Kita
tentu menginginkan agar karangan kita jelas, mudah diterima, dan
sesuai dengan ragam profesional atau ragam fungsional. Selain itu,
kita berusaha menerapkan ragam baku tulis, yang secara mendasar
ialah adanya penggunaan ejaan dan istilah yang sudah baku. Jadi,
perlu adanya penerapan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) dan istilah
baku dalam karangan.

5.5 Ejaan dan Tanda Baca


Penerapan ejaan dan tanda baca dalam karangan amatlah
penting. Adanya ejaan dan tanda baca jelas akan memantapkan
keberadaan bahasa tulis. Ejaan dan tanda baca dibutuhkan karena
dalam bahasa tulis unsur non bahasa seperti gerak-gerik, mimik,
intonasi, irama, jeda, serta unsur-unsur non bahasa lainnya tidak
terekam (Akhadiah, dkk., 1989). Oleh karena itu bahasa tulis
membutuhkan ejaan dan tanda baca. Secara garis besar, penggunaan
ejaan meliputi penulisan huruf, penulisan kata dan penggunaan unsur
serapan. Adapun tanda baca yang meliputi tanda titik (.), tanda
pisah (-), tanda koma (,), tanda titik dua (:), tanda hubung (-), tanda
tanya (?), tanda kurung ( ( ) ), tanda petik rangkap (“…”), tanda
petik tunggal (‘…’), tanda garis miring (/), tanda titik koma (;), dan
tanda penyekat (!). Ejaan dan tanda baca yang disebutkan itu
berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempur-
nakan (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1975). Tentu
saja tidak semua komponen ejaan dan tanda baca tersebut diperguna-
kan dalam sebuah karangan, tergantung pada kebutuhan yang ada.
Dengan demikian, ada kemungkinan beberapa komponen ejaan atau
tanda baca yang tidak dipergunakan penulis dalam karangannya.
Setiap penulis hendaknya mengetahui segala hal yang berkaitan
dengan ejaan dan tanda baca. Hal ini penting untuk lebih menjamin
kejelasan dan keteraturan dari apa yang dikemukakan oleh penulis
melalui karangannya. Artinya , jangan sampai terjadi seorang penulis
yang menggunakan secara serampangan atau seenaknya segala kom-

DASAR-DASAR MENULIS
94 dengan Penerapannya
ponen ejaan dan tanda baca. Ia harus mengetahui kapan ia mengguna-
kan tanda titik, kapan ia menggunakan tanda tanya dan sebagainya.
Untuk itu, ada baiknya penulis (apalagi bagi penulis pemula) senan-
tiasa mempelajari Pedoman Umum Bahasa Indonesia Yang Disempur-
nakan. Dengan demikian, ia tidak akan banyak mengalami kesulitan
dalam menerapkan ejaan yang berlaku.
Dengan penggunaan ejaan dan tanda baca yang benar dalam
sebuah karangan, maka akan banyak membantu pembaca dalam me-
mahami isi karangan. Sebab, karangan yang disajikan penulisnya
tampak jelas, teratur dan sekaligus mencerminkan kehati-hatian penu-
lis dalam menuangkan pikirannya ke dalam karangan.
Satu hal yang patut direnungkan bahwa untuk menerapkan
ejaan dan tanda baca memerlukan kecermatan. Cukup banyak kom-
ponen ejaan dan tanda baca yang menghendaki penghafalan. Artinya,
kita harus mengetahui dan memahami secara tepat aturan yang dikan-
dung di dalam pedoman ejaan yang berlaku.
Marilah kita perhatikan beberapa contoh penerapan ejaan
berikut (diambil dari buku Seri Penyuluhan 1 Ejaan dalam Bahasa
Indonesia yang disusun oleh Lukman Hakim, dkk, terbitan tahun
1991 oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa- dengan
penambahan seperlunya).

Penulisan kata ulang:

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
95
Penulisan gabungan kata:

Contoh penulisan daripada hingga bumiputra merupakan


bentuk gabungan yang sudah senyawa, jadi harus ditulis serangkai.
Ada lagi gabungan kata yang salah satu unsurnya tidak dapat berdiri
sendiri, sehingga penulisannya pun harus dirangkaikan. Selanjutnya,
kita perhatikan beberapa contoh berikut.

DASAR-DASAR MENULIS
96 dengan Penerapannya
Jika unsur terikat(misalnya non, pan dan antar) diikuti oleh
kata yang huruf awalnya kapital (huruf besar), maka di antara kedua
unsur itu dibubuhkan tanda hubung. Perhatikan contoh berikut!
non- RRC
non-Indonesia
pan- Afrikanisme
antar-SMA
antar-LKMD
Penulisan kata depan:
Kata depan di dan ke dituliskan dari kata yang mengikutinya.
Perhatikan beberapa contoh berikut!
di rumah
di samping
di atas
di sisi
di pertokoan
ke mana
ke atas
ke samping
Penulisan partikel:

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
97
penulisan kata ganti:

penulisan angka dan lambang bilangan:

Penulisan angka dan lambang bilangan di atas berhubungan


dengan ukuran (panjang, luas, isi, berat), nilai uang atau untuk menandai
nomor jalan, rumah, kamar dan alamat yang bukan pada dokumen
resmi. Di samping itu termasuk pula yang berhubungan dengan satuan
waktu, misalnya 1 jam 15 menit bukan satu jam lima belas menit.
Bilangan dalam perincian juga dituliskan dengan angka.
Selanjutnya, bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua
kata dituliskan dengan huruf, sedangkan yang dinyatakan lebih dari
dua kata dituliskan dengan angka. Perhatikan beberapa contoh berikut!

DASAR-DASAR MENULIS
98 dengan Penerapannya
Lambang bilangan yang berada pada awal kalimat dituliskan
dengan huruf. Susunan kalimat sebaiknya diubah jika lambang
bilangan itu tidak dapat dinyatakan satu atau dua kata. Perhatikan
contoh berikut!

kata bilangan yang mendapat akhiran-an dituliskan sebagai berikut


80-an atau delapan puluhan
5.000-an atau lima ribuan
Angkatan 80-an atau angkatan delapan puluhan

Untuk bilangan yang ditulis dalam dokumen resmi, seperti


akta, kuitansi, wesel pos, dan cek dapat menggunakan angka dan
huruf sekaligus.
Perhatikan contoh berikut!
1 Telah dijual sebidang tanah seluas 2.000 ( dua ribu) meter
dengan harga Rp 30.000.000,00 ( tiga puluh juta rupiah).
2. Pada hari Senin, 2 Juni 2009 ( dua Juni dua ribu sembilan )
telah menghadap Saudara Dana Setia Sarjana Hukum……….
3. Pada hari ini Ahad, pukul 21.30, 24 Oktober 1993 ( pukul dua
puluh satu tiga puluh, dua puluh empat Oktober seribu sembilan
ratus sembilan puluh tiga) telah lahir seorang anak yang diberi
nama Fitria Kamalia dari pasangan suami istri Zulkifli dan
Hernani.
Penulisan kata bilangan tingkat dapat dilakukan sebagai berikut.
Hari Ulang Tahun XLV Republik Indonesia
Hari Ulang Tahun ke-45 Republik Indonesia
Hari Ulang Tahun ke-12 Pernikahan mereka
Hari Ulang Tahun kedua belas pernikahan mereka

BAB 5
Bahasa dalam Karangan
99
Kiranya, beberapa contoh bagaimana menerapkan ejaan yang
telah dikemukakan tersebut akan dapat menambah wawasan bagi
setiap penulis untuk lebih tertib dalam menulis. Untuk lebih jelasnya,
sewajarnya setiap penulis mempelajari Pedoman Umum Bahasa In-
donesia Yang Disempurnakan yang banyak beredar di pasaran.

DASAR-DASAR MENULIS
100 dengan Penerapannya
BAB 6

Penalaran dalam Karangan

P
enalaran berasal dari kata “nalar”. Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia susunan Poewadarminta dinyatakan bahwa “nalar”
berarti pertimbangan baik dan buruk, dapat pula diartikan
dengan akal budi. Zainal Arifin dan Amran Tasai (1987) mengemu-
kakan bahwa penalaran adalah suatu proses berpikir manusia untuk
menghubungi-hubungkan data atau fakta yang ada sehingga sampai
pada suatu kesimpulan.
Penalaran merupakan upaya menggunakan pikiran untuk mem-
pertimbangkan suatu keputusan atau kesimpulan. Penalaran dalam
karangan berarti penggunaan pikiran untuk menarik suatu keputusan
atau kesimpulan yang dituangkan ke dalam bentuk tertulis. Dengan
penalaran yang tepat, maka dapat menjadi kuat hal-hal yang diung-
kapkan dalam karangan. Dengan demikian, penyajian materi karang-
an akan selalu sesuai dengan jalan pikiran yang tepat. Kesimpang-
siuran jalan pikiran akan tercermin dari cara pengemukakan penulis
dalam karangan. Karena itu, setiap pengungkapan harus dipertim-
bangkan terlebih dahulu agar hal-hal yang tidak tepat tidak termuat.
Hal itu berkaitan langsung dengan bahasa dalam karangan. Kalimat
yang digunakan hendaknya terangkai dari kata-kata yang tepat. Jadi,
antara jalan pikiran dengan cara pengungkapan (melalui bahasa
dalam karangan) tidak dapat dipisahkan.
Penalaran yang baik berarti ketepatan pengorganisasian dan
penyajian semua gagasan. Segala pernyataan benar-benar kuat dan
dapat dipertanggungjawabkan, tanpa meragukan pembaca. Alasan-
alasan yang dikemukakan merupakan hal yang dapat diterima.
Bagaimanapun baik dan menariknya materi karangan bila tidak
dinalar secara tepat maka akan tidak berarti apa-apa. Ketidaktepatan
penalaran akan mengaburkan materi itu sendiri serta tidak jarang

BAB 6
Penalaran dalam Karangan
101
akan menyimpang dari maksud semula. Hal demikian terasa terasa
sekali ketika penulis menyimpulkan atau memberikan penilaian ter-
hadap permasalahan penting dalam karangannya.
Penulis yang berpandangan luas dan berpikiran kritis akan
tercermin dalam penalaran yang baik pada setiap gagasan atau kesim-
pulan yang dikemukakannya. Ia tidak akan terjebak dengan pernya-
taan yang dapat membingungkan dan meragukan. Setiap menggene-
ralisasikan (peng-umum-an) telah teruji atau tersaing melalui pemikir-
an yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, dalam arti tidak
mengundang penafsiran ganda dan tidak menimbulkan berbagai
pertanyaan baru bagi pembaca.
Ada dua macam penalaran yang biasa dilakukan dalam pena-
rikan suatu kesimpulan. Pertama, penalaran deduktif, dan kedua,
penalaran induktif.
Penalaran deduktif didasarkan pada penarikan kesimpulan yang
bertolak dari hal-hal yang umum. Penalaran induktif didasarkan pada
upaya penarikan kesimpulan yang bertolak dari hal-hal khusus.
Penerapan penalaran deduktif dalam karangan berarti penggu-
naan pernyataan-pernyataan umum yang dituangkan dalam kalimat
utama untuk kemudian menuju pada penjelas yang diwakilkan pada
beberapa kalimat penjelas atau kalimat pendukung. Dengan cara
demikian, akan lahir paragraf-paragraf yang memiliki kalimat utama
pada awal paragraf. Jadi, bila cara penalaran deduktif yang dipakai,
berarti berhubungan langsung dengan posisi atau tempat kalimat
utama dalam paragraf.
Memang ada penulis yang lebih dahulu cenderung mengemu-
kakan hal-hal yang bersifat umum kemudian menyatakan hal-hal
yang bersifat khusus.
Berikut ini contoh paragraf dengan menggunakan penarikan
kesimpulan dari umum ke khusus.
Kemajuan teknologi modern adalah satu faktor yang turut menunjang
usaha pembaharuan. Peranan teknologi sudah sedemikian menonjolnya,
terutama pada masyarakat dari negara-negara yang telah berkembang.
Pemerintah dan masyarakatnya memberikan perhatian secara maksimal
karena mereka telah menyadari dan fungsi teknologi itu bagi mereka.
Mereka telah sampai pada taraf pemikiran yang tinggi dan telah melak-
sanakannya dalam dunia pendidikan di sekolah. Mereka telah yakin
bahwa untuk hidup dalam masyarakat yang modern harus dimulai dari
pendidikan di sekolah. Karena itu, kegiatan-kegiatan disekolahkan ber-

DASAR-DASAR MENULIS
102 dengan Penerapannya
jalan seimbang dan serasi dengan kebutuhan, aspirasi, dan norma-norma
dalam masyarakat. (Hamalik, 1976:13)

Pengemukan suatu kesimpulan yang lebih dahulu dari penje-


lasannya tidak hanya terdapat pada satu paragraf, namun kadang-
kadang penjelasan-penjelasan dari suatu kesimpulan dirumuskan ke
dalam beberapa paragraf. Hal itu tergantung pada penyajian yang
dilakukan penulis. Yang penting ialah setiap penarikan kesimpulan
harus diikuti dengan hal-hal penjelas yang akan mempertajam serta
memperkuat kesimpulan itu. Di situlah sangat penting akan adanya
pemberian berbagai contoh, alasan, data jika memang diperlukan.
Apabila seorang penulis tidak jeli dalam menyertakan penjelasannya,
maka akan dapat menimbulkan keraguan pembaca dan mungkin
pula pembaca menolak gagasan, pernyataan atau kesimpulan yang
dikemukakan.
Selanjutnya, kita bicarakan penarikan kesimpulan yang berpijak
dari hal yang khusus ke hal yang umum, yakni penalaran induktif.
Ada penulis yang memberikan sejumlah keterangan atau data-
data terlebih dahulu untuk kemudian merumuskannya ke dalam suatu
kesimpulan. Dari situ terlihat adanya pengemukaan hal-hal yang
bersifat pendukung atau penjelas yang diiringi atau diakhiri dengan
pernyataan yang lebih umum. Sejumlah hal pendukung dijadikan
tempat berpijak suatu kesimpulan, tentu saja hubungan dan keman-
tapan uraian yang menjadi pendukung atau hal-hal yang khusus itu
harus dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, semua pernyataan
yang bersifat khusus dimuat berdasarkan kepentingan dalam pena-
rikan suatu kesimpulan. Antara data atau keterangan yang satu dengan
yang lainnya tidak ada pertentangan atau ketidakcocokan. Bila ada
pertentangan, maka kesimpulan yang ditarik pun menjadi tidak sahih
dan akan meragukan pembaca.
Pembaca yang jeli akan mengetahui kejanggalan suatu kesim-
pulan yang dikemukakan penulis bila hal-hal khusus yang menjadi
dasar penyimpulan nya tidak jelas atau kurang meyakinkan. Hal itu
menuntut adanya ketelitian penulis terhadap setiap data atau kete-
rangan yang akan dimuat ke dalam paragraf yang berpola penalaran
induktif. Semakin kuat dan serasi suatu data atau keterangan, semakin
sahih kesimpulan yang ditarik.
Berikut ini contoh paragraf yang menggunakan penarikan
kesimpulan dari hal-hal khusus ke hal yang umum.

BAB 6
Penalaran dalam Karangan
103
Belajar menurut pandangan tradisional adalah usaha memperoleh sejum-
lah ilmu pengetahuan. “Pengetahuan” mendapat tekanan yang penting,
oleh sebab pengetahuan memegang peranan utama dalam kehidupan
manusia. Pengetahuan adalah kekuasaan Siapa yang memiliki banyak
pengetahuan, maka ia akan mendapat kekuasaan. Sebaliknya, siapa yang
kosong pengetahuannya, atau bodoh, maka dia akan dikuasai orang lain.
Karena itu, memiliki banyak pengetahuan adalah penting. Itu sebabnya,
pandangan ini disebut pandangan yang intelektualistis, terlalu mene-
kankan pada perkembangan otak (Hamalik, 1976:40).

Semua yang dinyatakan sebelum rumusan kesimpulan harus


dapat memberi arah kepada kesatuan pemikiran yang akan mengisi
atau membentuk kesimpulan yang dilakukan pada akhir paragraf.
Dapat pula terdapat satu atau lebih paragraf yang hanya memuat
data atau keterangan kemudian pada paragraf berikutnya merupakan
kesimpulan.
Dari uraian di atas jelas bahwa untuk mengemukakan suatu
kesimpulan diperlukan berbagai data yang berfungsi sebagai penjelas.
Ada penulis yang sudah terbiasa dengan cara deduksi dan ada yang
menyukai cara induksi. Selain itu, ada penulis yang menggunakan
kedua penarikan kesimpulan itu. Yang penting ialah bahwa setiap
kesimpulan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan atau
dapat diterima oleh jalan pikiran yang sehat.
Penarikan kesimpulan yang tepat akan berpengaruh terhadap
kemantapan suatu karangan. Semakin banyak penarikan kesimpulan
yang goyah, maka akan menurunkan nilai keutuhan karangan secara
keseluruhan.
Seorang penulis yang sudah berpengalaman akan tampak ter-
latih dan terkontrol dalam setiap kesimpulan yang diungkapkannya.
Dengan demikian, terpeliharalah kesinambungan setiap bagian ka-
rangan. Dia sangat memerhatikan setiap keterangan atau data yang
mendukung suatu kesimpulan. Dia menyadari bahwa walaupun
kesimpulan yang dikemukakan tampak tepat, bila ternyata ada bagian
keterangan yang meragukan, maka segera diperbaiki nya.
Sehubungan dengan hal itu, perlu kita perhatikan tentang cara
penggunaan kata-kata atau kelompok kata tertentu yang juga meng-
arah pada suatu kesimpulan. Kita harus tepat atau cermat menggu-
nakan kata keseluruhan, sebagian, kemungkinan, mustahil, hakikat-
nya, dan sejenisnya. Kata-kata itu jika dirangkai dalam kalimat ter-
tentu akan memberikan kesan tertentu terhadap pembaca. Kita juga

DASAR-DASAR MENULIS
104 dengan Penerapannya
dituntut agar lebih jeli dalam memakai kelompok kata seperti dapat
disimpulkan, hanya terbatas, sama dengan, tak ada jalan lain, tidak
demikian halnya, bertolak dari, dan sejumlah kelompok kata lainnya.
Jika kita sembarangan saja menggunakannya, maka dapat membuat
orang lain menjadi ragu dan menolak sama sekali hal yang kita
kemukakan. Karena itu, suatu kata atau kelompok kata hendaknya
dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum dituangkan ke dalam kali-
mat agar sesuai dengan jalan pikiran. Dengan demikian, setiap kalimat
akan terjamin keefektifan. Hal itu berkaitan pula dengan ketepatan
pemilihan kata atau diksi. Jadi, ada keterkaitan antara penalaran
dalam karangan, jalan pikiran pengarang, dan bahasa dalam karangan.

BAB 6
Penalaran dalam Karangan
105
DASAR-DASAR MENULIS
106 dengan Penerapannya
BAB 7

Tata Cara Pengutipan


dan Penulisan Daftar Pustaka

P
ada bab ini akan membicarakan tentang cara menampilkan
kutipan dan penulisan atau penyusunan daftar pustaka. Kedua
hal itu sangat penting dalam karang-mengarang, khususnya
karangan ilmiah.
Dalam suatu karangan sering kita temui berbagai kutipan.
Penampilan suatu kutipan merupakan perwujudan rasa tanggung
jawab moral pengutip (penulis) terhadap ide atau buah pikiran serta
hal yang diambilnya dari orang lain. Jika kita sebagai penulis meng-
ambil pendapat atau hal tersaji dari suatu tulisan, kita tidak mencan-
tumkan kutipannya atau tidak memperlakukan nya sebagai kutipan,
maka hal itu tidak menunjukkan kejujuran kita sebagai penulis. Dapat
dikatakan bahwa dengan menampilkan kutipan, berarti kita meng-
hargai keberadaan karya orang lain.
Apa sebabnya seorang penulis memerlukan buah pikiran, ga-
gasan, dan berbagai data dari tulisan orang lain? Kita mengetahui
bahwa kemantapan suatu tulisan atau karangan tidak mutlak mandiri
dalam hal materi, tetapi memerlukan masukan-masukan dari luar.
Dengan demikian, seorang penulis dalam memproses karyanya se-
hingga menjadi sebuah buku memerlukan pendukung atas semua
ide atau gagasan yang akan dimuatnya. Secara tidak langsung dia
memerlukan tulisan orang lain untuk dimanfaatkan atau dipakai
dalam karyanya. Seorang penulis tidak perlu merasa rendah untuk
menampilkan kutipan dalam karangannya. Yang penting ialah bahwa
pendapat orang lain itu diambil berdasarkan kegunaannya bagi ka-
rangan yang akan ditulis. Namun, bukan pula kita harus mengekor
saja pada pemikiran orang lain. Sebagai penulis kita dapat menelaah
hal yang dikemukakan orang lain itu dengan berdasarkan alasan

BAB 7
Tata Cara Pengutipan dan Penulisan Daftar Pustaka
107
atau jalan pikiran yang sehat. Jadi, bila kita akan mengutip sesuatu
dari tulisan orang lain, maka kita telah merasakan betapa penting
sekali hal yang akan kita kutip itu. Tentu saja tidak ada kutipan yang
asal kutip, tanpa meninjau keserasian nya dengan karangan yang
kita tulis.
Ada beberapa ketentuan dalam pengutipan suatu pernyataan
atau bagian tertentu dari karangan orang lain. Kutipan dapat dibuat
dengan terlebih dahulu mencantumkan nama pengarang, kemudian
disusun dengan bunyi kutipan. Untuk itu, perlu dibuat lebih dahulu
pengantar kalimat yang tepat dengan keperluan pengutipan, lalu
ditulis nama akhir pengarang, tahun penerbitan, tanda titik dua (:),
dan nomor halaman, baru materi kutipan. Contohnya sebagai berikut.
Sehubungan dengan istilah media pendidikan ini, Hamalik
(1977:23) menyebutkan bahwa media pendidikan adalah alat, metode,
dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan
komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan
dan pengajaran di sekolah.

Apabila nama pengarang dicantumkan setelah bunyi kutipan,


maka kita membuat pengantar sebelum meletakkan kutipan, lalu
kita tempatkan materi yang dikutip, sebutkan nama akhir pengarang
(jika terdiri atas dua kata atau lebih), kita beri tanda koma (,), tahun
terbit, dan nomor halaman, semuanya di dalam tanda kurung, kemu-
dian diakhiri dengan tanda titik. Contohnya:
Media pendidikan sebagai suatu media komunikasi guru dan siswa
dalam pengajaran, sudah tentu sangat erat pertaliannya dengan kegiatan
dan proses belajar mengajar (Hamalik, 1977:37).

Jika sebuah buku atau tulisan ditulis oleh dua orang pengarang,
maka kedua ketentuan di atas juga diberlakukan. Kedua nama penga-
rang (nama akhir mereka) dicantumkan dalam kutipan. Contohnya:
Lebih lanjut Arifin dan Tasai (1987:16) mengatakan bahwa
penyebaran suatu bahasa tentu ada hubungannya dengan penutur bahasa
itu. Oleh sebab itu, tersebarnya suatu bahasa tidak dapat dilepaskan
dari segi penutur.

DASAR-DASAR MENULIS
108 dengan Penerapannya
Perhatikan pula contoh kutipan berikut ini!
Sehubungan dengan bahasa sebagai sarana ilmu, budaya, dan
susastra, dikemukakannya bahwa sejalan dengan jumlah penutur dan
luar penyebarannya, pemakian suatu bahasa sebagai sarana ilmu, budaya,
dan susastra dapat dijadikan pula ukuran penting atau tidaknya bahasa
itu (Arifin dan Tasai, 1987:30).

Nama lengkap dari pemilik tulisan di atas ialah: Hamalik dari


Oemar Hamalik, Arifin dan Tasai berasal dari Zainal Arifin dan
Amran Tasai. Jadi, semua nama itu diambil hanya nama akhir mereka
yang dicantumkan ke dalam kutipan.
Ada dua hal yang kita perhatikan dalam hubungannya dengan
pengutipan. Pertama, bila diperlukan semacam rujukan dari berbagai
buku atau sumber yang memuat hal yang sama, maka dibuat bentuk
kutipan seperti berikut ini.
Karangan ilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan
fakta umum dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan
benar (Brotowidjojo, 1985: 8-9; Arifin, 1987:1).

Yang kedua, bila materi kutipan panjangnya lebih dari tiga


baris, maka harus diletakkan di bawah teks dengan diketik rapat
(satu spasi) dan masuk ke dalam sekitar lima ketukan, tanpa tanda
petik (“…”) seperti berikut ini.
Ada berbagai bentuk terjemahan, Brotowidjojo (1985:12) me-
ngemukakan ada tiga bentuk terjemahan seperti di bawah ini.
Terjemahan kulit, terjemahan kata demi kata, sifatnya dekat dengan
aslinya tetapi maknanya menjadi samar-samar, bentuk buku sama.
Terjemahan isi, penuturan berbeda, bentuk dan gagasan sama, sifatnya
dekat dengan yang asli, makna jelas. Terjemahan bebas, makna dialihkan,
penuturan berbeda, bentuk dan gagasan sama, sifatnya agak jauh dari
aslinya, makna jelas, kadang-kadang ada pendapat yang berbeda dari
aslinya.

Berikut ini kita bahas tentang tata cara penyusunan atau penu-
lisan daftar pustaka. Dengan adanya daftar pustaka, berarti mencer-
minkan keluasan pengalaman membaca penulis dan luas tidaknya
pengetahuannya.

BAB 7
Tata Cara Pengutipan dan Penulisan Daftar Pustaka
109
Dalam karangan ilmiah seperti tesis, skripsi, dan makalah,
mutlak dicantumkan daftar pustaka. Pencantuman materi atau bahan
yang digunakan penulis meliputi bahan acuan pokok dan bahan acuan
penunjang.
Untuk memasukkan suatu nama buku ke dalam daftar pustaka,
didahului dengan pencantuman nama pengarang, tahun terbit, judul
buku (ditambah keterangannya jika ada), daerah ( kota) penerbitan,
dan nama penerbit. Nama-nama penulis dicantumkan berdasarkan
urutan abjad. Bila nama penulis terdiri dari atas dua unsur atau
lebih maka ditulis dengan mendahulukan nama akhir disertai tanda
koma, kemudian nama awal. Jika penulisnya lebih dari satu orang,
misalnya dua orang, maka nama penulis pertama ditukar, sedangkan
nama penulis kedua tetap saja. Jika penulisnya lebih dari dua orang,
maka ditulis nama penulis yang pertama saja, lalu diikuti singkatan
dkk, (dan kawan-kawan).
Bila nama penulisnya tidak ada, maka dicantumkan nama
lembaga atau badan yang menerbitkan buku itu. Apabila kita ingin
memasukkan dua buah judul buku atau lebih yang penulisnya sama,
maka yang dicantumkan hanya satu nama, sedangkan untuk judul
lainnya diberi tanda garis putus-putus ( ). Bila penyusunan suatu
buku dilakukan oleh editor, maka di belakang nama penyusun ditulis
editor. Gelar kesarjanaan tidak perlu dicantumkan, sedangkan nama
keturunan atau marga dapat dicantumkan.
Untuk penulisan tahun terbit, ditulis setelah nama pengarang,
yang diakhiri dengan tanda titik. Jika terdapat dua buku yang ditulis
oleh seorang pengarang pada tahun yang sama, maka perlu diberi
abjad a dan b. Apabila tidak ada tahun terbit, maka ditulis “ Tanpa
Tahun” sesudah nama pengarangnya.
Judul buku ditulis sesudah tahun terbit dan diberi garis bawah,
pada setiap huruf di awak kata ditulis dengan huruf besar. Bila
belum dipublikasikan, cukup diberi tanda petik (“….”).
Tempat atau daerah penerbitan ditulis sesudah judul buku dan
diakhiri dengan tanda titik dua (:), kemudian ditulis nama penerbitnya.
Jika kita akan memasukkan nama majalah ke dalam daftar
pustaka, kita tulis nama pengarang, tahun terbit, judul tulisan (
dalam tanda petik), nama majalah (diberi garis bawah dan didepannya
ditulis kata dalam), bulan dan tahun terbit, kemudian tempat
diterbitkannya majalah itu.

DASAR-DASAR MENULIS
110 dengan Penerapannya
Untuk surat kabar, ketentuannya adalah; nama pengarang, ta-
hun terbit, judul artikel (dalam tanda petik), nama surat kabar (diberi
garis bawah) yang di depannya ditulis kata dalam, tanggal terbit
(termasuk bulan dan tahun), dan tempat terbit. Jika sumber yang
dikutip ialah antalogi, maka lebih dahulu ditulis nama pengarang,
tahun terbit, kemudian nama penerbit.
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh penulisan daftar
pustaka.

Contoh 1. Penulisan untuk buku dengan satu pengarang.


Adul, M. Asfandi, 1981. Bahasa Indonesia Baku dan Fungsi Guru dalam
Pembinaan Bahasa Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu.

Contoh 2. Penulisan untuk buku dengan dua pengarang.


Wahyu dan Muhammad Masduki, 1987. Petunjuk Praktis Membuat Skripsi.
Surabaya: Usaha Nasional.

Contoh 3. Penulisan untuk buku dengan lebih dari dua pengarang.


Halim, Amran dkk.1974. Ujian Bahasa Seri Problema Pengajaran Bahasa Indo-
nesia 2. Jakarta: Ganaco N.V.

Contoh 4. Penulisan untuk buku yang ditulis oleh editor.


Halim, Amran. Editor. 1974. Politik Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Contoh 5. Penulisan untuk beberapa buku yang ditulis satu orang.


Badudu, J.S. 1979. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Cetakan IX. Bandung: Pustaka
Prima.
_____, 1980a. Membina Bahasa Indonesia Baku Seri 1. Bandung: Pustaka Prima.
_____, 1980b. Membina Bahasa Indonesia Baku Seri 2. Bandung: Pustaka
Prima.
_____, 1983. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: Gramedia.

Contoh 6. Penulisan untuk majalah.


Parera, J.D. 1980. “Kalimat Efektif ”. Dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.
Tahun VI Nomor 3, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Contoh 7. Penulisan untuk surat kabar.


Jarkasi. 1989. “Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
terhadap Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Nasional serta Kaitannya
dengan mutu Pengajaran Bahasa Indonesia”. Dalam Banjarmasin Post.
22 Februari 1989. Banjarmasin.

BAB 7
Tata Cara Pengutipan dan Penulisan Daftar Pustaka
111
Contoh 8. Penulisan untuk antologi.
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1977. “ Problems of Indonesian”. Dalam
Amran Halim (Editor). Bahasa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

DASAR-DASAR MENULIS
112 dengan Penerapannya
BAB 8

Menulis untuk Berbagai


Keperluan Praktis

B
anyak hal yang dapat kita tulis atau tuangkan untuk dijadikan
karangan. Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai cara
menulis resensi buku, ringkasan buku, teks pidato atau sam-
butan, teks berita, dan hasil seminar atau diskusi. Kegiatan penulisan
demikian sangat berguna dan merupakan keperluan praktis yang
banyak dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa serta masyarakat luas.

8.1 Menulis Resensi Buku


Resensi menurut Keraf (1980:274) adalah suatu tulisan atau
ulasan nilai sebuah karya atau buku. Dengan demikian, resensi berarti
ulasan terhadap suatu karya, baik berupa buku, drama, maupun
film. Di sini yang akan dibicarakan ialah tentang penulisan resensi
buku.
Resensi buku atau yang lazim disebut “timbangan buku” sering
kita temui di surat kabar dan majalah. Buku yang di resensi ada
yang fiksi dan ada yang nonfiksi. Pembuatan suatu resensi bertujuan
untuk memperkenalkan atau memberikan gambaran tentang suatu
karya atau dalam hal ini berupa buku kepada masyarakat atau pem-
baca: apakah buku itu penting untuk dibaca atau tidak? Jadi, resensi
sama sekali bukan suatu uraian yang bermaksud membujuk orang
untuk membeli atau membaca buku yang di resensi. Karena itu,
seorang resensator harus bersikap objektif dalam menilai buku yang
dihadapinya. Resensator harus mengetahui dengan jelas mengenai
tujuan pengarang yang terdapat dalam bukunya. Untuk itu, resen-
santor sejeli mungkin mempelajari kata pengantar dan pendahuluan
dari buku yang di resensi itu.

BAB 8
Menulis untuk Berbagai Keperluan Praktis
113
Biasanya pengarang menguraikan hal-hal yang dikehendakinya
melalui karangannya. Resensi bertugas memberikan penjelasan atau
gambaran kepada pembaca atau masyarakat: apakah buku itu cocok
dan bermanfaat bagi mereka? Dengan kata lain, resensator memberi
arah kepada calon pembaca buku.
Penulis resensi sudah selayaknya memiliki pengetahuan tentang
bidang ilmu dari buku yang akan diulasnya. Artinya, akan terasa
janggal bila penulis resensi sama sekali tidak menguasai bidang ilmu
dari buku yang di resensi, padahal ia bermaksud memberikan pertim-
bangan tentang perlu tidaknya buku itu untuk dibaca orang lain.
Penulis resensi perlu memerhatikan arah penyajian tulisannya.
Jika ia mengirimkan resensi nya ke majalah yang terbatas daerah
edarnya atau hanya untuk kalangan tertentu, maka ia harus menye-
suaikan gaya bahasa dan cara penyajiannya. Demikian pula jika di-
sampaikan ke surat kabar yang daerah edar nya luas dan pembacanya
yang berbagai lapisan atau tingkatan, maka gaya bahasa resensi harus
disesuaikan agar mudah diterima pembacanya.
Untuk membuat suatu resensi, perlu kita perhatikan tentang
macam atau jenis buku, kelebihan dan kekurangan buku dan kesan
umum terhadap buku itu. Buku yang termasuk ke dalam karya sastra
tentu berbeda jika dibandingkan dengan buku filsafat atau memuat
ilmu pengetahuan tertentu. Suatu kelebihan atau keistimewaan dari
buku harus diungkapkan dengan jelas, begitu juga kalau ada keku-
rangannya. Resensi harus mampu memberikan semacam gambaran
atau kesan umum dari buku itu. Hal demikian sangat penting karena
akan dapat memengaruhi sikap pembaca resensi. Resensator perlu
juga melengkapi resensinya dengan keterangan fisik buku, penerbit
buku, dan latar belakang penulisnya.
Khususnya untuk penulisan resensi tentang kaya sastra ( ro-
man atau novel), resensator perlu membekali diri dengan pengetahuan
teori sastra, terutama tentang, unsur-unsur yang terdapat dalam karya
sastra itu seperti alur atau plot, sudut pandangan, penokohan, gaya
bahasa, dan tema. Unsur-unsur itu merupakan bekal mendasar bagi
resensator suatu roman atau novel.
Berikut ini contoh sebuah resensi terhadap buku Tai Chi Chien
54 Jurus Pedang Penyambung Rasa.

DASAR-DASAR MENULIS
114 dengan Penerapannya
Bonus Berupa Keseimbangan Hidup

Judul : Tai Chi Chien 54 Jurus Pedang Penyambung Rasa


Oleh : Jusuf Susanto
Penerbit : Pustaka Sinar Harapan
Tebal : 172 Halaman
Tahun : 1988

Satu lagi langkah maju ke depan. Jusuf Susanto kali ini menerbitkan
buku kedua Tai Chi Chien menyusul buku pertama yang diterbitkan
tahun lalu dengan judul Tai chi Chuan.
Tujuan penerbitan kedua buku ini sama, yakni sebagai bahan bacaan
bagi mereka yang berminat untuk menggali lebih dalam tentang apa
sebenarnya sasaran yang ingin dicapai oleh olahraga ini dan falsafah apa
yang terdapat dibelakangnya. Sasarannya jelas, dari gerakan teratur dan
berkesinambungan disertai penghayatan antara gerak gemulai yang dipadu
dengan tarikan dan hembusan napas teratur, tidak lain untuk menjaga
kesehatan.
Tingkat kesehatan yang ingin dicapai bukan hanya jasmani belaka,
tetapi juga demi kesehatan rohani. Sehingga mereka yang tekun berlatih
Tai chi Chuan maupun Tai Chi Chien akan mendapatkan bonus berupa
perasaan yang selalu seimbang, rasa sehat jasmani dan rohani.
Keseimbangan hiduplah yang dicari.
Hanya bedanya gerakan-gerakan Tai Chi Chuan dilakukan dengan
tangan kosong, tetapi Tai Chi Chien dilengkapi dengan alat bantu pedang.
Mengapa harus berlatih dengan pedang? Tidaklah pedang menjadi simbol
kekerasan dan sadism yang justru bertentangan dengan falsafah Tai Chi
Chuan sendiri? Jawabnya secara gamblang dijelaskan dalam buku ini
yang mulai beredar di awal tahun 1989.

Vitalitas
Hidup ini memang aneh, tidak sedikit pekerja yang tidak merasakan
cocok dengan lingkungan kerjanya sehingga dari waktu ke waktu
hidupnya tidak lepas dari rasa tertekan. Atau ada kelompok lain yang
kelihatan sehat dan tegar, tetapi ketika pensiun menjadi cepat keliatan
tua, vitalitas dan semangat hidupnya merosot secara drastis, mulai sakit-
sakitan dan tak lama kemudian terdengar berita bahwa yang bersangkutan
meninggal.
Latihan ilmu pedang ini juga dimaksudkan untuk menjaga vitalitas
pelakunya supaya tidak cepat lusuh dimakan waktu karenanya dapat
memberikan arti yang lebih bagi hidup dan kehidupannya.

BAB 8
Menulis untuk Berbagai Keperluan Praktis
115
Kita sadar bahwa tantangan kehidupan di masa mendatang makin berat.
Penduduk bertambah sesak, kekayaan alam makin berkurang, persaingan
dunia internasional makin tajam. Namun, etos kerja baru yang dibangun
melalui latihan pedang Tai Chi ini akan menyebabkan semua masalah
bisa ditanggulangi. Karenanya, ilmu ini disebut juga Ilmu 54 Jurus Pedang
Penyambung Rasa.
Dari buku tersebut banyak falsafah hidup yang bisa dijadikan pegangan
hidup. Diceritakan, Orang suci yang bodoh setiap hari memenuhi sumur
dengan salju.
Makna yang ditangkap cukup dalam. Kalau kita ingin mengisi sumur
dengan pasir atau tanah, betapapun kecilnya, bila itu dilakukan terus
menerus, maka suatu saat sumur itu akan penuh juga. Tetapi bila
mengisinya dengan salju, sumur itu tak akan pernah penuh.
Makna dari perbuatan orang suci yang tolol itu adalah hidup ini harus
terus menerus diisi dengan segala perbuatan baik tanpa putus asa, meskipun
usahanya tidak dihargai orang.

Lentur
Banyak kelebihan yang bisa diraih dari olahraga Tai Chi. Meskipun
gerakannya lembut dan lambat, namun berkesinambungan sehingga otot-
otot penggerak tidak begitu memerlukan tambahan energi yang banyak.
Maka sel tubuh juga sangat diuntungkan. Meskipun frekuensi pernapasan
perlahan, namun karena diimbangi dengan kembang-kempis nya rongga
dada maupun naik-turunnya diafragma yang maksimal, maka terjadilah
apa yang disebut “ hyperventilatrd” pada paru-paru selama 30-45 menit.
Sebagai sisa pembakaran atau oksidasi berupa CO2 dan H2O dalam
bentuk keringat, karenanya meskipun Tai Chi Chuan perlahan, keringat
yang keluar cukup banyak.
Karena itu Tai Chi Chuan bukan saja cocok bagi orang tua tetapi
juga bagi orang muda, bahkan perlu bagi olahragawan prestasi sebagai
sarana dasar.
Dari latihan teratur akan membuat persendian akan lebih awet, tahan
lama, dan anti kaku karena gerakan Tai Chi Chuan selalu kontroversial,
yakni ke kanan, ke kiri, maju mundur, naik turun, melingkar, spiral atau
disebut sebagai irama Yin Yang. Karena gerakan itu, seolah pelakunya
dilatih untuk menerima gejolak-gejolak hidup sebagai hal yang lumrah
dan tidak akan merasakan adanya perubahan sebagai suatu benturan
atau suatu sesuatu yang merugikan. Itu pengaruh kejiwaan. Tetapi dari
segi lain didapatkan kelebihan-kelebihan ekstra seperti yang dimiliki
pakar-pakar Tai Chi Chuan di Tiongkok atau Taiwan.
Seorang ahli Tai Chi Chuan dari Taiwan dapat mendorong seseorang
tanpa harus menyentuhnya. Dalam jarak renggang seseorang tanpa dapat
berdaya merasakan dirinya terdorong ke belakang seolah terbawa oleh

DASAR-DASAR MENULIS
116 dengan Penerapannya
arus gelombang laut yang kuat. Gerakan mendorong itu mungkin
dihasilkan dari tenaga dalam yang tercipta berkat latihan yang tekun dan
dilakukan secara berkesinambungan tanpa rasa bosan.
Tetapi apakah dari latihan Tai Chi Chuan yang dilakukan di negeri
kita selain dapat memetik hasil sehat jasmani, kuat rohani, dan juga
mendapat kelebihan-kelebihan ekstra? Ini yang tidak diungkapkan dalam
buku.
Memang agak aneh juga, pengarang buku ini seorang ahli yang bertahun-
tahun menuntut ilmu teknologi tekstil di Bandung kemudian belajar di
Jerman Barat dan Jepang tetapi ia mengalikan arah hidupnya sebagai
guru dan pelatih Tai Chi Chuan. Apakah pemenuhan kebutuhan materi
dan terutama batin, memang ditemukan lewat jalan ini? Hanya dialah
yang Tahu. – Hendarto
(Dikutip dari Suara Pembaharuan, terbitan 15 January 1989)

Resensi yang disajikan tersebut merupakan resensi terhadap


buku yang bukan karya sastra. Tampak di situ resensator cukup
padat dan terurai dalam mengulas buku Tai Chi Chien 54 Jurus
Pedang Penyambung Rasa karya Jusuf Sutanto. Hendarto sebagai
resentator mencoba mengungkapkan isi buku itu serta memberikan
judul terhadap resensinya dengan “ Bonus Berupa Keseimbangan
Hidup”. Pemberian judul sebuah resensi diharapkan dapat
mencerminkan penilaian tersendiri dari resensator terhadap buku
yang diresensi.
Untuk membuat resensi yang baik, perlu kita mengenal dan
memahami kerangka bacaan yang disajikan penulisnya. Setiap
resensator hendaknya banyak membaca resensi orang lain. Dengan
demikian, kita akan menemukan hal-hal yang menarik dan yang
perlu dimasukkan ke dalam suatu resensi.

8.2 Menulis Ringkasan Buku


Para pelajar dan mahasiswa tidak jarang menerima tugas dari
pengajarnya untuk membuat ringkasan bahan bacaan, baik berupa
buku maupun artikel. Untuk membuat ringkasan yang baik dan sesuai
dengan yang diinginkan, perlu dilakukan tata cara atau langkah-
langkahnya. Memang, tidak ada patokan yang mutlak tentang cara
membuat ringkasan itu. Namun, dengan adanya semacam patokan
atau acuan, akan dapat dihasilkan suatu ringkasan yang tidak me-

BAB 8
Menulis untuk Berbagai Keperluan Praktis
117
nyimpang dari naskah aslinya. Sebab, ringkasan pada dasarnya
menurut Keraf (1980:261) adalah suatu cara yang efektif untuk
menyajikan suatu karangan yang panjang dalam bentuk yang singkat.
Untuk kepentingan studi, upaya peringkasan terhadap bahan
bacaan sangat bermanfaat. Dengan meringkas buku atau artikel,
sekaligus akan mengarahkan penulisnya untuk mempelajari secara
menyeluruh dan mendalam terhadap karya yang diringkas. Ringkasan
yang tepat akan dapat dijadikan gambaran umum atau sebagai garis
besar isi karangan aslinya. Jadi, untuk membuat suatu ringkasan,
tidak dapat disusun sembarangan atau tanpa menyelami karangan
aslinya.
Membuat ringkasan berarti melatih diri untuk mengambil dan
memilah-milah bagian-bagian penting dari suatu karangan. Dengan
meringkas, penulisnya akan terarah untuk memadukan antar bagian
penting dari karangan dengan terlebih dahulu menyisihkan bagian
yang kurang penting atau bagian yang hanya bersifat penjelas.
Ada beberapa langkah kerja yang perlu diperhatikan dalam
penulisan suatu ringkasan, yaitu sebagaimana yang dikemukakan
Keraf (1980:263) berikut ini.
1. Membaca naskah asli: penulis ringkasan harus membaca naskah
asli beberapa kali untuk mengetahui kesan umum dan maksud
pengarang, serta sudut pandangnya.
2. Mencatat gagasan utama: semua gagasan utama atau gagasan
yang penting dicatat atau digarisbawahi.
3. Membuat reproduksi: sebagai langkah ketiga penulis ringkasan
menyusun kembali suatu karangan singkat (ringkasan) berdasar-
kan gagasan-gagasan utama sebagaimana yang dicatat dalam
langkah kedua di atas.
4. Ketentuan tambahan: di samping ketiga langkah di atas, masih
ada beberapa ketentuan tambahan yang perlu diperhatikan pada
waktu menyusun ringkasan (langkah ketiga).

Bertolak dari hal-hal yang dikemukakan di atas, maka berikut


ini diuraikan tentang cara membuat ringkasan.
Langkah pertama yang harus dilakukan peringkas ialah mem-
baca naskah asli, yang berarti mencoba untuk mengetahui dengan
cermat tentang hal yang termuat dalam naskah itu. Peringkas tidak
akan berhasil membuat ringkasan bila ia hanya membaca isi naskah
sepotong-potong atau tidak secara keseluruhan. Kegiatan membaca

DASAR-DASAR MENULIS
118 dengan Penerapannya
demikian tergolong dalam membaca pemahaman dengan tujuan untuk
memperoleh gambaran atau kesan umum terhadap karya yang dibaca.
Perbuatan membaca dalam hal ini tidak sekadar menghabiskan ha-
laman demi halaman, peringkas sedapat mungkin menjaga kesinam-
bungan daya tangkapnya terhadap karangan itu dengan selalu memer-
hatikan semua bagian karangan. Dengan membaca naskah asli,
peringkas akan terpacu untuk menyimpulkan sesuatu yang patut
disimpulkan.
Dalam membaca naskah asli dapat dilakukan berulang-ulang
atau lebih dari sekali. Hal itu penting agar pemahaman terhadap
naskah dapat lebih tepat, walaupun prosesnya kadang-kadang lebih
lambat dan merepotkan. Ada juga cara pengulangan membaca dengan
tidak terlebih dahulu menunggu sampai selesai seluruh karangan;
penulis atau peringkas dapat membaca ulang secara bertahap.
Ukuran keseringan membaca ulang hendaknya disesuaikan dengan
kemampuan pemahaman ringkas. Ada saat peringkas memusatkan
perhatiannya lebih tinggi terhadap bagian karangan. Upaya itu sangat
berguna untuk menemukan maksud pengarangnya. Dengan cara
demikian, diharapkan akan terjadi adanya kekaburan pemahaman.
Langkah kedua ialah mencatat gagasan utama. Pencatatan
gagasan utama bertumpu pada hal yang paling penting dalam suatu
alinea atau paragraf. Sebuah karangan pada dasarnya merupakan
rangkaian alinea yang akarnya bertumpu pada pengungkapan kalimat.
Karena itu, untuk keperluan meringkas naskah tertentu, diperlukan
kemampuan dan ketelitian dalam menderet hal-hal penting. Hal-hal
yang itu merupakan gagasan utama. Pringkas hendaknya mampu
menandai unsur penting dari setiap alinea yang ada pada semua per
alinea itu. Tentu saja tidak semua kalimat utama yang berisi gagasan
utama per alinea itu ditampung dalam ringkasan. Karena itu, seorang
pringkas harus jeli mengambil dan menggugurkan gagasan utama
yang terdapat pada kalimat utama dalam suatu paragraf.
Yang dimaksud dengan mengambil gagasan utama adalah men-
jadikannya sebagai bahan atau pijakan dalam meringkas; sedangkan
yang disebut dengan menggugurkan gagasan utama adalah mele-
paskannya dari bahan langsung yang dijadikan ke ringkasan. Kenya-
taan menunjukkan bahwa adanya penghilangan alinea-alinea tertentu
yang kurang penting, berarti ada pula alinea yang menjadi pusat dari
alinea-alinea dalam suatu bagian atau bab-bab. Hal itu terasa sekali
bila kita meringkas buku yang berhalaman ratusan lebih.

BAB 8
Menulis untuk Berbagai Keperluan Praktis
119
Jika selesai mencatat segala gagasan utama, maka selanjutnya
peringkas melakukan pekerjaan inti, yakni memproduksi atau mering-
kas naskah. Peringkas masih harus berpedoman pada gagasan-gagasan
utama yang ada-ada, kemudian dituangkan ke dalam kalimat-kalimat
baru yang efektif dan mencerminkan keutuhan karangan. Kalimat-
kalimat yang dibuat harus merupakan pemadatan dari gagasan utama
yang telah tersaring. Kedudukan kalimat yang dibuat harus menun-
jang atau memperjelas makna bagian tertentu serta keseluruhan mate-
ri karangan.
Setelah memproduksi berarti selesailah penyusunan suatu ring-
kasan. Selain itu, dalam meringkas yang terpenting adalah cara mem-
persingkat uraian-uraian yang berwujud karangan dengan tetap mem-
pertahankan isi karangan. Mungkin dalam rangka suatu tugas ada
kemungkinan yang harus ditaati peringkas, misalnya tentang panjang-
pendeknya ringkasan. Mungkin peringkas diminta meringkas dengan
ketentuan harus seperlima dari karangan asli, sepersepuluh, atau
sejumlah lainnya.
Sebelum ringkasan sudah benar-benar selesai, maka perlu
ditinjau kembali tentang kesesuaiannya dengan ketentuan yang harus
dilakukan. Apakah ringkasan telah benar-benar dapat mencerminkan
isi karangan atau menjadi terpotong-potong? Dengan peninjauan
itu, mungkin ada perbaikan yang perlu dilakukan agar hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan.
Berikut ini disajikan sebuah karangan (artikel) untuk dijadikan
bahan ringkasan. Panjang ringkasan sekitar seperlima dari naskah
asli.

Menuju Keluarga Bahagia dan Sejahtera


Dalam menangani masalah-masalah pokok kependudukan dan
keluarga berencana, Garis-garis Besar Haluan Negara antara lain
memberikan pengarahan bahwa program KB bertujuan ganda ialah untuk
meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga
kecil bahagia dan sejahtera. Hal tersebut menjadi dasar bagi terwujudnya
masyarakat sejahtera dengan pengendalian kelahiran dan untuk
mengendalikan pertumbuhan penduduk Indonesia.
Dengan pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi dan jumlah
penduduk yang besar serta penyebaran yang tidak merata, maka kualitas
penduduk menjadi masalah yang makin meningkat. Untuk dapat
mendayagunakan bagi pembangunan, penduduk perlu mempunyai

DASAR-DASAR MENULIS
120 dengan Penerapannya
produktivitas dan kualitas yang memadai, baik dari segi fisik maupun
nonfisik. Tanpa peningkatan ini, penduduk yang besar akan dapat
menimbulkan berbagai permasalahan pada masa mendatang dan
merupakan beban pembangunan.
NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera) yang
merupakan salah satu sasaran dalam program KB akan dapat menunjang
keberhasilan pembangunan nasional apabila ditunjang pula oleh sikap
dan tingkah laku dalam keluarga. Sikap itu antara lain: 1) Sikap orang
tua dalam mendidik anak, 2) sikap orang tua dalam memilih pola
konsumsi keluarga.
Dalam suatu keluarga yang hanya memiliki sejumlah kecil anak,
misalnya dua atau tiga, diharapkan anak-anak akan memperoleh
kesempatan belajar yang semaksimal mungkin. Namun demikian, belum
tentu keadaan ekonomi yang relatif baik ini akan dapat membawa anak
untuk memperoleh kesempatan semaksimal mungkin dalam bidang
pendidikan. Banyak orang tua yang karena mengandalkan kekuatannya
dalam bidang ekonomi semata-mata menganggap uang sebagai raja.
Akibatnya mengalami kekecewaan karena ternyata anak-anaknya banyak
yang gagal dalam studi mereka. Hal ini disebabkan bahwa keberhasilan
studi seseorang tidak hanya ditunjang oleh terpenuhinya kebutuhan di
bidang ekonomi saja. Bila pendidikan semata-mata mengandalkan segi
ekonomi tentu usaha untuk menciptakan anak-anak yang berkualitas
tinggi di bidang pendidikan tidak akan tercapai.
Untuk itulah, di samping diperlukan sarana penunjang di bidang
ekonomi, juga dibutuhkan sarana keluarga yang dapat mendukung
keberhasilan studi seseorang. Selanjutnya karena pembangunan yang
menyeluruh menuntut ikut sertanya pria maupun wanita secara maksimal
di segala bidang, maka dalam rangka ini wanita mempunyai hak,
kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta dalam
kegiatan pembangunan.
Seorang wanita yang tidak memiliki keterampilan apa-apa akan sukar
untuk dapat berpartisipasi secara penuh dalam pembangunan. Untuk
itu, orang tua perlu memberi kesempatan dan mendorong pada putrinya
guna mencapai pendidikan yang setinggi mungkin.
Selain itu, pola konsumsi keluarga sedikit banyak akan memengaruhi
pola keberhasilan pembangunan nasional. Pola hidup yang berorientasi
pada pola hidup mewah, jelas tidak akan menunjang pembangunan.
Dengan pola hidup sederhana, keluarga-keluarga yang mempunyai
kelebihan uang dapat menginvestasikan uangnya untuk kegiatan-kegiatan
yang dapat menunjang pembangunan. Penggalakan penggunaan produksi
dalam negeri. Dengan berkembangnya industri dalam negeri, akan
meningkat pula kesempatan memperluas lapangan kerja.

BAB 8
Menulis untuk Berbagai Keperluan Praktis
121
Penundaan usia bagi suatu perkawinan, baik bagi pria maupun
wanita, akan memperlambat kelahiran. Kawin pada usia muda cende-
rung mempunyai tingkat kelahiran yang tinggi dan masa reproduksi yang
lebih lama. Penundaan usia perkawinan ini dapat dilakukan apabila
disertai peningkatan pendidikan, baik bagi pria maupun wanita. Dengan
diperolehnya pendidikan yang lebih baik, maka persiapan menuju ke
perkawinan akan mantap pula. Karena dengan tingkat pendidikan yang
relatif tinggi, akan diperoleh kesempatan kerja yang baik pula. Hal
tersebut berarti diharapkan kualitas keluarga yang akan dibentuk pun
akan lebih baik pula.
Program Keluarga Berencana yang berusaha menanamkan NKKBS
akan menunjang program pembangunan. Apabila didukung oleh sikap
dan perilaku keluarga yang mendukung pembangunan. Keluarga sebagai
unit sosial dan ekonomi yang terkecil mempunyai peranan penting sekali
atas pelaksanaan pembangunan.
Untuk itulah, diperlukan adanya suatu sikap dari setiap keluarga
yang kiranya dapat memberikan andil guna menyukseskan pembangunan.
Sumber: Pikiran Rakyat, 1986

Artikel tersebut jumlah alineanya ada 10 buah, jumlah kalimat-


nya ada 32 buah, dan kata-katanya berjumlah 580 buah. Jika artikel
itu diringkas dengan ketentuan panjang ringkasan hanya seperlimanya,
maka ringkasan diperkirakan memuat 6 buah kalimat dalam 2 buah
alinea, dengan jumlah kata 116 buah.
Setelah artikel di atas dibaca dengan cermat, maka jika diurut-
kan gagasan utamanya atau pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam tiap alinea, dihasilkan berikut ini:
1) Alinea ke–1 berisi tentang tujuan KB, yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil
bahagia dan sejahtera.
2) Alinea ke–2 berisi tentang pernyataan bahwa pertumbuhan
penduduk yang tinggi akan menimbulkan permasalahan tertentu
dan merupakan beban pembangunan.
3) Alinea ke–3 menyatakan bahwa NKKBS merupakan sasaran
Program KB yang akan menunjang keberhasilan pembangunan
nasional.
4) Alinea ke–4 menyatakan bahwa dengan keluarga kecil, diha-
rapkan anak dapat memperoleh kesempatan belajar yang cukup.
5) Alinea ke–5 menyatakan bahwa pembangunan menuntut ikut
sertanya pria dan wanita.

DASAR-DASAR MENULIS
122 dengan Penerapannya
6) Alinea ke–6 memuat pernyataan bahwa wanita perlu membekali
dirinya dengan keterampilan tertentu.
7) Alinea ke–7 menyatakan bahwa pola konsumsi keluarga meme-
ngaruhi keberhasilan pembangunan.
8) Alinea ke–8 mengemukakan bahwa penundaan usia perkawinan
dapat dilakukan bila disertai dengan peningkatan pendidikan,
baik bagi pria maupun wanita.
9) Alinea ke–9 dan ke–10 berisi semacam kesimpulan bahwa
keluarga sebagai unit sosial dan ekonomi yang terkecil mempu-
nyai peran yang penting dalam pelaksanaan pembangunan.

Ringkasan artikel “Menuju Keluarga Bahagia dan Sejahtera”


itu adalah sebagai berikut.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menimbulkan berbagai
permasalahan. Karena itu program keluarga berencana (KB) bertujuan
untuk mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera harus dapat
terlaksana dengan baik serta mencapai hasil yang diharapkan. Salah satu
langkah awal untuk membentuk keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera
adalah penundaan usia kawin. Penundaan usia kawin lebih diarahkan
pada peningkatan atau kesempatan belajar.
Program KB melalui pencanangan Norma Keluarga Kecil yang
Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) bertujuan meningkatkan kesejahteraan
dan kebahagiaan keluarga. Dengan keluarga kecil yang bahagia dan
sejahtera, anak akan mendapat kesempatan belajar yang cukup. Dengan
demikian, keluarga sebagai bahan yang tidak terpisahkan dari masyarakat
dapat membentuk putra-putri yang berkemampuan untuk ikut serta dalam
pelaksanaan pembangunan nasional.
Ringkasan tersebut dianggap telah sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan, yakni seperlima dari naskah aslinya.

8.3 Menulis Teks Pidato/Sambutan


Menulis teks pidato atau sambutan berarti membuat sejenis
karangan yang akan disampaikan di depan umum, baik secara lang-
sung maupun tidak langsung seperti melalui radio dan televisi. Me-
mang tidak semua kegiatan pidato disertai teks atau naskah.
Sebaliknya, ada pula orang yang sama sekali tidak mampu atau
kurang mantap berpidato bila tidak menggunakan teks atau naskah.

BAB 8
Menulis untuk Berbagai Keperluan Praktis
123
Sesuai dengan keperluan penulisan teks pidato/sambutan sedikit
berbeda dengan karangan biasa. Teks pidato memiliki ragam atau
gaya bahasa lisan, sehingga memerlukan pengungkapan bahasa yang
bersifat khusus. Dalam teks pidato/sambutan, dimuat kata-kata atau
ungkapan yang bersifat sapaan seperti:”Hadirin yang terhormat”,
“Saudara-saudara yang saya hormati”, “Pendengar yang budiman”,
dan “Bapak-Ibu yang berbahagia”. Namun demikian, ada pula teks
pidato/sambutan yang hanya uraiannya ditulis, sedangkan hal-hal
yang dianggap sebagai pelengkap atau penjelas diucapkan langsung
tanpa teks.
Penulisan teks pidato/sambutan memiliki tujuan yang mendasar.
Apakah tujuan pidato untuk menghibur? Apakah tujuan pidato untuk
memberitahukan sesuatu kepada pendengar? Apakah tujuan pidato
untuk memengaruhi dan memasukkan suatu keyakinan atau pendirian
kepada pendengar? Demikian pula jika kita memperoleh kesempatan
untuk memberikan sambutan dalam acara tertentu. Bila untuk sua-
sana gembira, maka teks pidato/sambutan menggunakan bahasa yang
segar dan dapat membangkitkan rasa senang, rasa humor dan rasa
santai. Bila pidato bertujuan untuk penyampaian untuk penyampaian
informasi tertentu yang tidak memerlukan unsur-unsur humor, maka
bahasa yang digunakan bersifat sederhana dan tidak bertele-tele.
Bila tujuan pidato/sambutan adalah untuk menanamkan suatu keya-
kinan, ajaran dan pendirian, maka bahasanya harus sesuai dengan
jalan pikiran yang sehat dan dengan argumentasi yang kuat. Tujuan
dan ciri-ciri yang terkandung dalam setiap pidato/sambutan meme-
ngaruhi wujud naskah yang akan dipersiapkan.
Pembuatan naskah pidato/sambutan bertumpu pada tiga hal
pokok. Pertama, harus ada pembukaan; kedua, teks harus ada isi
dan ketiga, teks harus ada penutup.
Sebagaimana lazimnya bahwa untuk mengarang suatu tulisan,
terlebih dahulu harus dipelajari tentang hal-hal yang berhubungan
dengan isi karangan. Demikian pula dalam penulisan teks pidato/
sambutan diperlukan penelaahan terhadap hal yang akan disampaikan.
Dengan demikian, teks pidato/sambutan akan lebih bermakna dan
mencapai sasaran yang diinginkan.
Setelah hal-hal yang berkaitan dengan isi karangan dipelajari,
maka mulailah penyusunan teks yang dimaksud.
Ucapan penghargaan dan terima kasih dapat ditempatkan pada
bagian awal pembukaan teks, kemudian hal yang bersifat pengantar

DASAR-DASAR MENULIS
124 dengan Penerapannya
dan pencanangan akan pentingnya hal yang menjadi inti pidato. Dalam
pembukaan disampaikan pokok-pokok atau garis besar isi pidato.
Sesudah pembukaan ialah penyampaian isi. Perpindahan dari pem-
bukaan menuju bagian isi hendaknya tidak secara mendadak, tetapi
harus dapat menggambarkan kesinambungan jalan pikiran. Hal itu
dimaksudkan agar pendengar tidak menjadi bingung. Bagian isi meru-
pakan pesan atau amanat yang lebih panjang dari pembukaan dan
penutup.
Bagian isi harus dapat mengarahkan perhatian pendengar untuk
menyimak hal yang disampaikan. Kalimat-kalimat yang dibuat meru-
pakan kalimat efektif, sehingga tidak terjadi kesalahan penerimaan
informasi.
Kalau pada bagian isi merupakan bagian inti pidato/sambutan,
maka pada bagian penutup merupakan kesimpulan atau pembutiran
kembali hal-hal yang telah disampaikan. Penutup pidato/sambutan
harus dirumuskan sedemikian rupa, jelas, padat, dan merupakan
pengulangan singkat hal yang telah dikemukakan.
Bahasa dalam teks pidato/sambutan sebenarnya tidak berbeda
dengan bahasa yang dipakai dalam karangan biasa, hanya saja bahasa
teks pidato/sambutan mempunyai ciri khusus. Bahasa teks pidato/
sambutan lebih mengarah pada bahasa lisan serta jika teks itu harus
dibaca, harus mencerminkan bahasa lisan. Namun, unsur kata bahasa
tidak dapat ditinggalkan. Karena itu dalam penulisan teks pidato/
sambutan harus diperhatikan pilihan kata (diksi), pemakaian kalimat
yang efektif, penyusunan alinea/paragraf yang mempunyai kesatuan,
pemakaian ragam bahasa yang tepat, dan penggunaan gaya bahasa
yang menarik.
Penyusunan naskah pidato/teks hendaknya tidak menggunakan
penomoran yang banyak dan terperinci, sebab pendengar kemung-
kinan besar akan mengalami kesukaran dalam menyimak materi
yang disampaikan. Jika nomor-nomor diperlukan untuk mengacu
bagian-bagian pidato, hendaknya dibuat sesederhana mungkin agar
pendengar mudah mengarahkan pikiran untuk menyerap hal yang
diungkapkan.
Untuk memperkuat atau meyakinkan pendengar terhadap
kesahihan bahan atau materi yang dikemukakan, dapat disertakan
kutipan yang memuat pendapat para ahli. Namun, tidak perlu terlalu
banyak menampilkan kutipan, Kutipan dipakai karena memang sesuai
dengan materi yang dibicarakan, tidak bersifat asal kutipan.

BAB 8
Menulis untuk Berbagai Keperluan Praktis
125
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa untuk menulis teks pidato/
sambutan. Diperlukan perhatian khusus karena berbeda dengan cara
menulis karangan biasa. Walau demikian, inti tahapan penulisannya
tidak berbeda, yakni harus ada tahapan pembukaan, isi, dan penutup.
Berikut ini akan disampaikan sebuah naskah pidato yang disampaikan
oleh Mendikbud RI, Syarif Thayep, pada Pembukaan Seminar Politik
Bahasa Nasional yang dilaksanakan pada 25 sampai dengan 28
Februari 1975 di Jakarta.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Dengan senang hati saya, menyongsong Seminar Politik Bahasa
Nasional yang dihadiri oleh berbagai kalangan, baik sebagai peserta
maupun sebagai peninjau. Lebih dari 29 tahun yang lalu Undang-Undang
45 telah menetapkan garis-garis kebijaksanaan dalam masalah kebahasaan
yang terkenal sebagai yang termaktub dalam Bab XV, Pasal 36, yaitu
bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa negara kita, dan bahwa
bahasa daerah yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik akan dihormati
juga oleh negara karena merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia
yang hidup.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara merupakan lambang semangat
kebangsaan Indonesia, pemersatu bangsa dan budaya, alat ketahanan
nasional, alat perhubungan antar daerah dan suku bangsa Indonesia,
bahasa resmi pemerintah, bahasa pengantar dalam dunia pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Kita boleh berbangga dan merasa beruntung bahwa kita sebagai
bangsa yang relatif masih muda memiliki bahasa nasional. Saya percaya
Anda sekalian akan sependapat dengan saya bahwa kita tidak boleh
terhanyut oleh kebanggaan saja, akan tetapi kita hendaknya dapat
mengimbangi dengan kesungguhan hati untuk memelihara dan
memberikan arahan kepada perkembangan bahasa nasional kita.
Hendaknya kebanggaan kita itu dilengkapi pula dengan kegairahan kita
untuk meningkatkan mutu dan luas pemakaiannya di dalam masyarakat
kita, terutama peningkatan mutu pengajarannya di lembaga-lembaga
pendidikan kita mulai taman kanak-kanak sampai dengan perguruan
tinggi. Pengajaran dan pemakaian bahasa Indonesia hendaknya sedemikian
rupa sehingga makin lama pengetahuan mengenai bahasa Indonesia makin
mendalam dan penggunaannya makin meluas sehingga dapat
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai wahana pengungkapan
budaya, sebagai pendukung dan alat pengembangan ilmu pengetahuan
dan sebagai sarana kenegaraan.

DASAR-DASAR MENULIS
126 dengan Penerapannya
Berdasarkan penjelasan mengenai ketetapan Undang-Undang Dasar
kita, tidaklah perlu dikhawatirkan bahwa kedudukan bahasa daerah akan
terdesak atau tersingkir sama sekali oleh bahasa nasional. Perasaan ini
tidaklah benar oleh karena itu di luar lembaga-lembaga pendidikan anak-
anak didik umumnya tetap memakai bahasa daerah masing-masing, baik
di dalam lingkungan keluarganya maupun dalam masyarakat daerahnya.
Sebagai bagian yang penting dalam kebudayaan nasional, bahasa daerah
tentulah akan tetap mendapat perhatian dari pemerintah, baik di dalam
hubungannya dengan kehidupan kebudayaan daerah dan kebudayaan
nasional maupun dalam hubungannya dengan dunia pendidikan. Selain
itu, peranan bahasa daerah sebagai salah satu sumber yang dapat
dimanfaatkan untuk memperkaya bahasa nasional perlu tetap kita
pelihara.
Pada waktu ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sedang
mengadakan persiapan-persiapan agar dalam abad XX ini dapat
diwujudkan siaran nasional melalui radio dan televisi khusus untuk guru
(tahun 1978). Usaha ini nanti akan diteruskan untuk kepentingan anak
didik dari sekolah lanjutan. Seluruh kegiatan ini akan diselenggarakan
dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan salah satu usaha untuk membantu
para guru dalam tugasnya di seluruh pelosok tanah air kita. Murid-
murid yang putus sekolah diharapkan pula dapat memanfaatkan sarana
ini untuk meningkatkan ilmu yang telah diperolehnya bagi bekal hidup
selanjutnya.
Di dalam hubungan ini jelaslah betapa pentingnya peranan yang
dimainkan oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Untuk ini,
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia perlu diberi prioritas
tinggi.
Sebagai wadah masyarakat dunia, kita tidak dapat melepaskan diri
dari masalah pemakaian dan pengajaran bahasa-bahasa asing yang lazim
dipakai di dalam hubungan antar bangsa dan di dalam dunia ilmu
pengetahuan. Seharusnya kita dapat mengikuti dan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern bagi kepentingan
nasional kita, bahkan kita harus dapat memanfaatkannya sebagai salah
satu sumber untuk kepentingan pengembangan bahasa nasional kita,
terutama di dalam pengembangan tata istilah.
Pengajaran bahasa-bahasa asing perlu dimulai sejak pendidikan
menengah, dan dalam kedudukannya sebagai bahasa asing, bahasa-bahasa
ini tidaklah boleh bersaingan baik dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional dan bahasa negara maupun dengan bahasa daerah sebagai bagian
dari kebudayaan Indonesia yang hidup.
Semua masalah yang saya sebutkan ini memerlukan pendekatan yang
menyeluruh, yang dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan nasional dalam

BAB 8
Menulis untuk Berbagai Keperluan Praktis
127
bidang kebahasaan. Saya minta agar segenap masalah kebahasaan ini
dapat dibahas dengan seteliti-telitinya di dalam seminar ini. Sumbangan
pendapat dan saran Anda sekalian di dalam perumusan kebijaksanaan
nasional itu merupakan bahan yang tak ternilai harganya di dalam usaha
kita bersama untuk menangani masalah bahasa, yang merupakan salah
satu masalah nasional itu. Karena itu, masalah bahasa memerlukan kerja
sama nasional pula untuk mengatasinya.
Mudah-mudahan usaha Anda sekalian selama dan sesudah seminar
ini berlangsung untuk ikut mengolah masalah nasional ini diberkahi
oleh Yang Maha Kuasa.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

8.4 Menulis Berita


Bagi seorang wartawan menulis berita bukanlah suatu hal yang
asing. Setiap hari ia selalu berurusan dengan berita. Wartawan beru-
saha menyajikan berita seobjektif dan sebaik mungkin untuk menarik
perhatian pembaca. Betapa penting dan tingginya nilai suatu berita
bagi masyarakat. Dalam kehidupan modern sekarang ini hampir
semua orang menyenangi berita. Karenanya, sangat laris berbagai
majalah dan koran. Seakan-akan orang merasa rugi besar bila tidak
sempat menyimak berita dari radio atau TV serta jika tidak membaca
koran.
Dalam kegiatan sehari-hari tidak selamanya kita harus menik-
mati berita, kadang-kadang kita pun ingin menulis berita. Berita
yang ingin kita tulis dapat menjadi bahan berita untuk koran atau
majalah, bahkan mungkin untuk dikirimkan ke radio atau TV. Karena
itu, jika kita ingin menulis berita, maka perlu memiliki pengetahuan
tentang cara penulisan berita. Kemampuan menulis berita tidak selalu
didahului oleh pengalaman belajar menulis berita. Pengetahuan ten-
tang cara penulisan berita adalah untuk lebih mengefektifkan penya-
jian suatu berita. Dengan demikian, berita yang disampaikan dapat
mendapatkan sasaran yang diinginkan.
Secara garis besar kerangka sebuah berita harus dapat menja-
wab pertanyaan: apa, siapa, kapan, dan di mana. Pertanyaan apa
dirumuskan dalam bentuk pengungkapan tentang hal yang terjadi
atau yang diberitakan. Pertanyaan siapa menghendaki pengemukaaan
orang atau badan/lembaga. Pertanyaan kapan menghendaki penjelasan

DASAR-DASAR MENULIS
128 dengan Penerapannya
tentang waktu kejadian atau kegiatan. Kata di mana memerlukan
pemberitaan mengenai tempat peristiwa atau kegiatan.
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mesti selalu sama urutannya dalam
setiap berita. Sebuah berita dapat dimulai dengan jawaban dari siapa,
apa, kapan, ataupun di mana. Hal itu tergantung pada pola penyajian
penulis berita.
Berikut ini contoh berita.
BI akan Terus Sempurnakan Pengawasan
dan Pembinaan
Jakarta, Kompas
Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral di Indonesia akan lebih
menyempurnakan kriteria kehati-hatian (prudential standards) terhadap
perbankan lewat penerapan berbagai sanksi yang lebih tegas di samping
itu, BI akan terus berupaya melakukan penyempurnaan di bidang
pengawasan dan pembinaan.
Gubernur Bank Indonesia, Prof. Dr. Adrianus Mooy pada pertemuan
tahunan perbankan di gedung BI, Rabu malam, lebih jauh merinci
mengenai penyempurnaan di bidang pengawasan dan pembinaan lewat
early Warning system, yaitu berusaha mendeteksi kesulitan-kesulitan
yang dialami oleh bank sedini mungkin. “Sebelum terlanjur menjadi
parah”, tambah Mooy di hadapan sekitar 280 pimpinan perbankan dan
LKBB (Lembaga Keuangan Bukan Bank). (Dikutip dari Harian Kompas,
Kamis 19 Januari 1989, hlm 1, kolom 3).

Jika dipilah-pilah unsur yang harus ada dalam sebuah berita,


dari berita di atas dapat dikemukakan berikut ini.
– Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral di Indonesia (siapa)
– akan lebih menyempurnakan kriteria kehati-hatian terhadap
perbankan (apa)
– lewat penerapan berbagai sanksi yang lebih tegas (bagaimana)
– di samping itu, BI (siapa) akan terus berupaya melakukan penyem-
purnaan di bidang pengawasan dan pembinaan (apa dan bagai-
mana)
– Gubernur Bank Indonesia, Prof. Dr. Andrius Mooy (siapa)
– pada pertemuan tahunan perbankan di gedung BI (kapan dan di
mana)
– Rabu malam (kapan)
– lebih jauh merinci mengenai penyempurnaan di bidang penga-
wasan dan pembinaan (apa)

BAB 8
Menulis untuk Berbagai Keperluan Praktis
129
– lewat early warning system, yaitu berusaha mendeteksi kesulitan-
kesulitan yang dialami (bagaimana)
– oleh Bank (siapa)
– sedini mungkin (kapan)
– sebelum terlanjur menjadi parah (mengapa)
– tambah mooy (siapa)
– di hadapan sekitar 280 pimpinan perbankan dan LKBB (Lembaga
Keuangan Bukan Bank) (di mana dan siapa)

Dari kenyataan di atas tampak bahwa berita tidak saja men-


jawab pertanyaan apa, siapa, kapan, dan di mana, tetapi juga memberi
jawaban atas pertanyaan lain seperti bagaimana, mengapa, untuk
apa, apa lagi. Hal itu bergantung pada kepentingan dan nilai suatu
berita. Dengan semakin luasnya jawaban yang dapat diberikan berita
itu, akan memberikan berbagai tanggapan dan anggapan tertentu
bagi pembaca.
Suatu berita dapat memengaruhi sikap dan perilaku hidup
seseorang, bahkan terhadap masyarakat luas. Karena itu, suatu berita
hendaknya ditulis seobjektif mungkin dan disajikan dengan wajar
dan komunikatif. Dalam hal itu peranan bahasa sangat penting dalam
menentukan berhasil-tidaknya suatu berita diterima oleh pembaca.
Unsur daya tarik melalui pembuatan judul berita akan dapat
membuat pembaca terpana. Tidak jarang terjadi pemotongan kata
yang cukup mengherankan. Wujud bahasa berita sangat dipengaruhi
oleh kemampuan penulisnya sendiri. Selain itu, dalam bahasa berita
istilah-istilah khusus yang digunakan di kalangan pers atau wartawan.
Hal itu mengingatkan kita tentang adanya ragam bahasa yang hidup
dan berkembang sesuai dengan ruang gerak pemakaian bahasa.
Berikut ini sebuah contoh berita dengan judul yang cukup
menarik.
Ledakan Robek Pesawat Jumbo Boeing 747 AS
Washington, Reuter
Sebuah ledakan telah merobek badan pesawat sebuah jumbo jet
Boeing 747 milik perusahaan penerbangan AS United Airlines yang
terbang dari Hawaii menuju Selandia Baru Jumat malam kemarin, dan
delapan dari 355 orang yang ada di pesawat itu dilaporkan hilang.
Demikian dilaporkan oleh sumber-sumber pemerintah AS di Washing-
ton.

DASAR-DASAR MENULIS
130 dengan Penerapannya
Sumber-sumber tersebut tidak memberikan penjelasan yang lebih
rinci. Akan tetapi, sementara para ahli penerbangan memperkirakan
delapan orang yang hilang itu tersedot oleh tarikan udara kuat yang
masuk dari luar setelah badan pesawat robek oleh ledakan itu.
Sementara itu, juru bicara Administrasi Penerbangan Federal (FAA)
Joan Sloane mengatakan pilot melaporkan bahwa pesawat tersebut
kehilangan daya di kedua belah mesinnya.
Dilaporkan pula bahwa badan pesawat tersebut berlubang sebesar 3,3
meter kali 13,3 meter di bagian kanan pesawat. Sungguh mujur bahwa
pesawat itu masih bisa mendarat kembali dengan selamat di Bandara
Honolulu.
Kim Thomas, juru bicara United Airlines di Chicago mengatakan,
ada orang-orang yang mengalami cedera berat akibat musibah di pesawat
itu, tapi jumlahnya masih belum jelas (dikutip dari Harian Jawa Pos,
Sabtu 25 Februari 1989, hlm.1, kolom 7 dan 8).

Ada beberapa bagian berita tersebut yang perlu dibutiri sebagai


cermin atau citi penyajian bahasa dalam berita.
– Ledakan robek pesawat (pada judul)
_ Demikian dilaporkan oleh sumber-sumber …. ( bagian kalimat
akhir pada alinea ke – 1 )
– Sumber-sumber tersebut tidak memberikan penjelasan yang lebih
rinci. (Kalimat ke-1 pada alinea ke-2)
– Sungguh mujur bahwa pesawat itu masih bisa mendarat dengan
selamat di Bandara Honolulu. (kalimat ke-2 pada alinea ke-3)

Untuk lebih mengenal ciri-ciri penyajian bahasa dalam berita,


diperlukan pengalaman membaca dan menyimak berita yang lebih
banyak. Dengan demikian, akan diperoleh kemudahan bila seseorang
ingin menulis atau membuat suatu berita.

8.5 Menulis Hasil Diskusi/Seminar


Setiap diskusi/seminar pada akhirnya menghendaki adanya
suatu rumusan atau kesimpulan. Karena itu, diperlukan ketelitian
dalam menulis rumusan atau kesimpulan itu. Rumusan atau kesim-
pulan merupakan hasil penting dari kegiatan diskusi/seminar. Biasanya
yang bertugas membuat rumusan atau kesimpulan diskusi/seminar
ialah pemimpin dan penulis skripsi, bisa pula oleh suatu tim yang
disebut tim perumus. Hal itu tergantung pada luas-sempitnya lingkup

BAB 8
Menulis untuk Berbagai Keperluan Praktis
131
pembahasan. Dalam kegiatan diskusi/seminar biasanya banyak orang
mengajukan pendapat, yang kadang-kadang terdapat perbedaan pen-
dapat yang cukup tajam antara penyaji (orang yang menyajikan bahan
atau materi diskusi) dengan penanggap utama ataupun dengan peserta
lainnya. Tidak semua hal yang dikemukakan penanggap harus dima-
sukkan ke dalam kesimpulan. Dengan demikian, seorang perumus
atau suatu tim harus mampu mengambil jalan tengah dan menyaring
semua gagasan yang muncul untuk disimpulkan. Upaya pengambilan
dan penyaringan hendaknya tidak bersifat subjektif atau membe-
narkan pihak tertentu, tetapi memang telah terjamin kesahihannya.
Seorang pemimpin diskusi bersama penulis sudah sewajarnya
mampu mengikuti jalan pikiran penanggap dan perkembangan diskusi/
seminar ketika berlangsung. Penulis dengan cepat mencatat hal-hal
penting yang muncul dalam pembahasan. Pemimpin diskusi/seminar
pun bertugas sebagai penulis. Dengan demikian, akan lebih terjamin
keterjaringan segala hal yang diutarakan peserta. Kesimpulan yang
baik tidak akan menyimpang dari pembahasan, sehingga tidak ada
buah pikiran yang berkembang dan penting terhapus atau tertinggal.
Rumusan/kesimpulan merupakan cermin pembahasan yang berlang-
sung dalam diskusi/seminar.
Selain itu, perumus hendaknya benar-benar telah memahami
hal-hal yang dipermasalahkan. Dengan kata lain, perumus telah
mampu menyelami materi yang didiskusikan/diseminarkan. Hal demi-
kian sangat berguna untuk perumusan, apabila perumus kurang me-
nguasai permasalahan yang dibahas, maka akan memengaruhi mutu
rumusan/kesimpulan yang dibuat.
Sehubungan dengan itu, perlu diperhatikan tentang bahasa yang
dipakai dalam rumusan/kesimpulan. Kalimat-kalimat yang dikemukan
hendaknya efektif, artinya dapat dengan mudah dipahami pembaca.
Sama sekali tidak dibenarkan mengemukakan kalimat yang bermakna
meragukan dan dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Pilihan kata-
nya tepat dan memiliki makna tunggal.
Rumusan/kesimpulan dapat menggunakan nomor yang ber-
urutan atau juga berupa paragraf-paragraf. Semua kalimat yang dipa-
kai mencerminkan alasan yang kuat. Bila suatu kalimat tidak kuat
pijakannya, sebaiknya tidak perlu dimuat dalam rumusan/kesimpulan.
Dengan demikian, rumusan/kesimpulan merupakan hasil pertim-
bangan pemikiran yang akurat.

DASAR-DASAR MENULIS
132 dengan Penerapannya
Kedudukan hasil diskusi/seminar yang berupa rumusan/kesim-
pulan sangat penting bagi pesertanya semua pihak yang berkepen-
tingan dengan permasalahan yang dibahas. Ketepatan rumusan/
kesimpulan mencerminkan keberhasilan suatu diskusi/seminar sebagai
forum pertukaran pikiran dan pengkajian suatu permasalahan.

8.6 Menulis Makalah


Para mahasiswa sering mendapat tugas membuat makalah dari
dosen mereka. Biasanya tugas pembuatan makalah itu langsung
berkaitan dengan suatu mata kuliah yang diiukuti oleh mahasiswa.
Oleh karena itulah, setiap mahasiswa dituntut secara terampil dapat
membuat makalah sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh
masing-masing dosen yang memberi tugas yang dimaksud. Bagi
mahasiswa yang cukup terlatih mengarang atau mereka yang sejak
bangku SMU gemar mengarang, mereka tidak terlalu sulit dalam
menyelesaikan suatu makalah dari para dosen, mahasiswa tidak dapat
menganggapnya sebagai hal mudah. Mahasiswa harus berusaha untuk
dapat menyelesaikan makalah dengan waktu yang tidak begitu lama
paling tidak sesuai dengan rentang waktu yang telah ditetapkan oleh
dosennya. Mahasiswa yang tidak mampu menyelesaikan makalah
tepat pada waktunya, ada kemungkinan ia akan mendapatkan nilai
kurang dalam mata kuliah yang diprogramkannya, bahkan ia bisa
tidak lulus untuk kuliah tersebut. Biasanya, tugas membuat makalah
bagi mahasiswa ini merupakan bagian atau komponen yang tak
terpisahkan dari proses pengevaluasian akhir setiap mata kuliah.
Tak sedikit mahasiswa yang cukup mengalami kesulitan
menyelesaikan makalah. Mahasiswa bisa terbinggung-binggung
dengan apa yang akan disusunnya, padahal waktu terus berjalan,
sedangkan makalah tersebut harus selesai secepatnya. Di sinilah
terlihat pentingnya penguasaan bagaimana caranya membuat atau
menyusun suatu makalah agar mahasiswa dapat mengatasi setiap
kendala yang muncul. Lalu, apa yang harus dilakukan ketika seorang
mahasiswa mendapat tugas membuat makalah? Ada beberapa hal
yang patut direnungkan, diketahui dan tentunya dikerjakan oleh
mahasiswa sebagai penyandang tugas.

BAB 8
Menulis untuk Berbagai Keperluan Praktis
133
Tentukan Topiknya
Mahasiswa harus menentukan dahulu topik apa yang akan
dijadikan bahan untuk makalah yang akan disusunnya. Topik sebagai
suatu pokok bahasan yang harus dimantapkan lebih dahulu, jangan
meragukan atau berpikir setengah-setengah mengenai topik yang
akan digarap. Topik makalah bisa juga telah ditentukan dosen. Jika
demikian, mahasiswa tidak mengalami kesulitan dalam menentukan
topik, karena topiknya sudah tersedia. Ada pula dosen yang menyodor-
kan beberapa topik, kemudian mahasiswa dipersilakan untuk memi-
lihnya, sesuai dengan kesukaan dan kemampuannya. Ada pula dosen
yang memberikan kebebasan sepenuhnya, mahasiswa dipersilakan
untuk menemukan atau mencari topik untuk makalah yang disusun-
nya. Hal ini bukan berarti mahasiswa mendapat kebebasannya yang
asal bebas atau boleh sembarangan. Biasanya walaupun dosen mem-
beri kekuasaan penuh, tetapi tetap memberikan semacam rambu-
rambu atau petunjuk, minimal tidak menyimpang dari kerangka
bahasan-bahasan yang melingkupi suatu perkuliahan. Bila hal ini
terjadi, maka mahasiswa dituntut untuk jeli dalam mencari topik. Ia
harus pandai menentukan topik secara cepat dan tepat tentunya
sesuai dengan kemampuannya.
Bila topik yang akan digarap, mahasiswa bisa langsung meru-
muskan judul apa yang cocok untuk topik yang dimaksud. Memang
masalah judul ini tidak mutlak ditentukan pada awal penulisan (lihat
penjelasan pada bab 2 tentang teori dasar menulis pada bab buku
ini).

Cari Bahannya
Apabila topik sudah ditentukan, mahasiswa secepatnya mencari
bahan-bahan yang relevan dengan topik yang akan digarap. Yang
menjadi bahan-bahan itu berupa buku, majalah, koran, kamus, kapita
selekta, buletin dan sebagainya. Yang penting mahasiswa dapat
mengumpulkan bahan secukupnya (tidak harus sebanyak-banyaknya).
Bahan yang dikumpulkan sesuai dengan kebutuhan, carilah bahan-
bahan yang cukup mudah dipahami bukan bahan yang sulit. Bahan
yang mudah dipahami bisa berbahasa Indonesia, berbahasa daerah
bahkan berbahasa asing. Mahasiswa bisa mendapatkan bahan lewat
perpustakaan (perpustakaan pemerintah, perpustakaan swasta mau-

DASAR-DASAR MENULIS
134 dengan Penerapannya
pun perpustakaan kampus), maupun lewat media internet. Bahan-
bahan itu dikumpulkan sedemikian rupa, dipilah-pilah sesuai dengan
kedekatan bahasan yang ada dalam bahan yang dimaksudkan. Pemi-
lihan ini penting untuk memudahkan mahasiswa membalik-balik
halaman-halaman baik untuk dikutip langsung atau dicerna kemudian
diungkapkan dengan bahasa sendiri. Apabila bahan dianggap kurang,
mahasiswa dapat mencari lagi untuk dijadikan bahan masukan. Hal
ini kembali kepada kebutuhan yang ada.
Bahan-bahan yang telah dikumpulkan akan sangat bermanfaat
bagi peningkatan mutu atau bobot makalah yang akan disusun. Tentu
saja, setiap bahan harus terlebih dahulu dibaca secara cermat agar
mendapatkan masukan yang tepat dan bernilai bagi pengisian makalah.
Bahan yang telah terkumpul pada hakikatnya juga tidak mutlak
dibaca seluruhnya (seluruh bahan atau juga seluruh halaman setiap
bahan yang ada). Ada saja yang mungkin sudah pernah dibaca. Untuk
bahan ini mahasiswa bisa membaca telaah cepat. Lain halnya dengan
bahan yang dianggap baru dan dianggap penting sekali untuk
penyusunan makalah, maka memang perlu dibaca lebih teliti atau
lebih cermat. Jika sudah sering mengumpulkan bahan biasanya maha-
siswa mengerti betul bagaimana ia harus memberlakukan atau mem-
baca bahan itu.

Mulailah Menulis Makalah


Jika bahan sudah terkumpul dan sudah dipelajari, maka mulailah
menulis makalah. Mahasiswa sebaiknya terlebih dahulu merancang
sistematika makalah yang akan ditulisnya. Mahasiswa bisa menyusun
ragangan atau kerangka sebelum langsung menulis makalah secara
keseluruhan, yang penting ada rambu yang akan dikembangkan.
Mulailah menulis bagian pendahuluan, perkiraan berapa ha-
laman untuk pendahuluan, berapa halaman untuk isi, dan beberapa
halaman untuk penutup. Kita jangan terlalu ‘menggemukkan’ bagian
pendahuluan atau bagian penutup.
Jika makalah yang akan disusun diperkirakan berjumlah sepu-
luh halaman, maka kita bisa menentukan bahwa untuk bagian penda-
huluan ada satu halaman (atau satu setengah halaman), bagian isi
atau uraian ada delapan halaman dan sisanya untuk penutup. Me-
mang, hal ini bukan merupakan suatu kemutlakan. Kita bisa saja
mempertimbangkan tentang berapa halaman untuk tiap bagian, sesuai

BAB 8
Menulis untuk Berbagai Keperluan Praktis
135
dengan kelayakan atau penilaian. Lebih halnya bila kita atau maha-
siswa telah diberi batasan halaman untuk makalah yang akan ditulis-
nya.
Oleh karena itu menulis makalah termasuk menulis karangan
ilmiah, maka bahasa yang digunakan harus bermakna tunggal, tidak
seperti menulis karya sastra. Hal ini penting untuk diingat oleh
mahasiswa sebagai penulis makalah. Di samping bahasa dalam
makalah harus jelas, tidak mendua makna, maka tentunya harus
diperhatikan kemantapan isi atau apa-apa yang dikemukakan dalam
makalah itu sendiri.
Dalam menyusun makalah kita harus memerhatikan apa yang
patut dan tepat untuk dimasukkan ke dalam makalah. Kita bisa
mengungkapkan buah pikiran kita dan bisa pula mengutip pendapat
orang lain. Jika kita mengutip atau mengambil pendapat orang lain
maka kita patuhi bagaimana aturan pengutipan tersebut (Lihat bab
7 buku ini). Kita tidak boleh mengambil pendapat orang lain tanpa
menyebutkan asal sumbernya. Ini cermin dari pertanggungan jawaban
ilmiah. Kita tidak begitu saja mengutip pendapat orang lain. Kita
boleh setuju, tidak setuju dan sebagainya mengenai apa-apa yang
kita kutip. Jangan pula makalah yang kita tulis hanya menjadi wadah
untuk menjejerkan kutipan. Jika hal ini terjadi merupakan kekeliruan
yang besar. Makalah bukan tempat kutipan semata. Dari sinilah
setiap kita “para mahasiswa” dituntut untuk bisa mempertimbang-
kan mana yang patut untuk dikutip, mana yang untuk dimasukkan
ke dalam makalah.
Ada baiknya ketika kita menulis makalah selalu berusaha mem-
perhitungkan ketuntasan apa yang kita kemukakan. Sebab, tidak
jarang terjadi apa yang dikemukakan belum memadai, gagasan yang
ada seakan terputus lantas dilanjutkan dengan gagasan yang lain.
Oleh karena itu, ketika kita menulis makalah seharusnya kita juga
berpikir tentang ketuntasan itu. Dengan demikian kita akan dapat
menyajikan apa-apa yang ada di dalam makalah secara tepat dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Apabila kita atau para mahasiswa terbiasa menulis makalah,
maka akan banyak keuntungannya. Bila kelak kita mendapat tugas
menyusun makalah, kita akan dapat menyelesaikan makalah dengan
cepat dan dengan bobot yang terandalkan. Pengalaman membuat
makalah akan sangat berharga bagi peningkatan kreativitas menulis
kita. Tentu saja, semua ini membutuhkan latihan.

DASAR-DASAR MENULIS
136 dengan Penerapannya
BAB 9

Hambatan dalam Mengarang


dan Cara Mengatasinya

S
ebagaimana yang diungkapkan pada bagian terdahulu bahwa
menulis merupakan keterampilan yang umumnya dianggap sukar
untuk dikuasai. Pendapat itu tidak salah karena biasanya ketika
seseorang akan atau sedang menulis timbul hambatan. Karena itu,
perlu dilihat pengaruh hambatan itu terhadap keberhasilan seseorang
dalam menulis/mengarang.
Bagi pengarang atau penulis kawakan tentu hambatan tidak
banyak. Yang menjadi hambatan mereka bisanya ialah keterbatasan
waktu dan kelelahan.
Jika kita butiri tentang adanya hambatan dalam mengarang,
dapat dikemukakan sebagai berikut.
– terjadinya penyimpangan perhatian atau buyarnya konsentrasi;
– kurangnya bahan bacaan sebagai penunjang atau bekal dalam
menulis;
– kekurangmampuan mengemukakan gagasan melalui kalimat;
– kekurangmampuan menyusun atau mengorganisasi segala ide;
– adanya rasa tidak puas terhadap hasil yang ditulis; dan
– timbulnya perasaan malas dan jenuh

Pada saat seseorang menulis suatu karangan tidak jarang terjadi


adanya penyimpangan konsentrasi. Perhatian terhadap persoalan yang
diungkapkan menjadi buyar, sehingga kegiatan menulis terhenti.
Mungkin hal-hal yang terjadi belum pernah terpikirkan pada saat
menulis muncul, akibatnya perhatian menjadi buyar. Jika penyim-
pangan perhatian itu sebentar saja, tidak terlalu berpengaruh terhadap
kelangsungan penyelesaian suatu tulisan. Bila penyimpangan itu tidak
dapat dihilangkan, dapat menyebabkan tertundanya suatu karangan.

BAB 9 Hambatan dalam Mengarang


dan Cara Mengatasinya
137
Jadi, perananan perhatian yang terarah sangat menentukan keber-
hasilan seseorang dalam mengarang. Karena itu, kalau perhatian
atau konsentrasi terganggu, meskipun karangan yang dibuat juga
selesai, maka hasilnya kurang baik dan perlu diperbaiki kembali.
Untuk menjaga agar perhatian dalam menulis tetap terpusat,
diperlukan tekad dan kemauan dalam mengarahkan segenap pikiran,
sehingga semua hal yang berhubungan dengan init karangan dapat
tertuang dengan baik. Jika pikiran atau perhatian menyimpang ke
arah lain atau tiba-tiba muncul keinginan penulis untuk mengubah
garapan ke tema yang lain, maka akan mengakibatkan karangan
yang direncanakan terdahulu menjadi setengah jadi. Dengan demi-
kian, penulis harus memulai menulis dari awal lagi yang merupakan
suatu pekerjaan berat.
Untuk menulis suatu permasalahan sampai selesai, diperlukan
rencana garapan yang matang dan benar-benar telah diyakini. Jika
terjadi penyimpangan dan penulis memaksakan diri untuk terus
mengarang tanpa konsentrasi penuh, maka dapat menyebabkan bobot
karangan kurang baik. Untuk itu, sebaliknya berhenti menulis, anggap
saja sebagai pengendapan untuk mematangkan situasi. Namun,
pengendapan demikian hendaknya jangan sampai berlangsung lama.
Kurangnya bahan bacaan sebagai sumber pengambilan materi
dapat pula menjadi hambatan dalam mengarang. Seorang penulis
hendaknya menelaah berbagai bacaan yang berhubungan dengan per-
masalahan yang ditulis. Sebab, kegiatan membaca erat sekali kaitan-
nya dengan kegiatan menulis, terutama penulisan karangan tentang
ilmu pengetahuan atau karangan nonfiksi. Kedalaman suatu karangan
tergambar dari banyak sedikitnya pengalaman membaca penulisnya,
yang dapat dilihat ada daftar bacaan dari buku /karangan yang ditu-
lisnya.
Seseorang yang menginginkan karya lebih bermutu dan disukai
pembaca, sudah sewajarnya memiliki bekal yang cukup tentang
permasalahan yang ditulisnya. Bekal itu dapat diperoleh melalui mem-
baca. Kegiatan membaca bukan sekadar mengetahui dan memahami
isi bacaan, tetapi berusaha meneliti gaya penulisannya. Hal itu sangat
berguna bagi penyelesaian suatu karangan. Dengan mengetahui gaya
penulisan itu, bukan berarti seseorang mengekor pada penulis lain,
tetapi menjadikannya sebagai bahan perbandingan dan pendewasaan
dalam proses membuat suatu karangan.

DASAR-DASAR MENULIS
138 dengan Penerapannya
Kekurangmampuan dalam mengemukakan gagasan melalui
kalimat juga merupakan hambatan dalam mengarang. Dengan kata
lain, hambatan itu menunjukkan keterbatasan seseorang dalam meng-
gunakan bahasa. Pengungkapan gagasan ke dalam kalimat selalu
mengalami kesulitan. Jika hal ini tidak diatasi, maka akan menjadikan
kalimat-kalimat yang dihasilkan terasa janggal bahkan tidak jarang
bertentangan dengan gagasan sebenarnya, meskipun gagasan-gagasan
itu dapat diwujudkan dalam bentuk kalimat.
Kekuranganmampuan mengemukakan gagasan dapat diatasi
dengan banyak melakukan penguangan kalimat kemudian memerik-
sanya kembali; apakah kalimat yang dibuat sudah efektif dan sesuai
dengan isi pikiran yang dikemukakan atau disampaikan? Selain itu
ialah dengan banyak membaca serta kekayaan kosakata yang dimiliki.
Sering karena sangat sedikit perbendaharaan kata yang dimiliki, maka
pembuatan kalimat-kalimat menjadi terhambat. Jadi, banyak dan
luasnya kosakata yang dikuasai seseorang akan memudahkan dan
mempercepat selesainya suatu karangan. Dengan bekal kosakata
yang banyak, kevariasian pemakaian kata dalam kalimat dapat ter-
wujud, sehingga tidak kaku dan tidak menjemukan pembaca.
Kekurangmampuan menyusun atau mengorganisasikan segala
ide dapat menghambat seseorang dalam menyelesaikan karangannya.
Titik berat penguasaan pengaturan dan pengorganisasian ide dan
bagian-bagian karangan ialah kemampuan penulis dalam mengurut
dan mengungkapkan secara tepat hal yang ingin disampaikannya ke
dalam karangan. Segala materi karangan harus ditata sedemikian
rupa, dipilah-pilah hal-hal yang perlu didahulukan dan yang perlu
dikebelakangkan. Seorang penulis harus mampu menjaga keutuhan
setiap ide dan bagian karangan agar tidak terjadi tumpang tindih
dan simpang-siur. Hal ini berkaitan erat dengan sistematika karangan.
Tanpa sistematika yang tepat, tentu ide yang disusun menjadi kabur
dan tidak akan mendukung keutuhan karangan.
Sebuah karangan harus merupakan satu-kesatuan pengung-
kapan ide karena menentukan daya komunikasi isi karangan. Sema-
kin tepat penyusunan dan pengorganisasian ide dan bagian-bagian
karangan, semakin terjamin kejelasan hal yang ada dalam karangan.
Untuk memelihara ketetapan pengorganisasian ide yang disam-
paikan, perlu diuji atau dinilai; apakah ide itu tepat untuk dimuat;
kalau dimuat, di mana letaknya? Selain itu, apakah suatu ide harus
diwujudkan ke dalam kalimat ataukah diperluas hingga satu alinea

BAB 9 Hambatan dalam Mengarang


dan Cara Mengatasinya
139
atau berapa alinea? Dengan demikian tidak akan terjadi pemutusan
pikiran karangan dan pembaca dapat mengikutinya.
Adanya rasa tidak puas terhadap hasil yang ditulis merupakan
hambatan bagi pengarang. Perasaan tidak puas berarti adanya
keinginan untuk memperbaiki atau mengubah bagian tertentu dari
karangan. Penulis mungkin merasakan adanya suatu kejanggalan dan
kekhawatiran terhadap hasil tulisannya, memang perbaikan bagian
tertentu dari karangan sangat diperlukan, selama tidak menambah
kejanggalan. Setiap penulis sudah sewajarnya terbuka hatinya ter-
hadap perbaikan-perbaikan, apalagi tujuannya untuk lebih memberi
bobot terhadap karangannya. Perbaikan itu bukan berarti mengubah
hal-hal yang bersifat mendasar. Rasa tidak puas terhadap hasil tulis-
annya merupakan hal yang wajar bagi setiap penulis. Semua itu
akan terus ditingkatkan pada penulisan berikutnya. Jadi, rasa tidak
puas bukan berarti membongkar atau mengubah seluruh hasil yang
ada. Jika hal itu sampai terjadi kemungkinan besar karangan tidak
akan selesai.
Dalam rangkaian menyusun suatu karangan ada langkah-lang-
kahnya. Langkah-langkah itu dapat digunakan semaksimal mungkin
untuk menghasilkan karya yang dianggap terbaik, sesuai dengan ke-
inginan penulisnya.
Selain hambatan tersebut, seorang penulis kadang-kadang dili-
puti rasa malas dan jenuh. Perasaan malas untuk menulis cukup
sulit diatasi. Malas mungkin timbul ketika akan memulai suatu ka-
rangan dan mungkin pada saat menyelesaikan karangan. Rasa malas
itu harus diatasi dengan tekad dan kemauan yang kuat untuk terus
menyelesaikan karangan, sehingga karangan tidak terbengkalai atau
tertunda penyelesaiannya.
Perasaan jenuh juga dapat muncul dalam diri penulis, sehingga
kegiatan menulis menjadi terhenti dan gagasan menjadai buntu. Jika
hal demikian terjadi dan tidak dapat dihindarkan, sebaiknya penulis
berhenti dahulu untuk memberi waktu bagi pikran untuk beristirahat.
Tentu saja hal itu tidak diartikan dengan “istirahat panjang”, tetapi
waktu itu diisi dengan kegiatan untuk menyegarkan pikiran sambil
membaca hal-hal yang berhubungan dengan materi yang ditulis.
Selama beristirahat hendaknya selalu berusaha menanamkan kembali
tekad untuk meneruskan karangan hingga selesai. Kalau terlalu lama
beristirahat, kemungkinan besar akan menghilangkan konsentrasi
dan dapat membuntukan ide-ide yang seharusnya telah ke dalam

DASAR-DASAR MENULIS
140 dengan Penerapannya
karangan. Karena itu, untuk menghindari kemalasan dan kejenuhan,
dapat dilakukan dengan selalu menyediakan diri untuk menulis. Di
mana saja ada kesempatan, di situ kita akan menulis. Hal itu sangat
penting agar pemikiran yang muncul tiba-tiba tidak hilang begitu
saja.
Akhirnya, hambatan apa pun yang dialami seseorang ketika ia
akan dan sedang mengarang, harus segera diatasi. Bukanlah ada
satu prinsip bahwa sekali menuai mengarang, harus menyelesaikan
sampai terwujud sebuah karangan sebuah karangan yang utuh.

BAB 9 Hambatan dalam Mengarang


dan Cara Mengatasinya
141
DASAR-DASAR MENULIS
142 dengan Penerapannya
BAB 10

Latihan Menulis adalah Cara


Tepat untuk Meningkatkan
Keterampilan Menulis

S
etiap keterampilan memerlukan praktik dan kerja nyata. Peranan
teori pada akhirnya tidak lebih sekadar bekal dasar atau pemberi
jalan agar keterampilan itu terwujud. Hal itu berlaku juga dalam
mencapai keterampilan menulis sebagai bagian dari keterampilan
berbahasa.
Seperti dikemukan pada bagian pendahuluan bahwa keteram-
pilan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling akhir
dikuasai seseorang. Karena itu, umumnya orang menganggap atau
berpendapat bahwa mengarang atau menulis itu sulit atau sukar
dikuasai. Pendapat demikian seakan-akan memberi isyarat bahwa
untuk meraih keberhasilan dalam menulis memerlukan kesungguhan
dan banyak latihan. Kesungguhan itu tentu saja harus diwujudkan
melalui kegiatan menulis secara terus-menerus, tanpa mengenal lelah
dan bosan.
Ada banyak cara untuk melatih kegiatan menulis. Latihan dapat
dilakukan dengan menulis surat, menulis artikel pendek, menulis
laporan perjalanan, menulis kesan atau tanggapan tentang cerita
yang kita baca, menulis resensi buku, menulis rangkuman/ringkasan
suatu karangan, menulis atau mencatat pengalaman sehari-hari ke
dalam buku harian, menulis cerita dan kegiatan lainnya yang ter-
cantum pada Bab VIII buku ini.
Menulis surat tampaknya sederhana, tetapi maknanya sangat
berharga dalam rangka membiasakan diri mengungkapkan buah
pikiran lewat tulisan. Dengan seringnya seseorang menulis surat,
paling tidak ia telah memperoleh pengalaman dalam membuat kalimat
yang baik. Hal itu akan membantunya dalam menyusun segala ide
yang akan dituangkan ke karangan, walaupun bahasa yang digunakan

BAB 10 Latihan Menulis adalah Cara yang Tepat


untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis
143
dalam menulis surat kadang-kadang tidak baku, khususnya surat
pribadi.
Kegiatan surat-menyurat akan lebih bermanfaat bila dikirimkan
ke majalah atau koran, misalnya dalam forum kontak antar pembaca.
Ketelitian menulis surat untuk dikirim ke majalah atau surat kabar
secara langsung mendidik penulisannya untuk lebih berhati-hati dalam
menggunakan bahasa tulis. Tidak jarang ada surat pembaca yang
berisi komentar yang mirip sebuah karangan yang utuh. Jika penulis
surat mengubahnya sedikit maka surat atau komentar itu akan men-
jadi karangan.
Latihan menulis melalui pembuatan artikel yang pendek, antara
empat sampai lima halaman, akan memberi manfaat yang besar bagi
penulis pemula. Artikel itu dapat dikirim ke majalah atau koran,
jika artikel yang dikirim pertama kali ditolak oleh redaksi karena
mungkin masih belum layak untuk dipublikasikan, tidak perlu berkecil
hati. Karena itu, ditulis lagi artikel lain atau dapat memperbaiki
artikel yang ditolak itu sedemikian rupa. Penulis semula memang
harus banyak menulis ulang artikelnya; setiap ada gagasan atau tema
baru harus secepatnya digarap. Hal demikian penting dalam rangka
membiasakan diri untuk menulis.
Penulis terkenal tentu lebih dahulu menulis karangan yang
sederhana dan singkat, kemudian berkembang dengan membuat
karangan yang lebih luas dan panjang. Untuk menambah bekal atau
masukan dalam menulis artikel bagi penulis pemula, ada baiknya
membaca artikel-artikel dari sejumlah penulis kenamaan. Hal itu
akan memacu diri untuk membuat artikel yang lebih terarah dan
sesuai dengan selera pembaca.
Setiap orang tentu pernah melakukan perjalanan, baik per-
jalanan jarak dekat maupun jarak cukup jauh. Pengalaman dalam
suatu perjalanan dapat diabadikan ke dalam bentuk tulisan. Menulis
laporan perjalanan merupakan salah satu car melatih diri dalam
menuangkan pengalaman dan kesan secara tertulis, tidak mesti ber-
bentuk laporan formal. Karena itu, penulisan pengalaman dari suatu
perjalanan akan cukup menarik jika ditulis dalam wujud cerita. Penu-
lisannya dapat dimulai ketika akan berangkat, bisa di tengah perja-
lanan, dan dapat pula ditulis setelah perjalanan. Hal –hal yang sangat
menarik hati dibutiri sedemikian rupa. Bahasa yang digunakan hidup,
tidak kaku dan mencerminkan pemakaian bahasa sehari-hari; sekali
dibaca mudah dicerna. Pada sejumlah majalah sering dimuat laporan

DASAR-DASAR MENULIS
144 dengan Penerapannya
dari suatu perjalanan, baik yang dimuat oleh wartawan maupun
yang dikirim oleh penulis luar.
Perjalanan ke tempat yang bersejarah akan sangat bagus bila
ditulis. Karena penulisnya tidak cukup hanya dengan melihat atau
menikmati tempat itu, maka diperlukan wawancara dengan orang-
orang tertentu atau petugas yang berwenang untuk menceritakan
hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa atau kejadian yang men-
jadi inti tulisan.
Perjalanan wisata atau rekreasi pun sangat baik dituangkan
lewat tulisan. Penulis mengamati dengan seksama semua yang ia
lihat selama di perjalanan dan tempat wisata. Semua kesan yang
menggembirakan maupun yang melelahkan ditulis dengan gaya
bahasa yang khas dan populer. Sekali-kali dimasukkan unsur humor
sebagai daya pikat tulisan. Kemampuan penulis dalam mendeskripsi-
kan hal-hal yang khusus selama berekreasi akan menentukan kekomu-
nikatifan dengan pembaca. Bagi penulis yang gigih dan teliti dalam
membutiri pengalaman wisatanya, tidak jarang ia mampu menuliskan-
nya secara panjang lebar hingga berupa buku.
Membuat kesan atau tanggapan terhadap cerita yang kita baca
juga merupakan latihan menulis yang mudah dilakukan. Bila kita
telah menikmati sebuah novel atau roman, ada baiknya kita simak
isinya secara mendalam, kemudian ditulis dalam bentuk kesan umum
tentang novel/roman itu. Secara langsung kegiatan demikian akan
mengarahkan kemampuan menyusun cerita berdasarkan hal yang
dibaca disertai pendapat pribadi. Apabila kesan atau tanggapan itu
dipertajam itu dipertajam atau diperluas, maka akan dapat diwujud-
kan menjadi sebuah resensi. Tentu saja untuk membuat kesan atau
tanggapan, lebih-lebih resensi, diperlukan pemahaman yang menda-
lam terhadap buku yang dibaca itu. Tanpa pemahaman yang baik,
mustahil dapat melahirkan kesan atau tanggapan yang tepat.
Membuat rangkuman/ ringkasan dari suatu karangan juga salah
satu cara untuk meningkatkan keterampilan menulis. Walaupun tu-
lisan itu berpijak pada karangan yang sudah jadi, hal itu sangat
berguna dalam penyusunan segala ide penting yang terdapat dalam
karangan asli untuk diwujudkan ke dalam bentuk pengungkapan
yang ringkas, jelas dan padat. Dengan cara demikian, akan mudah
penulis bila ingin membuat saduran sebagai proses penulisan yang
berpijak pada karangan yang sudah ada.

BAB 10 Latihan Menulis adalah Cara yang Tepat


untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis
145
Cara lain yang cukup menarik dan lebih digemari oleh pelajar
dan mahasiswa ialah penulisan pengalaman yang dianggap patut untuk
dijadikan tulisan. Hal itu lebih dikenal dengan istilah “catatan
harian”. Manfaat membuat catatan harian ialah memudahkan penulis
dalam mengemukakan sesuatu secara tertulis. Nilai kerutinan yang
dilakukan penulisnya akan memacu peningkatan keterampilan penu-
lisnya dalam berbahasa tulis. Dari catatan harian dapat diwujudkan
suatu uraian pengalaman hidup yang panjang. Dari situlah adanya
“otobiografi” orang-orang tertentu.
Latihan menulis yang langsung terjun pada penulisan yang sebe-
narnya ialah dengan cara menulis atau mengarang suatu cerita. Cerita
yang dikarang dapat berupa hasil daya khayal (fiksi) maupun cerita
yang didasarkan pada kejadian yang sebenarnya (nonfiksi). Dengan
membuat suatu cerita, maka akan melatih penulisnya dalam menyu-
sun bagian-bagian cerita dan jalan pikiran yang sesuai dengan tema
cerita. Semakin sering menulis cerita, maka keotomatisan dalam
menuturkan hal yang ada di benak berjalan lancar. Kevariasian dalam
membuat kalimat juga dapat terwujud dengan seringnya menulis
cerita. Selain itu, diperlukan penguasaan kosakata yang memadai.
Jika menulis cerita, harus kita pertanyakan: cerita itu ditulis
untuk siapa? Cerita untuk anak-anak tidak sama gaya penceritaanya
jika dibandingkan dengan cerita untuk orang dewasa. Perbedaan
terletak dari segi tema dan panjang-pendeknya cerita. Cerita yang
bertema “berat” tentu tidak akan cocok bagi anak-anak. Cerita yang
bertema “ringan” dan tidak terlalu panjang sangat cocok untuk anak-
anak karena mereka tidak akan mampu bertahan lama dalam
membaca sebuah cerita. Hal itu bukan berarti anak-anak hanya
mampu membaca sebuah cerita, mereka bisa diberi beberapa cerita
yang pendek-pendek.
Untuk cerita yang disajikan kepada anak-anak, dapat dipilihkan
tema tentang kepahlawanan, kejahatan dan pemberantasannya, pe-
tualangan atau pengembaraan, kunjungan wisata, kekeluargaan atau
pergaulan dan tema yang bernapaskan pendidikan. Tema-tema cerita
yang disajikan kepada anak-anak harus benar-benar bermanfaat atau
dapat mendidik mereka.
Kelincahan dalam membuat cerita akan sangat membantu bagi
penyusunan karangan yang bersifat menguraikan atau menjelaskan.
Dari semua yang telah dikemukakan di atas jelaslah bahwa
banyak cara untuk melatih seseorang dalam menulis. Latihan menulis

DASAR-DASAR MENULIS
146 dengan Penerapannya
merupakan jalan yang paling tepat dalam mendidik seseorang untuk
menulis yang baik. Dalam latihan menulis seseorang tidak harus
terpaku pada satu kegiatan, tetapi harus dapat meragamkanya agar
dapat mempercepat kedewasaan penulisnya.

BAB 10 Latihan Menulis adalah Cara yang Tepat


untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis
147
DASAR-DASAR MENULIS
148 dengan Penerapannya
BAB 11

Penutup

K
eterampilan menulis/mengarang merupakan bagian penting
dalam kegiatan komunikasi antarmanusia. Melalui menulis
akan dihasilkan karya yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan
dan teknologi serta upaya pewarisan nilai-nilai budaya.
Tingkat kemampuan menulis pada hakikatnya ditentukan oleh
kerasnya kemauan dan banyaknya latihan yang dilakukan seseorang.
Tinggi-rendahnya latar belakang pendidikan tidak selalu menentukan
kematangan seseorang dalam menulis. Kedudukan bakat dalam pem-
bentukan seseorang untuk menjadi penulis merupakan pemacu yang
cukup berarti. Untuk meraih predikat sebagai penulis tidak mudah,
tetapi memerlukan latihan yang rutin dan tekad yang kuat. Selain
itu, diperlukan pengkajian tentang pengetahuan tulis-menulis sebagai
bekal pembantu atau lampu penerang di jalan yang gelap.
Seseorang yang telah menjadi penulis/pengarang ternama tentu
telah berlatih cukup lama dan mempunyai pengalaman yang beragam.
Karena itu, jika kita ingin menjadi penulis terkenal, harus sedini
mungkin kita menulis dan menulis terus. Segala hambatan hendaknya
kita hadapi dengan tabah serta berupaya sendiri untuk mengatasinya
atau bertanya kepada penulis/pengarang yang sudah banyak berkarya.
Manfaat menulis sangat besar. Melalui menulis, kita dapat
mengabadikan segala ide/pendapat. Kegiatan menulis yang membuah-
kan karya tulis dapat diartikan sebagai upaya penyimpanan berbagai
informasi yang berharga untuk masa yang akan datang. Kita pun
dapat memberikan hiburan kepada orang lain.
Alangkah sangat rugi jika kita memiliki pikiran yang cemerlang,
kita diamkan saja dan akhirnya lenyap karena tidak diabadikan ke
dalam tulisan.
Akhirnya, jika kita ditanya: apa yang menjadi kunci untuk
meraih kesuksesan dalam menulis? Kuncinya tidak lain ialah harus
adanya ketekunan dan kesinambungan latihan menulis.

Daftar Pustaka 149


DASAR-DASAR MENULIS
150 dengan Penerapannya
Daftar Pustaka

Akhidah, dkk.1989. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta:


Erlangga.
Arifin, E. Zainal dan Amran Tasai. 1987. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta:
Mediyatama Sarana Perkasa.
Arifin, E. Zainal. 1987. Penulisan Karya Ilmiah dengan Bahasa Indonesia.
Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa.
Bistok, dkk. 1985. Pedoman Karang-Mengarang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Brotowidjoyo, Mukayat D. 1985. Penulisan Karangan Ilmiah. Jakarta: Aka-
demika pressindo
Hakim, Lukman, dk., 1991. Seri Penyuluhan 1. Ejaan dalam Bahasa Indone-
sia. Jakarta: Pusaat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Halim, Amran. Editor. 1976. Politik Bahasa Nasional 2. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hamalik, Oemar. 1977. Media Pendidikan. Bandung: Alumi.
Keraf, Gorys. 1980. Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah.
Kridalaksana, Harimurti. 1978. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende-Flores:
Nusa Indah.
Lubis, Mochtar. 1949. Pers dan Jurnalistik. Jakarta: -.
Nadeak, Wilson. 1983. Bagaimana Menjadi Penulis yang Sukses. Bandung:
Sinar Baru.
Nafiah, A. Hadi. 1981. Anda Ingin Jadi Pengarang. Surabaya: Usaha Nasional.
Pambadu, Hassan. 1985. Cara Menulis Buku Nonfiksi dan Petunjuk bagi
Pengarang. - : Bina cipta.
Poerwadarminta, WJS. 1979. ABC Karang-Mengarang. Jogjakarta: UP Indone-
sia.
___. 1979. Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang. Jogjakarta: UP Indone-
sia.
___. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Rosental, Irving dan Norton Yarmon. 1958. The Art of Writing Made Simple.
New York: -
Sabart, dkk. 1985. Kalimat Efektif. Jakarta: Universitas Terbuka
Sidarti, Nani. 1987. Penuntun Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Pionir
Jaya.
Siddik, Muhammad, 2009. Menulis Paragraf Argumentasi. Malang: TM Pub-
lishing.

Daftar Pustaka 151


Sunarto, Achmad. 1987. Pegangan Da’wah dan Teks Pidato. Surabaya: Bintang
Terang.
Suparni. 1987. Penuntun Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Ganeca
Exat.
Taringan, Henry Guntur. 1982. Menulis. Bandung: FKSS IKIP Bandung.
Wahyu, dkk. 1987. Petunjuk Praktis Membuat Skripsi. Surabaya: Usaha
Nasional.

DASAR-DASAR MENULIS
152 dengan Penerapannya
Tentang Penulis
Mohammad Siddik lahir tanggal 17 April 1954 di
Kecamatan Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi
Kalimantan Timur. Menyelesaikan pendidikan Bahasa dan
Sastranya: di Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Jurusan
Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa Indo-
nesia pada jenjang Diploma/ Akta 111 (1981), jenjang Strata
1(1986); di Universitas Negeri Malang (UM), Program
Pascasarjanapada Program Magister, Jurusan Pendidikan
Bahasa Indonesia Sekolah Dasar(2004), Program Doktor,
pada Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia (2009).
Ia Menikah dengan Maryana dari pasangan Ahmad dan Aminah dan saat ini
telah dikaruniai tiga orang putra, yaitu Murhan Siswanto,S.E, Sumartini, S.E, dan
Ismail Fahmi.
Karyanya yang telah diterbitkan:
1. Linguistika Teori dan Terapannya (dkk), Yogyakarta: penerbit CV. Grafika
Indah.
2. Pembelajaran Menulis Paragraf Argumentasi, Malang: Tunggal Mandiri
Publishing.
3. Dasar-dasar Menulis dengan Penerapannya, Malang: Tunggal Mandiri
Publishing.
4. Berbagai Tulisan Artikel pada Beberapa Jurnal di Tanah Air.
Pengalaman kerja:
1. Guru Sekolah Dasar Negeri (SDN), 1977-1985
2. Guru Madrasah Tsanawiyah (MTs) Normal Islam, 1979-1980
3. Guru Sekolah Menengah Ekonomi Muhammadiyah, 1980-1986
4. Guru Sekolah Menengah Ekonomi PGRI, 1981-2001
5. Guru Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN), 1982-1991
6. Guru Sekolah Pendidikan Guru Setia Marga, 1987-1990
7. Guru Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Depkes, 1996-1999
8. Dosen FKIP Unmul pada Jurusan Ilmu Pendidikan, Program Studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), 1991-sekarang.
9. Dosen Luar Biasa pada Universitas Terbuka (UT) Samarinda, 2004-
sekarang.
Anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Kalimantan Timur, 2008–
sekarang.

Daftar Pustaka 153


DASAR-DASAR MENULIS
154 dengan Penerapannya

Anda mungkin juga menyukai