DISUSUN OLEH
PB 2105004
2021/2022
A. DEFINISI
Penyakit Hirschprung Disease atau megacolon adalah suatu
kelainan bawaan yang berupa tidak adanya ganglion pada usus besar,
mulai dari sfingter ani interna ke arah proksimal, termasuk rektum dengan
gejala klinis berupa pasese usus. Penyakit Hirschprung pertama kali
ditemukan oleh Harold Hirschprung pada tahun 1886, namun patofisiologi
terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938.
Pada tahun 1940, Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa penyebab
penyakit hirschprung adalah tidak dijumpai pleksus auerbach dan pleksus
meissneri pada rektum. Tidak adanya sel ganglion ini mengakibatkan
inkoordinasi gerakan peristaltik sehingga terjadi gangguan pasase usus
yang dapat mengakibatkan suatu obstruksi usus fungsional. Obstruksi
fungsional ini akan menyebabkan hipertofi serta dilatasi pada kolon yang
lebih proksimal (Padila, 2012).
Menurut Dede Nurhayati (2018), penyakit Hirschprung adalah
suatu kelainan bawaan berupa aganglionosis usus, mulai dari sfingter ani
internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi. Disebut juga
megacolon kongenital, merupakan kelainan tersering yang dijumpai
sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada penyakit ini tidak
dijumpai pleksus myenterikus sehingga bagian usus tersebut tidak dapat
mengembang.
Gambar colon yang normal pada sebelah kiri dan colon yang
mengalami dilatasi pada penyakit disebelah kanan
(http://cetrione.blogspot.co.id/2009/04/penyakit- disease.html)
B. PREVALENSI
Angka kejadian penyakit Hirschsprung di seluruh dunia terjadi
sekitar 1:5000 kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak daripada
perempuan dengan perbandingan 4:1. Data penyakit hirschprung di
Indonesia belum begitu jelas. Apabila benar insidensnya 1 dari 5.000
kelahiran, maka dengan jumlah penduduk di Indonesia sekitar 220 juta dan
tingkat kelahiran 35 per mil, diperkirakan akan lahir 1400 bayi lahir
dengan penyakit Hirschprung. Kebanyakan penyakit Hirschprung terjadi
pada bayi aterm (cukup bulan) dengan berat lahir ≤ 3 Kg, dan lebih banyak
terjadi pada laki-laki dari pada perempuan (Padila, 2012).
Menurut Kemenkes RI tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Penyakit Hirschprung nomor 474 tahun 2017
menyatakan bahwa Hirschprung dianggap sebagai kasus kegawat
daruratan bedah yang perlu penanganan segera, apabila jika tanpa
penanganan segera maka mortalitas dapat mencapai 80% pada bulan-bulan
pertama kehidupan. Dengan penanganan yang tepat angka kematian dapat
ditekan. Penyakit hirschsprung dihubungkan dengan adanya mutasi pada
paling kurang 12 gen yang berbeda. Penyebab hirschprung dapat
dihubungkan dengan adanya sekitar 12% individu yang mengalami
abnormalitas dari kromosomnya dan kromosom yang paling berhubungan
dengan hirschsprung adalah down syndrome, dimana dapat terjadi antara
2-10% dari semua kasus hirschsprung. Individu dengan down syndrom
sekitar 100 kali lipat lebih tinggi berisiko menderita penyakit hirschprung
dibandingkan individu yang normal.
C. ETIOLOGI
Penyebab belum diketahui tetapi diduga terjadi karena faktor
genetik dan lingkungan, sering terjadi pada anak down syndrome,
kegagalan sel neural pada masa embrio pada dinding anus, gagal
eksistensi, kranio kaudal pada menyentrik dan submukosa dinding plexus
(Nurarif dan Kusuma, 2015).
E. ANATOMI FISIOLOGI
Usus besar atau kolon kira-kira 1,5 meter adalah sambungan dari
usus halus dan mulai di katup iliokolik atau ilioseikal yaitu tempat sisa
makanan lewat. Reflek gastrokolik terjadi ketika makanan masuk lambung
dan menimbulkan peristaltic didalam usus besar. Reflek ini menyebabkan
defekasi. Kolon mulai pada kantong yang mekar padanya terdapat
appendix vermiformis. Fungsi serupa dengan tonsil sebagian terletak di
bawah sekum dan sebagian dibelakang sekum atau retrosekum. Sekum
terletak di daerah iliaka kanan dan menempel pada otot iliopsoas. Disini
kolon naik melalui daerah daerah sebelah kanan lumbal dan disebut kolon
asendens. Dibawah hati berbelok pada tempat yang disebut flexura
hepatica, lalu berjalan melalui tepi daerah epigastrik dan umbilical sebagai
kolon transvesus. Dibawah limpa ia berbelok sebagai fleksura sinistra atau
flexura linealis dan kemudian berjalan melalui daerah kanan lumbal
sebagai kolon desendens. Didaerah kanan iliaka terdapat belokan yang
disebut flexura sigmoid dan dibentuk kolon sigmoideus atau kolon pelvis,
dan kemudian masuk pelvis besar menjadi rectum.
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan
terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan
relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum
dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran
anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu
masuk ke bagian usus yang lebih proksimal, dan, dikelilingi oleh spinkter
ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi
rektum ke dunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas,
medial dan depan (Irwan, 2003).
Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf
simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut
syaraf parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus.
Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan
muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus
pudendalis mensyarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis. Syaraf
simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol
oleh n.splanknikus (parasimpatis). Walhasil, kontinensia sepenuhnya
dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik (syaraf
parasimpatis) (Irwan, 2003). Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak
dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut (Irwan, 2003).
Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan
longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot
sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Fisiologi Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini
juga disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang
sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali
perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan
rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu :
1. Refleks Defekasi Instrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum
memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus
untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon
sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah
anus. Ketika gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal
interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses
keluar.
2. Refleks Defekasi Parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal
cord (sakral 2–4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon
sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan
gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan
meningkatkan refleks defekasi instrinsik.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan
diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh
kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan
feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi
paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi
diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk
defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk
menampung kumpulan feses.
F. PATOFISIOLOGI
Istilah congenital aganglionic Megacolon menggambarkan adanya
kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub
mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum
dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinter
rektum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara
normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada
saluran cerna. Pada bagian proksimal sampai bagian yang rusak pada
Megacolon. Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna
untuk kontraksi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan
terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena
terjadi obtruksi dan menyebabakan dibagian colon tersebut melebar
(Padila, 2012).
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
H. KOMPLIKASI
Menurut Mansjoer (2000:381) menyebutkan komplikasi penyakit
hirschprung adalah:
a. Pneumatosis usus
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang
iskemik distensi berlebihan dindingnya.
b. Enterokolitis nekrotiokans
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang
iskemik distensi berlebihan dindingnya.
c. Abses peri kolon
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang
iskemik distensi berlebihan dindingnya.
d. Perforasi
Disebabkan aliran darah ke mukosa berkurang dalam waktu lama.
e. Septikemia
Disebabkan karena bakteri yang berkembang dan keluarnya endotoxin
karena iskemia kolon akibat distensi berlebihan pada dinding usus.
Faktor Genetik (Familial Terjadi kegagalan sel neural pada Sel ganglion di dinding kolorektal tidak
Congenital Defect) masa embrio dalam dinding usus ada/mengalami penurunan jumlah Submukosa (Meissner)
Absorbsi air
Obstruksi inadekuat
kolon distal (berlebihan)
Feses mengeras
Obstruksi kolon
proksimal
Distensi Abdomen
& Perut membesar
Dx: Resiko Infeksi
2. Terapeutik
Berikan
suntikan pada pada
bayi dibagian paha
anterolateral
Dokument
asikan informasi
vaksinasi
Jadwalkan
imunisasi pada
interval waktu yang
tepat
3. Edukasi
Jelaskan
tujuan, manfaat,
resiko yang terjadi,
jadwal dan efek
samping
Informasik
an imunisasi yang
diwajibkan
pemerintah
Informasik
an imunisasi yang
melindungiterhadap
penyakit namun
saat ini tidak
diwajibkan
pemerintah
Informasik
an vaksinasi untuk
kejadian khusus
Informasik
an penundaan
pemberian
imunisasi tidak
berarti mengulang
jadwal imunisasi
kembali
Informasik
an penyedia
layanan pekan
imunisasi nasional
yang menyediakan
vaksin gratis
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. (2015). Asuhan Keperawatan Praktis
Berdasarkan Penerapan Diagnosa NANDA, NIC, NOC dalam berbagai
kasus. Yogyakarta : Medication Publishing.
Nurhayati Dede, dkk. (2017). Kualitas Hidup Anak Usia Toddler Paska
Kolostomi Di Bandung. Nurseline Journal Volume 2 No./2017 Halaman
167. Diakses 20 Juli 2020 dari
https://media.neliti.com/media/publications/197135-ID-the-quality-of-lifeof-
toddler-post-colo.pdf
Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Rohmah, Nikmat & Walid Saiful. (2012). Proses Keperawatan & Aplikasi,
Yogyakarta. Ar-Ruzz Medika.