Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN HIRSCHPRUNG DISEASE DI

RUANG MENUR RSUP dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

DISUSUN OLEH

BAGAS WAHYU TRI SETYAWAN

PB 2105004

PROGRAM PROFESI NERS

STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN

2021/2022
A. DEFINISI
Penyakit Hirschprung Disease atau megacolon adalah suatu
kelainan bawaan yang berupa tidak adanya ganglion pada usus besar,
mulai dari sfingter ani interna ke arah proksimal, termasuk rektum dengan
gejala klinis berupa pasese usus. Penyakit Hirschprung pertama kali
ditemukan oleh Harold Hirschprung pada tahun 1886, namun patofisiologi
terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938.
Pada tahun 1940, Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa penyebab
penyakit hirschprung adalah tidak dijumpai pleksus auerbach dan pleksus
meissneri pada rektum. Tidak adanya sel ganglion ini mengakibatkan
inkoordinasi gerakan peristaltik sehingga terjadi gangguan pasase usus
yang dapat mengakibatkan suatu obstruksi usus fungsional. Obstruksi
fungsional ini akan menyebabkan hipertofi serta dilatasi pada kolon yang
lebih proksimal (Padila, 2012).
Menurut Dede Nurhayati (2018), penyakit Hirschprung adalah
suatu kelainan bawaan berupa aganglionosis usus, mulai dari sfingter ani
internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi. Disebut juga
megacolon kongenital, merupakan kelainan tersering yang dijumpai
sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada penyakit ini tidak
dijumpai pleksus myenterikus sehingga bagian usus tersebut tidak dapat
mengembang.
Gambar colon yang normal pada sebelah kiri dan colon yang
mengalami dilatasi pada penyakit disebelah kanan
(http://cetrione.blogspot.co.id/2009/04/penyakit- disease.html)

B. PREVALENSI
Angka kejadian penyakit Hirschsprung di seluruh dunia terjadi
sekitar 1:5000 kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak daripada
perempuan dengan perbandingan 4:1. Data penyakit hirschprung di
Indonesia belum begitu jelas. Apabila benar insidensnya 1 dari 5.000
kelahiran, maka dengan jumlah penduduk di Indonesia sekitar 220 juta dan
tingkat kelahiran 35 per mil, diperkirakan akan lahir 1400 bayi lahir
dengan penyakit Hirschprung. Kebanyakan penyakit Hirschprung terjadi
pada bayi aterm (cukup bulan) dengan berat lahir ≤ 3 Kg, dan lebih banyak
terjadi pada laki-laki dari pada perempuan (Padila, 2012).
Menurut Kemenkes RI tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Penyakit Hirschprung nomor 474 tahun 2017
menyatakan bahwa Hirschprung dianggap sebagai kasus kegawat
daruratan bedah yang perlu penanganan segera, apabila jika tanpa
penanganan segera maka mortalitas dapat mencapai 80% pada bulan-bulan
pertama kehidupan. Dengan penanganan yang tepat angka kematian dapat
ditekan. Penyakit hirschsprung dihubungkan dengan adanya mutasi pada
paling kurang 12 gen yang berbeda. Penyebab hirschprung dapat
dihubungkan dengan adanya sekitar 12% individu yang mengalami
abnormalitas dari kromosomnya dan kromosom yang paling berhubungan
dengan hirschsprung adalah down syndrome, dimana dapat terjadi antara
2-10% dari semua kasus hirschsprung. Individu dengan down syndrom
sekitar 100 kali lipat lebih tinggi berisiko menderita penyakit hirschprung
dibandingkan individu yang normal.

C. ETIOLOGI
Penyebab belum diketahui tetapi diduga terjadi karena faktor
genetik dan lingkungan, sering terjadi pada anak down syndrome,
kegagalan sel neural pada masa embrio pada dinding anus, gagal
eksistensi, kranio kaudal pada menyentrik dan submukosa dinding plexus
(Nurarif dan Kusuma, 2015).

D. TANDA DAN GEJALA


Gejala penyakit menurut Wong Donna L, (2013) adalah:
1. Periode bayi baru lahir
a. Gagal mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah
lahir.
b. Menolak untuk minum air
c. Muntah berwarna empedu
d. Distensi abdomen
2. Masa bayi
a. Ketidakadekuatan penambahan berat badan
b. Konstipasi
c. Distensi abdomen
d. Episode diare dan muntah
e. Tanda-tanda ominous (sering menandakan adanya
enterokilitis)
f. Diare berdarah
g. Demam
h. Letargi berat
3. Masa kanak-kanak
a. Konstipasi
b. Feses berbau menyengat dan seperti karbon
c. Distensi abdomen
d. Massa fekal dapat teraba
e. Anak biasanya mempunyai nafsu makan dan pertumbuhan yang
buruk
Penyakit Hirschsprung diklasifikasikan menurut panjang dari segmen
aganglionik.
1. Ultrashort-segment
Ultrashort-segment, yang jarang terjadi, adalah segmen aganglionik
yang terbatas pada spingter internal dan sampai 4 cm dari rektum
bagian distal, yang mungkin terlihat normal pada pemeriksaan enema
kontras.
2. Short-segment / classical segment / rectosigmoid
Kira-kira 75% - 80% dari seluruh kasus penyakit Hirschsprung
digambarkan oleh istilah short-segment disease. Bentuk dari penyakit
ini dideskripsikan secara khusus sebagai segmen aganglionik yang
mempengaruhi usus bagian distal hingga ke kolon mid-sigmoid; akan
tetapi, ada juga beberapa yang mendefinisikan short-segment sebagai
segmen aganglionik yang memanjang sampai persimpangan antara
kolon sigmoid dan kolon descending.
3. Long-segment
Pada long-segment, segmen aganglionik meluas hingga melewati
batasan short-segment tetapi tidak mencakup seluruh kolon. Long
segment ini melebihi kolon sigmoid dan melibatkan kolon transverse
dan kolon descending. Long segment disease cenderung dihubungkan
dengan riwayat keluarga yang positif menderita penyakit hirschsprung
dan cenderung didiagnosa sebelum lahir (prenatal).
4. Total Colonic Aganglionosis
Total colonic aganglionosis adalah kondisi yang sangat serius dimana
segmen aganglionik meluas hingga seluruh kolon dan sedikit segmen
dari terminal ileum.
5. Universal Colonic Aganglionosis
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus.

E. ANATOMI FISIOLOGI
Usus besar atau kolon kira-kira 1,5 meter adalah sambungan dari
usus halus dan mulai di katup iliokolik atau ilioseikal yaitu tempat sisa
makanan lewat. Reflek gastrokolik terjadi ketika makanan masuk lambung
dan menimbulkan peristaltic didalam usus besar. Reflek ini menyebabkan
defekasi. Kolon mulai pada kantong yang mekar padanya terdapat
appendix vermiformis. Fungsi serupa dengan tonsil sebagian terletak di
bawah sekum dan sebagian dibelakang sekum atau retrosekum. Sekum
terletak di daerah iliaka kanan dan menempel pada otot iliopsoas. Disini
kolon naik melalui daerah daerah sebelah kanan lumbal dan disebut kolon
asendens. Dibawah hati berbelok pada tempat yang disebut flexura
hepatica, lalu berjalan melalui tepi daerah epigastrik dan umbilical sebagai
kolon transvesus. Dibawah limpa ia berbelok sebagai fleksura sinistra atau
flexura linealis dan kemudian berjalan melalui daerah kanan lumbal
sebagai kolon desendens. Didaerah kanan iliaka terdapat belokan yang
disebut flexura sigmoid dan dibentuk kolon sigmoideus atau kolon pelvis,
dan kemudian masuk pelvis besar menjadi rectum.
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan
terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan
relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum
dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran
anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu
masuk ke bagian usus yang lebih proksimal, dan, dikelilingi oleh spinkter
ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi
rektum ke dunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas,
medial dan depan (Irwan, 2003).
Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf
simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut
syaraf parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus.
Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan
muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus
pudendalis mensyarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis. Syaraf
simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol
oleh n.splanknikus (parasimpatis). Walhasil, kontinensia sepenuhnya
dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik (syaraf
parasimpatis) (Irwan, 2003). Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak
dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut (Irwan, 2003).
Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan
longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot
sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Fisiologi Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini
juga disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang
sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali
perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan
rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu :
1. Refleks Defekasi Instrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum
memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus
untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon
sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah
anus. Ketika gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal
interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses
keluar.
2. Refleks Defekasi Parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal
cord (sakral 2–4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon
sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan
gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan
meningkatkan refleks defekasi instrinsik.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan
diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh
kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan
feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi
paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi
diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk
defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk
menampung kumpulan feses.

F. PATOFISIOLOGI
Istilah congenital aganglionic Megacolon menggambarkan adanya
kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub
mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum
dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinter
rektum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara
normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada
saluran cerna. Pada bagian proksimal sampai bagian yang rusak pada
Megacolon. Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna
untuk kontraksi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan
terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena
terjadi obtruksi dan menyebabakan dibagian colon tersebut melebar
(Padila, 2012).

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa


ditemukan:
a Daerah transisi
b Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang
menyempit
c Entrokolitis pada segmen yang melebar
d Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam
Pada bayi baru lahir, barium enema tidak selalu memperlihatkan
gambaran yang jelas dari penyakit apabila seluruh kolon tidak mempunyai
sel ganglion. Hal ini terjadi meskipun pengeluaran barium terlambat 24
jam setelah pemeriksaan diagnostik.
2. Biopsi isap rektum
Hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari linea dentata untuk
menghindari daerah normal hipogang lionosis dipinggir anus. Biopsi ini
dilakukan untuk memperlihatkan tidak adanya sel – sel ganglion di sub
mukosa atau pleksus saraf intermuskular.
3. Biopsi rektum
Biopsi rektum dilakukan dengan cara tusukan atau punch atau sedotan 2
cm diatas garis pektinatus memperlihatkan tidak adanya sel – sel ganglion
di sub mukosa atau pleksus saraf intermuskular.
4. Biopsi otot rektum
Pengambilan otot rektum, dilakukan bersifat traumatik, menunjukan
aganglionosis otot rektum.
5. Manometri anorektal
Dilakukan dengan distensi balon yang diletakan di dalam ampula rektum.
Balon akan mengalami penurunan tekanan di dalam sfingter ani interna
pada pasien yang normal. Sedangkan pada pasien yang megacolon akan
mengalami tekanan yang luar biasa.

6. Pemeriksaan colok anus


Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja
yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja,
kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan
akan terjadi pembusukan.
7. Foto rontgen abdomen
Didasarkan pada adanya daerah peralihan antara kolon proksimal yang
melebar normal dan colon distal tersumbat dengan diameter yang lebih
kecil karena usus besar yang tanpa ganglion tidak berelaksasi. Pada
pemeriksaan foto polos abdomen akan ditemukan usus melebar /
gambaran obstruksi usus letak rendah.

H. KOMPLIKASI
Menurut Mansjoer (2000:381) menyebutkan komplikasi penyakit
hirschprung adalah:
a. Pneumatosis usus
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang
iskemik distensi berlebihan dindingnya.
b. Enterokolitis nekrotiokans
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang
iskemik distensi berlebihan dindingnya.
c. Abses peri kolon
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang
iskemik distensi berlebihan dindingnya.
d. Perforasi
Disebabkan aliran darah ke mukosa berkurang dalam waktu lama.
e. Septikemia
Disebabkan karena bakteri yang berkembang dan keluarnya endotoxin
karena iskemia kolon akibat distensi berlebihan pada dinding usus.

Sedangkan komplikasi yang muncul pasca bedah antara lain:


a. Gawat pernafasan (akut)
Disebabkan karena distensi abdomen yang menekan paru – paru sehingga
mengganggu ekspansi paru.
b. Enterokolitis (akut)
Disebabkan karena perkembangbiakan bakteri dan pengeluaran endotoxin.
c. Stenosis striktura ani
Gerakan muskulus sfingter ani tak pernah mengadakan gerakan kontraksi
dan relaksasi karena ada colostomy sehingga terjadi kekakuan ataupun
penyempitan.
Mukosa
I. PATHWAY (Lefkowitz, 2016) Muskularis (Aorbach)

Faktor Genetik (Familial Terjadi kegagalan sel neural pada Sel ganglion di dinding kolorektal tidak
Congenital Defect) masa embrio dalam dinding usus ada/mengalami penurunan jumlah Submukosa (Meissner)

Mencegah Asorbsi makanan Ketidakadekuatan Saraf simpatis


keluarnya tidak adekuat dan motilitas usus (N=Kontraksi) Berkurangnya Mempengaruhi saraf simpatis
feses dari usus terdaat penahanan pengiriman sinyal ke dan parasimpatis yang mediator
Sfingter ani mengalami Saraf Parasimpatik otak NO (Nitrogen Oxide) terganggu
besar pada sfingter ani
kontraksi (N=Relaksasi)
Terdapat akumulasi yang
HISPRUNG (MEGAKOLON)
berlebihan pada usus Obstruksi mekanisme usus dan distensi saluran cerna

Feses banyak tertimbun dan


lama berada di kolon

Absorbsi air
Obstruksi inadekuat
kolon distal (berlebihan)

Feses mengeras

Obstruksi kolon
proksimal

Distensi Abdomen
& Perut membesar
Dx: Resiko Infeksi

Perut bayi kembung dan


Intervensi malas konsumsi cairan
Pembedahan sehingga muntah

Dx: Koping Dx: Nyeri


Dehidrasi
keluarga tidak Akut (Post-
efektif Operasi)
(Kecemasan
Keluarga)
J. PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGI DAN NON
FARMAKOLOGI
1. Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion
aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan
mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi
spinkter ani internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik
untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan
terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.
b Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat
berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan
setelah operasi pertama
Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti
Swenson, Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah
satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus
besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah
diubah.
2. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe
pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode
neonatal, perhatikan utama antara lain :
a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan
kongenital pada anak secara dini
b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis
( pembedahan )
d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana
pulang ( FKUI, 2000 : 1135 )
K. PRINSIP PERAWATAN ANAK
Prinsip perawatan anak menurut Nining, 2016 meiputi:
2. Family Centered Care (FCC)
Family Centered Care (FCC) atau perawatan yang berpusat pada
keluarga didefinisikan sebagai filosofi perawatan berpusat pada
keluarga, mengakui keluarga sebagai konstanta dalam kehidupan
anak. Family Centered Care meyakini adanya dukungan individu,
menghormati, mendorong dan meningkatkan kekuatan dan
kompetensi keluarga. Intervensi keperawatan dengan menggunakan
pendekatan family centered care menekankan bahwa pembuatan
kebijakan, perencanaan program perawatan, perancangan fasilitas
kesehatan, dan interaksi sehari-hari antara klien dengan tenaga
kesehatan harus melibatkan keluarga. Keluarga diberikan kewenangan
untuk terlibat dalam perawatan klien, yang berarti keluarga dengan
latar belakang pengalaman, keahlian dan kompetensi keluarga
memberikan manfaat positif dalam perawatan anak. Memberikan
kewenangan kepada keluarga berarti membuka jalan bagi keluarga
untuk mengetahui kekuatan, kemampuan keluarga dalam merawat
anak
3. Atraumatic Care
Atraumatic care atau asuhan atraumatik adalah penyediaan asuhan
terapeutik dalam lingkungan oleh seseorang (personal) dengan melalui
penggunaan intervensi yang menghilangkan atau memperkecil distres
psikologis dan fisik yang dialami oleh anak-anak dan keluarga mereka
dalam sistem pelayanan kesehatan. Atraumatic care yang dimaksud di
sini adalah perawatan yang tidak menimbulkan adanya trauma pada
anak dan keluarga. Perawatan tersebut difokuskan dalam pencegahan
terhadap trauma yang merupakan bagian dalam keperawatan anak.
Perhatian khusus pada anak sebagai individu yang masih dalam usia
tumbuh kembang sangat penting karena masa anak-anak merupakan
proses menuju kematangan, yang mana jika proses menuju
kematangan tersebut terdapat hambatan atau gangguan maka anak
tidak akan mencapai kematangan.
4. Perlindungan anak
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Sistem perlindungan anak diatur
berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2014, dimana pada Pasal 55 menyatakan bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Daerah (Pemda) wajib menyelenggarakan pemeliharaan,
perawatan dan rehabilitasi sosial anak terlantar baik di dalam lembaga
maupun di luar lembaga.

L. ASUHAN KEPERAWATAN HIRSCPRUNG DISEASE


1. Pengkajian Keperawatan
a. Keluhan utama yang lazim ditemukan pada anak adalah nyeri
abdomen. Untuk pengkajian nyeri pada anak terdiri atas
pengumpulan data subjektif dan objektif. Keluhan orangtua pada
bayinya dapat berupa muntah -muntah. Keluhan gastrointestinal
lain yang menyertai, seperti distensi abdominal, mual, muntah,
dan nyeri kolik abdomen.
b. Pengkajian riwayat kesehatan sekarang, keluhan orangtua pada
bayi dengan tidak adanya evakuasi mekonium dalam 24 - 48 jam
pertama setelah lahir diikuti obstruksi konstipasi, muntah, dan
dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa
minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut.
Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen,
dan demam. Adanya feses yang menyemprot pada saat colok
dubur merupakan tanda yang khas. Pada anak, selain tanda pada
bayi, anak akan rewel dan keluhan nyeri pada abominal.
Didapatkan keluhan lainnya berupa kontipasi atau diare berulang.
Pada kondisi kronis, orangtua sering mengeluh anak mengalami
gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Anak mungkin
didapatkan mengalami kekurangan kalori – protein. Kondisi gizi
buruk ini merupakan hasil dari anak karena selalu merasa
kenyang, perut tidak nyaman, dan distensi terkait dengan
konstipasi kronis. Dengan berlanjutnya proses penyakit, maka
akan terjadi enterokolitis. Kondisi enterokolitis dapat berlanjut ke
sepsis, transmural nekrosis usus, dan perforasi.
c. Pada pengkajian riwayat penyakit keluarga sering didapatkan
kondisi yang sama pada generasi terdahulu. Kondisi ini terjadi
sekitar 30% dari kasus.
d. Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan,
serta perlunya pemenuhan informasi intervensi keperawatan dan
pengobatan.
e. Pemeriksaan fisik
f. Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan manifestasi
klinik.Pada survey umum terlihat lemah atau gelisah.Tanda tanda
vital biasa didapatkan hipertermi dan takikardi dimana
menandakan terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya
perforasi.Tanda dehidrasi dan demam bisa didapatkan pada
kondisi syok atau sepsis. Pada pemeriksaan fisik fokus pada area
abdomen, lipat paha, dan rectum akan didapatkan:
1) Inspeksi: tanda khas didapatkan adanya distensi abdominal.
Pemeriksaan rectum dan feses akan didapatkan adanya
perubahan feses seperti pita dan berbau busuk.
2) Auskultasi: pada fase awal didapatkan penurunan bising
usus, dan berlanjut dengan hilangnya bising usus.
3) Perkusi: timpani akibat abdominal mengalami
kembung.
4) Palpasi : teraba dilatasi kolon pada abdominal.
g. Pengkajian diagnostik yang dapat membantu, meliputi
pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya Leukositosis
dan gangguan elektrolit atau metabolik; foto polos abdomen
dengan dua posisi, yaitu posisi tegak dan posisi berbaring untuk
mendeteksi obstruksi intestinal pola gas usus, serta USG untuk
mendeteksi kelainan intra abdominal.
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien menurut Nurarif
& Kusuma (2015):
a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan (agen
cidera fisik).
b. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan dan
adanya insisi (prosedur invansif).
c. Ansietas keluarga berhubungan dengan kurang
pengetahuan keluarga mengenai pengobatan dan perawatan
post operasi.
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
Nyeri akut Setelah dilakukan MANAJEMEN NYERI (I. 08238)

berhubungan asuhan keperawatan


1. Observasi
selama …x24 jam,  lokasi,
dengan insisi
tingkat nyeri menurun karakteristik, durasi,
pembedahan dengan kriteria hasil: frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
(agen cidera - Keluhan nyeri  Identifikasi skala
menurun nyeri
fisik).  Identifikasi respon
- Meringis
nyeri non verbal
menurun
 Identifikasi faktor
- Sikap protektif yang memperberat dan
menurun memperingan nyeri
- Gelisah  Identifikasi
pengetahuan dan
menurun keyakinan tentang nyeri
- Kesulitan tidur  Identifikasi
pengaruh budaya
menurun terhadap respon nyeri
- Frekuensi nadi  Identifikasi
pengaruh nyeri pada
meningkat kualitas hidup
 Monitor
keberhasilan terapi
komplementer yang
sudah diberikan
 Monitor efek
samping penggunaan
analgetik
2. Terapeutik
 Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
 Control lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
 Fasilitasi istirahat
dan tidur
 Pertimbangkan
jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Edukasi
 Jelaskan
penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan
memonitor nyri secara
mandiri
 Anjurkan
menggunakan analgetik
secara tepat
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Risiko infeksi Setelah dilakukan  PENCEGAHAN INFEKSI


asuhan keperawatan
berhubungan selama …x24 jam, (I.14539)

dengan tingkat infeksi


1. Observasi
menurun dengan
prosedur
kriteria hasil:  Identifikasi
pembedahan - Demam riwayat kesehatan
menurun dan riwayat alergi
dan adanya  Identifikasi
- Kemerahan kontraindikasi
insisi
menurun pemberian
(prosedur - Nyeri menurun imunisasi
- Bengkak  Identifikasi
invansif). status imunisasi
Menurun setiap kunjungan
- Kadar sel darah ke pelayanan
putih membaik kesehatan

2. Terapeutik

 Berikan
suntikan pada pada
bayi dibagian paha
anterolateral
 Dokument
asikan informasi
vaksinasi
 Jadwalkan
imunisasi pada
interval waktu yang
tepat

3. Edukasi

 Jelaskan
tujuan, manfaat,
resiko yang terjadi,
jadwal dan efek
samping
 Informasik
an imunisasi yang
diwajibkan
pemerintah
 Informasik
an imunisasi yang
melindungiterhadap
penyakit namun
saat ini tidak
diwajibkan
pemerintah
 Informasik
an vaksinasi untuk
kejadian khusus
 Informasik
an penundaan
pemberian
imunisasi tidak
berarti mengulang
jadwal imunisasi
kembali
 Informasik
an penyedia
layanan pekan
imunisasi nasional
yang menyediakan
vaksin gratis

Ansietas Setelah dilakukan Terapi relaksasi

keluarga asuhan keperawatan


1. Observasi
selama …x24 jam,  Identifikasi
berhubungan
tingkat ansietas penurunan tingkat
dengan kurang menurun dengan energy,
ketidakmampuan
pengetahuan kriteria hasil: berkonsentrasi, atau
-Verbalisasi gejala lain yang
keluarga
kebingungan menganggu
mengenai menurun kemampuan kognitif
 Identifikasi teknik
pengobatan dan - Verbalisasi relaksasi yang pernah
khawatir akibat efektif digunakan
perawatan post  Identifikasi
kondisi yang kesediaan, kemampuan,
operasi. dihadapi dan penggunaan teknik
menurun sebelumnya
 Periksa
- Perilaku
ketegangan otot,
gelisah frekuensi nadi, tekanan
menurun darah, dan suhu
- Perilaku tegang sebelum dan sesudah
latihan
menurun  Monitor respons
- Konsentrasi terhadap terapi relaksasi
membaik 2. Terapeutik
 Ciptakan
- Pola tidur lingkungan tenang dan
membaik tanpa gangguan dengan
pencahayaan dan suhu
ruang nyaman, jika
memungkinkan
 Berikan informasi
tertulis tentang
persiapan dan prosedur
teknik relaksasi
 Gunakan pakaian
longgar
 Gunakan nada
suara lembut dengan
irama lambat dan
berirama
 Gunakan relaksasi
sebagai strategi
penunjang dengan
analgetik atau tindakan
medis lain, jika sesuai
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan,
manfaat, batasan, dan
jenis, relaksasi yang
tersedia (mis. music,
meditasi, napas dalam,
relaksasi otot progresif)
 Jelaskan secara
rinci intervensi relaksasi
yang dipilih
 Anjurkan
mengambil psosisi
nyaman
 Anjurkan rileks
dan merasakan sensasi
relaksasi
 Anjurkan sering
mengulang atau melatih
teknik yang dipilih’
 Demonstrasikan
dan latih teknik relaksasi
(mis. napas dalam,
pereganganm atau
imajinasi terbimbing )
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Penyakit Hirschprung. Jakarta:
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Diakses 20 Juli 2020 dari
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.01_.07
MENKES-
4742017_ttg_Pelayanan_Kedokteran_Tata_Laksana_Penyakit_Hirschprung
_.pdf

Lefkowitz, Mark., et al.(2010).Atlas of Pathophysiology.3rd Edition.California:


Lippincott Williams & Wilkins

Nanda Internasional (2015-2017). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan


Klasifikasi Edisi 10 (B. A. Keliat., H. D. Windarwati., A. Pawirowiyono.,
M. A. Subu, Penerjemah). Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan 2015).

Nining, Yuliastati. 2016. Keperawatan Anak. Jakarta Selatan: Pusdik SDM


Kesehatan.

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. (2015). Asuhan Keperawatan Praktis
Berdasarkan Penerapan Diagnosa NANDA, NIC, NOC dalam berbagai
kasus. Yogyakarta : Medication Publishing.

Nurhayati Dede, dkk. (2017). Kualitas Hidup Anak Usia Toddler Paska
Kolostomi Di Bandung. Nurseline Journal Volume 2 No./2017 Halaman
167. Diakses 20 Juli 2020 dari
https://media.neliti.com/media/publications/197135-ID-the-quality-of-lifeof-
toddler-post-colo.pdf
Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha
Medika.

Rohmah, Nikmat & Walid Saiful. (2012). Proses Keperawatan & Aplikasi,
Yogyakarta. Ar-Ruzz Medika.

Wong, Donna L. (2013). Clinical Manual Of Pediatric Nursing. (Ester, Monica


Penerjemah). Jakarta : EGC. (Buku asli diterbitkan 2013).

Anda mungkin juga menyukai