Anda di halaman 1dari 83

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini epidemi penyakit tidak menular muncul menjadi penyebab kematian
terbesar di Indonesia, sedangkan epidemi penyakit menular juga belum tuntas,
selain itu semakin banyak pula ditemukan penyakit infeksi baru dan timbulnya
kembali penyakit infeksi yang sudah lama menghilang. Sehingga Indonesia
memiliki beban kesehatan ganda yang berat. Berdasarkan studi epidemiologi
terbaru, Indonesia telah memasuki epidemi diabetes melitus tipe 2. Perubahan
gaya hidup dan urbanisasi nampaknya merupakan penyebab penting masalah ini
dan terus menerus meningkat pada milenium baru ini (Perkeni, 2011).
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia.
World Health Organization (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah
penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM Tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Wild S, 2004).
Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009,
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009
menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka
prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah
penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011).
Menurut perkiraan, sekitar 50% penduduk dunia dan indonesia tidak
terdiagnosis menderita DM tipe 2 (underdiagnosed condition). Hal ini disebabkan
tidak adanya gejala atau dengan gejala ringan bagi mereka yang menderita
DM tipe 2 (IDF Diabetes Atlas, 2012). Sehingga sebagian besar
penderita DM tipe 2 tidak mengetahui serta memperdulikan
penyakitnya dan kemudian mendapatkan komplikasi makroangiopati
maupun mikroangiopati yang ireversibel (Pramono et al , 2010).

1
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh
Departemen Kesehatan RI, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah urban
Indonesia untuk usia diatas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di
Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku Utara dan
Kalimantan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa
terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai 21,8% di
Propinsi Papua Barat (Kemenkes RI, 2008).
Diabetes Mellitus Tipe 2 diderita oleh hampir semua golongan masyarakat
di seluruh dunia. Lebih dari 3 dekade, jumlah penderita diabetes mellitus telah
meningkat 2 kali lipat, membuat tantangan yang berbeda di seluruh negara.
Diabetes mellitus tipe 2, dan prediabetes telah meningkat antara anak-anak,
remaja, dan dewasa muda. Penyebab peningkatan epidemik ini disebabkan oleh
masalah yang kompleks yang terkait dengan genetik dan epigenetik dan interaksi
dengan faktor sosial, yakni pengaruh kebiasaan dan lingkungan (Chen L et al,
2012).
Penderita DM tipe 2 dari tahun ke tahun cenderung meningkat karena
banyak faktor resiko yang menyebabkan penyakit DM tipe 2 misal gaya hidup
tidak sehat, pola makan tidak sehat, sehingga terjadi obesitas yang disertai
resistensi insulin yang berlanjut menjadi DM (Darmono, 2010). Selain itu faktor
lingkungan, pendidikan dan pengalaman dapat juga menyebabkan masyarakat
kurang informasi tentang diet dan tatalaksana pada penyakit DM Tipe 2. Maka
dari itu tingkat pengetahuan pasien DM Tipe 2 tentang pola diet diabetesi sangat
diperlukan karena dapat mempengaruhi status kesehatannya. Namun terkadang
seseorang tidak mengetahui dirinya menderita DM tipe 2 sehingga kurang peduli
terhadap pola makan atau pola hidup sehat (Kariadi, 2009).
Pola makan yang salah sangat meningkatkan resiko diabetes, kurang gizi
(malnutrisi) dapat merusak pankreas, sedangkan obesitas (gemuk berlebihan)
dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin (Soegondo, 2009). Bila sel β
Pancreas terganggu atau rusak maka terjadi defisiensi atau resistensi insulin
sehingga glukosa dari makanan yang masuk tidak dapat dijadikan energi oleh sel.

2
Makan yang berlebihan akan menumpukkan glukosa didalam darah sehingga
terjadi kenaikan kadar gula darah (Kariadi, 2009).
Komplikasi DM Tipe 2 ini sudah dipastikan dapat merusak organ tubuh
seperti jantung (75 % kasus DM tipe 2 akan merusak jantung, ginjal, otak, mata
serta organ tubuh lainnya). Maka dampak yang biasa pada DM tipe 2 yang lama
dan tidak terkontrol adalah gangguan penglihatan, oklusi koroner, gagal ginjal dan
stroke. Para pakar sendiri sering mengingatkan, penyakit jantung antara lain
diperoleh akibat konsumsi lemak jenuh yang berlebihan dan kolesterol dari
makanan hewani. Sedangkan serat dari makanan nabati justru menurunkan
kolesterol dalam darah, mengendalikan kadar gula darah dan sekaligus
menurunkan berat badan (Soegondo S, 2011).
Salah satu upaya yang mempunyai peran utama adalah pengendalian lipid,
tekanan darah dan kadar gula darah melalui edukasi tentang gaya hidup sehat,
konsumsi gizi seimbang serta memelihara berat badan ideal, hindari hidup stress,
tidur yang cukup dan hidup aktif berolahraga serta tidak merokok. Upaya kuratif
yang mahal seperti perawatan intensif, tidak besar peranannya terhadap penurunan
mortalitas dalam populasi (Soegondo S, 2011).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Case report session ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Solok dan diharapkan agar dapat
menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para
pembaca.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan penulisan dari case report session ini adalah untuk mengetahui
defenisi, etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan
diskusi mengenai kasus diabetes melitus tipe II

1.3 Metode Penulisan

3
Case report session ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan
yang merujuk pada berbagai literatur
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2012, Diabetes


melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health
Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan
sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat
tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik
dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut
atau relatif dan gangguan fungsi insulin. (Sudoyo et.al 2006)
Diabetes adalah kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan defek
sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronik dari diabetes
yang terkait dengan gangguan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan
berbagai organ, khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah
(ADA, 2013).

2.2. Epidemiologi Diabetes Melitus


Laporan data epidemiologi Mc Carthy dan Zimmer menunjukan
bahwa jumlah penderita DM di dunia dari 110,4 juta pada tahun 1994
melonjak 1,5 kali lipat (175,4 juta) pada tahun 2000 dan melonjak 2 kali lipat
(239,3 juta) pada tahun 2010. International Diabetes Federation (IDF)
menyatakan bahwa pada tahun 2005 di dunia terdapat 200 juta (5,1%) orang
dengan diabetes dan diduga 20 tahun kemudian yaitu tahun 2025 akan

4
meningkat menjadi 333 juta (6,3%) orang. Negara-negara seperti India, Cina,
Amerika Serikat, Jepang, Indonesia, Pakistan, Bangladesh, Italia, Rusia dan
Brazil, merupakan 10 negara dengan jumlah diabetes terbanyak.
Pada umumnya DM tipe 2 dapat terjadi pada usia diatas 30 tahun. DM
tipe 2 merupakan yang paling sering terjadi dibandingkan dengan diabetes
mellitus tipe lainnya. Meskipun sebelumnya DM tipe 2 umumnya didiagnosis
pada usia paruh baya (middle age), sekarang onset terjadi pada usia yang lebih
muda di Jepang terlihat empat kali peningkatan insiden DM tipe 2 pada usia 6
hingga 15 tahun. Data dari Amerika Serikat mengindikasikan adanya 8-45%
kasus DM tipe 2 di diagnosis pada usia muda
Menurut penelitian epidemiologi sampai saat ini dilaksanakan di
Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%
kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3 %
dan di Manado 6 %. Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan
didaerah itu banyak perkawinan antar kerabat. Sedangkan di Manado,
Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu
populasinya terdiri dari orang-orang yang datang dengan sukarela, jadi agak
selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat
dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi di Manado memang
tinggi, karena prevalensi di Filipina juga tinggi yaitu sekitar 8,4 % sampai
12% didaerah urban dan 3,85% sampai 9,7% didaerah rural.
Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM
didaerah urban yaitu kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan didaerah rural
yang dilakukan oleh Augusta Arifin disuatu daerah di Jawa Barat tahun 1995,
angka ini hanya 1,1%. Disini jelas ada perbedaan antara prevalensi didaerah urban
dengan daerah rural. Hal ini menunjukan bahwa gaya hidup mempengaruhi
kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka ini tidak berbeda yaitu 1,43%
didaerah urban dan 1,47% didaerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya
prevalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang
disebut diabetes tipe lain didaerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2% dari
seluruh diabetes di daerah itu.

5
Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO seperti tampak
pada tabel 2, Indonesia akan menempati peringkat nomor 7 sedunia dengan
jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, naik 2
tingkat dibanding tahun 1995.

Tabel 2. Urutan 10 negara dengan jumlah pengidap diabetes terbanyak pada


penduduk dewasa diseluruh dunia pada tahun 1995 dan 2025
Urutan Negara 1995 (Juta) Urutan Negara 2025 (Juta)
1 India 19,4 1 India 57,2
2 Cina 16,0 2 Cina 37,6
3 Amerika Serikat 13,9 3 Amerika Serikat 21,9
4 Federasi Rusia 8,9 4 Pakistan 14,5
5 Jepang 6,3 5 Indonesia 12,4
6 Brazil 4,9 6 Federasi Rusia 12,2
7 Indonesia 4,5 7 Meksiko 11,7
8 Pakistan 4,3 8 Brazil 11,6
9 Meksiko 3,8 9 Mesir 8,8
10 Ukraina 3,6 10 Jepang 8,5
11 Semua Negara 49,7 11 Semua Negara 103,6
lain lain
Jumlah 135,3 300

Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi


diabetes mellitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes care
2004). Sedangkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia
45-54 tahun didaerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan
daerah pedesaan DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.
Diabetes gestasional adalah diabetes yang timbul selama kahamilan.
Ini meliputi 2-5% dari seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui
karena dampaknya pada janin kurang baik bila tidak ditangani dengan benar.
Adam mendapatkan prevalensi diabetes gestasi sebesar 2-2,6% dari wanita
hamil.

6
2.3. Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 2.

Menurut Standard of Medical Care in Diabetes 2012 yang


dikeluarkan oleh ADA pada tahun 2012, klasifikasi dari Diabetes Melitus terbagi
atas empat kelas, yaitu :
 Diabetes Tipe 1 (akibat destruksi sel-sel β, umumnya berakibat pada defisiensi
insulin absolut)
 Diabetes Tipe 2 (akibat dari defek sekresi insulin yang progresif akibat
resistensi insulin)
 Diabetes tipe lain yang spesifik, bias diakibatkan oleh defek genetik pada
fungsi sel-β, defek genetic pada kerja insulin, ataupun penyakit-penyakit pada
eksokrin pankreas (seperti kistik fibrosis) atau akibat obat dan bahan kimia
(seperti pada pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ)
 Diabetes Gestasional (diabetes yang terdiagnosa pada masa kehamilan yang
jelas-jelas bukan overt diabetes
Pada beberapa pasien tidak dapat diklasifikasikan ke dalam tipe 1 atau pun
tipe 2 secara jelas. Hal ini disebabkan oleh karena gambaran klinis perjalanan
penyakit yang bervariasi pada kedua tipe. Umumnya, pasien dengan diabetes tipe
2 dapat memiliki gambaran ketoasidosis. Mirip dengan hal tersebut, pasien
dengan diabetes tipe 1 mungkin memiliki perjalanan penyakit dengan onset yang

7
lambat (namun sangat merusak) dibandingkan tampilan penyakit autoimun.
Kesulitan dalam mendiagnosa dapat timbul pada anak-anak, remaja dan dewasa
(ADA, 2012).

2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus

Keterangan Gambar :
A. Konsekuensi yang Berkaitan dengan Efek pada Metabolisme Karbohidrat
Karena penurunan aktivitas insulin, maka perubahan – perubahan yang
terjadi pada diabetes mellitus adalah pola metabolic pasca – absorpsi yang
berlebihan, kecuali hiperglikemia. Pada keadaan puasa yang biasa, kadar
glukosa darah sedikit dibawah normal. Hiperglikemia, tanda utama diabetes
mellitus, terjadi karena berkurangnya penyerapan glukosa oleh sel, disertai
oleh peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati (1 di gambar 19-16). Karena
proses –proses glikogenolisis dan glukoneogenesis yang menghasilkan

8
glukosa berlangsung tanpa kendali karena tidak adanya insulin maka
pengeluaran glukosa oleh hati meningkat. Karena banyak sel tubuh tidak dapat
menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin maka terjadi kelebihan glukosa
ekstasel bersamaan dengan defisiensi glukosa yang ironis – “ kelapran
ditengah lumbung padi “. Meskipun otak, yang tidak bergantung pada insulin,
mendapat nutrisi yang adekuat pada diabetes mellitus, namun konsekuensi –
konsekuensi lebih lanjut dari penyakit ini akhirnya menyebabkan disfungsi
otak, seperti yang akan anda ketahui.
Ketika glukosa darah meningkat ke kadar dimana jumlah glukosa yang
tersaring melebihi kemampuan sel tubulus melakukan reabsorbsi maka
glukosa muncul diurin (glukosuria ) 2. Glukosa di urin menimbulkan efek
osmotic yang menarik H2O bersamanya, menyebabkan diuresis osmotic yang
ditandai oleh poliuria (sering berkemih) 3. Besarnya cairan yang keluar dari
tubuh menyebabkan dehidrasi 4, yang selanjutnya dapat menyebabkan
kegagalan sirkulasi perifer karena berkurangnya jumlah volume darah secara
mencolok 5. Kegagalan sirkulasi ini, jika tidak diperbaiki, dapat
menyebabkam kematian karena berkurangnya aliran darah ke otak 6 atau
gagal ginjal sekunder akibat berkurangnya tekanan filtrasi 7. Lebih lanjut, sel
– sel kehilangan air sewaktu tubuh mengalami dehidrasi akibat pergeseran
osmotic air dari sel kedalam cairan ekstrasel yang hipertonik 8. Sel – sel otak
sangat peka terhadap penciutan sehingga dapat terjadi malfungsi system saraf
9 . Gejala khas lain pada diabetes mellitus adalah polidipsia ( rasa haus yang
berlebihan ) 10, yang sebenarnya adalah mekanisme kompensasi untuk
melawan dehidrasi,
Kisah ini belum lengkap. Pada defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan
meningkat sehingga terjadi polifasia (asupan makanan yang berlebihan) 11.
Namun , meskipun asupan makanan bertambah terjadi penambahan berat
badan akibat efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak dan protein.
B. Konsekuensi yang Berkaitan dengan Efek pada Metabolisme Lemak
Sintesis trigliserida berkurang sementara lipolisis meningkat,
menyebabkan mobilisasi besar – besaran asam – asam lemak dari simpanan

9
trigliserida 12. Peningkatan asam lemak darah sebagian besar digunakan oleh
sel sebagai sumber energy alternative. peningkatan pemakaian asam lemak
oleh hati menyebakan pelepasan badan badan keton secara berlebihan kedalam
darah, menyebabkan ketosis 13. Badan badan keton mencakup beberapa jenis
asam, misalnya asam aseto asetat, yang terbentuk karena penguraian lemak
secara tidak sempurna sewaktu produksi energy oleh hati . karena itu, ketosis
yang terjadi ini menyebabkan asidosis metabolic yang progresif 14. Asidosis
menekan otak dan, jika cukup parah, dapat menyebabkan koma diabetes dan
kematian. 15.
Tindakan kompensatorik untuk asidosis metabolic adalah
meningkatkan ventilasi untuk mengeluarkan lebih banyak co2 pembentuk
asam 16. Pengeluaran salah satu badan keton , aseton, melalui hembusan nafas
menyebabkan nafas berbau “buah” kombinasi permen juicy fruit dan
pembersih kutek. Kadang, karena bau ini, orang yang berkebetulan lewat salah
menyangkal pasien yang kolaps pada koma diabetes sebagai pemabuk yang
pingsan karena minum keras. ( situasi ini menggambarkan pentingnya pasien
memiliki tanda pengenal untuk kewaspadaan medis). Pengidap diabetes tipe 1
jauh lebih rentas mengalami ketosis dari pada pengidap tipe 2.
C. Konsekuensi yang Berkaitan dengan Efek pada Metabolisme Protein
Efek kurangnya insulin pada metabolism protein adalah pergeseran
netto menuju katabolisme protein penguraian protein- protein otot
menyebabkan otot rangka lisut dan lemah 17 dan, pada anak yang mengudap
diabetes, penurunan pertumbuhan secara keseluruhan. Berkurangnya
pengambilan asam amino disertai meningkatnya penguraian protein
menyebabkan jumlah asam amino dalam darah berlebih 18. Peningkatan asam
amino darah ini dapata digunakan untuk glukoneogenesis sehingga
hiperglikemia menjadi bertambah parah 19.

10
2.4.1 Diabetes Melitus tipe 2
- Dinamika Sekresi Insulin
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan
tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk
biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan
terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau
minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi menjaga regulasi glukosa darah
agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat
beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi yang berlangsung secara sinkron
tersebut, menjaga kadar glukosa darah normal, sebagai cerminan metabolisme
glukosa yang fisiologis.
Sekresi fase 1 (acute insulin secretion response = AIR) adalah sekresi
insulin yang teriadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat
dan berakhir cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif
tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa
darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR yang
cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi yang normal karena pada
gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa darah
postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk
mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis.
AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya
hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial
postprondial spike) segala akibat yang ditimbulkan ermasuk hiperinsulinemia
kompensatif.
Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir muncul (sustained phase, latent
phase), di mana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan
dalam waktu relatif lebih lama Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan
glukosa darah selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2
yang berlangsung relatif lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara
kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah di akhir fase
1, di samping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme

11
penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila
sekresi fase 1 tidak adekuat terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk
peningkatan sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut
pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa
darah (postprandial tetap dalam batas-batas normal. Dalam prospektif perjalanan
penyakit fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengarui oleh fase Pada gambar di
bawah ini (Gambar 2) diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan
normal, toleransi glukosa terganggu (Impaired Glucose Toleranca = IGT), dan
diabetes melitus tipe 2.
Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, dan disertai pula oleh aksi
insulin yang juga normal di jaringan (tanpa resistensi insulin), sekresi fase 2 juga
akan berlangsung normal. Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan (ekstra)
sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 di atas normal untuk dapat
mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan fisiologis yang
memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat
memberikan dampak glucotoxicity juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai
dampak negatifnya.

- Aksi Insulin

Insulin berperan penting pada berbagai proses biologis dalam tubuh


terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam

12
proses utilisasi glukosa hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak,
hepar.
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan
dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada
membran sel, Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam
signal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa di dalam sel
otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu
jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan kuantitas
GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya Juga mendorong penempatannya
pada membran sel Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja
memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami
metabolisme (Gambar 3). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa
normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekre yang normal,
dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal Rendahnya sensitivitas atau
tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor
etilogi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.
Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan
metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan di mana GLUT-2
berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel ke
dalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur
homeostasis glukosa tubuh Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih
ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari
proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini
berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin.
Manakala jaringan (hepar) resistensi terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon
tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan
menjadi tidak optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah
kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan
semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.

13
- Efek Metabolisme Dari Insulin

Gangguan baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan


gangguan pada metabolisme glukosa dengan berbagai dampak yang
ditimbulkannya. Pada dasarnya ini bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa
yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah. Secara klinis,
gangguan tersebut dikenal sebagai diabetes melitus. Pada diabetes melitus
(DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering ditemukan, gangguan
metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya
sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap
insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan (environment).
Sedangkan pada diabetes tipe (DMT1), gangguan tersebut murni disebabkan
defisiensi insulin secara absolut.
Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada
dinamika sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak
sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan
dampak buruk terhadap homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah
hiperglikemia akut postprandial (HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah
segera (10 -30 menit) setelah beban glukosa (makan atau minum)

14
Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resitensi insulin merupakan faktor
etiologi yang bersifat bawaan (genetik) Secara klinis, perialanan penykaitini
bersifat progresif dan cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak
ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa darah oleh karena utilisai yang tidak
berlangsung sempurna pada lirannya secara klinis sering memunculkan
abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar glukosa yang
normal dalm darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta untuk
peningkatan sekresi insulin (insulin secretagogue) atau bila diperlukan secara
substitusi insulin, di samping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi
insulin (insulin sensitizer)
Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase
2sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap
kadar glukosa darah. secara klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat
terdeteksi keadaan yang dinamakan toleransi glukosa terganggu yang disebut juga
sebagai prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme kompensasi sudah mulai tidak
adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang mungkin secara relatif terjadi
peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi glukosa terganggu
(TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban
larutan 75 g glukosa dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) berkisar di antara
140-200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah
puasa antara 100 260 mg/dl, yang disebut juga sebagai glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
Keadaan hiperglikemia yang terjadi,baik secara kronis pada tahap
diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial yang teradi berulang kali setiap hari
sejak tahap TGT memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka
panjang menimbulkan komplikasi kronis diabetes. Tingginya kadar glukosa darah
(glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) ber tanggung
jawab terhadap kerusakan jaringan baik secara angsung melalui sters oksidatif dan
proses glikosilasi yang meluas.
Resistensi insulin mulai menonjol peranannya insulin semenjak perubahan
atau konversi fase TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut

15
faktor resistensi mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai
kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2,
meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia
masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular,
meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular
telah muncul semenjak prediabets Semakin tingginya tingkat resistensi insulin
dapat terlihat pula dari peninghkatan kadar glikosa darah puasa maupun
postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi
insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis
dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa
dari hepar.
Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2. pada awalnya
ditentukan oleh kinerja fase 1 yang negatif terhadap kinerja fase kemudian
memberi dampak dan berakibat langsung terhadap peningkatan kadar
(hiperglikemia). Hiperglikemia terjadi tidak glukosa darah hanya disebabkan oleh
gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin) tapi pada saat bersamaan juga oleh
rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan
atau pengauruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat
progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut
pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai
jaringan tubuh. Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi insulin,
selain daripada intoleransi rhadap glukosa beserta berbagi akibatnya, sering
menimbulkan kumpulan gejala yang dinamakan sindrom metabolik.

16
 Skema Patogenesis DM tipe 2

Predisposisi Genetik Lingkungan

Defek kegemukan

genetic multiple

Defek sel beta primer Resistensi insulin jar. Perifer

Gangguan sekresi insulin Kurangnya pemanfaatan glukosa

Hiperglikemia

Kelelahan sel beta

DM tipe 2

2.5. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yangdianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahandarah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (whole blood), vena,ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan

17
oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.

2.5.1. Diagnosis diabetes melitus


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasikDM seperti di bawah
ini:
 Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, danpenurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:


1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO
sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.Apabila hasil pemeriksaan
tidak memenuhi kriteria normal atau DM,bergantung pada hasil yang
diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) atauglukosa darah puasa terganggu (GDPT).

Keterangan:
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

18
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaanglukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan
TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dL.

Tabel 3. Kriteria diagnosis DM

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan


penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untukmengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan
kemudian pada mereka yang hasilpemeriksaan penyaringnya positif, untuk
memastikan diagnosis definitif (Sudoyo et.al 2006).
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan
Dibetes melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa
terganggu(GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan
TGT danGDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan
sementaramenuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor

19
risiko untukterjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di kemudian
hari (PERKENI,2006).
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosadarah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti
dengan testoleransi glukosa oral (TTGO) standar (Sudoyo,Ari W, 2006).

Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring
dan diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

Keluhan Klinis Diabetes

Keluhan Klasik
(+) Keluhan Klasik (-)

GDP
atau <126 >126 110 - <126 <110
>126
<200 >200
GD2J/
>200
GDS
Ulang GDS atau 110-199
GDP
TTGO
GDP GD 2 jam
>126 <126
atau
GD2J >200 <200

>200 140 - 199 <140


20
DIABETES MELLITUS TGT NORMAL
GDPT

2.6. Penatalaksanaan
2.6.1. Tujuan penatalaksanaan
 Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan
rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
 Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,


tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
(PERKENI,2011)

2.6.2.`Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:


Evaluasi medis meliputi:
Riwayat Penyakit
 Gejala yang timbul,
 Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C,
dan hasil pemeriksaan khusus yang terkait DM
 Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
 Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
 Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk
terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan
DM secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi
kesehatan
 Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani

21
 Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, dan hipoglikemia)
 Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenitalis serta kaki
 Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal,
mata, saluran pencernaan, dll.)
 Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
 Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan
endokrin lain)
 Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
 Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
 Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.

Pemeriksaan Fisik
 Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang
 Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik,
serta anklebrachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit
pembuluh darah arteri tepi
 Pemeriksaan funduskopi
 Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
 Pemeriksaan jantung
 Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
 Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
 Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan
insulin) dan pemeriksaan neurologis
 Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain

Evaluasi Laboratoris / penunjang lain


 Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial

22
 A1C
 Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan
trigliserida)
 Kreatinin serum
 Albuminuria
 Keton, sedimen, dan protein dalam urin
 Elektrokardiogram
 Foto sinar-x dada

2.6.3. Evaluasi medis secara berkala


• Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jamsesudah makan,
atau pada waktu-waktu tertentu lainnya sesuaidengan kebutuhan
• Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan
• Secara berkala dilakukan pemeriksaan:
o Jasmani lengkap
o Mikroalbuminuria
o Kreatinin
o Albumin / globulin dan ALT
o Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dantrigliserida
o EKG
o Foto sinar-X dada
o Funduskopi

2.6.4. Pilar penatalaksanaan DM


1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis

23
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabilakadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnyaketoasidosis, stres berat, berat badan yang
menurun dengancepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
(PERKENI,2011)

Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaanpenyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien,keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasiendalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapaikeberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yangkomprehensif dan upaya
peningkatan motivasi.Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,
tandadan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikankepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukansecara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.

Terapi Nutrisi Medis


Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian daripenatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter,ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta
pasien dankeluarganya).Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM
sesuaidengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan
makan pada penyandang diabetes hampirsama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitumakanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori danzat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes
perluditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwalmakan, jenis, dan

24
jumlah makanan, terutama pada mereka yangmenggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:


Karbohidrat
 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
 Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
 Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
 Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain
 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
 Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Lemak
 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
 Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
 Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu
penuh (whole milk).
 Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.

Protein

 Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.

25
 Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu, dan tempe.
 Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi
0,8 g/Kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65%
hendaknya bernilai biologik tinggi.

Natrium
 Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama
dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
 Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam
dapur.
 Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

Serat
 Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,
mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
 Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.

Pemanis alternatif
 Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
 Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol.
 Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan
kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

26
 Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena
efek samping pada lemak darah.
 Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
 Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI)

B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal,ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dll. Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi adalah sbb:
 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi :
 Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
 BB Normal : BB ideal ± 10 %
 Kurus : < BBI - 10 %
 Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks
massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:

IMT= BB(kg)/ TB(m2)

Klasifikasi IMT*
 BB Kurang < 18,5

27
 BB Normal 18,5-22,9
 BB Lebih ≥ 23,0

Keterangan:
o Dengan risiko 23,0-24,9
o Obes I 25,0-29,9
o ObesII > 30
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining
Obesity and its Treatment.

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :


1. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
2. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69
tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat,
20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50%
dengan aktivitas sangat berat.
4. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan.Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang
diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal
perhari untuk pria.

28
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas
dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%),
serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan.
Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan
disesuaikan dengan penyakit penyertanya. (PERKENI,2011)

Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih
30 menit,sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhithmical, Interval, Progressive
training). Sedapatmungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut nadi maksimal
(220/umur), disesuaikandengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.
Sebagai contoh olahraga ringan adalahberjalan kaki biasa selama 30 menit,
olahraga sedang adalah berjalan selama 20 menit danolahraga berat misalnya
joging. (Sudaryono et.al 2006)

Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat).Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.

29
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue):sulfonilurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformindan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambatglukosidase alfa.
E. DPP-IV inhibitor

A. Pemicu Sekresi Insulin


1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasiendengan
berat badan lebih.Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

30
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatansekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) danNateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengancepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresisecara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin


Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada PeroxisomeProliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatureseptor inti di sel otot dan sel
lemak.Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa diperifer.Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati.Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakaipada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung).Metformin

31
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saatatau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaanakan memudahkan
dokter untuk memantau efek sampingobat tersebut.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa diusus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadarglukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidakmenimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.

E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormonpeptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptidaini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian,secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak
aktif.Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktifmerupakan hal rasional dalam
pengobatan DM tipe 2.Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan
pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4(penghambat DPP-4), atau
memberikan hormon asli atauanalognya (analog incretin=GLP-1 agonis).Berbagai
obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor,mampu menghambat kerja DPP-4
sehingga GLP-1 tetapdalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan
mampu merangsang penglepasan insulin sertamenghambat penglepasan glukagon.
Tabel 5. Keuntungan, kerugian dan biaya obat anti hiperglikemik
(sumber: standard of medical care in diabetes- ADA 2015)

Kelas Obat Keuntungan Kerugian Biaya

32
Biguanide Metformin - Tidak - Efek samping Rendah
menyebabkan gastrointestinal
- Risiko asidosis
hipoglikemia laktat
- Menurunkan - Defisiensi vit b12
kejadian CVD
- Kontra indikasi
pada ckd, asidosis,
hipoksia, dehidrasi

Sulfonilurea - Glibenclamide - Efek hipoglikemik - Risiko Sedang


kuat hipoglikemia
- Glipizide
- Gliclazide - Menurunkan - Berat badan 
- Glimepiride komplikasi
mikrovaskuler

Metiglinides Repaglinide - Menurunkan glukosa - Risiko Sedang


postprandial hipoglikemia
- Berat badan 

TZD Pioglitazone - Tidak - Barat badan Sedang


menyebabkan meningkatkan
hipoglikemia - Edema, gagal
-  HDL jantung
-  TG - Risiko fraktur
-  CVD event meningkat pada
wanita menopause

Penghambat Acarbose - Tidak - Efektivitas Sedang


 menyebabkan penurunan A1C
glucosidase
hipoglikemia sedang
-  Glukosa darah - Efek samping
postprandial gastro intestinal
-  CVD event - Penyesuaian dosis
harus sering
dilakukan

Penghambat - Sitagliptin - Tidak - Angioedema, urtica, Tinggi


DPP-4 menyebabkan atau efek
- Vildagliptin
- Saxagliptin hipoglikemia dermatologis lain
- Linagliptin - Ditoleransi yang dimediasi
dengan baik respon imun
- Pancreatitis
akut?
- Hospitalisasi
akibat gagal
jantung

33
Penghambat - Dapagliflozin - Tidak - Infeksi Tinggi
SGLT2 menyebabkan urogenital
- Canagliflozin* hipoglikemia - Poliuria
- Empagliflozin* -  berat badan - Hipovolemia/
-  tekanan darah
- Efektif untuk hipotensi/ pusing
semua fase DM -  ldl
-  creatinin
(transient)

Agonis - Liraglutide - Tidak - Efek samping Tinggi


reseptor GLP-1 - Exenatide* menyebabkan gastro intestinal
- Albiglutide* hipoglikemia (mual/ muntah/
- Lixisenatide* -  glukosa darah diare)
- Dulaglutide* postprandial -  denyut
-  beberapa faktor jantung
risiko CV - Hyperplasia c- cell
atau tumor
medulla tiroid
pada hewan coba
- Pankreatitis
akut
- Bentuknya
injeksi
- Butuh latihan
khusus
Insulin - Rapid-acting - Responnya - Hipoglikemia Bervariasi
analogs universal
§Lispro - Berat badan 
- Efektif
§Aspart menurunkan
- Efek mitogenik
§Glulisine - Dalam sediaan
glukosa darah injeksi
- Short-acting
§Human - komplikasi - Tidak nyaman
mikrovaskuler - Perlu pelatihan
Insulin pasien
- Intermediate (UKPDS)
acting
§Human NPH
- Basal insulin
analogs
§Glargine
§Detemir
§Degludec*
- Premixed
(beberapa
tipe)

2. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic

34
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
• Penurunan berat badan yang cepat
• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
• Ketoasidosis diabetik
• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
• Hiperglikemia dengan asidosis laktat

35
• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidakterkendali
dengan perencanaan makan
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
• Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
• Insulin kerja pendek (short acting insulin)
• Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
• Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Jenis Insulin Awitan Puncak Lama Kemasan


Insulin analog Kerja(onset) Efek
Cepat (Rapid-Acting) Kerja
Insulin Lispro
(Humalog®) Pen /cartridge Pen,
Insulin Aspart 5-15 1-2 jam 4-6 jam vial
(Novorapid®) menit Pen
Insulin Glulisin
(Apidra®)

Insulin manusia kerja pendek = Insulin Reguler (Short-Acting)


Humulin® R 30-60 2-4 jam 6-8 jam Vial, pen / cartridge
Actrapid® menit

Insulin manusia kerja menengah = NPH (Intermediate-Acting)

36
Humulin N® Vial, pen / cartridge
Insulatard® 1,5–4 jam 4-10 jam 8-12 jam
Insuman
Basal®

Insulin analog kerja panjang (Long-Acting)


Insulin Glargine
(Lantus®) 1–3 jam Hampir 12-24
Insulin Detemir tanpa Pen
jam
(Levemir®) puncak
Lantus 300

Efek samping terapi insulin


• Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
•Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

2. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan
berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek
agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat
ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul
pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. (PERKENI,2011)

3. Terapi Kombinasi

37
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulaidengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah.Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi
kombinasi insulin. (PERKENI,2011)
2.7. Komplikasi Diabetes Melitus
2.7.1. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut
darikonsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada
diabetes adalah:

A. Ketoasidosis Diabetik (DKA).


Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM . Hal ini
terjadi karena kadar insulin sangat menurun,dan pasien akan mengalami hal
berikut: (Boon et.al 2006)
· Hiperglikemia

38
· Hiperketonemia
· Asidosis metabolik
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis
,peningkatanlipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai
pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan
keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton
meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan
ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil
akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan
mengalami syok. (Price et.al 2005)
Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan
mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang
terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya
komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin.
B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)
Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada
penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut,
namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai
berikut: (Price et.al 2005)
· Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.
· Dehidrasi berat
· Uremia
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak
segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama
antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.

C. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)


Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan
penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat
berupa koma dengan kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Meskipun

39
hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatan dengan insulin, tetapi biasanya
ringan. Kejadian ini sering timbul karena pasien tidak memperlihatkan atau belum
mengetahui pengaruh beberapa perubahan pada tubuhnya. (Soegondo,2005)

2.7.2. Komplikasi Kronik Jangka Panjang


A. Mikrovaskular / Neuropati
–Retinopati, katarak : penurunan penglihatan
–Nefropati :gagal ginjal
– Neuropati perifer :hilang rasa, malas bergerak
– Neuropati autonomik :hipertensi, gastroparesis
– Kelainan pada kaki :ulserasi, atropati
B. Makrovaskular
– Sirkulasi koroner :iskemi miokardial/infark miokard
– Sirkulasi serebral :transient ischaemic attack, strok
–Sirkulasi :claudication, iskemik

2.8. Prognosis
• Quo ad vitam : Dubia ad malam
• Quo ad fungtionam : Dubia ad malam
• Quo ad sanam : Dubia ad malam

2.9. Hipoglikemia
2.9.1 Definisi Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadan dimana konsentrasi glukosa darah <60 mg/dl, atau
<80 mg/dl disertai gejala klinis. Hipoglikemi dapat terjadi pada pasien diabetes
mellitus maupun non-DM.
2.9.2 Etiologi
Pada pasien DM:
1. Defisiensi insulin endogen, yang sekaligus menandakan bahwa telah terjadi
penurunan respon glukagon

40
2. Terapi DM secara agresif, yang terlihat dari rendahnya target terapi baik
glukosa, HbA1C, atau keduanya
3. Riwayat hipoglikemia
4. Latihan jasmani dengan intensitas menengah hingga berat
5. Gagal ginjal
6. Gagal hati
7. Pasca persalinan pada ibu yg menggunakan terapi insulin saat hamil
8. Asupan makanan yang tidak adekuat

Obat hipoglikemik oral yang berisiko menyebabkan hipoglikemia.


Penggunaan obat hipoglikemik oral yang memiliki cara kerja meningkatkan
sekresi insulin pada pankreas dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Obat
– obat tersebut antara lain dipeptydil peptidase-4 inhibitor, glucagon-like
peptide-1, golongan glinide, golongan sulfonylurea: glibenclamide, glimepiride
Sulfonylurea
Sulfonylurea bekerja dengan memacu pelepasan insulin dari sel beta pankreas
dengan cara berikatan dengan reseptor sulfonylurea pada sel beta pankreas yang
menyebabkan inhibisi efluksion kalium dan menyebabkan depolarisasi dan
pelepasan insulin. Pemakaian sulfonylurea jangka panjang pada pasien DM tipe 2
dapat menurunkan kadar serum glukagon yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya hipoglikemia. Mekanisme inhibisi glukagon ini terjadi karena stimulasi
pelepasan insulin dan somatostatin menghambat sekresi sel alfa pankreas. Obat
golongan sulfonylurea yang saat ini cukup banyak digunakan merupakan
sulfonylurea generasi ke-2 yaitu glibenclamide dan glimepiride.
Glibenclamide (glyburide)
Dimetabolisme di hepar menjadi produk dengan aktivitas hipoglikemik yang
sangat rendah. Dosis awal pemberian Glibenclamide yaitu 2,5 mg per hari dan
dapat ditingkatkan hinga mencapai 5-10 mg dosis tunggal per hari dan diberikan
pada pagi hari.Pemberian dosis lebih dari 20 mg per hari tidak direkomendasikan.
Glibenclamide berisiko menyebabkan hipoglikemia. Efek samping glibenclamide
yang lain adalah dapat menyebabkan flushing apabila berinteraksi dengan alkohol.

41
Insufisiensi ginjal dan hepar merupakan kontraindikasi penggunaan
glibenclamide.
Glimepiride
Digunakan dengan dosis sekali sehari, sebagai terapi tunggal ataupun sebagai
kombinasi dengan terapi insulin. Glimepiride mencapai pengendalian gula darah
pada dosis yang paling rendah bila dibandingkan dengan sulfonylurea yang lain.
Dosis tunggal 1 mg tiap hari dapat menunjukkan kerja yang efektif dan dapat
digunakan dosis hingga 8 mg per hari. Glimepiride memiliki waktu paruh selama
5 jam sehingga dapat diberikan dalam dosis 15 tunggal sekali sehari. Glimepiride
dimetabolisme di hepar menjadi bentuk yang inaktif.
Meglitinide
Meglitinide bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin sel beta pankreas
dengan mengatur efluks kanal kalsium. Meglitinide memiliki tempat perlekatan
(binding sites) yang sama dengan yang dimiliki oleh golongan sulfonylurea. Obat
yang termasuk dalam golongan meglitinide yaitu repaglinide.
Repaglinide
Memiliki onset kerja sangat cepat, dengan konsentrasi puncak dan efek puncak
kurang dari satu jam setelah obat ditelan, sedangkan durasi kerja repaglinide
selama 5–8 jam. Repaglinide dimetabolisme di hepar oleh enzim CYP3A4
dengan waktu paruh plasma selama 1 jam. Sifat kerja yang cepat ini membuat
Repaglinide diindikasikan untuk mengatasi peningkatan glukosa setelah makan
(post-prandial). Repaglinide diminum tepat sebelum makan, dengan dosis 0.25–4
mg (maksimum 16 mg per hari) Repaglinide berisiko menimbulkan hipoglikemia
bila pasien tidak segera makan setelah mengkonsumsi obat, atau makan dengan
jumlah karbohidrat yang tidak adekuat.
Repaglinide perlu mendapat perhatian khusus pada pasien dengan
gangguan hepar dan ginjal. Repaglinide dapat digunakan sebagai terapi tungal
ataupun dikombinasikan dengan biguanide (metformin). Repaglinide dapat
diberikan pada pasien diabetes yang alergi dengan sulfonylurea karena
repaglinide tidak mengandung unsur sulfur.

42
2.9.3. Patofisiologi

Glukagon dan epinefrin merupakan 2 hormon yang disekresi pada kejadian


hipoglikemia akut. Glukoagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula
meningkatkan glikogeneolisis dan kamudian glukoneogenesis. Epinefrin selain
meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati juga menyebabkan
lipolisis di jaringan lemak serta glikogenolisis dan proteolisis di otot. Glierol, hasil
lipolisis serta asam amino (alamin dan aspartat) merupakan bahan baku
glukoneogenesis di hati.
Epinefrin juga meningkatkan glukoneogenesis di ginjal. Yang pada
keadaan tertentu merupakan 25% produksi glukosa tubuh. Pada keadaan
hipoglikemia yang berat, walapun kecil, hati juga menunjukkan kemampuan
otoregulasi. Kortisol dan growth hormone berperan pada keadaan hipoglikemia
yang berlangsung lama, dengan cara melawan kerja insulin di jaringan perifer
(lemak dan otot) serta meningkatkan glukoneogenesis. Defisiensi growth hormone
(panhipopitutarisme) dan kortisol (penyakit addison) pada individu menimbulkan
hipoglikemia yang umumnya ringan.

43
Bila sekresi glukagon dihambat secara farmakologis, pemulihan kadar
glukosa setelah hipoglikemia yang diinduksi insulin berkurang sekitar 40%. Bila
sekresi glukagon dan epinefrin dihambat sekaligus pemulihan glukosa tidak
terjadi.

2.9.4 Klasifikasi
Tabel. 1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut

Ringan Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktifitas


sehari-hari yang nyata.

Sedang Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan


aktivitas sehari-hari yang nyata.

Berat Sering tidak simtomatik, pasien tidak dapat mengatasi sendiri


karena adanya gangguan kognitif
1. Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak menimbulkan
terapi parenteral
2. Membutuhkan terapi parenteral (glukagon
intramuskuler atau intravena)
3. Disertai kejang atau koma.

Tabel 2. Klasifikasi Hipoglikemia menurut American diabetes association


workgroup on hypoglycdemia tahun 2005

Severe hypoglicemia Kejadian hipoglikemia yang membutuhkan


bantuan dari orang lain.
Documented symptomatic Kadar gula drah plasma ≤ 70 mg/dl disertai
hypoglicemia gejala klinis hipoglikemia.
Asimptomatic Kadar gula darah plasma ≤ 70 mg/dl tanpa
hypoglycemia disertai gejala klinis hipoglikemia.
Probable symtomatic Gejala klinis hipoglikemia tanpa disertai

44
hypoglicemia pengukuran kadar gula darah plasma.
Relative hypoglicemia Gejala klinis hipoglikemia dengan pengukuran
kadar gula darah plasma ≤ 70 mg/dl dan terjadi
penurunan kadar gula darah.

2.8.5 Gejala klinis


Tabel .3 Gejala dan tanda yang muncul pada keadaan hipoglikemia

Kadar gula darah Gejala neurogenik Gejala


(mg/dL) neuroglikopenik
79,2 Gemetar, goyah, gelisah Irritabilitas,
kebingungan
70,2 Gugup, berdebar-debar Sulit berpikir, sulit
berbicara
59,4 berkeringat Ataxia, parestesia
50,4 Mulut kering, rasa Sakit kepala, stupor
kelaparan
39,6 Pucat, midriasis Kejang, koma, kematian

Tabel. 4 keluhan dan gejala hipoglikemia akut yang sering dijumpai pada pasien
diabetes

Otonomik Neuroglikopenik Malaise

45
Berkeringat Bingung Mual
Jantung berdebar Mengantuk Sakit kepala
Tremor Inkoordinasi
lapar Perilaku yang berbeda
Gangguan visual
parestesi

Tabel . 5 keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemia yang tidak di sadari
(Heller, 2003)

Keadaan klinis Kemungkinan mekanisme


Diabetes yang lama - Tidak diketahui
- hipoglikemia yang berulang
merusak neuron yang glukosensitif
Kendali metabolik yang ketat - Regulasi transpor glukosa neuronal
yang meningkat
- Peningkatan kortisol dengan akibat
gangguan jalur utama transmisi
neuron
alkohol - Penekanan respon otonom perifer
- Gangguan kognisi
Episode nocturnal - Tidur yang menyebabkan gejala
awal hipoglikemia tidak diketahui
- Posisi berbaring mengurangi
respon simpatoadrenal
- Kemampuan abstrak belum cukup
Usia muda - Perubahan prilaku
- Gangguan kognisi
Usia lanjut - Respon otonom berkurang
- Sensitivitas adrenergik berkurang

46
2.9.6. Diagnosis
a. Gejala dan tanda klinis
- Stadium parasimpatik: lapar, mual, hipotensi
- Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan
menghitung sementara
- Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan
gemetar
- Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang

b. Anamnesa
- Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral terakhir,
waktu pemakaian terakhir, jumlah asupan gizi
- Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
- Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
- Lama menderita DM, komplikasi DM
- Penyakit penyerta: ginjal, hati,dll
- Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik β

c. Pemeriksaan fisik
- Pucat, diaphrosesis, tekanan darah, frekuensi denyut nadi, penurunan
kesadaran, defisit neurologik fokal transien
Trias whipple untuk hipoglikemia secara umum:
1. Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah
2. Kadar glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes)
3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat

2.9.7. Pemeriksaan penunjang


1. Cek darah rutin: Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit
2. Pemeriksaan gula darah
3. Tes fungsi ginjal
4. Tes fungsi hati

47
2.9.8 Penatalaksanaan
1. Mencari penyebab
Penyebab hipoglikemia pada umumnya reversible, sesuai dengan etiologinya.
Oleh karena itu, penting untuk menemukan etiologi hipoglikemia. Etiologi
hipoglikemia pada pasien DM biasanya akibat ketidaksesuaian antara asupan dan
dosis obat, sedangkan pada pasien nonDM dapat dilihat pada keterangan tentang
etiologi hipoglikemia diatas. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam
penatalaksanaan hipoglikemia adalah menentukan derajat hipoglikemia.

2. Koreksi hipoglikemia
a. Pada pasien sadar
 Berikan larutan gula murni 20-30 gram (2 sendok makan), permen, sirup, atau
bahan makanan lain yang mengandung gula murni (bukan pemanis buatan,
rendah kalori, atau gula diabetes/gula diet) dan makanan yang mengandung
karbohidrat.
 Hentikan obat antidiabetik oral (ADO) yang dicurigai sebagai penyebab.
 Interval pemantauan glukosa darah sewaktu tiap lamanya disesuaikan dengan
kemungkinan penyebab.
 Monitor glukosa darah dalam rentan waktu yang disesuaikan dengan
pemantauan bisa lebih lama 1-3x/24jam
 Apabila pasien menjadi tidak sadar, segera rujuk ke RS terdekat.
b. Pada pasien tidak sadar
 Injeksi dekstrosa 40% (D40%) secara bolus intravena
 Infuse dekstrosa 10% (D10%), 6 jam per kolf untuk rumatan.
 Periksa glukosa darah sewaktu (GDS), dengan glukometer secara berkala tiap
jam bila memungkinkan. Bolus D40% diberikan bila GD masih dibawah 100
mg/dl. Sesuai rendahnya GD

Contoh:

48
-GDS <60 mg/dl = bolus D40% 2 flacon IV
-GDS 60-80 mg/dl = bolus D40% 1 flacon IV
-GDS 80-100 mg/dl = tidak diberi D40%
 Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 berturut –turut ,pemantauan GDs setiap 2
jam, dengan protocol sesuai diatas, bila GDS >200 mg/dL – pertimbangkan
mengganti infuse dengan dextrosa 5 % atau NaCI 0,9 %
 Bila GDS >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut- turut ,pemantauan GDS setiap
4 jam, dengan protocol sesuai diatas .bila GDs > 200 mg/dL – pertimbangkan
mengganti infuse dengan dextrosa 5 % atau NaCI 0.9 %
 Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut ,slinding scale setiap
6jam : 

GD (mg/dL) RI (unit, subkutan)


<200 0
200-250 5
250-300 10
300-350 15
>350 20

 bila hipoglikemia belum teratasi ,dipertimbangkan pemberian antagonis insulin


seperti ; adrenalin ,kortison dosis tinggi ,atau glikagon 0,5-1 mg IV / IM ( bila
penyebabnya insulin )
 bila pasien belum sadar ,GDs sekitar 200 mg / dL .hidrokortison 100 mg per 4
jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6
jam dan manitol 1,5 - 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam ,cari penyebab lain penurunan
kesadaran 

2.10. KAKI DIABETIK


2.10.1 DEFINISI
Segala bentuk kelainan yang terjadi pada kaki yang disebabkan oleh diabetes
mellitus. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya kaki diabetik merupakan
kombinasi neuropati otonom dan neuropati somatik, insufisiensi vaskuler, serta

49
infeksi. Penderita kaki diabetik yang masuk rumah sakit umumnya disebabkan
oleh trauma kecil yang tidak dirasakan oleh penderita.

2.10.2 ETIOLOGI
Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki diabetik.
Secara umum faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi:
 Faktor predisposisi
Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma
seperti kelainan makrovaskuler dan mikrovaskuler, jenis kelamin, merokok,
dan neuropati otonom.
Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti
neuropati motorik, neuropati sensorik, limited joint mobility, dan komplikasi
DM yang lain (seperti mata kabur).
 Faktor presipitasi
 Perlukaan di kulit (jamur).
 Trauma.
 Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.

 Faktor yang memperlambat penyembuhan luka


 Derajat luka.
 Perawatan luka.
 Pengendalian kadar gula darah.

2.10.3. PATOFISIOLOGI

Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM


yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap

50
infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor
aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan
kaki diabetik.
1. Vaskulopati
Pada pembuluh darah, akibat komplikasi DM terjadi ketidakrataan
permukaan lapisan dalam arteri sehingga aliran lamelar berubah menjadi turbulen
yang berakibat pada mudahnya terbentuk trombus. Pada stadium lanjut seluruh
lumen arteri akan tersumbat dan manakala aliran kolateral tidak cukup, akan
terjadi iskemia dan bahkan gangren yang luas.
Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain
berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer yang terutama
sering terjadi pada tungkai bawah. Pada penderita muda, pembuluh darah yang
paling awal mengalami angiopati adalah arteri tibialis. Kelainan arteri akibat
diabetes juga sering mengenai bagian distal dari arteri femoralis profunda, arteri
poplitea, arteri tibialis dan arteri digitalis pedis. Akibatnya perfusi jaringan distal
dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat
berkembang menjadi nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang
memerlukan amputasi.
Perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit, penebalan membrana
basalis serta penurunan produksi prostasiklin (vasodilator dan anti platelet
aggregating agent) akan memacu terbentuknya mikrotrombus dan penyumbatan
mikrovaskuler. Peristiwa ini mengakibatkan timbulnya iskemia organ dan/atau
jaringan yang bersangkutan, termasuk serabut saraf perifernya.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan vaskulopati berupa disfungsi
endotel melalui berbagai mekanisme antara lain:
 Hiperglikemia kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan
makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat
antigenik dari protein dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan
tekanan intravaskular akibat gangguan keseimbangan NO dan prostaglandin.
 Hiperglikemia meningkatkan aktivasi PKC intraselular sehingga akan
menyebabkan gangguan NADPH pool yang akan menghambat produksi NO.

51
 Overekspresi growth factors meningkatkan proliferasi sel endotel dan otot
polos pembuluh darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.
 Hiperglikemia akan meningkatkan sintesis diacylglycerol (DAG) melalui jalur
glikolitik. Peningkatan kadar DAG akan meningkatkan aktivitas PKC. Baik
DAG maupun PKC berperan dalam memodulasi terjadinya vasokonstriksi.
 Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan
hiperglikemia akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan
peningkatan oxidized lipoprotein, terutama small dense LDL-cholesterol
(oxidized LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Di samping itu peningkatan
kadar asam lemak bebas dan keadaan hiperglikemia dapat meningkatkan
oksidasi fosfolipid dan protein.
 Hiperglikemia akan disertai dengan tendensi protrombotik dan agregasi
platelet. Keadaan ini berhubungan dengan beberapa faktor antara lain
penurunan produksi NO dan penurunan aktivitas fibrinolitik akibat peningkatan
kadar PAI-1. Di samping itu, pada DM tipe 2 terjadi peningkatan aktivitas
koagulasi akibat pengaruh berbagai faktor seperti pembentukan advanced
glycosylation end products (AGEs) dan penurunan sintesis heparin sulfat.
 Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi dengan
disfungsi endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang dapat menyebabkan
stimulasi yang berlebihan dari sel-sel endotel sehingga akan terjadi disfungsi
endotel.
Proses angiopati menyebabkan sumbatan arteri yang berlangsung secara
kronik hingga menimbulkan gejala klinik yang menurut Fontaine dibagi
menjadi stadium sebagai berikut: I. rasa kram/kebal, II. claudicatio intermitten,
III. resting pain, IV. iskemia/infark dan/atau gangren.
2. Neuropati
Gangguan mikrosirkulasi dan neuropati punya hubungan yang erat dengan
patogenesis kaki diabetik. Neuropati diabetik pada fase awal menyerang saraf
halus terutama di ujung-ujung kaki. Hal ini disebut sebagai fenomena dying back,
di mana ada teori yang menyatakan bahwa semakin panjang saraf maka semakin

52
rentan untuk diserang. Jadi dibandingkan dengan ekstremitas atas, ternyata
ekstremitas bawah yang lebih dulu terkena.
Gangguan mikrosirkulasi selain menurunkan aliran darah dan hantaran
oksigen pada serabut saraf (keadaan ini bersama dengan proses jalur sorbitol dan
mekanisme lain akan mengakibatkan neuropati) juga akan menurunkan aliran
darah ke perifer sehingga aliran tidak cukup dan menyebabkan iskemia dan
bahkan gangren.
Neuropati diabetik disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa 
sorbitol  fruktosa) akibat kekurangan insulin. Pada jaringan saraf, terjadi
penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang
menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan
mengganggu kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan hilangnya
akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan
neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan
proprioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks
tendon dalam, kelemahan otot, dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf
perifer (mononeuropati dan polineuropati), saraf-saraf kranial, atau sistem saraf
otonom. Terserangnya sistem saraf otonom dapat disertai diare nokturnal,
keterlambatan pengosongan lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural,
dan impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infark
miokardial akut tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat kehilangan respons katekolamin
terhadap hipoglikemia dan tidak menyadari reaksi-reaksi hipoglikemia.
a) Neuropati motorik
Kerusakan saraf motorik akan menyebabkan atrofi otot-otot intrinsik yang
menimbulkan kelemahan pada kaki dan keterbatasan gerak sendi akibat akumulasi
kolagen di bawah dermis hingga terjadi kekakuan periartikuler. Deformitas akibat
atrofi otot dan keterbatasan gerak sendi menyebabkan perubahan keseimbangan
pada sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan menimbulkan titik tumpu baru pada
telapak kaki serta berakibat pada mudahnya terbentuk kalus yang tebal (claw
foot). Seiring dengan berlanjutnya trauma, di bagian dalam kalus tersebut mudah
terjadi infeksi yang kemudian berubah jadi ulkus dan akhirnya gangren.

53
Charcot foot merupakan deformitas kaki diabetik akibat neuropati yang
klasik dengan 4 tahap perkembangan:
(1) Adanya riwayat trauma ringan disertai kaki panas, merah dan bengkak.
(2) Terjadi disolusi, fragmentasi, dan fraktur pada persendian
tarsometatarsal.
(3) Terjadi fraktur dan kolaps persendian.
(4) Timbul ulserasi plantaris pedis.

b) Neuropati sensorik
Kehilangan fungsi sensorik menyebabkan penderita kehilangan daya
kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsangan dari luar. Nilai ambang proteksi
dari kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi saraf sensoris kaki. Pada
keadaan normal sensasi yang diterima menimbulkan refleks untuk meningkatkan
reaksi pertahanan dan menghindarkan diri dari rangsangan yang menyakitkan
dengan cara mengubah posisi kaki untuk mencegah terjadinya kerusakan yang
lebih besar. Sebagian impuls akan diteruskan ke otak dan di sini sinyal diolah
kemudian respon dikirim melalui saraf motorik.
Pada penderita DM yang telah mengalami neuropati perifer saraf sensorik
(karena gangguan pengantaran impuls), pasien tidak merasakan dan tidak
menyadari adanya trauma kecil namun sering. Pasien tidak merasakan adanya
tekanan yang besar pada telapak kaki. Semuanya baru diketahui setelah timbul
infeksi, nekrosis, atau ulkus yang sudah tahap lanjut dan dapat membahayakan
keselamatan pasien.
Berbagai macam mekanisme terjadinya luka dapat terjadi pada pasien DM,
seperti:
(1)Tekanan rendah tetapi terus menerus dan berkelanjutan (luka pada tumit karena
lama berbaring, dekubitus).
(2)Tekanan tinggi dalam waktu pendek (luka, tertusuk jarum/paku).
(3)Tekanan sedang berulang kali (pada tempat deformitas pada kaki).

c) Neuropati otonom

54
Pada kaki diabetik gangguan saraf otonom yang berperan terutama adalah
akibat kerusakan saraf simpatik. Gangguan saraf otonom ini mengakibatkan
perubahan aliran darah, produksi keringat berkurang atau tidak ada, hilangnya
tonus vasomotor, dan lain-lain.
Neuropati otonom mengakibatkan produksi keringat berkurang terutama
pada tungkai yang menyebabkan kulit penderita mengalami dehidrasi, kering, dan
pecah-pecah sehingga memudahkan infeksi lalu selanjutnya timbul selulitis,
ulkus, maupun gangren. Selain itu neuropati otonom juga menyebabkan terjadinya
pintas arteriovenosa sehingga terjadi penurunan nutrisi jaringan yang berakibat
pada perubahan komposisi, fungsi, dan sifat viskoelastisitas sehingga daya tahan
jaringan lunak dari kaki akan menurun dengan akibat mudah terjadi ulkus.
3. Fokus infeksi
Infeksi dimulai dari kulit kaki dan dengan cepat menyebar melalui jalur
muskulofasial. Selanjutnya infeksi menyerang kapsul/sarung tendon dan otot, baik
pada kaki maupun pada tungkai hingga terjadi selulitis. Kaki diabetik klasik
biasanya timbul di atas kaput metatarsal pada sisi plantar pedis. Sebelumnya, di
atas lokasi tersebut terdapat kalus yang tebal dan kemudian menyebar lebih dalam
dan dapat mengenai tulang. Akibatnya terjadi osteomielitis sekunder. Sedangkan
kuman penyebab infeksi pada penderita diabetes biasanya multibakterial yaitu
gram negatif, gram positif, dan anaerob yang bekerja secara sinergi.
Infeksi sering berlangsung agresif dan cepat meluas serta mudah terbentuk
gangren yang selanjutnya merupakan ancaman hilangnya kaki. Di samping itu,
50% dari kasus ulkus/gangren diabetes akan mengalami infeksi akibat munculnya
lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya bakteri patogen.
Jika kadar gula darah tidak terkontrol maka infeksi akan jadi lebih serius. Hal ini
disebabkan karena pada infeksi akan disekresi hormon kontra insulin (seperti
katekolamin, kortisol, homon pertumbuhan, dan glukagon) yang menyebabkan
meningkatnya kadar gula darah. Peningkatan kadar gula darah juga menyebabkan
gagalnya fungsi neutrofil dan gangguan sistem imunologi. Sebagaimana
diketahui, dalam melaksanakan fagositosis sel PMN membutuhkan energi dari
glukosa eksogen untuk mempertahankan aktivitasnya. Dengan bantuan insulin

55
yang melekat erat pada sel PMN, glukosa ekstrasel dapat dipakai sebagai sumber
energi. Sumber energi ini akan berkurang pada pasien diabetes yang mengalami
kekurangan insulin.

2.10.4. KLASIFIKASI
A. Klasifikasi Wagner
Wagner 0: Kulit intak/utuh
Wagner 1: Tukak superfisial
Wagner 2: Tukak dalam (sampai tendo, tulang)
Wagner 3: Tukak dalam dengan infeksi
Wagner 4: Tukak dengan gangren terlokalisasi
Wagner 5: Tukak dengan gangren luas seluruh kaki.

B. Klasifikasi Texas
Tingkat
Stadium
0 1 2 3
Luka
Tanpa tukak
superfisial, Luka sampai
atau pasca Luka sampai
A tidak sampai tendon atau
tukak, kulit tulang/sendi
tendon atau kapsul sendi
intak/utuh
kapsul sendi

B ----------------------------Dengan Infeksi----------------------------

C ---------------------------Dengan Iskemia---------------------------

56
D --------------------Dengan Infeksi dan Iskemia--------------------

C. Klasifikasi PEDIS (International Working Group of Diabetic Foot,


2003)
Impaired Perfusion 1 None
2 PAD + but not critical
3 Critical limb ischemia
Size/Extent in mm2
Tissue Loss/Depth 1 Superficial full thickness, not deeper than dermis
2 Deep ulcer, below dermis, involving subcutaneous
structures, fascia, muscle, or tendon
3 All subsequent layers of the foot involved
including bone and or joint
Infection 1 No symptoms or signs of infection
2 Infection of skin and subcutaneous tissue only
3 Erythema > 2 cm or infection involving
subcutaneous structure(s).
No systemic sign(s) of inflammatory response
4 Infection with systemic manifestation:
Fever, leucocytosis, shift to the left
Metabolic instability
Hypotension, azotemia
Impaired Sensation 1 Absent
2 Present

2.10.5. DIAGNOSIS

Diagnosis kaki diabetik dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisis, serta pemeriksaan penunjang lainnya. Pada anamnesis, perlu ditanyakan
perjalanan timbulnya luka beserta perkembangannya, serta riwayat penyakit
diabetes mellitus. Selain itu perlu juga ditanyakan komplikasi-komplikasi DM

57
yang sudah dialami penderita, baik komplikasi mikrovaskular maupun
makrovaskular
Gejala klinis akibat neuropati perfier
Gejala-gejala yang diakibatkan oleh adanya neuropati perifer antara lain
1. Hypesthesia
2. Hyperesthesia
3. Paraesthesia
4. Dysesthesia
5. Radicular pain
6. Anhydrosis
Gejala akibat insufisiensi arteri perifer
Gejala yang biasa dirasakan oleh pasien antara lain, nyeri iskemik pada
saat istirahat, ulkus yang tidak sembuh. Rasa kram arau kelelahan pada otot-otot
besar pada salah satu atau kedua ekstremitas bawah yang timbul pada saat
berjalan dalam jarak tertentu, yang mengindikasikan adanya klaudikasio
intermitten. Gejala ini bertambah pada saat beraktivitas dan membaik dengan
istirahat selama beberapa menit. Onset dari klaudikasio dapat terjadi lebih dini
apabila pasien sering berjalan cepat atau menaiki tangga. Rasa tidak nyaman,
kram atau kelemahan pada betis atau kaki sering terjadi pada penderita kaki
diabetis, karena cenderung terjadi oklusi aterosklerosis tibioperoneal. Atrofi otot-
otot betis mungkin juga terjadi. Gejala-gejala yang timbul pada paha,
mengindikasikan adanya oklusi aorta iliaca
Nyeri pada saat beristirahat jarang terjadi pada penderita diabetes. Pada
beberapa kasus, fissure, ulkus atau kulit pecah-pecah merupakan tanda awal telah
terjadinya penurunan perfusi. Ketika penderita diabetes dating dengan gangrene
hal tersebut sering merupakan akibat dari infeksi
Pada pemeriksaan fisis, dapat dilakukan penilaian klasifikasi kaki diabetik
serta tes sensitivitas kaki. Pemeriksaan pulsasi arteri dorsum pedis, arteri tibialis
posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis dilakukan untuk menentukan
prognosis dan pilihan terapi yang akan diberikan. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan antara lain pemeriksaan darah rutin (tanda-tanda infeksi),

58
pemeriksaan kadar GDP, GD2PP, TTGO, serta HbA1c, kimia darah, urinalisis,
foto thoraks, serta foto pedis. Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran
perjalanan penyakit DM yang dialami penderita, yang selanjutnya akan membantu
dalam menentukan penatalaksanaan kaki diabetik.

2.10.6. PENATALAKSANAAN
2.10.6.1. PENCEGAHAN
A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki diabetik dan
terjadinya ulkus, bertujuan untuk mencegah timbulnya perlukaan pada kulit.
Pencegahan primer ini juga merupakan suatu upaya edukasi kepada para
penyandang DM baik yang belum terkena kaki diabetik, maupun penderita kaki
diabetik untuk mencegah timbulnya luka lain pada kulit.
Keadaan kaki penyandang DM digolongkan berdasarkna risiko terjadinya
dan risiko besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetik
berdasarkan risiko terjadinya masalah (Frykberg) yaitu:
1) Sensasi normal tanpa deformitas
2) Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
3) Insensitivitas tanpa deformitas
4) Iskemia tanpa deformitas
5) Kombinasi/complicated
a) Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan/atau deformitas
b) Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya
tukak, disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan
dilakukan sesuai dengan tingkat besarnya risiko tersebut. Dengan memberikan
alas kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena faktor mekanik
akan dapat dicegah.
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut. Untuk kaki
yang insensitif, alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk melindungi kaki yang
insensitif tersebut. Jika sudah ada deformitas, perlu perhatian khusus mengenai

59
alas kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Untuk
kasus dengan permasalahan vaskular, latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk
memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus yang complicated, akan dibahas
lebih lanjut pada upaya pencegahan sekunder.

B. Pencegahan Sekunder
Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multi-disipliner sangat
diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil
pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya
harus dikelola bersama.
1. Metabolic control
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar glukosa
darah diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai
faktor terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka.
Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi
harus diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baik akan membantu kesembuhan
luka. Berbagai hal lain juga harus diperhatikan dan diperbaiki, seperti kadar
albumin serum, kadar Hb dan derajat oksigenasi jaringan serta fungsi ginjal.
2. Vascular control
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka.
Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan dan
kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui
berbagai cara sederhana seperti warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis
pedis, arteri tibialis posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis, serta
pengukuran tekanan darah. Di samping itu, saat ini juga tersedia berbagai fasilitas
mutakhir untuk mengevaluasi keadaan pembuluh darah dengan cara noninvasif
maupun invasif dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle
pressure, toe pressure, TcPO2, dan pemeriksaan echo Doppler serta arteriografi.
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan
pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vaskular, yaitu
berupa:

60
Modifikasi Faktor Risiko
 Stop merokok
 Memperbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis (hiperglikemia, hipertensi,
dislipidemia)

2.9.6.2 Terapi Farmakologis


Jika mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada
kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat seperti
aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat
pula untuk pembuluh darah kaki penyandang DM; tetapi sampai saat ini belum
ada bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna
memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM.

1. Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jika ada klaudikasio
intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum
tindakan revaskularisasi, diperlukan pemeriksaan angiografi untuk mendapatkan
gambaran pembuluh darah yang lebih jelas.
Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk
oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur endovaskular (PTCA). Pada
keadaan sumbatan akut dapat pula dilakukan tromboarterektomi.
Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat
diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik, sehingga
kesembuhan luka tinggal bergantung pada berbagai faktor lain yang turut
berperan.
Selain itu, terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk
memperbaiki vaskularisasi dan oksigenasi jaringan luka pada kaki diabetik

61
sebagai terapi adjuvant. Walaupun demikian, masih banyak kendala untuk
menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada pengelolaan umum kaki diabetik.

2. Wound control
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang
harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat
mungkin. Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridement yang adekuat.
Debridement yang baik dan adekuat akan sangat membantu mengurangi jaringan
nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian akan sangat mengurangi
produksi cairan/pus dari ulkus/gangren.
Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba
pada luka, seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau iodine encer, senyawa
perak sebagai bagian dari dressing, dll. Demikian pula berbagai cara debridement
non surgikal dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembersihan jaringan
nekrotik luka, seperti preparat enzim.
Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan
beranjak pada proses selanjutnya, yaitu proses granulasi dan epitelisasi. Untuk
menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka, dapat pula dipakai kasa yang
dibasahi dengan salin. Cara tersebut saat ini umum dipakai di berbagai tempat
perawatan kaki diabetik.
3.Microbiological control (infection control)
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap
daerah yang berbeda. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan
hasil biakan kuman dan resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004
di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman yang
polimikrobial, campuran Gram positif dan Gram negatif serta kuman anaerob
untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian
antibiotik harus diberikan antibiotik spektrum luas, mencakup kuman Gram
positif dan negatif (misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat
yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazol).
4. Mechanical control (pressure control)

62
Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya perubahan weight-bearing area
pada plantar pedis. Daerah-daerah yang mendapat tekanan lebih besar tersebut
akan rentan terhadap timbulnya luka. Berbagai cara untuk mencapai keadaan
weight-bearing dapat dilakukan antara lain dengan removable cast walker, total
contant casting, temporary shoes, felt padding, crutches, wheelchair, electric
carts, maupun cradled insoles.
Berbagai cara surgikal juga dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada
luka, seperti dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses dan prosedur koreksi
bedah (misalnya operasi untuk hammer toe, metatarsal head resection, Achilles
tendon lengthening, dan partial calcanectomy).

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS

Nama          : Ny. D
Umur            : 70 tahun
Pekerjaan : Petani
No MR : 155874
Alamat : Paninggahan
Tgl. Masuk    : 19 September 2017

63
3.2 ANAMNESA

Keluhan Utama

Seorang pasien wanita umur 70 tahun datang ke IGD RSUD Solok dengan
keluhan nyeri pada ibu jari kanan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :


 Nyeri pada ibu jari kanan dialami sejak ±2 minggu sebelum masuk rumah
sakit, Awalnya berupa luka lecet akibat terbentur batu. Luka kemudian
makin lama makin melebar hingga berukuran seperti sekarang. panas (+),
bengkak (+), kemerahan (+), nanah (+).
 Pasien mengeluh sering kram, gatal, kebas, dan merasa panas pada kedua
kaki dan ujung-ujung jari tangan, Pasien juga mengaku sering mengalami
luka-luka kecil di kaki tanpa disadari (tidak terasa)
 Letih (+) sejak 5 jam sebelum masuk RS
 Pandangan kabur sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit
 Pasien mengeluhkan nyeri pada persendian lututnya, menjalar (-), rasa
panas (+), selain itu juga nyeri pada pinggang menjalar ke tungkai sejak 1
bulan
 Demam (+), Demam tidak terlalu tinggi, perlangsungan hilang timbul,
turun dengan pemberian paracetamol, menggigil (-), nyeri kepala (-)
 Pusing (-)
 Batuk (+) hanya sesekali, sesak (-), Nyeri dada (-)
 Mual (-), Muntah (-)Nyeri ulu hati (-). Nafsu makan meningkat, pasien
sering merasa lapar meski baru makan beberapa jam yang lalu, pasien
sering merasa lemah dan merasa cepat haus. Penurunan BB ± 5 kg dalam 1
bulan terakhir

64
 BAK : Lancar, warna kuning tua, Riwayat BAK berpasir dan keruh (-)
pasien merasa sering-sering BAK pada malam hari ± 6x dalam 3 bulan
terakhir. Pasien merasa cukup puas ketika berkemih,
 BAB : Biasa, konsistensi padat, warna kuning kecoklatan.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
 Riwayat Diabetes (+) diketahui 2 hari SMRS, obat : glibenclamide
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat Tb (-), Riwayat OAT (-)
 Riwayat Gastritis (+) sejak 1 bulan yll, membaik dengan antasida
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat penyakit rematik dan asam urat (-).
 Riwayat penyakit kuning (-).
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
 Riwayat Diabetes (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat penyakit ginjal (-)

RIWAYAT PSIKOSOSIAL
 Seorang pasien wanita berusia 70 tahun sudah menikah dan memiliki 3
orang anak, pasien tinggal sendiri
 Riwayat merokok (-)
 Riwayat minum kopi (+)
 Riwayat minum minuman beralkohol (-).

PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang TB : 145 cm
Kesadaran : CMC BB : 44 kg

65
Tekanan Darah : 130/70 mmHg IMT :20,93 (Normoweight)
Pernafasan : 20x/menit
Nadi : 72x/menit, reguler
Suhu : 36,5

STATUS GENERALISATA
• Kulit : turgor kulit normal, ikterik (-),sianosis (-)
• Kepala : bentuk bulat, ukuran normochepal, rambut tidak mudah dicabut
• Mata : Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-) ODS :refleks cahaya +/+
• Telinga : Dalam batas normal
• Hidung : Dalam batas normal
• Mulut : mukosa bibir tidak kering, bibir tidak pucat, lidah tidak kotor
• Leher : KGB tidak teraba membesar, kelenjer tiroid tidak membesar,
trakea ditengah, JVP (5 – 2 cmH2O),
• KGB : tidak terdapat pembesaran KGB pada leher axilla dan inguinal
• Thorax :
I : bentuk dada normochest, simetris kiri=kanan, ikut gerak napas
P : focal fremitus kiri=kanan
P : sonor kiri=kanan, Batas Paru Hepar ICS VI dextra anterior, Batas Paru
Lambung ICS VII garis midaxillaris anterior sinistra

A : V : Vesikular, Rh -/-, Wh -/-

Jantung :
I : Ictus Cordis tidak tampak
P: Ictus Cordis teraba 2 jari kearah medial LMCS RIC V
P: - Batas kiri : RIC V sejajar linea midclavicula sinistra 2
jari kearah medial
 Batas kanan: RIC IV linea sternalis dexstra
 Batas atas : RIC II linea parasternalis sinistra
A : S1/S2 murni, regular, bising (-)

66
Abdomen :
I : ukuran normal, sikatrik (-), ascites (-), venektasi (-)
P : Hepar dan Lien tidak teraba, Nyeri tekan(-),nyeri lepas (-)
Ginjal : Bimannual (-), ballottement (-), nyeri ketok CVA (-)
P : timpani (+)
A : Bising usus (+) Normal
Extremitas :
 Tampak luka pada Pedis Digiti I (d) sepanjang ± 5 cm, lebar 3 cm
kedalaman (-). gangren (-), darah (+), pus (+), Nyeri (+), bengkak (+),
pada sekitar luka, perbaan hangat (+), Kemerahan (+)
 Pulsasi arteri dorsalis pedis (d) kesan ↓, arteri tibialis posterior (d) (+),
arteri poplitea (s) (d), arteri femoralis (d) (+).
 Edema -/-
Refleks
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Biceps ++ ++
Triceps ++ ++
Brachioradialis ++ ++
Patologi Kanan Kiri
Hoffman-tromer - -

Refleks
Fisiologis Kanan Kiri
Patella ++ ++
Cremaster ++ ++
Achiles ++ ++

Patologis Kanan Kiri


Babynski - -
Gordon - -
Oppenheim - -
Schaefer - -
Caddocks - -

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 19-09-2017

67
Laboratorium
 Darah rutin - Kimia Klinik
Hb : 10,3 gr/dl Ureum : 24 mg/dl
Ht : 31,5 % Creatinin : 0,78 mg/dl
Wbc : 9.080/mm3 GDR : 83 mg/dl
Plt : 343.000/mm3

URINALISIS (19/9/2017)
Hasil Laboratorium Interpretasi
Warna : Kuning Normal
Darah : - Normal
Bilirubin : - Normal
Urobilinogen : - Normal
Keton : - Normal
Protein : 30 mg/dl Normal
Nitrogen : - Normal
Glukosa : - Normal
pH : 6 Normal
BJ : 1,015 Normal
Sedimen eritrosit : 0-1 /LPB Normal
Sedimen leukosit : 0-1 /LPB Normal
Sedimen torak : - Normal
Epitel sel : + Normal
Bakteri : - Normal

PEMERIKSAAN EKG (19-09-2017)

68
FOTO (24-09-2017)

FOTO
THORAX PA (26-09-2017)

Deskripsi :
-Cor CTR 53%
-Aorta dan mediastinum
superior tidak melebar
- Hilus kanan prominen dengan
corakan bronkovaskular kasar
-Hemidiafragma licin
-Penebalan ringan pleura kanan
dan sinus kiri suram
Kesan : Pembesaran Jantung
dengan hilus kanan prominen

FOTO PEDIS DEXTRA AP dan OBLIK (26-09-2017 )

69
Deskripsi
-Tidak tampak lesi litik
maupun blastik
-Densitas tulang menurun
-Kesuraman jaringan lunak
Kesan : (-)

DIAGNOSIS KERJA
 Diagnosa Primer : Ulkus Diabetik Pedis Digiti 1 (D) Wagner I
 Diagnosa Sekunder : - DM Tipe 2 tidak terkontrol normoweight
- Hipoglikemia
- Retinopati Diabetikum
DIAGNOSA BANDING

- Diabetes tipe lain


- Diabetes tipe insipidus
- Diabetes tipe 1

PENATALAKSANAAN AWAL
 Diet DM 1500 kkal/hari
 IVFD D 10% 8j/kolf
 Ceftriaxone 2gr/iv (ST)
 Metronidazole tab 500mg

70
 Ranitidine 1amp/12j/iv
 Paracetamol tab 500 mg (k/p)
 Rawat luka pagi & sore.
 Cek GDR /4jam

RENCANA PEMERIKSAAN
 Pemeriksaan Glukosa darah puasa dan 2 jam pp

 Rontgen Thorax AP

 Rontgen Pedis AP

 Pemeriksaan EKG

 Konsul bagian bedah

PROGNOSIS

 Quo ad vitam : Dubia ad bonam

 Quo ad fungtionam : Dubia ad malam

 Quo ad sanam : Dubia ad malam

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER

71
20/9/2017 Perawatan Hari I R/
S: nyeri pada kaki digiti I (d) (+) Diet DM 1500 kkal/hr
demam (-) IVFD D 10% 8j/kolf
O: KU/KES : sdg / CMC Ceftriaxone 2gr/iv (ST)
TD : 120/70 NF : 18 Metronidazole tab 500mg 3x1
ND : 82 S : 36,4 Ranitidine 1amp/12j/iv
Mata : konjungtiva anemis (-) Paracetamol 500 mg 3x1
sklera ikterik (-)
Paru :Vesikular, BT -/- Periksa:
Jantung:BJ I/II murni, regular  GDP, HbA1c
peristaltik (+) kesan N  Profil lipid, asam urat
Abd :H/L tidak teraba  Cek GDR/4jam
Ext : Ulkus pada tepi medial  Rontgen thorax AP
digiti I (d) ukuran 5x3 cm, darah
 Foto pedis sinistra AP/lat
(+), pus (+), udem (+), Nyeri (+),
teraba hangat (+)
LABORATORIUM
GDR : 15.35 :118 – 19.35 : 105
23.35 : 95
A: Ulkus Diabetik Pedis Digiti 1 (D)
Wagner I
DM tipe II terkontrol
normoweight
Hipoglikemi
Retinopati Diabetikum

72
21/9/2017 Perawatan Hari II R/
S: demam (-) nyeri pada kaki digiti Diet DM 1500 kkal/hr
1 (d) (+) nyeri kepala (+) IVFD D 10% 8J/kolf
Ceftriaxone 2gr/iv (ST)
O: KU/KES : sdg/ CMC Metronidazole tab 500mg 3x1
TD : 120/70 NF : 18 Ranitidine 1amp/12j/iv
ND : 82 S : 36,4 Paracetamol 500 mg 3x1
Mata : konjungtiva anemis (-)
sklera ikterik (-)
Paru :Vesikular, BT -/- Rawat luka pagi-sore
Jantung:BJ I/II murni, regular
peristaltik (+) kesan N
Abd :H/L tidak teraba
Ext : Ulkus pada tepi medial Periksa:
digiti I (d) ukuran 5x3cm, darah  GDP /6jam
(+), pus (+), udem (+), Nyeri (+),  Tunggu hasil foto thorax &
teraba hangat (+) foto pedis
GDR : - 05.00 : 91
- 09.00 : 101
- 14.00 : 122
- 20.00 : 175

A: Ulkus Diabetik Pedis Digiti 1 (D)


Wagner I
DM tipe II tidak terkontrol
normoweight
Hipoglikemia
Retinopati Diabetikum

22/9/2017 Perawatan hari III R/


S: demam (-) nyeri pada kaki digiti I Diet DM 1500 kkal/hr

73
(d) (+) sakit kepala (+) IVFD D 10% 8J/kolf
Ceftriaxone 2gr/iv (ST)
O: KU/KES : sdg/ CMC Metronidazole tab 500mg 3x1
TD : 120/70 NF : 18 Ranitidine 1amp/12j/iv
ND : 82 S : 36,4 Paracetamol 500 mg 3x1
Mata : konjungtiva anemis (-)
sklera ikterik (-) Rawat luka pagi-siang
Paru :Vesikular, BT -/-
Jantung:BJ I/II murni, regular Periksa:
peristaltik (+) kesan N  GDR P/S
Abd :H/L tidak teraba
Ext : Ulkus pada tepi medial
digiti I (D) ukuran 5x3cm, darah
(-), pus (+), udem (+), Nyeri (+),
teraba hangat (+)
GDR : 06.00 (92) 17.00 (102)
Ureum: 69
Creatinin : 1,34

A: Ulkus Diabetik Pedis Digiti 1 (D)


Wagner I
DM tipe II tidak terkontrol
normoweight
Hipoglikemia
Retinopati Diabetikum

74
23/9/2017 Perawatan Hari IV R/
S: demam (-) nyeri pada kaki digiti I Diet DM 1500 kkal/hr
(d) (+) IVFD D 10% 8J/Kolf
Ceftriaxone 2gr/iv (ST)
O: KU/KES : sdg/ CMC Metronidazole tab 500mg 3x1
TD : 120/70 NF : 18 Ranitidine 1amp/12j/iv
ND : 82 S : 36,4 Paracetamol 500 mg 3x1
Mata : konjungtiva anemis (-)
sklera ikterik (-) Rawat luka pagi-sore
Paru :Vesikular, BT -/-
Jantung:BJ I/II murni, regular Periksa:
peristaltik (+) kesan N  GDR P/S
Abd :H/L tidak teraba  Ureum dan Creatinin
Ext : Ulkus pada tepi medial
digiti I (d) ukuran 5x3cm, darah
(-), pus (+), udem (+), Nyeri (+),
teraba hangat (+)
GDR : 22.00 : 140
05.00 : 156

A: Ulkus Diabetik Pedis Digiti 1 (D)


Wagner I
DM tipe II tidak terkontrol
normoweight
Hipoglikemi
Retinopati Diabetikum

75
24/9/2017 Perawatan hari V R/
S: demam (-) nyeri pada kaki digiti I Diet DM 1500 kkal/hr
(d) (+) mual (+) muntah (-) IVFD D 10% 8j/kolf
O KU/KES : sdg/ CMC Ceftriaxone 2gr/iv (ST)
TD : 120/70 NF : 18 Metronidazole tab 500mg 3x1
ND : 82 S : 36,4 Ranitidine 1amp/12j/iv
Mata : konjungtiva anemis (-) Paracetamol 500 mg 3x1
sklera ikterik (-) Allopurinol tab 100 mg 1x1
Paru :Vesikular, BT -/-
Jantung:BJ I/II murni, regular Rawat luka pagi-sore
peristaltik (+) kesan N
Abd :H/L tidak teraba Periksa:
Ext : Ulkus pada tepi medial  GDR P/S
digiti I (d) ukuran 5x3 cm, darah  Cek Protein uria, ureum,
(-), pus (+), udem (+), Nyeri (+), creatinin dan GDR
teraba hangat (+)
Laboratorium
Ureum : 104
Creatinin : 2,0
A: Ulkus Diabetik Pedis Digiti 1 (D)
Wagner I
DM tipe II tidak terkontrol
normoweight
Hipoglikemi
Retinopati Diabetikum
Hiperurisemia

76
25/9/2017 Perawatan hari VI R/
S: Nyeri pada kaki digiti I (d) (+) Diet DM 1500 kkal/hr
demam (- ) sulit tidur (+) IVFD D 10% 8J/Kolf
Ceftriaxone 2gr/iv (ST)
O:Mata : konjungtiva anemis (-) Metronidazole tab 500mg 3x1
sklera ikterik (-) Ranitidine 1amp/12j/iv
Paru :Vesikular, BT -/- Paracetamol 500 mg 3x1
Jantung:BJ I/II murni, regular Allopurinol tab 100 mg 1x1
peristaltik (+) kesan N
Abd :H/L tidak teraba
Ext : Ulkus pada tepi medial Rawat luka pagi-sore
digiti I (d) ukuran 5x3 cm, darah Periksa:
(-), pus (+), udem (+), Nyeri (+),  GDR/hari
teraba hangat (+)
Laboratorium
GDR : 93
Ureum : 115
Creatinin : 1,79
Urinalisa
-Blood : +++
- Protein : +++
- Eritrosit : 20-35/LPB
- Leukosit : 5-10/LPB
- Epitel : 1-4/LPK
A/ Ulkus Diabetik Pedis Digiti 1 (D)
Wagner I
DM tipe II tidak terkontrol
normoweight
Hipoglikemi
Retinopati Diabetikum
Hiperurisemia

77
26/9/2017 Perawatan hari VII R/
S: demam (-) nyeri pada kaki digiti I Diet DM 1500 kkal/hr
(d) (+) IVFD D 10% 8J/kolf
Ceftriaxone 2gr/iv (ST)
O KU/KES : sdg/ CMC Metronidazole tab 500mg 3x1
TD : 120/70 NF : 18 Ranitidine 1amp/12j/iv
ND : 82 S : 36,4 Paracetamol 500 mg 3x1
Mata : konjungtiva anemis (-)
sklera ikterik (-) Rawat luka pagi-sore
Paru :Vesikular, BT -/-
Jantung:BJ I/II murni, regular
peristaltik (+) kesan N Periksa:
Abd :H/L tidak teraba  GDR/hari
Ext : Ulkus pada tepi medial
digiti I (d) ukuran 5x3 cm, darah
(-), pus (+), udem (+), Nyeri (+),
teraba hangat (+)

A: Ulkus Diabetik Pedis Digiti 1 (D)


Wagner I
DM tipe II tidak terkontrol
normoweight
Hipoglikemi
Retinopati Diabetikum

78
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan seorang pasien perempuan berusia 70 tahun dirawat di


RSUD solok masuk bangsal penyakit dalam wanita pada tanggal 19 September
2017 dengan diagnosa diabetes melitus tipe 2 dengan hipoglikemi dan ulkus
diabetikum pedis digiti I (D) Wagner I. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
didapatkan keluhan nyeri pada ibu jari kanan yang dialami sejak ±2 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Awalnya berupa luka lecet akibat terbentur batu.
Luka kemudian makin lama makin melebar hingga berukuran seperti sekarang.
Panas bengkak, kemerahan dan nanah ada. Pasien mengeluh sering kram, gatal,
kebas, dan merasa panas pada kedua kaki dan ujung-ujung jari tangan. Pasien juga
mengaku sering mengalami luka-luka kecil di kaki tanpa disadari (tidak terasa).
Selain itu, pasien juga merasakan letih sejak ±5 jam yang lalu. Pandangan kabur
sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan nyeri pada
persendian lututnya tidak menjalar dan disertai rasa panas, selain itu juga nyeri
pada pinggang menjalar ke tungkai sejak 1 bulan. Demam ada tetapi tidak terlalu
tinggi, perlangsungan hilang timbul, tidak disertai menggigil dan berkeringat,
turun dengan pemberian paracetamol, nyeri kepala dan pusing disangkal. Batuk
ada, namun hanya sesekali, sesak nafas, nyeri dada, mual dan muntah tidak ada.

79
Nyeri ulu hati tidak ada. Nafsu makan meningkat, pasien sering merasa lapar
meski baru makan beberapa jam yang lalu, pasien sering merasa lemah dan
merasa cepat haus. Penurunan BB ± 5 kg dalam 1 bulan terakhir.BAK lancar,
warna kuning tua, pasien merasa sering BAK pada malam hari ± 6x dalam 3 bulan
terakhir. Pasien merasa cukup puas ketika berkemih, BAB biasa, konsistensi
padat, warna kuning kecoklatan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang dengan
kesadaran compos mentis, Tekanan Darah 130/70 mmHg, Nadi 72 x/ menit
regular, Napas 20 x/menit, Suhu 36, 5⁰C, Status gizi IMT normoweight. Mata,
leher, KGB, thorax dan abdomen dalam batas normal. Pada Extremitas Inferior
dextra tampak luka pada tepi medial pedis Digiti I (d) sepanjang ± 5 cm, lebar 3
cm kedalaman tidak ada, gangren tidak ada, darah ada disertai pus dan nyeri.
bengkak ada pada sekitar luka, perbaan hangat ada dan bewarna kemerahan
Pulsasi arteri dorsalis pedis (d) kesan ↓, arteri tibialis posterior (d) ada, arteri
poplitea (d) ada, arteri femoralis (d) ada
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium
darah rutin yaitu Hb 10,3 g/dl, Hematokrit 31,5 %, Leukosit 9.080 mm3,
Trombosit 343.000 / mm3. dan kimia klinik Ureum 24 mg/dl, Creatinin 0,78
mg/dL, GDR 83 mg/dl. Hasil urinalisa normal dan pemeriksaan EKG dalam batas
normal dengan sinus rhytm,hr 75x/menit.Hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan kadar GDR mengalami penurunan yang menandakan pasien
mengalami hipoglikemia.
Tindakan selanjutnya yang diberikan pada pasien ini adalah 4 pilar
penatalaksanaan DM yaitu edukasi, latihan jasmani, terapi gizi medis dan
intervensi farmokologis sesuai dengan pemilihan obat sesuai dengan keefektifan,
keamanan, ketersediaan obat serta kondisi pasien yaitu sesuai dengan protap
hipoglikemia dengan pemberian D10% 8 jam/kolf dan evaluasi gula darah
sewaktu sementara itu untuk ulkus diabetikumnya diberikan terapi farmakologis
berupa revascularisasi, wound control, mechanical control dan microbiological
control.

80
DAFTAR PUSTAKA

American Association of Clinical Endocrinologists and American College of


Endocrinology – Clinical Practice Guidelines for Developing a
Diabetes Mellitus Comperehensive Care Plan – 2015. Endocrinbe
Practice, 2015;21 (sppl1):1-87

American Diabetes, A. Executive summary: Standards of medical care in


diabetes--2014, Diabetes Care. 2014, 37 Suppl 1, S5-13

International Diabetes Federation (IDF). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition,


International Diabetes Federation (IDF). 2013.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, Konsensus Pengendalian dan


Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI.
Jakarta. 2011.

81
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk Praktis: Terapi Insulin Pada
Pasien Diabetes Melitus, PB. PERKENI. Jakarta. 2015

Setiati, Siti, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 edisi VI. Jakarta:
Internal Publishing

Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia (Dari Sel ke Sistem) edisi VI.
Jakarta : EGC

Soewondo, P. Current Practice in the Management of Type 2 Diabetes in


Indonesia: Results from the International Diabetes Management
Practices Study (IDMPS), J Indonesia Med Assoc. 2011, 61.

Sylvia Price. 2005. Edisi 6 Volume 1 Patofisiologi :Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit. Jakarta :EGC

82
83

Anda mungkin juga menyukai