Anda di halaman 1dari 1

Yang kita ekspor baru mencapai 1,7 – 2 juta ton. Berarti hanya sekitar 18-20 persen.

Sisanya
masih banyak. Kemana itu sisanya? Sebagian besar sudah diserap kebutuhan industri dalam
negeri, khususnya digunakan oleh pabrik kelapa sawitnya sendiri. Sisanya masih banyak di
daerah terpencil, yang tidak bisa digunakan karena faktor logistik yang susah, dan tidak lagi
bernilai komersil,” kata Dikki.

Melonjaknya permintaan cangkang sawit dari Jepang ini juga diamini oleh Bayu Krisnamurthi,
mantan Kepala Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit. Dia mengatakan, Jepang dan
Korea Selatan sedang gencar meminta ekspor cangkang dan bungkil kelapa sawit.

Bahkan saat ini, lanjut Bayu, terjadi peningkatan permintaan. “Setelah kasus nuklir Fukushima,
mereka mulai keluar pelan-pelan dari energi nuklir tetapi tidak mau pakai solar. Mereka
mencampur berikat arang coal mereka dengan 10 persen, 12 persen, 15 persen biomassa
cangkang sawit dan wood chip sehingga menjadi clean energy. Ini laku sekali di mana-mana,”
katanya.

Dia melanjutkan, inilah masa depan dari pemanfaatan sawit. “Anda bayangkan nanti kalau petani
nilainya tidak hanya dilihat dari minyak tetapi dilihat juga dari biomassa yang mereka hasilkan,”
ujar Bayu seraya mengimbuhkan, sawit adalah produsen biomassa terbesar dari semua tanaman
komersial. “Sekitar 28 ton per hektar biomassa yang dihasilkan oleh sawit. Itu paling besar
dibandingkan dengan yang lain,” tandasnya.

Menurutnya, jangan lagi terulang kisah gas. “Barang bagus kita jual murah dan kemudian beli
barang jelek, mahal lagi. Kita harus mulai dari sekarang untuk cangkang, bungkil kelapa sawit
untuk dijadikan energi yang ramah lingkungan,” paparnya. Oleh sebab itu, harap Bayu,
pemerintah harus memiliki strategi yang tegas. “Cangkang dan bungkil kelapa sawit harus
dimanfaatkan di dalam negeri. Karena dunia luar saat ini mencari cangkang dan bungkil sawit,”
tegasnya.

Anda mungkin juga menyukai