Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS

OLEH:
PUTU MITHA EKA GAYATRI
NIM. P07120321005
PRODI NERS KELAS A

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis karena struktur yang
terpuntir. Apendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi (Chang, Khammash, Qasaimeh, Shammari, Bani, dan Hammori,
2010). Apendiks disebut juga apendiks vermiformis merupakan organ yang
sempit dan berbentuk tabung yang mempunyai otot serta terdapat jaringan
limfoid pada dindingnya. Letak apendiks sekitar satu inci (2,5 cm) di bawah
junctura ileocaecalis dan melekat pada permukaan posteromedial caecum.
Apendiks terletak di fossa iliaca dextra dan dalam hubungannya dengan
dinding anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke atas di garis yang
menghubungkan spina iliaka anterior superior dan umbilikus. Apendiks berisi
makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi
tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi yang biasa disebut apendisitis
(Snell, 2014).
Apendisitis merupakan proses peradangan akut maupun kronis yang terjadi
pada apendiks vemiformis oleh karena adanya sumbatan yang terjadi pada lumen
apendiks (Fransisca, Gotra, dan Mahastuti, 2019). Jadi, apendisitis merupakan
proses inflamasi akibat sumbatan ataupun infeksi yang terjadi di apendiks
vermiformis.
2. Penyebab/Faktor Predisposisi
Apendiks merupakan organ yang belum diketahui fungsinya tetapi
menghasilkan lender 1-2 mL per hari yang normalnya dicurahkan ke dalam lumen
dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan lender dimuara apendiks
tampaknya berperan dalam pathogenesis apendiks. (Nurarif, Amin dan Hardhi
Kusuma,2015).
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik, tetapi ada faktor
predisposisi yaitu :
a. Faktor tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena :
1) Hyperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak
2) Adanya fekolit dalam lumen appendiks
3) Adanya benda asing seperti biji –bijian
4) Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya
b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E.Coli dan Streptococcus
c. Laki - laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun.
Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limfoid pada masa tersebut.
d. Tergantung pada bentuk appendiks :
1) Appendiks yang terlalu panjang
2) Massa apendiktomi yang pendek
3) Penonjolan jaringan limfoid dalam lumen appendiks
4) Kelainan katup di pangkal appendiks (Nuzulul, 2009)
Etiologi dilakukannya tindakan pembedahan pada penderita apendiksitis
dikarenakan apendik mengalami peradangan. Apendiks yang meradang dapat
menyebabkan infeksi dan perforasi apabila tidak dilakukan tindakan pembedahan.
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Disamping hiperplasia
jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askariasis dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E.histolytica
(Sjamsuhidayat, 2011).
3. Gejala Klinis
Apendisitis sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah dan umumnya
nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah
ke titik Mc. Burney dan nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Sjamsuhidayat & de Jong, 2012).
Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, dan
hilangnya nafsu makan. Selain itu, nyeri tekan lepas juga sering dijumpai pada
klien dengan apendisitis. Nyeri dapat dirasakan saat defekasi atau pun saat
berkemih. Nyeri saat defekasi menunjukkan bahwa ujung apendik berada di dekat
rektum, sedangkan nyeri saat berkemih menunjukkan bahwa letak ujung apendik
dekat dengan kandung kemih atau ureter (Smeltzer & Bare, 2012). Apendiks yang
terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda
rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan
rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang- ulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena
rangsangan dindingnya (Sjamsuhidayat & de Jong, 2012).
a. Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilicus atau
periumbilikus
b. Mual
c. Muntah
d. Anoreksia
e. Nafsu makan menurun.
f. Nyeri di perut kanan bawah
g. Demam diatas 37,5°C
h. Biasanya terdapat konstipasi atau diare
(Nurarif, Amin dan Hardhi Kusuma, 2015).
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks menurut
Haryono (2012) diantaranya :
1) Faktor sumbatan
Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)
yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia
jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing,
dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.
2) Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis
akut. Adanya fekolit dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi dapat
memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses
dalam lumen apendiks, pada kultur yang banyak ditemukan adalah kombinasi
antara Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchius, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob lebih dari 10%.
3) Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari
organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya
yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan
makan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan
terjadinya fekolit dan menyebabkan obstruksi lumen.
4) Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.
Bangsa kulit putih yang dulunya mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang
pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang kejadiannya terbalik. Bangsa
kulit putih telah mengubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru
Negara berkembang yang dulunya mengonsumsi tinggi serat kini beralih ke pola
makan rendah serat, kini memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi.
4. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folokel limfoid, fekalit, benda asing, striktutur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuraktif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gengren. Stadium disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila proses di atas
berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah
apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang di sebut infiltrat apendikularis.
Oleh karena itu tindakan yang paling tepat adalah apendiktomi, jika tidak
dilakukan tindakan segera mungkin maka peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang (Mansjoer, 2000).
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau
tersumbat kemungkinan oleh fekolit (massa keras dari faeces) atau benda asing.
Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri
abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam
terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang
terinflamasi berisi pus (Munir, 2011).
5. Pohon Masalah

Hyperplasia Fekalit Benda asing Striktutur Neoplasma


folikel limfoid karena fibrosis (tumor)
akibat
peradangan
sebelumnya

Sumbatan

Mukus mukosa terbendung

Apendiks terenggang

Peningkatan tekanan intralumen

Aliran darah terganggu

Edema, ulserasi mukosa, invasi bakteri


pada dinding apendiks

Apendisitis

Mengeluh nyeri Nyeri viseral Peradangan pada jaringan Operasi/ pembedahan


epigastrum,
tampak meringis,
Daerah Kerusakan kontrol suhu tdp inflamasi Luka insisi
bersikap protektif
epigastrum
disekitar
Febris
Nyeri Akut umbilikus Pintu masuk Nyeri
Kerusakan
kuman jaringan
Mual, muntah Hipertermia Pelepasan ROM
Peningkatan Gangguan prostaglandin menurun,
paparan Integritas nyeri saat
Risiko organisme Kulit/ bergerak
Nyeri
Hipovolemia pathogen Jaringan Akut

Risiko Infeksi Gangguan


Mobilitas
Fisik
6. Klasifikasi
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut
pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses
infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2) Fekalit
3) Benda asing
4) Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi
tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra
luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada
dinding apendiks.Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke
apendiks.
b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan
infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri
pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh
perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah
apendektomi. Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik.
Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.
d. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna
kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk
terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya
dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis
rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam
serangan akut.
e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan
fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun
jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa
menjadi ganas. Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak
enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka
kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut.
Pengobatannya adalah apendiktomi.
f. Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi
regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup
yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas
spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid
berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme
bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid
perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di
atas. Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan
residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen
patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor,
dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan
7. Pemeriksaan Diagnostik
Adapun beberapa pemeriksaan diagnostik/penunjang pada pasien dengan
apendisitis menurut Warsinggih (2016), yaitu:
a. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi : akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut
dimana dinding perut tampak mengencang (distensi).
2) Palpasi : di daerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana
merupakan kunci dari diagnosis apendisitis akut.
3) Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat/ tungkai di angkat
tinggi - tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (psoas sign).
4) Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila
pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
5) Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih
menunjang lagi adanya radang usus buntu.
6) Pada apendiks terletak pada retrosekal maka uji Psoas akan positif dan tanda
perangsangan peritoneum tidak begitu jelas, sedangkan bila apendiks terletak
di rongga pelvis maka obturator sign akan positif dan tanda perangsangan
peritoneum akan lebih menonjol.

Nama Pemeriksaan Tanda Dan Gejala


Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan
tekanan pada kuadran kiri bawah dan
timbul nyeri pada sisi kanan.
Psoas sign atau Obraztsova’s Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
sign dilakukan ekstensi dari panggul kanan.
Positif
jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul.
Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium
atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi
lembut pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah
epigastrium atau sekitar pusat, kemudian
berpindah ke kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign Nyeri yang semakin bertambah pada perut
kuadran kanan bawah saat pasien
dibaringkan pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi
pada kuadran kanan bawah kemudian
dilepaskan tiba-tiba
b. Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan
appendicitis akut. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara
12.000 - 18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrophil (shifttotheleft)
dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah
leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis.
c. Pemeriksaan Urinalisis
Membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu
ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika
inflamasi appendiks terjadi didekat ureter.
d. Ultrasonografi Abdomen (USG)
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan
spesifitasnya lebih dari 90%.
Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah
appendix dengan diameter anteroposterior 7mm atau lebih, didapatkan suatu
appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix. False positif dapat muncul
dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari salphingitis atau
inflammatory bowel disease. False negative juga dapat muncul karena letak
appendix yang retro caecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang
menghalangi appendiks.
e. CT Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas. Sensitifitas dan spesifisitasnya
kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan
curiga adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test
diagnostik. Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix
dilatasi lebih dari 5-7mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang
terinfeksi akan mengecil.
8. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan post operasi apendiktomi dibagi menjadi tiga (Brunner
& Suddarth, 2010),yaitu:
a. Sebelum operasi
1) Observasi
Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu diobservasi ketat karena
tanda dan gejala apendisitis belum jelas. Pasien diminta tirah baring dan
dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis.
Diagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri pada kuadran kanan bawah setelah
timbulnya keluhan.
2) Antibiotik
Apendisitis ganggrenosa atau apenditis perforasi memerlukan antibiotik,
kecuali apendiksitis tanpa komplikasi tidak memerlukan antibiotik. Penundaan
tindakan bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
preforasi.
b. Operasi
Operasi / pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu apendiktomi.
Apendiktomi harus segera dilakukan untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum dengan pembedahan
abdomen bawah atau dengan laparoskopi. Laparoskopi merupakan metode terbaru
yang sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2010).Apendiktomi dapat dilakukan
dengan menggunakan dua metode pembedahan, yaitu secara teknik terbuka
(pembedahan konvensional laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi yang
merupakan teknik pembedahan minimal invasive dengan metode terbaru yang
sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2010).
1) Laparatomi
Laparatomi adalah prosedur vertical pada dinding perut ke dalam rongga
perut. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan merasakan organ dalam
untuk membuat diagnose apa yang salah. Adanya teknik diagnosa yang tidak
invasif, laparatomi semakin kurang digunakan dibanding terdahulu. Prosedur ini
hanya dilakukan jika semua prosedur lainnya yang tidak membutuhkan operasi,
seperti laparoskopi yang seminimal mungkin tingkat invasifnya juga membuat
laparatomi tidak sesering terdahulu. Bila laparatomi dilakukan, begitu organ-
organ dalam dapat dilihat dalam masalah teridentifikasi, pengobatan bedah harus
segera dilakukan.
Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi laparatomi
dilakukan bila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen, misalnya
trauma abdomen. Bila klien mengeluh nyeri hebat dan gejala-gejala lain dari
masalah internal yang serius dan kemungkinan penyebabnya tidak terlihat seperti
usus buntu, tukak peptikyang berlubang, atau kondisi ginekologi maka dilakukan
operasi untuk menemukan dan mengoreksinya sebelum terjadi keparahan lebih.
Laparatomi dapat berkembang menjadi pembedahan besar diikuti oleh transfusi
darah dan perawatan intensif (David dkk, 2009).
2) Laparoskopi
Laparaskopi berasal dari kata lapara yaitu bagian dari tubuh mulai dari iga
paling bawah samapi dengan panggul. Teknologi laparoskopi ini bisa digunakan
untuk melakukan pengobatan dan juga mengetahui penyakit yang belum diketahui
diagnosanya dengan jelas. Keuntungan bedah laparoskopi :
a) Pada laparoskopi, penglihatan diperbesar 20 kali, memudahkan dokter dalam
pembedahan.
b) Secara estetika bekas luka berbeda dibanding dengan luka operasi pasca
bedah konvensional. Luka bedah laparoskopi berukuran 3 sampai 10 mm
akan hilang kecuali klien mempunyai riwayat keloid.
c) Rasa nyeri setelah pembedahan minimal sehingga penggunaan obat-obatan
dapat diminimalkan, masa pulih setelah pembedahan lebih cepat sehingga
klien dapat beraktivitas normal lebih cepat.
c. Setelah operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, hipertermia, syok atau gangguan pernafasan. Baringkan
klien dalam posisi semi fowler. Klien dikatakan baik apabila dalam 12 jam tidak
terjadi gangguan, selama itu klien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal.
Satu hari setelah dilakukan operasi klien dianjurkan duduk tegak di temmpat tidur
selama 2 x 30 menit. Hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari
ke tujuh dapat diangkat dan dibolehkan pulang (Mansjoer, 2010).
7. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendisitis.Adapun
jenis komplikasi menurut (Sulekale, 2016) adalah :
a. Abses
Abses merupakan peradangan apendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak
di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mulamula berupa flegmon
dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi apabila
appendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum. Operasi
appendektomi untuk kondisi abses apendiks dapat dilakukan secara dini
(appendektomi dini) maupun tertunda (appendektomi interval). Appendektomi
dini merupakan appendektomi yang dilakukan segera atau beberapa hari setelah
kedatangan klien di rumah sakit. Sedangkan appendektomi interval merupakan
appendektomi yang dilakukan setelah terapi konservatif awal, berupa pemberian
antibiotika intravena selama beberapa minggu.
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak
awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 2 jam.Perforasi dapat diketahui
praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam
sejak sakit, panas lebih dari 38,5° C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan
leukositosis terutama Polymorphonuclear (PMN). Perforasi baik berupa perforasi
bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan terjadinya peritonitis.
Perforasi memerlukan pertolongan medis segera untuk membatasi pergerakan
lebih lanjut atau kebocoran dari isi lambung ke rongga perut. Mengatasi
peritonitis dapat dilakukan oprasi untuk memperbaiki perforasi, mengatasi sumber
infeksi, atau dalam beberapa kasus mengangkat bagian dari organ yang
terpengaruh .
c. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum. Bila infeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum dapat menyebabkan timbulnya peritonitis umum.
Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan
hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi,
dan oliguria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah,
nyeri abdomen, demam, dan leukositosis. Penderita peritonitis akan disarankan
untuk menjalani rawat inap di rumah sakit. Beberapa penanganan bagi penderita
peritonitis adalah :
1) Pemberian obat-obatan
Penderita akan diberikan antibiotik suntik atau obat antijamur bila dicurigai
penyebabnya adalah infeksi jamur, untuk mengobati serta mencegah infeksi
menyebar ke seluruh tubuh. Jangka waktu pengobatan akan disesuaikan dengan
tingkat keparahan yang dialami klien.
2) Pembedahan.
Tindakan pembedahan dilakukan untuk membuang jaringan yang terinfeksi
atau menutup robekan yang terjadi pada organ dalam.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian Keperawatan
a. Indetitas klien
Biasanya indetitas klien terdiri nama, umur, jenis kelamin, status, agama,
perkerjaan, pendidikan, alamat , penanggung jawaban juga terdiri dari nama, umur
penanggung jawab , hub. keluarga, dan perkerjaan.
b. Alasan masuk
Biasanya klien waktu mau dirawat kerumah sakit denga keluhan sakit perut di
kuadran kanan bawah, biasanya disertai muntah dan BAB yang sedikit atau tidak
sama sekali, kadang – kadang mengalami diare dan juga konstipasi.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya keluhan yang terasa pada klien yaitu pada saat post op operasi,
merasakan nyeri pada insisi pembedahan, juga bisanya tersa letih dan tidak bisa
beraktivitas atau imobilisasi sendiri.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya klien memiliki kebiasaan memakan makanan rendah serat, juga bisa
memakan yang pedas-pedas.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya tidak ada pengaruh ke penyakit keturunan seperti hipertensi,
hepatitis , DM, TBC, dan asma.
d. Pemeriksaan Fisik
Biasanya kesadaran klien normal yaitu composmetis, E :4 V:5 M:6. Tanda-
tanda vital klien biasanya tidak normal karena tubuh klien merasakan nyeri
dimulai dari tekanan darah biasanya tinggi, nadi takikardi dan pernafasan biasanya
sesak ketika klien merasakan nyeri.
a. Kepala
Pada bagian kepala klien bisanya tidak ada masalah kalau penyakitnya itu
apenditis mungkin pada bagian mata ada yang mendapatkan mata klien seperti
mata panda karena klien tidak bisa tidur menahan sakit.
b. Leher
Pada bagian leher biasanya juga tidak ada terdapat masalah pada klien yang
menderita apedisitis.
c. Thorak
Pada bagian paru-paru biasanya klien tidak ada masalah atau gangguan bunyi
normal paru ketika di perkusi bunyinya biasanya sonor kedua lapang paru dan
apabila di auskultrasi bunyinya vesikuler. Pada bagian jantung klien juga tidak
ada masalah bunyi jantung klien regular ketika di auskultrasi, Bunyi jantung klien
regular (lup dup), suara jantung ketiga disebabkan osilasi darah antara orta dan
vestikular.
Suara jantung terakir (S4) tubelensi injeksi darah. Suara jantung ketiga dan ke
empat disebab kan oleh pengisian vestrikuler, setelah fase isovolumetrik dan
kontraksi atrial tidak ada kalau ada suara tambahan seperti murmur (suara
gemuruh, berdesir) (Lehrel, 1994).
d. Abdomen
Pada bagian abdomen biasanya nyeri dibagian region kanan bawah atau pada
titik Mc Bruney. Saat di lakukan inspeksi. Biasanya perut tidak ditemui gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada klien dengan komplikasi perforasi.
Benjolan perut kanan bawah dapat dilihat pada massa atau abses periapedikular.
Pada saat di palpasi biasnya abdomen kanan bawah akan didapatkan peninggkatan
respons nyeri. Nyeri pada palpasi terbatas pada region iliaka kanan, dapat disertai
nyeri lepas. Kontraksi otot menunjukan adanya rangsangan periotenium parietale.
Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasaka nyeri diperut kanan bawah yang
disebut tanda rofsing. Pada apendisitis restroksekal atau retroileal diperlukan
palpasi dalam untuk menemukan adanya rasa nyeri (Sjamsuhidayat, 2005).
e. Pola Fungsional Kesehatan (Pengkajian 14 Komponen)
Fungsi Kesehatan
1) Fisiologis
a) Respirasi
Pada pasien apendisitis biasanya mengalami takipnea, pernapasan dangkal.
b) Sirkulasi
Pada pasien apendisitis biasanya mengalami tanda dan gejala seperti
takikardia dan membran mukosa pucat.
c) Nutrisi dan Cairan
Pada pasien apendisitis biasanya mengalami tanda dan gejala seperti berat
badan menurun minimal 10% di bawah rentang ideal, kram/nyeri abdomen, nafsu
makan menurun, membrane mukosa pucat, serum albumin turun, merasa lemah,
berat badan turun tiba-tiba.
d) Eliminasi
Pada pasien apendisitis biasanya mengalami konstipasi pada awitan awal,
diare kadang-kadang.
e) Aktivitas dan istirahat
Pada pasien apendisitis biasanya mengalami tanda dan gejala seperti
mengeluh lelah, dispnea saat/setelah aktivitas, merasa tidak nyaman setelah
beraktivitas, merasa lemah dan mengalami kelemahan, kelelahan dan malaise.
f) Neurosensory
Pada pasien apendisitis biasanya tidak terdapat masalah dalam sistem
neurosensory.
g) Reproduksi dan Seksualitas
Pada pasien apendisitis biasanya tidak mengalami masalah gangguan
reproduksi dan seksualitas.
2) Psikologis
a) Nyeri dan kenyamanan
Pada pasien apendisitis biasanya mengalami tanda dan gejala seperti
mengeluh nyeri daerah pusar menjalar ke daerah perut kanan bawah atau di titik
Mc. Berney, tampak meringis, bersikap protektif (mis. waspada, posisi
menghindari nyeri), gelisah, nafsu makan berubah, mengeluh tidak nyaman,
gelisah, mengeluh sulit tidur, tidak mampu rileks, mengeluh mual, mengeluh
lelah, tampak merintih/menangis, pola eliminasi berubah, postur tubuh berubah.
b) Integritas Ego
Adapun tanda dan gejala pada pasien apendisitis biasanya mengalami merasa
bingung, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, sulit
berkonsentrasi, tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur dan muka tampak
pucat.
c) Pertumbuhan dan Perkembangan
Pada pasien apendisitis biasanya tidak mengalami gangguan pertumbuhan
dan perkembangan.
3) Perilaku
a) Kebersihan diri
Adapun tanda dan gejala pada pasien apendisitis biasanya mengalami
menolak melakukan perawatan diri, tidak mampu mandi/mengenakan
pakaian/makan/ke toilet/berhias secara mandiri, minat melakukan perawatan diri
kurang pasca operasi.
b) Penyuluhan dan Pembelajaran
Adapun tanda dan gejala pada pasien apendisitis biasanya menanyakan
masalah yang dihadapi, mengungkapkan tidak memahami masalah kesehatan
yang diderita.
4) Relasional
a) Interaksi Sosial
Pasien apendisitis biasanya tidak mengalami masalah dalam interaksi social.
5) Lingkungan
a) Keamanan dan Proteksi
Pasien apendisitis biasanya mengalami suhu tubuh diatas nilai normal, kulit
terasa hangat, kulit ikterik, kerusakan integritas jaringan dan/atau lapisan kulit,
nyeri dan kemerahan serta dilakukan pemberian prosedur invasive.
f. Pemeriksaan Laboratorium
a. Leukosit : 10.000-18.000/mm3
b. Netrofil meningkat 75%
c. WBC yang meningkat sampai 20.000 mungkin indikasi terjadinya perforasi
(jumlah sel darah merah).
2. Diagnosis Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi (mis. Inflamasi,
iskemia, neoplasma), agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik
berlebihan) dibuktikan dengan dengan mengeluh nyeri, tampak meringis,
bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindari nyeri), gelisah,
frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah meningkat, pola napas
berubah, nafsu makan berubah, proses berpikir terganggu, menarik diri,
berfokus pada diri sendiri, diaphoresis.
b. Risiko hipovolemia dibuktikan dengan faktor risiko kehilangan cairan secara
aktif.
c. Risiko infeksi dibuktikan dengan fktor risiko peningkatan paparan organisme
patogen lingkungan.
d. Gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan dengan factor mekanis (mis.
penekanan, gesekan) atau factor elektris (elektrodiatermi, energy listrik
betegangan tinggi) dibuktikan dengan kerusakan jaringan dan/ atau lapisan
kulit, nyeri perdarahan, kemerahan, hematoma.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dibuktikan dengan
mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas, kekuatan otot menurun, rentang
gerak (ROM) menurun, nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan,
merasa cemas saat bergerak, sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan
terbatas, fisik lemah.
f. Hipertermi berhubungan dengan infeksi/proses penyakit pada apendiks
dibuktikan dengan peningkatan suhu tubuh (>37,5oC), kulit kemerahan,
teraba panas.
3. Rencana Keperawatan
NO DOAGNOSIS TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI
KEPERAWATAN HASIL
1 LABEL SDKI Luaran Utama Intervensi Utama
(D.0077) Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri
Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan asuhan (I.08238)
dengan agen pencedera keperawatan ... x ... jam Observasi
fisiologi (mis. Inflamasi, diharapkan tingkat nyeri  Identifikasi lokasi,
iskemia, neoplasma), menurun dengan kriteria karakteristik, durasi,
agen pencedera fisik hasil: frekuensi, kualitas,
(mis. Abses, amputasi, intensitas nyeri
 Kemampuan
terbakar, terpotong,  Identifikasi skala nyeri
menuntaskan aktivtas
mengangkat berat,  Identifikasi respon nyeri
meningkat
prosedur operasi, trauma, non verbal
 Keluhan nyeri menurun
latihan fisik berlebihan)  Identifikasi faktor yang
 Meringis menurun
dibuktikan dengan memperberat dan
 Sikap protektif menurun
dengan mengeluh nyeri, memperingan nyeri
 Gelisah menurun
tampak meringis,  Identifikasi pengetahuan
 Kesulitan tidur menurun
bersikap protektif (mis. dan keyakinan tentang
 Menarik diri menurun
Waspada, posisi nyeri
menghindari nyeri),  Berfokus pada diri
 Identifikasi pengaruh
gelisah, frekuensi nadi sendiri menurun
budaya terhadap repson
meningkat, sulit tidur,  Diaforesis menurun
nyeri
tekanan darah meningkat,  Perasaan depresi
 Identifikasi pengaruh
pola napas berubah, (tertekan) menurun
nyeri terhadap kualitas
nafsu makan berubah,  Perasaan takut
hidup
proses berpikir mengalami cedera
 Monitor keberhasilan
terganggu, menarik diri, berulang menurun
terapi komplementer
berfokus pada diri  Anoreksia menurun
yang sudah diberikan
sendiri, diaphoresis.  Perineum terasa tertekan
 Monitor efek samping
menurun
penggunaan analgetik
 Uterus teraba membulat
menurun Terapeutik
 Ketegangan otot  Berikan teknik non
menurun farmakologis untuk
 Pupil dilatasi menurun mengurangi rasa nyeri
 Muntah menurun (mis : TENS, hypnosis,
 Mual menurun akupresure, terapi music,

 Frekuensi nadi membaik biofeedback, terapi pijat,

 Pola napas membaik aromaterapi, teknik

 Tekanan darah membaik imajinasi terbimbing,


kompres hangat atau
 Proses berpikir membaik
dingin, terapi bermain)
 Fokus membaik
 Kontrol lingkungn yang
 Fungsi berkemih
memperberat rasa nyeri
membaik
(mis : suhu ruangan,
 Perilaku membaik
pencahayaan,
 Nafsu makan membaik
kebisingan)
 Pola tidur membaik
 Fasilitasi istirahat dan
tidur

Luaran tambahan:  Pertimbangkan jenis dan


Kontrol Nyeri (L.08063) sumber nyeri dalam
Setelah dilakukan tindakan pemeliharaan strategi
keperawatan ... x ... jam meredakan nyeri
diharapkan control nyeri Edukasi
meningkat dengan kriteria  Jelaskan penyebab,
hasil: periode, dan pemicu
nyeri
 Melaporkan nyeri
 Jelaskan strategi
terkontrol meningkat
meredakan nyeri
 Kemampuan mengenali
 Anjurkan memonitor
onset nyeri meningkat
nyeri secara mandiri
 Kemampuan mengenali
 Anjurkan menggunakan
penyebab nyeri
analgetik secara tepat
meningkat  Ajarkan teknik
 Kemampuan nonfarmakaologis untuk
menggunakan teknik mengurangi rasa nyeri
nonfarmakologis Kolaborasi
meningkat  Memberikan analgetik
 Dukungan orang jika perlu
terdekat meningkat
 Keluhan nyeri menurun
Pemberian Analgetik
 Penggunaan analgesic
(I.08243)
menurun
Observasi
 Identifikasi karakteristik
nyeri ( mis: pencetus,
Pereda, kualitas, lokasi,
intensitas, frekuensi,
durasi)
 Identifikasi riwayat
alergi obat
 Identifikasi kesesuaian
jenis analgetik (mis:
narkotika, non narkotik
atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
 Monitor tanda-tanda
vital sebelum dan
sesudah pemberian
analgetik
 Monitor efektivitas
analgetik
Terapeutik
 Diskusikan jenis
analgetik yang disukai
untuk mencapai
analgesial optimal, jika
perlu
 Pertimbangkan
penggunaan infus
continue, atau bolus
oploid untuk
mempertahankan kadar
dalam serum
 Tetapkan target
efektifitas analgetik
untuk mengoptimalakan
respon pasien
 Dokumentasikan respon
terhadap efek analgetik
dan efek yang tidak
diinginkan
Edukasi
 Jelaskan efek terapi dan
efek samping obat
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
dosis dan analgetik,
sesuai indikasi
2 LABEL SDKI (D.0034) Luaran Utama Intervensi Utama
Status Cairan (L.03028) Manajemen Hipovolemia
Risiko hipovolemia
Setelah dilakukan tindakan (I.03116)
dibuktikan dengan faktor
keperawatan ..x..jam Observasi
risiko kehilangan cairan
diharapkan Status Cairan  Periksa tanda dan gejala
secara aktif.
membaik dengan kriteria hypervolemia (mis.
hasil: ortopnea, dyspnea,
 Kekuatan nadi edema, JVP/CVP
meningkat meningkat, reflex
 Turgor kulit meningkat hepatojugular positif,
 Output urin meningkat suara napas tambahan
 Pengisian vena  Identifikasi penyebab
meningkat hypervolemia
 Ortopnea menurun  Monitor status
 Dispnea menurun hemodinamik (mis.

 Paroxymal noctural frekuensi jantung,

dyspnea (PND) menurun tekanan darah, MAP,

 Edema anasarka CVP, PAP, PCWP, CO,

menurun CI), jika tersedia

 Edem aperifer menurun  Monitor intake dan

 Berat badan menurun output cairan

 Distensi vena jogularis  Monitor tanda

menurun hemokonsentrasi (mis.


kadar natrium, BUN,
 Suara napas tambahan
hematocrit, berat jenis
menurun
urine)
 Kongesti paru menurun
 Monitor tanda
 Perasaan lemanh
peningkatan tekanan
menurun
onkotik plasma (mis.
 Keluhanh aus menurun
kadar proteindan
 Konsentrasi menurun
albumin meningkat)
 Frekuensi nadi membaik
 Monitor kecepatan infus
 Tekanna darah
secara ketat
membaik
 Monitor efek samping
 Tekanan nadi membaik
diuretic (mis. hipotensi
 Membran mukosa
ortortostatik,
membaik
hipovolemia,
 Jugular venous presure
hypokalemia,
(JVP) membaik
hiponatremia)
 Kadar Hb membaik
 Kadar Ht membaik Terapeutik
 Central venous pressure  Timbang berat badan
membaik setiap hari pada waktu
 Refuks hepatojugular yang sama
membaik  Batasi asupan cairan dan
 Berat badan membaik garam
 Hepatomegalli membaik  Tinggikan kepala tempat
 Oliguria membaik tidur 30-40○

 Intake cairan membaik Edukasi:

 Status mental membaik  Anjurkan melapor jika

 Suhu tubuh membaik haluaran urin <0,5


mL/kg/jam dalam 6 jam

Luaran Tambahan  Anjurkan melapor jika

Keseimbangan Cairan BB bertambah >1 kg

(L.05020) dalam sehari

Setelah dilakukan tindakan  Ajarkan cara mengukur


keperawatan ..x.. jam dan mencatat asupan dan
diharapkan Keseimbangan haluaran cairan
Cairan meningkat dengan  Ajarkan cara membatasi
kriteria hasil: cairan
 Asupan cairan Kolaborasi:
meningkat  Kolaborasi pemberian
 Keluaran urin meningkat diuretic

 Kelembabab membrane  Kolaborasi penggantian


mukosa meningkat kehilangan kalium

 Asupan makanan akibat diuretic

meningkat  Kolaborasi pemberian

 Edema menurun Continuous renal

 Dehidrasi menurun replacement therapy

 Asites menurun (CRRT), jika perlu

 Konfusi menurun
 Tekanan darah Pemantauan Cairan
membaik (L.03121)
 Denyut nadi radial Observasi
membaik  Monitor frekuensi dan
 Tekanan arteri rata- kekuatan nadi
rata membaik  Montior frekuensi napas
 Membran mukosa  Monitor takanan darah
membaik  Monitor berat badan
 Mata cekung  Monitor waktu pengisian
membaik kapiler
 Monitor elastisitas atau
turgor kulit
 Montor jumblah, warna
dan berat jenis urine
 Monitor kadar albumin
dan protein total
 Monitor hasil
pemeriksaan serum (mis
hematokrit serum.
Hematokit, natrium,
kolium BUN)
 Monitor intake dan
output cairan
 Identifkasi tanda-tanda
hipovolermia (mis
frekuensi nadi
meningkat, nadi teraba
lemah, tekanan darah
menurun, tekanan nadi
menyenpit, turgor kulit
menurun, membran
mukosa kering, volume
urin menurun,
hematocrit meningkat.
haus lemah, konsentras
urine meningkat berat
badan menurun dalam
waktu singkat)
 Identifikasi tanda-tanda
hipervolemia (mis
dispnea edema perifer
edema anasarka. JVP
meningkat. CVP
meningkat refeks
hepatojugular positif,
berat badan menurun
dalam waktu singkat)
 Identifikasi faktor resiko
ketidakseimbangan
cairan( mis prosedur
pembedahan mayor,
trauma/pendarahan,luka
bakar, afreksia obstruksi,
peradangan pancreas,
penyakit gagal/ginjal,
disfungsi, infestinal)
Terapetik
 Atur interval
pemantauan sesuai
dengan kondisi pasien
 Dokumentasi hasil
pemantauan
Edukasi :
 Jelasakan tujuan dan
prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
pemantaun jika perlu
3 LABEL SDKI (D.0142) Luaran Utama Intervensi Utama
Tingkat Infeksi (L.14137) Pencegahan Infeksi
Risiko infeksi dibuktikan
Setelah dilakukan tindakan (I.14539)
dengan fktor risiko
keperawatan … x 24 jam Observasi
peningkatan paparan
diharapkan tingkat infeksi  Monitor tanda dan gejala
organisme patogen
menurun dengan kriteria infeksi lokal dan
lingkungan.
hasil : sistemik
Terapeutik
 Kebersihan tangan
 Batasi jumlah
meningkat
pengunjung
 Kebersihan badan
 Berikan perawatan kulit
meningkat
pada area edema
 Nafsu makan meningkat
 Cuci tangan sebelum
 Demam menurun
dan sesudah kontak
 Kemerahan menurun
dengan pasien dan
 Nyeri menurun
lingkungan pasien
 Bengkak menurun
 Pertahankan teknik
 Vesikal menurun
aseptik pada pasien
 Cairan berbau busuk
berisiko tinggi
menurun
Edukasi
 Sputum berwarna hijau
 Jelaskan tanda dan
menurun
gejala infeksi
 Drainase purulen
 Ajarkan cara mencuci
menurun
tangan dengan benar
 Piuria menurun
 Ajarkan etika batuk
 Periode menurun
 Ajarkan cara memeriksa
 Periode menggigil
menurun kondisi luka atau luka
 Letargi menurun operasi
 Gangguan kognitif  Anjurkan meingkatkan
menurun asupan nutrisi
 Kadar sel darah putih  Anjurkan meningkatkan
membaik asupan cairan
 Kultur darah membaik Kolaborasi
 Kultur urine membaik  Kolaborasi pemberian
 Kultur sputum membaik imunisasi, jika pelu

 Kultur area luka


membaik
 Kultur feses membaik

4 LABEL SDKI (D.0129) Luaran Utama Intervensi Utama


Integritas Kulit dan Perawatan Integritas Kulit
Gangguan integritas
Jringan (L.14125) (I11353)
kulit/ jaringan
Setelah diberikan asuhan Observasi
berhubungan dengan
keperawatan selama …x…  Identifikasi penyebab
factor mekanis (mis.
jam diharapkan integritas gangguan integritas kulit
penekanan, gesekan) atau
kulit dan jringan meningkat, (mis. Perubahan
factor elektris
dengan kriteria hasil : sirkulasi, perubahan
(elektrodiatermi, energy
status nutrisi,
listrik betegangan tinggi)  Elastisitas meningkat
peneurunan kelembaban,
dibuktikan dengan  Hidrasi meningkat
suhu lingkungan
kerusakan jaringan dan/  Perfusi jaringan
ekstrem, penurunan
atau lapisan kulit, nyeri meningkat
mobilitas)
perdarahan, kemerahan,  Kerusakan jaringan
Terapeutik
hematoma. menurun
 Ubah posisi setiap 2 jam
 Kerusakan lapisan kulir
jika tirah baring
menurun
 Lakukan pemijatan pada
 Nyeri menurun
area penonjolan tulang,
 Pedarahan menurun
jika perlu
 Kemerahan menurun  Bersihkan perineal
 Hematoma menurun dengan air hangat,
 Pigmentasi abnormal terutama selama periode
menurun diare
 Jaringan parut menurun  Gunakan produk
 Nekrosis menurun berbahan petrolium atau

 Abrasi kornea menurun minyak pada kulit kering

 Suhu kulit membaik  Gunakan produk

 Sensasi membaik berbahan ringan/alami

 Tekstur membaik dan hipoalergik pada


kulit sensitive
 Pertumbuhan rambut
membaik  Hindari produk berbahan
dasar alkohol pada kulit
kering
Edukasi
 Anjurkan menggunakan
pelembab (mis. Lotin,
serum)
 Anjurkan minum air
yang cukup
 Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
 Anjurkan meningkat
asupan buah dan sayur
 Anjurkan menghindari
terpapar suhu ektrim
 Anjurkan menggunakan
tabir surya SPF minimal
30 saat berada diluar
rumah
5 LABEL SDKI (D.0054) Luaran Utama Intervensi Utama
Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan Ambulasi
Gangguan mobilitas fisik
Setelah diberikan asuhan (I.16171)
berhubungan dengan
keperawatan selama … x … Observasi
nyeri dibuktikan dengan
jam, diharapkan mobilitas  Identifikasi adanya nyeri
mengeluh sulit
fisik meningkat dengan atau keluhan fisik
menggerakkan
kriteria hasil: lainnya
ekstremitas, kekuatan
 Pergerakan ekstremitas  Identifikasi toleransi
otot menurun, rentang
meningkat fisik melakukan
gerak (ROM) menurun,
 Kekuatan otot ambulasi
nyeri saat bergerak,
enggan melakukan
meningkat  Monitor frekuensi

pergerakan, merasa  Rentang gerak (ROM) jantung dan tekanan

cemas saat bergerak, meningkat darah sebelum memulai

sendi kaku, gerakan tidak  Nyeri menurun ambulasi

terkoordinasi, gerakan  Kecemasan menurun  Monitor kondisi umum

terbatas, fisik lemah.  Gerakan tidak selama melakukan


terkoordinasi menurun ambulasi
 Gerakan terbatas Terapeutik
menurun  Fasilitasi aktivitas
 Kelemahan fisik ambulasi dengan alat
menurun bantu (mis, tongkat,
kruk)
 Fasilitasi melakukan
mobilisasi fisik, jika
perlu
 Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
 Anjurkan melakukan
ambulasi dini
 Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis, berjalan
dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari
tempat tidur ke kamar
mandi, berjalan sesuai
toleransi)

Dukungan Mobilisasi
(I.05173)
Observasi
 Identifikasi adanya nyeri
atau keluhan fisik
lainnya
 Identifikasi toleransi
fiisk melakukan
pergerakan
 Monitor frekuensi
jantung dan tekanna
darah sebelum memulai
mobilisasi
 Monitor kondisi umum
selama melakukan
mobilisasi
Terapeutik
 Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu (mis, pagar tempat
tidur)
 Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu
 Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
 Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
 Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis, duduk di
tempat tidur, duduk di
sisi tempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke
kursi)
6 LABEL SDKI Luaran Utama Intervensi Utama
(D. 01300 Termoregulasi (L.14134) Manajemen Hipertermia
Hipertermi berhubungan Setelah dilakukan intervensi (I. 15506)
dengan infeksi/proses keperawatan selama ....x... Observasi
penyakit pada apendiks jam, maka Termoregulasi  Identifikasi penyebab
dibuktikan dengan membaik dengan kriteria hipertermia (mis.
peningkatan suhu tubuh hasil : dehidrasi, terapapar
(>37,5oC), kulit  Menggigil menurun (5) lingkungan panas,
kemerahan, teraba panas.  Kulit kemerahan peggunaan incubator)
menurun (5)  Monitor suhu tubuh
 Kejang menurun (5)  Monitor kadar elektrolit
 Pucat menurun (5)  Monitor haluaran urine
 Takikardi menurun (5)  Monitor komplikasi
 Takipnea menurun (5) akibat hipertermia
 Bradikardi menurun (5) Terapeutik
 Suhu tubuh membaik  Sediakan lingkungan
(5) yang dingin
 Suhu kulit membaik (5)  Longgarkan atau
 Tekanan darah lepaskan pakaian
membaik (5)  Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
 Berikan cairan oral
 Ganti linen setiap hari
atau lebih sering jika
mengalami
hyperhidrosis (keringat
berlebih)
 Lakukan pendinginan
eksternal (mis. selimut
hipotermia atau kompres
dingin pada dahi, leher,
dada, abdomen, aksila)
 Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
 Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu
Regulasi Temperatur (I.
14578)
Observasi
 Monitor suhu tubuh
sampai stabil
 Monitor suhu tubuh
anak tiap dua jam, jika
perlu
 Monitor tekanan darah,
frekuensi pernafasan
dan nadi
 Monitor warna dan suhu
kulit
 Monitor dan catat tanda
dan gejala hipertermia
Terapeutik
 Pasang alat pemantauan
suhu kontinu, jika perlu
 Tingkatkan asupan
cairan dan nutrisi yang
adekuat
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
antipiretik, jika perlu
DATAR PUSTAKA

Asnawi. (2018). ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERASI APENDIKTOMI


PADA NY. P DI RUANG MAWAR BLUD RUMAH SAKIT KONAWE
SELATAN TAHUN 2018 KARYA TULIS ILMIAH. Diakses pada 3 Maret
2021, dari epository.poltekkes-kdi.ac.id:
http://repository.poltekkes-kdi.ac.id/523/1/KTI%20ASNAWI.pdf

Elma, RA. (2018). BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Diakses pada 3 Maret 2021,
dari eprints.poltekkesjogja.ac.id:
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1410/4/BAB%20II.pdf

Fransisca, Cathleya, dkk. (2019). KARAKTERISTIK PASIEN DENGAN


GAMBARAN HISTOPATOLOGI APENDISITIS DI RSUP SANGLAH
DENPASAR TAHUN 2015 - 2017. JURNAL MEDIKA UDAYANA,
VOL. 8 NO.7 JULI 2019. Diakses pada 3 Maret 2021, dari ojs.unud.ac.id:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/cite/51783/ApaCitationPlugin

Hidayat, Erwin. (2020). KARYA TULIS ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN


PADA KLIEN DENGAN APPENDICITIS YANG DI RAWAT DI RUMAH
SAKIT. Diakses pada 3 Maret 2021, dari repository.poltekkes-kaltim.ac.id:
http://repository.poltekkes-
kaltim.ac.id/1053/1/KTI%20ERWIN%20HIDAYAT.pdf

KHUSNA , Asmaul. ( 2017). LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS.


Diakses pada 3 Maret 2021, dari academia.edu:
https://www.academia.edu/43272082/LAPORAN_PENDAHULUAN_AP
ENDISITIS

Luthfiana, R. (2018). BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Diakses pada 3 Maret


2021, dari eprints.poltekkesjogja.ac.id:
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1368/4/4.%20BAB%20II.pdf

Oktaviani, Srirahayu. (2018). KARYA TULIS ILMIAH LAPORAN STUDI KASUS


ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN Ny.R DENGAN POST
OPERASI LAPARATOMI ATAS INDIKASI APENDISITIS DIRUANGAN
RAWAT INAP BENDAH LANTAI 2 AMBUN SURI RSUD Dr.ACHMAD
MOCHTAR BUKITINGGI. Diakses pada 3 Maret 2021, dari
repo.stikesperintis.ac.id:
http://repo.stikesperintis.ac.id/148/1/26%20SRI%20RAHAYU%20OKTAV
IANI.pdf
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
PPNI.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indoneisa:
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat PPNI.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat PPNI.
LEMBAR PENGESAHAN

Denpasar, 16 November 2021


Nama Pembimbing/CT Nama Mahasiswa

(....................................................) Putu Mitha Eka Gayatri


NIP. NIM. P07120321005

Anda mungkin juga menyukai