Anda di halaman 1dari 5

B.

ASPEK PSIKOSOSIAL Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang
bersifat psikologik maupun social yang mempunyai pengaruh timbal balik. Masalah psikososial
adalah masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai
akibat terjadinya perubahan social dan atau gejolak social dalam masyarakat yang dapat
menimbulkan gangguan jiwa. Teori Erik Erikson membahas tentang perkembangan manusia dikenal
dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori
kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian
berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial
Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita
kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah
berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang
lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu
perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori
perkembangan psikososial. ICU seringkali digambarkan sebagai suatu tempat yang penuh dengan
stress, tidak hanya bagi klien dan keluarganya tetapi juga bagi perawat. Pemahaman yang baik
tentang stres dan akibatnya akan membantu ketika bekerja pada unit keperawatan kritis,
Pemahaman ini dapat memungkinkan perawat untuk mengurangi efek destruktif stress dan
meningkatkan potensi positif dari stress baik pada pasien dan dirinya sendiri.

Stress

Stres didefinisikan sebagai respon fisik dan emosional terhadap tuntutan yang dialami individu yang
diiterpretasikan sebagai sesuatu yang mengancam keseimbangan (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986).
Stres merupakan suatu fenomena komplek, dimana sekumpulan komponen saling berinteraksi dan
bekerja serentak. Ketika sesuatu hal mengubah satu komponen subsistem, maka keseluruhan sistem
dapat terpengaruh. Jika tuntutan untuk berubah menyebabkan ketidakseimbangan (disequilibrium)
pada sistem, maka terjadilah stress., Individu kemudian memobilisasi sumber-sumber koping untuk
mengatasi stress dan mengembalikan keseimbangan. Idealnya, stress bergabung dengan perilaku
koping yang tepat akan mendorong suatu perubahan positif pada individu. Ketika stress melebihi
kemampuan koping seseorang, maka potensi untuk menjadi krisis dapat terjadi.

Stressor

individu dan berakibat pada terjadinya fenomena stress (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Sumber
stressor dapat berasal dari subsistem biofisikal, psikososial atau masyarakat. Stressor biofisik antara
lain organisme infeksius, Stressor merupakan faktor internal maupun eksternal yang dapat
mengubah proses penyakit atau nutrisi yang buruk. Sedangkan contoh stressor psikososial adalah
harga diri yang rendah, masalah hubungan interpersonal, dan krisis perkembangan. Stressor ini
berasal dari masyarakat luas seperti fluktuasi ekonomi polusi dan teknologi tinggi. Bagaimana orang
mengalami suatu stressor tergantung pada persepsinya tentang stressor dan sumber kopingnya.
Stress juga merupakan tambahan (additive). Jika seseorang mendapat serangan stressor yang
multipel, maka respon stress akan lebih hebat
Respon stres

Respon stress dapat diinduksi oleh stressor biofisik, psikososial atau stressor social. Hans Selye
dalam Emanuelsen & Rosenlicht (1986) mengemukakan temuanya tentang stress kedalam suatu
model stress yang disebut general adaptation syndrome (GAS). GAS terdiri atas 3 tahap yaitu (a)
alarm respon, (b) stage of resistance dan stage of exhaustion. Alam respon. Merupakan tahap
pertama dan ditandai oleh respon cepat, singkat, melindungi/memelihara kehidupan dimana
merupakan aktivitas total dari system saraf simpatis. Tahap ini sering disebut dengan istilah
menyerang atau lari (fight-or-flight response). Stage of resistance. Merupakan tahap kedua, dimana
tubuh beradaptasi terhadap ketidakscimbangan yang disebabkan olch stressor. Tubuh bertahan
pada tahap ini sampai stressor yang membahayakan hilang dan tubuh mampu kembali kekeadaan
homeostasis, Jika semua energi tubuh tubuhnya digunakan untuk koping, maka dapat terjadi tahap
yang ketiga yaitu tahap kelelahan. Stage of exhaustion. Saat semua energi telah digunakan untuk
koping, maka tubuh mengalami kelelahan dan berakibat pada terjadinya sakit fisik, gangguan
psikososial dan kematian.

Klien

Klien yang sakit dan harus masuk ke ruang IČU tidak saja bertambah menderita akibat stress sakit
fisiknya tetapi juga stress akibat psikososialnya. Konsekuensinya, perawat yang melakukan asuhan
keperawatan pada unit keperawatan kritis didesign untuk memelihara atau mengembalikan semua
fungsi fisik vital dan fungsi-fungsi psikososial yang terganggu oleh keadaan sakitnya

Respon psikososial

Respon psikososial klien terhadap pengalaman keperawatan kritis mungkin dimediasi oleh fenomena
internal seperti keadaan emosional dan mekanisme koping atau oleh fenomena ekstemal seperti
kuantitas dan kualitas stimulasi lingkungan.

Reaksi emosional. Intensitas reaksi emosional dapat mudah dipahami jika menganggap bahwa ICU
adalah tempat dimana klien berusaha menghindari kematian. Klien dengan keperawatan kritis
memperlihatkan reaksi emosional yang dapat diprediksi dimana mempunyai eirri-ciri yang umum,
berkaitan dengan sakitnya. Takut dan kecemasan secara umum adalah reaksi pertama yang tampak.
Klien mungkin mengalami nyeri yang menakutkan, prosedur yang tidak nyaman, mutilasi tubuh,
kehilangan kendali, dan/atau meninggal.

Depresi

Depresi seringkali muncul setelah takut dan kecemasan. Depresi seringkali merupakan respon
terhadap berduka dan kehilangan.pengalaman kehilangan dapat memicu memori dimasa lalu
muncul kembali dengan perasaan sedih yang lebih hebat.

Mekanisme koping

Mekanisme koping merupakan skumpulan strategi mental baik disadari maupun tidak disadari yg
digunakan untuk menstabilkan situasi yang berpotensi mengancam dan membuat kembali ke dalam
keseimbangan (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Strategi koping klien merupakan upaya untuk
menimbulkan stabilitas emosional, menguasai lingkungan, mendefinisikan kembali tugas/tujuan
hidup, dan memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh karena sakit/penyakit. Beberapa contoh
perilaku koping adalah humor, distraksi, bertanya untuk suatu informasi berbicara dengan yang lain
tentang keluhan/perasaan-perasaannya, mendefinisikan kembali masalah kedalam istilah yang lebih
disukai, menghadapi masalah dengan dengan melakukan beberapa tindakan, negosiasi kemungkinan
pilihan/alternatif, menurunkan ketegangan dengan minum, makan atau menggunakan obat, menarik
diri, menyalahkan seseorang atau sesuatu, menyalahkan diri sendirimenghindar dan berkonsultasi
dengan ahli agama.

B. UPAYA UNTUK MENGATASI MASALAH PSIKOSOSIAL PASIEN KRITIS Terjadinya sakit atau keadaan
KRISIS atau KRITIS seseorang menimbulkan stres dan anxietas baik pada klien, keluarga atau orang
terdekat. Oleh karena : a. Ancaman thd kehidupannya dan kesejahteraanya b. Ancaman
ketidakberdayaan C. Kehilangan d. Beratnya penyakit Kehilangan kendali e. f. Perasaan kehilangan
fungsi & harga diri g. Kegagalan membentuk pertahanan diri h. Perasaan terisolasi i. Takut mati

Respon yang dialami baik pasien atau keluarga yang mengalami kegawatan atau sakit kritis
umumnya akan : Terkejut dan tidak percaya a. Mengembangkan kesadaran Resolusi ( keputusan ) b.
C. Sebagai perawat professional apabila pasien atau keluarga mengalami hal tersebut maka
penatalaksanaan keperawatan tidak terlepas dan: 1. Proses keperawatan 2. Memenuhi kebutuhan
dasar pasien 3. adaptasi 4. Advokasi

Tindakan tersebut ditujukan untuk: 1. Dukungan emosional, sosial, spiritual dan fisik di lingkungan
perawatan 2. meningkatkan kenyamanan 3. meningkatkan integritas dan identitas pasien 4. koping
yang adaptif dan efektif

PROSES KOPING

Proses koping pada pasien yang mengalami trauma sangat dipengaruhi oleh: Gejala awal ( pasien
menangis / ketakutan karena tidak tahu kondisinya) a. b. Penolakan klien terhadap
kondisinyaPROSES KOPING Proses koping pada pasien yang mengalami trauma sangat dipengaruhi
oleh: Gejala awal ( pasien menangis ketakutan karena tidak tahu kondisinya) a. b. Penolakan klien
terhadap kondisinya

WAWANCARA & INTERVENSI PSIKOSOSIAL

Bagi perawat emergensi / perawat kritis sangat diperlukan wawancara & intervensi psikososial sebab
disamping umumnya pasien dan keluarga mengalami sakit yang tiba-tiba juga terkadang disertai
situasi yang buruk dan penyakit yang berat. Keberhasilan tindakan ini sangat tergantung pada: a.
Informasi & jawaban yg memuaskan atas permasalahan mereka b. Jaminan terhadap kesehatannya
c. Perubahan kearah kesembuhan d. Harapan keluarga e. Sikap tenaga keperawatan f. Frekuensi
kontak dengan pasien / keluarga

UPAYA KEPERAWATAN

1. Modifikasi Lingkungan Pertama adalah merubah lingkungan ICU. Lingkungan ICU senantiasa
dimodifikasi supaya lebih fleksibel walaupun menggunakan banyak sekali peralatan dengan
teknologi canggih, serta meningkatkan lingkungan yang lebih mendukung kepada proses
recovery (penyembuhan pasien) (Jastremski, 2000). Konsep pelayanan yang berfokus pada
pasien memungkinkan untuk mempromosikan the universal room. Ketersediaan alat yang
portable dan lebih kecil meningkatkan keinginan untuk mendekatkan pelayanan pada pasien
daripada pasien yg datang ke tempat pelayanan. Kemungkinan untuk membuat work statiun
kecil (decentralization of nursing activities) untuk tiap pasien akan mengurangi stress bagi
pasien (Jastremski, 2000). Peralatan yang super canggih seperti remote monitoring untuk semua
pasien melalui monitor pada semua tempat tidur pasien yang bisa dimonitor lewat TV. Jadi
perawat bisa memonitor pasien Bed 1 walau sedang berada dekat pasien Bed 2 (Jastremski,
2000). Disamping menggunakan tekhnologi canggih seperti diatas untuk efisiensi dan efektifitas
pelayanan kepada pasien, lingkungan yang menyembuhkan (healing environtment) juga perlu
diciptakan. Fleksibilitas dari lingkungan tempat tidur (bedside environtment) bisa
dimaksimalkan ketika semua lingkungan yang terkontrol disedikan di ruangan pasien.
Thermostats, light switches, sound systems, window blinds dan lain-lain harus bisa dikontrol
secara terpisah untuk setiap pasien (Jastremski, 2000). Pengontrollen level suara (noise) dan
promoting normal sleep penting sebagai pengaturan fluid intake.

2. Terapi musik

Disamping modifikasi lingkungan seperti diuraikan diatas, cara lain untuk menurunkan stress
pada pasien yang dirawat di ICU adalah terapi musik. Tujuan therapy musik adalah menurunkan
stress, nyeri, kecemasan dan isolasi, Beberapa penelitian telah meneliti efek musik pada
physiology pasien yang sedang dirawat dan menemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan
heart rate, komplikasi jantung dan meningkatkan suhu ferifer pada pasien AMI. Juga ditemukan
bahwa terapi musik dapat menurunkan stress pasien (Jastremski, 2000; Harvey, 1998; White,
1999). Musik yang digunakan bisa berupa suara air, suara hujan, suara angin atau suara alam
(Jastremski, 1998). Masing - masing pasien diberikan headset untuk mendengarkannya.
Pengurangan cahaya di malam hari juga akan mengurangi stressor bagi pasien.

3. Melibatkan kelurga dan memfasilitasi keluarga dalam perawatan pasien kritis Lingkungan ICU
harus mampu mengakomodasi kebutuhan pasien dan keluarganya (Jastremski, 2000). Pasien
tentunya sangat mengharapkan dukungan emosional dari keluarganya (Olsen, Dysvik & Hansen,
2009) karenanya jam besuk harus lebih fleksibel. Selama ini jam bezuk hanya 2 kali sehari. Hal
ini perlu dimodifikasi terutama untuk seseorang yang sangat berarti bagi pasien. Disamping itu
keluarga perlu diberikan ruangan tunggu yang nyaman dengan fasilitas kamar mandi, TV dan
internet connection (Hamilton, 1999).

4. Komunikasi terapeutik Perawat dan tenaga kesehatan lainnya sering lupa atau kurang perhatian
terhadap masalah komunikasinya dengan pasien dan keluarganya. Berdasarkan sistematic review
yang dilakukan oleh Lenore & Ogle (1999) terhadap penelitian tentang komunikasi perawat pasien di
ruang ICU di Australia menemukan bahwa komunikasi perawat di ruang ICU masih sangat kurang
meskipun mereka mempunyai pengetahuan yang sangat tinggi tentang komunikasi terapeutik. Hal
ini juga dialami oleh teman dekat penulis ketika anaknya di rawat di ICU. Dia merasa perawat ICU di
rumah sakit K tersebut sangat ttdak mempertimbangkan perasaan dia dan pasien ketika
berkomunikasi. Sangat tidak supportive dan cenderung apathy. Penelitian lain oleh McCabe (2002) di
Ireland dengan pendekatan phenomenology juga menunjukkan hal yang sama. Akan tetapi, perawat
bisa melakukan komunikasi yang baik dan efektif dengan pasien ketika perawat menggunakan
pendekatan person-centered care. Person-centred care adalah istilah yang digunakan dalam
pelayanan kesehatan untuk menggambarkan pendekatan pilosofis untuk a particular mode of care
(model tertentu dalam keperawatan). Konsep utama dari person-centred care adalah sebuah
komitmen untuk menemukan kebutuhan pelayanan keperawatan individu dalam konteks
pengalaman sakit, kepercayaan pribadi, budaya, situasi keluarga, gaya hidup dan kemampuan untuk
memahami apa yang sedang dirasakan oleh pasien. Pendekatan ini membutuhkan perawat untuk
pindah dari sekedar hanya memenuhi kebutuhan kesehatan pasien kepada kemampuan untuk
memahami dan responsif terhadap the inner world of the individual their personal world of
experiences and what this means to them (Hasnain, et al., 2011; Clift, 2012).

Anda mungkin juga menyukai