Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

DISTONIA AKUT DAN PARKINSONISME

Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di


Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Umum Haji Medan

Disusun Oleh :

Ekavia Putri Setyani

20360244

Pembimbing :

Dr. dr. Elmeida Effendy, M. Ked (KJ), Sp.KJ (K)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF BAGIAN PSIKIATRI


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh


Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas Referat ini guna memenuhi persyaratan kapaniteraan
klinik senior di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Haji Medan dengan
judul “Distonia Akut dan Parkinsonisme”. Shalawat dan salam tetap terlafatkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang
telah membawa kita ke zaman yang penuh ilmu pengetahuan, beliau adalah
figur yang senantiasa menjadi contoh suri tauladan yang baik bagi penulis untuk
menuju ridho Allah SWT.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
dosen pembimbing KKS dibagian Ilmu Kedokteran Jiwa. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan Referat masih terdapat banyak kekurangan baik dalam
cara penulisan maupun penyajian materi. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga
bermanfaat dalam penulisan Referat selanjutnya. Semoga Referat ini
bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi penulis.
Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Medan, November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 DISTONIA AKUT.................................................................................2
2.1.1 Definisi..............................................................................................2
2.1.2 Epidemiologi......................................................................................2
2.1.3 Etiologi..............................................................................................3
2.1.4 Patofisiologi.......................................................................................3
2.1.5 Manifestasi Klinik.............................................................................4
2.1.6 Faktor Resiko.....................................................................................5
2.1.7 Diagnosis...........................................................................................5
2.1.8 Penatalaksanaan.................................................................................6
2.1.9 Komplikasi.........................................................................................6
2.1.10 Prognosis.........................................................................................7

2.2 PARKINSONISME................................................................................7
2.2.1 Definisi..............................................................................................7
2.2.2 Epidemiologi......................................................................................8
2.2.3 Etiologi..............................................................................................8
2.2.4 Klasifikasi..........................................................................................9
2.2.5 Patofisiologi.......................................................................................9
2.2.6 Manifestasi Klinik...........................................................................10
2.2.7 Diagnosis.........................................................................................11
2.2.8 Diagnosis Banding...........................................................................12
2.2.9 Penatalaksanaan...............................................................................12
2.2.10 Komplikasi....................................................................................14

BAB III KESIMPULAN................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Dopamine receptor blocking agents (DRBAs) yang lebih dikenal sebagai


antipsikotik, adalah obat yang banyak digunakan untuk mengobati gangguan psikotik. 
Golongan obat ini menyebabkan risiko efek samping berupa akatisia, distonia,
parkinsonisme, dan diskinesia tardif, yang dikenal sebagai sindrom ekstrapiramidal atau
EPS.1

Distonia adalah kontraksi otot secara terus menerus yang menyebabkan gerakan
atau postur menjadi tidak normal. Distonia akut adalah gerakan tidak sadar dari sebagian
atau seluruh anggota tubuh. Reaksi ini merupakan salah satu efek samping dari
pemberian obat antipsikosis.2

Distonia akut terjadi tak lama setelah pemberian antipsikotik dan kadang-kadang
setelah peningkatan dosis atau peralihan ke obat antipsikotik dengan potensi yang lebih
tinggi, terutama antipsikotik potensi tinggi yang diberikan secara injeksi. Distonia yang
diinduksi antipsikotik biasanya bersifat fokal, meskipun dalam kasus yang jarang, dapat
mempengaruhi beberapa kelompok otot. Reaksi distonia bervariasi dalam hal lokasi dan
tingkat keparahan serta kadang-kadang menimbulkan nyeri.1

Penyakit parkinson adalah bagian dari parkinsonisme yang secara patologis


ditandai dengan degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra pars kompakta
(SNc) yang disertai dengan adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (lewy bodies).6

Sindroma parkinsonism atau pseudoparkinsonism memiliki beberapa gambaran


klasik penyakit Parkinson’s idiopatik. Patofisiologi berkaitan dengan adanya
disproporsional kurangnya dopamin daripada asetilkolin di basal ganglia. Interval antara
penggunaan obat dan timbulnya gejala-gejala parkinsonisme berkisar beberapa hari
hingga beberapa bulan. Parkinsonisme imbas obat biasanya berkembang antara 2
minggu hingga 1 bulan setelah pemberian antipsikotik atau peningkatan dosis.7

1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DISTONIA AKUT

2.1.1 Definisi

Distonia akut adalah gerakan tidak sadar dari sebagian atau seluruh
anggota tubuh. Reaksi ini merupakan salah satu efek samping dari pemberian
obat antipsikosis.1 Reaksi distonia akut terjadi beberapa jam atau hari setelah
pemberian terapi antipsikotik tipikal potensi tinggi. Kekakuan otot secara khas
melibatkan spasme leher, pinggang (opis thotonos), lidah, atau otot lateral
pergerakan mata (krisis okulogirik), dan laring (stridor).2

2.1.2 Epidemiologi
Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut,
akhatisia,dan sindrom parkinsonism umumnya terjadi akibat penggunaan obat-
obat antipsikotik. Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama
yang mempunyai potensi tinggi.1
Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria
muda. Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut, rahang,
umumnya terjadi akibat penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka
panjang. Sekitar 20-30% pasien telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam
kurun waktu 6 bulan atau lebih, berkembang menjadi tardive dyskinesia.
Sindrom Parkinson umumnya timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih
sering pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki=2:1.4
Kejadian populasi yang sebenarnya dari prevalensi distonia tidak
diketahui. Angka – angka prevalensi tersedia biasanya didasarkan pada studi
kasus yang didiagnosis. Penelitian awal di Amerika Serikat diperkirakan sekitar
329 orang per 1 juta populasi. Penelitian yang lebih terbaru studi kasus di
jepang dan eropa prevalensi distonia antara 101 – 150 orang per 1 juta populasi.
Untuk prevalensi kasus distonia sekunder tidak diketahui diperkirakan dari studi
kasus sekitar <20 – 25% dari distonia primer. Bentuk distonia primer yang
paling umum adalah distonia fokal, salah satunya distonia cervical adalah
distonia paling umum terjadi dengan prevalensi antara 57 dan 290 orang per 1
juta populasi. 44% pasien memiliki riwayat keluarga dengan distonia.2
2.1.3 Etiologi

Berbagai macam obat dapat menimbulkan gejala ini, namun neuroleptik


(antipsikotik), antiemetik, dan antidepresan adalah penyebab paling sering dari
reaksi distonia yang diinduksi obat. Reaksi akut bisa terjadi pada setiap
pemberian antipsikotik. Laporan kasus juga menunjukkan bahwa obat-obatan
seperti methylphenidate,albendazole,chloroquine,rivastigmine,foscarnet, dan ca
rbamazepine semuanya terlibat dalam kasus reaksi ini. 3
Obat antiemetik metoklopramid dan proklorperazin juga dikenal menyebabkan
reaksi akut.2
Distonia akut terjadi tak lama setelah pemberian antipsikotik dan
kadang-kadang setelah peningkatan dosis atau peralihan ke obat antipsikotik
denganpotensi yang lebih tinggi, terutama antipsikotik potensi tinggi yang
diberikan secara injeksi.Distonia yang diinduksi antipsikotik biasanya
bersifat fokal, meskipun dalam kasus yang jarang dapat mempengaruhi
beberapa kelompok otot.1

2.1.4 Patofisiologi

Traktus ekstrapiramidal diregulasi secara bergantian oleh ganglia basalis,


jalur striatonigral, nucleus vestibular, area sensorik dari korteks otak dan
serebelum. Daerah- daerah dan area regulasi adalah semua bagian dari sistem
ekstrapiramidal. Sistem ekstrapiramidal mengatur aktivitas motorik bahkan
dengan tidak adanya innervasi secara langsung dengan neuron motorik.
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi
ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis.1

Pada pasien dengan gangguan psikotik terjadi disfungsi pada sistem


dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat transmisi
dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi dopaminergi
yakni antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat tersebut
menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak
reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur striatonigral dopamin
menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom
ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine)
merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten, sebagai
akibatnya menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih
menonjol.2

2.1.5 Manifestasi Klinik

Distonia akut ditandai dengan adanya kontraksi otot tak sadar yang
menyebabkan gerakan berulang atau postur yang tidak normal.1 Berikut ini adalah
deskripsi gejala dari reaksi distonia akut7

1) Gejala rahang dan lidah: ditandai dengan kaku mulut, sulit bicara, sulit
makan, meringis, tonjolan lidah, dan lain sebagainya.
2) Pada mata ditandai dengan kekakuan pada otot mata, paling sering
menyimpang ke atas.
3) Gejala leher: posisi kepala atau leher asimetris yang abnormal.
4) Pada pinggul ditandai dengan adanya kontraksi yang abnormal dari dinding
perut, pinggul, dan otot panggul.
5) Postur fleksi khas dengan lengkungan punggung
6) Gejala laring: ditandai gejala sulit bicara dan stridor.

7) Walaupun reaksi ini lebih sering tidak dapat diprediksi, namun biasanya
tidak mengancam jiwa dan tidak menimbulkan efek jangka panjang.

Gejala ini dapat bermanifestasi pada otot yang berperan pada saraf kranial,
faring, serviks, dan mengarah ke krisis okulogirik, rahang kaku, lidah tortikolis,
retrokolis, spasme faring, disartria, disfagia, dan kadang-kadang kesulitan bernapas,
sianosis, dan opistotonus.2
Reaksi distonia akut terjadi beberapa jam atau hari setelah pemberian terapi
antipsikotik tipikal potensi tinggi. Kekakuan otot secara khas melibatkan spasme
leher, pinggang (opisthotonos), lidah, atau otot lateral pergerakan mata (krisis
okulogirik), dan laring (stridor).2
Keadaan ini merupakan spasme atau kontraksi involunter, akut dari satu
atau lebih kelompok otot skelet yang lazimnya timbul dalam beberapa menit.
Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot
ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis (posisi kepala dan leher yg
abnormal), disastria bicara, krisis okulogirik (deviasi mata) dan sikap badan yang
tidak biasa. Suatu ADR lazimnya mengganggu sekali bagi pasien. Dapat nyeri atau
bahkan dapat mengancam kehidupan dengan gejala-gejala seperti distonia laring
atau diafragmatik.2
Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira-
kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik
dosis tinggi yang berpotensi lebih tinggi, seperti haloperidol dan flufenazine.
Reaksi distonia akut dapat merupakan penyebab utama dari ketidakpatuhan dengan
neuroleptik karena pandangan pasienmengenai medikasi secara permanen dapat
memudar oleh suatu reaksi distonik yang menyusahkan.11

2.1.6 Faktor Resiko

Faktor-faktor risiko yang dapat memicu timbulnya Distonia akut2

1) Riwayat keluarga dengan distonia


2) Riwayat infeksi virus
3) Orang yang rutin mengkonsumsi obat antipsikotik (biasanya digunakan untuk
mengobati psikosis akut, agitasi akut, mania bipolar, dan banyak kondisi
kejiwaan lainnya)
4) Penggunaan alkohol dan kokain juga dapat meningkatkan risiko
5) Kondisi distonia ini lebih sering terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa
muda (5-45 tahun) karena risiko reaksi distonia menurun seiring
bertambahnya usia.

2.1.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Biasanya
didapatkan riwayat mengkonsumsi obat dan obat tersebut harus dinilai apakah
ada kemungkinan efek penghambatan dopamin. Bahkan ketika riwayat
pendukung tidak diperoleh, gambaran klinis saja sudah cukup untuk mendukung
diagnosis. Tanda-tanda minimal seperti keluhan tidak nyaman di tenggorokan
setelah pemberian obat harus meningkatkan kecurigaan adanya distonia laring.
Dalam kasus reaksi ini, status mental dan tanda-tanda vital harus tetap normal.
Tes laboratorium dan pencitraan tidak diperlukan pada sebagian besar kasus.11

2.1.8 Penatalaksanaan
Pada distonia akut yang biasanya timbul dalam 24-48 jam setelah minum
obat antipsikotik dan jarang pada orang tua, berikan antihistamin
diphenhydramine 50 mg iv/im, atau benztropine, 1-2 mg iv/im, atropine sulfate
1- 2 mg iv, atau diazepam 10 mg iv sebagai terapi alternatif, serta bila perlu
dapat lagi diulangi setelah 20-30 menit.2

Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani.


Penghentian obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi
harus dilakukan sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik berupa terapi
primer yang diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan
penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan
difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benzotropin 2
mg IM.1

Jika seorang pasien mengalami sindrom ekstrapiramidal akut, khususnya


distonia, tujuan terapi adalah untuk memperbaiki gerakan involunter,
memperbaiki postur abnormal, mengurangi rasa sakit, mencegah kontraktur, dan
meningkatkan fungsi dan kualitas hidup secara keseluruhan. Pendekatan
terapeutik harus disesuaikan untuk masing-masing pasien. Terdapat bukti bahwa
reaksi distonia akut dapat dicegah dengan penggunaan obat antikolinergik seperti
trihexyphenidyl. Obat antikolinergik yang diinjeksi sangat efektif dalam
pengobatan distonia akut dan demikian pula obat antihistamin
diphenhydramine.7

Trihexyphenidyl dapat dimulai dengan dosis 1mg setiap hari dan


ditingkatkan 1mg setiap 3-5 hari selama 1 bulan dengan dosis target 2mg tiga
kali sehari. Selanjutnya dosis dapat ditingkatkan dengan peningkatan 2mg setiap
minggu sampai timbul efek samping atau tercapai dosis maksimal 30mg.2

2.1.9 Komplikasi

Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga


menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gaangguan gerak saat
berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada
distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS
mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang
buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur,
gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine.1

2.1.10 Prognosis

Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih


baik bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada
pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan
tardive distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila
tidakdiatasi dengan tepat.7

2.2 PARKINSONISME

2.2.1 Definisi

Parkinsonisme adalah sindrom klinis yang meliputi bradikinesia, ditambah


setidaknya salah satu dari tiga gejala berikut: tremor, rigiditas dan instabilitas
postural.4

Sindrom parkinsonisme adalah sindrom yang ditandai oleh tremor waktu


istirahat, rigiditas, bradikinesia dan hilangnya refleks postural akibat penurunan
kadar dopamin dengan berbagai macam sebab.3

Parkinsonism adalah sebuah sindrom yang ditandai dengan kombinasi dari


beberapa gejala kardinal seperti tremor istirahat, rigiditas, bradikinesia, hilangnya
refleks postural, sikap tubuh fleksi, dan blocking sistem motorik. Sebagian besar
kasus parkinsonism bersifat idiopatik dan dikenal sebagai penyakit Parkinson
(PD), yang menunjukkan adanya gangguan neurodegeneratif sistem
ekstrapiramidal yang merupakan bagian dari parkinsonism yang secara patologis
ditandai oleh adanya degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra pars
kompakta (SNC) yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik
(lewybodies).6
2.2.2 Epidemiologi

Pada komunitas penyakit parkinsons terjadi lebih sari 80% pasien dengan
gejala parkinsonisme dengan prevalensi sekitar 360 per 100.000. Penderita
penyakit ini pada usia <30 tahun sangatlah jarang. Pravalensi di Amerika serikat
lebih tinggi daripada di Afrika dan China, namun hubungan ras pada penyakit ini
belum jelas. Pada populasi usia > 65 tahun prevalensi parkinsonism sebesar 2,3%.
Parkinsonism Juvenille muncul pada usia < 40 tahun (genetika). Prevalensi Tinggi
terdapat di Eropa, Amerika Utara, Jepang, dan China, Afrika (jarang).10

Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien yang


diobati dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-30 hari setelah awal
terapi. Gejala-gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau rigiditas pipa besi
(lead-pipe rigidity), rigiditas gigi gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan
menyeret, postur membungkuk dan air liur menetes. Tremor menggulung pil (pill-
rolling) pada parkinsonisme idopatik jarang terjadi, tetapi tremor yang teratur dan
kasar yang serupa dengan tremor esensial mungkin ditemukan dan dinamakan
sebagai tremor ppostural akibat medikasi dalam DSM-IV.5

Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat


neuroleptik adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi
pada usia lebih dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan
gejala parkinsonisme, khususnya obat potensi tinggi dengan aktivitas
antikolinergik yang rendah.4

2.2.3 Etiologi

Secara umum gangguan parkinsonism terjadi karena penurunan kadar


dopamin akibat degenerasi kerusakan substansia nigra pars kompakta dan saraf
dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada rangsangan terhadap reseptor D1
maupun D2 neuron di substansia nigra pars kompakta sebesar 40–50% yang
disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (lewy bodies) yang lama- kelamaan
berujung pada kematian sel neuron tersebut. Parkinsonism juga dapat disebabkan
oleh infeksi, Intoksikasi, Penyakit vascular, Penyakit Degeneratif.6
2.2.4 Klasifikasi

Parkinsonisme dapat digolongkan atas dua kategori yaitu: Parkinsonisme


Primer dan Parkinsonisme Sekunder (berhubungan dengan infeksi, obat, toksin,
penyakit vaskuler, trauma dan tumor otak).6

Parkinsonisme Primer Parkinsonisme Sekunder


Penyakit Parkinson idiopatik Iatrogenik: fenothiazin, butyrofeon,
Demensia lewy body thioxantin, benzamides, lithium,
Parkinsonisme karena penyakit genetic sodium valproate, Ca-bloker,
Frontotemporal demensia dengan reserpine, tetrabenazine, a-
parkinsonisme methyldopa.
Alzeimer’s Toksik: MPTP, CO, mangan,
MSA (multy sistem athrophy) methanol, cyanide, organofosfat
PSP (Progressive supranuclear palsy) Infeksi: enchepalitis lethargia, AIDS,
CBD (corticobasal degeneration) syphilis, CJD (Creutzfeld-Jacob
Neuroacanthosis disease)
Huntington Metabolik: hipoparatiroid, penyakit
Creutzfeld-Jacob disease Wilson
Degenerasi spinocerebellar Structural: normal pressure
hydrocephalus, trauma SSP, tumor,
infark.

2.2.5 Patofisiologi

Pada penyakit parkinsons terjadi pengurangan aktivitas neuron pada


substansia nigra pars kompakta (SNc) sehingga akan menyebabkan berkurangnya
aktivitas jalur indirek dan meningkatkan aktivitas jalur direk. Perubahan ini akan
menyebabkan peningkatan aktivitas pada nucleus subthalamus dan neuron pada
Gpi yang akan menyebabkan penghambatan yang berlebihan pada jalur
thalamokortikal dan menyebabkan terjadinya bradikinesia.3
Hallmark patologi penyakit Parkinson adalah degenerasi sel dopaminergik
substansia nigra yang mengakibatkan depresi dopamin pada striatum. Substansia
nigra yang mengalami dampak lebih berat pada tremor-dominan adalah bagian
medial khususnya area retrorubral A8, berbeda dengan area substansia nigra
bagian lateral (A9) pada akinetik-rigid.6,7 Hilangnya dopamin secara kronis
mengubah anatomi dan fisiologi globus palidus eksternus (GPe) seperti pada
striatum dan nukleus subthalamus (STN).6
Kemampuan pacemaker intrinsik neuron pallidal berkurang, kolateral
intrapallidal menguat, dan koneksi subthalamo-pallidal juga menguat. Pada
interaksi thalamus dengan ganglia basalis, eferen ganglia basalis membentuk
synaps besar perisomatik GABAergik pada nukleus relai thalamus. Nukleus relai
ini membentuk lingkaran berulang dengan korteks yang diyakini menghasilkan
ritme otak osilatorik. Korteks dan relai thalamus mengirimkan kolateral ke
thalamus retikular, kemudian memproyeksikan kembali ke relai thalamus.6
Proses patologik Parkinson melibatkan hilangnya sel dopaminergik di
substansia nigra pars kompakta (SNc), khususnya bagian lateral ventral. Hal ini
menyebabkan deplesi dopamin pada striatum, khususnya pada putamen
dorsolateral. Perubahan ini secara kuat berhubungan dengan bradikinesia.3

2.2.6 Manifestasi Klinik

Manifestasinya dapat berupa trias parkinsonisme: bradikinesia, rigiditas, dan


tremor, meskipun biasanya tidak terlalu khas. Gejala dan tanda-tanda lain
termasuk gaya berjalan yang tidak stabil, berkurangnya kekompakan anggota
gerak, anteropulsi, hipomimia, dan sialore. Tremor postural lebih umum daripada
tremor istirahat. Tremor bibir dan otot perioral dapat diamati juga, yang juga
disebut "rabbit syndrome".1

Berikut merupakan tanda dan gejala pada parkinsonisme9

1) Tremor :

a. Laten
b. Tremor saat istirahat
c. Tremor yang bertahan saat istirahat
d. Tremor saat gerak disamping adanya tremor istirahat

2) Rigiditas
3) Akinesia/Bradikinesia

a. Kedipan mata berkurang


b. Wajah seperti topeng
c. Hipofonia (suara kecil)
d. Liur menetes
e. Akathisia/Takhikinesia (gerakan cepat yang tak terkonirol)
f. Mikrografia: tulisan semakin mengecil
g. Cara berjalan : langkah kecil-kecil
h. Kegelisahan motorik (sulit duduk atau berdiri)

2.2.7 Diagnosis

Kesulitan utrama dalam diagnosis adalah membedakan antara penyakit


Parkinson dengan sindrom Parkinson yang dapat diakibatkan oleh beberapa
penyakit degenerative ataupun oleh karena toksin. Namun untuk membedakannya
adalah adanya resting tremor pada penyakit Parkinson.6
Diagnosis Parkinsonisme

1) Bardikinesia: kelambatan mengawali gerak dan pengurangan kecepatan gerak


progresif dan amplitude aksi berulang).

2) Sedikirnya terdapat satu dari hal dibawah ini:

a. Rigiditas

b. Tremor frekuensi 4-6 Hz

c. Postural Instability (yang tidak disebabkan gangguan visual, vestibular,


cerebellar, dan/atau gangguan proprioseptif)

Kriteria diagnostik (Kriteria Hughes):

1. Possible : Terdapat salah satu gejala utama

a. Tremor istirahat

b. Rigiditas

c. Bradikinesia

d. Kegagalan refleks postural

2. Probable Bila terdapat kombinasi dua gejala utama (termasuk kegagalan


refleks postural) atau satu dari tiga gejala pertama yang tidak simetris (dua
dari empat tanda motorik)

3. Definite Bila terdapat kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala
dengan satu gejala lain yang tidak simetris (tiga tanda kardin al).

Bila semua tanda-tanda tidak jelas sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulangan


beberapa bulan kemudian.

2.2.8 Diagnosis Banding

1) Tremor esensial

2) Penyakit Bingswanger

3) Hidrosefalus bertekanan normal

4) Progresif supranuklear palsi

5) Degenerasi striatonigra

6) Depresi hipokinetik (anergik)

7) Parkinsonism akibat pengaruh obat-obatan.

2.2.9 Penatalaksanaan

1. Umum (Supportive)10

a. Pendidikan (Education)

b. Penunjang (Support) :

c. Penilaian kebutuhan emosionil, rekreasi dan kegiatan kelompok, konsultasi


profesional, konseling hukum/financial, konseling pekerjaan

d. Latihan fisik

e. Nutrisi

2. Medikamentosa

a. Antagonis NMDA : Amantadin 100n 300 mg per hari

b. Antikholinergik
Benztropine mesylate 1 n 8 mg per hari

Biperiden 3-6 mg per hari

Chlorphenoksamine 150-400 mg per hari

Cycrimine 5-20 mg per hari

Orphenadrine 150-400 mg per hari

Procyclidine 7.5-30 mg per hari

Triheaphenidyl 3-15 mg per hari

Ethoproprazine 30-60 mg per hari

3. Dopaminergik

a. Carbidopa + Levodopa 10/100 mg, 25/100 mg, 25/250 mg per hari

b. Benserazide + Levodopa 50/100 mg per hari

4. Dopamin agonis

a. Bromocriptine mesylate 5-40 mg per hari

b. Pergolide mesylate 0.75-5 mg per hari

c. Cabergoline 0.5-5 mg per hari

d. Pramipexole 1.5-4.5 mg per hari

e. Ropinirole 0.75-2.4 mg per hari

f. Apomorphine 10-80 mg per hari

5. COMT (catechol-O-Methyl Transferase) Inhibitors : Entacapone 200 mg


per hari bersamaan dengan setiap dosis levodopa, maksimal 1600 mg
entacapone per hari

6. MAOB (Mono Amine Oxidase n B) Inhibitor : Selegiline 10 mg per hari


(pagi dan siang) → 5 mg bid per hari

7. Antioksidan : Asam askorbat (vit.C) 500-1000 mg per hari, Betacaroten (pro


Vit. A) 4000 IU per hari

8. Betabloker : Propranolol 10-30 mg per hari


9. Pembedahan

a. Talamotomi ventrolateral: bila tremor menonjol

b. Polidotomi: bila akinesia dan tremor

c. Transplantasi substansia nigra

d. Stimulasi otak dalam

10. Rehabilitasi Medik

Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas hidup


penderita dan menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta mengatasi
masalah-masalah sebagai berikut :

a. Abnormalitas gerakan

b. Kecenderungan postur tubuh yang salah

c. Gejala otonom

d. Gangguan perawatan diri (Activity of Daily Living - ADL)

e. Perubahan psikologi

2.2.10 Komplikasi

Berikut merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita parkinsonisme12

1. Hipokinesia: Atrofi/kelemahan otot sekunder, kontraktur sendi,

2. Deformitas: kifosis, skoliosis Gangguan Fungsi Luhur Afasia, Agnosia,


Apraksia

3. Gangguan Postural: Perubahan kardio-pulmonal, ulkus dekubitus, jatuh

4. Gangguan Mental: Gangguan pola tidur, emosional, gangguan seksual,


depresi, bradifrenia, psikosis, demensia

5. Gangguan Vegetate: Hipotensi Postural, inkontinensia urine, gangguan


keringat

6. Gangguan Akibat Efek Samping Obat


BAB III

KESIMPULAN

Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat diakibatkan


oleh penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat transmisi dopamine di
jalur striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis.
Adanya gangguan transmisi di korpus striatum menyebabkan depresi fungsi motorik.
Umumnya terjadi pada pemakaian jangka panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan
dosis tinggi. Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom
parkinsonisme, akatisia dan tardive dyskinesia.
Distonia akut dan Prkinsonisme merupakan reaksi dari pemberian antipsikotik.
Distonia akut terjadi tak lama setelah pemberian antipsikotik dan kadang-kadang setelah
peningkatan dosis atau peralihan ke obat antipsikotik dengan potensi yang lebih tinggi,
terutama antipsikotik potensi tinggi yang diberikan secara injeksi. Pada Parkinsonisme
interval antara penggunaan obat dan timbulnya gejala-gejala parkinsonisme berkisar
beberapa hari hingga beberapa bulan. Parkinsonisme imbas obat biasanya berkembang
antara 2 minggu hingga 1 bulan setelah pemberian antipsikotik atau peningkatan dosis.
Manifestasinya dapat berupa trias parkinsonisme: bradikinesia, rigiditas, dan tremor.
Semua pasien dengan penyakit Parkinson memiliki parkinsonisme, tetapi tidak semua
pasien dengan parkinsonisme merupakan penyakit Parkinson.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Rompis N, Mawuntu A, Maria, Tumewah R. Sindrom Ekstrapiramidal Staf


Pengajar Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Vol.
3, No. 1.44-45. 2020.

2. Swayami, I.G,. ASPEK BIOLOGI TRIHEKSIFENIDIL DI BIDANG


PSIKIATRI. Jurnal ilmiah kedokteran. 91-92. 2014.

3. Sukendar K, A,. Sutarni S, Subagya,. Patofisiologi Tremor Istirahat Penyakit


Parkinson: Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Vol 1(3). 2016.

4. Hantoro ,W,. Setyaningsih I, Wasán M,. Patofisiologi Parkinsonism Pasca


Trauma Kepala. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. 18 (2). 72-72.
2019.

5. Florensia, I,. Mahama ,C,. Khosama , H,. Hubungan Disfungsi Otonom Dengan
Derajat Keparahan Penderita Parkinsonisme. Fakultas Kedokteran Sam
Ratulangi. 69 (12). 350-351. 2019.

6. Machfoed M, H,. Susilo ,H,. Suharjanti. Molecular Neuroscience and Applied in:
Stroke, Epilepsy, Pain, Headache, Infection & Parkinson’s Disease. 248-260.
2018.
7. Lewis K, O’Day CS. Dystonic Reactions. [Updated 2021 May 15]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK531466/
8. Tysnes OB & Storstein A. Epidemiology of Parkinson’s disease. J Neural Transm.
2017. 124(8).
9. Kouli A, Torsney KM, Kuan W. Parkinson’s disease: Etiology, neuropathology,
and pathogenesis. Parkinson’s Disease: Pathogenesis and Clinical Aspects. Stoker
TB, Greenland JC. Brisbane: Codon Publications; 2018.
10. 3. Weil RS, Costantini AA, Schrag AE. Mild cognitive impairment in Parkinson’s
disease .(2018). 18-17.
11. J Michael Kowalski, DO. Medication-Induced Dystonic Reactions. [Updated: Aug
10, 2020]. In: Medscape. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/814632-overview
12. Sanders RD, Gillig PM. Extrapyramidal examinations in psychiatry. Innov Clin
Neurosci. 2012;9(7–8):10–6.

Anda mungkin juga menyukai