Anda di halaman 1dari 199

Francisca C.

Fanggidaej

MEMOAR

PEREMPUAN REVOLUSIONER

1
Daftar Isi

Kata Pengantar : Ita Fatia Nadia – 4

1. Ayahku "belanda hitam" – 9

2. Kebudayaan Indo - 25

3. Di Sekolah E.L.S. – 30

4. Ibuku – 33

5. Memasuki Dunia Baru – 39

6. Revolusi: Perjalanan Pulang – 52

7. Bersama Pemuda Maluku – 57

8. Kongres Pemuda di Yogyakarta, Veel Succes! - 60

9. Merdeka itu Pulang – 67

10. Keputrian Pesindo – 75

11. Madiun Jadi Pusat – 79

12. Marx House – 87

13. Ke Forum Dunia dengan Paspor Kertas Merang – 94

14. "Stop the War!" – 103

15. Dari Eropa ke Kalkuta – 107

16. Dari Renville ke Madiun -115

17. Long Mars – 128

2
18. Di depan Gatot Subroto – 137

19. Aku dan Mas Karno – 139

20. Nila Lahir – 144

21. Blueprint Peristiwa Madiun, Oom Oey Wakil PKI – 147

22. John Lie Sang Penyelundup – 153

23. Meninggalkan Masa Mudaku – 161

24. INPS (Indonesian National Press Service) – 165

25. Razia Agustus 1951 – 167

26. Menjadi Anggota DPR-GR – 173

27. Konferensi Aljazair yang Batal – 177

28. Sebagai Ibu Anak-Anakku – 180

29. Penutup – 187

3
KATA PENGANTAR

KEMERDEKAAN:

IDENTITAS PRIBADI DAN KEBANGSAAN

Ita Fatia Nadia

FRANCISCA Fanggidaej, nama perempuan itu. Aku tidak pernah mengenal


nama itu sejak aku belajar sejarah, mulai dari sekolah dasar sampai aku tamat dari
jurusan sejarah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Secara samar nama itu
mulai kudengar ketika aku mulai mencari tahu nama-nama perempuan Indonesia,
Indonesia yang terlibat di dalam perjuangan kemerdekaan. Kegelisahanku muncul,
karena aku tidak menemukan nama-nama perempuan yang terlibat dalam sejarah
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Buku-buku teks sejarah yang kubaca, hanya
menyebutkan sederet nama tokoh yang semuanya laki- laki. Kalaupun ada nama
perempuan, itu karena keterlibatannya dengan seorang tokoh pejuang laki-laki,
atau berjuang di dapur umum, palang merah dan di belakang layar. Tentunya
semua keterlibatan perempuan itu dalam bentuk apa pun penting. Tapi, apakah
sebatas itu keterlibatan mereka? Ada dua tokoh perempuan yang selalu disebut
dan berjasa pada perjuangan kemerdekaan Indonesia, yaitu: SK Trimurti dan Maria
Ulfah Soebadio. Kemudian di manakah nama-nama seperti: Salawati Daud, seorang
perempuan pejuang kemerdekaan dari Sulawesi Selatan; Setiati Surasto,
perempuan pertama yang menja redaktur koran "Buruh" ketika Jakarta diduduki

4
Belanda tahun 1947 - 1949; Yetty Zain yang bersama Francisca bertanggungjawab
di Radio "Gelora Pemoeda Indonesia PESINDO, menyiarkan perjuangan Indonesia
ke dunia internasional; Rusiyati, seorang wartawati perempuan, dan Francisca
Fanggidaej? Mengapa mereka hilang dalam catatan sejarah? Apakah karena
mereka dianggap sebagai bagian dan dari gerakan kiri di Indonesia?

Menjelang musim gugur tahun lalu, aku bersama Hersti berkunjung ke


rumah Francisca. Di sebuah kompleks apartemen, yang dibangun untuk para
migran dari negara-negara dunia ketiga yang mencari asilum di Belanda. Francisca
tinggal di lantai 6, di salah satu blok apartemen itu, seorang diri, sejak tahun 1985.
Setelah hampir dua puluh tahun, Tante Sisca harus meninggalkan anak-anak dan
suaminya tercinta, hidup dalam pengasingan di negeri Tiongkok. Karena peristiwa
G30S, dia tidak pernah terlibat dan ketahui.

Dengan wajah bersih, dalam gurat-gurat usianya yang 70 tahun, tapi penuh
energi – Tante Sisca, kemudian aku memanggilnya- menyambut kami berdua
dengan penuh kehangatan. "Duduklah, ayo cerita bagaimana perkembangan
situasi dan kondisi politik Indonesia," demikian kata-kata pertama ketika
menyambut kami dengan penuh kehangatan. Itulah pertemuanku yang kedua
dengannya, di apartemennya yang bersih dan sederhana di kota kecil bernama
Zeist sekitar 30 menit naik bus dari stasiun Utrecht. yang –

Mengapa Francisca penting untuk sejarah Indonesia, khususnya sejarah


gerakan perempuan? Namanya tidak pernan ditulis dan disebut dalam teks sejarah
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tapi nama itu ditulis dalam buku peringatan
perempuan Konferensi Kalkuta yang bersejarah itu, sebagai tokoh perempuan dari
Indonesia yang berpidato untuk memberitahukan kepada dunia internasional

5
tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Konferensi Kalkuta tersebut adalah
sebuah konferensi pemuda dari negara-negara terjajah yang sedang
memperjuangkan kemerdekaan, diselenggarakan di Kota Kalkuta, India, pada 1948,
adalah embrio dari konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.

Awal keterlibatan Francisca dengan perjuangan kemerdekaan, ketika ia


bergabung dengan sekelompok intelektual muda Maluku di Surabaya. Kelompok
pimpinan Gerit Siwabessy dan Dr.Latumeten ini, membentuk diskusi- diskusi untuk
merumuskan dan memikirkan bentuk perjuangan untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia. Melalui kelompok ini, pemikiran dan kesadaran Francisca akan arti
kemederkaan dan pluralitas dimatangkan. Terlebih ketika ia dikirim ke Yogyakarta
untuk menghadiri Kongres Pemuda yang pertama di Yogyakarta pada November
1945. Francisca bertemu dengan pemuda-pemuda dari berbagai latar belakang
etnis dan kelompok, yang berkumpul untuk satu semangat yaitu: kemerdekaan.
Kongres pemuda di Yogya mengentalkan jati diri Sisca, bahwa kata "merdeka" tidak
sekadar bebas, tapi lebih dari itu bahwa "merdeka" adalah identitas. Identitas
pribadi sekaligus identitas bangsa, yang mempersatukan berbagai perbedaan dan
membangun kolektivitas. Hal ini memengaruhi semangat dan pemikiran Francisca.
Ia mulai bergabung dengan Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO), yang
memperjuangkan semangat pembebasan nasional secara nasional dan
internasional. Dan duduk di bagian penerangan Dewan Pimpinan Pusat, yang
bertugas untuk memberikan informasi kepada dunia luar tentang perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia yang masih baru berdiri, melalui radio Gelora
Pemoeda Indonesia. "Aku tidak lagi menoleh kanan-kiri, aku hanya mengabdi pada
perjuangan yang kuyakini sebagai jalan yang benar dan luhur", demikian Francisca
selalu menegaskan diri.

6
"Berjuang untuk rakyat yang tertindas dan kemerdekaan adalah ruh hidup
Francisca. Itu yang menjadi semangat ketika ia berangkat ke Praha dan India
bersama Suripno, untuk mengabarkan perjuangan rakyat Indonesia melawan
imperialisme Belanda kepada dunia. Satu hal yang menarik dari perjalanan
"perjuangan" Francisca ke Eropa dan India, adalah dibawanya serta lukisan-lukisan
S.Sudjojono dan Basuki Reksobowo, foto-foto perjuangan dan penerbitan-
penerbitan yang bertemakan pembebasan nasional, kemerdekaan, dan anti
perang. Semunya itu dibawa untuk disampaikan kepada dunia agar dunia tahu
tentang bagaimana dan untuk apa rakyat Indonesia berjuang. Keyakinan
perjuangan kemanusiaan Francisca, yang melampaui batas etnis, geografis dan
agama telah menjadi ruh dan napas hidupnya. Oleh karenanya, ia harus hidup
terpisah dari tujuh anak-anak dan suaminya tercinta, ketika peristiwa 30
September 1965 meledak.

Buku ini telah memberikan sumbangan kepada historiografi Indonesia.


Mengapa? Karena buku ini telah merekonstruksikan kembali pola penulisan sejarah
Indonesia yang berangkat dari narasi pengalaman perempuan. Mengapa narasi
pengalaman perempuan menjadi penting? Menurut Arendt, narasi adalah sebuah
medium utama untuk memahami pengalaman manusia, yang akan memberikan
arti pada kehidupan. Sedangkan biografi, adalah narasi kehidupan seseorang dalam
bentuk teks, dan " ruang dialog" antara masa lalu (si pencerita) dengan masa kini
(pembaca). Sehingga masa lalu tidak pernah "berhenti", tapi selalu berdialog dan
diberi bentuk kembali. Melalui pengingatan kembali, sejarah sesungguhnya
merupakan interpretasi masa lalu, melalui penceritaan secara selektif dall
imajinatif, dari sudut pandang masa kini.

7
Sehingga, buku biografi Francisca ini bisa disebut sebagai historiografi
perempuan, karena bersumber dari narasi pengalaman perempuan. Karena,
penulisan sejarah yang umum, sering berorientasi pada peristiwa dan tokoh (laki-
laki), tanpa menyebutkan peran dan kontribusi perempuan. Oleh sebab itu, metode
sejarah lisan dan otobiografi yang berangkat dari narasi pengalaman kehidupan
seseorang, dipilih oleh para sejarawan feminis untuk menggugat dominasi penulis
sejarah yang kebanyakan kaum laki-laki dan telah “meniadakan" peran perempuan
dalam sejarah. Dan untuk memperbaharui sejarah umum, dari kacamata
perempuan. Maka biografi hidup seorang perempuan, merupakan pergulatan
hidup perempuan untuk merebut "ruang sosial, budaya dan politik", dan mencipta
"ruang" untuk menemukan kembali identitasnya, dan mendefinisikan ulang arti
perjuangan dan keadilan dari pengalaman penindasan perempuan.

Bumi Serpong Damai, 28 Januari 2006

8
1

AYAHKU “BELANDA HITAM”

PADA 1995 ini aku memasuki usia ke-70, karena aku lahir pada 16 Agustus
1925.1 Jadi, aku lahir di dalam suatu zaman, ketika negeri dan rakyat Indonesia
masih dijajah. Dijajah oleh Belanda. Aku datang dari keluarga yang menjadi produk
politik penjajahan Belanda, yang hendak menggunakan anak-anak pribumi untuk
menegakkan kekuasaan mereka atas anak-anak pribumi itu sendiri. Dalam
kerangka itulah, maka ayahku mendapatkan pendidikannya di sekolah pangreh-
praja, Stovia.

Nama ayahku Gottlieb. Itu nama Jerman sebenarnya. Pendeta-pendeta


masyarakat Kristen kami ketika itu kebanyakan memang orang-orang Jerman.
Barangkali pengaruh dari itulah ayahku mendapat nama Gottlieb. Gottlieb
Fanggidaej. Sedang nama ibuku Magda Mael. Barangkali kata “mael" itu berasal
dari kata "ismail", yang kemudian diubah ketika Ibu menjadi umat Kristen. Tapi ini
semata-mata dugaanku pribadi. Begitulah maka ibuku lalu dikenal sebagai
bernama Magda Mael. Ibuku seorang perempuan biasa, berasal dari Pulau Timor.
Sedangkan ayahku dari pulau Roti.

Prof. Moh. Yamin, sepanjang yang kuingat, pernah menulis tentang Pulau
Roti, dan keluarga-keluarga terkemuka serta kaum intelektual dari pulau ini. Pulau
Timor, menurut Prof. Yamin. mendapatkan tokoh-tokoh intelektual mereka dari
Pulau Rori yang kecil itu. Keluargaku dari garis ayah juga demikian. Mereka
tergolong keluarga intelektual, atau setidak-tidaknya semi – intelektual.

9
Suatu waktu aku bersama Tachsin, ketika itu pemimpin redaksi harian
Bintang Timur, menjemput Bung Karno atau Subandrio - aku lupa - di lapangan
terbang Kemayoran Jakarta. Ketika Yamin mendengar Tachsin menyebut namaku,
ia lalu bercerita tentang buku yang pernah ditulisnya. Buku tentang Pulau Roti dan
peranan kaum intelektual setempat, antara lain disebutnya nama kakekku yang,
sekali lagi menurut Yamin, penerjemah Injil dalam bahasa Melayu-Timor.

Pada kesempatan itu Yamin juga mengatakan, di bagian-bagian timur


Indonesia yang Kristen, sudah lama bahasa Melayu digunakan para pendeta dalam
khotbah-khotbah mereka. Beda dengan di Jawa atau di tempat lain, misalnya
Batak. Di sana ada Gereja Kristen Jawa, yang menggunakan bahasa Jawa, dan di
Batak ada Huria Kristen Batak yang menggunakan bahasa Batak. Tetapi di Ambon
dan Timor "bahasa gereja" yang digunakan, bahasa Melayu setempat. Walaupun
begitu gereja di sana tidak disebut sebagai, misalnya, Gereja Kristen Ambon atau
Gereja Kristen Timor. Dalam hal ini aku tidak hendak menghubungkan, dengan
menduga-duga atau membanding-bandingkan, tentang kesadaran atau semangat
keindonesiaan.

Tapi ayahku sendiri tidak berhasil menyelesaikan pendidikannya di Stovia. Ia


dikeluarkan dari sekolah, karena terlibat dalam aksi pernyataan ketidakpuasan para
mahasiswa Indonesia terhadap pemerintah Hindia Belanda pada saat itu. Aksi
ketidakpuasan tentang apa dan kapan, aku tidak begitu mengerti. Juga apakah ada
hubungannya dengan gerakan “Budi Utomo”, aku juga tidak tahu. Karena masalah-
masalah seperti itu hampir tidak pernah kudengar menjadi pembicaraan di tengah
kehidupan schari-hari keluarga kami. Soal politik dan soal-soal sehubungan dengan
dunia politik sangat tabu bagi keluarga kami.

10
Keluar dari Stovia, entah bagaimana prosesnya, ayahku lalu bekerja sebagai
pegawai negara di bidang bangunan air, seperti pembikinan bendungan dan
terutama saluran-saluran irigasi. Daerah kerjanya boleh dibilang meliputi seluruh
Hindia Belanda, tapi terutama di Pulau Jawa, dan lebih khusus lagi di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Sampai pada tahun-tahun awal kemerdekaan, nama Gottlieb
Fanggidaej masih banyak bisa ditemukan di bangunan-bangunan air di sana. Ia
terkadang juga pergi ke Sumatra dan Ambon, untuk membangun bendungan,
jembatan dan juga jalan-jalan atau jaringan lalu lintas darat.

la menjadi seorang yang ahli, untuk saat itu dan di tengah kalangannya di
Timor, dalam ilmu dan praktik menguasai air. Aku juga tidak mengerti, bagaimana
dari seorang yang tidak berpendidikan untuk bidang bangunan air, ia kemudian
berhasil menjadi pejabat yang handal di bidangnya.

Sesudah dari Stovia, dia entah ke mana dan belajar apa. Tapi yang kemudian
aku ketahui, bahwa dia sudah menjadi seorang hoofdopzichter atau kepala
pengawas di BOW, yaitu Burgerlijke Openbare Werken atau yang kemudian, di
zaman Republik, dikenal sebagai Dinas atau Djawatan Pekerjaan Umum (DPU).
Sebagai pegawai BOW ia mempunyai kedudukan yang agak tinggi. Sehingga untuk
wilayah kabupaten di tempat kami tinggal, boleh dibilang ia termasuk pejabat dari
eselon ke-3. Hirarki pembesar wilayah kabupaten ketika itu, berturut-turut dari
atas ke bawah ialah: asisten residen, kontrolir, regent atau bupati, dan kemudian
ayahku sebagai Kepala Pengawas DPU tempat kami itu.

Oleh kedudukannya yang demikian, maka di zaman itu Gottlieb Fanggidaej


termasuk golongan orang “belanda hitam”. Mengapa disebut "belanda hitam"?
Oleh karena dia termasuk dalam golongan masyarakat yang gelijkgesteld atau

11
“yang dipersamakan“ (dengan Belanda/Eropa). Artinya, seseorang yang secara
hukum menurut lahirnya bukan Belanda atau “non-pri” lainnya, tapi dimasukkan di
dalam golongan masyarakat Belanda dan di bawah kewenangan hukum Belanda.
Atau, katakanlah, orang yang secara hukum diakui sebagai "dipersamakan" dengan
orang Belanda.

Di keluarga kami, status demikian sudah mulai dimiliki sejak dan oleh ayah
dari ayahku. Jadi sejak opa atau kakekku, keluarga Fanggidaej sudah memperoleh
pengakuan berstatus gelijkstelling demikian, selain atas dasar prestasi, tentu saja
orang harus mau dan mampu membayar dengan sejumlah uang tertentu. Sebagai
orang yang secara hukum diakui gelijkgesteld dengan golongan masyarakat
Belanda/Eropa, ia lalu akan mendapat status dan fasilitas terutama dalam
kedudukan - sama seperti yang diberlakukan bagi golongan masyarakat Belanda.

Apa pekerjaan Opa semasa hidupnya aku tidak banyak tahu. Juga ayah-ibu
tidak banyak menceritakan tentang orangtua mereka pada kami. Tetapi yang aku
tahu Opa sangat aktif dalam kegiatan kegerejaan. Dia ikut menerjemahkan edisi
pertama Kitab Injil berbahasa Melayu. Injil Bahasa Melayu, bukan bahasa
Indonesia. Injil Protestan, bukan Injil Katolik. Nama kakekku tentu saja juga
Fanggidaej. Tapi aku tidak tahu, siapa nama kecil atau nama depan kakekku itu.

Adapun mengenai ayahku sebagai mahasiswa ia dikeluarkan dari


sekolahnya, Stovia, karena terlibat dalam aksi pembangkangan, tetapi sebagai
amtenar ia menjadi sangat loyal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Barangkali
karena itu juga, maka ia lalu verloochenen (Bel.: mengingkari) terhadap jatidiri
sendiri. Aku tidak bermaksud menyalahkan atau menghukum ayahku sendiri, tapi
aku sekadar ingin mengkonstatasi kenyataan. Sebagai konsekuensi dari

12
loyalitasnya terhadap Belanda dan pemerintah Hindia Belanda itulah, maka ayah
lalu mengingkari jatidirinya yang pribumi. Mengingkari bukan mengkhianati! Yaitu
"sekadar" "menyembunyikan" kulit- hitam dirinya. Dia sering mengatakan, ketika
itu, bahwa kami ini bukan Inlanders. Kami Belanda! Barangkali orang akan membela
pendirian ayahku, dengan membantah kata-kataku di atas, yaitu bahwa "kami
memang mempunyai status hukum sebagai Belanda"!

Status hukum! Tetapi seperti perihalku sekarang, misalnya. Status hukumku


sekarang ini juga Belanda. Tapi tidak pernah aku menyembunyikan kulit hitamku.
Tidak pernah satu kali pun aku bilang: "Aku Belanda". Masalah gelijkstelling,
menurutku, bukan sekadar masalah mencari kesamaan status hukum. Tetapi juga
usaha penyamaan secara mental. Mengapa aku bilang secara mental? Pertama, di
rumah tidak boleh ada satu katapun bahasa Melayu. Tidak boleh! Hanya ibu dan
ayah saja, kalau mau bicara tentang sesuatu yang tidak boleh didengar oleh anak-
anak, maka mereka menggunakan bahasa Melayu Timor. Sengaja, agar kami tidak
bisa mengerti. Jadi bahasa Melayu, di tengah keluarga kami, justru disikapi sebagai
"bahasa asing".

Tentang grootvader atau kakek dari pihak ayah, aku hanya ingat melalui satu
foto yang dipasang di dinding, dan satu foto ketika dia meninggal. Di Roti ada
kebiasaan kalau orang meninggal, sesudah di dalam peti mati, dibikin foto. Tapi
foto kenangan semacam itu tidak aku lihat dari pihak ibu. Juga oma atau
grootmoeder dari pihak ayah, sama sekali tidak aku kenal. Tapi keluarga Fanggidaej
agaknya memang tergolong keluarga terkemuka di Roti. Opa seorang pendeta
Kristen, berasal dari keluarga raja di daerah Baubau. Seseorang dipandang sebagai
raja, jangan disamakan dengan raja di pulau Jawa atau Sumatra, dilihat dari posisi
sosialnya sebagai pemilik sekian banyak kerbau. Jadi ia disebut raja, berdasar
13
pemilikan kekayaan material – dalam hal pulau Roti berupa kerbau-yang
menyebabkan seseorang menjadi mempunyai status sosial lebih tinggi dari
penduduk biasa lainnya. Barangkali istilah Belanda negorij memang lebih tepat
untuk menggambarkan wilayah kepemilikan raja di sana-walaupun kata Jawa
"negara", daerah wilayah kekuasaan raja, pasti juga berasal dari kata yang sama
"negorij itu.

Tentang Opa yang berasal dari keluarga raja yang sangat terkemuka, dan
bahwa dari keluarga ini banyak melahirkan kaum intelektual, memang sering aku
dengar dari cerita-cerita ayah. Dia selalu senang menceritakan hal ini, sengaja
untuk menekankan kepada anak-anaknya, tentang betapa pentingnya ilmu
pengetahuan dan pentingnya kami belajar. Tapi jika hanya di Roti, ilmu itu tidak
cukup tersedia. "Hanya di Jawa kita akan bisa mendapatkannya," kata ayah.
Agaknya yang dimaksud ayah ialah sekolah, di mana diajarkan "ilmu" atau
pengetahuan modern. Termasuk dalam hal ini, misalnya penguasaan bahasa
Melayu, yang ketika itu sudah dipandang sebagai salah satu "ilmu". Karena dengan
sarana bahasa Melayu, apalagi bahasa Belanda, orang dimungkinkan untuk
memasuki pergaulan modern. Seseorang sudah dipandang sebagai "ilmuwan" jika
ia bisa menerjemahkan teks dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Melayu.
Begitulah halnya dengan opa, seperti sudah kuceritakan, ia tentu menguasai
dengan baik bahasa Belanda dan bahasa Melayu, sehingga karenanya mampu
menerjemahkan "Bibel Belanda" menjadi "Injil Melayu". Dia seorang pendeta, yaitu
satu lapisan dalam masyarakat yang berpengetahuan. Untuk sebuah negorij seperti
Baubau, dan dalam zaman akhir abad ke-19, tentu ini suatu hal biasa yang luar
biasa.

14
Ada ilustrasi kisah keluarga, yaitu tentang kebersamaanku dengan ayah.
Ketika itu kami sudah tinggal di sebuah desa di Madiun, desa Barat namanya. Aku
masih bocah, naik mobil "Ford" yang sudah tua sekali. Ayah harus memeriksa
beberapa proyek pembangunan bangunan-bangunan air, di mana banyak sekali
bekerja buruh-buruh bangunan yang orang Jawa. Orang menamakan mereka
itu,"kuli" bangunan. Di dalam mobil, ayah bercerita tentang Opa. Entah mengapa,
tapi mungkin sebagai jawaban terhadap pertanyaanku. Ada cuplikan kejadian yang
menyebabkan aku tidak bisa melupakan pengalaman masa bocah itu.

Ketika ayah menghentikan mobilnya dan turun, aku pun ikut turun. Ayah
menggandeng tanganku. Aku tidak ingat lagi, mengapa saat itu hanya aku saja yang
ikut ayah. Mungkin aku pulang sekolah, dan ayah menjemput lalu terus
membawaku ke tempat itu. Walaupun begitu aku memang merasa menjadi anak
yang paling disayang oleh ayah. Tapi entahlah! Mungkin buat ayah sama saja,
antara aku dan kakak-kakak serta adik-adikku. Hanya saja, karena aku ada di
tengah-tengah semua kakak dan adikku, sehingga terkadang aku merasa sendirian.
Untuk bersama kakak-kakakku, aku menjadi paling kecil, tapi untuk bersama adik-
adikku, aku menjadi yang paling besar. Atau, mungkin juga aku yang tidak merasa
senang untuk bersama "anak-anak kecil". Tapi kalau aku mau “ke atas", aku ingat,
sering kakak-kakakku lalu bersama-sama menyanyikan lagu olok-olok 'Kleine potjes
hebben grote oren’2. Oleh perasaan kesendirian itulah aku lalu lebih banyak
bersama ayahku.

Kuli-kuli bangunan yang orang-orang Jawa itu, baik yang buruh maupun
mandor-mandor mereka, begitu melihat ayah turun dari mobil, lalu serentak duduk
berjongkok. Melihat itu entah bagaimana kesan dan perasaan bocahku saat itu, tapi
yang aku ingat ayah lalu bercerita tentang Opa yang seorang pendeta dan
15
keturunan raja. Namun begitu perasaan aneh yang timbul karena adanya
perbedaan status antara sesama manusia baru kualami kemudian. Mungkin
sesudah berumur 8 atau 9 tahun, karena ketika itu aku sudah duduk di kelas 4 di
E.L.S. (Europese Lagere School - Sekolah Dasar Belanda) Situbondo.

Waktu itu tanggal 1 Januari. Ibuku berpakaian besar. Karena akan menerima
tamu semua pegawai kantor. Pendapa dan halaman depan penuh sekali. Ayah dan
ibuku duduk di kursi, di sisi sebelah sini dari pendapa. Aku melihat mereka, satu
demi satu, jika naik pendapa sambil berjalan jongkok, dan jika sudah berada di
depan kursi ayah dan ibuku mereka mengangkat sembah. Ayah ibuku berpakaian
Eropa, sedangkan para pegawai kantor berpakaian Jawa dengan kain dan ikat
kepala. Ketika itulah aku merasa, ada rasa tidak enak menyentuh hatiku Aku lalu
bicara bisik-bisik pada kakakku-ia sudah meninggal pada 1994 yang lalu. Entah apa
yang kukatakan, tapi kakakku menjawab dengan kata-kata sangat tajam dan
dengan nada marah. Aku tidak bisa meraba, bagaimana perasaan ayah dan ibuku.
Apakah mereka menikmati, merasa risih, atau menerimanya sebagai kewajaran
dengan bertameng sebagai keturunan raja dan la creme de la creme dari
masyarakat mereka di Roti dan Timor. Aku juga tidak akan mengatakan ayahku
seorang yang tidak berpolitik, setidaknya jika mengingat koran-koran yang
dilangganinya. Selain De Locomotief yang revolusioner, juga De Stem, koran IEV
(Indo-Europeesche Verbond; Perserikatan Indo-Eropa)3 yang sangat reaksioner.
Ibuku terutama yang kulihat lebih banyak membaca ketimbang ayah, karena ia
selalu di rumah sehingga aku juga selalu melihatnya. Ibu juga banyak membaca
buku, walaupun buku-buku picisan yang umum dibaca perempuan rumahtangga
Belanda dan Indo- Belanda saat itu. Kalau membaca koran yang dibacanya lebih
banyak berita-berita sensasi, seperti pembunuhan, pencurian dan semacamnya.

16
Sebagai perempuan dan laki-laki dari kalangan elite, ibu dan ayahku juga
suka olahraga. Tentu saja jenis-jenis olahraga 'kelas atas', seperti tenis, bridge,
bilyar dan bowling. Selain tenis dan bowling ibu juga punya hobi masak, mendesain
dan menjahit pakaian. Semuanya itu dia kerjakan, sehingga benar-benar menjadi
pandai, untuk tidak kukatakan 'ahli'. Ia mempunyai banyak majalah-majalah mode
dari Eropa yang paling mutakhir. Aku menyesal, dulu aku tidak peduli pada ibuku.
Tapi jika kukenang sekarang, harus aku katakan, dia sejatinya seorang perempuan
yang hebat.

Di atas sudah kuceritakan tentang timbulnya perasaan keheran-herananku,


ketika melihat orang-orang Jawa yang berjalan jongkok dan bahkan menyembah di
depan orangtuaku. Melihat pakaian mereka yang berbeda, dan langsung
menyiratkan kedudukan mereka yang inferior di depan busana Eropa kedua
orangtuaku. Juga sikap mereka yang ketika menunggu giliran 'merangkak' di
pendapa, berdiri dengan kedua tangan ngapurancang,4 di depan ayah-ibu yang
duduk tenang di kursi.

Saat itulah dalam diriku tumbuh benih kesadaran tentang adanya perbedaan
status sosial antarmanusia, walaupun mereka itu mempunyai kesamaan warna
kulit. Ada rasa heran di hati. Kesadaran demikian itu agaknya tetap mengeram di
bawah sadar, sampai suatu ketika disulut oleh pengalaman yang lebih menyentuh.
Aku merasa sangat tersinggung, sehingga menumbuhkan kesadaran baru, yaitu
kesadaran tentang perbedaan warna kulit.

Suatu ketika kami sekeluarga pergi ke Negeri Belanda, dengan menggunakan


hak cuti ayah sebagai pegawai tinggi pemerintah Hindia Belanda. Cuti seluruh
keluarga dengan seluruh biaya ditanggung pemerintah begini, sepanjang ingatan

17
bocahku, sejak aku lahir pernah dua kali kami lakukan. Kelak sesudah aku bisa
berpikir, tentu saja ini bukan cuti gratis. Karena sejatinya semuanya telah kami beli
dengan menjual bloedrecht kami sebagai bangsa.

Kapal berlabuh di Medan, pertama-tama, dan kemudian melanjutkan


pelayarannya ke Penang. Di sini ada tempat-tempat rekreasi, termasuk kolam
renang, yang hanya boleh dimasuki orang kulit putih. Ada juga orang kulit berwarna
masuk di sana, walaupun hanya satu-dua orang saja. Maka kami semua masuk dan
berenang di "kolam kulit putih" itu. Aku berumur sepuluh tahun waktu itu. Ketika
ayah keluar dari tempar berenang dengan pakaian renang, ia berpapasan dengan
seorang Belanda. Badannya besar dan kekar, kulitnya merah, dan bermata biru.
Tangan si Belanda itu menepuk-nepuk ayah, dari perut sampai ke kepala.

"Zo, zwarte dikkertje!" Kudengar kata-katanya yang diucapkannya dengan


nada congkak. "Heb je lekker gezwommen?’5

Waktu itu aku masih kecil. Aku melihat ayahku diam, seperti tidak terjadi
apa-apa. Aneh sekali, pikirku. Padahal aku, melihat itu, seketika merasa marah
sekali. Aku garuk menyerang Belanda congkak itu dengan tanganku. Tapi ayah
menarikku. Aku menurut tanpa protes. Tapi jika sekarang kurenungkan kembali,
mungkin kejadian itu sangat berkesan pada pikiran dan perasaanku, sehingga
berubah menjadi semacam leidstar bagi perjalanan hidupku selanjutnya.
Seandainya tidak ada revolusi di Indonesia, dan aku tidak ikut melibatkan diri di
dalamnya, barangkali akan bisa menjadi trauma sepanjang hidupku.

Ketika itu kami berenam sesaudara, lima perempuan dan satu laki-laki. Aku
lahir di Timor, sebagai anak yang ke-4. Ketika aku berumur sekitar dua bulan,
ayahku dipindah dari Timor. Entah ke mana, aku tidak tahu. Aku lahir di Noel Mina,

18
suatu desa kecil sekali. Menurut ceritanya aku lahir di tengah perjalanan ayah dan
ibuku menuju ke pesanggrahan. Aku lahir di tengah hutan, di atas kuda tunggangan
ibuku.

Ibuku masih dalam umur muda ketika aku lahir. Jarak antara kami
bersaudara sekitar dua tahun. Anak yang pertama segera lahir tidak lama sesudah
perkawinan kedua orang tua kami. Itu berarti aku sudah lahir ketika umur
perkawinan ayah-ibu memasuki tahun yang ke-8. Sehingga bukan hanya masih
berumur muda mereka itu, tapi karir ayahku pun masih sedang pada taraf awal.
Maka, jika sekarang aku renungkan, aku pun bisa mengerti tentang mental ayahku
yang demikian itu. Begitu ia merasa berhasil dalam memulai karirnya, begitu ia
segera merasa sebagai Belanda. Sedemikian jauh, sampai kami pun menjadi
terbiasa memandang rendah kepada orang-orang yang berkulit sama seperti kami,
tetapi yang berkedudukan tidak sama dengan kami.

Misalnya saja ayahku. Dia mempunyai pegawai sekitar 20 orang. Semuanya


hitam seperti kami, tapi semuanya inlanders, beda dari kami. Ayah mempunyai
kantor sendiri, agak luas, terletak di belakang rumah kami. Kantor ini bagian dari
kantor BOW. Ada memang kepala kantor di sini. Tapi ia tentu saja tunduk kepada
ayah saya, yang berpangkat hoofdopzichter. Selain 20 orang pegawai untuk
pekerjaan administrasi, ayah masih mempunyai sekitar 50 - 60 orang tenaga buruh
sebagai pelaksana pekerjaan bangunan air. Mereka inilah para “kuli” dan mandor
mereka, tenaga pelaksana pekerjaan pembangunan waduk, menggali saluran
irigasi, menjaga dan merawat bendungan dan lain-lain.

Oleh kedudukan mereka di depan para pegawai kantor, para buruh tenaga
kasar ini sebenarnya ikut membentuk dan melestarikan kebiasaan dan tatakrama

19
tempo dulu. Misalnya, jika harus berbicara dengan orang yang dipandang sebagai
atasan, mereka selalu dengan duduk bersila. Jangankan terhadap bupati atau
terhadap ayahku, bahkan terhadap kami anak-anak – karena mereka memandang
anak atasan – pun mereka bersikap begitu. Merunduk-runduk jika berjalan,
ngapurancang ketika berdiri, dan bersila jika harus duduk menghadap. Padahal,
tahu apa seorang Fanggidaej, bahkan anak-anak Fanggidaej, tentang tatakrama
Jawa? Sementara itu ayahku dan kami anak-anaknya, yang sebenarnya "tidak tahu
Jawa", diam-diam menikmati rasa pemuliaan yang berlebihan itu.

Sekarang tentu saja aku mengerti, tidak biasa lagi, dan memang tidak bisa
lagi disikapi demikian. Jika aku kenang kembali pengalamanku masa kanak-kanak
itu, terasa datang kesadaran bahwa sejatinya aku mempunyai identitasku sendiri.
Identitas yang bagaikan bumi dan langit jika dihadapkan dengan identitas ayahku
dan yang dibangun oleh ayahku. Lalu terkadang timbul pertanyaan di dalam hati:
Apakah ini semua tidak ikut membentuk watak kolonial pada diri seseorang,
walaupun seseorang itu adalah orang-orang pribumi itu sendiri? Watak penguasa
kolonial tumbuh menggantikan watak pribumi yang terjajah, sehingga mereka
menganggap diri sendiri menjadi pengganti si putih penguasa. Status gelijkstelling
tidak lain ialah status untuk bisa berwatak menjadi penindas, walaupun pada
dirinya masih kelihatan dalam sosok pribumi yang hitam, karena sosok sebagai
Belanda yang putih tidak ada dan tidak kelihatan padanya.

Keadaan demikian itu aku ingat terutama ketika kami tinggal di Situbondo,
dan kemudian juga sesudah di Barat, satu kota kecamatan di Madiun Jawa Timur.
Waktu itu umurku sekitar 9-10 tahun. Sekitar tahun 1932 atau 1933. Masih jauh
sebelum PD II meletus. Aku sudah bersekolah di ELS (Europesche Lagere School)
Madiun, yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa (Belanda), karena di Barat
20
tidak ada sekolah Belanda, hanya sekolah desa. Biasanya saya berangkat dengan
naik boemeltrein atau “sepur kluthuk" orang Jawa bilang, yang berhenti di setiap
stasiun itu, dan pulang kadang-kadang dijemput ayah dengan mobil.

Rumah tempat tinggal kami di Barat, sebuah rumah sangat yang ada kuno
besar, dengan pendapa di depan yang luas. Lalu, di yang belakang pendapa, agak
sedikit naik, sebuah bangunan rumah induk dengan banyak kamar – barangkali
sekitar 13 atau 14 kamar! Kebun di depan dan di sekeliling rumah juga sangat luas.
Ada dua tukang kebun untuk mengurusinya setiap hari. Tidak ada teman bermain
di rumah selain dengan sesama saudara sendiri. Seingatku hanya ada satu keluarga
tetangga agak jauh yang kadang datang berkunjung ke rumah. Ayah keluarga ini
bernama panggilan Sempu. Seorang polisi yang tentunya berpangkat tinggi,
komisaris atau entah apa, tapi pendeknya seorang opsir. Ia lancar berbicara
Belanda. Selain dia, tidak pernah ada pribumi yang datang sebagai tamu di rumah.
Jika terkadang ada kesibukan di rumah, dan banyak orang-orang datang, yang
kulihat mereka orang-orang kulit putih saja. Orang Belanda atau terkadang juga
orang Indo. Orang-orang sawomatang hanyalah para pegawai atau buruh BOW,
atau dari kantor-kantor lain yang ada hubungan kerja dengan BOW.

Jadi, kami ketika itu tanpa sadar dibesarkan sebagai orang Belanda, berbicara
bahasa Belanda, tapi tanpa kebudayaan Belanda. Kebudayaan yang aku rasai saat
itu, barangkali harus kusebut sebagai kebudayaan campuran. Maksudnya adalah
kami bicara dalam bahasa Belanda, bacaan sehari-hari dalam bahasa Belanda, kami
menganut tradisi dan merayakan pesta-pesta dan kebiasaan-kebiasaan Belanda
atau Barat, seperti Sinterklaas, pesta Natal, old and new, dan keramaian-keramaian
semacam itu. Makan kami sehari-hari juga dengan menu Belanda. Satu-dua kali
makan nasi juga, tapi selebihnya selalu makanan Belanda atau Barat. Ibu bahkan
21
lebih banyak menyediakan roti atau kentang ketimbang nasi. Pembantu rumah
tangga kami ada tujuh orang. Tujuh orang! Kalau aku renungkan kembali semuanya
itu, aku heran tapi sekaligus bersyukur. Bagaimana semuanya itu akan bisa berakhir
dalam kehidupanku jika tidak ada revolusi? Ada revolusi pun sesungguhnya, jika
aku renungkan dalam-dalam, masih tetap terasa aneh. Dalam perasaanku, daya
dan dampak revolusi sungguh seperti mukjizat.

Bayangkanlah! Pengaruh dan daya dari status gelijkstelling, kami tanpa sadar
menjadi ikut menghisap dan menindas. Menggantikan si penguasa putih. Kami
mendapat segala fasilitas sebagai penguasa dan penindas. Kami dibesarkan di
dalam buaian adat dan kebiasaan hidup untuk selalu diladeni, oleh orang-orang
yang ketika itu kami anggap sebagai sudah semestinya. Sudah semestinya kami
diladeni mereka, dan mereka meladeni kami. Mereka pun, para pelayan itu,
agaknya juga menganggap sudah semestinya. Adalah ketentuan nasib, yang tak
bisa ditawar-tawar, bahwa mereka harus di bawah.

Dasar pemahamanku tentang kemanusiaan mula-mula tumbuh dari Injil.


Oleh karena itu tidak pernah timbul konflik dalam batinku, antara ajaran
kemanusiaan Injil yang telah merasuk dengan kenyataan hidup kolonial sehari-hari
yang sejatinya berlawanan. Bahwa ada Inlanders yang duduk bersila di lantai, dan
ada Kulit Putih yang duduk di kursi atau berdiri berkacak-pinggang, aku pahami
sebagai sesuatu yang memang "sudah begitu". Sudah "takdir" masing-masing,
bahwa "ada di bawah" dan "ada yang di atas". Maka yang penting saling menjaga,
agar selalu dalam keadaan yang tertata. Selalu harmonis. Untuk itu ayah, misalnya,
selalu menasihati jangan pernah berbuat jahat terhadap sesama, tidak boleh
memaki-maki pembantu, dan hal-hal keseharian semacam itu. Misalnya, kalau
tidak mau mandi, lalu pembantu memaksa membawa kami ke kamar mandi, dan
22
kami membentak atau memaki-makinya, kalau terdengar ayah-ibu kami pasti
dimarahi. Itu tidak boleh. Tidak baik. Jadi, kami selalu diajari bersikap sopan
terhadap sesama, tapi tetap harus "ada di atas" dan tetap diladeni mereka "yang di
bawah".

Aku lalu teringat kebiasaan ayah, mengikuti kebiasaan Belanda, pada setiap
sekitar jam empat sore. Yaitu duduk sekeluarga bersantai sambil minum teh di
beranda atau ruang depan rumah. Ada dua meja bundar besar di sana, satu meja
bundar kecil dengan kursi-kursi kecil untuk anak-anak kecil. Lalu masih ada lagi satu
meja bundar besar dengan kursi-kursi rotan, untuk persediaan jika ada tamu-tamu
yang datang. Tidak lama kemudian dua orang pelayan dari dapur datang membawa
teh. Mula-mula mereka berjalan biasa saja. Tapi segera jongkok, seketika setelah
mendekat ke tempat kami duduk. Yang seorang menyangga nampan hidangan, dan
yang seorang lagi menaruh cangkir demi cangkir di depan kami, lalu menuanginya
dengan air teh masih Itu perihal biasa, bahwa aku duduk di kursi dilayani, dan
mereka jongkok di lantai melayani kami. Karena hal biasa, yang sudah dengan
"semestinya begitu", maka aku sama sekali tidak pernah menyadarinya.

Walaupun ayah seorang Kristen yang taat, tapi ia tidak pernah memaksakan
ajaran Injil kepada kami, kecuali tentu saja terhadap Dasa Firman Allah itu kami
tidak boleh abai. Dalam praktik sehari-hari termasuk, misalnya, sembahyang
sebelum dan sesudah makan dan tidur, di kamar kami ditempel kertas yang
bertuliskan Sepuluh Firman Allah itu. Jadi, jika aku merenungkannya sekarang, Injil
diajarkan oleh ayahku kepada kami bukan keimanannya, tapi ajaran moralnya yang
ditekankan.

23
Aku dibesarkan dalam suasana pendidikan gereja Protestan. Dalam hal ini,
aku dan keenam saudara-saudaraku, lebih mengikuti gaya hidup ayah ketimbang
ibu. Karena ibuku tidak pernah ke gereja dengan hatinya. la sangat liberal dalam
masalah kepercayaan. Jika ia pergi ke gereja kurasa lebih banyak karena ingin
memperlihatkan kebersamaannya dengan ayah, baik di depan anak-anaknya
maupun di depan pandangan masyarakat. Terkadang aku malah merasakan ia
senang ke gereja jika hendak memperlihatkan pakaian dan topinya yang baru. Ibu
memang senang dandan, dan juga sangat pandai berdandan. Dibanding dengan
orang-orang perempuan Belanda dan Barat umumnya, ibuku paling charmant.
Paling mempunyai citarasa dalam berpakaian. Beda dengan ayah. Dia memang
seorang umat Gereja yang saleh, sangat mendalam imannya. Ini tidak aneh,
mengingat kakekku seorang penerjemah injil!

Sebagai seorang Kristen yang beriman mendalam, ayah tentu saja sangat
keras dalam mendidik anak-anaknya agar selalu patuh pada De Tien Geboden, yaitu
Dasa Firman atau Peringatan Allah berupa sepuluh butir larangan itu.

24
2

KEBUDAYAAN INDO

YANG dinamakan kebudayaan Indo-Belanda mungkin serupa dengan apa


yang disebut kebudayaan Mestiso pada orang-orang keturunan Spanyol dan Indian
Amerika. Kalau aku ingat kembali, kadang timbul pertanyaan pada diri sendiri.
Katakanlah, misalnya, tentang kebudayaan Indo atau bahkan kebudayaan Barat,
yang bisa menjadi kebudayaan yang mendarah-daging dalam diri seseorang.
Sesungguhnya tidak perlu dia berusaha mencari jalan, agar mendapat pengakuan
dari si anak atau si orang putih, entah dia guru atau atasan di mata masyarakat. Di
sekolah kami, ELS, tidak ada anak Tionghoa. Anak Indonesia pun - barangkali lebih
tepat pribumi, karena kata Indonesia saat itu belum ada - sepanjang ingatanku,
hanya ada tiga orang yang berasal dari dua keluarga Indonesia. Dua anak dari tiga
itu adalah anak-anak Regent di Situbondo. Sesudah kami pindah ke Madiun, tidak
ada satu orang pun anak pribumi yang bersekolah di ELS.

Ketiga anak itulah yang menjadi teman sepermainanku. Kami bermain di


rumah, atau terkadang di sositet atau kamar bola. Di tempat sositet ini tidak pernah
ada orang pribumi, sekalipun dia orang berpangkat. Bahkan regent juga tidak
pernah datang ke sositet, walaupun sebenarnya tidak terlarang baginya untuk
masuk ke sana. Jadi, hanya ayahku saja yang suka datang biasanya pada akhir
pekan, untuk bermain bola sodok, bridge, atau sekadar minum-minum dan ngobrol
bersama orang-orang Eropa dan Indo. Regent hanya datang pada 30 Agustus, yaitu
untuk menghadiri hari raya Ratu atau Koninginnedag yang diramaikan di sana. Tapi
dia juga ikut bermain tenis bersama orang-orang Belanda, seperti administratur
25
dan kontrolir Lapangan tenis itu luas sekali, terletak di belakang halaman rumah
kami.

Aku senang menyanyi. Tentu saja nyanyian dan bacaan-bacaan dalam


bahasa Belanda. Buku nyanyian Kun je nog zingen, zing dan mee, yang ditulis dalam
empat suara itu, sangat aku nikmati. Lagu-lagu dan liriknya sangat indah. Tapi aku
tidak suka berdansa, seperti gadis-gadis Belanda dan Indo umumnya. Aku juga
senang membaca buku-buku dongeng. Tentu saja dongeng-dongeng tentang
kehidupan orang Belanda atau Barat, tetapi memang bagus sekali baik isi maupun
penceritaannya.

Buku-buku yang menurutku memang mempunyai nilai literer yang semacam


itulah yang menjadi bacaan kami, murid-murid kelas I Sekolah Menengah Pertama.
Misalnya, buku-buku Pietje Bell dari Chris van Abkoude, Dik Trom dari Kieviet, dan
karangan- karangan Joop van Duin, Andersen, dan Grimm. Buku-buku itu tebal-
tebal dan ada yang berjilid-jilid serta bergambar. Setiap hari ulang tahunku, aku
selalu minta hadiah buku-buku dongeng seperti itu. Pendek kata, buku bacaanku
semuanya dari khazanah literatur Belanda, begitu juga perbendaharaan
kesenianku adalah seni Belanda atau Barat. Aku tidak mengenal kesenian
Indonesia, apalagi kesenian Timor atau Maluku. Bahkan ketika itu, aku tidak tahu,
bahwa ada satu pulau dan penduduk yang bernama Maluku. Dulu aku hanya
mengenal Ambon, bukan Maluku.

Dalam suasana dan latar belakang kultural yang tidak berakar itulah, aku
atau kami secara tidak sadar – mungkin ada juga yang secara sadar-mencari
identitas ke komunitas dan kultur Indo. Mengapa Indo? Karena aku tidak pernah

26
merasa diterima oleh masyarakat Belanda. Bahkan juga di tengah pergaulan
sesama anak-anak pun tidak. Teman-teman kami semua anak-anak Belanda.
Mereka selalu kami undang dan datang bermain ke rumah. Tapi tidak sebaliknya.
Tidak pernah mereka mengundang kami untuk bermain ke rumah mereka.
Orientasi kami lalu ke kalangan Indo, karena mereka mau menerima kami. Kami
merasa seperti mendapat "kemurahan hati" dari komunitas Indo ini. Kemurahan
hati, bukan kehangatan hati: karena mereka tahu, seperti juga kami tahu, bahwa
kami bukan mereka dan sebaliknya pun mereka bukan kami. Mereka mau
bermurah hati pada kami karena, di satu pihak, mereka juga merasa tidak diterima
oleh masyarakat Belanda dan di pihak lain, karena mereka dan kami sama-sama
berbahasa Belanda, intelektualitas Belanda, bergaya hidup dan pembawaan yang
serba Belanda. Secara sosial komunitas Indo ini merupakan satu kelompok yang
oleh Belanda diberi kemudahan di atas orang-orang pribumi, orang-orang inlanders
alias golongan masyarakat yang paling bawah. Mereka itulah inlanders, sedangkan
kami bukan. Kami akan naik pitam jika dibilang inlanders. Orang Jawa yang
berstatus gelijkgesteld seperti kami tentu juga ada. Tapi semua "orang Jawa" kami
anggap sebagai inlanders. Maka juga buruh-buruh dan para pegawai di kantor
ayahku adalah inlander-inlander.

Sebagai kata, bobot yang terkandung dalam istilah "inlander" dalam konteks
masyarakat kolonial Belanda dahulu, barangkali sama seperti istilah "Cina" dalam
konteks masyarakat Indonesia semasa Orde Baru. Risih telingaku sekarang jika
mendengar kata "inlander" atau "cina" itu diucapkan. Aku selalu menyebut mereka
Tionghoa untuk orangnya, dan Tiongkok untuk negeri mereka. Sebagai sepatah
kata an sich kata "cina" "inlander" yang berarti "pribumi", atau yang berarti
"chinees" atau “china" sesungguhnya tidak menjadi keberatan dalam pemahaman

27
dan perasaanku. Tapi dalam perspektif sosial- politik, "inlander" di zaman kolonial,
dan "cina" sejal zaman Orde Baru Suharto menjadi kata-kata yang melukai rasa-
kemanusiaanku.

Demikianlah. Maka harap dipahami jika kukatakan, dilibar dari luar kami
berkebudayaan Belanda, tapi hakikatnya kami bukan Belanda, dan sayangnya juga
bukan Indonesia. Kami merupakan satu komunitas yang sesungguhnya tidak punya
akar. Tapi, terlepas dari itu "Indonesia" memang belum lahir. Sebagai konsep
mungkin sudah, pada kalangan tertentu kaum nasionalis, tapi sebagai wujud
memang belum tampak sama sekali.

Jadi, kami ini bukan Belanda, Indonesia juga bukan! Karena Indonesia belum
ada. Bahkan Timor kami juga bukan, Roti juga bukan. Lalu apa? Indo juga bukan,
karena kami sama sekali tidak berdarah campuran antara Belanda atau Eropa
dengan "anak negeri" atau "pribumi". Ibuku, juga ayahku, tidak senang jika dibilang
Indo, dengan alasan karena kami berbahasa Belanda. Lalu apa jika bukan Indo,
bukan Belanda, dan juga bukan Indonesia atau Pribumi? Mestiso, atau silakan jika
mau dibilang Indo-Mestiso. Tapi sesungguhnya secara sosial dan politik ayahku
lebih cenderung merasa satu, atau setidak-tidaknya lebih merasa dekat, di dalam
dan pada identitas komunitas Indo. Kesan ini kusimpulkan mengingat bahwa
ayahku masuk menjadi anggota IEV (Indo Europeesch Verbond) atau Perserikatan
Indo Eropa. Meskipun aku tidak tahu, apakah ayah masuk dan aktif di dalamnya,
ataukah hanya sekadar sebagai jalan mencari identitas pribadi belaka. Jika aku tidak
salah IEV ini lahir dari IV (Indische Vereeniging) yang dibentuk atas prakarsa Dr E.F.E
Douwes Dekker yang belakangan mengambil nama pribumi: Setiabudi Danudirdja.
Tapi, kemudian tidak bisa menerima pendirian dan pandangan egaliter Douwes
Dekker, karena mereka tetap merasa sebagai lebih unggul dari golongan Pribumi.
28
Maka, sesudah KMB (Konperensi Meja Bundar) ditandatangani, dan kedaulatan RI
atas wilayahnya – minus Irian Barat - dikembalikan oleh Belanda, pada umumnya
mereka berpindah ke Irian Barat.

Berbeda dengan ayah yang orang Roti, ibuku sepenuhnya orang Timor. Aku
tidak mengerti juga, bagaimana kedua orangtuaku saling bertemu, saling cinta, dan
akhirnya berhasil membina kehidupan rumahtangga yang rukun. Karena pada
umumnya orang Timor tidak menyukai orang Roti. Ada pandangan stereotip di
kalangan orang Timor terhadap orang Roti saat itu, bahwa orang Timor berwatak
arogan atau barangkali lebih tepat "trots". Bukan sombong atau angkuh. Sebagai
contoh keluarga Dr. W.Z. Johannes, yang juga berasal Roti, radiolog Indonesia
pertama, yang belakangan bergelar profesor itu. la seorang yang sangat rendah
hati, tapi dalam kerendahan-hatinya itu sangat kuat tercermin watak "trots"
pribadinya. Juga dokter Fanggidaej, salah satu adik ayahku. Ia, seperti ayahku juga,
sangat "bangga" akan dirinya, dan juga sangat taat pada ajaran Injil.

29
3
DI SEKOLAH ELS
IN EVERY MAN THERE’S A PIECE OF ANGEL

TAMAT dari kelas tujuh ELS, aku meneruskan bersekolah ke MULO, katakan
saja SMP di zaman Hindia Belanda. Lalu sesudah itu, rencanaku ingin meneruskan
ke HBS. Ketika itu api perang "Asia Timur Raya" sudah berkobar-kobar, dan Jepang
segera menyerbu ke selatan serta menduduki pulau demi pulau, termasuk dan
terutama Pulau Jawa. Ketika itu, kami tinggal di Malang, Jawa Timur. Aku hanya
dapat mencapai kelas empat HBS, diploma yang aku dapat pun dinamai "diploma
darurat".

Teman-temanku sesekolah tentu saja hampir semua anak- anak Belanda.


Tapi, pergaulanku di tengah mereka berjalan wajar. Tanpa beban. Mereka juga
menerima aku, yang "belanda hitam", tanpa enggan dan ragu. Dalam beberapa
kegiatan kesenian di sekolah aku yang biasanya tampil memimpin. Khususnya pada
setiap tutup tahun pengajaran, yang selalu dirayakan dengan berbagai acara
kesenian, seperti tonil, nyanyian bersama, dan tari-menari seperti lazimnya anak-
anak sekolah. Tapi, yang sangat aku rasakan ialah suasana yang memberi
kebebasan kreatif, ditambah pula dorongan yang diberikan oléh guru-guru. Ini
sangat menyenangkan.

Aku paling suka matapelajaran sejarah. Tetapi tentu saja sejarah Belanda,
karena kita memang tidak punya sejarah yang lain! Kemudian Ilmu Bumi. Juga Ilmu
Bumi Belanda. Karena kita juga tidak mempunyai bumi. Semua diajarkan pada kami
dengan sangat teliti, sampai jalur kereta api dari Rotterdam ke Maastricht sejak itu
30
aku hafal di luar kepala. Nama-nama kota dan sungai-sungainya, semuanya aku
kenal. Tetapi sebaliknya kota-kota sepanjang jalur kereta api Surabaya – Malang
aku tidak tahu. Sampai sekarang!

Begitulah kehidupan sebagai murid dan anak muda d zamanku: zaman


menjelang Hindia Belanda berakhir. Beberana teman mulai suka berpacaran.
Walaupun pacarannya, menurut istilah sekarang, pacaran anak dalam umur abege,
tapi aku tidak seperti mereka. Selain karena pendidikan di rumah, walaupun
pendidikan Barat, tapi Baratnya "belanda-hitam" yang bukan Belanda Indo atau
Belanda-Ambon, apalagi bukan Belanda Totok. Kemudian masih ditambah lagi oleh
ajaran moral saleh kristiani yang puritan dari ayahku dan lingkungan kami.

Suasana yang memberi ruang kebebasan kreatif, ditambah dorongan para


guru, kurasakan sebagai gugahan sekaligus tantangan untuk berani. Berani
menyatakan pendapat dan suara hati sendiri, yang berbuah pada keberanian untuk
mencipta atau menulis karangan. Aku lalu mulai menulis sajak dan cerita. Aku
menjadi semakin menyenangi membaca dan menulis, karena terbukti tulisan-
tulisanku selalu mendapat nilai tertinggi di sekolah, baik yang berbentuk puisi
maupun prosa. Nilaiku untuk mengarang tidak pernah di bawah angka delapan.
Jadi, nilai paling tinggi baik untuk bahasanya, tentu saja bahasa Belanda, maupun
untuk imajinasi dan pengutaraannya di dalam teks karangan. Betapa aku tidak
menjadi besar hati, tumbuh rasa percaya diri dan self proud', jika melihat teman-
temanku yang anak-anak 'Belanda Putih' dan salah seorang lagi anak guru bahasa
Prancis di sekolah kami.

Aku ingat suatu hari ketika sudah di MULO, aku menulis karangan dalam
bahasa Belanda mungkin lebih tepat disebut satu renungan. Meski dalam bahasa

31
Belanda, judul karangan itu dengan sadar kupakai kata-kata dalam bahasa Inggris,
yaitu Every man has a piece of angel. Setiap kali aku teringat judul karanganku dari
masa bocah itu, aku menjadi heran sendiri. Mengapa aku kok punya ide filosofis
begitu? Every man has a piece of angel! Karanganku ini dicetak dan disiarkan oleh
majalah sekolah, dan mendapat hadiah tertinggi dari seluruh sekolah menengah di
kota Malang, karena pada waktu itu ada konkurs karang-mengarang untuk semua
Sekolah Menengah Belanda di kota itu.

Ide tulisan itu timbul sebenarnya dari suara-suara rerasan: rerasannya anak-
anak Belanda dan yang "dibelandakan" seperti aku ini. Begini yang bergalau di
hatiku waktu itu. Aku bertanya- tanya, mengapa ada manusia yang berkulit putih,
dan ada yang berkulit hitam. Menurut rerasan anak-anak itu dikatakan, bahwa si
Putih ialah baik dan si Hitam ialah jelek. Selalu! Apa benar begitu? Dalam hati aku
mempertanyakan. Bukankah ada kekristenan yang baik? Lalu bagaimana dengan si
Hitam yang Kristen? Apakah juga jelek mereka itu? Aku lalu berpikir lebih jauh:
there must be a piece of angel. Sebab, jika tidak, lalu ke mana dan bagaimana
kekristenan itu? Kegalauan hatiku itulah yang kemudian kutulis dalam karangan
berisi renungan tersebut. Sekarang aku tidak ingat lagi bagaimana isinya. Tapi
problem yang kuangkat itu tetap tidak akan pernah kulupakan.

32
4

IBUKU

SUATU hari, tahun '30-an, seorang fotograf Amerika datang bertamu,


dengan maksud menemui ibuku. Aku tidak tahu, bagaimana ia tahu tentang kami
dan alamat kami. Aku masih bocah, berumur kira-kira enam tahun. Pendek cerita,
fotograf itu minta agar ibu berdandan dalam busana Eropa, dan dia minta agar
ibuku berpakaian Belanda. Entah berapa kali foto dibikinnya, tapi beberapa waktu
kemudian salah satu di dikirim kepada kami. Foto berukuran besar itu lalu
antaranya dipajang sebagai kebanggaan, dan menghiasi dinding rumah kami. Jika
kita sekarang masih bisa mendapatkan buku-buku karangan Couperus,
perhatikanlah gambar perempuan yang menjadi ilustrasi di dalamnya. Itulah ibuku!
Bagaimana ia mengenakan pakaian dan menyusun sanggulnya .. Bagus sekali!

Pada penglihatanku foto itu begitu hidup, sehingga setiap kupandangi


seolah-olah tersembul dari bingkai dan kaca pelindungnya. Seperti gambar tiga
dimensi saja. Dari arah mana saja aku memandangi foto ibuku itu, seakan ia
mengikuti dan menemukan sudut pandangnya sendiri. Barangkali sama seperti
perasaan orang ketika melihat lukisan Leonardo da Vinci "Monalisa" di museum
Prancis itu. Ia "tersenyum" ke arah dan pada siapa saja yang memandanginya.
Ibuku memang mempunyai uitstraling, kalaupun bukan karisma. Sehingga karena
itu tulisan tangannya yang seperti cakar-ayam, dan bahasa Belandanya yang
compang-camping tidak menjadi kendala baginya dalam pergaulan. Ia bahkan
mampu menjadi pelopor di tengah-tengah nyonya-nyonya besar Eropa. Jika
kemudian aku tumbuh dengan kebisaan memimpin dan berbicara di depan publik,
33
barangkali warisan yang kuperoleh dari ibuku. Kecuali aku juga Delly Fanggidaej,
yaitu kakakku perempuan yang kedua. Ia ahli bahasa Prancis, dan kemudian
tumbuh menjadi seorang diplomat. Harian Soeloeh Indonesia pernah memuat
tulisan tentang Delly, satu halaman penuh dilengkapi dengan fotonya yang besar,
dan menyebutnya sebagai "diplomat wanita pertama Indonesia". Ketika itu, Delly
memang diangkat sebagai diplomat RI untuk Belgia. Baru belakangan tampil
diplomat-diplomat perempuan kedua, ketiga, dan seterusnya, seperti Laila Rasjad
dan Supeni Pudjubuntoro dan lain-lain. Sekembalinya di Tanah Air, ketika itu awal
tahun 60-an, ia memimpin direktorat Afrika bagian Selatan di Pejambon
(Kementerian Luar Negeri saat itu). Ia mestinya tinggal menunggu saat untuk
berangkat bertugas ke luar negeri sebagai Duta Besar. Tapi 'Peristiwa 65' tidak
hanya membatalkan rencana penugasannya. Delly bahkan terkena skorsing dengan
alasan tidak bersih lingkungan', karena adanya hubungan keluarga dengan aku.

Selisih umur Delly denganku enam tahun. Di bawah dia masih ada kakak laki-
laki, yang menjadi mahasiswa di GHS (Geneeskundige Hogeschool; Sekolah Tinggi
Kedokteran) di Jakarta ketika Jepang masuk menduduki Jawa. Di zaman Hindia
Belanda, ia secara diam-diam ikut terjun dalam gerakan mahasiswa yang berpusat
di Jalan Pegangsaan 17. Ia tidak sempat lulus sebagai dokter. Karena tidak lama
sesudah Jepang berkuasa, ia mendapat panggilan pemerintah untuk pemeriksaan
kesehatan, dengan di-rontgen segala macam, katanya akan dikirim untuk
bersekolah di Tokio. Tapi ternyata diturunkan di Burma, Myanmar sekarang, dan
ditugasi sebagai dokter untuk para pekerja romusha pembangunan jalan kereta api
di sana. Dikembalikan ke Indonesia seusai PD II, sesudah Indonesia merdeka,
bersama-sama dengan para pekerja paksa darı Indonesia, termasuk Bung
Atmosugito dari Yogya yang juga dikenal sebagai "Bung Atmo Brewok".1

34
Semua saudaraku, boleh dibilang, berkembang menjadi orang-orang
nasionalis. Kecuali kakak tertua yang kawin dengan laki-laki Belanda, dan juga
tinggal di Belanda sampai ia meninggal. Ia boleh disebut sebagai "belanda hitam"
yang konsekuen. Tapi bagaimanapun juga, sebagai perempuan biasa, kakakku ini
seorang ibu rumahtangga yang baik.

Lain lagi dengan adikku perempuan yang bungsu, dan apalagi ibuku. Pada
masa awal perang kemerdekaan Ibu malah ikut terjun langsung bersama para
pemuda yang sedang berjuang. Walaupun terbatas sebagai 'pejuang garis
belakang', yaitu dengan membikin dapur umum untuk anak-anak BPRI (Barisan
Pemberontak RI) Bung Tomo di kota Surabaya. Tapi kemudian karena merasa
diperlakukan tidak baik oleh pemuda- pemuda itu, ibuku tidak mau lagi melakukan
kegiatan yang sehubungan dengan perjuangan. Entah "perlakuan tidak baik"
bagaimana yang dialami Ibu dari para pemuda "pejuang" itu, ia tidak pernah
menceritakan kepada kami.

Ibuku lalu tidak mau dikaitkan lagi dengan semua yang berhubungan dengan
"revolusi", bahkan tidak mau ia bergaul dengan orang Jawa. “Kurang ajar orang
Jawa itu!", katanya. Itu saja kata-katanya yang pernah kudengar, mengenang
pengalamannya di tengah-tengah "pemuda pemberontak" Bung Tomo. Lalu ia,
diikuti adik bungsu, meninggalkan Indonesia dan hidup di Belanda untuk selama-
lamanya. Adik itu lalu tidak sekadar menjadi bermentalitas "belanda hitam" atau
"Belanda Putih" saja. Ia bahkan bermentalitas kolonial seperti suaminya, yang
memang seorang Nefis. Tapi, terlepas dari perkawinannya dėngan Belanda Putih
yang Nefis,2 ia kuanggap bermental kolonial karena dirinya tidak merasa, baik
sebagai Indonesia maupun sebagai Timor.

35
"Aku Belanda!" katanya.

Ibuku memang benar-benar seorang perempuan biasa. Maksudku


perempuan desa dari kalangan bawah, yang tidak pernah mendapat pendidikan
sekolah. Ia tidak bisa baca-tulis Ketika kawin dengan ayah, ia "belum bisa apa-apa".
Dalam hal ini, sesungguhnya ayahku seorang yang sangat berani, tapi juga lapang-
dada dan berhati tulus. Seorang intelektual yang berpangkat tinggi mengambil istri
seorang perempuan yang benar-benar "tidak tahu dan tidak bisa apa-apa". Tapi
ibuku, sebagai anak desa yang selalu berhadapan dengan hidup yang serba sulit, ia
lalu mempunyai ketahanan jiwa dan keterampilan tangan yang luar biasa. Suatu
kekuatan batin yang lalu timbul sebagai daya ketahanan atau keberanian hidup
yang tinggi. Ia pandai membikin pakaiannya sendiri, pandai memasak. Ia mengenal
dan bisa memanfaatkan aneka macam bahan yang tidak terdapat di toko-toko tapi
terdapat di alam. Karena itu, ia juga mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
tumbuhan obat-obatan, dan suka mengobati sendiri anak-anaknya jika terluka atau
terkena penyakit-penyakit ringan.

Merenungkan kembali tentang ibuku, rasa hormatku kepadanya semakin


mendalam. Aku sangat kagum pada kemampuannya beradaptasi dengan
lingkungan baru. Bagaimana ia, dari seorang perempuan desa kelas bawah sama
sekali tidak berpendidikan, kemudian diambil istri seorang intelektual muda, bisa
mengejar ketinggalannya dan bahkan mampu mengimbangi, serta mendampingi
ayah yang berkedudukan begitu tinggi dan penting. Akhirnya dia justru tampil
sebagai pionir bagi masyarakat Eropa di sekelilingnya. Misalnya, dalam hal
berpakaian. Nyonya-nyonya Belanda dan Eropa itu, termasuk nyonya Asisten
Residen, kemudian menyukai model pakaian bikinan ibuku, dan bahkan juga
meniru cara ibuku berdandan.
36
Juga kepandaian ibu dalam berbahasa Belanda. Ketika ia diperistri ayah,
tentu saja ia belum mengenal bahasa itu. Sepatah kata pun. Percakapan sehari-hari
ayah-ibu ketika itu terutama dengan menggunakan bahasa Melayu Timor yang
dicampur dengan kata-kata Belanda. Sesudah anak-anaknya lahir pun, jika mereka
berdua sedang bersendiri, tetap menggunakan bahasa Melayu Timor. Tapi, jika
kami semua sedang berkumpul, misalnya di waktu makan atau minum bersama,
kami selalu menggunakan bahasa Belanda. Bahasa Belanda ibuku bukan bahasa
baku. Kepandaian tulis-menulis diajar oleh ayahku. Tulisannya pun sekadar bisa
dibaca. Kasihan jika aku teringat, bagaimana ketika ibu menulis. Begitu
geconcentreerd, begitu keras ia memeras pikirannya, sehingga bibirnya ikut
bergerak- gerak. Betapa ia mengerahkan sepenuh pikirannya, baik pada bahasa
yang diutarakan maupun huruf-huruf yang dituliskannya.

Orang Timor belum mempunyai huruf atau aksaranya sendiri untuk


menuliskan bahasanya. Entah huruf apa yang dipakai di sekolah, ketika harus
menuliskan bahasa mereka itu. Kalau tidak salah Schulte Nordholt Sr3 pernah
menulis buku tentang masyarakat Roti. Judulnya saya lupa. Di dalam buku itu,
menyinggung sedikit tentang masyarakat dan kebudayaan Timor, dan khususnya
tentang bahasa dan tulisan Timor. Aku meninggalkan Timor ketika baru berumur
dua bulan, dan sejak itu belum pernah aku menengok kembali ke sana. Di rumah
ayah-ibu juga jarang sekali, atau nyaris tidak pernah, membicarakan tentang masa
lalu kami di Timor. Apa alasan mereka, aku tidak tahu. Dan anehnya juga tidak
merasa ingin tahu. Semuanya seperti berjalan wajar saja, sehingga tidak pea lagi
mempertanyakan tentang semuanya itu. Karena itu, kalau pada kebanyakan orang
tahu, dan suka mencari tahu, siapa nenek-moyang atau leluhur mereka, pada kami
sesaudara hal itu tidak berlaku. Paham budaya tentang "keluarga besaral extended

37
family system tidak ada pada keluarga kami. Maka, pengetahuanku tentang leluhur
dari garis ibu memang hanya sejauh ibu saja. Selebihnya aku terima sebagai kisah
sepotong-sepotong dari sana-sini yang kudengar sambil-lalu.

Aku tidak tahu, mengapa kami tidak pernah berbicara tentang masa lalu
keluarga kami. Apakah karena ayah-ibuk. yang sengaja tidak mau
membicarakannya, ataukah sebagai akibat dari peleburan diri dalam nilai budaya
asing itu, sehingga identitas sendiri menjadi hilang. Ini, pada satu sisi, tentu
merupakan nadelige gevolgen atau akibat yang tidak menguntungkan. Tapi pada
sisi yang lain, khususnya bagi diriku, mungkin justru sebaliknya. Aku ibarat ruang
yang kosong ketika suatu ketika mulai bersentuhan dengan kalangan kaum
pergerakan nasional. Maka, bagiku perjalanan gerakan kemerdekaan bangsa itu
aku rasakan sebagai perjalanan kemerdekaanku pribadi. Pada saatnya datang
kemerdekaan, aku pun merasa terbebas bersamanya. Bebas dari apa, aku tidak bisa
mengerti. Tapi aku merasa seakan-akan seperti "pulang ke rumah sendiri".

38
5

MEMASUKI DUNIA BARU

SAAT Jepang masuk di negeri ini, kami masih tinggal di Malang Jawa Timur.
Ketika itu, ayahku sudah pensiun, walaupun usianya belum mencapai limapuluh
tahun-batas umur waktu pensiun pegawai Hindia Belanda ketika itu. Menjelang
akhir kekuasaan Hindia Belanda, orang-orang Indonesia yang berkedudukan tinggi
diberi pensiun dini oleh pemerintah. Pekerjaan tidak lagi diberikan, gaji tidak
dibayar, tapi pensiun juga belum penuh. Mereka menerima apa yang disebut
wachtgeld, uang tunggu masa pensiun, yang tidak lain uang pesangon atau uang
santunan, yang diberikan pada pegawai yang dibebastugaskan karena negara
dalam keadaan tidak punya uang atau karena kelebihan pegawai.

Tidak lama kemudian, sesudah Jepang masuk, ayahku meninggal. Ia tidak


pernah ditahan. Tapi memang pernah dipanggil dan diinterogasi. Barangkali,
bayangan tentang masa lalunya sebagai “belanda hitam", yang bisa mengundang
bahaya di bawah rezim militer Jepang, juga menjadi faktor penyebab usia ayahku
yang pendek. Apalagi peristiwa hilangnya kakak yang ditipu hendak dikirim sekolah
ke Tokio itu. Suasana baru yang menegangkan memang tiba-tiba datang menguasai
kehidupan sehari-hari rumah tangga kami. Apalagi bagi orangtuaku, terutama
ayahku, bahkan aku yang masih kecil sangat merasakan tekanan batin itu. Hampir
setiap hari kami mendengar kabar bisik-bisik: si ini diangkut, si itu diangkut oleh
polisi keamanan Jepang, Kenpeitai, yang terkenal kejam. Suasana ketakutan dan
rasa tertekan itu tidak pernah hilang, terutama sesudah ayahku mendapat
panggilan untuk diperiksa. Walaupun ia boleh pulang kembali, tapi itu bukan
39
jaminan bahwa ayah dan kami sekeluarga telah terlepas dari ancaman bahaya, Di
zaman itu bagi perasaanku bahaya seperti mengintai dari setiap sudut dan setiap
saat.

Apa yang terjadi dalam pemeriksaan, mungkin ayah pernah bercerita pada
ibu, tapi tidak kepada anak-anaknya, seorang pun. Kami hanya merasa, sejak itu
suasana di rumah berubah menjadi sangat tegang. Sangat tertekan. Tidak ada lagi
ketawa dan gurau terdengar di rumah kami. Pergaulan juga menjadi sangat
menciut dan terbatas. Sahabat-sahabat keluarga kami sebagian besar memang
orang-orang kulit putih, dan orang-orang yang berkedudukan tinggi di zaman
Belanda. Mereka banyak yang diinternir, dan sisanya yang bebas seperti kami,
hidup dalam suasana yang sama. Kami serumah menjadi pengecualian, tidak ikut
ditangkap dan ditawan, berkat warna kulit kami semata- mata. Menurut hukum,
kami orang Eropa. Tapi, beruntunglah, warna kulit tidak ikut berubah seketika itu.

Tegang dan ketakutan. Selama tiga setengah tahun di bawah kekuasaan


Jepang, sebenarnya boleh dibilang kami sudah mati secara sosial.

Sejak muda sampai sekarang, aku tidak pernah mempunyai pengalaman


menjadi pegawai atau orang yang bekerja dan digaji. Sejak aku bisa bekerja, aku
terjun dalam organisasi. Ketika masih bocah di zaman Hindia Belanda, kami hidup
dalam serba berkecukupan. Ketika zaman Jepang kehidupan keluarga kami menjadi
sangat bergantung dan dilindungi oleh ibu. Tapi, karena kami harus hidup, dan ayah
tidak lagi ada, oleh ibu aku diajari bekerja. Ibu membikin kue-kue, sabun dan
tandpasta, dan aku dengan bersepeda menjualnya dari rumah ke rumah.

Di zaman Jepang semua sekolah Belanda ditutup, aku terpaksa tidak bisa lagi
bersekolah. Jepang memang membuka SMP (Sekolah Menengah Pertama), tapi ibu

40
melarang aku masuk. Dia khawatir, karena saat itu banyak sekali terjadi
pelanggaran oleh serdadu-serdadu Jepang terhadap anak-anak gadis. Aku hanya
masuk sekolah di Nippon-go Gakko, sekolah bahasa Jepang. Ini pun karena
diwajibkan oleh penguasa.

Selama tiga tahun, kalau tidak terlalu perlu, aku tidak mau keluar rumah.
Takut. Seluruh suasana membikin takut. Pada malam hari, kalau mau tidur, aku
mendengar sepatu lars berderap di jalan. Hampir setiap hari aku melihat orang
dipukuli, hanya karena kurang dalam ketika seikerei, yaitu membungkuk memberi
hormat; tidak turun dari sepeda ketika lewat depan pos penjagaan militer; dan
kesalahan lain yang dicari-cari.

Rumah kami terletak di Jalan Slamet, Surabaya, di belakang kesatrian


Angkatan Laut atau “Kaigun"- namanya di zaman itu. Tetangga kiri-kanan rumah
kami ada satu keluarga dokter, keluarga orang Belanda, dan peranakan Tionghoa-
termasuk keluarga Go Gien Tjhwan,1 yang ketika itu belum kukenal. Suasana dan
lingkungan demikian membikin aku merasa tertekan siang-malam.

Dalam keadaan demikian, mungkin karena aku merasa masih bocah dan
tubuhku yang kecil, akulah yang paling berani bergerak dan pergi keluar rumah.
Karena itu juga, akulah yang selalu disuruh ibu door-to-door berjualan kue, sabun,
dan odol bikinannya. Semula memang tidak punya niat apa-apa, selain membantu
ibu mencari nafkah untuk kehidupan keluarga, ditambah keinginan untuk mencari
suasana lapang dan tidak sumpek, karena selalu di rumah. Aku tidak pernah
mengira, bahwa keberanianku keluar rumah dan mencari suasana lapang menjadi
pengantar persentuhanku dengan dunia baru.

41
Pengalaman sehari-hari keluar rumah itu, mendorongku mencari teman baru
untuk bermain dan berbicara. Teman- teman sekolah sudah tidak ada lagi. Ketika
itulah aku menemukan tempat satu-satunya, dan yang paling sering aku datangi
adalah rumah keluarga Siwabessy; Dr. Gerrit Siwabessy.

Gerrit Siwabessy, ayah keluarga ini, adalah suami dari salah seorang saudara
sepupuku jauh dari garis ibu. Ikatan persaudaraan jauh inilah, yang di masa
kehidupan kami sebagai "belanda hitam" tidak pernah mendapat tempat, sekarang
memainkan peranannya yang sangat penting. Extended family system yang tidak
kami kenal dalam keluarga yang bergaya hidup Eropa, diam-diam telah menarikku
untuk masuk ke dalam jaringannya. Apalagi ternyata justru melalui mereka, yang
dalam hubungan keluarga jauh itulah, aku merasa pikiranku menjadi terbuka.
Walau dengan hati marah pada kehidupan masa lalu, aku menjadi sadar tentang
jatidiriku.

Dalam suasana rumah yang tegang dan batin tertekan, teman-teman sekolah
tidak ada dan bersekolah tidak bisa lagi. mula-mula aku tergerak untuk memberi
kepuasan intelektual. Di tengah-tengah keluarga Siwabessy inilah aku mendapat
apa yang kucari. Sambung dalam bertukar pendapat. Hal kedua, keponakanku,
Reny Poetiray, istri Gerrit Siwabessy, adalah seorang pemusik. Padahal, aku sangat
senang menyanyi. Reny seorang komponis lagu anak-anak. Dahulu ia sahabat dekat
Ibu Sud,2 sebagai sesama komponis lagu anak-anak. Buku nyanyian kumpulan lagu
anak-anak gubahannya, jika aku tidak salah, berjudul “Kurtjatji", mirip dengan buku
kepunyaan Ibu Sud, "Kutilang". Nama-nama burung pramuka siaga.

Di rumah kami sendiri juga ada piano. Tapi sejak suasana rumah menjadi
tegang dan tertekan, karena adanya bayangan kekuasaan yang mengancam, piano

42
kami menjadi tidak lagi berfungsi. Beda dengan di rumah keluarga Siwabessy.
Setiap hari aku mendengar dentang nada-nada piano, dan kami selalu menyanyi
bersama-sama. Tapi, daya tarik lain dari rumah ini, jika belakangan aku
merenungkannya, sebenarnya justru karena soal-soal yang lebih gawat dan berat.
Yaitu soal politik! Soal yang di tengah kehidupan rumah kami justru tidak pernah
menjadi bahan pembicaraan. Tapi karena dijelaskan dengan begitu sederhana, dan
dengan bahasa yang popular, maka soal gawat dan berat itu kutangkap seperti
kisah-kisah dalam peristiwa sejarah yang mengalir belaka.

Rumah keluarga Siwabessy memang mirip seperti "markas": menjadi tempat


berkumpul para intelektual muda Maluku, yang dipimpin oleh Gerrit Siwabessy
sendiri bersama Sam Malessy. Terutama Gerrit. Memang sejak zaman Hindia
Belanda ia menghimpun para pemuda Maluku, dan menanamkan semangat
nasionalisme Indonesia di kalangan mereka.

Gerrit Siwabessy sendiri berprofesi sebagai dokter. Ia seorang arts yang


tergolong terkenal di kota Surabaya ketika itu. Di zaman Hindia Belanda, sebelum
istilah "Maluku" lazim digunakan, ia salah seorang tokoh pimpinan Jong Ambon.
Kemudian di zaman awal kemerdekaan, ia memimpin organisasi yang bernama PIM
(Pemuda Indonesia Maluku). Selama pendudukan Jepang. "Jong Ambon" tetap
aktif, walaupun tanpa nama organisasi, dan "bermarkas" di rumah Keluarga
Siwabessy ini. Bukan hanya para pemuda Maluku saja yang biasa datang di rumah
ini, tapi juga para tokoh terkemuka masyarakat Maluku, seperti Mr Latuharhary
dan Dr Latumeten yang belakangan pernah menjadi menteri kabinet RI pada masa
Presiden Sukarno. Para tokoh pimpinan masyarakat Maluku ini rupanya
menjalankan siasat, keluar mereka bekerjasama dengan Jepang, tapi kedalam tetap

43
mempersiapkan diri menyongsong kemerdekaan tanahair. Aku akhirnya termasuk
salah seorang muda yang ditampung dan diasuh oleh kelompok ini.

Semua itu bagiku masih serba tidak jelas. Anehnya, ketika itu, tidak ada rasa
usil ingin tahu: mengapa dan bagaimana hubungan kelompok muda Maluku
Surabaya ini dengan Jepang. Tapi, seperti sejarah kemudian menunjukkan, dan aku
ketahui, bahwa juga para pemuda Jakarta menjalin hubungan dengan Kaigun atau
Angkatan Laut Jepang. Mereka bekerja bersama dalam menyelenggarakan kursus-
kursus politik pemuda yang dipimpin oleh Wikana.3 Bahkan, perundingan tentang
rencana proklamasi, seperti kita tahu, diselenggarakan di rumah opsir Kaigun,
Laksamana Maeda. Juga ke kota Surabaya sering datang perwira-perwira Kaigun,
dan selalu mereka datan berkumpul dan berapat dengan para pemuda di rumah
keluaro Siwabessy. Rumah itu besar sekali, terletak di Jalan Blitar. Al tidak ingat,
siapa nama "Maeda Surabaya" ini.4 Tapi bayangan raut mukanya tidak pernah
hilang dari ingatanku.

Tiap hari aku tak pernah absen datang ke rumah Siwabessy. Selalu dengan
mengayuh sepeda, dan selalu harus meliwati pos- pos penjagaan Jepang. Di situ
aku selalu harus turun dari sepeda, ber-seikerei: membungkuk hormat sedalam-
dalamnya. Aku tidak peduli. Seandainya aku harus membungkuk sampai mencium
tanah pun tak masalah, pikirku, asal aku bisa sampai ke tujuan kukehendaki. Tapi
aku tidak pernah bercerita apa-apa pada yang saudara-saudaraku dan juga pada
ibuku. Karena aku menganggap hal biasa, anak muda berkumpul dengan sesama
anak muda. Tidak ada yang istimewa. Juga tidak oleh karena Gerrit atau Sam
mengajarkan berdisiplin. Tutup mulut. Tidak ada itu! Dalam hal ini aku memang
beda dari saudara-saudaraku. Mereka mengurung diri di rumah, karena masih
menyimpan rasa dendam sesudah peristiwa ayah itu. Tapi apa yang diperoleh
44
dengan mendendam terus-menerus pada kekuasaan yang masih berjaya, selain
hanya menjadi mengisolasi diri lahir batin? Dalam pertemuan-pertemuan di rumah
Gerrit Siwabessy, hati dan pikiranku perlahan-lahan mulai menjadi terbuka. Gerrit
Siwabessy dan Sam Malessy, dua orang itu, guru yang sangat baik. Mereka pandai
sekali mengajar. Mereka seakan-akan hanya bercerita tentang bermacam-macam
peristiwa, situasi sana-sini, tokoh-tokoh terkemuka bangsa dan dunia, dan soal-soal
"ringan semacam itu. Dengan bahasa popular dan gaya cerita yang enak mereka
ceritakan, misalnya, tentang apa fasisme, naziisme, siapa Sukarno, Mohamad
Hatta, Ratulangi dan lain-lain. Semuanya diceritakan dengan sangat rinci.

Aku bukan hanya belajar tentang soal-soal politik dan kemasyarakatan, tapi
juga menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dan berbahasa Indonesia. Pada waktu
itulah, di zaman Jepang, bahasa Indonesia aku pelajari melalui kelompok ini. Sam
Malessy guruku berbahasa Indonesia. Tutur bahasa Indonesia Sam memang bagus:
tidak bercampur dengan Melayu Ambon dan apalagi kata-kata Belanda. Bahasa
standar untuk waktu itu. Tokoh Maluku yang pintar ini, sayang sekali, meninggal
pada saat dekat menjelang proklamasi. Karena mengidap penyakit TBC, penyakit
umum kaum pergerakan.

Melalui kelompok ini juga aku banyak mendengar cerita- cerita tentang
kekejaman tentara Jepang: tentang bagaimana gadis-gadis Maluku yang diperkosa,
perempuan-perempuan muda dan gadis-gadis yang dibawa Jepang untuk dijadikan
yugun yanfu dengan ditipu disekolahkan ke Tokio atau Shonanto (nama Singapura
waktu itu). Cerita-cerita yang menarik. Aku menjadi seperti seorang yang haus, dan
memperoleh air minum segar yang tak kunjung kering. Maka selanjutnya, dengan
membawa jualan atau tidak, aku menjadi kerap pergi ke rumah Rini, seorang diri.
Kepada ibuku aku hanya pamit untuk belajar menyanyi. Aku tidak sadar bahwa
45
kegiatan bermain musik Rini itu sebenarnya menjadi payung untuk kegiatan politik
kelompok Siwabessy ini. Kami mainkan banyak lagu-lagu klasik ringan, seperti dari
Schubert, Strauss atau Offenbach dan semacamnya, dan tidak pernah satu pun lagu
Jepang kami pelajari.

Rumah suami-istri Gerrit-Reny sangat besar. Banyak orang-orang muda


Maluku- "Ambon" ketika itu yang lebih lazim dipakai- yang berdatangan ke sini.
Mereka itulah kemudian meniadi teman-teman baruku yang menyenangkan,
karena menimbulkan rasa ingin tahu dan hasrat belajar yang tak, kunjung habis. Di
sini dan bersama mereka inilah, aku merasa menghirup udara baru yang sama
sekali lain dari udara selama itu telah menapasi kami. Hampir setiap hari datang
sepuluh orang, atau lebih, dan selalu orang-orang yang tidak sama. Di tengah-
tengah mereka, akulah yang paling muda. Mestinya aku tidak boleh masuk di dalam
kelompok mereka, karena aku bukan orang Ambon atau Maluku. Tapi mereka
memperbolehkan aku masuk, semata-mata karena ada hubungan kekeluargaan
dengan Rini. Sekali lagi berkat "sistem keluarga besar" yang dalam kehidupan-
Belandaku sama sekali tidak dikenal.

Rumah Gerrit yang besar dan bertingkat itu terletak di salah satu jalan elite
kota Surabaya. Di samping dan di belakang bangunan induk ada paviliun bertingkat.
Kedua sayap rumah induk, yang satu dipakai Gerrit untuk menerima pasien, dan
yang satu lagi digunakan Rini untuk membuka semacam toko bunga. Rini, selain
pandai bermain musik, juga sangat pandai menata bunga. Di belakang
hoodfgebouw (Bel.: bangunan induk) banyak sekali kamar-kamar. Biasanya kami
tidak berkumpul di ruang yang di hoodfgebouw. Di sini tempat untuk rapat-rapat
jika orang-orang Jepang datang. Dalam rapat-rapat ini aku melihat, dengan

46
bertanya-tanya dalam hati, mengapa orang orang seperti Gerrit dan Sam (Malessy)
juga duduk di sana. Mereka itu guru-guruku!

Pertanyaan satu ini yang juga selalu mengganggu pikiranku: Apakah ada dua
cara perjuangan pada mereka itu? Keluar Siwabessy dan Malessy bekerjasama
dengan Jepang. Ini “model Bung Karno" menghadapi Jepang – kataku kemudian
hari pada diri sendiri. Tapi ketika itu aku belum tahu sama sekali hal- hal yang
disebut "taktik perjuangan". Maka, dalam hal apa dan hubungan yang bagaimana,
mereka melakukan kerjasama dengan Jepang aku juga tidak tahu.

Tidak berlebihan jika kukatakan Gerrit dan Sam adalah guru-guruku. Karena
dari mereka berdua, terutama, aku memperoleh banyak pelajaran yang melandasi
hidupku lebih lanjut. Misalnya, dalam hal bahasa Indonesia, yang baru kukenal di
zaman Jepang, dan kupelajari dari Sam. Apakah karena kepandaian Sam dalam
mengajar, ataukah karena ilustrasi cerita-ceritanya selagi mengajar, tapi aku
merasa bangga menerima pelajaran bahasa dari dia. Entah mengapa. Apakah ini
juga merupakan satu proses pencarian jatidiri? Aku tidak mengerti. Dorongan
untuk mempelajari bahasa Indonesia ini, jika kukatakan dengan jujur, sebenarnya
karena adanya larangan pemerintah (tentara pendudukan Jepang) untuk tidak
menggunakan bahasa Belanda lagi. Jadi, oleh paksaan keadaan. Misalnya, jika kami
sedang berbelanja, di tempat-tempat umum, atau di rumah sendiri di kampung
ketika itu kami sudah tinggal di rumah kecil, di Jalan Lokomotif, satu kampung di
kota Surabaya-dan orang mendengar kami berbicara dalam Belanda, pasti mereka
akan melaporkan kami. Maka, kami sekeluarga selalu harus bicara dengan bisik-
bisik, walaupun ada di dalam rumah sendiri. Di rumah sendiri tapi tidak merasa
bebas dan aman. Terasa tertekan sekali! Maka, bagiku, Bahasa Indonesia adalah
juga Bahasa Pembebasan. Pembebasan dari rasa takut.
47
Aku mengagumi Sam, bagi pandanganku ketika itu, karena kepandaian dan
semangatnya. Tapi, lebih penting dari itu karena kesadaran dirinya sebagai orang
Indonesia. Dia seorang nasionalis sejati, dan nasionalisme itu terpancar pada
sikapnya. Misalnya, kalau dia bicara tentang Jepang dan kolonialisme Belanda, tiba-
tiba saja ketinggian hatinya muncul. Di situlah untuk pertama kali aku mendengar
kata "penjajah" dari dia, sambil meresapi nada suaranya ketika mengucapkan
sepatah kata itu. Raut mukanya seketika berubah. Ini semua membuat aku kagum.
Ia menanamkan pada sanubariku satu perasaan, bahwa aku bukan seorang yang
"liar". Aku punya tempat! Itulah perasaanku saat itu. Beda dengan saat-saat
sebelum itu, ketika aku merasa "liar". Aku ini apa? Indo tidak, Jawa tidak, Timor
tidak, apalagi Belanda! Jadi, di mana tempatku? Orang-orang inilah, bukan hanya
Sam, tapi juga Rini, Gerrit dan semua, orang-orang muda Maluku di sekitarku, telah
menanamkan perasaan padaku, tentang aku ini apa dan siapa, dan bahwa aku ini
punya tempat. Bagi orang-orang yang sudah sejak lahir ada di lingkungan yang
punya tempat, Jawa, Sumatra, Ambon, Bali .. dan lain-lain, mungkin tidak bisa
membayangkan apa yang terjadi dalam dunia batinku. Tapi, aku yang beribu Timor
berayah Roti!? Dan yang mencari dan pernah mendapat tempat di Belanda, tapi
kemudian lenyap dilanda serbuan Jepang?!

Lalu, sebagai kelanjutan dari tumbuhnya kesadaran tentang apa dan siapa,
serta tentang tempat yang kupunyai, aku dengan mudah bisa mengetahui tentang
kejahatan Belanda dan Jepang. Betul! Jika aku menoleh ke belakang, pada masa
laluku, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota bangsa, aku menjadi tahu
tentang betapa halus kejahatan sistem kolonialisme. Sedikit demi sedikit racun
dimasukkan, sampai orang tidak sadar ketika racun itu telah mengaliri seluruh
darah dan napas seseorang. Berkat sentuhanku dengan “Kelompok Muda Maluku

48
Surabaya" ini, aku menjadi membenci Belanda karena sistem kolonialismenya.
Tidak! Aku tidak membenci orang Belanda sebagai manusia. Ketika tentara
pendudukan Jepang masuk, banyak teman-temanku Belanda harus meninggalkan
Indonesia. Aku menangis. Mereka ditangkap dan dipukuli. Mereka, yang tidak atau
belum ditawan, datang malam-malam untuk pamitan, lantas aku tidak pernah
melihat mereka lagi. Aku melihat, ada mereka yang orang Belanda di sepanjang
jalan digiring serdadu-serdadu stoottroepen (Bel.: pasukan pelopor), yang sangat
kejam. Pengalaman sehari-hari seperti itu juga yang, antara lain, menyebabkan ibu
melarang aku bersekolah.

Di zaman Jepang, kehidupan dan kedudukan sosial kami sudah menjadi


sangat merosot – untuk tidak mengatakan sangat menderita. Sangat jauh jika
dibanding dengan keluarga Siwabessy. Ibuku tidak bekerja. Ia hanya seorang ibu,
dan kami hanya anak-anak, yang biasa hidup dilayani banyak orang yang disebut
pembantu. Hidup gaya Belanda Hitam.

Dengan sebab itu juga, aku mulai berpikir, ibu tidak boleh tahu tentang
kegiatan kami di rumah Siwabessy. Bukan karena percaya atau tidak percaya, tapi
dilihat dari pandangan politik ibuku yang tergolong orang kolonial. Jika ada rasa
benci terhadap Jepang dalam dirinya, bukan karena sifat kekuasaannya yang
menindas dan kejam, tapi karena akibat Jepang itulah maka Belanda harus jatuh
dan pergi dari Indonesia. Bagaimanapun, Ibuku adalah buah dari satu sistem.
Meskipun sebagai pribadi, pada satu pihak, dia orang yang bebas dan tidak pernah
merasa tertindas, tapi di lain pihak, dia melihat Belanda sebagai yang berhak atas
hidup dia, dan pandangannya yang demikian itu tidak bisa hilang begitu saja. Dia
melihat suaminya mendapat kedudukan yang begitu terhormat karena Belanda,
yang semuanya itu tiba-tiba hilang ketika Jepang datang dan berkuasa.
49
Dalam suasana yang demikian itu, aku mulai masuk ke dalam "dunia baru"-
dunia perjuangan yang kusadari sejak dari awal. Semuanya itu kutempuh tanpa
minta izin dan memberi tahu ibu, juga tidak pada saudara-saudaraku. Aku merasa
seperti mengikuti naluri diriku sendiri. Namun rasa cinta dan hormatku kepada ibu
tidak menjadi berkurang. Justru sesudah ayah meninggal, aku melihat ibu begitu
sendirian. Kalau ia mau berbelanja, misalnya, aku merasakan betapa ia begitu
kehilangan. Biasanya ia selalu bersama ayah ke mana saja, lalu tiba-tiba aku melihat
ia seperti mencari sesuatu yang hilang. Kalau hendak menyeberang jalan, ia
berpegangan ke tangan kakakku. Ia menjadi seperti kehilangan kepercayaan pada
diri sendiri. Aku pernah menangis ketika melihat ibu seperti itu. Ibu yang di mataku
begitu hebat, begitu ditinggalkan suaminya menjadi ... aneh sekali!

Singkat cerita, di Surabaya, dan di saat itulah, aku untuk pertama kali
mendapat pendidikan politik, dan mendapat kesadaran tentang apa dan ke mana
perjuangan bangsa ditujukan. Aku sendiri merasa cepat berkembang, karena
adanya rasa yang selalu haus itu. Barangkali ini disebabkan oleh hidupku selama itu
sesungguhnya kosong. Kasih-sayang ayah-ibu yang dan keakraban sesaudara selalu
kurasakan. Materi tidak kurang, bahkan juga semasa dalam pendudukan Jepang,
ketika banyak orang sakit beri-beri atau busung-lapar karena kurang makan. Tapi
ada rasa kosong atau apa. Entahlah, aku tidak bisa mengucapkannya dalam kata-
kata.

Instrumen filosofis untuk memecahkan kebuntuan itu tidak ada. Di rumah


koran tidak pernah ada lagi. Hanya buku-buku, semuanya dalam bahasa Belanda.
Tidak ada buku politik dalam perpustakaan keluarga kami. Satu-satunya buku yang
saat itu memberiku kepuasan adalah buku karangan Krishnamurti. Judulnya aku
tidak ingat lagi. Juga tentang apa yang diuraikan di sana, tidak ada lagi yang tersisa
50
di ingatanku sekarang. Walaupun ketika membacanya banyak bagian-bagian dari
buku itu yang kukutip di dalam buku catatanku.

Pada awalnya, mendengar hal-hal yang serba baru begitu, boleh dibilang aku
tidak bisa bicara. Orang Jawa bilang ndomblong. Tapi, aku menjadi semakin merasa
seperti kecanduan. Seperti selagi haus minum air.

51
6

REVOLUSI: PERJALANAN PULANG

BAGIKU revolusi bukan balas dendam, juga bukan gerakan menuntut hak
yang hilang. Revolusi bagiku ibarat "pulang ke rumah". Orang Jawa barangkali tidak
bisa mengerti. Karena orang Jawa, walaupun tertindas, mempunyai kebudayaan
sendiri. Mempunyai identitas. Dengan revolusi aku pulang ke rumah. Rumah
identitas, di mana ada satu lingkungan. Di sana itulah tempatku, di mana aku akan
bisa “menjadi orang". Itulah yang kurasakan tentang revolusi. Perasaan tentang
apa yang ada di dalamnya, dan bukan sekadar tentang kulit luarnya yang
menjanjikan dan memesona.

Aku berasal dari satu keluarga "yang begitu", mendapat pendidikan dan
pengajaran "yang begitu", dibesarkan dalam suasana kehidupan "yang begitu".
Kemudian datang revolusi yang memberi aku kekuatan dan keberanian untuk
melompat ke satu lingkungan baru, yang sama sekali berbeda bagai siang dan
malam dengan lingkungan lamaku “yang begitu" itu. Meninggalkan "dunia lama",
bagiku sama dengan meninggalkan dunia ibuku yang kolonial. Tapi tidak berarti aku
berlawanan dengan ibu, karena sejak itu sejatinya ibu bukan lagi menjadi

faktor bagi masa depan hidupku. Tidak ada yang perlu aku sesali, dan tidak
ada yang perlu aku kasihani. Ibu punya kehidupan mentalnya sendiri, aku juga
mempunyai kehidupan mentalku sendiri. Waktu proklamasi 17 Agustus 1945
diserukan, dan diikuti oleh Revolusi 17 Agustus yang segera menyusul, masih ada
waktu beberapa bulan ibu melihat aku. Tapi jarak antara kami sudah semakin jauh,

52
karena aku segera ikut terjun dalam semua kegiatan di Surabaya. Bagi ibu, juga bagi
aku pribadi, ini lalu berarti terbangun satu kondisi, sebagai persiapan ketika kami
harus saling berpisah. Perpisahan itu terjadi pada 6 November 1945, ketika aku
harus pergi ke Yogyakarta untuk menghadiri Kongres Pemuda yang pertama.

Aku tidak ingat, atau mungkin memang masih cuek, kapan dan apa makna
proklamasi kemerdekaan bagiku pribadi. Benar. bahwa aku telah menerima
pencerahan dari kelompok Siwabessy, tentang nasionalisme, tentang perjuangan,
dan tentang hal mendasar yang berkaitan dengan itu. Tapi terjunku di dalam arus
semangat "Revolusi Pemuda", lebih banyak karena terseret arus itu. Ketika itu aku
hanya tahu satu semboyan: "Merdeka atau Mati!". Tiga patah kata ajaib yang tidak
pernah dan tidak bisa aku lupakan.

Lalu, konsekuensi dari kata-kata itu, aku menyaksikan pemuda di jalan-jalan,


merah putih, bambu runcing, dan orang- orang yang berkumpul di Jalan Tunjungan
menggantikan "si" Merah-Putih-Biru dengan "sang" Merah-Putih – dengan
merobek bagian yang berwarna biru dari bendera itu. Aku hadir di sana. Tapi masih
sebagai penonton yang berdiri di kejauhan. Aku diajak ke sana oleh Saartje
Sopakua, seorang nasionalis, perempuan muda, guru sekolah, yang juga dari
kelompok Siwabessy. Ia, seperti juga semua anggota kelompok ini, adalah anggota
Pemuda Indonesia Maluku (PIM). Dalam "Peristiwa Tunjungan" September 1945
ini, PIM memang ikut aktif memainkan peranannya. Salah seorang anggota PIM
juga ikut naik ke bubungan atap hotel, di mana bendera merah-putih-biru berkibar.

Aku juga melihat, misalnya, betapa arogan orang-orang Belanda dan Indo-
Belanda yang baru saja terlepas dari kamp tawanan Jepang. Mereka masuk kota
Surabaya dengan kendaraan truk menuju Tunjungan, dan dengan sengaja

53
menabrakkan truk mereka pada kerumunan massa di sana. Orang-orang yang
bermental kolonial itu benar-benar tidak tahu diri. Mereka bisa keluar dari kamp
Jepang, notabene oleh proklamasi kemerdekaan bangsa yang pernah dijajahnya,
namun masih tetap merasa merekalah yang berkuasa. Kitalah yang dianggap
sebagai melanggar "ketertiban".

Dalam hubungan ini ada satu contoh. Dalam percakapan di teve Belanda,
sekitar satu tahun yang lalu,1 aku pernah dipertemukan dengan seorang
Drooglever, yang benar-benar bermentalitas kolonial. Kami berdebat tentang
masalah sikap Belanda kolonial pada hari-hari pertama usia Republik. Ia
membantah cerita yang kuperoleh dari kesaksianku, hanya berdasar
"kemungkinan".

"Itu tidak mungkin!" Katanya. "Mereka itu baru keluar dari penderitaan
selama di kamp!"

"Tapi, begitulah yang aku lihat dengan mata-kepalaku sendiri!" Terpaksa aku
menjawabnya dengan tak kalah keras kepadanya.

"Bagaimana aku harus katakan tidak begitu, jika yang kusaksikan memang
begitu?"

Rupanya mereka, orang-orang Belanda kolonial itu, menganggap negeri


Indonesia ialah tanah air mereka, dan merekalah yang punya hak atasnya.
Sedangkan kita, ialah orang- orang sawo-mateng yang tidak punya hak. Maka,
mereka juga menolak kita periksa.

Suatu ketika aku bersama Jetty Zain dan Harmini,2 ditugasi menjadi
penerjemah dalam pemeriksaan terhadap orang-orang Belanda dan Indo-Belanda
yang menjadi tawanan para pemuda PRI (Pemuda Republik Indonesia). Waduh!

54
Mereka itu bersikap sangat congkak terhadap kita. Misalnya, ketika berhadapan
dengan tim pemuda, yang terdiri dari Sumarsono,3 Bambang Kaslan dan kawan-
kawan, yang ditugasi untuk memeriksa mereka.

"Siapa yang mengharuskan kami menjawab kalian?" Jawab salah seorang


dari mereka, menantang dengan congkak.

Mereka menolak diperiksa. Mereka merasa sebagai pemenang, berhasil


mengalahkan Jepang, dan kembali ke miliknya yang lama, yang sudah diambil oleh
para pemuda. Padahal, mereka ditangkap dan diperiksa, justru untuk mencegah
terjadinya kaos yang timbul oleh amarah massa yang tak terkendali. Pemuda-
pemuda itu memperlakukan mereka dengan baik dan bijaksana.

Pada akhir masa pendudukan Jepang, kelompok Siwabessy bubar tanpa


berita. Begitu juga teman-teman PIM tidak lagi datang berkumpul. Barangkali
semuanya serentak bekerja ‘diam- diam' untuk menyambut datangnya proklamasi
kemerdekaan. Aku menjadi tidak tahu apa-apa lagi tentang peristiwa yang terjadi
'di luar rumah'. Maka, ketika datang 17 Agustus 1945, ia datang padaku seperti
halnya dengan hari-hari yang lain. Aku tidak tahu, apa itu makna hari-proklamasi,
karena tidak ada yang memberi tahu. Aku hanya terpesona oleh satu semboyan,
seperti sudah kuceritakan: "Merdeka atau Mati!", yang aku terima sebagai suatu
seruan avontur yang ajaib. Padahal, revolusi tentu saja bukan avontur, tapi benar-
benar suatu keajaiban dari tindak kesadaran. Tapi pada saat itu kesadaran belum
ada padaku. Ia tumbuh kemudian, ketika aku sudah masuk dan giat di dalam PRI
(Pemuda Republik Indonesia).

Tanpa mempunyai kesadaran tentang arti kata "proklamasi" dan "merdeka",


kuikuti peristiwa demi peristiwa menegangkan, yang perlahan-lahan tanpa

55
kusadari memberi bentuk benih kesadaranku tentang perjuangan. Suasana sibuk
dan "ribut" perebutan senjata dari tangan Jepang kuikuti dengan penuh perhatian.
Lalu aku segera pula terlibat langsung dan sibuk mencari bantuan obat-obatan, dan
penempelan kertas-kertas bertuliskan "Milik RI" di kantor-kantor dan gedung-
gedung- Aku hanyut dalam kegiatan ini. Siang-malam tanpa menghitung waktu.

Semua itu seakan-akan merupakan kegiatan-kegiatan yang sepele saja. Tapi


dari yang sepele ini telah tumbuh "perasaan berkuasa" dalam diriku. Aku melihat
orang-orang seumurku membawa bambu runcing, dan aku mendengar mereka
saling menyerukan salam "merdeka!", ketika berjumpa dengan sesama pemuda.
Aku merasa menjadi seperti raksasa.

Revolusi itu seperti raksasa yang bangkit.

Kalau kurenungkan kembali tentang perjalanan hidupku, aku merasa begitu


cepat benih nasionalisme tumbuh dan berakar di dalam jiwaku. Tentang Sukarno-
Hatta, tentang Proklamasi 17 Agustus 1945, tentang bendera Merah-Putih itu baru
kuketahui ketika mengikuti Kongres Pemuda di Yogya.

Ketika mendengar lagu "Indonesia Raya" untuk pertama kali dinyanyikan


banyak orang bersama-sama, yaitu di Markas PRI di Jalan Simpang Surabaya, aku
menangis. Selain oleh suasana yang menyertainya, juga oleh nada-nada lagu itu
sendiri, dadaku bergetar oleh kalimat pertama lagu yang berbunyi "Indonesia
Tanah Airku". Tanah Airku!

O, ternyata aku ini punya Tanah Air!

Di masa kecil dulu, jika aku menyanyikan lagu "Wilhelmus", ada juga di sana
suasana kebesaran. Tapi kebesaran yang tumbuh karena ditanamkan. Berbeda
dengan "Indonesia Raya" yang diam-diam seperti merayap sendiri masuk ke dasar
jiwaku.

56
7

BERSAMA PEMUDA MALUKU

AKU merasa bahagia setiap berada di tengah kelompok Siwabessy. Kira-kira


selama dua tahun, setiap hari aku belajar pada mereka. Di sinilah aku menemukan
apa yang kucari selama ini. Yaitu menutup rasa kosong dan serba tak menentu
dalam hidupku. Juga setiap kali di rumah, sejak saat itu, aku tidak lagi merasa
gundah dan tertekan. Bersamaan dengan itu akan menjadi punya rasa-berjarak
dengan seisi rumah. Aku merasa menjadi lain dari mereka itu. Juga dari ibuku
sendiri.

Di rumah aku tidak pernah membaca bacaan politik. Ini aturan yang
ditetapkan oleh kelompok studi. Bahkan membuat catatan-catatan tentang hal-hal
yang didengar selama berdiskusi juga tidak boleh. Semuanya disampaikan secara
lisan, dan disimpan dalam ingatan. Tanpa catatan apa pun. Tapi karena begitu nyata
topik yang diangkat, dan begitu jelas dan sederhana topik itu disampaikan,
sehingga catatan memang nyaris tidak ada gunanya. Ketika itulah terjawab
beberapa pertanyaanku yang sering timbul pada masa bocah. Misalnya, mengapa
aku yang hidup sehari-hari dalam gaya dan suasana "serba Belanda", tapi tetap
mempunyai rasa berbeda dari teman-temanku Belanda berkulit putih? Apakah
karena warna kulit, membikin al yang merasa tidak sama dengan mereka?

Juga aku teringat pada satu pertanyaan, yang dilempar oleh kelompok studi
itu, "mengapa yang memerintah dan selalu menempati kedudukan memimpin
bukan kita, tapi selalu kulit putih?" Pernah aku ditanya-apakah oleh Gerrit ataukah

57
Sam aku lupa-"Mengapa di dalam kelompok studi ini kita berbicara dalam bahasa
Indonesia? Dan mengapa aku lebih menguasai bahasa Belanda daripada bahasa
Indonesia?" Ketika aku menjawab, kami sehari-hari di rumah berbahasa Belanda
dan aku juga pergi ke sekolah Belanda, ia mendesakku lagi dengan pertanyaan
susulan, "Ya! Tapi mengapa itu?" Aku jadi marah bercampur malu karena
pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan itu. Bukan kepada Gerrit atau Sam
kemarahanku, tapi kepada diriku sendiri. Pada masa kecil di negorij-nya, di Saparua,
Gerrit sendiri memang tidak ke sekolah ELS, tapi di sekolah HIS atau Volksschool,
sekolah dasar atau sekolah rakyat untuk "pribumi". Baru sesudah dari sana, ia lalu
bersekolah di sekolah Belanda. Tapi bahasa Indonesia selalu digunakannya, baik di
rumah maupun di dalam pergaulan di lingkungannya.

Aku tidak tahu, kapan kelompok studi Gerrit bubar. Juga mengapa bubar.
Yang kuketahui, tiba-tiba saja mereka tidak datang lagi. Aku tidak ingat lagi,
bagaimana sesudah itu aku mengisi waktuku setiap hari. Tapi aku ingat, suatu
ketika, sesudah proklamasi, di kota Surabaya, ternyata aku sudah “hanyut" berada
di tengah-tengah kelompok yang bernama PRI (Pemuda Republik Indonesia).
Kelompok ini dibentuk di kota Surabaya bagian utara dan bagian selatan, dan
masing-masing disebut menurut kiblatnya, sehingga kita mengenal ada dua PRI,
yaitu "PRI-Utara", dan "PRI-Selatan". Aku bergabung dalam PRI- Utara orang yang
dipimpin oleh Kapten Sapia. Kapten Sapia ini di zaman Hindia Belanda ikut aktif
dalam gerakan perlawanan awak kapal yang, disebut mengikuti nama kapalnya,
terkenal dengan nama "Zeven Provincien". Pemberontakan "Kapal Tujuh" pada
sekitar pertengahan tahun 30-an. Barangkali, ketika aku bertemu di Surabaya pada
awal kemerdekaan itu, tinggal dialah satu-satunya bekas pimpinan pemberontakan
"Kapal Tujuh" yang masih hidup.

58
Walaupun anggota PRI tidak hanya khusus terdiri dari anak- anak muda
Maluku, tapi PRI-Utara memang bisa dibilang sebagai "Pasukan Maluku",
mengingat seluruh anggotanya terdiri dari para pemuda Maluku. Sedangkan
anggota PRI- Selatan adalah para pemuda berasal dari Sulawesi, yaitu mereka yang
tergabung dalam barisan kelaskaran KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi).
Karena kenyataannya begitu, orang- orang lalu menyebutnya ada dua PRI, yaitu
"PRI Maluku" dan "PRI KRIS". Laskar KRIS inilah yang pada tahun-tahun awal perang
kemerdekaan menjadi pengawal Istana Presiden, Gedung Negara sekarang, di
ibukota Yogyakarta.

Aku tidak ingat, bagaimana dan siapa yang mengajakku saat itu aku sudah
ada di PRI Pusat, di sositet Jalan Simpang. Tapi, sepertinya, begitu ada di tengah
mereka, aku langsung ikut aktif bersama mereka. Sesungguhnya sositet Jalan
Simpang ini merupakan markas PRI Pusat dan kedua-dua PRI, baik PRI Utara atau
PRI Maluku maupun PRI KRIS atau PRI Selatan.

Ketika itu, beberapa teman dekatku, seperti Maasje Siwi, Harmini, istri
Ruslan Widjajasastra, dan Rusiyati, juga sudah ada di markas PRI. Kami berempat
setiap hari selalu di markas PRI Jalan Simpang itu. Beberapa orang pimpinan markas
pusat PRI ini, yang sehari-hari kujumpai, di antaranya ialah Bambang Kaslan, Ruslan
Widjajasastra, Sumarsono, Tjugito dan Sukarno. Mereka itu jugalah tokoh-tokoh
pembimbing untuk kader-kader muda seperti halnya aku saat itu.

Sejak giat di dalam PRI ini, aku sangat jarang pulang ke rumah, dan bahkan
sama sekali keluar dari rumah sesudah kongres pemuda di Yogya berlangsung, yaitu
pada sekitar 10 November 1945.

59
8
KONGRES PEMUDA DI YOGYA
VEEL SUCCES!

KONGRES Yogya itu berlangsung sekitar 10 November 1945. Selain utusan


dari PRI Pusat, juga PRI Utara dan PRI Selatan masing-masing mengirim utusannya
sendiri-sendiri. Sebagai wakil PRI Utara, semula bukan aku yang ditunjuk, tapi
seorang tokoh perempuan bernama Saartje Sopakua. Seperti sudah kuceritakan, ia
juga termasuk dalam kelompok Siwabessy, yang pada waktu itu sudah menjadi
seorang tokoh perempuan Ambon yang terkenal. Karena Saartje berhalangan
berangkat, mungkin karena sulit meninggalkan tugasnya sebagai guru sekolah, PRI
memutuskan aku yang berangkat sebagai penggantinya, menjadi utusan PRI Utara.
Walaupun kegiatanku lebih banyak di PRI Pusat daripada PRI Utara, tetapi aku
mulai terjun bersama mereka memang melalui PRI Utara atau PRI Maluku.

Setelah Saartje jelas tidak bisa berangkat, sekarang giliranku yang menjadi
ganti. Apakah aku bisa berangkat? Apakah ibuku akan memberi izin? Di samping
oleh alasan keluarga ini dan itu, yang hanya ibu sendiri yang tahu, situasi umum
ketika itu sangat tegang. Kekhawatiranku itu kusampaikan pada pimpinan PRI Pusat
yang saat itu ada di markas, yaitu Bung Sumarsono, Bung Bambang Kaslan, dan
Bung Sukarno-Ya, aku sudah terbiasa, bermula dari sekadar mengikuti kebiasaan,
di antara kami dala menyapa kawan-kawan laki-laki sekelompok dengan sebutan
"bung".

Sebagai ilustrasi barangkali baik dan perlu juga perihal sapa- menyapa, yang
seakan remeh ini kusinggung. Karena inipun agaknya mencerminkan semangat
egaliter yang hidup dan menapasi sepak terjang kalangan para pemuda pejuang

60
pada masa itu. Semangat egaliter yang "mengatur" tata pergaulan baru para
pemuda khususnya, dan masyarakat Indonesia di alam kemerdekaan pada
umumnya. Tata pergaulan yang tidak diselimuti dengan serba-tatakrama semu.
Maka, sebutan "pak dan "bu" di masa itu, kecuali untuk mereka yang memang kami
anggap patut dituakan, tidak lazim kami pakai. Bahkan kata "saudara" untuk sapaan
antar-kami tidak lazim. Kata "saudara" hanya kita pakai sebagai sebutan umum dan
formal, ketika kami berbicara di depan publik. Sedangkan di antara perempuan
sesama aktivis, kami langsung menyebut nama; atau dengan sapaan "zus", untuk
seseorang yang belum dikenal akrab. Agaknya, ini karena pengaruh pendidikan
Belanda melatarbelakangi kami.1

Demikianlah. Kelaziman sapa-menyapa di antara sesama laki-laki, yang


berlaku ketika itu, tidak pandang pemimpin atau rakyat biasa, bahkan terhadap
tukang becak atau pesuruh sekalipun. Kami menyapa sesama kawan sekelompok
PRI, juga para tokoh pimpinan kami, dengan sebutan "bung"; sebaliknya mereka
menyapa kami selalu dengan sebutan "zus".

Menerima kata-kata kekhawatiranku tentang larangan ibuku, pada petang


hari berikutnya Bung Sumarsono, Ruslan, Kaslan, dan Sukarno, empat orang
pemuda pimpinan PRI itu datang ke rumah. Mereka hendak bertemu dan berbicara
langsung dengan ibuku. Hatiku tambah berdebar-debar. Ibuku yang pernah
kehilangan kepercayaan -sejak pengalamannya mengurusi dapur umum terhadap
pemuda-pemuda BPRI Bung Tomo dan menjadi patah-arang terhadap "orang
Jawa", "pemuda pejuang" dan "revolusi". Apalagi empat laki-laki muda pimpinan
PRI yang datang petang itu semuanya berambut gondrong, kepalanya berikat pita
warna merah, "warna ekstremis", memakai kaplaars dan berpestol di pinggang
mereka. Bung Ruslan bahkan dengan dua pestol di pinggang kiri dan kanan.
61
Lepas petang hari mereka datang ke rumah. Ibuku dan saudara-saudaraku
yang sebelumnya pernah kenal dengan model-model orang muda seperti mereka
itu! Apakah ibu atau saudara-saudaraku akan mau membukakan pintu untuk
mereka? Tapi di lain pihak, agaknya para pemuda itu sudah sepakat dan bulat: Aku
harus ikut sebagai anggota delegasi PRI ke Kongres Pemuda di Yogya. Tidak bisa
tidak!

Aku tidak ikut duduk, saat ibuku menemui mereka. Sudah menjadi adat
kebiasaan kami di rumah, anak-anak hanya boleh ikut menyambut ketika tamu
datang. Tapi sesudah itu kami harus mundur, dan menyilakan tamu berbicara
dengan yang hendak ditemui. Lagi pula petang itu aku tahu, yang akan menjadi
topik pembicaraan justru aku sendiri. Karena itu aku ingin memberi keleluasaan
pada ibu, agar bisa mengutarakan apa yang ingin dia utarakan. Maka sesudah bung-
bung itu kuperkenalkan pada ibu, aku pun mundur ke belakang. Aku hanya keluar
lagi ketika menghidangkan teh untuk mereka. Aku mendengar mereka berbicara
dalam bahasa Belanda, walaupun kalau di markas kami selalu berbahasa Indonesia.
Barangkali karena sengaja ingin melunakkan hati ibu atau, selain itu, ingin "pamer"
bahwa pemuda-pemuda Jawa "ekstremis" yang berambut gondrong pun bisa
berbahasa Belanda dengan lancar. Setelah beberapa saat, kemudian mereka pun
pulang. Ibu segera masuk mencari dan bicara padaku.

"Kamu berangkat ke Yogya!" Kata-katanya pendek. Ts ragu atau kesal. Tentu


saja dalam kata-kata dan tanpa nada tegas Belanda.

Betapa aku gembira mendengar kata-kata ibuku itu. Tidak pernah sedikit pun
terlintas di hatiku, ibu akan mengucapkan kata-kata demikian, yang disuarakannya
dengan nada ikhlas pula! Aku hampir tidak percaya pada apa yang kudengar. Tapi

62
aku sengaja menyembunyikan kegirangan hatiku yang melonjak-lonjak. Aku takut
ibuku tersinggung jika aku memperlihatkan kegiranganku dengan terang di depan
dia. Atau, karena melihat aku terlalu gembira, keputusannya yang sudah
diucapkannya itu akan ditariknya kembali. "Kenapa kamu diam? Apa kamu tidak
gembira?" "Gembira. Aku gembira sekali, moes!" Sahutku. "Moes" panggilan
kesayangan kami sehari-hari pada ibu. Kata itu mempunyai arti sama dengan
"moeder": "ibu". "Moes" atau “moesje", ibu sayang.

Selanjutnya tidak ada lagi yang dikatakannya, selain aku dimintanya agar
segera mempersiapkan diri. Esok malam, bersama rombongan delegasi PRI, aku
sudah harus berangkat. Malam itu ibu juga ikut sibuk, menyiapkan beberapa
potong baju yang harus kubawa. Ia bahkan menyempatkan diri untuk bahan
pakaian baru, dan menjahitnya sendiri memotong untukku. Aku tak mengerti,
bagaimana ibuku memberi izin aku pergi. Mungkin juga karena kepandaian empat
bung-bung itu dalam "berdiplomasi" dengan ibu. Kongres Pemuda Yogya itu jelas
sebuah kongres politik. Padahal, politik perihal yang tabu di tengah keluargaku.
Lebih dari itu, politik yang mendukung perjuangan kemerdekaan. Artinya, suatu
perjuangan yang tidak menginginkan kembalinya Belanda di Indonesia. Perjuangan
dalam penglihatan ibuku, tak lebih dari perjuangan yang, "Orang-Orang Jawa".
Dalam kedudukannya sebagai underdog "Orang Jawa" boleh dikasihani. Tapi, ia
jangan diberi kekuasaan atau kewenangan memimpin. Jangan!

Di depan sudah kuceritakan, bahwa jiwa Mestiso sangat mendalam


merasuki alam-pikiran ayah-ibuku. Ibuku seorang biasa yang, melalui
perkawinannya dengan ayahku, perempuan kemudian posisi sosialnya bisa
terangkat naik. Kenikmatan baru yang dirasainya itu, di dalam suasana dan
lingkungan adab dan budaya Mestiso, membikin ia jadi lupa akan akarnya. Kalau
63
aku bilang ibuku anti-Jawa, itulah suasana umum di kalangan komunitas Indo.
Jangan sampai orang Jawa yang mereka maksud tentu orang Indonesia untuk
berkuasa. Karena itu, sejak Belanda melalui perundingan KMB mengalami
kekalahan politik, memang ada proyek Belanda untuk memakai Indo sebagai kuda
tunggang dengan Papua Barat sebagai basis. Indo dan Papua Barat adalah
kendaraan dan basis politik kolonialisme Belanda dalam menghadapi Indonesia
pasca- memperoleh kesempatan KMB.

Kalau masalah politik ditabukan di dalam rumah keluarga kami,


sesungguhnya karena ayahku tidak menginginkan terjadinya pergolakan dan
perubahan. Karena pergolakan dan perubahan hanya akan mengguncang dan
menghancurkan kemapanan. Politik tabu dibicarakan di tengah percakapan
keluarga. Tapi, tabu membicarakan politik tidak berarti sama dengan a-politik,
apalagi anti-politik. Bahwa politik bagi ayahku bukan tabu, bisa dibuktikan dengan
keanggotaan dia di dalam IEV, Indo-Europeesch Verbond (Perserikatan Indo-Eropa).
Meskipun hanya sebagai anggota biasa, namun cukup menjadi petunjuk tentang
sikap atau pemihakannya. Memang, ibuku tidak ikut masuk ke IEV, tapi mengingat
kedudukannya sebagai istri laki-laki yang mempunyai status hukum
"dipersamakan", gelijkgestelde, pasti ini membentuk kesadarannya tumbuh
mengikuti suaminya. (71)

Karena itu, sulit bagiku untuk mengerti, bahwa ternyata ibuku memberi izin
aku pergi. Pergi ke Yogyakarta untuk kegiatan politik menentang Belanda. Apalagi
ibu juga tahu, aku akan pergi bersama satu kelompok pemuda-pemuda Jawa,
semuanya berambut gondrong dan berpakaian acak-acakan, walaupun semuanya
berbahasa Belanda dengan lancar.

64
Keherananku tidak hanya berhenti di situ. Ibuku yang tanpa ngomong satu
patah kata pun, mengisi koper yang hendak kubawa dengan pakaian. Sementara
itu, aku berusaha mencuri kesempatan, memandangi wajah ibu sambil bertanya-
tanya dalam hati. Mengapa ini bisa terjadi? Apakah dia merasa kalah yang tanpa
atau marah atau ... bagaimana? Tapi, aku mengenal benar siana ibuku. la bukan
orang yang berwatak demikian. Aku tahu in perempuan yang sangat lembut hati.
Hanya memang ia seorang perempuan yang tidak bisa menyatakan perasaannya.
Atau mungkin bisa, tetapi ia memang tidak suka begitu. Perasaan ialah kehidupan
batin yang tidak boleh dipamer-pamerkan di depan orang. Sekalipun pada anaknya
sendiri.

Ketika waktu berangkat tiba, dan aku pamitan padanya, dialah yang
mendahului menciumku. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, selalu kami
anak-anaknya, ketika mau pergi atau mau tidur yang menciumnya terlebih dulu.
"Dag, Moes!" atau "Welterusten, Moes!". Dan ibu tidak pernah memberi balasan
dengan ciuman. Ia hanya membelai lembut pipi anak-anaknya, sambil
mengucapkan suaranya yang lembut, "Dag!" atau "Welterusten!"

Kali itu, ibuku lain sama sekali dari ibuku dengan kebiasaannya yang kukenal.
Ia memegangi kedua pipiku, menciumku berkali-kali, dan kemudian digenggamnya
dua tanganku erat-erat.

"Veel succes!" Katanya sambil matanya menatap kuat ke mataku.

"Veel succes!" Dua patah kata saja. Tapi yang diucapkannya tidak sekadar
sebagai kata-kata dari bahasa basi. Aku merasai benar. Itu bukan sekadar kata-kata
biasa. Itu kutangkap sebagai doa-restu dari seorang ibu. Oleh karena kuterima
sebagai doa- restu, maka aku pun tidak ragu terhadap kesetujuannya. Aku

65
berangkat. Berangkat demi kemerdekaan bangsa dan tanahair. Demi Belanda tidak
kembali berkuasa di Indonesia, yang dahulu bernama "Hindia Belanda".

Bayangkanlah itu! Perubahan itu! Perubahan yang seakan-akan tanpa


pergolakan. Bahwa dalam sepenggal petang hari, seluruh pandangan berpikir ibuku
tentang hidup dan hidup berbangsa menjadi berubah sama sekali! Rela melepas
aku pergi ke Yogya, Ibukota Revolusi, berarti rela melepas Hindia Belanda. Rela
memutus memorinya dengan masa lalu yang, barangkali tidak berlebihan jika
kukatakan, sudah menjadi napas hidup identitas itu sendiri.

Kejadian itu tidak bisa kulupakan sepanjang hidupku. Tidak! Kejadian yang
seakan-akan begitu kecil seperti itu akan terus mengikuti aku sampai nanti saat aku
mati. Perasaan seperti itulah yang membikin hidupku menjadi sangat kaya. Kaya
dengan keinginan untuk selalu berbuat yang lebih baik dan lebih besar dari hari ke
hari. Peristiwa kecil yang punya makna besar dalam hidupku.

Kenyataannya, sejak itu juga aku tidak pernah merasa bersalah sedikit pun
meninggalkan ibuku, saudara-saudaraku, rumahku dan segala-galanya. Demi cita-
cita hidupku. Karena ternyata, sesudah peristiwa itu, aku tidak pernah bertemu lagi
dengan ibuku. Sampai kini, ketika aku berkisah ini.

66
9

MERDEKA ITU PULANG

KONGRES Yogya itu Kongres Pemuda Indonesia yang pertama kalı


diselenggarakan sesudah Indonesia merdeka. Berlangsung selama empat-lima hari
di Gedung Merdeka.1 Tanggalnya aku tidak lagi ingat persis.2 Tapi pasti satu-dua
hari sebelum 10 November 1945, barangkali 8 atau 9 November. Karena saat
kongres berlangsung, tiba-tiba kami mendengar kabar, kota Surabaya diserang
musuh dengan luar biasa hebat. Hujam bom dari udara, disertai dengan hujan
tembakan merian dari laut. Inggris atasnama Sekutu, yang diboncengi oleh NICA,3
sebagai negeri pemenang Perang Dunia II memamerkan kejayaannya di depan bayi
Republik Indonesia yang baru lahir beberapa hari. Atasnama Sekutu ia tampil di
depan Republik, sebagai mewakili kepentingan kolonialis Belanda, untuk memberi
"punishment"4 atas perbuatan para pemuda yang telah menimbulkan gangguan
terhadap "rust en orde". Utusan pemuda Jawa Timur, khususnya Surabaya, lalu
meninggalkan kongres. Mereka bertekad kembali ke Surabaya untuk bertempur.
Itulah peristiwa yang kemudian kita kenal sebagai Peristiwa 10 November, dan
yang kemudian diresmikan oleh pemerintah RI sebagai Hari Pahlawan.

Kami langsung menuju Mojokerto. Setibanya di sana kita jumpai kota


Surabaya sudah tertutup. Aku, seperti sudah kukisahkan di atas, tidak lagi kembali
ke rumah. Aku lalu tinggal di markas Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia),
organisasi pemuda yang terbentuk dalam kongres itu. PRI seluruhnya iku bersama
berpuluh-puluh organisasi pemuda lainnya, lebih dari empat puluh, bergabung
atau berfusi di dalamnya. Tetapi juga tidak sedikit yang justru keluar, karena fusi
67
yang sebenarnya terlalu dipaksakan. Para tokoh PRI inilah yang kemudian
memegang pimpinan dalam Badan Kongres Pemuda (BKPRI) dan selanjutnya juga
dalam Pesindo. Karena itu pula, maka Bung Sukarno alias Mas Karno, yang semula
pimpinan PRI, kemudian juga masuk dalam kelompok pimpinan Pesindo. Ia kepala
bagian penerangan.

Aku masih hijau ketika itu, sehingga hal yang dibicarakan di dalam kongres
dan keputusan-keputusan terpenting yang diambil kongres, aku tidak ingat lagi.
Pada saat itu, aku belum menaruh perhatian secara serius pada soal-soal politik dan
gerakan kepemudaan. Tapi, yang meninggalkan kesan sangat mendalam padaku
adalah saat dilaporkan kepada Kongres tentang terjadinya bombardemen atas kota
Surabaya. Serentak pemuda-pemuda Surabaya naik panggung dan menyatakan
sikap bersama. Tanpa kesepakatan terlebih dahulu, tapi menyatakan tekadnya
yang satu dan di dalam satu bahasa. Mereka tidak bisa meneruskan berkongres,
dan memutuskan untuk segera kembali ke Surabaya. Bertempur!

Peristiwa itu sangat berkesan di hatiku. Peristiwa 10 November 1945. Itulah


ikrar Sumpah Pemuda kedua sesudah sumpah, 28 Oktober 1928. Jika dalam
sumpah pemuda pertama mereka berikrar tentang persatuan, sumpah pemuda
kedua ini mereka berikrar tentang kebangkitan bersama untuk mewujudkan dan
membela sumpah persatuan itu. Persatuan Nasional. Ikrar yang pertama ikrar
persatuan untuk membentuk "Indonesia yang satu". Ikrar membela dan
mempertahankan "Indonesia yang satu" itu juga. Selain itu, ada kejadian kedua
yang juga menggetarkan dan menggugah kesedaran nuraniku. Yaitu aku
menyaksikan satu sosok, dan kemudian mendengarkan suara sosok itu, yaitu
pembicara yang dikenal oleh para peserta kongres bernama Bung Amir. Dialah Amir
Sjarifuddin. Siapa Bung Amir, ketika itu aku belum tahu. Aku tahu sesudah diberi
68
tahu sesama peserta kongres, bahwa Bung Amir adalah seorang pejuang bawah-
tanah anti-fasis Jepang. Ia baru saja membebaskan diri dari tempat penahanannya
di Sumber Pucung Malang. Ia tahanan politik dinas rahasia Jepang, Kempeitai, yang
dijatuhi hukuman mati. Tapi ia membebaskan diri. Aku mendengar banyak cerita
tentang Pemerintah Jepang, yang kedua ikrar persatuan untuk tidak segera
melaksanakan hukuman mati atas Bung Amir. yang Ada yang mengatakan karena
usaha Bung Karno, tapi juga ada yang membantah, dan mengatakan sebagai usaha
Bung Hatta. Terlepas dari soal berebut benar-apakah Sukarno ataukah Hatta- yang
tentu tidak terlepas dari perspektif dan kepentingan politik masing-masing, bagiku
yang lebih penting ialah tentang adanya peranan mereka dalam hal pembatalan
hukuman mati oleh Jepang terhadap Amir Sjarifuddin. Ketika itu yang membikin
aku lebih terkesan, bukan tentang siapa yang telah memainkan peranan dalam
memperpanjang umur Bung Amir, tapi Bung Amir dan kawan-kawannya telah
membebaskan diri dari tahanan. Membebaskan diri, bukan dibebaskan! Kejadian
ketiga yang juga tidak mungkin aku lupakan- karena aku seketika menjadi kaget dan
terheran-heran. Di ruang kongres itu, aku bertemu kakakku, Delly Fanggidaej, yang
fasih bicara Prancis. Dia memakai pakaian tradisional Timor. Cantik sekali kulihat.
Bukan karena pakaian tradisional yang mewujudkan dan membela sumpah
persatuan itu. Persatuan Nasional. Ikrar yang pertama ikrar persatuan untuk
membentuk "Indonesia yang satu". Ikrar yang kedua ikrar persatuan untuk
membela dan mempertahankan "Indonesia yang satu" itu juga.

Selain itu, ada kejadian kedua yang juga menggetarkan dan menggugah
kesedaran nuraniku. Yaitu aku menyaksikan satu sosok, dan kemudian
mendengarkan suara sosok itu, yaitu pembicara yang dikenal oleh para peserta
kongres bernama Bung Amir. Dialah Amir Sjarifuddin. Siapa Bung Amir, ketika itu

69
aku belum tahu. Aku tahu sesudah diberi tahu sesama peserta kongres, bahwa
Bung Amir adalah seorang pejuang bawah-tanah anti-fasis Jepang. Ia baru saja
membebaskan diri dari tempat penahanannya di Sumber Pucung Malang. Ia
tahanan politik dinas rahasia Jepang, Kempeitai, yang dijatuhi hukuman mati. Tapi
ia membebaskan diri.

Aku mendengar banyak cerita tentang Pemerintah Jepang, yang tidak segera
melaksanakan hukuman mati atas Bung Amir. yang Ada yang mengatakan karena
usaha Bung Karno, tapi juga ada yang membantah, dan mengatakan sebagai usaha
Bung Hatta. Terlepas dari soal berebut benar – apakah Sukarno ataukah Hatta –
yang tentu tidak terlepas dari perspektif dan kepentingan politik masing-masing,
bagiku yang lebih penting ialah tentang adanya peranan mereka dalam hal
pembatalan hukuman mati oleh Jepang terhadap Amir Sjarifuddin. Ketika itu yang
membikin aku lebih terkesan, bukan tentang siapa yang telah memainkan peranan
dalam memperpanjang umur Bung Amir, tapi Bung Amir dan kawan-kawannya
telah membebaskan diri dari tahanan. Membebaskan diri, bukan dibebaskan!

Kejadian ketiga yang juga tidak mungkin aku lupakan- karena aku seketika
menjadi kaget dan terheran-heran. Di ruang kongres itu, aku bertemu kakakku,
Delly Fanggidaej, yang fasih bicara Prancis. Dia memakai pakaian tradisional Timor.
Cantik sekali kulihat. Bukan karena pakaian tradisional yang dikenakannya itu aku
menjadi kaget, tapi karena aku melihat pancaran semangat yang mewarnai
wajahnya! Entah bagaimana Delly bisa ikut berkongres, dan sejak kapan ia
mempunyai terjadi kesadaran baru tentang keindonesiaan seperti yang pada
diriku, aku sama sekali tidak mengerti. Apakah saat aku diam-diam belajar pada
kelompok pemuda Maluku di rumah keluarga Siwabessy, Delly diam-diam juga
menemukan kelompoknya sendiri? Kelompok pemuda-pemuda Timor?
70
Tentu saja ia pun berangkat ke Yogya, dari rumah kami di Surabaya. Tapi,
anehnya lagi, di rumah aku tidak pernah mendengar dia bercerita tentang kongres
itu. Apakah ia pamit kepada ibu, dan mendapat doa-restu ibu seperti halnya diriku,
aku juga tidak tahu. Karena ibuku tidak berkata sesuatu ketika aku pamit untuk
berangkat. Mungkin saja ia berangkat sesudahku, atas prakarsa dan penunjukan
masyarakat Timor di Surabaya saat itu. Atau sebaliknya? Delly terlebih dahulu
minta izin, dan ibu memberikannya, karena itu, ibu tidak bisa berbuat lain selain
memberi izin kepadaku. Delly berangkat atas nama Timor, sumber dan tanah
kelahiran ibu sendiri. Sedang aku berangkat atasnama pemuda Surabaya yang
tergabung dalam PRI. Tapi jika kepada anak yang satu diberi izin, mengapa kepada
anak yang lain tidak?

Aku bertemu Delly, di luar Gedung “Merdeka", pada hari pertama Kongres
dibuka, 8 atau 9 November. Aku tak tahu kapan Delly tiba di Yogya. Ia tidak
bercerita, dan aku pun tidak menanyakannya. Aku sendiri sibuk di dalam panitia
sejak tiga hari sebelum kongres dibuka. Perasaan kaget, heran, dan gembira
campur-aduk. Rasanya, seakan-akan sudah kehilangan dia bertahun-tahun, dan
ketika itu tiba-tiba aku menemukannya kembali. Kami saling berangkulan, padahal
belum pernah kamı berdua saling berangkulan. Tiba-tiba kami merasa satu hati dan
satu pikiran. Bukan sekadar "satu darah" sebagai anak-anak dari dua orang tua yang
sama. Tanpa kata-kata.

"Ya, aku di sini!" Katanya seketika, membaca keherananku. "Di sini, bersama
teman-teman.

Siapa teman-teman yang dimaksud aku tidak tahu. Delly juga tidak mengajak
aku berkenalan dengan mereka. Aku tidak punya kesempatan untuk bertanya,

71
karena sesudah kongres itu kami tidak pernah bertemu lagi, kecuali sekali ketika
kami sama- sama di Malang, di dalam pengungsian. Sesudah kota Surabaya menjadi
puing-puing. Seperti kata pepatah, pertemuanku dengan Delly ibarat “Two ships
that pass in the night”. Berpapasan di tengah lautan, saling menyerukan seruling
masing-masing, sambil meneruskan pelayaran di tengah gelap malam yang
diterangi bintang-bintang pemandu.

Hanya begitu saja. Tapi aku sangat gembira, karena dengan adanya dia di
pengungsian itu, aku percaya bahwa dia pun berpihak pada Republik, sebagai cita-
cita dan perjuangannya.

Aku tidak ingat lagi butir-butir masalah apa yang dikemukakan Bung Amir
dalam pidatonya itu. Bahkan tema utama Kongres saja aku tidak ingat. Tidak
kuperhatikan. Selain karena kesibukanku sebagai anggota panitia kongres, juga
karena aku ketika itu masih terlalu muda. Muda umur dan muda pengalaman.
Pengalaman dalam gerakan. Apalagi gerakan politik pemuda, aku masih hijau. Aku
hanya merasa seperti tersihir ketika melihat sosok Bung Amir tampil di mimbar.
Rambutnya gondrong, berkacamata, berwajah simpatik, dan penuh percaya diri.
Sejenak ia mengedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan kongres,
kemudian disusul dengan acungan tangan kanannya. Lalu, terdengarlah suaranya
yang jernih menyerukan sepatah kata, tiga kali berturut-turut: "Merdeka!
Merdeka! Merdeka!"

Peserta kongres menyahut serentak dengan seruan yang sama, kemudian


diikuti dengan gemuruh tepuk tangan. Ketika itulah aku seperti dalam trans.
Nuraniku seakan digetarkan oleh satu arus gelombang, yang sangat kuat tetapi
lembut. "Merdeka!" Inilah kata dan makna yang selama itu kucari dan kurindukan.

72
Aku merasa seperti kembali ke "Rumah Sendiri" Ini satu proses rediscovery yang
kualami begitu cepat.

Aku telah menemukan akarku yang sebenarnya, yang selama itu kucari. Di
dalam satu ruangan sebuah gedung bernama "Gedung Merdeka", di tengah
banyaknya utusan pemuda dari berbagai sukubangsa dan daerah di Indonesia.
Pada saat itu, dua patah kata "Merdeka" dan "Indonesia", telah menyentak jiwaku
yang sedang lelap tertidur, sehingga menjadi hidup dan terjaga. Aku telah kembali
ke "rumahku". Indonesia Merdeka!

Maka, kata "merdeka" bagiku tidak habis pada pengertian "bebas", "lepas"
atau "tidak bergantung", atau pengertian- pengertian lain yang sepadan. Lebih dari
itu, "merdeka" bagiku sekaligus juga mengandung adanya jatidiri atau identitas.
Identitas pribadi, identitas bangsa. Oleh karena itu, ia tidak bisa dikurangi, juga
tidak boleh ditambahi. Jatidiri tidak bisa dikurangi atau ditambahi. Sekali dikurangi
atau ditambahi, ia bukan lagi jatidiri. Ia bukan lagi "Merdeka". Ia bukan lagi
"Indonesia". Mungkin lebih banyak emosional ketimbang rasional, tapi bukankah
jatidiri atau identitas bukan sekadar masalah rasio saja?

Di Gedung “Merdeka" Yogyakarta saat itu, ikatan emosional sebagai


pemersatu bangsa, memang sangat kuat aku rasakan. Kami bersama-sama
merasakan sebagai satu ikatan rumpun-rumpun bangsa, dan aku salah satu
rumpun di antara sesama rumpun lainnya. Ikatan yang bukan hanya dirasakan
tentang adanya, tapi juga dirasakan tentang kebutuhannya.

Perasaan seperti itulah yang tiba-tiba aku rasakan seketika. Perasaan?


Mungkin lebih tepat kesadaran atau sense. Sense tentang arti “Merdeka". Sense
tentang arti "Indonesia". Dan perasaan seperti itu masih tetap mengalir pada

73
diriku. Tidak sedikit pun berkurang, malahan semakin "menyala". Padahal, sudah
setengah abad lebih! Mengapa ia tidak mengabur dan menghilang bersama dengan
semakin bertambahnya umur?

Aku sendiri tidak punya jawabannya. Tapi, bagiku hal itu suatu keindahan
yang selayaknya harus aku jaga dan aku pertahankan.

74
10

KEPUTRIAN PESINDO

DI Mojokerto kami perlahan-lahan mulai mengorganisasi Pesindo. Aku


duduk di Bagian Penerangan Dewan Pimpinan Pusat, yang ada di bawah pimpinan
Mas Karno. Selain giat di bagian ini, bersama tujuh atau delapan perempuan
sebayaku, aku membangun bagian yang kemudian kami sebut Bagian Keputrian
Pesindo. Ketika itu istilah "perempuan", bahkan "wanita", belum lazim digunakan
di kalangan para aktivis. Biasanya kami menggunakan kata “putri" dan "keputrian".
Di antara mereka itu ialah, selain aku, Yetty Zain-adik Zairin Zain yang pernah
diangkat sebagai Duta Besar RI di masa pemerintahan Presiden Sukarno–Kapti yang
saat itu masih mahasiswa, Harmini-istri Ruslan Widjajasastra-dan Rusiyati.1

Kemudian kami pindah ke Madiun, mengikuti Dewan Pimpinan Pusat (DPP)


Pesindo yang berkedudukan di kota ini. DPP Pesindo saat itu dipimpin oleh
Krissubanu. Kota Madiun, di samping menjadi tempat kedudukan DPP Pesindo,
juga menjadi tempat kedudukan BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik
Indonesia) yang dipimpin oleh Sumarsono. Kantor DPP Pesindo terletak di dalam
kota, di Jalan Beringin, sedangkan BKPRI bermarkas di luar kota, yaitu di desa
Rejoagung.

Karena aku tidak seperti Yetty, Harmini dan Rusiyati yang pandai berbahasa
Jawa, kegiatanku tidak banyak keluar. Bahasa Indonesiaku juga belum sebaik
seperti mereka. Mereka lebih banyak melakukan pekerjaan kampanye,
memberikan penerangan ke daerah-daerah pelosok. Aku lebih banyak di markas

75
menyusun rencana, terutama untuk pendidikan massa dan kader-istilah saat itu
untuk "aktivis". Aku juga harus banyak menulis artikel untuk pers dan pekerjaan-
pekerjaan administrasi kantor. Kalau terkadang aku ikut berkampanye, aku tidak
ikut berbicara. Meski demikian, bukan tidak penting juga bagiku, karena dengan
begitu aku, selain bisa belajar bahasa Indonesia sebagaimana dipakai sehari-hari,
juga bisa melihat dan menangkap suasana di lapangan secara langsung.

Masa itu bagiku memang merupakan masa yang penuh pembelajaran. Dari
sanalah aku semakin memperdalam kesadaran dan memperkokoh identitas diriku.
Kami semua bekerja di markas, tidak seperti pegawai kantor. Kantor apa saja.
Sekalipun kantor itu, katakanlah, kantor partai atau ormas. Bagi kami Pesindo ialah
"diri kami sendiri". Bagiku Pesindo itulah "diriku sendiri". Apalagi kami kebanyakan
tinggal di asrama. Sehingga kami umumnya bekerja tanpa jam kerja. Jam kerja kami
ialah kesadaran kami tentang tanggungjawab sendiri.

Di Madiun selain bekerja di DPP Pesindo, seperti ketika masih di Surabaya,


aku juga bekerja untuk BKPRI. Ketika itu BKPRI mempunyai stasiun radio, yaitu
Radio Gelora Pemoeda Indonesia. Stasiun radio ini terletak tidak jauh dari asrama
kami di Jalan Bumi, yang biasa kutempuh dengan jalan kaki selama 10-15 menit.
Tugasku untuk menyelenggarakan siaran vooravond, pada sekitar jam 7 sampai 8
petang. Selain untuk kepentingan memberikan informasi tentang situasi Republik
kepada pendengar di luar negeri, juga yang menjadi sasaran siaran kami ialah
serdadu-serdadu NICA yang umumnya anak- anak muda milisi, yang mereka ini
sesungguhnya tidak tahu-menahu tentang urusan konflik antara negara mereka,
Kerajaan Belanda, dengan Republik Indonesia. Mereka bukan tentara profesional
dan organik.

76
Siaran-siaran radio Gelora Pemoeda Indonesia disampaikan dalam tiga
bahasa: Indonesia, Belanda dan Inggris. Dua siaran vang tersebut terakhir ini diurus
oleh bagian luar negeri, dipimpin oleh Maruto Darusman dan aku. Tugas utamaku
mengurusi siaran-siaran dalam dua bahasa asing ini. Tugas ini aku lakukan bersama
Yetty Zain, yang fasih berbahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jepang; Kartinah,
anak Residen Kediri, yang pandai berbahasa Inggris; dan Nuk,2 panggilan untuk
Kapti yang bagus dalam berbahasa Belanda.

Ada kalanya kami atau salah seorang dari kami menyusun materi siaran,
kemudian aku membacakannya. Ada kalanya juga aku hanya memberikan kata
pengantar untuk uraian atau pidato seseorang, misalnya Yetty Zain. Pernah aku
mengantarkan Yetty untuk berbicara menyambut Inter-Asian Relations
Conference, di New Delhi yang dipimpin oleh Nehru. Subandrio dan Sjahrir ketika
itu berangkat ke sana mewakili negara muda kita.

Misi Radio Gelora Pemoeda tidak hanya menyiarkan berita saja. Tapi sering
juga menyiarkan bahan-bahan - yang bersifat informasi atau penjelasan pada
pendengar. Misalnya, tentang mengapa kita berjuang melawan pasukan Belanda;
mengapa kita menolak dikatakan atau dituduh sebagai pemberontak, apalagi
tuduhan pada pemuda yang disebut sebagai kaum "ektremis". Kalau pun kata
"memberontak" kita terima, tapi kita memberontak terhadap penjajahan,
penindasan, dan ketidakadilan. Karena itulah kita melawan. Kita tidak bisa
membiarkan serdadu-serdadu NICA keluar desa masuk desa membunuhi rakyat.
Jadi, siaran-siaran kita lebih dimaksudkan untuk pemberitaan tentang perjuangan
Indonesia- tentang sikap pemuda dalam perjuangan bangsa dan tentang sikap
Pemuda Indonesia saat itu.

77
Dalam pembicaraan tentang almarhum Ponke Princen, suatu saat ketika
bertamu ke rumah ini,3 ketika kami mengingat kembali tentang BKPRI dan siaran
radio Gelora Pemoeda, setiap kali ia menyebut siaran-siaran radio kami dengan
rasa kagum. Ia, ketika mendengar siaran-siaran kami itu, masih memanggul bedil
sebagai tentara Belanda.

78
11

MADIUN JADI PUSAT

AKU tidak pernah berpikir, bahkan sampai sekarang, mengapa Madiun


dijadikan sebagai kota pilihan untuk kedudukan BKPRI dan Pesindo, atau lebih luas
lagi dijadikan sebagai basis gerakan kiri. Juga lembaga pendidikan ideologi kiri
"Marx House", pertama kali dibuka di Madiun dan kemudian dipindahkan ke
ibukota RI, Yogyakarta. Tentang hal ini, aku hanya bisa menduga-duga. Pertama,
mungkin karena cukup jauh dari Surabaya, kota pusat pendudukan musuh untuk
Jawa Timur; dan kedua, karena tidak terlalu jauh dari kota Yogyakarta, sebagai
pusat pemerintahan Republik. Padahal, kenyataan sejarah selanjutnya, khususnya
sejarah PKI telah memperlihatkan, Madiun pada 1948 menjadi pusat pertahanan
dan perlawanan PKI/FDR ketika mereka mengalami teror putih kedua.

Bila dugaanku ini merupakan pertimbangan utama dari pimpinan ketika itu,
ini berarti Madiun dipilih lebih banyak atas dasar pertimbangan siasat perang
dalam menghadapi Belanda. Kalau kesimpulanku ini benar, konsekuensi logis
berikutnya adalah bahwa pemikiran secara militer di kalangan pimpinan partai,
dalam hal ini PKI/FDR, pada tahun-tahun pertama riwayat Republik memang
mendapat tempat agak besar. Strategi militer bisa dibilang menjadi hal pokok
ketika itu. Tapi hanya sepanjang tahun-tahun pertama saja, atau sekitar tahun '45-
49. Karena itulah PKI/FDR pada saat itu menjadi tidak bisa sejalan dengan garis
politik Sjahrir, yang cenderung melihat meja perundingan sebagai pertimbangan
pertama dan utama, menuju ke kemerdekaan sebagai tujuan akhir cita-cita
proklamasi. Maka, PKI/FDR pun lalu menjadi sangat peka terhadap "Persatuan
79
Perjuangan" Tan Malaka, yang menolak tegas-tegas jalan meja perundingan.
Merdeka 100% dulu, baru boleh berunding! Kata kaum Persatuan Perjuangan itu.

Bila sekarang aku mengingatnya kembali, timbul satu pertanyaan dalam


diriku, Apakah tuntutan Persatuan Perjuangan untuk "Indonesia merdeka 100%"
pada saat itu, tidak merupakan tuntutan ekstrem? Karena ekstrem, apakah
tuntutan itu tepat dikemukaan pada saat seperti itu? Sebagai semboyan semata-
mata tuntutan demikian tentu saja tepat, tapi karena syarat-syarat untuk mencapai
kemerdekaan 100% pada saat itu tidak atau belum ada, maka tuntutan itu
merupakan tuntutan yang tidak berdasar. Tepat sebagai seruan strategis, tapi tidak
tepat sebagai langkah taktis.

Di mana strategi dan di mana taktik, memang serba kacau ketika itu, baik di
kalangan barisan Persatuan Perjuangan, maupun di kalangan PKI/FDR sendiri.
Akibatnya, anarkisme menggejala. Di dalam tubuh Pesindo pun lalu timbul
bermacam- macam kecenderungan pemikiran. Ada yang menyekutukan Tan
Malaka dengan Partai Murba, dan lebih lanjut diasosiasikannya dengan pemikiran
politik Trotski. Lalu terjadilah simplifikasi: Persatuan Perjuangan – Tan Malaka –
Trotskiisme - Anarkisme, ditarik dalam satu kali tarikan nafas. Pada pihak lain, tidak
sedikit juga di kalangan tokoh Pesindo yang hanyut dalam semboyan tuntutan
gagah berani "Indonesia Merdeka 100%", malah ditambah dengan kata-kata
penegas "sekarang juga!"

Dalam ketidaktahuanku, aku menggolongkan diri dalam kelompok yang


berpikir simpel seperti tersebut di atas. Tan Melaka = Trotskis. Tapi dengan jujur
kukatakan, ketika itu aku sama sekali tidak tahu: Apa Troskiisme, dan siapa Trotski?
Aku yakin, bukan aku saja yang tidak atau belum tahu, tapi banyak juga di tengah

80
sesama anggota Pesindo lainnya. Meski demikian, sampai sekarang aku masih tetap
membenarkan, bahwa tuntutan merdeka 100%" untuk saat itu merupakan
pendirian yang ekstrem, karena tidak tepat waktu dan tidak mengingat situasi serta
kondisi riil. Sejauh yang kutahu, ketika itu juga tidak ada petunjuk atau garis tentang
sikap dan pendirian yang jelas dari pimpinan partai – meskipun aku juga tahu ketika
itu PKI memang belum tampil dalam satu organisasi partai politik yang tunggal.
Partai yang tunggal, boleh dibilang baru dibentuk dengan datangnya Pak Musso,
dan "celakanya", partai tunggal yang baru beberapa hari bernapas itu, segera
ditumpas dengan dibalikdalih pemberontakan yang dipaksakan, yaitu "Peristiwa
Madiun", November 1948. Selagi "PKI Jalan Baru Musso", PKI tunggal yang masih
lebih berupa tekad dan semangat itu, baru bernapas beberapa hari – jika dihitung
dari "Jalan Baru Musso" yang baru diterima sebagai resolusi pada bulan Agustus
1948.

Jika waktu itu pimpinan PKI/FDR lebih berpikir secara militer, menurutku
tidaklah keliru. Itu suatu gejala sebagai produk dari situasi dan kondisi nyata, baik
di Indonesia pada khususnya maupun di negeri-negeri bekas jajahan pada
umumnya. Belanda sebagai negara yang ikut berperang dalam PD II, dan ikut keluar
sebagai pemenang perang, segera melancarkan aksi militer untuk merebut kembali
tanah jajahannya yang hilang. Sepanjang empat tahun sesudah Agustus 1945 api
perang kemerdekaan berkobar di berbagai penjuru Indonesia. Dalam hubungan ini,
ketika itu aku tidak melihat, tahu pun tidak, adanya garis politik yang disebut
"perjuta" atau "perjuangan bersenjata". Salah seorang eksponen pemikiran dari sisi
kemiliteran itu ialah Ruslan Wijayasastra, yang ketika itu menjabat sebagai
komandan seluruh kesatuan pasukan Pesindo.

81
Pada awal 1947, atau mungkin juga akhir 1946, Dewan Pimpinan Pusat -
waktu itu masih digunakan istilah "Pucuk Pimpinan” – Pesindo pindah: dari Madiun
ke Solo. Sedangkan " BKPRI di Madiun. Aku tidak tahu apa alasannya. Ketua DPP
Pesindo, sesudah berkedudukan di Solo, bukan lagi Krissubanu tapi diganti
Sudisman. Krissubanu, bersama saudaranya, Samsu Harya Udaya, lalu tampil
sebagai tokoh pimpinan partai "Murba".

Di kota Madiun, para aktivis Pesindo dan BKPRI umumnya tinggal di asrama.
Ada satu asrama untuk laki-laki, dan dua asrama untuk perempuan – yang satu
untuk perempuan yang belum berkeluarga dan yang satu lagi untuk yang sudah
berkeluarga. Di sini tinggal keluarga Sudisman, dengan Mbakyu Disman yang
sekaligus berperan sebagai "ibu rumahtangga" kami. Bung Disman sendiri, sejak
Kongres Pemuda Yogya, telah dipilih sebagai Sekretaris I Pesindo. Istilah "sekretaris
I" ini tidak lain ialah Ketua I atau Ketua Umum.

Kami semua tidak menerima gaji untuk kegiatan yang kami lakukan. Semua
berangkat dari kesadaran dan keikhlasan kerja pengabdian pada perjuangan
bangsa. Kami mendapat makan cukup setiap hari, dan pada waktu-waktu tertentu
ada pembagian pakaian. Semua dari bahan khaki berwarna kelabu kekuningan.
Meskipun begitu, aku tidak pernah merasa kekurangan. Kami memang tidak
mengenal hari libur, tapi dalam bekerja kami juga tidak membanting tulang
sepanjang waktu, tanpa istirahat dan bersantai-santai. Walaupun tidak
berlangsung periodik dan terencana, kadang-kadang kami mengadakan hiburan
bersama, yaitu dengan pembacaan puisi, bermain musik dan menyanyi, baik
nyanyian tunggal maupun nyanyian bersama atau koor. Banyak repertoar lagu-lagu
perjuangan yang kami punyai ketika itu. Juga kadang ada pertunjukan tari,
termasuk tari Jawa. Sukarno-alias Bung Karno alias Mas Karno, pimpinan bagian
82
penerangan Pesindo dan BKPRI, yang belakangan nanti menjadi suamiku-pandai
menarikan tari "bambangan" Arjuna, tari "gagahan" Bima, atau Gatotkaca. Juga
mas Disman, bukan hanya pandai berpidato, kadang-kadang ia juga naik panggung
untuk menarikan tarian Jawa, menyanyi, menulis dan membaca puisi.

Aku mengenal Mas Karno untuk kali pertama ketika ia datang ke rumah. Ia
datang bersama kawan-kawannya pimpinan PRI, ketika hendak minta ibuku agar
memberi izin padaku untuk berangkat ke Kongres Pemuda di Yogya. Tapi aku mulai
tertarik padanya baru pada saat pertemuanku yang kedua kali. Yaitu ketika dia naik
ke atas podium, di tengah-tengah Kongres sedang berlangsung, dan terdengar
kabar kota Surabaya diserang Inggris. Dari mimbar kongres ia berseru pada
pemuda-pemuda Surabaya, untuk segera kembali ke Surabaya bersama dia, "untuk
merebut senjata dan terus konsekuen mengangkat senjata demi membebaskan
Surabaya". Demikian antara lain kata-katanya yang kutangkap. Memang, bila kini
peristiwa itu kuingat kembali, barangkali akan kedengaran sangat bombastis. Tapi
suasana ketika itu tidak demikian. Semua peserta kongres, yang ratusan orang
jumlahnya, diam seperti tersihir oleh semangat seruannya. Apalagi ketika dia,
dengan tangan mengepal, menyerukan tekad: "Merdeka atau Mati!"

Seruan itu tidak sekadar bualan. Mas Karno dan beberapa pemimpin pemuda
yang akan memimpin aksi perlawanan di Surabaya, segera turun dari panggung dan
meninggalkan gedung kongres. Semua pemuda peserta kongres yang tinggal di
dalam gedung mengiringi mereka dengan tepuk tangan, acungan tinju dan seruan
"Merdeka!" berkali-kali. Aku hanyut bersama mereka, dan simpatiku pada Mas
Karno makin besar.

83
Tapi aku benar-benar tidak tahu, bagaimana harus kujawab jika aku ditanya
"kapan perasaan cinta tumbuh", apalagi "bagaimana bentuk pernyataan romantik
pada sepasang pemuda yang dalam gelora perjuangan kemerdekaan". Aku lupa?
Atau apakah romantika pribadi yang demikian itu memang tidak pernah terjadi
pada diriku? Apakah itu karena pengaruh situasi perjuangan? Ataukah, sekadar
karena Mas Karno, pemuda Jawa yang tidak kenal atau terlalu malu untuk "roman-
romanan", sedangkan aku, pemudi Indonesia yang lahir dari kepompong moral
Kristen? Atau kami memang sama-sama tidak tahu apa itu "cinta", dan sama-sama
tidak peduli tentang bagaimana itu "cinta"? Aku hanya merasa tertarik kepada dia,
karena dialah yang paling memperhatikan aku, dan kita sama-sama berjalan dalam
satu arus perjuangan yang sama.

Ketika itu, sepulang dari Kongres Yogya, aku berada di dalam rombongan
pemuda-pemudi di Mojokerto dan kemudian Madiun. Di tengah-tengah mereka
itu, dari segi politik boleh dibilang aku paling terbelakang. Mereka semua berasal
dari keluarga yang pernah bersentuhan atau bahkan aktif dalam perjuangan
nasional, sedangkan aku berlatar belakang keluarga yang bermental kolonial. Tapi
Mas Karno tidak pilih kasih dalam bersikap terhadap kami semua. Aku juga tertarik
pada cara dia yang tidak menekan dan tidak kasar. Beda dengan pemuda- pemuda
lain yang terasa mendikte dan dengan sikapnya yang kasar, sehingga membuat aku
kadang tersinggung. Mas Karno juga bukan orang yang hanya suka bicara tentang
politik dan perjuangan melulu. Suatu ketika, misalnya, dia bercerita tentang lakon-
lakon wayang yang membuat aku sangat tertarik. Seperti di atas sudah kuceritakan,
dia memang pandai menarikan beberapa tarian Jawa. Ia juga sering mencari amsal
untuk kisah- kisahnya tentang moral pengabdian pada tokoh-tokoh wayang, seperti
Bima, Arjuna dan Gatotkaca. Karena itu, aku lalu merasa seperti menangkap adanya

84
bayangan kultural yang hebat dari dirinya, yang tidak aku peroleh dari guru-guru
politik yang mengajariku.

Pada zaman Belanda, literatur dan musik dunia tapi semua dari dunia
kebudayaan Barat – bagiku ibarat santapan jiwa sehari-hari yang sangat aku
nikmati. Tapi sejak aku terjun di dunia politik, dan menjadi sadar tentang politik,
sayang sekali "penikmatan" atas masukan kultural seperti itu tidak pernah lagi
kudapat. Salah satu kendalanya-barangkali bisa kita mencari atau mencari-cari
dalih – bahwa dalam kamus revolusi tidak tersedia ruang dan waktu untuk "jiwa
bernikmat-nikmat".

Tetapi di dalam perjalanan revolusi, kegiatan kebudayaan tidak mungkin


diabaikan. Walaupun kegiatan kesenian memang tidak merupakan acara yang
terencana, tapi masih sebatas pada taraf memenuhi selera mencari hiburan atau
entertainment saja. Pesindo lalu membentuk grup-grup kesenian, termasuk grup
kesenian ludruk. Seperti "Ludruk Marhaen", misalnya, yang kemudian dikenal
awam dengan sebutan "Ludruk Pesindo", adalah salah satu grup kesenian Pesindo
yang dibentuk pada masa itu. Kelak Ludruk "Marhaen", sejak akhir tahun 50-an,
tumbuh dan berkembang menjadi satu-satunya organisasi ludruk yang paling
terkemuka1 di Indonesia. Juga di dalam bagian penerangan DPP Pesindo, yang
dikepalai oleh Mas Karno, banyak ditulis cerita-cerita pendek atau naskah-naskah
sandiwara.

Kegiatan penerangan ke desa-desa pelosok, yang oleh bagian penerangan


dan propaganda dewan pimpinan, ialah dilakukan hal-hal sebenarnya sangat
elementer dalam yang tentang kaitannya dengan cita-cita perjuangan. Tetapi jelas
merupakan pekerjaan yang sangat penting dalam kaitannya dengan pembangunan
kesadaran rakyat tentang cita-cita perjuangan itu. Kita terangkan, misalnya,
85
tentang apa itu "kemerdekaan", apa "kebangsaan", dan apa "kemerdekaan
nasional"; bagaimana bentuk pemerintahan dan pelaksanaannya di desa; mengapa
ada tentara NICA atau Belanda; mengapa suatu ketika di desa ini atau itu diduduki
tentara NICA, lalu pada waktu yang lain antara bulan September '45, berganti-ganti
terkadang diduduki serdadu NICA, terkadang laskar Pesindo atau Hizbullah. Kita
jelaskan juga, misalnya, apa itu laskar, apa Pesindo dan apa Hizbullah? Mengapa
kami melarang penduduk untuk tidak menjual bahan makanan kepada Belanda,
dan kami melarang mereka bekerja menjadi babu atau jongos Belanda? Mengapa
ada "uang merah", sebutan untuk uang NICA, yang laku di daerah pendudukan, dan
"uang putih", yaitu uang ORI (Oeang Repoeblik Indonesia)?

Bahkan juga pernah suatu ketika kita merasa perlu menerangkan, tapi
sekaligus melempangkan, penggunaan peristilahan yang tidak tepat oleh
masyarakat tentang zaman normal". Mengapa zaman Belanda disebut "zaman
normal", dan zaman perang kemerdekaan seakan-akan bukan "zaman normal".
Jadi, kita tidak hanya melakukan propaganda politik, tapi juga propaganda kultural.

Pernah juga kami berangkat dari contoh nyata. Di suatu kampung yang kami
kunjungi, mereka menyapa Harmini, Rusiyati atau yang lain dengan sebutan "jeng"
atau "bu". Tapi kepadaku atau Maasje Siwi, jika kebetulan kami ikut, mereka
menyapa kami dengan sebutan "nyonya". Pertama tentu karena penampilan kami
yang bersosok "perempuan kota", kedua agaknya karena aku dan Maasje tidak
berpenampilan "perempuan Jawa". Berangkat dari situ kami lalu berbicara tentang
bangsa kita, Indonesia, yang terdiri dari berbagai sukubangsa, tentang bhineka
tunggal ika. Hal-hal seperti itulah pekerjaan kami dari bagian Penerangan DPP
Pesindo. Pekerjaan propaganda tentang soal-soal paling mendasar dalam dan
untuk kehidupan berbangsa.*

86
12

MARX HOUSE

KEGIATAN dan tugas Pesindo ke luar memberikan penerangan politik kepada


rakyat, dan ke dalam menyiapkan diri dengan tugas pembelaan. Ini terutama
menjadi tanggungjawab laskar Pesindo yang terdiri dari beberapa batalyon. Pada
anggota laskar tentu saja diberikan pendidikan tentang taktik perang gerilya,
bongkar-pasang dan penggunaan senjata. Juga dibuka kursus-kursus politik, baik
untuk yang di pasukan maupun yang tidak di pasukan, supaya kita semua tahu
tentang dasar-dasar dan tujuan perjuangan kita.

Untuk itulah di Madiun “Marx House" dibuka oleh Pesindo pada 1946.
Selama kursus berlangsung, peserta tinggal bersama di dalam satu asrama. Mereka
datang dari berbagai daerah, walaupun yang paling banyak dari Jawa Timur. Guru-
guru "Marx House" hampir semuanya, bekas pelajar dan mahasiswa anggota-
anggota PI (Perhimpunan Indonesia) yang pulang dari Belanda sesudah PD II.
Beberapa di antara mereka yang aku ingat, yaitu RM (Raden Mas) Gondho
Pratomo, yang sekarang tinggal di Vlaardingen Oost di Belanda; Yusuf Muda Dalam,
yang pernah menjadi menteri dalam "kabinet 100 menteri" Sukarno; Djaetun, yang
kembali dari Australia, ia bekas tapol Hindia Belanda di Digul, yang menjelang PD II
pecah dilarikan ke Australia;1 Maruto Darusman, salah seorang di antara sebelas
tokoh “Peristiwa Madiun" yang ditembak mati di desa Ngalihan, pada 19 Desember
1948; Dr Dick Muwaladi, yang mengajar Marxisme-Leninisme; dan Otto Abdul
Rachman, belakangan, pada awal tahun '50-an, ketika aku bertemu lagi sudah
menjadi seorang perwira TNI. Guru-guru yang lain aku lupa, tapi ada sekitar tujuh
87
atau delapan orang yang datang dari Belanda. Pak Djaetun yang dari Australia itulah
yang memimpin "Marx House", walaupun kata-katanya dalam berbahasa Indonesia
campur-aduk tidak keruan dengan kata-kata Jawa.

Aku tidak paham kalau mendengarkan Pak Djaetun bicara atau mengajar.
Tapi di "Marx House" di Madiun itulah untuk pertama kali aku mendengar, dan
yang paling aku ingat dari semua pelajaran yang aku terima dari dia, sebuah
ungkapan: sama rata-sama rasa. Sepatah ungkapan yang, konon diciptakan oleh
Mas Marco Kartodikromo, sesama kawan-tapol Digul Pak Djaetun. Kata-kata itu
masuk di telingaku, seperti suara musik: "sama rata sama rasa".

"Sama rata sama rasa itu bagaimana?" Tanyaku pada Pak Djaetun, mencari
penjelasan tentang kata-katanya yang terdengar melodis itu. Tapi yang kuterima
bukan penjelasan, melainkan ia berkata begini: "Itu tergantung dari kamu!"

Aku agak tersinggung ketika itu. Orang yang baru saja bicara melodis begitu,
kok tiba-tiba bicara sekasar itu, kok menggunakan kata "kamu" kepada orang yang
belum saling kenal dekat? Mengapa tidak "jij" atau syukur "zus"; jangan "kamu"!
Aku tak tahu kalau ia baru kembali dari Digul melalui Australia, sehingga aku tak
tahu tentang bahasa Indonesianya yang kalang kabut tidak keruan. Lebih buruk dari
bahasa Indonesiaku yang bekas “belanda hitam"!

"Tergantung dari kamu!" katanya lagi mengulang.


Sementara itu aku masih terdiam. Tersentak oleh "kekasaran" tutur-katanya
itu.
"Tergantung dari kamu, dari aku, dan dari kita masing- masing. Apa bisa apa
tidak.” Tegasnya lagi.
Barangkali ia mengira diamku karena aku menyangsikan dogma yang
diajarkannya itu. Atau, mungkin ia pun terkesima dengan tatapan mataku, yang

88
tidak bisa menerima kata-katanya. Aku menunggu penjelasan yang bisa dicerna
oleh nalar. Tapi yang kudapat adalah penegasan tentang adanya sebuah nilai yang
datang menawarkan salah satu dari dua pilihan: menerima atau tidak menerima,
bisa atau tidak bisa.

Begitu saja jawaban itu. Tapi bahwa "sama rata sama rasa" itu bisa, menurut
keyakinannya, Pak Djaetun tidak menjelaskannya. la tidak bicara tentang teori,
bagaimana "rumus" itu harus dan bisa dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Itulah
Pak Djaetun, pimpinan "Marx House", yang kalau datang mengajar selalu berkain
sarung.

Aku ikut kursus di "Marx House" sebagai tugas yang diberikan DPP Pesindo.
Tentu saja ada pertimbangan tertentu, mengapa aku termasuk salah seorang yang
ditunjuk untuk itu. Tapi aku tidak tahu, siapa saja yang boleh masuk dan apa syarat-
syarat untuk bisa diterima sebagai peserta kursus di "Marx House". DPP Pesindo
dan Dewan Guru "Marx House", Pak Gondho Pratomo salah seorang di antara
mereka, barangkali tahu dan ikut merumuskan ketentuan-ketentuan atau syarat-
syarat itu

Kami, peserta kursus, sekitar seratus orang, harus tinggal di asrama. Aku
benci sekali. Sejak pulang dari Kongres Yogya aku tidak lagi pulang ke rumah, tapi
langsung tinggal di asrama Pesindo. Asrama Pesindo itu rumah biasa yang
digunakan sebagai tempat tinggal bersama. Lain dengan yang disebut sebagai
asrama "Marx House". Ini terlalu berat untuk aku. Aku belum begitu lama
meninggalkan kehidupan rumahtangga orangtuaku yang serba kecukupan. Di
"Marx House" ini kami harus tidur di lantai dengan alas selembar tikar dan tanpa

89
kelambu. Semua harus dibersihkan dan dirapikan sendiri! Dikatakan inilah
"asrama".

Bagiku ini bukan asrama, tapi sebuah barak. Ada barak untuk peserta kursus
laki-laki, dan ada barak untuk perempuan. Guru-guru, yang semuanya laki-laki [!),
juga disediakan barak sendiri.

Pelajaran utama yang diberikan kepada kami ialah tentang Marxisme-


Leninisme. Sejarah Indonesia diajarkan juga, tapi tidak dengan sebutan "Sejarah
Indonesia". Aku lupa nama persisnya, tapi barangkali lebih tepat aku namai saja
"Sejarah Gerakan Rakyat". Karena dari pelajaran itu kita mendengar kisah-kisah
peserta kursus tentang Pemberontakan '26, Budi Utomo, ISDV, SI Merah dan SI
Hijau, PKI, pemberontakan "Kapal Tujuh", tanah pengasingan Digul, dan kisah-kisah
lain yang semacamnya. Kami juga belajar tentang soal-soal politik ekonomi.

Selama kegiatan, "Marx House" telah menyelenggarakan tiga angkatan


kursus, angkatan yang pertama di Madiun dan dua angkatan berikutnya diadakan
di Yogya. Dalam angkatan pertama hanya ada tiga peserta perempuan, aku,
Rusiyati, dan dari Blitar-aku lupa namanya. Setiap angkatan kursus seorang
berlangsung kira-kira tiga bulan, yang kelak ditiru oleh SPC (Sekolah Partai Central)
pada masa Pembangunan Partai sepanjang tahun-tahun paroh kedua '50-an
sampai paroh pertama '60-an. Pengalaman “Marx House" itulah kemudian dipakai
sebagai ilham diadakannya sekolah-sekolah partai dari berbagai tingkatan, mulai
dari tingkat pusat yang dinamai "sekolah", yaitu yang disebut SPC, (Sekolah Partai
Central), sampai tingkat desa yang dinamai "kursus": Kursus Politik.

Mengapa dinamai "Marx House", siapa yang menggagasnya? Aku tidak tahu.
Tapi mengapa nama itu dengan sepatah kata Inggris "House", dan tersusun

90
mengikuti susunan kata bahasa Barat, mungkin karena guru-gurunya yang datang
dari Belanda dan Australia, dan semuanya berpendidikan luar negeri.

Selesai mengikuti pendidikan di "Marx-House", aku kembali ke tugasku


semula, yaitu di Bagian Penerangan DPP Pesindo. Kini aku lalu diberi kepercayaan
untuk mengikuti rapat-rapat yang tingkatnya agak tinggi, misalnya rapat-rapat DPP
Pesindo dan Dewan Pimpinan Pemuda, salah satu anggota BKPRI yang merupakan
organisasi federasi dari berbagai organisasi pemuda, tidak hanya organisasi
pemuda "komunis" saja. Chaerul Saleh, misalnya, juga salah seorang pimpinan
BKPRI, tapi ia bukan anggota Pesindo. Begitu juga GPII (Gerakan Pemuda Islam
Indonesia) termasuk dalam federasi pemuda BKPRI.

Di dalam kepengurusan BKPRI aku tidak ikut duduk. Tapi setiap rapat
pimpinan aku selalu diikutsertakan. Tidak untuk diminta berbicara, tapi diminta
sebagai notulis. Ketika itulah aku belajar menulis cepat, steno, walaupun lalu
kuubah dengan sistem yang kubikin sendiri. "Sistem Karundeng" dan sistem yang
lain-lain, tidak kupedulikan lagi. Buku pelajaran steno yang kupelajari, sebuah buku
pelajaran dalam bahasa Belanda, dan dengan sistem penulisannya untuk steno
berbahasa Belanda. Lalu kuterapkan pada penulisan cepat dalam bahasa Indonesia.
Dari situlah aku membuat "sistem sendiri" untuk penulisan stenoku. Misalnya,
untuk semua kataganti nama, seperti "aku", "saya" "dia" dan lain-lainnya. Dalam
sistemku tidak perlu ditulis lengkap, tapi cukup ditulis dengan huruf-hurufnya yang
pertama, sehingga "saya" menjadi "s", "aku" menjadi "a", "dia" menjadi "d", dan
seterusnya. Untuk awalan kata kerja juga begitu; misalnya, awalan “me" menjadi
"m", awalan "men" menjadi "mn", awalan "ber" menjadi "b", awalan "diper"
menjadi "dp". Hal yang sama juga aku pakai untuk akhiran. Misalnya, kata

91
"meneruskan", dalam sistemku tulis-cepat cukup ditulis "mnrusk", demikian
seterusnya.

Sistemku ini kemudian dikembangkan di kalangan kami di Pesindo, karena


stenograf di masa itu sangat penting peranannya. Ada tiga penulis cepat Pesindo
yang ikut menggunakan sistem ini, yaitu Paiman, Anwar, dan seorang lagi aku lupa
namanya.

Aku memang seorang perfeksionis. Karena itulah aku terdorong mencari dan
menemukan "sistem sendiri" dalam menulis cepat, semata-mata untuk membantu
diriku sendiri, agar bisa melaksanakan tugas sebagai notulis dengan sebaik-
baiknya. Jangan sampai ada kata yang ketinggalan, satu patah pun, jika harus
"merekam" secara manual pidato pembicara. Pada saat itu belum zaman kaset
perekam suara dan peralatan canggih sejenis seperti sekarang. Meski demikian,
dengan kepandaianku menulis cepat tersebut, aku lalu mendapat perhatian dan
kepercayaan lebih dari pimpinan. Selain itu, yang lebih penting, ikut-sertaku dalam
pendidikan di "Marx House", di mata pimpinan tentu merupakan nilai tambah
untuk kemampuan pribadiku sebagai salah seorang perempuan kader yang masih
langka ketika itu.

Hubunganku dengan keluarga dan ibuku sudah putus walaupun baru pada
1949, ibu dengan diikuti oleh dua anaknya, meninggalkan Indonesia dan pindah
bermukim selamanya di Belanda. Tapi aku tidak pernah terpikir tentang mereka.
Apalagi untuk mencari waktu dan pergi berkunjung yang memang sulit dilakukan.
Pertama, oleh situasi umum saat itu ada di dalam yang suasana konflik bersenjata
yang menegangkan; kedua, aku selalu tinggal di daerah Republik, sedangkan ibu

92
dan dua saudara- saudaraku tetap tinggal di dalam kota Surabaya, daerah
pendudukan Belanda.

Jadi, ada empat orang dari kami enam bersaudara, termasuk aku, yang
tinggal di "daerah pedalaman" - kata lain untuk menyebut "daerah wilayah
kekuasaan Republik" ketika itu. Empat orang itu ialah kakakku laki-laki, yang tinggal
di Malang: adik perempuan, yang kemudian kawin dengan seorang diplomat salah
satu kedutaan besar kita; dan Delly, kakakku yang hadir di Kongres Yogya sebagai
wakil pemuda Timor itu. Agaknya kembali dari Kongres Yogya Delly kemudian ikut
Ruslan Abdulgani, dan diajak bekerja di Kementerian Penerangan.

Ketika itu, aku sudah tidak ada lagi “menoleh kanan-kiri”. Aku tidak pernah
menuntut apa-apa, bahkan untuk kebutuhan-kebutuhan dan hal-hal yang paling
kecil sekalipun. Aku tinggal di asrama DPP Pesindo, dan aku hanya mengabdi pada
perjuangannya yang kuyakini sebagai jalan yang benar dan luhur.

93
13

KE FORUM DUNIA
DENGAN PASPOR KERTAS MERANG

TAHUN 1947 ketika itu. Dewan Pimpinan Pusat Pesindo (Pemuda Sosialis
Indonesia) sudah pindah kedudukannya di Solo. Namanya tidak lagi Pucuk
Pimpinan atau PP, tapi Dewan Pimpinan Pusat atau DPP. Sudah sejak di Madiun,
aku termasuk salah seorang anggota pleno PP. Tugasku tetap di bagian
Penerangan. Juga sesudah PP menjadi DPP, dari Madiun pindah ke Solo, aku tetap
mendapat kepercayaan melaksanakan tugas itu. Ketika itu, DPP Pesindo menerima
undangan, yang disampaikan melalui Suripno, untuk mengirim utusan ke dua
kongres internasional di Eropa. Yang yang pertama kongres IUS (International
Union of Students), dan kedua kongres WFDY (World Federation of Democratic
Youths).

Suripno ketika itu merupakan salah seorang tokoh pemuda Indonesia yang
terkemuka di mata internasional. Sejak masa kemahasiswaannya di Negeri
Belanda, ia berkiprah di Perhimpunan Indonesia (PI), sebelum maupun selama
Perang Dunia II. Suripno adalah salah seorang penggerak militan di dalam gerakan
antifasis ketika Belanda diduduki Jerman. Sesudah kembali ke tanahair, ia pun aktif
dan tampil sebagai penggiat terkemuka, bersama-sama dengan Sugiono, untuk
Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) yang juga berkedudukan di Solo Pada masa itu,
ketika ibukota Republik berada di Yogyakarta dan wilayah kekuasaan RI de facto
tinggal "selebar daun kelor”, berbagai organisasi dan gerakan nasional kebanyakan
berpusat di tiga daerah: Yogya, Solo dan Madiun.

94
Pada 1946, Suripno ikut dalam satu delegasi besar, selain beberapa lagi
tokoh pemuda, antara lain, Maruto Darusman. untuk menghadiri "Konperensi
Persaudaraan Asiantara" (Conference of Inter-Asian Relations) yang akan
berlangsung di New Delhi. Inilah delegasi Pemerintah RI yang besar dan pertama
ke luar negeri sesudah Indonesia merdeka.

Aku tidak ikut dalam delegasi raksasa ini, tapi salah seorang sahabatku,
perempuan tokoh Pesindo pada masa itu, Yetty Zain termasuk di dalam delegasi
ini. Putri Prof. Muhamad Zain, pakar bahasa Indonesia ini, lulusan “KW Drie", orang
biasanya menyebutnya, KWS III (Koningin Wilhelmina School III) HBS-nya Betawi
yang di zaman "sebelum perang" sangat terkenal – kemudian menjadi mahasiswa
kedokteran gigi. Di dalam delegasi Suripno dan Yetty ini juga ikut beberapa orang
"ibu menteri", yaitu istri-istri beberapa orang menteri, sehingga menjadi satu
delegasi yang agak besar, mengingat keadaan Indonesia saat itu yang masih dalam
keadaan berperang. Selesai menjalankan tugas mereka sebagai utusan di depan
Conference of Inter-Asian Relations di New Delhi, Yetty kembali ke Indonesia dan
Suripno terus menuju Praha, sebagai wakil mahasiswa Indonesia di IUS
(International Union of Students).

Pada 1947 Suripno, sekali lagi, mendapat undangan untuk membawa


delegasi dan hadir di dua kongres yang akan berlangsung di Praha, ibukota
Cekoslowakia. Kali ini ia sebagai anggota IUS (International Union of Students -
Perhimpunan Mahasiswa Sedunia), yang berpusat di kota itu. Undangan datang
dari pimpinan IUS, dan yang harus dihadiri selain Kongres IUS juga Kongres WFDY
(World Federation of Democratic Youths; GPDS, Gabungan Pemuda Demokratik
Sedunia). Dalam rangka kegiatan itu, dan bersamaan dengan berlangsungnya
kongres-kongres seperti itu, selalu diadakan juga berbagai macam kegiatan
95
kebudayaan dalam bentuk festival, disebut Festival Pemuda Sedunia (WFY; World
Festival berbagai yaitu yang of Youths).

Anggota delegasi Suripno kali ini sangat kecil, hanya aku dan Sugiono.
Sebenarnya memang hanya aku saja, karena tugas Sugiono bukan untuk mengikuti
kongres, tapi untuk duduk di IUS, sebagai wakil tetap SMI di badan kemahasiswaan
internasional itu. Jadi selain Suripno, sebagai anggota pimpinan IUS, utusan
Indonesia di kongres itu hanya aku seorang. Aku hadir atas nama Pemuda Indonesia
seluruhnya, bukan hanya Pesindo saja. Inilah delegasi Pemuda Indonesia, non-
resmi, yang pertama tampil di depan dunia internasional, sesudah Indonesia
Merdeka. Indonesia masih dikepung oleh api perang dan blokade dari pihak
Belanda. Selain tentu saja dana juga tidak ada untuk mengirim sebuah delegasi
yang besar.

Berbekal semangat kemerdekaan, dan di tengah api peperangan yang mulai


menyala, aku berangkat bersama Suripno. Barang bawaanku tak lebih satu koper,
penuh dengan brosur, buku, kertas, dan bahan-bahan propaganda perjuangan
pemuda, baik untuk dua kongres itu maupun untuk kampanye di luar kongres.
Pakaian, selain yang melekat di badan, hanya ada satu dua potong, sekadar untuk
ganti di perjalanan. Bukan karena tidak sempat menyiapkan yang lebih bagus dan
cukup, tapi kami semua tidak mempunyai uang untuk itu. Jadi, pikir kami, nantilah
cari akal setibanya kami di New Delhi. Kami memang akan singgah di sana.
Menemui Nehru dan rakyat India, comrade-in-arms rakyat Indonesia paling akrab
saat itu.

Kami berangkat dari lapangan terbang Maguwo, ibu kota Republik, pada 20
Juli 1947. Tepat satu hari sebelum Belanda melancarkan agresi kolonialnya yang

96
pertama, pada 21 Juli 1947. Jakarta tentu saja sudah diduduki Belanda, sejak lebih
satu tahun lalu, sehingga pesawat terbang tidak akan mungkin dan tidak perlu juga
singgah di Jakarta. Menurut rencana, kami akan terbang langsung menuju New
Delhi, sesudah sebentar singgah di Singapura untuk mengisi bahan bakar.

Pesawat terbang yang kami tumpangi adalah pesawat terbang milik pribadi
seorang dermawan berkebangsaan India, yang pro-perjuangan untuk
kemerdekaan. Indonesia dan India ketika itu sedang dalam puncak perjuangan
nasional masing- masing. Di lapangan terbang Maguwo Yogyakarta aku melihat
Bung Hatta dan Sudarsono (Duta Besar RI untuk India ketika itu), dan Zairin Zain
(Dubes RI pertama untuk Amerika Serikat). Mereka akan terbang bersama kami
dalam pesawat yang sama. Di samping mereka juga tampak Bung Amir dan Bung
Sjahrir.

Sementara menunggu waktu naik ke pesawat itulah aku baru menerima


pasporku. Sederhana saja paspor itu. Terlalu sederhana. Sehelai kertas merang,
tanpa ada tulisan "passport" atau "paspor": Tulisan yang terbaca di baris paling atas
memang tercetak dalam bahasa Inggris, dan berbunyi: "To whom it may concern"-
"Ditujukan kepada yang berkepentingan". Kertas merang berwarna kuning itu,
sesudah ditandatangani Bung Amir, lalu diberikan kepadaku. Itulah paspor pertama
yang pernah dikeluarkan oleh Republik Indonesia. Bung Sjahrir, ketika itu Perdana
Menteri, juga sedang dalam perjalanan menuju India, tapi sudah terbang
mendahului rombongan kami.

Paspor aku peroleh dengan sangat mudah, di lapangan terbang Meguwo.


Beberapa saat saja, sebelum pesawat take-off. Paspor itu berupa sehelai kertas
saja. Kertasnya pun kertas merang, berwarna kuning dan kasar. Sehelai kertas yang

97
bagiku sungguh besar nilainya, bahkan tak terlukiskan. Karena kertas merang yang
secarik itu bukan sekadar simbul formalitas untuk melintasi batas kenegaraan, tapi
merupakan jatidiri bangsa berjuang yang mengejawantah. Aku, hanya salah
seorang yang dipercaya menjadi pembawanya. Ia, karena itu, mengatasi segala
batas apa pun, selain batas-batas cita-cita kemerdekaan dan kedaulatan bangsa
sendiri. Rasa bangga meluap-luap di dadaku, menggenggam secarik kertas merang
kuning bernama "Paspor” ini. Yang menandatangani kertas jatidiri itu pun bukan
pejabat tinggi imigrasi. Bukan! Tapi tak kurang dari salah satu di antara- kalau kita
mengikuti pengamatan Jacques Leclerc1 – empat tokoh Republik yang paling
terkemuka saat itu, yaitu: Sukarno – Hatta – Sjahrir - Amir Sjarifuddin. Bung Amir
yang menandatangani paspor-kertas-merangku itu. Perdana Menteri kita ketika itu
Bung Sjahrir.

Jenis pesawat terbang apa yang kami naiki, aku tak memperhatikan. Tapi aku
tahu yang mengemudikan, yaitu seorang pilot bernama Patnaik. Ia seorang putra
India yang mengabdikan dirinya pada perjuangan kemerdekaan, khususnya
kemerdekaan bangsa India dan Indonesia. Ia sudah berkali-kali mondar-mandir
terbang New Delhi - Jakarta, mengangkut beras bantuan Indonesia untuk rakyat
India yang sedang berjuang dan dilanda bencana kelaparan, obat-obatan, juga para
pemimpin kedua bangsa.

Di dalam pesawat, selain kami bertiga, juga ada Bung Hatta (Wakil Presiden),
Dr. Subandrio yang akan menuju posnya di London sebagai Komisaris Tinggi atau
High Commissioner RI, Pak Sudarsono (Duta Besar RI pertama untuk India), dan
Zairin Zain (kakak Yetty Zain, Duta Besar RI pertama untuk Amerika Serikat), tentu
saja juga beberapa orang staf ketiga pembesar Republik itu.

98
Menjelang masuk angkasa kota Padang pesawat kami ditembaki dari darat.
Barangkali Belanda mencium adanya beberapa tokoh pemimpin Republik di dalam
pesawat itu. Pesawat terpaksa membikin pendaratan darurat di lapangan udara
Padang. Tapi hanya itulah satu-satunya kejadian yang sebentar merintangi
penerbangan kami. Selanjutnya kami meneruskan penerbangan menuju India.
Walaupun tujuanku dan Suripno bukan India, tapi kami pun ikut mendarat bersama
rombongan Bung Hatta. India sahabat Indonesia pertama dalam perjuangan
kemerdekaan. Nehru sahabat pribadi Hatta ketika sama-sama belajar di Eropa.
Nehru di Inggris dan Hatta di Belanda. Melalui Perdana Menteri Nehru, pemerintah
India sungguh sangat besar dan tulus bantuannya terhadap kita. Tidak berlebihan
jika kukatakan, seluruh biaya kami ke Eropa ditanggung oleh pemerintah India.
Tidak sekadar tiket penerbangan, tapi termasuk juga uang saku. Begitu besar dan
tinggi perhatian dan penghargaan pemerintah India dan pribadi Nehru terhadap
kami, sehingga bersama Bung Hatta kami pun ikut menerima jamuan negara di
Consitution Hall.

Seperti sudah kuceritakan tadi, Suripno dan aku akan menghadiri dua acara
kongres dunia di Eropa, dan di sana kami akan berbicara tentang perjuangan
pemuda Indonesia untuk kemerdekaan. Bangsa India sendiri ketika itu sedang gigih
memerdekakan diri dari penjajahan Inggris. Karena itu, di mata mereka, kami
pribadi dan Indonesia saat itu merupakan "comrades in arms" mereka pribadi dan
India.

Hanya kami berdua, aku dan Suripno, yang akan meneruskan perjalanan ke
Eropa. Bung Hatta tinggal di India beberapa hari, untuk kemudian kembali ke
Indonesia. Karena itu selama kira-kira 7-10 hari kami pun tinggal di India, sehingga
sempat banyak berbicara dengan Bung Hatta tentang tugas-tugas kami di Eropa.
99
Tidak ada ganjalan apa pun selama dalam pembicaraan itu. Walaupun Bung Hatta
tentu tahu benar bahwa Suripno dan aku dari Pesindo, sebaliknya kami juga tahu,
siapa Mohammad Hatta wakil presiden kita ini. Kami memang ada perbedaan
pendapat.

Dalam pikiranku ada tiga urusan yang hendak kukerjakan selama di Eropa,
tapi menurut Bung Hatta cukup dua hal saja. Dua hal itu ialah, mencari bantuan
obat-obatan dan dana perjuangan - uang artinya. Dalam pikiranku masih ada satu
kal lagi yang penting, sama seperti yang dua itu, yaitu mencari bantuan senjata!
Pikiran untuk mencari bantuan persenjataan itu muncul di kepalaku, juga disetujui
Suripno, begitu kami mendengar kabar bahwa perang kemerdekaan telah pecah,
Belanda telah melancarkan agresinya, dan itu sebabnya di atas kota Padang
pesawat kami mendapat tembakan dari darat.

Di atas semua itu, yang paling penting, yang bagi kami berdua pun tidak lagi
perlu dipermasalahkan, ialah urusan berdua kampanye dan propaganda.
Propaganda perang kemerdekaan dan kampanye aksi setiakawan melawan
kembalinya penjajahan.

Singkat cerita, pembicaraan kami dengan Bung Hatta berjalan sangat baik.
Suasana selama pembicaraan itu pun menyenangkan. Terasa sekali kehangatan
dan kesungguhan Bung Hatta dalam berhadapan dan berbicara dengan aku dan
Suripno. Pertemuan kami bertiga memang sudah diawali selama kami terpaksa
melakukan pendaratan darurat di Padang. Di sana kami diajak Bung Hatta
menengok ke rumah orangtuanya di Kota Gedang.

Misi yang kami bawa memang hanya satu: Perjuangan. Masalah senjata,
dana perjuangan, obat-obatan dan lain-lain, merupakan urusan-urusan ikutan,

100
yang timbul dari misi tunggal perjuangan itu. Maka di mana-mana aku berbicara
tentang apa itu proklamasi kemerdekaan bangsa, apa itu Republik Indonesia,
mengapa bangsa Indonesia mengangkat senjata melawan Belanda, dan bermacam-
macam burning issues lainnya dari masa itu, seperti bantuan obat-obatan dari
India, sebaliknya bantuan beras Indonesia untuk India (sehingga di Indonesia pada
1946 pernah dipopularkan lagu "Padi Untuk India"). Kami juga mengadakan
ekposisi tentang situasi perjuangan di Indonesia, baik melalui lukisan (antara lain
lukisan-lukisan S. Sudjojono dan Basuki Resobowo) dan foto (antara lain foto-foto
puing kota Surabaya dan Mojokerto sesudah 10 November 1945), juga brosur-
brosur (khususnya penerbitan DPP Pesindo) dan koran Revolusioner yang dicetak
di atas kertas merang. Semuanya bertema perjuangan untuk kemerdekaan
nasional. Kami serukan dan tempel semboyan-semboyan dan poster-poster seperti
"Merdeka Atau Mati!", juga semboyan-semboyan anti-perang penindasan. "Stop
the War!" Koporku penuh dengan kertas- kertas semacam itu. Karena di situlah
napas dan denyut nadi Republik kita yang baru saja lahir.

Setelah pendaratan darurat di Padang tersebut, penerbangan sampai New


Delhi berlangsung dengan selamat. Tujuan akhir penerbangan kami berdua
memang kota Praha. Tapi tidak ada cara lain bagi kami, kecuali harus "nebeng"
fasilitas para pembesar pemerintah. Bukan kantong kami berdua saja yang kosong,
bahkan kantong pemerintah juga tidak punya uang lebih! Pada waktu itu mungkin
bahkan juga tidak tepat, jika kita katakan "fasilitas yang dipunyai para pembesar
Pemerintah". Yang tepat barangkali “fasilitas yang dipunyai Pemerintah RI, yang
mendapat kepercayaan dari pemerintah negara-negara lain, khususnya dalam
hubungan ini, Pemerintah India". Juga pada waktu itu persatuan antara pejabat dan
rakyat, antara Pemerintah dan warganya, benar-benar hidup di dalam kehidupan

101
sehari-hari. Juga jika Panglima Besar Sudirman mengibaratkan persatuan Tentara
dan Rakyat ibarat ikan dan air, memang benar-benar gambaran kenyataan hidup
dan semangat perjuangan Indonesia pada masa itu.

Berbahagialah para pejuang kemerdekaan bangsa pada tahun-tahun pasca-


Perang Dunia II. Kata "setiakawan" sesama pejuang tidak saja terdengar sebagai
ucapan, tapi memang benar- benar diamalkan dalam perbuatan. Perdana Menteri
Nehru dan pemerintah India tampaknya melihat, bahwa urusan perjuangan rakyat
Indonesia untuk kemerdekaan adalah juga sama dan bahkan menjadi satu dengan
urusan perjuangan rakyat India.

Seluruh biaya perjalanan kami berdua ke Praha dibayar oleh pemerintah


Nehru. Tidak hanya itu, kami juga diberi uang saku. Begitu hormat pemerintah India
memperlakukan kami bertiga, yang bukan “orang resmi”, sehingga kami pun bisa
bersama-sama Bung Hatta menginap di Constitutional House, selama tujuh atau
sepuluh hari, tinggal di ibukota India.

102
14

“STOP THE WAR”

PADA suatu kesempatan kami menemui Bung Hatta di paviliunnya yang


besar, tidak jauh dari kamar di mana aku ditempatkan. Kami, delegasi pemuda itu,
selain Suripno dan aku, sudah bertambah satu orang lagi, yaitu Sugiono wakil SMI
di IUS. Di kantong baju sobat satu ini, kemana saja dia pergi, tak pernah lupa
dibawanya serta buku Bung Sjahrir Perjuangan Kita, yang baginya disebut ibarat
“Kitab Injil” perjuangan itu. Aku sudah lupa, entah dimana Sugiono tiba-tiba muncul
di New Delhi di tengah-tengah kami. Apakah ia terbang mendahului kami dari
Indonesia, atau langsung dari Praha dengan maksud menjemput kami.

Pertemuan kami dengan Bung Hatta, tentu saja dengan maksud minta
pendapatnya tentang apa yang mesti kami perbuat di Eropa. Perang kemerdekaan
sudah pecah di Indonesia. “Hidup” atau “Mati” Republik Indonesia yang baru
berumur satu setengah tahun, menjadi pertaruhan perjuangan. Waktu pesawat
bertolak dari lapangan Maguwo – udara perang memang sudah terasa panas, tapi
peluru perang itu sendiri belum dimuntahkan. Tapi di atas kota Padang, ketika
pesawat Patnaik terkena tembakan peluru Belanda, kami tahu bahwa perang sudah
dimulai. Tantangan hidup mati Republik Sudah menyatu dalam denyut jantungku
sendiri.

Seperti sudah kukatakan, karena hal itu ada tiga butir tugas yang aku
simpulkan, sebagai hasil pembicaraanku dengan Suripno, sepanjang penerbangan

103
antara Padang – New Delhi. Pertama, berusaha mendapat bantuan senjata; kedua,
mencari bantuan dana perjuangan dan ketiga, mencari bantuan obat-obatan.
Tentang dua butir yang terakhir ini Bung Hatta tidak keberatan tapi tentang butir
pertama ia menjawab diplomatis. Bung Hatta tidak secara eksplisit bilang “tidak
setuju” terhadap rencana Aku mencari bantuan senjata.

“Sebaiknya Zus tidak usah mencari senjata,” katanya. “Untuk itu kita sudah
punya orang-orang kita sendiri.” Tegasnya.

“Tapi yang perlu” kata bung Hatta selanjutnya,” yaitu dana dan obat-obatan.
Dan yang sangat penting lagi itu saja masalah propaganda mengenai kemerdekaan
kita.

Begitulah pendapat Bung Hatta. Selain bagus isinya, juga aku merasakan
kehangatan dan kesungguhan dia sebagai pemimpin dari satu bangsa yang sedang
berjuang. itulah kesan pertama aku bertemu muka dengan Wakil Presiden dan
berbicara dengannya tentang soal perjuangan. Memang, ketika pesawat mendarat
darurat di Padang beberapa hari yang lalu aku pun pernah berkesempatan berada
dekat dengan Bung Hatta. Di Bukittinggi waktu itu. Kami – aku dan Suripno –
diajaknya ke Kotagadang, di mana orang tua Bung Hatta tinggal. Tapi tidak ada
pembicaraan penting selama itu

Selain dari Bung Hatta saran dan pesan juga ku minta dari Perdana Menteri
Nehru dan Bung Sjahrir, yang sedang sakit, didampingi oleh Poppy yang belakangan
menjadi istrinya itu. Ia kami temui di peristirahatannya, di Penang. Seperti sudah
kukatakan sebelumnya, ia juga sedang dalam perjalanan ke India untuk
mengorganisasi bantuan internasional demi perjuangan kita. Titipan pesan dan

104
saran tentu saja kami cari juga pada mas Ban (Subandrio) high commissioner kita di
London. Tapi justru kepada Bung Karno pamit pun kami tidak!

Selain pesan-pesan dari para pembesar bangsa dan pejabat pemerintahan


tersebut, tentu saja dari pimpinan Pesindo sendiri, tidak sedikit pesan dan
perhatian yang kami peroleh. Perhatian yang besar sangat kurasakan dari Ketua
Pesindo ketika itu, Bung Disman (Sudisman). Yang pertama dan terutama dari
segala pesan itu ialah bahwa aku harus banyak bicara tentang tuntutan perjuangan
kita. Hanya tentang perjuangan dan situasi perjuangan saja. Tidak ada soal-soal
lain. Tentang situasi sosial, ekonomi dan sebagainya, itu semua tugas-tugas negara.
Tugas Pemuda satu saja: memberitakan dan menjelaskan kepada dunia luar, apa
itu Republik Indonesia, apa dan kapan itu Proklamasi Kemerdekaan RI, dan
mengapa kita mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutu. Kita juga harus
ajakan dan tuntutan kita pada dunia: "Stop the War!"

Slogan "Stop the War!" ini semula berbunyi "Stop the war in Indonesia!",
sebagai hasil rumusan kami bertiga: Suripno, aku, dan Sugiono. Lalu dilontarkan
oleh Suripno untuk pertama kali, di depan rapat umum yang sangat besar di kota
Praha. "Stop the war in Indonesia!" serunya menutup pidatonya. Seruan itu
disambut dengan gegap-gempita dan semangat setiakawan yang menggelora oleh
peserta rapat umum dan segera diambil oleh para pimpinan delegasi pemuda dari
berbagai penjuru dunia. la menjadi semboyan umum anti-perang imperialis dan
anti- perang kolonialis, dari pemuda-pemuda seluruh dunia dan bangsa-bangsa
yang sedang berjuang untuk kemerdekaan mereka.

Tentu saja termasuk menjadi tugasku juga ialah menyiapkan teks-teks pidato
untuk kongres dan untuk berbagai rapat umum. Suripno lebih dari itu. Dalam

105
umurnya yang baru sekitar 24- 26 tahun ia sudah menjadi tokoh pemuda berjuang
sedunia. Ia pernah memimpin salah satu forum kongres sedunia – barangkali
kongres IUS aku tidak lagi ingat benar. Tapi yang tidak akan hilang dari ingatanku
adalah adegan sesudah ia selesai mengucapkan pidato di depan salah satu rapat
umum. Beberapa pemuda wakil berbagai negeri seketika menghambur
menyambut dia, dan beramai-ramai mengangkatnya di atas pundak mereka. Begitu
pula pengalamanku sendiri di Praha. Pernah suatu kali, seorang pemuda utusan
dari Palestina serta-merta menghampiriku saat aku menutup pidatoku. Ia
merangkulku dengan haru. Nama kota Surabaya menjadi terkenal dalam festival
Praha itu.

Menyaksikan dan mengalami peristiwa itu, hatiku tersentuh. Cita-cita


kemerdekaan, ternyata adalah juga cita-cita mereka. Solidaritas sesama rakyat
yang berjuang untuk kemerdekaan sesungguhnya sudah menemukan fondasinya
yang sangat kuat. Indonesia saat itu memang menjadi simbol perjuangan untuk
kemerdekaan. Aku bangga tampil di depan panggung dunia internasional yang
sedang berjuang. Sebagai wakil republik muda Indonesia, yang seakan-akan
menjadi simbol perjuangan bangsa-bangsa jajahan di berbagai penjuru dunia. Pekik
"merdeka", senjata "bambu runcing", kota Surabaya seperti menjadi kata kata
mutiara perjuangan bangsa-bangsa yang sedang bangkit dari penindasan ...

106
15

DARI EROPA KE KALKUTA

AKU hadir di dua forum kongres pemuda dan mahasiswa di Eropa karena
dikirim oleh Pesindo. Bukan oleh BKPRI. Tapi di mana-mana aku tampil dan
berbicara, tidak pernah satu kali pun terucap dariku kata-kata, bahwa aku wakil
"Pemuda Sosialis Indonesia". Di mana-mana aku mengatakan, aku wakil Pemuda
Indonesia. Pemuda yang sedang berjuang mengangkat senjata untuk membela
kemerdekaan bangsa dan tanahairnya. Di setiap kesempatan berbicara aku
berikrar, bahwa "the youth of Indonesia will fight on!" Pemuda Indonesia akan terus
berjuang! Tidak, tidak ada kosakata "the sosialist youths" dalam kamusku!

Aku, seperti kami semua ketika itu, tidak berpikir dan bergerak terkotak-
kotak oleh sikap sektarian. Ini terbukti sekembali aku ke tanahair, setelah melawat
dan berkeliling Eropa selama satu tahun. Aku diundang resmi dan kemudian dibawa
berkeliling Jawa dan Sumatra oleh Badan Kongres Pemuda RI (BKPRI), dua pulau
wilayah Indonesia, di luar daerah-daerah yang diduduki Belanda, yang bisa dibilang
masih 'utuh' di bawah kedaulatan Republik. Diterima resmi oleh BKPRI berarti tidak
oleh Pesindo saja, tapi oleh semua organisasi pemuda yang bergabung di
dalamnya. Rencanaku untuk segera kembali ke tanahair tidak bisa terlaksana,
karena perang kemerdekaan sudah pecah. Namus keadaan tidak menguntungkan
itu kita balik, sehingga waktu tidak berlalu tanpa guna. Aku menerima surat dari
BKPRI, seperti yang sudah kupikirkan juga. Yaitu memberi penerangan tentang
perjuangan RI dan perang kolonial Belanda, menggalang solidaritas internasional,
mencari bantuan obat-obatan dan dana perjuangan. Karena tugasku untuk hadir
107
dan berbicara di dua kongres di Praha sudah selesai, aku lalu melakukan perjalanan
ke tiga negara Eropa Timur, yaitu Yugoslavia, Cekoslowakia, dan Bulgaria. Selesai
dari perjalanan kampanye kemerdekaan, aku berpisah dengan Suripno; dia kembali
ke Indonesia dan aku meneruskan perjalanan ke London. Di sana aku diterima
resmi oleh Dr Subandrio, selaku Komisaris Agung (High Commissioner) RI untuk
Inggris, dan melalui Mas Ban aku dipertemukan dengan menteri pertahanan India,
Krishna Menon. Dari kantong pribadi Menhan India ini aku menerima uang bantuan
25 poundsterling untuk tambahan biaya kegiatan kerjaku selanjutnya.

Dengan uang 25 pounds aku menyelenggarakan resepsi di tempat kediaman


Subandrio. Sasaranku adalah organisasi para pemuda dan mahasiswa Inggris di
London, untuk menggalang solidaritas bersama mereka. Maka, selagi di ibukota
Inggris itu, bersama sekelompok mahasiswa Inggris yang tergabung dalam "British
National Union of Students", aku berhasil melancarkan satu demonstrasi besar-
besaran. Demonstrasi yang bertujuan membangun solidaritas antarbangsa, dengan
tema mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan mengutuk agresi
militer Belanda untuk melakukan rencana kerja seperti yang penugasan yang
berlindung di balik selimut Sekutu, yang di dalamnya termasuk tentara
Gurkha/Inggris.

Sementara itu, selagi aku menjadi tamu High Commissioner Dr. Subandrio,
dan tinggal di wismanya, datang telegram dari BKPRI yang berisi pesan agar aku
segera menuju New Delhi, India, untuk mempersiapkan Konperensi Pemuda Asia
Tenggara (Southeast-Asian Youth' & Students' Conference) yang akan
dilangsungkan di Kalkuta, bersama dengan Panitia Persiapan Internasional yang
sudah dibentuk di sana. Panitia Persiapan Internasional ini terdiri dari wakil-wakil
beberapa organisasi, yaitu WFDY, IUS dan berbagai organisasi pemuda dan
108
mahasiswa Asia-Tenggara, termasuk dari Vietnam, Malaya- ketika itu Malaysia
belum lahir-, Tiongkok, Burma-sekarang Myanmar, dan Filipina. Salah seorang yang
mewakili IUS ialah seorang mahasiswa, perempuan Yahudi-Inggris, yang kelak
sesudah diperistri oleh Budiardjo kita kenal sebagai Carmel Budiardjo.

Pada Desember 1947 aku meninggalkan Inggris menuju New Delhi untuk
selanjutnya ke Kalkuta, tempat konperensi pemuda se Asia Tenggara akan
berlangsung.

Dalam "Konperensi Kalkuta" itu India sendiri diwakili oleh utusan dari AISF
(All India Students Federation) dan The All India Youths Federation, yang di
dalamnya terdiri dari baik wakil- wakil pemuda dan mahasiswa India maupun
Pakistan. Ini sendiri merupakan satu demonstrasi solidaritas dan persatuan antara
dua bangsa yang berjuang untuk cita-cita kemerdekaan bersama. Negara Pakistan
memang belum lahir ketika itu, tapi gerakan pemisahan diri Pakistan yang
dipelopori oleh Mohammad Ali Jinnah sudah sangat kuat.

Nama konferensi New Delhi ini "Southeast Asian Youths and Students
Conference", Konperensi Pemuda dan Mahasiswa Asia Tenggara. Tapi mengingat
negara-negara Asia Tenggara masih bergolak dalam perjuangan bersenjata, maka
konperensi diselenggarakan di India, negara yang termasuk dalam kawasan Asia
Selatan. India, sebagai tuan rumah, bahkan mengirim delegasi yang sangat besar.
Selain itu-karena konperensi ini bertema menggalang setiakawan untuk
memenangkan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah-organisasi
pemuda dan mahasiswa sedunia yang berkedudukan di Eropa Timur dan Barat juga
ikut mengirim utusan-utusan mereka.

109
Di konperensi ini, seperti halnya ketika di kongres dan festival pemuda di
Praha, aku duduk sebagai wakil BKPRI dan bukan wakil Pesindo. Konperensi ini
sebenarnya sebagai pernyataan sikap para pemuda dan mahasiswa Asia Tenggara
dan Selatan, dalam mendukung perjuangan negeri-negeri yang kemerdekaannya
dihalangi, dan bahkan dilanggar dengan kekuatan senjata oleh imperialisme. Maka,
bagi bangsa-bangsa di negeri itu, perjuangan bersenjata merupakan jalan
pembelaan diri satu-satunya yang sah dan lumrah. Di dalam panitia konperensi,
yang Federation, Satyapangam, bahkan ditekankan agar jangan meninggalkan jalan
perjuangan bersenjata sendiri, berkat pengaruh kekuatan ajaran Mahatma Gandhi
tidak menempuh jalan perjuangan bersenjata.

Indonesia mendapat tempat dan peranan yang sungguh luar biasa di sana.
Sesudah Indonesia baru menyusul Vietnam. Karena kenyataan sejarah
menunjukkan, bahwa untuk kawasan Asia Tenggara dan Selatan, Indonesia adalah
negara pertama yang, sesudah Perang Dunia II, berhasil memerdekakan diri dari
penjajahan. Kita, saat itu memang sedang dalam periode sejarah "hidup atau mati"
untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan diketuai oleh wakil dari The
All India Students walaupun India yang telah kita proklamasikan.

Delegasi Indonesia terdiri dari empat orang, termasuk aku, semuanya tampil
di sana sebagai wakil Pemuda yang tergabung dalam BKPRI. Mereka itu ialah
Supeno dan Otto Rondonuwu dari KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), dan
Amin seorang wakil dari API (Angkatan Pemuda Indonesia) dari Sumatra.1 Dalam
rencana mestinya juga termasuk Siwabessy, tapi entah kenapa ia menarik diri dari
keanggotaan delegasi. Mereka bertiga datang langsung dari Indonesia ke India
dengan tangan kosong. Bahan-bahan yang direncanakan untuk konperensi,
semuanya terpaksa dibuang ke laut ketika mereka mengalami pengejaran oleh
110
patroli laut Belanda. Karena itu, aku mengambil-alih tugas mereka, menyusun teks
pidato dan mengajukannya kepada Konperensi. Entah dari mana inspirasi datang
padaku, untuk tampil sebagai freedom fighter, dan menyusun teks pidato yang
sesuai dengan visi dan misi pemuda Indonesia yang tengah dalam kancah revolusi.
Aku tidak tahu. Aku hanya merasa, saat itu, seperti seorang kelaparan yang harus
makan dan mendapat makanan!

Konperensi di masa itu beda dengan konperensi di zaman sekarang, yang


biasa dilangsungkan di gedung megah atau di hotel yang mewah dan besar.
Konperensi Kalkuta ini ruang dilangsungkan di bawah tenda-tenda, seperti
perkemahan pengungsi zaman sekarang, yang dibangun di atas hamparan sebuah
tanah lapang. Tenda itu besar sekali, sehingga bisa menampung sekitar seribu
orang sekaligus. Di situ kami tidur, di situ kami makan, dan di situ juga kami
berkonperensi dengan duduk bersila di tanah. Tidak ada tempat tidur, tidak ada
meja- kursi, tidak ada apa-apa. Tapi semangat kami sangat tinggi, rasa
persaudaraan kami sangat hangat oleh cita-cita yang satu dan, sama.

Di tengah ribuan para peserta konperensi, yang sangat terkesan bagiku ialah
wakil-wakil dari negeri-negeri yang sedang berjuang mengangkat senjata, untuk
kemerdekaan dan kebebasan negeri dan rakyat masing-masing. Khususnya wakil-
wakil pemuda dan rakyat Vietnam, Malaya, Burma, dan Tiongkok. Utusan pemuda
dan mahasiswa India-Pakistan sangat menarik, karena jumlah mereka yang sangat
besar, apalagi dibanding dengan utusan Indonesia yang hanya tiga-empat orang
saja. Utusan Vietnam bahkan lebih kecil lagi, hanya beberapa orang pemuda,
karena ketiadaan dana dan situasi perang di negerinya. Salah seorang di antaranya,
seorang pemuda yang berumur 18 tahun, pemimpin sebuah pabrik senjata di
bawah tanah. Berambut gondrong, pakaian yang tak karu-karuan melekat di
111
tubuhnya yang kecil. Ketika ia mendengar tentang Perjanjian Renville yang
kuceritakan, dan bahwa perang telah pecah di Indonesia, dirangkulnya aku dan
dianjurkannya aku agar tidak usah kembali dulu ke Indonesia.

"Kembalilah ke Vietnam!" Katanya. "Negeri itu juga negerimu. Negeri


keduamu. Tanahair itu juga tanahairmu. Tanahair keduamu!" Tegasnya.

"Tapi aku harus kembali ke Indonesia," jawabku.

"Tapi Indonesiamu sedang dibakar api perang."

"Justru itu aku harus kembali!"

Pemuda Vietnam itu kembali merangkulku. Lebih erat. Pemuda delapan


belas tahun. Direktur pabrik senjata. Di bawah tanah pula. Rambutnya gondrong,
berperawakan kecil, pakaian kusut tidak keruan!

Mereka, utusan-utusan itu, semuanya datang dari berbagai penjuru front


pertempuran. Semua berpenampilan "tidak keruan", tapi justru menambah keras
pencerminan semangat pemuda pejuang yang pantang menyerah. Tidak. Di antara
kami tidak ada satu orang pun yang berjas dan berdasi, serta memang berbaju
potongan safari ala pejuang salon.

Konferensi Kalkuta dibuka dengan satu aksi unjukrasa besar- besaran. Kepala
barisan demonstran mengelilingi kota Kalkuta yang sangat panjang itu, disepakati
oleh Panitia, "barisan" Indonesia yang empat orang tersebut: Supeno, Otto
Rondonuwu, Amin (Samsu Anwar, menurut McVey) dan aku. Semua datang dengan
delegasi besar. Hanya delegasi sudah Indonesia yang, dihitung dengan jari sebelah
tangan pun terlalu banyak! Selain tidak punya uang, juga dikejar-kejar waktu dan
peluru perang melawan Belanda. Tapi, walaupun dengan delegasi yang hanya

112
terdiri dari empat orang, dengan Soepomo ku selaku pimpinan delegasi, merasa
berhasil dalam mengangkat nama Indonesia sebagai negeri yang sedang berjuang,
di tengah-tengah kaum pemuda dan mahasiswa dari berbagai negeri Asia. Berbagai
buku sejarah yang membicarakan konperensi ini juga menyebut nama Francisca C.
Fanggidaej dan pidato yang kuucapkan di Kalkuta itu.

Sayang kita, khususnya aku pribadi, kurang memikirkan pengaruh konperensi


Kalkuta yang bersejarah itu. Padahal, itulah kali pertama sesudah Perang Dunia II,
ketika para pemuda pejuang dari Asia bisa berkumpul, menjadi wakil negeri
masing- masing yang sedang bangkit melawan kolonialisme. Aku sendiri tidak
pernah sempat memikirkannya. Karena begitu tiba di disusul oleh berbagai
kejadian penting, seperti tanahair Peristiwa Madiun, pembangunan kembali Partai,
Pesindo bubar dan pembangunan Pemuda Rakyat, dan kemudian aku menjadi
anggota parlemen. Semua berjalan begitu cepat susul-menyusul. Kemudian ketika
di Tiongkok, mestinya banyak kesempatan di segera sana, tapi ternyata juga tidak,
satu dan lain sebab terutama perjuangan intern di kalangan sesama kawan yang
terdampar di luar negeri oleh dan sejak Peristiwa '65. Lalu sesudah di Belanda
selama 11 tahun (wawancara dilakukan tahun 1995; HS), ketika satu kaki sudah di
kuburan, baru ada kemungkinan akan bisa terekam dan tertulis.

Aku benar-benar ingin menceritakan pengalamanku di sekitar Konperensi


Kalkuta, karena untuk menuliskannya sendiri aku merasa tidak mampu. Harus ada
seseorang yang mengorek- korek, mengingatkan dan juga mengarahkan, sehingga
cerita pengalaman itu menjadi urut dan berbentuk. Sudah banyak aku dibujuk para
sejarawan, pemerhati dan pakar keindonesiaan, Seperti Jacques Leclerc, Welmoed
Koekkebakker malah ingin menggabungkan "Kalkuta" dan "Madiun", seorang
profesor kolega Pluvier, Tichelman, tapi aku belum sanggup bercerita.
113
Namun sekarang aku harus melihat lebih luas ke depan. Kalau tidak ditulis,
sejarah perjuangan bangsa akan kehilangan sebagian kisahnya yang sangat
penting. Sebab, barangkali tidak berlebihan kalau kukatakan, bahwa "Semangat
Kalkuta" adalah embrio "Semangat Bandung".

Aku berada di India selama sekitar tiga bulan, dari Desember 1947 sampai
Maret 1948. Bulan-bulan ketika perjanjian Renville antara Republik Indonesia dan
Kerajaan Belanda, di bawah pimpinan Amerika Serikat telah mencapai
kesepakatan. Maka, dalam satu kesempatan berpidato di rapat umum yang sangat
besar di Kalkuta, aku serukan antara lain kata-kata yang terdengar demagogis: "The
Renville Agreement was a setback to the struggle of nations fighting for the
independence, but the Indonesian youth rejects it and will fight on!"2

114
16

DARI “RENVILLE” KE “MADIUN”

AKU tidak ingat lagi dengan tepat, apa tema rapat umum di kota Kalkuta itu.
Tapi pasti tidak lepas dari Konperensi Kalkuta yang berlangsung pada 21 Februari
sampai 28 Februari 1948. Para pembicara untuk rapat umum juga diminta dari
kalangan delegasi untuk konperensi, yaitu wakil-wakil pemuda dan rakyat Asia
Tenggara dan Asia Selatan, yang sedang berjuang untuk kemerdekaan nasional
masing-masing.

Aku diminta menjadi utusan dan pembicara satu-satunya dari Pemuda


Indonesia, baik untuk Konperensi maupun Rapat Umum. Mungkin karena pada
waktu itu akulah satu-satunya wakil Indonesia, yang sudah ikut aktif sejak di dalam
panitia persiapan. Jadi sudah dari permulaan. Bukan hanya dalam konperensi saja
aku ikut hadir dan aktif, tapi dalam berbagai kesempatan di mana-mana, aku selalu
tampil menjadi juru bicara Indonesia.

Maka, permintaan itu aku sambut dengan penuh semangat. Karena, bagiku
dunia harus diberi tahu tentang apa yang sedang terjadi di Indonesia. Bahwa kita
sedang berjuang untuk merebut kemerdekaan nasional, sebagai hak semua bangsa
di dunia, dan

bahwa kaum kolonialis dan imperialis dengan segala daya berusaha untuk
memulihkan peta dunia kembali seperti sebelum Perang Dunia II. Aku tegaskan
ketika itu, bahwa Perjanjian Renville merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita

115
Revolusi Agustus ‘45, yang menuntut kemerdekaan nasional 100% tanpa bisa
ditawar-tawar!

Semua pembicara pada kesempatan itu menyokong kata- kataku. "Renville


adalah pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa yang
terjajah! Tidak saja terhadap bangsa Indonesia!" Mereka itu antara lain utusan
pemuda India, tuan rumah konperensi dan rapat umum, Semenanjung Malaya –
ketika itu belum ada Malaysia – dan yang paling hebat juga pemuda Vietnam yang
sedang berjuang hidup-mati melawan rezim kolonial Prancis.

Kesimpulan bahwa perjanjian "Renville merupakan pengkhianatan"


sebenarnya bukan hanya kesimpulanku saja, tapi merupakan kesimpulan kami
berempat, delegasi Indonesia. Aku sendiri yakin tentang kebenaran kesimpulan itu.
Aku sangat kecewa, bahkan sampai menangis, ketika dari Tanahair datang berita
tentang Perjanjian Renville. Untuk apa kita berjuang dengan banyak korban harus
jatuh? Kataku bergemuruh di dalam hati. Aku sangat tertusuk oleh rumusan di
dalam Perjanjian itu yang menyatakan, bahwa negara Republik Indonesia
mempunyai kedudukan yang sama seperti halnya negara-negara Republik boneka
bentukan NICA/Belanda, seperti Negara Sumatra Timur, Negara Indonesia Timur,
Negara Madura, Negara Pasundan dan semacamnya. Republik Indonesia, dengan
demikian, telah merosot dari satu negara yang berdaulat menjadi negara yang tidak
mempunyai kekuasaan apa pun. Kemudian ketetapan Renville, bahwa di atas
Indonesia Serikat ada takhta Ratu Belanda yang mempunyai wewenang di atas
semua negara anggota Serikat.

Tibá-tiba saja di India aku merasa tidak lagi mempunyai teman sebangsa dan
setanahair". Terhadap Duta Besar aku teman merasa tidak bisa lagi menghadapinya

116
seperti halnya seorang kawan bicara yang baik. Karena sebagai duta besar dari satu
kekuasaan yang sah, berarti kekuasaan yang ada di bawah kesepakatan Renville,
sudah pasti ia akan membawakan suara resmi pemerintah. Sepanjang
pengalamanku sebagai orang muda yang tumbuh pada masa-masa awal Revolusi,
aku tidak pernah merasakan adanya perbedaan antara pemerintah dan rakyat.
Pemerintah adalah pemimpin rakyat, tapi pemimpin bukan pembesar, yang berada
di luar atau apalagi di atas yang dipimpin. Tapi sesudah Renville, perbedaan antara
pemerintah dan rakyat benar-benar aku rasakan. Di sana pemerintah, dan di sini
rakyat. Dan sebagai rakyat, aku merasa telah dikhianati. Begitulah, saat itu
pemahamanku yang, mungkin saja, bertolak dari pemikiran yang sangat sederhana.

Begitu aku turun dari mimbar pidato di depan rapat umum Kalkuta, dengan
kesimpulanku yang sederhana itu, tiba-tiba aku dikritik sangat keras oleh Supeno.
Ia ternyata tidak setuju kesimpulanku yang kupikir telah menjadi kesimpulan kami
berempat sebagai satu delegasi. Supeno bahkan bukan sekadar tidak sependapat,
tapi menurutnya kesimpulanku itu sangat berbahaya untuk kuumumkan di depan
publik dunia.

"Nanti kita tidak bisa diterima lagi di sana!" Kata Supeno memperingatkan.

"Peduli amat! Tidak mereka terima? Ya, tidak usah kembali..." Jawabku
enteng.

"Cobalah kau pikir!" Ia berusaha menjelaskan pendiriannya, "oleh Belanda


jelas kita tidak bisa diterima. Lebih dari itu, malah kita diteror. Baiklah! Karena
mereka toh musuh kita. Tapi kalau pemerintah kita mendengar pidatomu, yang kau
ucapkan atasnama pemuda Indonesia itu? Dan pasti mereka mendengar! Tidak
mustahil kita akan ditangkap oleh pemerintah kita sendiri Coba kaupikir!"

117
Pendapat Supeno memang tidak keliru. Tapi aku tidak memperhitungkan
sejauh itu. Akhirnya bukan hanya Supeno yang menentangku, tapi semua anggota
delegasi Indonesia yan tiga orang itu. Tapi aku tetap tidak berubah dari pendirianku
Bagiku, ketiga-tiga kawan itu, setelah aku mendengar sikap mereka, lalu
kutempatkan sebagai bagian dari mesin kekuasaan sah. Sah perjanjian Renville.
menurut para diplomat dari yang Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat yang
hadir di atas kapal "Renville". Tapi tidak sah menurut rakyat Indonesia. Aku yakin
benar! Aku merasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat, karena itu
aku merasa tidak mempunyai ikatan dengan kekuasaan sama sekali.

Tapi, di pihak lain aku berbesar hati, karena pidatoku itu ternyata telah
menarik perhatian internasional. Justru karena aku berbicara atas nama Pemuda:
sebutan "pemuda" pada waktu itu mempunyai uitstraling (Bel.: pancaran pesona)
yang luar biasa. Tidak lama sesudah pidato yang menimbulkan perselisihan sesama
kawan itu tersebar, aku diwawancarai oleh pers internasional. Misalnya, yang
sekarang masih kuingat, seorang wartawan Prancis, barangkali dari koran Le
Monde. Kemudian sesudah berada kembali di Indonesia, dan pada suatu
kesempatan diwawancarai Ruth T.McVey, aku tahu ia pun telah menulis perihal itu
di dalam salah satu buku karangannya. Juga Kahin. Ia malah lebih luas mengulas isi
pidatoku itu. Tapi yang membuat pidato itu menjadi perhatian internasional justru
karena, dan sesudah aku mendapat, kritik keras dari Kedutaan RI di New Delhi.
Bukan hanya terhadap pidato yang kuucapkan di depan rapat umum, tapi juga
terhadap kata-kata jawabanku pada wawancara pers internasional itu. Salah
seorang staf kedutaan datang kepadaku untuk menyampaikan kritik, yang intinya
sama seperti halnya kritik Supeno dan kawan-kawan sedelegasi.

118
Tetapi, aku tetap bersikukuh pada pendirian yang sudah kunyatakan. Aku
tidak bisa dan juga tidak akan bersedia menarik kembali kata-kataku. Renville ialah
pengkhianatan. Begitulah keyakinanku. Perjanjian Renville merupakan satu set-
back bagi gerakan kemerdekaan di Indonesia terutama, dan bahkan bagi gerakan
kemerdekaan nasional di seluruh kawasan Asia Tenggara. Walaupun waktu itu
memang belum kasatmata terlihat.

Pulang ke Indonesia aku langsung ke Solo, menuju rumah - saat itu Gubernur
Militer. Sebagai utusan BKPRI Wikana tentu saja pertama-tama aku melapor pada
BKPRI dan Pesindo. Selanjutnya aku juga ditugasi melakukan perjalanan keliling,
untuk "melapor" pada para pemuda di daerah-daerah, yaitu daerah-daerah
Republik, khususnya di Jawa Tengah. Di mana- mana aku berbicara, baik tentang
rapat umum dan "Konperensi Kalkuta", maupun tentang pernyataan-pernyataanku
dalam wawancara. Semua disambut dengan antusias, tanpa sepatah kata kritik
dilempar padaku. Soal-soal sekitar kritik baru timbul kemudian, yaitu sesudah
"Peristiwa Madiun" pecah, dan aku ditangkap dan diperiksa. Dalam pemeriksaan
terkait "Peristiwa Madiun" itulah segala pernyataanku di Kalkuta dikorek-korek dan
dipermasalahkan.

Sejak aku tiba kembali di Solo 12 April 1948, sampai "Peristiwa Madiun pecah
18 September 1948, aku tidak hanya melakukan perjalanan keliling memberikan
ceramah "Oleh-Oleh Kalkuta" saja. Banyak juga soal-soal organisasi yang
kukerjakan, dengan menimba pengalaman organisasi pemuda dan mahasiswa yang
kuperoleh dari Eropa dan India. Aku juga dilibatkan dalam rapat-rapat DPP Pesindo,
dan diskusi-diskusi mendalam selama bulan-bulan Juni, Juli dan Agustus tentang
perombakan dalam pimpinan Pesindo. Jabatan Ketua DPP Pesindo hasil
perombakan tetap di tangan Ruslan Wijayasastra.
119
Malam berikut, sesudah "Peristiwa Madiun" pecah, disiarkan pidato radio
Presiden Sukarno, yang intinya berisi seruan kepada bangsa Indonesia, agar
memilih pimpinan nasional: Sukarno- Hatta atau Amir-Musso. Aku melarikan diri
dari rumah Wikana menuju Madiun. Pada malam itu, 17 September, beberapa saat
sesudah pidato radio Sukarno, rumah Gubernur Militer Wikana dikepung oleh
pemuda kakak beradik Effendi, yaitu Rustam Effendi dan dua saudaranya. Pengaruh
"Murba" di Solo memang besar waktu "Murba", di bawah pimpinan tiga orang-
orang itu.

Aku lompati tembok tinggi di belakang rumah Wikana. Entah di mana Wikana
ketika itu, aku tidak tahu dan tidak sempat mencari tahu. Aku hanya tahu satu
perintah, malam itu juga harus melarikan diri dari rumah dan jangan melalui pintu
depan. Perintah itu datang dari Pimpinan Pesindo, yang disampaikan melalui
seorang kurir. Tiba di luar tembok halaman rumah, aku dibawa menyelinap masuk
jalan kampung menuju ke rumah Sudjono, seorang tokoh yang belakangan tampil
sebagai salah seorang pimpinan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).
Selanjutnya aku diantar meneruskan perjalanan menuju kota Madiun, untuk
menyelamatkan diri, dan menghindar dari rumah Wikana yang sudah dikepung.

Mengapa rumah itu dikepung, aku tidak mengerti. Aku juga tidak tahu, siapa
sebenarnya yang dikepung. Wikana atau aku? Tapi mungkin memang juga aku!
Karena pesan Pimpinan Pesindo melalui kurir, selain berupa perintah melarikan
diri, juga peringatan bahwa aku termasuk salah seorang yang mereka cari. Tapi
aneh, aku tidak kaget dan tidak ada perasaan takut. Barangkali karena faktor umur
muda dan menyadari sebagai bagian dari kelompok pemuda yang berjuang,
ditambah pengaruh suasana sehari-hari Indonesia yang sedang dalam kancah api
perang kemerdekaan. Aku tidak tahu, mengapa semuanya itu terjadi. Juga tidak
120
sempat lagi untuk kembali menyusuri perkembangan situasi tanahair selama
beberapa bulan terakhir. Di hadapanku tidak lagi ada berbagai jalan pilihan,
melainkan hanya satu, yaitu gema semboyan pemuda itu: "Hidup atau Mati". Dan
aku pun, seperti semua orang, saat tentu saja memilih hidup. Tidak ada rasa kaget
dan tanpa bayangan kegentaran.

Sama halnya seperti ketika aku mengalami lemparan granat- granat pemuda
India ekstrem kanan di tengah aku berbicara di rapat umum Kalkuta sekian bulan
lalu. Ketua All India Students Federation, Satyapangam, juga berbicara pada saat
terjadi aksi teror sekelompok pemuda penentang konperensi. Koran-koran hari itu
memberitakan aku terkena granat dan dilarikan ke rumah sakit. Sampai Duta Besar
Sudarsono datang mencari, dan mengajukan protes keras pada pemerintah India.
Padahal kenyataan yang menimpa diriku tidak separah pemberitaan pers. Memang
benar, aku diantar ke rumahsakit, tapi untuk sekadar dibalut jariku yang berdarah
keserempet serpihan kecil ledakan. Tapi bukan aku dan Indonesia sebenarnya yang
menjadi sasaran. penggranatan, melainkan golongan kiri India dan Hindhu pada
umumnya, yang menghendaki "India Merdeka Sekarang Juga", yang menentang
gerakan kaum separatis Islam untuk mendirikan negara Pakistan.

Perasaan seperti itu, entah mengapa, tidak ada lagi padaku selang enam
puluh lima tahun kemudian. Rasa percaya-diri, yang pernah kumiliki begitu kuat itu,
hilang ketika aku mendengar tentang apa yang dinamakan "Peristiswa '65". Aku
ada di luar Indonesia saat itu. Mendengar berita itu aku merasa panik dan
menangis. Aku betul-betul merasa kehilangan dan ketakutan luar biasa.

Sesudah berhasil meloloskan diri dari kepungan di rumah Wikana, dan


bersembunyi di rumah Sudjono, aku segera bersiap diri meninggalkan Solo, menuju

121
Madiun. Perjalanan lari ini bukan hasil pikiranku dan Sudjono, tapi diatur oleh
Rudito kelak suami Rusiyati-ketika itu Ketua III DPP Pesindo. Perjalanan itu tidak
bisa langsung, tapi harus muter melalui Cepu, dengan naik sampan segala – entah
dimana aku tidak tahu!

Di Madiun, tugasku hanyalah untuk menyelamatkan diri. Dalam rangka itulah


setibanya di sana aku mendapat perintah dari BKPRI untuk ikut bergabung di dalam
"Rombongan Bung Amir". Begitu sebutan untuk rombongan itu, walaupun
jumlahnya tidak sekadar belasan atau puluhan tapi ribuan orang! Sebutan itu
barangkali timbul karena di tengah-tengah kami saat itu, Bung Amir satu-satunya
tokoh yang kita pandang sebagai pemimpin tertinggi kami.

Rombongan itu sendiri mula-mula memang tidak besar. Hanya terdiri dari
beberapa kelompok pasukan saja. Tapi di tengah perjalanan rombongan menjadi
bertambah besar dan besar, bukan saja oleh orang demi orang yang ikut
bergabung, tapi orang-orang itu berikut dengan keluarga masing-masing. Mereka
berangkat dari Delanggu, terus menuju Sarangan, dan Gunung Lawu. Aku bertemu
dan bergabung ketika rombongan sudah tiba di kota Madiun. Sepanjang ingatanku,
hanya satu- dua malam aku bersama mereka. Kemudian datang perintah, melalui
seorang kurir, agar aku segera bersiap-siap pergi. Entah ke mana, perintah itu tidak
memberi keterangan. Juga perintah ini datang dari pimpinan BKPRI, dalam hal ini
Sumarsono. Untuk apa aku harus pergi, dan selanjutnya aku harus berbuat apa,
perintah juga tidak memberikan penjelasan. Artinya aku tidak mendapat peranan
apa-apa saat itu. Tugasku hanya menyelamatkan diri, menghindari kejaran pasukan
Divisi "Siliwangi". Karena itu, pada waktu itu pun, memang hanya pasukan yang
diberi tugas dan peranan aktif. Kami semua yang sipil hanya sebagai anggota
rombongan pasukan yang terdiri dari beberapa batalyon, dan di bawah pimpinan
122
Bung Amir dan Sumarsono. Batalyon apa saja, aku lupa, tapi yang paling kuingat
Batalyon 19, di bawah pimpinan Maladi Yusuf. Ada dua lagi komandan batalyon
yang masih kuingat wajah-wajah mereka, tapi tidak ingat lagi siapa nama-nama
mereka.

Sesudah di tengah perjalanan, aku menerima pimpinan organisasi


rombongan untuk ikut bekerja dalam bagian agitprop (agitasi-propaganda). Aku
benar-benar tidak tahu, atau belum tahu sampai saat itu, bahwa di dalam
"Rombongan Bung Amir" ini ada organisasi partai (PKI). Tapi yang aku tahu dan
rasakan, ada organisasi rombongan dan tokoh-tokoh pimpinannya. Mereka itu,
selain Bung Amir dan Sumarsono, ialah Suripno, Maruto Darusman, Pak Sarjono
Lama yang dari Australia.

Pada saat-saat dekat sesudah proklamasi hampir semua organisasi masa,


khususnya masa pemuda, mempunyai pasukan bersenjata yang disebut "laskar"
atau "tentara". Ada laskar "Hisbullah", "Sabilillah", "Bambu Runcing", tentara
"Pelajar", dan sebagainya, demikian juga yang terjadi belakangan pada Pesindo dan
BKPRI. Orang kemudian bahkan melihat, bahwa barisan laskar-laskar pasukan itu
sendiri adalah wujud dan bentuk organisasi-organisasi pemuda dan pelajar.

Sejauh yang kuketahui, tokoh Sumarsono mula-mula lahir dari organisasi


pemuda yang bernama Pemuda Republik Indonesia (PRI), yang menjadi pusat
gerakan pemuda di Jawa Timur, khususnya Surabaya. PRI, seperti sudah saya
ceritakan, terbagi dalam berbagai sektor, menurut penjuru-angin kota Surabaya.
Ada PRI-Utara, PRI-Timur, PRI-Selatan dan PRI- Barat. Di antara sektor-sektor PRI
ini ada yang mempunyai dan ada dari tugas Ketua PKI yang tidak mempunyai

123
pasukan bersenjata. Sumarsono berasal dari PRI yang berpasukan, dan bahkan dia
komandan pasukan PRI sektor yang bersenjata itu.

Kemudian terjadi Kongres Pemuda pertama di Yogyakarta. Sebagai


pemimpin pemuda yang sekaligus pemimpin pasukan pemuda bersenjata (PRI),
tokoh Sumarsono tampil sangat cemerlang di tengah-tengah Kongres. Seperti juga
sudah aku ceritakan, Pesindo baru terbentuk kemudian sesudah "Kongres Yogya".
Peristiwa lahirnya Pesindo ini berangkat dari sekitar empat puluh lebih ormas
pemuda peserta Kongres, yang bertujuan untuk melakukan fusi organisasi. Di sini
Sumarsono memegang peranan penting. Aku sendiri ketika itu masih kroco;
sekadar memenuhi keputusan organisasi, diutus hadir di Kongres. Aku tidak tahu
apa-apa. Apalagi soal-soal keorganisasian. Aku masih benar-benar hijau saat itu!
Tentang terbentuknya Pesindo itu pun baru aku ketahui kemudian.

Tapi aku sadar. Aku bukan sekadar wayang yang dimainkan dalang. Kalau
harus berbicara dengan pengandaian, barangkali aku seperti kertas-putih – sebagai
amsal untuk anak-anak – bagi penglihatan mata J.J. Rousseau. Aku kupu-kupu yang
terlepas dari kurungan kepompong, yang diberi jalan keluar berupa kesempatan
"terbang". Dan aku terbang!

Kemudian terjadi begitu banyak peristiwa selama hari-hari Kongres Yogya


berlangsung. Namun, dari semuanya itu, hanya satu yang aku ingat yaitu
berkumpulnya begitu banyak manusia satu yang muda, semua hanya ingin satu hal:
Kemerdekaan. Itu saja yang aku tahu. Adapun mengenai hal-hal lain, seperti
pemahaman "Kemerdekaan" dan apa yang mereka hendak isi ke tentang dalam
“Kemerdekaan" itu, yang telah membentuk bermacam-macam organisasi dan
barisan kelaskaran, semuanya itu aku tidak mengerti. Apa itu "organisasi", Aku pun

124
tidak mengerti. Aku hanya tahu, kita berkumpul bersama-sama, satu sama lain
saling mengerti, dan merasa sebagai satu keluarga. Itulah sejatinya yang membuat
aku bukan sekadar tertarik tapi hanyut di dalamnya, dan kemudian menyebabkan
aku lupa akan yang lain-lain dan aku tidak mau melepaskannya. Mungkin saja ketika
itu, jika mau, aku bisa kembali ke Surabaya. Tapi aku tidak mau. Aku tidak mau
kehilangan "Dunia Baru" yang hangat itu. Waktu itu aku merasa, seperti berdiri di
depan pintu yang terbuka lebar dan pintu itu sudah aku masuki. Aku tidak mau
keluar dari sana, dan menutup pintu itu kembali. Tidak!

Pada diriku ketika itu, belum ada rasa patriotisme dan nasionalisme. Istilah-
istilah itu memang sudah aku dengar, tapi arti sejati "isme-isme" itu aku belum
mengerti. Aku hanyut verlebih oleh "suasana" dan "hasrat", tapi bukan di dalam
"harapan". Bagiku "harapan", sepertinya, tidak pernah tampil di depanku sebagai
sesuatu yang menggoda. "Harapan" adalah sesuatu hasil logis belaka dari suatu
perbuatan atau perjalanan yang tidak perlu diharap-harapkan.

Aku hanyut oleh suasana dan hasrat berkumpulnya manusia- manusia muda
yang satu perasaan dan satu hasrat denganku. Perasaan sesaudara, hasrat
kemerdekaan. "Merdeka" itulah identitas. Identitasku, identitas mereka, identitas
kita bersama. Tidak ada lain. Bahwa identitas yang satu dan menyeluruh itu bisa
berkeping-keping, menjadi identitas kecil-kecil lagi, hal yang demikian itu tidak
menjadi perhitunganku ketika itu.

Sampai saat itu, aku tidak punya tokoh politik idola. Nama Amir Sjarifuddin,
Bung Amir, baru kudengar dengan kekaguman seorang muda di tengah Kongres.
Nama Sukarno, Bung Karno, hanya aku tahu sejauh bahwa "dialah presiden kita".
Tapi aku tidak merasa tertarik pada "Tokoh Sukarno". Tentu saja aku tahu tentang

125
"Proklamasi 17 Agustus". Tapi bagiku peristiwa besar dalam sejarah Indonesia itu
tidak terjelma di dalam pribadi. Jadi, lebih banyak dalam maknanya yang simbolis.
Aku tahu Sukarno-Hatta, karena dua nama itu satu-dan-lekat di dalam Proklamasi.
Bagaimana sosok orangnya aku tidak pernah, dan tidak merasa ingin melihat.
Bagiku "Merdeka- Sukarno-Hatta" itu satu. Kisah-kisah sejarah tentang Laksamana
Maeda, Rengasdengklok, Rapat Umum "Ikada" dan lain-lain Semuanya ibarat
dongeng-dongeng indah belaka. Benar. Seperti dongeng. Sedangkan aku seorang
anak kecil yang gemar mendengar dongeng "1001 Malam", atau sebagai "Anak
Belanda Hitam" mendengar dongeng Cinderella, yang membawa satu fantasi
tentang dunia baru.

Mungkin seperti itu. Tapi aku tidak berani ngomong begitu, karena semua
kejadian yang kuhadapi dan kualami terlalu, kongkret. Kalau sekadar dongengan
tentu aku akan cepat bangun, dan segera kembali lagi ke rumahku senyatanya di
Surabaya. Karena kehidupan yang saat itu harus kutempuh sungguh tidak mudah,
terutama bagiku yang sejak lahir begitu dimanjakan oleh jabatan ayah dan status
sosial orangtua.

Ada sesuatu yang begitu melekat pada jiwaku dan bisa lagi kubuang. Apa itu,
aku tidak tahu. Dunia Baru vang hangat. Apa itu?

Sebenarnya selama ini aku tidak pernah terpikir tentang itu. Baru sekarang
inilah aku memikirkannya. Tapi kurasa ini baik, karena barangkali sudah tiba
waktunya untuk merenunginya kembali. Sekarang aku sudah tua. Tapi itulah yang
membikin aku, lima puluh tahun lalu, terpesona sedemikian rupa, sehingga aku
tidak pernah menjadi guncang. Apa pun yang kuhadapi sepanjang tahun-tahun
sesudah itu, yang senyatanya lebih banyak pahit daripada manis. Justru oleh

126
kepahitan itu aku merasa semakin diteguhkan. Sehingga kalau aku sekarang atau
nanti, harus menghadapi hidup seperti ketika itu lagi, aku tidak akan mundur. Aku
akan menempuhnya kembali, tentu saja dengan pikiran yang lebih "dewasa".

Apa yang membuat hatiku teguh dan apa yang aku alami dan rasai ini, aku
percaya, pasti juga ada pada banyak para pejuang kemerdekaan kita. Oleh karena
itu, barangkali ini merupakan satu pengalaman nasional yang memang perlu
direnungkan kembali.*

127
17

LONG MARS

TUGASKU bersama "Rombongan Bung Amir" bisa dirumuskan dalam satu


kalimat saja: "Tugas Lari"! Naik-turun gunung, menyelamatkan diri dari pengejaran
TNI/"Siliwangi". Itulah disebut long mars, meniru sebutan yang dipakai oleh yang
Tentara Merah di bawah pimpinan Mao Zedong, ketika pindah dari Tiongkok
Selatan menuju "daerah basis" di utara. Aku tidak tahu, siapa yang menjuluki
perjalanan kami menyelamatkan diri itu sebagai "long mars". Apakah dari kalangan
kami yang dikejar, ataukah dari kalangan mereka yang mengejar.

Seperti sudah kuceritakan, di Madiun aku hanya tinggal satu-dua hari saja.
Pada 18 September 1948 petang hari Sukarno mengucapkan "pidato suruh pilih"
antara Sukarno-Hatta atau Amir-Musso. Setengah jam kemudian Pak Musso
menjawab tantangan Sukarno.1 Lalu datang seorang kurir dengan perintah, aku
segera melarikan diri dari rumah Wikana yang sudah agar dikepung. Satu-dua hari
sesudah tiba di Madiun aku ikut bergabung bersama barisan "long mars"
"Rombongan Bung Amir". Rombongan pasukan bersenjata yang sudah panjang itu,
dalam perjalanannya menjadi bertambah panjang oleh orang-orang sipil, baik yang
bergabung secara perseorangan maupun dalam rombongan.

Suatu ketika, misalnya, aku tidak tahu persis tempatnya, barangkali di


Magetan. Di situ rombongan "Ludruk Marhaen". yang juga dikejar-kejar karena
dikenal sebagai "Ludruk Pesindo". ikut bergabung dalam barisan. Rombongan
ludruk ini tidak hanya membawa seluruh keluarga mereka, tapi bahkan lengkap

128
dengan memikul perangkat gamelan dan perlengkapannya. Ini volksverhuizing2
namanya, yang tentu saja sangat menghalang-halangi gerak pasukan. Juga tugas
dan tanggungjawab pimpinan pasukan menjadi tambah berat dan sulit. Bagaimana
mengatur barisan agar jika harus jatuh korban, akan terjadi pada anggota pasukan
dan bukan anggota rombongan orang sipil, khususnya anak-anak, perempuan, dan
ibu-ibu yang menggendong anak atau cucu mereka. Pendek kata, timbul seribusatu
masalah organisasi rombongan yang harus bergerak di bawah ancaman
pengejaran, antara lain masalah mobilitas barisan, keamanan perjalanan,
perbekalan makan-minum rombongan di sepanjang perjalanan, dan berbagai
macam masalah lainnya. Kapan saat yang baik bagi barisan untuk berjalan,
misalnya. Perjalanan siang hari akan terlalu mencolok, tapi perjalanan malam tentu
terlalu berat bagi anak-anak dan ibu-ibu. Aku sendiri ketika itu sedang mengandung
anakku yang pertama.

Aku kawin, pada 30 Juni 1948, sekitar satu bulan sepulangku dari India. Di
tengah perjalanan "long mars" itulah aku merasakan kehamilanku. Tapi suamiku,
Mas Karno, tidak ikut serta dalam “Rombongan Bung Amir". Ia, entah oleh
keputusan DPP Pesindo, entah oleh kemauan sendiri, bertugas mengawal aneka
Pak Musso.

Pada 14 September 1948, empat hari sebelum "Peristiwa Madiun", ia sudah


diculik. Jadi, kami hanya mendapat kesempatan hidup bersama sebagai suami-istri
sekitar tiga bulan saja. Sesudah kawin, kami tinggal di salah satu kamar rumah dinas
Gubernur Militer Wikana. Letak kamar kami di belakang gedung induk, dalam satu
deretan dengan kamar keluarga Ruslan Wijayasastra dan istrinya, Yu Harmini.
Malam hari tanggal 14 September, kamar kami digrebek oleh tiga orang bersenjata
senapan mesin ringan - "Bren", orang menamainya. Mereka menggedor-gedor
129
pintu, sekitar jam 2-3 menjelang subuh. Siapa dan dari laskar apa mereka itu, kami
tidak bisa mengenali. Ketika itu kami sedang tidur nyenyak, beralas kasur yang kami
hamparkan di atas lantai, karena kami memang tidak mempunyai tempat tidur.
Mas Karno ditodong bren, dan digiring keluar. Tanpa membawa apa-apa, selain
pakaian yang melekat di tubuhnya. Aku sendiri tidak mereka apa-apakan. Aku
mengikuti mereka keluar, dan kulihat Mas Karno dinaikkan di atas truk. Dibawa
pergi, entah ke mana!

Kemudian pada 17 September malam hari, tahu-tahu dia datang kembali.


Seorang diri. Dan kelihatan sangat tergesa-gesa. "Jangan khawatir. Tunduk pada
perintah!" Itu saja dia bilang. Aku diam, tidak tahu harus berkata atau bertanya apa,
walaupun aku tidak tahu, perintah siapa itu yang dia maksud. Lalu, ia bergegas pergi
lagi. Kali ini dengan membawa beberapa helai pakaian. Sejak itu, aku tidak pernah
lagi bertemu dengan suamiku. Selama-lamanya!

Ternyata, Mas Karno tewas dan dimakamkan di Ngalihan. Ia ditembak mati,


atas perintah Gubernur Militer Gatot Subroto, bersama Bung Amir, Oey Gee Hwat
dan kawan-kawan. Semuanya sebelas orang yang dieksekusi pada pagi buta, 19
Desember 1948. Ia tertangkap di Blitar. Ketika aku masuk kota Madiun, ia sudah
pergi mengiringi Pak Musso, tapi ini baru kuketahui jauh di belakang hari. Ketika itu
aku hanya tahu, Mas Karno tidak ada di Madiun.

Pada 17 September tadi itu, dia pulang, sesudah diculik tidak bercerita
sepatah kata pun tentang siapa yang menculiknya. Dari mana dia datang, dan ke
mana dia harus segera pergi lagi, juga tidak sempat bercerita. Aku baru tahu
beberapa tahun berselang, mulai tahu sedikit demi sedikit. Di mana Pak Musso
tewas, dan ke mana Mas Karno ketika itu pergi bersama Pak Musso. Ketika Pak

130
Musso kepergok di kota Pacitan dan teriadi tembak-menembak, Mas Karno
berhasil lolos dan melarikan diri ke Blitar. Di sana dia tertangkap dan dimasukkan
di penjara, di mana aku pun akhirnya dibawa ke penjara yang sama. Kami semua,
termasuk aku dan juga Bung Amir, tertangkap ketika kami berada di Purwadadi.

Aku tidak tahu, apa sebenarnya tujuan "long mars" kami. Sejauh yang aku
alami, tidak lain sekadar untuk "mencari selamat", meloloskan diri dari pengejaran
tentara Republik dalam hal ini Divisi "Siliwangi". Jadi, berbeda dengan "long mars"
di Tiongkok yang berkaitan dengan masalah mencari "daerah basis" perlawanan.
Kukira pada barisan long mars kami ketika itu, tidak atau belum ada pikiran tentang
mencari "daerah basis" seperti yang terjadi di Tiongkok. Aku mendengar dari Pak
Alimin yang sedikit banyak tahu tentang pengalaman Revolusi Tiongkok. Tapi,
apakah pengalaman itu juga ada pada pimpinan PKI/FDR yang lain, aku tidak tahu.
Yang pasti, selama mengikuti perjalanan "long mars", aku tidak pernah mendengar
masalah itu diperbincangkan. Bahan pembicaraan paling pertama utama selama
perjalanan "long mars", ialah bagaimana mengatasi seribusatu rintangan
perjalanan demi keselamatan rombongan.

Perjalanan "long mars" memang sangat berat. Siang-malam tanpa henti. Tak
peduli panas terik, dingin serta gelap gulita. Turun-naik bukit dan gunung,
terkadang di bawah hujan lebat. Terkadang harus menyisir jalan setapak di tepi
jurang, dalam banjaran dua-tiga orang memanjang ke belakang. Ada kalanya hari
dan empat empat malam terpaksa tidak makan. Dalam keadaan, biasanya
pimpinan rombongan lalu membagikan garam pada kami, supaya tidak kehabisan
stamina.

131
Di tempat-tempat yang kira-kira aman, yaitu di desa-desa yang tidak
memusuhi, kami beristirahat sebentar, memasak bubur nasi dan merebus daun-
daunan yang bisa dipetik dari daerah sekitar. Lama "long mars" tidak sama antara
rombongan yang satu dan rombongan lainnya. Rombonganku sendiri, yang
dipimpin oleh Bung Amir, sampai 18 November 1948. Pada tanggal itu kami
tertangkap di Purwadadi. Rombongan kami, yang sebenarnya adalah rombongan
pimpinan, merupakan rombongan "long mars" terakhir yang tertangkap. Aku tidak
tahu, bagaimana nasib pasukan kami, tapi aku tahu persis, bersamaan waktu ketika
aku tertangkap, juga tertangkap Bung Amir, Pak Maruto Darusman, Pak
Jokosujono, Bung Suripno, Bung Haryono dari Sobși. Mereka tertangkap di
Purwodadi, dan aku di Desa Kelambu di wilayah Purwodadi juga. Aku tidak terlalu
lama ditahan sendiri, karena kami segera dikumpulkan dan dimasukkan di dalam
satu penjara yang sama. Kami berenam, dan aku tawanan perempuan satu-
satunya.

Jadi, ketika keadaan semakin gawat, rombongan "long mars" dipecah


menjadi rombongan kecil-kecil, masing-masing harus mencari jalan selamat
sendiri-sendiri. Aku termasuk dalam rombongan Sugandi dari Perbepsi (Persatuan
Buruh Persenjataan Indonesia)3, yang mendapat tugas untuk mengawal dan
menyelamatkanku. Tapi bagaimana bisa? Keadaan waktu itu sudah begitu buruk.
Bahwa aku mendapat perhatian khusus pimpinan, barangkali, pertama-tama,
karena aku termasuk kader pimpinan anggota Pleno Dewan Pimpinan Pusat; kedua,
aku perempuan dan sedang hamil muda; ketiga, karena aku istri Mas Karno, ketua
Bagian Penerangan DPP Pesindo, yang sejak zaman Jepang sebagai anggota Partai
yang aktif di bawah tanah.

132
Kami dikepung dari segala penjuru, dan dikejar-kejar oleh pasukan
"Siliwangi" yang berkekuatan sangat besar. Akhirnya aku ditangkap oleh Kemal
Idris. Sudah kukatakan dengan sejujur, aku ketika itu tidak mempunyai peranan
apa-apa di dalam "long mars". Tapi, tuduhan yang diarahkan padaku, akulah yang
menerima tugas Partai untuk membawa blue print Peristiwa Madiun dari Kongres
Partai-Partai Komunis Sedunia di Kalkuta.

Cerita yang sebenarnya begini.

Ketika Konperensi Pemuda dan Mahasiswa Asia Tenggara berlangsung di


Kalkuta, pada saat itu di kota yang sama Partai Komunis India juga sedang
mengadakan kongresnya. Di dalam kongres ini juga diundang tokoh-tokoh Partai
Komunis dari berbagai negeri, antara lain dari Australia, Uni Soviet, Vietnam,
Tiongkok, dan dari negeri-negeri sekitar. Utusan dari Indonesia tidak datang
langsung dari Indonesia, entah dari mana, tapi baru sesudah kongres selesai ia pergi
“kembali" ke Indonesia. Ia seorang Indonesia peranakan Tionghoa. Aku
mengenalnya tidak lebih dari nama sapaannya, yang ia sendiri menyebutnya
sebagai "Oom Oei".

Namun, dalam tuduhan Kemal Idris itu dikatakan: pertama, aku ikut hadir
sebagai utusan PKI/FDR di dalam Kongres Partai Komunis India; dan kedua, di
dalam Kongres itulah aku menerima blue print "Peristiwa Madiun". Padahal, sekali
lagi sejujurnya harus kukatakan, aku tidak tahu sama sekali bahwa ketika itu Partai
Komunis India sedang melangsungkan kongres. Pada saat itu, Perang Dingin sedang
mulai, dan sikap saling curiga antara "kaum sana" dengan "kaum sini" sangat besar.
Sehingga Partai Komunis India memang sangat merahasiakan tentang kongres yang
sedang dilangsungkannya itu. Bukan hanya untuk melindungi keamanan mereka

133
sendiri, tapi juga dengan maksud untuk melindungi kami, pemuda-pemuda yang
datang dari berbagai negeri untuk berkonperensi.

Rombongan "long mars" yang besar itu kemudian dipecah menjadi kelompok
kecil-kecil sejak kami tiba di Purwodadi. Alasannya, keutuhan rombongan bukan
saja tidak mungkin lagi diselamatkan, tapi malah sebaliknya, akan bisa berakibat
kehancuran seluruh rombongan. Garis kebijakan pimpinan lalu diubah: mencari
selamat sendiri-sendiri, di dalam rombongan kecil-kecil. Tentu saja tetap terpimpin
dan di dalam organisasi, serta tidak dibenarkan masing-masing bertindak sendiri-
sendiri. Tujuannya untuk mencari daerah aman, terutama dengan menyelusup ke
daerah pendudukan Belanda, di mana tentara Republik tidak akan bisa leluasa
masuk, dan bagi rombongan pasukan bersenjata kami hanya menghadapi satu
musuh: NICA/ Belanda.

Aku baru mengenal dari dekat Bung Amir saat bersama- sama seperjalanan
di dalam rombongan "long mars' yang dia pimpin, dan aku termasuk lingkaran
kelompok pimpinan rombongan, serta satu-satunya perempuan di kelompok itu.
Tapi hampir tidak pernah aku berbicara dengan dia, karena ia selain pemimpin
tertinggi kami, aku pun belum pernah kenal sebelumnya. Kecuali pada saat aku
akan berangkat ke luar negeri, dia di airport untuk mengantar Bung Hatta, dan
membawa paspor kertas-merang untukku. Tapi ketika itu, ia tidak omong sepatah
pun kepadaku.

Dalam perjalanan "long mars", aku lebih banyak berbicara sama Suripno.
Karena ia pernah menjadi teman seperjalanan ketika kami di Eropa, sehingga
pergaulan kami menjadi sangat akrab. Juga sedikit banyak dengan Maruto
Darusman. Tapi tidak dengan Pak Amir, pribadi yang terlalu besar bagiku. Benar,

134
aku memang sangat kagum padanya. Kagum karena kepribadian dan
pembawaannya dalam bergaul dan memimpin rombongan. Misalnya, suatu ketika
kami tiba di sebuah desa, yang penduduknya tidak bersikap memusuhi kami.
Banyak sekali pohon kelapa tumbuh di desa itu. Waktu itu pasukan pengawal
kelaparan, juga kami semua, lalu beberapa orang memanjat pohon kelapa untuk
mengambil buahnya. Barangkali dengan tujuan baik, ingin memberi yang terbaik
bagi para pemimpin mereka, selain tentu saja bagi diri mereka sendiri sepasukan.
Tapi, mengetahui itu, Bung Amir bukan berterimakasih, tetapi malah marah. Ia
bergegas keluar rumah, lalu pestolnya dimuntah- kannya ke atas tiga kali .

"Turun! Turun!" Teriaknya.

Patuh. Semua turun. Beberapa butir kelapa yang terlanjur jatuh dia suruh
untuk menyerahkan pada si pemilik kebun. Lalu seluruh pasukan dipanggil, dan
Bung Amir berbicara singkar tentang disiplin.

"Mencintai rakyat tidak begitu caranya." Begitu antara lain katanya. "Bukan
rakyat yang harus membela kita, tapi kita yang harus membela rakyat! Bukan rakyat
yang harus melindungi kita, harus melindungi rakyat! Kelapa ini milik rakyat. tapi
kita Tanaman ini tanaman rakyat!"

Setelah insiden itu Bung Amir lalu menyusun ketentuan- ketentuan bagi
pasukan, apabila kami melalui desa-desa: tidak boleh masuk rumah, kalau tidak
diundang. Daripada tak diundang masuk dan tidur di dalam, lebih baik kita tidur di
luar. Sesudah tidur, dan menggunakan halaman rumah penduduk, harus disapu
bersih sebelum pergi.

135
Ketentuan-ketentuan itu kami lakukan dengan sadar dan patuh. Bukan saja
oleh anggota pasukan, tapi juga oleh seleuruh anggota rombongan. Tidak boleh
satu batang lidi pun kami ambil dari rakyat.

Bung Amir tidak pernah bicara tentang teori. Tapi semua butir-butir
ketentuan itu, jika belakangan kurenungkan, sejatinya merupakan petunjuk utama
dalam perang rakyat. Itulah sekilas tentang Bung Amir. Kepribadiannya yang
demikian luhur itu membuatku segan untuk mendekat. Tidak berani! Bukan takut,
tapi segan.*

136
18

DI DEPAN GATOT SUBROTO

TIDAK lama sesudah kami berenam ditahan di Purwodadi, kami diangkut


dengan Jip, lalu dipindah ke gerbong kereta api. Gerbong kereta api itu dibiarkan
terbuka. Barangkali gerbong bekas kereta-api pengangkut tebu atau "munthit",
milik perkebunan gula pada zaman Hindia Belanda. Di Delanggu kereta api
berhenti. Kerumunan massa menunggu gerbong kami, dan mereka melempari
kami dengan telor busuk, kulit pisang, dan teriakan-teriakan histeris yang bernada
ancaman. Almarhum Suryono, atau lebih dikenal dengan parabannya Penthul,
kemudian wartawan Harian Rakjat, bisa menceritakan dengan rinci bagaimana
rakyat Solo ketika itu memang disiapkan. Suryono sendiri ikut berdiri di tengah-
tengah kerumunan massa di pinggir jalan yang kita lalui. Aku tidak tahu, dan juga
tidak pernah tanya kepadanya, apakah dia pernah ditangkap atau ditahan ketika
itu. Aku hanya tahu, Suryono tidak ikut serta dalam rombongan "long mars" kami.

Di Solo, dalam pemeriksaan-pemeriksaan selanjutnya, aku mendapat


berbagai tuduhan tambahan, antara lain dikatakan, bahwa aku adalah sekretaris
Amir Sjarifuddin. Plakat-plakat yang ditempel di jalan-jalan-konon plakat itu bikinan
NICA Belanda-penuh kata-kata hujatan dan pelecehan terhadan diriku. Francisca
Fanggidaej, kata plakat itu, adalah selir Amir Sjarifuddin! Plakat-plakat itu ditempel
di Madiun, Sarangan, Ngawi, dan Gunung Lawu.

Dari Delanggu kami berenam terus dibawa ke Solo. Tiba di stasion Balapan
Solo, kami dan juga Jip dari Purwodadi itu diturunkan dari kereta api dan langsung

137
dibawa ke rumah Gubernur Militer Gatot Subroto. Tidak ada di antara kami
diborgol. Di sana kami diterima oleh Gatot Subroto sendiri Sebagai orang yang
kalah dan diterima oleh orang yang menang, kami diperlakukan sebagai orang-
orang yang kalah. Misalnya, dia boleh bilang apa saja dan boleh tanya apa saja pada
kami. Sebaliknya, tidak seorang pun dari kami yang bisa dan mau menjawab. Aku
sendiri ketika itu merasa tidak lebih seperti yang seorang penonton saja.

Sekarang aku sudah lupa, pertanyaan apa saja yang kemukakan saat itu. Aku
hanya ingat pada raut mukanya yang sengir. Aku mengerti, mengapa kami tidak
mau jawab. Bung Amir dia tutup mulut. Bayangkanlah! Bung Amir berpakaian
piama compang-camping. Kami semua compang-camping, datang di rumah
Gubernur Militer. Ia berpakaian perwira militer lengkap, dan duduk di kursi yang
empuk dan serba mewah. Kami dijaga oleh sejumlah tentara pengawal. Ia sebagai
orang yang menang menerima kami. Jadi, aku mengerti, walaupun tidak ingat kata
demi kata, jika semua pertanyaan yang diajukannya lebih banyak untuk
menyudutkan dan memberikan kesan, "kamu kalah!". Kukira karena itulah, maka
kami semua tutup mulut. Hanya muka kami sajalah yang menjawab. Itu satu hal
yang pancaran tidak aku lupakan, karena saat itu aku belum mengerti apa-apa, dan
hadir sebagai penonton.

Tapi peristiwa itu telah ikut membentuk dan menumbuhkan jiwaku


selanjutnya-sampai sekarang. Aku menyaksikan sikap mereka, orang-orang yang
kalah, tapi yang begitu penuh harga diri. Itu terjadi pada 20 November 1948.*

138
19

AKU DAN MAS KARNO

ROMANTIKA kami-aku dan Mas Karno-tanpa dihiasi dengan kata-kata "aku


mencintaimu", seperti romantika anak- anak remaja keluarga mapan di masa
damai. Kusebut saja romantika kami sebagai een sluipende romantiek. Romantika
yang menyusupi jiwa kami diam-diam, sampai tahu-tahu kami merasa tidak bisa
lagi terlepas darinya.

Aku hanya ingat, suatu ketika kami mau bertugas ke sebuah tempat dengan
naik truk. Kami berdua duduk di samping sopir. Kami bicara ngalor-ngidul; tentang
perjuangan, sampai akhirnya Mas Karno menyinggung masalah hari depan kami
berdua. Pendek kata, Mas Karno mengajak aku kawin dan membangun keluarga
bersama dengannya. Tanpa kata-kata pernyataan cinta, tapi langsung mengajak
kawin dan membangun keluarga bersama.

Di atas truk yang terus melaju itu, entah apa jawabanku – aku juga tidak tahu.
Tapi, seperti sudah kukatakan, aku merasa tidak lagi bisa keluar darinya. Seperti
sudah seharusnyalah, jika kami hidup berdua sebagai suami-istri. Bung Sopir juga
tidak memberi komentar. Ia hanya tersenyum, seakan-akan ia tahu tentang
hubungan kami berdua, dan bahwa sudah semestinyalah jika kami berdua menjadi
sepasang suami-istri. Atau, barangkali begitukah kewajaran romantika antara dua
muda-mudi pejuane di zaman perjuangan saat itu?

Mungkin perihal wajar bagi pasangan muda-mudi pejuang. Ketika kami tiba
pada titik tidak mungkin belok, apalagi balik, pimpinan organisasi mengirim kami

139
masing-masing pergi bertugas. Ia dikirim menjelajahi seluruh Sumatra untuk
kampanye tentang "Revolusi Pemuda" dan membangun organisasi Pesindo, dan
aku bersama Suripno ditunjuk sebagai utusan pemuda Indonesia untuk Kongres
Pemuda Sedunia I di Praha, yang bahkan ditambah lagi dengan menghadiri
"Konperensi Kalkuta". Kami pun berpisah. Perpisahan yang kami duga akan
berlangsung tidak lama, tetapi ternyata berjalan tidak hanya satu-dua bulan-
sepanjang satu tahun penuh, tanpa bisa saling berkabar. Surat-menyurat pun tidak
mungkin, karena segera sesudah itu Belanda melancarkan agresinya yang pertama.
Janji kami dan hubungan pribadi kami berdua hanya - atau mungkin bahkan harus
kukatakan "justru" – diperkokoh oleh keyakinan dan tekad kami tentang
perjuangan kemerdekaan yang semakin mantap.

Setelah kembali dari tugas masing-masing, kami lalu meresmikan


pernikahan. Hasrat untuk membangun kehidupan rumah tangga yang langgeng,
oleh karena tuntutan perjuangan, ternyata tidak mungkin kami penuhi. Kami hanya
sempat hidup sebagai suami-istri selama dua minggu saja!

Kami menikah pada 30 Juni 1948, lalu pada bulan Juli, kami ke
Tawangmangu, selama seminggu. Bukan untuk berbulanmadu, tapi masing-masing
mengemban tugas DPP Pesindo. Mas Karno sibuk dengan kegiatan rapat-rapat dan
diskusi-diskusi organisasi, sementara aku keliling Jawa-kecuali Jawa Barat yang
sudah dikuasai Belanda -untuk ceramah, oleh-oleh penugasanku di Eropa dan India.
Kembali ke Madiun pada bulan Agustus, Pak Musso sudah kembali ke Indonesia,
dan rapat-rapat "Jalan Baru Musso" segera menyusul menjadi prioritas kegiatan.
Selama itu, aku hampir tidak pernah melihat Mas Karno. Pada malam hari, 14
September ia diculik, dan dua hari kemudian - 17 September - ia kembali hanya

140
untuk mengambil beberapa lembar pakaian, lalu segera pergi lagi, dan tidak pernah
pulang kembali, selama-lamanya.

Mas Karno kemudian hilang. Diceritakan, tanpa kisah rinci, ia ikut bersama
sepuluh kawan lainnya, yang ditembak mati di desa Ngalihan Solo atas perintah
Gubernur Militer Gatot Subroto, pada pagi buta, 19 Desember 1948.

Benar. Kami memang sempat "bertemu", ketika "kebetulan" kami berdua


sama-sama menjadi penghuni rumah penjara yang sama, yaitu di Gladak Solo. Kami
bersama dengan tawanan- tawanan lain, termasuk Amir Sjarifuddin, Haryono,
Suripno dan lain-lainnya.

Penjara Gladak dibagi dalam dua blok yang disekat dengan pemisah kawat-
berduri. Sekat pemisah ini separoh bawah berupa tembok beton dan separoh atas
berupa dinding papan. Melalui celah-celah papan itu kami bisa saling mengintai
blok di seberang. Dan karena adanya celah-celah itulah aku tahu, bahwa ternyata
Mas Karno juga ada di seberang sana bersama Bung Amir dan kawan-kawannya.
Aku terkadang diberi coklat atau Mas Karno, karena di blok sana ada tawanan yang
boleh menerima besukan.1 Tentu saja ini berkat bantuan dan pemberian permen
oleh hukuman atau tawanan kriminal. Karena tawanan orang-orang politik seperti
kami tidak boleh berhubungan dengan "dunia luar", apalagi menerima kiriman atau
besukan dari luar.

Suatu hari, aku menerima kiriman permen dari dia, tapi dibungkus dalam
satu sobekan koran, yang di atasnya terdapat tulisan Mas Karno. "Surat pengantar"
kiriman permen itu aku terima mungkin satu minggu sebelum ia, bersama tawanan
politik lainnya, diangkut pergi dari penjara Gladak. Sesudah "surat" pertama itu,
masih kuterima satu kali lagi – yang kusebut surat artinya sobekan koran itulah.

141
Pada "surat" pertama itu dia tulis tentang permintaannya, agar aku berjalan-jalan
sampai di papan-papan sekat yang bercelah. Ia ingin melihat anaknya yang ada di
dalam kandunganku. Ia tahu ketika itu aku sedang mengandung.

Kupenuhi permintaannya yang mengharukan itu. Ketika semua tawanan


sedang berjemur kami selalu diberi waktu sekitar satu jam untuk berjemur
matahari pagi - aku sengaja berjalan-jalan di dekat papan-papan yang berlubang-
lubang. Mas Karno kulihat juga sudah berdiri di sebelah sana, di balik papan-papan
sekat berlubang tempatku berdiri. Itulah isi "surat" yang pertama. "Surat" yang
kedua aku terima pada 18 Desember 1948. Agak banyak dia menulis, dan terutama
tentang "hari depan kita". Dia berpesan, jika kami tidak akan bertemu lagi, ia minta
aku agar tetap meneruskan cita-cita kami bersama, dan agar anak kami dididik
menjadi seorang pejuang. Itu saja.

Waktu itu aku masih dalam proses krisis. Tiga hari tiga malam dimasukkan di
dalam sel yang sempit dan gelap. Hanya ada sekilas cahaya masuk ketika petugas
penjara memberi jatah air minum dan makan. Makanan itu pun sama sekali tidak
layak dimakan. Dalam keadaan seperti itu, aku kirim jawaban menanggapi
permintaan Mas Karno. Jawaban yang pasti tidak akan menggembirakan hatinya
dan yang, jika sekarang aku mengenangnya kembali, juga sangat kusesali sendiri.
Dalam jawaban itu kutulis, bahwa aku tidak mau lagi berjuang. Tidak sanggup!

"Kalau nanti engkau keluar dan aku juga keluar," kutegaskan padanya, "aku
hanya mau menjadi istrimu. Aku akan terus meladeni kamu. Tapi aku tidak mau lagi
berjuang. Aku hanya mau mengurus kau dan anak kita ….”

142
Malam itu juga “surat" kukirim, seperti biasa, melalui “kurir" kami, orang
hukuman. Ternyata itu "surat-menyurat" kami yang terakhir. Aku tidak menerima
balasan untuk selama-lamanya. Malam itu mereka diangkut keluar dari penjara
Gladak. Sebelas orang jumlahnya: enam orang dari blok kami, dan lima orang dari
blok Mas Karno. Jadi, meskipun tidak ada cerita rinci dan juga tidak pernah ada
pernyataan resmi dari CC-PKI, tentang "nasib" Mas Karno sejak berpisah dengan
Pak Musso di Pacitan, ia memang termasuk salah seorang di antara sebelas orang
yang ditembak mati di Ngalihan. Kesaksian juga aku dengar dari berbagai pihak
resmi, seperti dari kata-kata salah seorang anggota regu penembak sendiri, dari
keterangan resmi kantor kepolisian Surakarta, dan dari pernyataan Gatot Subroto
pribadi sebagai pemberi perintah dan penanggungjawab perintah. Dalam
pernyataan tertulis Gubernur Militer ini tercantum jelas nama- nama sebelas orang
yang telah dijatuhi hukuman tembak mati itu.*

143
20

NILA LAHIR

PADA 19 Desember 1948 Belanda melanggar Perjanjian "Renville". Agresi II


dilancarkan dan Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia, diserang dari udara dan
lalu diduduki. Kota Solo juga diserbu dan dibakar. Ketika itulah aku bebas dari
penjara Gladak – atau lebih tepat "dibebaskan", oleh sekelompok kawan dari
Pesindo.

Rumah Penjara Gladak adalah rumah penjara tua peninggalan dari zaman
Hindia Belanda. Aku dan Pak Alimin tidak termasuk dalam kelompok mereka yang
sudah atau akan ditembak mati. Walaupun saat itu kami berdua dalam keadaan
diborgol, tapi agaknya hanya karena kami hendak dipindah ke rumah penjara lain,
sebelum kota Solo diduduki musuh. Entah akan dipindah di penjara mana di luar
kota Solo, yaitu di suatu kota kecil yang belum diduduki tentara Belanda. Tapi
entahlah. Aku sebenarnya hanya percaya pada firasat sendiri, bahwa aku dan Pak
Alimin tidak mungkin akan dibunuh. Pak Alimin sudah tua, dan aku tawanan
perempuan yang dalam keadaan hamil. Kami dibebaskan oleh Bung Fatkur
bersama beberapa pemuda Pesindo dan kawan-kawannya. Kejadian demi kejadian
datang-pergi begitu cepat, sehingga aku merasa seperti di dalam mimpi saja.

Kawan-kawan pemuda Pesindo membawa aku keluar dari penjara, berjalan


melalui lorong-lorong, jalanan kecil di kampung-kampung, dan ….. tahu-tahu aku
sudah tiba di suatu tempat. Sebuah rumah di satu kampung di kota Solo. Kawan-
kawan muda itu lalu pergi entah ke mana, dan aku tinggal ditemani oleh seorang

144
bernama Bung Fatkur. Aku merasa sangat lelah. Mungkin karena kehamilanku, tapi
mungkin juga karena aku dalam keadaan sakit payah.

Untuk memulihkan kesehatan dan merawat kehamilanku, aku dibawa ke


sebuah rumah sakit yang dipimpin oleh dokter Sumarno dalam tahun-tahun '50-an
belakangan dokter Sumarno pernah memangku jabatan sebagai Gubernur Kepala
Daerah Jakarta Raya. Justru rumah sakit di kawasan kota, yang sudah di bawah
kuasa tentara pendudukan Belanda inilah, yang sengaja dipilih untuk merawat
sekaligus menyembunyikan diriku. Dr Sumarno tahu betul tentang diriku yang
seorang aktivis DPP Pesindo, dan juga pernah mendengar ceramah- ceramahku. Ia
tentu saja bukan anggota Pesindo, dan entah bagaimana pula dia melihat
"Peristiwa Madiun". Tapi bagaimanapun juga ia seorang dokter yang
bertanggungjawab dan lebih dari itu, menaruh simpati padaku sebagai pribadi dan
sebagai aktivis. Ini kuketahui dari kata-katanya yang disampaikan kepada seorang
teman perempuan Bagian Sosial Pesindo Cabang Solo, yang tak lagi kuingat
namanya, salah seorang anggota yang membawa aku masuk ke rumah sakit itu.

"Sekarang jangan lagi dia dihubungi." Kata Dokter Sumarno. "Karena sangat
berbahaya. Serahkanlah semuanya padaku!"

Ketika itu, aku ditempatkan di paviliun tersendiri dan dengan perawatan


khusus, oleh seorang perawat kepercayaan pak Marno pribadi. Aku disembunyikan
di sini sampai sesudah bayi yang kukandung lahir. Mas Karno tidak sempat
meninggali nama untuk anak kami, juga tidak sempat meninggalkan pesan sepatah
kata pun. Pesan yang kuterima hanya yang ditulisnya di "surat" sobekan koran, agar
aku mendidiknya menjadi seorang pejuang.

145
Bayiku lahir perempuan, dan diberi nama oleh Bung Ruslan Wijayasastra;
Nilakandi Sri Luntowati. Aku menerima nama pemberian Bung Ruslan, karena
dalam anggapanku ketika itu ja memang mewakili juga perasaan dan keinginan Mas
Karno. Hubungan mereka berdua-Bung Ruslan dengan Mas Karno- memang sangat
dekat dan akrab.

"Nila" ialah kata lain untuk "biru", lambang kesetiaan. Tapi kesetiaan yang
lahir dari suasana terlunta-lunta. Jadi bayi itu lahir sebagai anak harapan.

Harapanku, harapan kami, harapan kita.

146
21

BLUEPRINT PERISTIWA MADIUN OOM OEY WAKIL PKI

MASALAH Blueprint Peristiwa Madiun timbul kembali, setelah sekian tahun


peristiwa itu terjadi. Bermula dari tulisan Rosihan Anwar di harian Pedoman,
sebagai "Tajuk Rencana". Kapan tulisan itu disiarkan, aku juga sudah tidak ingat
dengan tepat.

Suatu ketika aku bertemu dengan DN Aidit, Ketua CC- PKI. Entah di Madiun
atau di Bandung. Tapi pada suatu kesempatan, ketika kami bersama-sama hadir di
Sidang MPRS (Majelis Permusya-waratan Rakyat Sementara) pada awal 1960- an-
sidang terakhir yang masih bisa aku hadiri-mungkin pada 1963. Tapi seingatku, ini
kurasa aneh, tulisan Rosihan itu disiarkan oleh harian Pedoman yang dipimpinnya,
padahal pada tahun 1963 harian Pedoman sudah agak lama diberedel oleh
Pemerintah Sukarno.1

Bung Aidit memberi tahu aku tentang tulisan Rosihan tersebut, sebelum aku
sendiri sempat melihat dan membacanya. Mendengar berita yang disampaikannya
itu, seketika aku marah. Disebut di sana bahwa "Peristiwa Madiun", yang telah
makan banyak korban itu, merupakan tindakan pengkhianatan kaum komunis
terhadap bangsa dan negara Indonesia. "Peristiwa Madiun" bukan sekadar
peristiwa sebagai akibat provokasi pemerintah Hatta-Sukiman, seperti inti Buku
Putih Peristiwa Madiun penerbitan Agitprop CC-PKI, tapi suatu pemberontakan
berencana oleh gerakan komunisme internasional. Blu-print peristiwa ini, menurut
Rosihan Anwar, disusun oleh Zhdanov, vang dikirim ke Indonesia melalui Francisca

147
Fanggidaej di Kalkuta, ketika Francisca Fanggidaej diundang hadir untuk konperensi
pemuda dan mahasiswa Asia Tenggara di Kalkuta. Sementara itu, di kota ini juga
sedang berlangsung Kongres Partai Komunis India, yang mengundang utusan-
utusan dari partai-partai sekawan, termasuk utusan- utusan Partai Komunis
Australia, yang diwakili oleh Sharkey, dan utusan CC-PKUS (Central Comite Partai
Komunis Uni Soviet) yang diwakili oleh Zhdanov.

Aku sama sekali tidak tahu apa yang disebut-sebut sebagai "Dokumen
Zhdanov" yang merupakan "blue-print Peristiwa Madiun". Apa yang kuketahui, itu
pun baru saat kemudian nanti, di depan Kongres Partai Komunis India tersebut,
Zhdanov mengucapkan pidato yang berisi tesis perjuangan bagi rakyat-rakyat di
negara-negara jajahan. Ketika itu belum lahir istilah- istilah negara-negara Asia-
Afrika, atau Asia-Afrika-Amerika Latin, atau negara-negara Dunia Ketiga. Jadi, kalau
pun hendak disebut sebagai blue-print yang disusun oleh Zhdanov, sebenarnya
bukanlah semata-mata blue-print khusus untuk PKI yang selanjutnya diwujudkan
melalui apa yang dinamakan "pemberontakan" Madiun. Tapi tesis Zhdanov itu
lebih tepat disebut sebagai strategi partai Komunis sedunia dalam menghadapi
perjuangan kemerdekaan di negeri-negeri jajahan, di mana ditegaskan tentang
ketidakmungkinan menempuh jalan damai atau meja-perundingan. Menurut tesis
Zhdanov, jalan menuju kemerdekaan bagi rakyat-rakyat negeri jajahan yang benar
dan tepat hanya satu, yaitu jalan perjuangan bersenjata.

Seperti sudah kuceritakan pada bagian lain, aku hadir di Kalkuta bersama
Supeno, Otto Rondunuwu dan Amin (McVey: Samsu Anwar). Tapi dalam tulisan
Rosihan Anwar hanya aku dan Supeno, yang ditulis sebagai pembawa apa yang
disebutnya “Blue-print Peristiwa Madiun" atau "Dokumen Zhdanov". Kami seakan-
akan berperan sebagai kurir partai (PKI) untuk pergi ke Kalkuta dan bertemu
148
Zhdanov, dan bukan untuk hadir pada Konperensi Pemuda dan Mahasiswa Asia
Tenggara di kota itu. Aku merasa difitnah oleh tulisan Rosihan Anwar. Atas dasar
itu Bung Aidit, yang berpendapat sama denganku tentang isi tulisan Rosihan,
menganjurkan agar aku menuntutnya di depan pengadilan. Tapi, aku sendiri
sebenarnya tidak begitu yakin. Mengapa? Karena aku melihat soal ini dari segi
politik, di mana dua pihak saling menuduh untuk saling ingin menjatuhkan. Apakah
soal seperti itu bisa diselesaikan di depan pengadilan? Karena itu, menghadapi
fitnah Rosihan Anwar ketika itu, vang terpikir di benakku ialah untuk bertemu
dengannya secara pribadi. Selanjutnya, karena fitnah itu sudah dibikin terbuka,
maka aku juga akan menulis bantahan sebagai jawaban, yang akan kusiarkan
melalui koran di mana Rosihan Anwar menyiarkan tulisannya. Atau, jika koran itu
menolak menyiarkan jawabanku, akan kuminta Redaksi Harian Rakjat untuk
menerbitkannya.

Sebenarnya aku tidak ingin menempuh jalan pengadilan. Karena, menurut


perhitunganku, bagi pihakku dan Supeno – terutama aku pribadi – jalan hukum
akan sia-sia. Ketika itu aku sudah sangat sinis terhadap lembaga pengadilan. Tidak
akan mungkin tuntutan kami dibenarkan dan dimenangkan. Tidak akan! Karena
Peristiwa Madiun sangat jelas memang sengaja dibiarkan di dalam kegelapan,
tanpa pengadilan PKI/FDR tetap divonis sebagai "pengkhianat bangsa" dan telah
"bertindak makar", sehingga karenanya kapan saja apabila perlu -bisa digunakan
sebagai alat pemukul terhadap lawan-lawan politik yang diberi label "komunis":
bahwa kaum komunis memang tukang berontak, bahwa PKI selalu berusaha untuk
merebut kekuasaan negara, bahwa PKI anti-Pancasila, bahwa PKI anti- agama dan
seribu-satu dakwaan yang lain. ...

149
Tetapi, karena DN Aidit seorang tokoh pemimpin tertinggi Partai, maka apa
yang dikatakannya kuterima sebagai kata-kata Partai. Aku menyerah. Kasus fitnah
itu harus kami bawa ke pengadilan. Aku dan Supeno di satu pihak, dan Rosihan
Anwar di pihak lain. Kami menuntut agar Rosihan menarik tulisannya tapi aku tidak
hendak membela tuntutanku. Di depan pengadilan aku tidak hendak memberi
komentar terhadap apa yang dituduhkan Rosihan. Aku hanya merasa perlu untuk
menceritakan apa yang kualami dan kukerjakan. Entahlah bagaimana pendirian
Supeno. Apakah ia akan mengajukan pembelaan atas tuntutan kami atau tidak, aku
serahkan pada dia sendiri.

Sidang berlangsung, tapi akhirnya, seperti sudah kuperhitungkan, pengadilan


memenangkan Rosihan Anwar. Tuntutan kami ditolak! Apa dan sejauh manakah
sesungguhnya yang aku ketahui tentang perihal yang disebut-sebut sebagai
"Dokumen Zhdanov" alias "Blue-print Peristiwa Madiun"? Menjawab pertanyaan
ini barangkali lebih baik jika aku bercerita saja tentang apa yang kualami waktu itu.

"Konperensi Kalkuta" akhirnya selesai. Masalah yang timbul pada kami-aku


bersama tiga anggota delegasi Indonesia lainnya-tentu saja harus segera kembali
ke tanahair. Tapi bagaimana caranya kami bisa kembali jika uang tidak ada? Soal ini
menjadi bahan pembicaraan terpenting di antara kami. Kemudian entah siapa,
barangkali Supeno, yang mengurus masalah ini dengan entah siapa pula, aku tidak
tahu. Yang kemudian terjadi padaku, suatu ketika aku dipanggil seseorang. Pada
waktu yang telah ditetapkan, aku datang menemui sescorang itu. Ia seorang laki-
laki Indonesia keturunan Tionghoa, berumur sekitar 30-an. Memperkenalkan diri
sebagai bernama "Oom Oey"2 – sesungguhnya ia bernama Tio Oen Bik, seorang
dokter, tinggal di Nederland. Semasa PD II, bergabung dalam gerakan partisan anti-
fasis (Franco) di Spanyol; pada masa sesudah PD II beberapa lama tinggal di RRT
150
(Yenan); dia jugalah yang menolong kelahiran bayi anak pertama Mao Ze-dong,
Jiang Xing. la mengatakan menjadi utusan Partai Komunis Indonesia di Kongres
Partai Komunis India. Baru saat itulah aku tahu, bahwa selama Konperensi Kalkuta
berlangsung, di kota yang sama berlangsung pula Kongres Partai Komunis India.

Selanjutnya, disampaikan oleh "Oom Oey", bahwa pada dia ada satu titipan
yang diperolehnya dari Kongres agar kubawa kembali ke Indonesia, untuk
kuserahkan pada pimpinan Partai (PKI). Titipan itu berupa sebuah dokumen yang
tertulis pada segulung kertas tipis. Begitu tipis, walaupun terdiri dari 4-5 halaman,
sehingga bisa kuselipkan di balik -ketika itu setagen tanpa terlihat mencolok. aku
lebih sering berkain kebaya - Setibanya di Indonesia, dokumen titipan "Oom Oey"
itu kuserahkan pada Bung Disman (Sudisman). Sudah pasti kertas gulungan
dokumen pidato Zdanov inilah yang kemudian disebut Rosihan Anwar, juga Kemal
Idris, sebagai bernama "Blue-print Peristiwa Madiun". Tapi aku tidak tahu,
bagaimana mereka tahu bahwa aku yang membawanya. Padahal, sejauh yang
kuyakini, tidak ada orang lain yang tahu tentang adanya "Dokumen Zdanov" dan
tentang siapa pembawa dokumen ini selain "Oom Oey", aku, Supeno dan
Sudisman. Apakah dari peristiwa itu sebenarnya juga bisa dipakai sebagai petunjuk,
bahwa sudah sejak itu di kamar-kamar pimpinan tertinggi Partai bersembunyi
"coro-coro"?

Pada masa itu, aku sebenarnya belum mempunyai kesadaran tentang


adanya politik apa-apa, apalagi kesadaran sebagai "orang partai". Aku hanya
merasa sebagai bagian dari pemuda pejuang. Segala sesuatu yang kualami kusikapi
dengan naluriku sebagai pejuang. Atas dasar itulah, jika naluriku mengatakan, ia
seorang yang jujur, berkemauan baik untuk perjuangan dan bisa aku percaya, maka

151
aku akan mendengarkan kata-katanya, dan melaksanakan apa yang dia harapkan
dariku.

Pertemuanku dengan "Oom Oey" kemudian dia tutup dengan janji, bahwa
dialah nanti yang akan mengatur proses kepulanganku ke tanahair. Tapi, ia juga
minta menyebut-nyebut tentang pertemuanku dengan dia, dan lebih- lebih tentang
siapa yang mengatur kepulanganku dari Kalkuta agar aku jangan ke Indonesia.

Akhirnya aku tinggalkan Kalkuta dengan naik vrachtboor (kapal kargo)


menuju Singapura. Kemudian dari Singapura aku dibawa dengan speedboat oleh
John Lie masuk Indonesia.

152
22

JOHN LIE, SANG PENYELUNDUP

AKU mengenalnya secara pribadi sebagai John Lie. Konon, belakangan hari,
pada zaman Orde Baru, ia pun ikut merasa perlu mengganti namanya menjadi
Jahya Daniel Dharma. Sebuah nama baru untuk menutupi, atau menghilangkan
jatidirinya yang Tionghoa. Aku tidak mengerti. Tapi biarlah. Itu hak seseorang yang
tidak sepatutnya aku ikut campur, betapa pun aku merasa bersahabat dan akrab
dengannya.

Apa hubungan John Lie dengan "Oom Oey" aku tidak tahu. Juga aku tidak
merasa ingin tahu. Pada zaman perjuangan fisik, ketika musuh kemerdekaan dan
Republik ada di sekeliling kita, cara kerja konspiratif menjadi seperti mengalir
bersama napas naluriah kami. Tidak perlu seseorang usil dan kasak-kusuk hal-hal di
luar urusan dan tanggungjawab sendiri, jika ia tidak mau menjadi korban ulah
sendiri yang "di luar garis" permainan. Mungkin, dalam hal ini, ada juga pengaruh
latar yang belakang pendidikanku yang Belanda atau Barat, sehingga sudah
menjadi bagian dari gaya hidupku yang cenderung zakelijk. Aku bukan perempuan
yang suka roddelen, bergunjing atau ngerumpi.

Setelah berpisah dari "Oom Oey" yang berjanji akan mengarur


keberangkatanku dari Kalkuta, kami berempat-aku bersama Supeno, Otto
Rondonuwu dan Amin (McVey: Samsu Anwar)-selanjutnya menjadi orang di bawah
aturan John Lie. Dia inilah yang menyelundupkan kami masuk Jambi. Kami juga

153
tidak bertanya, apalagi menyangkal, mengapa bukan ke kota lain tapi Jambi. Aku
hanya percaya kepada "Oom Oey" dan kepada John Lie, tentunya demi
keselamatan kami dan keselamatan dokumen yang kubawa, keselamatan mereka
dan keselamatan kita semua. Keselamatan perjuangan Republik untuk membela
kemerdekaannya. Dari Jambi lalu kami ke Bukit Tinggi, dengan berjalan kaki, dan
dari Bukit Tinggi menyelundup dengan "Hercules" ke Jakarta yang di bawah
pendudukan Belanda lalu terus ke ibukota Republik,Yogyakarta. Semuanya ini John
Lie yang mengatur

Sebelum meneruskan kisah perjalanan kami berempat, aku ingin kembali


bercerita tentang "Oom Oey", sebagai tambahan kisah tentangnya yang kuketahui
dan sudah kuceritakan di atas. Harapanku, mudah-mudahan suatu hari akan ada
peneliti sejarah, khususnya sejarah PKI dan gerakan kaum kiri Indonesia, akan
menelusuri jejak dan kisah "Oom Oey", "Pak Ali", dan tokoh-tokoh seperti mereka
ini.

Suatu ketika "Oom Oey", pejuang Republik yang dilupakan ini, ketika saya
sudah duduk di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), mengirim surat kepadaku. Melihat
setempel posnya, surat itu dikirimnya dari Maluku. Segera kubaca. Bunyinya,
antara lain, kira-kira begini:

"Masih ingatkah kepada "Oom Oey" di Kalkuta? Saya sekarang sakit. Saya
sakit keras. Mungkin saya tidak akan bisa ketemu lagi. Tapi kalau saya tidak
ada lagi, ingatlah : saat di Kalkuta. Itu saja. saat- "Oey"

Surat itu lalu kuserahkan pada Bung Aidit. Apa yang kemudian dilakukan oleh
Bung Aidit dan Partai, aku tidak tahu dan tidak bertanya. Aku percaya, Partai tentu
tidak akan mengabaikan "Oom Oey", tokoh pejuang yang tanpa pamrih itu. Pada

154
masa itu, Bukit Tinggi masih menjadi daerah Republik dan setia kepada pemerintah
pusat di Yogyakarta, sehingga urusan kehadiran kami di sana menjadi jauh lebih
gampang. Tidak seperti perjalanan sepanjang dari Kalkuta sampai Singapura.
Selama di dalam vrachtboot, dari Kalkuta menuju Singapura, kami berempat harus
berada di karena tertangkap sebagai penumpang gelap. Barangkali, ini pun
merupakan bagian dari skenario "Oom Oey"- John Lie. Karena dengan begitu kami,
yang selama perjalanan ada di dalam karantina, menjadi tidak bisa bertemu atau
ditemui oleh sembarang orang, selain mereka yang telah "dipasang" oleh kedua
"malaikat" penyelamat itu. Tapi, karena berstatus sebagai penumpang gelap yang
dikarantina, maka bagiku perjalanan Kalkuta - Singapura menjadi sangat terasa
menegangkan.

Kami semua berganti nama ketika itu. Aku tidak ingat lagi nama-nama
sembarang kami satu demi satu. Tapi aku harus mengaku, begitulah sudah diatur,
sebagai istri Supeno. Tidak ada ruang karantina, dari kami yang memegang paspor
atau secarik surat milikku seorang keterangan apa pun. "Paspor" kertas merang
yang bertajuk "To Whom It May Concern" sengaja sudah kuhancurkan. Sedang
paspor Supeno, Otto dan Amin (Samsu Anwar) sudah mereka lempar ke laut ketika
kapal yang mereka tumpangi dikejar motorbot patroli Belanda di perairan
Semarang.

Pagi-pagi sekali kami mendarat dari vrachtboot di Singapura. Kami dipandu


seorang penunjuk jalan-entah siapa – berjalan kaki menyeberangi rawa-rawa,
untuk bisa mencapai perahu yang dengan sembunyi-sembunyi sudah disiapkan
untuk kami. Ketika Itulah kami bertemu dengan seseorang yang mengaku sebagai
bernama "Pak Ali". Aku yakin, ini pasti nama samaran. Tapi sekali lagi aku tidak ingin
bertanya. Sekali lagi firasatku berbisik, ia sengaja bertemu dengan kami demi
155
keselamatan kami dan keselamatan tugas yang sama-sama kami pikul. Sebab.
seandainya "Pak Ali" tidak bisa bertemu kami pada saat yang tepat, kapten
vrachtboot pasti akan menyerahkan kami berempat sebagai penumpang-
penumpang gelap- ke polisi imigrasi Singapura. Firasatku tentang "Pak Ali" ternyata
benar Belakangan aku ketahui, "Pak Ali" adalah petugas Republik di Singapura
untuk mencari dan menyelundupkan senjata. Ia melaksanakan pesan Bung Amir
(Amir Sjarifuddin, kalau aku tidak salah, saat itu Menteri Pertahanan) untuk
menghubungi kami berempat.

Aku tidak tahu siapa lagi tokoh-tokoh di balik kisah penyelundupan kami
sejak kami telah berada kembali di daratan Republik. Aku hanya tahu, sesudah
"Oom Oey" dan John Lie, muncul "Pak Ali". Dia inilah yang kemudian mengatur
kami. Sekali saja dia salah langkah, berarti bencana bagi kami. Begitu juga, sekali
kami melangkah tidak sesuai dengan aturannya atau aturan mereka, berarti
bencana bagi kami semua.

Bencana itu memang hampir terjadi pada kami berempat saat di Singapura.

Kisahnya begini. Setelah bebas dari karantina-dibebaskan oleh “Pak Ali"-


kami dibawa oleh Pak Ali ke sebuah rumah penginapan yang kecil dan kumuh.
Kembali dari Kalkuta, kami memang mempunyai sedikit uang, yang kami
percayakan pada Supeno untuk memegangnya. Barangkali oleh suasana hati yang
tidak merasa nyaman, karena masuk ke negeri asing tanpa sehelai surat, "hotel"
kumuh kecil dan gelap itu menjadi terkesan sangat menyeramkan. Hotel kami yang
kecil dan kumuh itu memang hanya menyewakan kamar tanpa menyediakan
makan. Oleh karena itu, Supeno pergi keluar untuk mencari makan, dan aku
kembali masuk ke kamarku, sesudah beberapa saat duduk sendirian di ruang

156
tunggu yang juga sangat kecil dan gelap. Aku terkejut! Ketika aku tinggalkan kamar,
dan duduk di kamar tunggu, tidak ada sesuatu benda apa pun di atas meja kamarku.
Tapi ketika aku kembali, di situ ada sebuah amplop yang bertulis huruf- huruf
Tionghoa. Amplop kubuka. Di dalamnya ada sehelai surat juga tertulis dalam huruf-
huruf Tionghoa. Karena aku tidak bisa membaca tulisan Tionghoa, dengan hati
bertanya-tanya surat kumasukkan lagi ke amplop. Tidak lama kemudian Supeno
pun sudah kembali. Kami segera makan sambil membicarakan amplop surat yang
misterius itu.

Di tengah-tengah kami makan, datang seorang perempuan Tionghoa yang


mengaku sebagai penghubung dengan "Pak Ali". Ia datang memang dengan
maksud untuk mengantar kami bertemu dengan "Pak Ali". Belum lagi habis kami
makan, dan pesan "Pak Ali" juga belum selesai kami bicarakan, seketika wajahnya
berubah menjadi pucat. Amplop surat di atas meja itu dengan mudah terbaca
olehnya. Amplop lalu diambil, dan segera dimasukkannya ke dalam tasnya. Kami
menjadi kaget. Tapi dia tidak mengucapkan kata-kata sepatah pun. Dalam bahasa
Melayu diperintahkannya kami agar segera keluar, pergi dari hotel dengan
membawa semua barang bawaan kami. Tanpa keterangan mengapa kami harus
segera pergi. Aku bertambah kaget. Supeno dan Otto Rondonuwu juga kaget. Si
Amin (Samsu Anwar) apalagi.

Perempuan muda Tionghoa ini lalu membawa kami berempat pergi menuju
ke rumahnya. Baru setiba di dalam rumah ia menjelaskan tentang amplop misterius
itu. Menurut dia isi amplop itu bahan-bahan dari Partai Komunis Malaya. Tapi yang
membawa dan meletakkannya di kamarku itu bukan dari Partai Komunis Malaya.
Ini sengaja diletakkan di seseorang kamar, sebagai umpan untuk bisa menangkap
kami semua. Karena pada waktu itu Partai Komunis merupakan partai terlarang,
157
dan barang siapa yang ditemukan memiliki bahan-bahan dari Partai Komunis pasti
akan ditangkap. Menurut dugaannya polisi telah dengan sengaja meletakkan
bahan-bahan Itu di mejaku, akan dia gunakan sebagai alasan penangkapan.
Perkiraan dia memang benar. Belum lagi satu jam kami meninggalkan hotel, hotel
kecil itu telah digrebek. Menghadapi keadaan demikian perempuan muda
Tionghoa, yang tidak kami ketahui namanya itu, melarang kami keluar. Kami
dimintanya untuk benar-benar "bersembunyi" di bawah-tanah, di dalan kota
Singapura. Sementara itu tugas kami tinggal menunggu datangnya perahu-motor,
yang akan membawa kami keluar dari perairan Singapura. Untuk itu, ia akan
menghubungi "Pak Ali dan selanjutnya "Pak Ali" akan mengusahakan kapal-motor
itu.

Beberapa hari kemudian, ketika cahaya pagi masih belum tampak, kami
sudah harus meninggalkan rumah perempuan Tionghoa yang aku tidak kenal
namanya itu. Sebelum jam lima pagi, kami sudah harus mencapai di tempat perahu
motor. Dengan digandeng empat orang pemandu jalan masing-masing, kami
menyeberangi rawa-rawa dan turun ke laut menuju motorboot yang tidak bisa
merapat ke pantai. Tidak ada satu orang di antara kami yang membuka suara.
Apalagi para pemandu jalan yang empat orang itu. Semua tutup mulut. Masing-
masing berbicara dan bergulat dengan hati dan pikiran sendiri-sendiri. Tapi,
bagaimanapun payahnya, akhirnya kami tiba di tempat motorboot, yang, tidak lain
itulah motorboot John Lie.

Jika aku teringat pada kawan-kawan itu semua, baik seorang yang bernama
"Pak Ali" maupun sekian orang lainnya yang tanpa nama, aku menjadi merasa
seperti mendapat semangat dan keteguhan baru. Aku hanya bertemu mereka satu
kali seumur hidupku, tapi pertemuan yang sejatinya telah menyelamatkan dan
158
memperpanjang hidupku. Mereka orang orang yang sepertinya hanya berperan
satu kali dalam sejarah. Sejarah Kemanusiaan. Bukan Sejarah Indonesia saja.
Karena mereka itu, kecuali "Pak Ali" dan John Lie, bukan orang-orang Indonesia.
Mungkin Melayu, mungkin Tionghoa, atau mungkin juga Tionghoa Melayu. Juga
bukan Sejarah Partai Komunis. Karena dengan mereka itu, kecuali dengan "Pak Ali"
dan John Lie, kami tidak pernah bicara tentang partai, politik, atau ideologi. Malah
empat orang kurir pemandu jalan kami itu, tidak satu patah pun kami saling
bertukar kata-kata.

Solidaritas internasional sejatinya tidak hanya menjadi omôngan besar di


kalangan orang-orang gede. Tapi justru mereka yang di bawah itulah yang betul-
betul telah meletakkan dasarnya. Dengan John Lie pun, misalnya, aku mengenal
secara pribadi sesudah sama-sama duduk sebagai anggota parlemen, artinya
sesudah 1956. Ia bukanlah orang Komunis, tapi tangan pertolongannya sungguh
telah dia ulurkan kepada kami, tanpa ragu dan takut.

"Kalian mau dengan cara begitu?" Katanya suatu hari padaku. "Syukur deh
kamu, kalau bisa mencapai tujuanmu. Tapi aku dengan caraku. Dengan caranya
Tuhan. Dan kamu, dengan caranya palu-arit ya ... terserah kamulah!" Katanya
sambil tertawa terbahak.

"Lha kalau ketika itu aku tahu membawa komunis-komunis seperti kau ini,
kan aku ndak mau!" Selorohnya.

Menjawab kata-kata gurauannya itu aku berkata: "Bagaimana orang Kristen


kok begitu? Kan ndak baik? Orang Kristen mana ada anti-Komunis. Kan ndak ada?"

John Lie orang yang sangat baik. Aku memperoleh banyak bantuan dari dia.
Dia ikut membangun ALRI kita. Luar biasa jasanya dalam mempertahankan

159
Republik. Bagaimana cara dia mencari dan tentu saja persenjataan untuk
kelangsungan uang dan keberhasilan revolusi. Barangkali ada hubungannya dengan
"Oom Oei", "Pak Ali", perempuan Tionghoa di Singapura yang tak bernama itu ...
siapa tahu?

Aku tak akan pernah bisa lupa pada John Lie dan mereka itu semua. Pada
keberanian dan ketulusannya dalam mengabdi pada Republik, pada kata-kata
gurauannya yang tanpa basa-basi dan tertawanya yang lepas dari hatinya yang
jernih. Tokoh John Lie juga mengingatkanku pada seorang Yadau.3

Suatu ketika kami berdua, entah di gunung mana di masa "Peristiwa


Madiun", lari pontang-panting di tengah kejaran tentara "Siliwangi". Desing peluru
susul-menyusul terdengar dari segenap penjuru. Saat itu aku sedang hamil anakku
yang pertama. Aku berlari mencari perlindungan ke sebatang pohon entah karet
entah randu - dan aku rapatkan perutku di batang yang tipis langsing itu.

"Boleh kepalaku kena, asal jangan anakku yang kena!" Begitu yang terpikir di
benakku saat itu.

Yadau, tiarap di kejauhan, tertawa terbahak-bahak. Menertawakan


kebodohanku. Di tengah hujan peluru yang berdesing-desing itu!

"Tiarap!" Seru Yadau masih saja tertawa.

Aku mematuhi perintahnya. Menirukan apa yang dia sendiri perbuat. Tiarap,
rata di atas tanah ...

160
23

MENINGGALKAN MASA MUDAKU

PADA 1950, berlangsung Kongres Pesindo, dan Pesindo dinyatakan tidak lagi
sebagai organisasi "pemuda sosialis" tetapi organisasi "pemuda rakyat". Ketika itu
aku bersama Ir. Setiadi yang ditunjuk untuk memegang pimpinan "Pemuda
Rakyat", seingatku kira-kira selama dua sampai tiga tahun-sampai menjelang
Konperensi Asia-Afrika berlangsung. Kemudian aku dan Setiadi mengundurkan diri.
Ketika itu, Ruslan Wijayasastra sudah terlebih dahulu mengundurkan diri,
walaupun masih tetap duduk di Pleno Pimpinan Pusat. Itu menjelang 1955.

Sejak kepemimpinan Pemuda Rakyat (PR) kami tinggalkan, tugas kami


diteruskan oleh Sukatno sebagai ketua - saat itu istilah yang digunakan Sekretaris
Jenderal dan Anwar Nasution sebagai Wakil Ketua. Pada masaku, Ir Setiadi Ketua
Umum, Francisca C Fanggidaej Ketua I, Baharuddin Ketua II, dan Suyono Ketua III;
Sekretaris I Asmuji, dan Sekretaris II aku lupa.

Aku tinggalkan pimpinan PR atas permintaanku sendiri. Aku merasa sudah


terlalu tua. Sudah sejak 1945 terus di organisasi pemuda, dan terus dalam
kedudukan memimpin. Jadi, sesudah aku kawin, dan mengalami bermacam-
macam pergolakan dalam kehidupan pribadi, aku merasa geestelijk, sudah terlalu
tua. Terlalu tua untuk masih ada di kalangan pemuda, yang mempunyai kebutuhan
dan tuntutan lain.

161
Aku merasa lebih tertarik pada SOBSI. Sesudah beberapa waktu berlalu, aku
menerima jawaban yang bagiku tidak begitu terus terang. Alasan yang
dikemukakan ialah mengingat latar belakang pribadiku, yang tidak cocok untuk
bekerja di dalam organisasi seperti SOBSI. Aku lebih cocok di dalam organisasi, kata
alasan itu, di mana berkumpul orang- orang intelektual. Jika sekarang aku bicara
begini, sesungguhnya memang tidak lagi terasa ada ganjalan apa-apa. Tapi waktu
itu aku merasa sangat tersinggung, karena aku dianggap bukan "orang massa", tapi
orang yang mesti "di atas". Orang-orang intelektual!

Aku tersinggung dan kecewa sekali, karena buatku itu satu penilaian. Apalagi
ketika aku diminta masuk Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Aku sama sekali
tidak senang. Juga diajukan padaku ormas-ormas lain, di mana aku bisa bekerja,
misalnya Komite Perdamaian dan OISRAA (Organisasi Internasional untuk
Setiakawan Rakyat Asia-Afrika). Saat itu, aku merasa Gerwani sama sekali bukan
wadah perjuangan, melainkan sekadar wadah pembelajaran kaum wanita untuk
berorganisasi.

Akhirnya, aku bekerja di tiga ormas itu sekaligus: Gerwani, Komite


Perdamaian, dan OISRAA. Di OISRAA aku hanya sebagai anggota biasa. Organisasi
ini dipimpin oleh Utami Suryadharma, teman akrabku sejak lama. Sejak kami masih
sama-sama muda. Ia teman Sunito, Maruto Darusman, Yusuf Muda Dalam dan lain-
lain, para intelektual muda progresif yang pulang kembali dari Belanda. Aku mulai
kenal Utami melalui Yusuf Muda Dalam, sesudah ia menjadi istri Suryadharma. Ia
masih sangat muda dan belum begitu terkenal sebagai tokoh. Malah yang lebih
menonjol ketika itu adalah Hurustiati Subandrio, adiknya Sukrisno, dan Dr.
Sudarman. Aku baru akrab dengan Utami pada tahun 50-an, beberapa waktu
sesudah Peristiwa Madiun. Pengikat keakraban kami ialah Maruto Darusman, salah
162
seorang dari sebelas pemimpin PKI/FDR yang ditembak mati Gatot Subroto pada
pagi hari 19 Desember 1948.

Ketika itu, barangkali Utami sudah berkenalan juga dengan Suryadharma,


scorang tokoh perwira tinggi Angkatan Udara pengagum Bung Karno. Mungkin
disebabkan faktor-faktor itulah, maka selagi Peristiwa Madiun mulai memuncak,
Suryadharma berani menolak perintah AH Nasution untuk membom Sarangan.
Ketika itu rombongan Bung Amir, di mana di dalamnya juga ikut serta Maruto
Darusman, sudah meninggalkan Madiun dan sedang berada di Sarangan.

Sementara itu, pada 1955, tentunya dalam hubungan dengan akan


berlangsungnya Konperensi Asia Afrika, aku diminta bekerja untuk Kantor Berita
"Antara". Walaupun masih sebagai pekerja free-lance dan masih terus dididik, dan
untuk waktu yang lama, oleh Bung Djawoto pimpinan KB "Antara" saat itu.

Di antara berbagai ormas yang melibatkan diriku, mungkin Komite


Perdamaian yang paling banyak; karena banyak tamu luar negeri, sehingga
perananku -karena kemampuanku dalam berbahasa asing, Belanda dan Inggris
terutama - memang diperlukan di sana. Karena kemampuanku itu, akhirnya aku
juga banyak diminta oleh SOBSI dan Gerwani. Jasa sebagai tolk atau juru bahasa.
Banyak pekerjaan praktis yang menyita waktu, tapi semua itu kulakukan dengan
senang. Untuk di Gerwani, aku mulai agak aktif sekitar tahun 1957, ketika aku
dikirim keluar negeri menghadiri sidang GWDS (Gerakan Wanita Demokratis
Sedunia) sebagai wakil DPP Gerwani. Tapi untuk kegiatan-kegiatan Gerwani yang
lain, seperti demonstrasi dan lain-lainnya, aku hampir tidak pernah ikut. Selain
karena kegiatanku di berbagai macam ormas tersebut, juga karena kegiatanku di
bidang kewartawanan. Pada sekitar tahun itu, aku malah memimpin INPS

163
(Indonesian National Press Service), sambil terus bekerja sebagai free-lance untuk
Kantor Berita "Antara". Aku banyak diminta untuk mewawancarai dengan tokoh-
tokoh luar negeri. Misalnya dengan Jamilah, perempuan, pahlawan perang
kemerdekaan Aljazair. Lu misalnya selama waktu Konperensi Asia Afrika I
berlangsung di Bandung, aku diminta “Antara" untuk meliput sepenuhnya. Inilah
pekerjaan besarku yang pertama di bidang kewartawanan.

Ketika itu aku sudah menikah kembali. Suamiku, Supriyo, seorang Jawa tulen
asli Purwareja, wartawan senior KB “Antara" redaktur bagian ekonomi – kalau aku
tidak salah ingat. Kami menikah pada 1954, yang diselenggarakan oleh PR secara
besar-besaran. Tapi bukan karena itulah aku bekerja di “Antara". Tidak ada
permainan “KKN" dalam hal ini! Karena justru aku, atas permintaan Mas Djawoto,
yang lebih dulu bekerja di sana dan baru Mas Priyo menyusul kemudian.

164
24

INPS (INDONESIAN NATIONAL PRESS SERVICE)

KAPAN INPS berdiri, aku tidak ingat benar, tapi tidak lama sesudah
Konperensi AA I di Bandung. Berdirinya INPS ini sebagai jawaban atas permintaan
berbagai Kedutaan Besar asing di Jakarta, agar terbit buletin berbahasa Inggris
buletin ekonomi, yang KB "Antara" tidak menerbitkannya. Buletin berbahasa
Inggris terbitan KB “Antara" berupa buletin umum. Para pendiri INPS ialah Gayus
Siagian, Kurwet, Tahsin, dan Yahya.

Permintaan dari kedutaan-kedutaan memang banyak. Jika hendak dicari


perbedaannya dengan "Antara", barangkali karena INPS tidak terbatas hanya
menyajikan penerbitan berita, tapi juga mengemukakan visinya sendiri. Namun
demikian tentu saja sudah ada perundingan dan pengertian dengan dan dari
pimpinan KB "Antara", sehingga kehadiran INPS tidak perlu disikapi sebagai
pesaing. Akhirnya, karena ketiadaan tenaga, INPS hanya menerbitkan buletin
khusus berbahasa Inggris untuk masalah ekonomi, sedangkan masalah-masalah
lain terbit sebagai buletin biasa, seperti yang dikerjakan oleh “Antara". Khususnya

Para pimpinannya malah orang-orang PNI, seperti Gayus dan Yahya, juga Pak
Ali Sastroamidjojo. Kurwet entah "orang apa". Aku hanya tahu dia orang yang
sangat baik, dan juga salah seorang dari Komite Perdamaian, seperti halnya juga
Prof. Priyana.

Di samping nama-nama tersebut, ada lagi seorang yaitu A.A. Harahap,


berasal dari Lampung yang masuk karena ditarik Kurwet. Ia "orang apa", aku juga

165
tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa ia sangat dekat dengan Adnan Kapau Gani, tokoh
Partindo terkemuka Sumatra Selatan, salah seorang kader Bung Karno ketika ia
diasingkan di Bengkulu.

Di INPS A.A. Harahap inilah hoofd redacteur, sedangkan aku managing


editor. Hoofd redacteur untuk menangani masalah khusus keredaksian, sedangkan
managing editor untuk soal-soal keseluruhan, ada masalah perusahaan, gaji,
personel dan lain- lain. Jadi, masalah redaksi dan administrasi menjadi satu di
tangan managing editor, sengaja supaya hoofd redacteur bisa terlepas dari semua
masalah itu. Di sini aku lalu bisa menarik orang-orang seperti Kusalah, adik
Pramudya, dan orang-orang dari KB "Antara" yang tidak cukup gajinya.

Kantor berita INPS terbit saban hari, berkantor di "Unie", Jalan Gajah Mada,
bekas kantor dagang Belanda yang besar. Di situ juga berkantor harian Bintang
Timur dan harian Pemuda. Sengaja diberi nama Inggris, selain demi memenuhi
keinginan kedutaan-kedutaan negara asing, juga mengingat peranan Jakarta yang
berkembang menjadi magnet gerakan Asia-Afrika dan non-blok sedunia. Kalau
dibanding dengan KB "Antara", sebagai kantor berita yang sudah tua dari segi umur
dan pengalaman, tentu KB "Antara" jauh lebih baik; baik dalam hal personil (SDM
istilah sekarang), dan dalam hal peralatan. Jika KB "Antara" sudah mampu
menerbitkan lima-enam buletin saban hari, INPS baru mampu dua buletin saja.

166
25

RAZIA AGUSTUS 1951 FESTIVAL PEMUDA SEDUNIA

KETIKA Razia Agustus terjadi, 16 Agustus 1951, aku sudah menjadi Ketua
Pemuda Rakyat. Rumahku waktu itu di Kemayoran, di Gang Sepur nomor 4. Juga
"markas" Pemuda Rakyat ada di rumah tinggal kami itu. Ketika itu hanya Nila saja,
anakku yang paling tua, yang mempunyai tempat tidur. Untuk aku sendiri ada satu
meja panjang, dengan kasur di atasnya. Di situ aku tidur di sebelah tempat tidur
Nila yang kecil.

Pada 16 Agustus, pagi-pagi sekali aku bangun. Datang Katno, ketika itu
Sekretaris Pemuda Rakyat (PR).

"Zus! Zus diminta Bung Karno datang ke istana." Katanya dengan gopoh.

"Kenapa?"

"Besok kan 17 Agustus."

"Tapi kenapa hari ini...?"

"Ya, pokoknya Zus siap-siap. Cepet. Siap-siap!"

"Lho, aku belum minum kopi! Belum apa-apa?!"

"Tidak usah! Cepet saja, ganti pakaian. Segera berangkat!"

Ia lalu bergegas menghilang. Aku segera mandi dan cepat- cepat berpakaian.
Harus ke istana sepagi ini. Sesudah selesai aku melihat keluar. Timbul perasaan
aneh oleh suasana yang kelihatan begitu sepi. Sementara aku bertanya-tanya pada
diri sendiri, tiba-tiba datang Setiadi yang juga menimbulkan pertanyaan. Tidak

167
seperti biasanya, ia selalu datang dari depan. pagi itu ia datang dari belakang dan
dengan naik sepeda. Dari berita yang dia bawa aku baru tahu, bahwa ada peristiwa
yang disebut "Razia Agustus". Markas PR sudah dikepung. Berarti rumahku! Dan
aku, karena itu, harus segera melarikan diri. Karena justru aku yang mereka cari.
Kabar itu disampaikan pada kami, melalui Setiadi, oleh Taman Siswa di Jalan
Garuda, yang terletak tidak jauh dari Gang Sepur. Pak Said tinggal di sana, dan
Iskandar Subekti waktu itu juga masih menjadi pamong di sana.

Jadi, kami diberi tahu oleh Taman Siswa, karena mereka sudah datang di sana
dan mencari-cari aku. Aku baru mengerti, itulah maksud pesan Katno tadi pagi.
Dengan dalih dipanggil Bung Karno agar aku tidak menjadi kaget, dan segera siap
untuk pergi dari rumah secepat mungkin.

Seketika itu juga aku keluar dari belakang "markas" PR. diantar oleh istri
Setiadi dan terus melalui lorong-lorong sempit di daerah Kemayoran. Nila dibawa
lari, dan diungsikan ke rumah adikku, di Kebayoran Baru, oleh Sugandi salah
seorang pimpinan PERBEPSI (Persatuan Bekas Pejuang Seluruh Indonesia).1 Secara
kebetulan, aku bertemu Bung Gandi di tengah jalan. Kami sama- sama menyelinap
dari sergapan razia pagi itu. Nila-berumur tiga tahun waktu itu-berikut satu tas
pakaiannya, segera pindah gendongan, dari tanganku ke tangan Bung Sugandi. Aku
meneruskan menyelinap bersama istri Setiadi, dan Bung Gandi kutitipi Nila pergi ke
rumah adikku.

Ketika itu kami, Pemuda Rakyat, sedang sibuk menyiapkan Festival Pemuda
di Berlin (Timur). Tentang razia itu, aku sendiri tidak berani mengatakan, apakah
ada atau tidak informasi yang diberikan padaku sebelumnya. Banyak hal-hal telah
terlepas dari ingatanku.

168
Memang ada pemberitahuan agar aku jangan di rumah, dan lebih baik agar
"terus di jalan". Tapi aku seperti tidak peduli terhadap razia. Karena saat itu aku
sedang aktif mengurusi delegasi untuk festival.

Delegasi ke Festival Berlin terdiri dari 93 orang. Jumlah yang tidak kecil.
Mereka diurus oleh panitia yang disebut P4S, Panitia Persiapan Perayaan Pemuda
Sedunia, yang diketuai oleh Ibnu Mustari, wakil dari IPI, dan aku selaku wakil PR
sebagai Wakil Ketua. Juga Sudibio, Menteri Penerangan, duduk sebagai wakil
Pemuda Muslimin.

P4S terdiri dari wakil-wakil sekitar 13 atau 14 ormas pemuda, pelajar dan
mahasiswa independen dan ormas-ormas parpol, misalnya Pemuda Marhaen dari
PNI.

Aku memang sedang sangat sibuk saat itu: menyusun delegasi, menyiapkan
rencana acara selama festival, mencari dana, dan juga mengusahakan kapal untuk
mengangkut mereka. Dalam delegasi ini juga ada beberapa seniman Lekra, seperti
Henk Ngantung, S. Sudjojono, Hendra Gunawan. Mereka akan menyelenggarakan
pameran lukisan, antara lain juga termasuk karya-karya Basuki Resobowo,
Sudjojono, Hendra. Semua berhasil kami siapkan, walaupun di tengah-tengah
pengejaran razia yang menegangkan.

Di samping semua kegiatan itu, kami juga menerbitkan buletin P4S. Kami
sendiri yang harus menyusun, mengetik, dan yang meroneo – saat itu belum
dikenal mesin fotokopi - kemudian menyebarkannya.

Dari mana uang diperoleh untuk memberangkatkan sekian banyak orang itu?
Ini juga pertanyaan yang saat itu menantang kami P4S. Kami lalu sepakat, masing-
masing delegasi membawa uang yang mereka kumpulkan dari daerah atau

169
organisasi sendiri-sendiri. Misalnya, Pemuda Muslimin. Mereka membawa uang,
entah berapa rupiah, tapi sebanyak satu sarung bantal, penuh padat dengan uang
kertas yang sudah ... ampun lecek dan baunya! Barangkali tidak mencukupi, tapi
penting bagi mereka untuk ikut ambil-bagian dalam usaha bersama, demi
suksesnya Panitia Festival di Tanahair. Pendek kata, uang itu dari mereka sendiri,
dan kekurangannya ditambah dari sumbangan masyarakat. Misalnya dari
masyarakat Tionghwa dalam hal ini Siauw Giok Tjhan besar peranan dan
sumbangannya. Juga dari Pak Dibio (Sudibio), Menteri Penerangan saat itu, dan dari
pengusaha-pengusaha yang orang-orang PNI. Dari Partai kami menerima
sumbangan alat-alat tulis, yang tentu saja sangat penting, seperti kertas tik, kertas
roneo, kertas sheet untuk roneo. Sumbangan-sumbangan peralatan juga kami
terima dari SBPU (Serikat Buruh Pekerjaan Umum) dan Pemuda Progresif (Partai
Murba), melalui Bung Singgih salah seorang tokoh mereka terutama dalam
penyebaran buletin.

Aku baru mendapat isyarat bisa bergerak legal kembali pada Mei 1952.
Cukup lama. Setengah tahun lebih Jakarta dibikin tegang oleh Razia Agustus, yang
juga dikenal sebagai "Razia Sukiman". Selama sekitar setengah tahun itu, boleh
dibilang aku bekerja di bawah tanah, meski kenyataannya tidak sepenuhnya benar.
Setiap hari aku merasa bekerja seperti biasa setiap hari. Pertama, karena orang
tidak tahu, siapa Fanggidaej. Mereka malah mengira Francisca Fanggidaej nama
seorang laki-laki. Kedua, jaringan intel ketika itu tidak atau belum terlalu 'hebat
seperti sepuluh tahun kemudian.

Lalu, apa maksud Sukiman dengan melancarkan "razia terhadap PKI yang
masih kecil? Secara umum jelas, bahwa legalisasi PKI sesudah Peristiwa Madiun
tidak bisa diterima oleh Masyumi-PSI. Tapi yang menjadi aanleiding langsung, jika
170
aku tidak keliru, ialah keputusan KMB tentang Misi Militer Belanda. Menteri Luar
Negeri saat itu, Mr. Subardjo, seorang tokoh Masyumi.

Mengingat hal itu, dari perspektif sebagai pemimpin organisasi pemuda, aku
tidak perlu merasa terancam. Tapi karena - namaku selalu dikaitkan dengan
Peristiwa Madiun, maka aku benar-benar dalam keadaan terancam. Sebagai
pemimpin pemuda aku bukan orang politik- bukan political animal itu belum. Itu
baru nanti, sesudah aku menjadi anggota parlemen. Sejak itu, aku baru betul-betul
menjadi insan politik.

Tapi Perasaan “mempunyai musuh" yang mencari-cari dan barangkali ingin


melenyapkan, memang bukan hanya terjadi di sepanjang kira-kira setengah tahun
sejak 16 Agustus 1951 itu saja. Pada bulan-bulan sesudah Peristiwa Madiun juga
demikian. Ada perasaan selalu waswas, tapi itu tidak lama kualami. Mungkin karena
aku segera terjun di organisasi dan bekerja, sehingga tidak ada waktu untuk
berpikir.

Tapi perasaan "mempunyai musuh", sehingga ada "rasa tidak enak", juga
pernah aku alami di tengah-tengah "masa damai", yaitu pada 1950. Ketika itu aku
sudah pindah ke Jakarta, dan tinggal di rumah Henk Ngantung, karena belum punya
rumah sendiri. Suatu ketika ada tamu, satu atau dua orang perempuan anggota
Senat Amerika Serikat datang di Jakarta. Ibu Kartowiyono, pemimpin "Perwari"
yang berhaluan kanan itu, datang di rumah Henk Ngantung. Dia datang sengaja
untuk mencari aku, dan minta kesediaanku untuk membantu Perwari sebagai tolk
(pengalih bahasa). Aku tidak tahu, apakah dia tahu latar belakang pribadiku atau
tidak. Tapi kukira tidak tahu. Maka, aku pun datang ke kantor Perwari, yang juga
hadir di sana Yo Chaerul Saleh. Setelah selesai aku menerjemahkan pidatonya, dia

171
merasa sangat puas oleh sambutan tepuk tangan ramai dari para hadirin. Lalu,
perempuan anggota Senat itu menghampiriku, dan mengusulkan supaya aku
berkunjung ke Amerika. Malahan dia minta agar aku, kalau bisa, berusaha mencari
waktu untuk belajar di sana. Usul undangan itu kuterima dengan sangat antusias.
Ia mencatat nama dan alamatku, dan menyampaikan usulnya itu juga kepada Ibu
Kartowiyono. Tapi apa yang terjadi? Aku tidak pernah mendapar- berita kelanjutan
dari usul perempuan Senat itu. Ibu Kartowiyono tidak pernah mendapat berita
kelanjutan lagi dari usul perempuan senat itu.

Ibu Kartowiyono tidak pernah lagi meminta aku datang ke kantornya, bahkan
ketika secara kebetulan saling bertemu pun ia pura-pura tidak mengenalku! Aku
lalu merasa seperti outcast sesudah dipakai dibuang. Mengapa? Aku hanya bisa
menduga- duga, mungkin karena "masalah itu" yang menyebabkannya! "Hantu-
Madiun" yang lekat pada bayangan pribadiku!

172
26

MENJADI ANGGOTA DPR-GR

AKHIRNYA kerja serabutan yang menyenangkan itu berakhir pada 1957. Aku
diangkat menjadi anggota DPR-GR, dan merangkap anggota MPRS. Sebagai
anggota parlemen, aku bukan dari daftar caleg Partai yang ditawarkan pada pemilu.
Tapi aku ditetapkan menjadi anggota, sebagai hasil pengangkatan Presiden. Tentu
saja juga melalui proses dipilih oleh Partai, beberapa nama, lalu diajukan pada
Presiden, tapi tidak melalui proses pemilu. Proses pengangkatan ini melalui dialog
di istana Tampaksiring Bali, antara Presiden, yang didampingi oleh Ruslan
Abdulgani, dengan para pimpinan partai pemenang pemilu.

Peristiwa rapat antara Bung Karno dan para pimpinan parpol di Tampaksiring
itu terjadi sebelum “Konsepsi Presiden" tahun 1957. Justru dari situlah Konsepsi
Presiden lahir, dan atas dasar Konsepsi Presiden itu, maka DPR-GR terbentuk.

Di DPR-GR aku duduk di Komisi Luar Negeri, yang dipimpin oleh Manai
Sophiaan. Sejak itulah aku merasa seperti digugah, bahwa dunia bukan hanya
Jakarta dan bahwa persoalan dunia bukan hanya persoalan pemuda dan Indonesia.
Sebagai anggota Komisi LN tentu saja aku banyak berhubungan, selain dengan
Ketua Komisi, dengan Subandrio yang sejak kembali sebagai High Commissioner di
London menggantikan Ruslan Abdulgani sebagai Menlu.

Aku duduk di DPR-GR sebagai anggota Golongan Karya atau Golkar - dalam
hal ini aku wakil golongan wartawan di dalam Golkar. Golkar saat itu terdiri dari

173
berbagai macam golongan fungsional, termasuk wartawan. Bersama Djawoto, dan
beberapa wartawan lainnya, kami mewakili Golongan Karya wartawan.

Di Komisi LN aku terutama menangani masalah Timor Timur, yang saat itu
masih menjadi jajahan Portugal. Pernah, aku mengajukan usul, yang dinamakan
interpelasi, tentang soal Timor Timur. Bagaimana sikap Pemerintah tentang Timor
Timur yang masih terus dijajah Portugal, dan tentang perjuangan rakyat Timor
Timur untuk melepaskan diri dari Portugal. Itu masih pada 1957-an.

Ketika itu, perlawanan rakyat Timor Timur sudah mulai bangkit. Kami
menerima banyak laporan, misalnya tentang nasib para pejuang kemerdekaan di
sana yang ditangkap pemerintah Portugal. Mereka disiksa, dimasukkan dalam sel-
sel di bawah tanah. Sel itu berupa satu lubang yang persis selebar badan, dan
tahanan dimasukkan di situ. Tidak bisa duduk, harus berdiri terus, di atas ditutup
dengan anyaman bambu yang di tengah-tengahnya diberi lubang. Dari atas
terkadang diturunkan air minum dan makan, sekadar supaya mereka tidak sampai
mati kelaparan.

Aku mengetahui semuanya itu, karena bersama laporan yang kami terima
juga disertai foto-foto, dan penjelasannya bahasa Inggris. Atas dasar bahan-bahan
itulah aku mengajukan interpelasi, apakah Pemerintah tahu, bahwa keadaan
semacam itu terjadi di perbatasan negeri kita. Dan atas dasar itu juga aku
mengajukan satu resolusi, dan "Resolusi Timor Timur" ini diterima.

Lalu masalah Vietnam. Aku pernah berbicara dengan ketua FNPVS (Front
Nasional Pembebasan Vietnam Selatan). Dia datang di DPR, dan menceritakan
tentang perjuangan mereka. Waktu itu pun aku mengajukan resolusi, yang juga
diterima. Dan aku yang memberikan pidato pembukaan mengenai resolusi itu, tapi

174
memang kalau sudah mengenai pekerjaan pokok, yaitu mengesahkan budget, yang
lebih banyak kuperhatikan misalnya -salah satu pidatoku waktu itu-masalah
perumahan. Karena waktu itu aku tinggal di Kampung Jawa, kampung yang
sebenarnya tidak layak huni. Maka, aku menyusun sebuah pidato yang saat itu
memang mengena, dan aku beri judul "Home Sweet Home". Aku teringat pada
judul sebuah lagu Barat "My home sweet home".

Sepanjang lima tahun, antara tahun-tahun 60-65, kegiatanku boleh dikata


tinggal satu, yaitu sebagai anggota DPR- GR. Kegiatan INPS sejak sekitar tahun 60-
an menjadi berkurang, dan akhirnya, entah mengapa lantas dibubarkan. Sebagai
anggota DPR-tetap di Komisi Luar Negeri-aku banyak pergi ke daerah dan ke luar
negeri.

Tugas ke daerah-daerah pada umumnya dilakukan pada waktu reses dan jika
DPR menentukan rencana turba. Misalnya DPR mempunyai rencana ke Kalimantan
Barat. Aku merasa Kalimantan Barat penting untuk tugasku di Komisi Luar Negeri,
karena ada berbagai macam masalah di sana. Misalnya, masalah perbatasan,
masalah Malaysia dan masalah infiltrasi Inggris. Juga suatu saat aku ke Sulawesi
Utara, meskipun "hanya" untuk masalah yang tidak langsung bersinggungan
dengan masalah luar negeri. Misalnya, masalah penyelundupan dan masalah
Ventje – Sumual separatisme "Permesta". Terakhir, seandainya tidak terjadi
“Peristiwa 65", aku diminta penduduk Timor Timur untuk datang sebagai putra
Timor.

Usul interpelasi Timor Timur yang diterima oleh DPR-GR. itu memenag
ditindak-lanjuti oleh Deparlu RI: ada bantuan keuangan, ada penerimaan dan
penampungan pelarian politik dari Timor Timur, dan ada pendinginan hubungan

175
pemerintah Indonesia dengan pemerintah Portugal, yang waktu itu tegang sekali.
Tapi semua itu akhirnya tidak terurus. Tidak ada kelanjutannya. Juga karena waktu
itu Indonesia sudah menarik diri dari PBB, dan hanya bersandar pada "poros
Beijing-Hanoi- Jakarta". Terlalu sempit!

176
27

KONPERENSI ALJAZAIR YANG BATAL

PADA 1964, selaku anggota Komisi Luar Negeri DPR-GR, aku ditugasi ke luar
negeri, ke Aljazair, sebagai anggota romobongan penasihat Presiden Sukarno untuk
menghadiri Konperensi Asia-Afrika III.

Konperensi AA III direncanakan diselenggarakan di Aljazair. Tapi tiba-tiba


terjadi kudeta Boumediene terhadap Ben Bella, sehingga diusulkan oleh Chen Ji –
Perdana Menteri RRT waktu itu -agar konperensi ditunda. "Masa kita datang di sini
untuk dibom dan terus mati?" Kata Chen Ji berkelakar pada Bung Karno di Kairo,
ketika itu ibukota Republik Persatuan Arab. Usul itu diterima.

Bung Karno bersama rombongan satu pesawat berhenti di Kairo. Tapi


rombongan kami, para penasihat Bung Karno, yang berada dalam satu pesawat
dengan Menlu Subandrio, mengambil jurusan penerbangan yang berbeda.
Sementara Bung Karno dan rombongan singgah di Kairo, entah berapa lama, Pak
Bandrio dan rombongannya terbang melalui Amsterdam, lalu dari sana kami
menuju Aljazair. Dalam rombongan para penasihat Presiden ini, termasuk Isnaeni
dan aku, dari Komisi Luar Negeri DPR-GR. Kemudian ada lagi dari DPA (Dewan
Pertimbangan Agung), antara lain Endang Sulbi dan beberapa tokoh lain yang aku
tidak begitu kenal. Juga tentu saja banyak wartawan dalam pesawat kami.

Keikutsertaanku dalam rombongan Presiden waktu itu, jika kupikirkan


sekarang, bagiku menimbulkan masalah yang patut dipertanyakan – tapi waktu itu,
entah mengapa, masalah iu belum tampak, sehingga dengan sendirinya juga belum

177
terpikir. Pertama, jumlah anggota delegasi kami sampai ratusan orang, sehingga
merupakan delegasi yang paling besar dibanding dengan delegasi negeri-negeri
lain. Hingga tuan rumah terpaksa harus bersusah-payah menyediakan tempat-
tempat untuk menampung. Aku tidak tahu, mengapa begitu banyak orang
diikutsertakan? Itu semua memerlukan uang, bukan? Lalu dari mana uang itu
didapat? Kami yang dari parlemen, aku tidak tahu lain, bukan main banyak dolar
yang kami terima yang sebagai uang saku. Aku tidak ingat berapa jumlah persisnya,
tapi ratusan kalau malah bukan ribuan.

Soal kedua, banyak sekali rombongan wartawan. Namun, bagaimanapun,


aku masih bisa – walaupun sulit – menerimanya. Tapi yang aku tidak mengerti,
mengapa juga begitu banyak pegawai dibawa! Pegawai-pegawai biasa, seperti
tukang ketik, tukang catat ... sangat boros. Sama sekali tidak efisien. Bukan
perasaan bangga yang timbul padaku waktu itu, tapi sebaliknya boros tenaga dan
tentu boros uang. Padahal, delegasi untuk konperensi itu sendiri tidak terlalu besar,
meskipun sudah besar juga jika dibanding dengan delegasi negara-negara lain.
Sama sekali tidak efisien. Bukan perasaan bangga yang timbul padaku waktu itu,
tapi sebaliknya, aku malu.

Ketiga, semua parpol mengirim pimpinan tertinggi masing- masing, yang


juga membawa pengiring para staf aktivis masing- masing – Kecuali PKI, cukup dua
orang ketuanya, Bung Aidit dan Bung Njoto

Pendek kata, delegasi ke Konperensi Aljazair yang gagal itu menjadi ramai
sekali. Seperti rombongan piknik para pembesar yang dibiayai dengan uang negara.
Penghamburan uang negara vang hạnya berakibat inflasi luar biasa. Lebih sia-sia
lagi karena Konperensi AA III, akhirnya batal diselenggarakan.

178
Entah terus ke mana rombongan pesiar para pembesar itu. Aku sendiri lalu
diberi tugas lain dari Komite Perdamaian di tanahair, yaitu menuju Helsinki untuk
menghadiri Konperensi Perdamaian Sedunia tahun 1965.

Barangkali pekerjaanku memang lebih banyak di luar, dan terlalu sedikit di


dalam negeri, sehingga perkembangan situasi di dalam negeri, yang akhirnya
memuncak dalam apa yang dinamakan "Peristiwa G30S" sama sekali di luar
pikiranku. Peristiwa maha tragis itu bagiku benar-benar seperti "halilintar di siang
bolong". Sama sekali aku tidak tahu, apalagi mengerti. Aku baru tahu setelah Nila,
anakku terbesar, yang ketika itu baru berumur sekitar 15 tahun, memberi kabar
tentang tragedi itu.*

179
28

SEBAGAI IBU ANAK-ANAKKU

TENTANG kehidupan keluarga merupakan masalah umum di kalangan para


aktivis, baik ormas apalagi orpol pada masa kami. Kehidupan sehari-hari keluargaku
memang berjalan wajar-wajar saja. Tapi ini berkat adanya tangan-tangan terampil
pembantu rumah tangga. Semuanya menjadi bertumpu pada jasa pembantu.
Seakan-akan tidak bisa lain. Sumber soalnya sebenarnya, karena irama kehidupan
pribadi yang ditundukkan secara total kepada irama kehidupan organisasi.

Aku tidak tahu, bagaimana masalah ini dihadapi dan dipecahkan dalam
kehidupan keluarga kawan-kawan aktivis yang lain. Demikian juga apakah kawan
aktivis laki-laki mempunyai pikiran dan perasaan yang sama seperti aktivis
perempuan. Tapi, jika aku mengambil contoh pada diriku sendiri, dengan jujur
harus kukatakan, bahwa aku baru bisa mengurusi kehidupan keluarga pada waktu
malam sebelum tidur. Itu pun terkadang tidak mungkin kulakukan, jika "tiba-tiba"
malam itu ada rapat organisasi atau lembaga, resmi dan non- resmi, yang aku
menjadi anggota atau bahkan memimpinnya. Waktu dengan anak-anak menjadi
sangat sedikit, dan itu pun sangat tidak menentu. Perhatian dan pengurusan pada
anak- anak, bahkan suami, dan soal ini-itu kerumahtanggaan – jika sekarang
kurenungkan kembali - harus kukalahkan demi urusan organisasi.

Anak-anak tidak pernah protes. Barangkali karena sudah sejak lahir, memang
begitulah irama keseharian alami, sehingga semuanya menjadi wajar-wajar saja.

180
Pada malam hari terkadang orangtua lengkap di rumah, terkadang tanpa
ayah, kami – aku dan anak-anak baru berkumpul dan duduk makan malam
bersama-sama. Lalu anak-anak belajar, dan aku atau ayah mereka duduk
"bersantai" sambil menunggui mereka, membantu mereka yang perlu ditolong
ketika mengerjakan pe-er. Pada petang dan malam hari sebagai ibu, aku
mempunyai aturan, tidak boleh satu orang pun yang absen. Makan bersama, duduk
bersama, dan kutunggui mereka belajar, atau kami bicarakan bersama jika ada
keluhan dari anak-anakku. Ada saja soal ini-itu yang terjadi. Kadang-kadang terjadi
pertengkaran luar biasa antara aku dan anak-anak. Mungkin karena aku terlalu
capek, sehingga menjadi tegang, lalu gampang marah dan suka main-perintah. Tapi
aku rasakan anak-anak itu sangat rukun dan kompak. Mungkin karena masing-
masing menjadi saling bergantung. Tujuh anak-anakku, dengan Nila yang paling
besar. Anakku dengan Mas Karno inilah sebenarnya yang kelak, pada masa-masa
sesudah Peristiwa G30S, ketika aku tidak bisa kembali ke tanahair dan Mas Priyo,
suamiku, ditahan di RTC Salemba, memainkan peranan sebagai ibu dan kakak bagi
enam adik-adiknya.

Begitulah aku mendidik disiplin, rasa kebersamaan, juga keberanian


mengeluh dan mengeluarkan pendapat pada anak- anakku. Aku kumpulkan mereka
di satu meja, dan kutanya satu-satu siapa yang mempunyai soal dan perlu dijawab.
Mungkin cara begini ini akan melembaga sebagai bentuk penanaman disiplin yang
keras? Aku tidak tahu. Tapi selain disebabkan oleh ketiadaan waktu, kupikir disiplin
perlu ditanamkan pada jiwa anak-anak sejak usia dini.

Hari berikut, jika matahari sudah bersinar, kami sudah ditunggu acara
masing-masing. Ayah-ibu pergi ke tugas mereka, anak-anak berangkat ke sekolah.
Tangan-tangan pembantu di sini sudah mulai harus sibuk. Pada akhir week-end aku
181
selalu berusaha untuk bersama anak-anak. Biasanya kuajak mereka bertandang ke
rumah keluargaku di Kebayoran, dan di sana mereka bisa bertemu dengan saudara-
saudara sepupu dan oom-oom serta tante-tante mereka.

Kemudian terjadi Peristiwa 65, dan aku tidak bisa kembali berkumpul suami,
aku seperti tidak merasa kehilangan apa-apa. Satu matarantai peristiwa terputus
dan hilang, tapi tidak kurasakan sebagai kehilangan. Sebagai akibat Peristiwa itu,
aku hanya merasa kehilangan anak, dan aku merasa bersalah. Ada rasa sesal jika
aku merenungkan masa-laluku. Mengapa aku, misalnya, pernah memukul anakku?
Mengapa aku waktu itu begitu kejam terhadap anak? Lalu terbayang anak-anak itu.
Tanpa kata-kata. Tapi ia menuding tajam padaku: "Kenapa kau memukul aku?"

Ya, mengapa aku memukul anakku? Padahal kami, aku dan Priyo, sudah
sama-sama berjanji, anak-anak tidak boleh disakiti. Omong keras boleh, tapi tidak
boleh main pukul.

Waktu itu, anakku berumur 6 tahun, naik di atas sumur. Dia baru saja melihat
pertunjukan sirkus Tiongkok. Dia bermaksud menirukan. Sumur itu sumur timba,
dengan palang- palang kayu di atas lubangnya, dan tali timba menjulur ke bawah.
Anak itu sudah berdiri di atas kayu sambil teriak-teriak dan tertawa-tawa, bersahut-
sahutan dengan suara-suara tetangga yang khawatir memperingatkan
keselamatannya. Aku mendengar semuanya itu dari kamar.

Ketika aku keluar dan melihatnya, aku menjadi gemetar dan terkencing-
kencing. Tapi aku tidak berani berteriak atau berbuat apa-apa. Aku hanya melihat
dan menunggu dia turun sendiri. Kalau anak itu terjatuh, aku akan ikut mencebur
ke dalam sumur. Menyelamatkan atau mati bersama dengannya. Itu saja yang
terpikir padaku.

182
Tapi sesudah dia turun aku menjadi seperti kerasukan setan. Perasaan kasih
sayangku kepadanya tiba-tiba hilang, dan ada hanya perasaan marah luar biasa.
Aku ambil sapu lidi dan kusabet pahanya sampai menjadi merah. Anak itu tidak
menangis, hanya menatap tajam padaku. Dia, juga anak-anakku yang lain, tidak
pernah disabet atau disakiti, baik oleh bapak maupun ibunya. Tapi waktu itu aku
heran pada diriku sendiri: mengapa aku tega menyakiti anakku!

Tiga bulan dia tidak mau omong padaku. Suatu hari aku malah mendengar
dia bilang pada ayahnya: "Papa cari Mama lain. Aku ndak mau Mama ini!"

Hatiku juga merasa sangat disakiti mendengar kata-katanya itu. Karena itu
aku juga tidak mau minta maaf padanya, dan juga membalas tidak mau bicara
kepadanya.

Banyak soal-soal kecil yang seharusnya tidak aku lakukan terhadap anak-
anakku. Jika aku mengingat kembali semuanya itu, yang ada hanya penyesalan.
Bagaimana aku bisa menjadi begitu bodoh? Bagaimana aku menuntut anak enam
tahun berpikir matang setua ibu atau bapaknya? Sebaliknya, bagaimana aku yang
seorang ibu bisa ngambek, dan menjadi kekanak-kanakan?

Kami membangun kebiasaan berkumpul dengan semua anak-anak setiap


petang sesudah makan malam bersama-sama. Di dapur kami mempunyai meja
besar. Di situ anak-anak belajar dan membuat pe-er masing-masing. Semua anak-
anak di situ, kecuali Nila yang sudah besar – ketika itu sudah di SMA dan sudah
masuk organisasi IPPI. Salah satu dari kami-kalau tidak aku, ya bapaknya-selalu
menunggui mereka. Tas sekolah dan buku-buku semua ditaruh di atas meja hitam
besar itu. Priyo biasanya rajin memeriksa dan "keras" perhatiannya dalam hal ini.
Buku harus bersih, tidak boleh terlipat, kalau ada flek bekas minyak atau makanan

183
harus dibersihkan. Kepada anak-anak kami bagi tugas. Setiap minggu selalu ada
anak yang bertugas piket. Memeriksa, merapikan dan membersihkan yang kotor
jika perlu. Tujuan kami ialah agar anak-anak itu bisa selalu saling memperhatikan,
saling mengontrol dan saling bantu-membantu.

Tugas mereka tidak hanya terbatas soal peralatan sekolah, tapi juga soal-soal
pekerjaan rumahtangga sehari-hari. Misalnya, merapikan tempat tidur setiap
bangun tidur, mencuci piring dan cangkir sesudah makan. Mencuci pakaian yang
kecil-kecil, misalnya pakaian dalam, harus dicuci sendiri-sendiri di sumur, tidak
boleh di kamar mandi. Juga pekerjaan mengisi bak kamar mandi sampai penuh, 60
timba! Anak yang masih kecil, misalnya Nusa ketika itu berumur 6 tahun, bertugas
membantu Godam kakaknya. Kakaknya yang menimba, dan Nusa yang
menumpahkannya ke bak mandi. Tugas-tugas lain, seperti ngepel lantai, mencuci
pakaian besar dan setrika dan lain-lain, itu tugas keponakan-keponana yang
menumpang di Mbok Minah. Untuk hal memasak, terkadang Nila suka
mengerjakannya sendiri atau bersama-sama Simbok.

Kami didik anak-anak agar, bukan hanya suka dan mau, tapi mencintai kerja.
Kerja apa saja. Tapi dasar anak-anak, terkadang terjadi hal yang lucu-lucu. Ini
pernah terjadi, misalnya, pada Nusa. Ketika itu ia mendapat tugas mencuci piring.
Sesudah piring kotor dicuci dengan sabun, mengira tidak ada saudaranya yang
melihat, langsung dimasukkan di ember. Mungkin karena malas, atau ingin cepat
selesai dan bisa bermain, ia tidak menggunakan abu-gosok, sehingga minyak dan
lemak tidak bisa tercuci bersih. Lalu ditaruhnya piring-cangkir cuciannya itu di rak.
Selesai. Dan ia pergi. Petang hari, ketika kami semua sudah berkumpul di meja
dapur, Sasya angkat bicara.

184
"Nusa harus kritik!"

Aku ketawa, karena maksud Sasya tentu saja "otokritik”.

"Kritik apa?

Nusa ndak salah!"

"Itu piring-piring itu!"

"Nusa udah bersihkan!"

Lalu Sasya ambil salah satu piring. Dia perlihatkan piring itu pada kami
semua.

"Lihat nih! Masih ada gemuknya ...

Sasya meminta Nusa "kritik". Aku tertawa. Bapaknya menengahi. Tidak usah
otokritik. Tapi yang penting Nusa mau mengakui, dan mau mencuci kembali.

Di luar sudah gelap. Tapi Nusa dengan tanpa protes mengambil lampu,
membawanya keluar, juga semua piring- cangkir yang menjadi sumber masalah. Ia
mencuci ulang. Sebagai penebusan untuk ulah sendiri yang tidak
bertanggungjawab. Selesai menaruh semuanya di rak, aku dekati Nusa dan kucium.
Saudara-saudaranya semuanya memberi salam kepadanya. Lalu kami tidur dengan
tenteram.

Kukira soal-soal kecil begitu selalu ada di tengah keluarga dengan anak
banyak. Kecil kelihatannya, tapi kalau tidak diperhatikan, bisa punya akibat besar
dan panjang. Satu contoh lagi. Godam, anakku laki-laki yang lain, suatu hari
mencuri uang kakaknya, Nila. Kami berdua, aku dan bapaknya, tidak berkomentar.
Karena mereka sendiri telah menyelesaikannya dengan baik. Godam dikritik adik-
adiknya, sampai menjadi merah mukanya. Airmatanya mengalir.

185
"Godam tahu?" Kata Sasya sengit. "Bikin kami semua malu. Menjadi kakak
pencuri!"

Kasihan betul anak itu. Tapi aku biarkan. Karena menurutku cara
penyelesaian yang demikian itu baik. Selain mereka menjadi terbiasa berani saling
terbuka, juga bahwa penyelesaian itu timbul dari inisiatif mereka sendiri. Tanpa
ditekan atau dipengaruhi orangtua.*

186
29

PENUTUP

KETIKA itu 1965. Tidak lama sebelum terjadi malapetaka nasional yang
disebut Peristiwa G30S. Aku malah sama sekali tidak menduga peristiwa setragis
itu akan terjadi.

Anak-anak masih kecil-kecil. Nila anak terbesar baru berumur 12 tahun.


Selain itu di rumah, jika bapaknya juga sedang bekerja, tidak ada orang tua..

Aku ingat, sebelum aku berangkat ke Aljazair dan terus ke Chile, kutinggali
hanya dengan segebung uang menahan kertas. Tidak kuhitung lagi berapa. Firasat
seperti sudah memberi isyarat, bahwa akan terjadi malapetaka besar, dan bahwa
aku tidak akan pernah kembali untuk waktu yang sangat lama!

Nila itulah yang membawa lari, untuk menyelamatkan diri, enam adik-adik
Nila, ketika rumah kami diserbu. Sampai sekarang setiap aku mengenang ke
belakang, pada sekitar hari- hari itu, sulit aku genangan airmataku.

187
Catatan AKhir
BAB 1

1. Wawancara ini dikerjakan sejak 1995 dan seterusnya, sehingga pada tahun
2006 ini, catatan usia yang 70 tahun harus dibaca sebagai 81 tahun.

2. Peribahasa Belanda, berarti, "kakinya kecil kupingnya besar" "Anak- anak


kecil bisa menangkap lebih daripada yang disangka" (Nederlands-
Indonesisch Woordenboek - Susie Moeimam en Hein Steinhauer, 2004).

3. Didirikan pada 1919 dengan tujuan menggalakkan perkembangan sosial,


moral, intelektual dan ekonomi kalangan masyarakat Indo-Eropa di Hindia
Belanda; beranggota kira-kira 14.000 orang tersebar di seluruh kawasan
Hindia Belanda saat itu.

4. Adat tatakrama masyarakat Jawa di kalangan orang laki-laki, jika yang muda
berhadapan dengan yang tua, atau yang "keeil" berhadapan dengan "yang
besar"; yaitu dengan berdiri sambil menangkupkan kedua ujung tangan di
depan selangkang.

5. Terjemahan kalimat tercetak miring : "He, si gendut cilik hitam!" ... "Enak
berenang kamu, ya?"

188
BAB IV

1. Di awal kemerdekaan kembali dari Burma sebagai romusha, Atmosugito


menjadi anggota Pesindo, selanjutnya menjadi tapol "Peristiwa Madiun"; di
"zaman RIS" menjadi salah seorang anggota MMC, Merapi-Merbabu
Complex, kelompok bersenjata yang anti-KMB (Prof.Sumantri Praptokusumo
SH menyebutnya sebagai "barisan sakit-hati"); kemudian memimpin majalah
umum berbahasa Indonesia dan Jawa, Pesat dan Waspada di Yogyakarta;
salah seorang anggota pimpinan harian CDJ (Comite [PKI] Daerah
Yogjakarta); menjadi tapol "Peristiwa G30S", bekerja di Dewan Gereja
Indonesia di Jakarta; dan meninggal tidak lama sesudah dibebaskan dari
tahanan.

2. Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service; Dinas Intelijen


Pasukan Belanda; didirikan pada masa PD II di Australia, sebagian merupakan
bagian dari NICA; dikepalai oleh Jendral S.H. Spoor.

3. Ayah dua ilmuwan Belanda kakak-beradik, Nico dan Henk Schulte- Nordholt,
keduanya mereka ahli tentang masalah keindonesiaan.

BAB V

1. Go Gien Tjhwan sekarang tinggal di Amsterdam, Belanda; wakil Kantor Berita


"Antara" pertama sesudah Indonesia merdeka untuk Negeri Belanda/Eropa

189
Barat; bersama Sunito pernah diusir dari Belanda karena kegiatan politik
anti-kolonialisme (Belanda); peserta pendiri "Komitee Indonesie" yang
diprakarsai dan dipimpin oleh Prof. W.F. Wertheim.

2. Nama julukan untuk Ibu Bintang Sudibio; seorang penggubah lagu anak-anak
dan pengasuh dan pendidik anak-anak melalui pengajaran menyanyi; seperti
juga halnya dengan Pak dan Bu Kasur-- nama julukan dari K. Suryana. Ketiga
pendidik musikal ini terkenal selama tahun 50-60-an, terutama melalui acara
tetap siaran studio RRI Jakarta.

3. Salah seorang tokoh pemuda pejuang anti-fasis yang bergerak legal, di


zaman "sekitar proklamasi" termasuk eksponen penting dari kelompok
“Pemuda Menteng 31"; ia yang menjadi utusan/ penghubung antara
Pemuda Menteng 31 yang menjelang 17 Agustus 1945 di Rengasdengklok
dengan Bung Karno di Jakarta; pemimpin Pesindo; menjadi Menteri Pemuda
pada tahun-tahun pertama umur RI; Gubernur Militer di Solo menjelang
Peristiwa Madiun; "hilang" pada minggu-minggu pertama sesudah Peristiwa
G30S 1965, seketika ia mendarat pulang dari kunjungan ke RRT.

4. Tentang tokoh "Mae da Surabaya" ini juga disebut-sebut dalam kaset


wawancara Sidik Kertapati; Hersri Setiawan, Den Haag sepanjang 1990-an.

190
BAB VI

1. Sekitar tahun 1993 atau 1994; percakapan itu dalam satu acara semacam
talkshow di salah satu siaran teve "Nederland 2".

2. Jetty Zain, anak ahli bahasa Indonesia Prof. Muh. Zain, adik Zairin Zain,
Dubes RI pertama untuk Amerika Serikat, belakangan menjadi diplomat;
Harmini, belakangan menjadi istri Ruslan Widjajasastra, yang ditembak
mati oleh rezim Orde Baru Suharto, dalam kaitan dengan Peristiwa G30S
1965.

3. Salah seorang tokoh pemuda dalam "Peristiwa Surabaya" 10 November


1945; belakangan tokoh terkemuka dalam "Peristiwa Madiun" 1948. lihat
Hersri Setiawan, Negara Madiun? (Indonesia Tera: Yogyakarta, 2004).

BAB VIII

1. 'Kata "zus" (Bel), berarti "kakak perempuan" atau “mbakyu" (Jaw);


"zusje", adik perempuan.

BAB IX

1. Menurut Aboe Bakar Loebis, Kilas Balik Revolusi (Jakarta: UI Press, 1992),
hlm. 123, nama gedung itu "Balai Mataram"; ruangan kongres bertempat di
bekas gedung sositet Belanda "De Vereniging".

2. Lihat Aboe Bakar Loebis, ibid., kongres berlangsung selama dua hari, yaitu
tanggal 10 dan 11 November 1945.
191
3. Akronim dari Netherlands Indie Civil Administration; Pemerintah Hindia
Belanda dalam pelarian di Australia, sebagai penerus dari pemerintah Hindia
Belanda yang telah menyerah pada Jepang pada 4 Maret 1942. NICA
dipimpin oleh H.J. van Mook, dan berkedudukan di Brisbane.

4. Lihat juga dalam Hersri Setiawan, Negara Madiun? (Yogyakarta: Indonesia


Tera, 2003, 2004).

BAB X

1. Belakangan menjadi istri Rudito, Ketua III DPP Pesindo; sekarang tinggal di
Amsterdam, Belanda.

2. Nuk alias Kapti belakangan menjadi istri Suharyo, salah seorang pimpinan
DPP HIS (Himpunan Sarjana Indonesia); dalam masa pasca- G30S 1965
Suharyo hidup sebagai eksil dan pernah tinggal di Swedia.

BAB XI

1. Ludruk "Marhaen" habis riwayatnya tidak terlalu lama sesudah Peristiwa G30S
1965, bersama dengan tamatnya riwayat PKI dan Lekra di Jawa Timur; anggota-
anggotanya banyak yang dibunuh dan ditahan, termasuk ke pulau pengasingan
Pulau Buru, antara lain Cak Buang dan Bung Dasul, juga Cak Samsudin, ketuanya
periode "terakhir". Samsudin meninggal tidak lama setelah kembali dari Buru
(1979).

192
BAB XII

1. Pada tahun-tahun sebelum pecah Peristiwa G30S, Djaetun memimpin


Universitas Rakyat (Unra) cabang Yogyakarta. Ia meninggal di Yogya, tidak lama
sesudah keluar dari Rumah Penjara Wiragunan, tempat penahanan tapol G30S
Yogyakarta.

BAB XIII

1. Lihat Jacques Leclerc, Amir Sjarifuddin Antara Negara dan Revolusi, terj.
Hersri.S (Jaringan Kerja Budaya, 1993) hlm. 49.

BAB XV

1. Menurut Ruth T.McVey, dalam The Calcuttä and the Southeast Asia Uprising,
bukan Amin tapi seorang bernama Samsu Anwar; catatan ini juga dikutip oleh
Ann Swift dalam The Road to Madiun.

2. Perjanjian Renville merupakan kemunduran bagi perjuangan bangsa-bangsa


yang sedang berjuang untuk kemerdekaan. Tapi pemuda Indonesia menolak
dan akan terus berjuang.

BAB XVII

1. Untuk pidato radio Sukarno dan jawaban Musso sekitar setengah jam
kemudian, pada 17 September 1948 petang hari, baca Hereri Setiawan,
Negara Madiun? di bagian Lampiran.

193
2. Volksverhuizing (Bel); bisa disamakan dengan ungkapan "bedhol desa" (Jaw).

3. Pada wawancara dengan RM Gondho Pratomo, antara lain tersebut nama


Pramudji sebagai Ketua Perbepsi; tokoh yang juga pernah menjadi Sekretaris
Sultan HB IX ketika ia memangku jabatan sebagai Gubernur Militer.
(wawancara dengan Hersri Setiawan sepanjang tahun '90-an, di Vlaardingen-
Oost, Belanda).

BAB XIX

1. Besukan, istilah lazim di kalangan tapol Peristiwa G30S 1965, yaitu kiriman
makanan-minuman dari keluarga tapol. Tentang peristilahan kehidupan
tapol, lebih lanjut baca Hersri Setiawan, Kamus Gestok (Yogyakarta:
Galangpress, 2003).

BAB XXI

1. Harian Pedoman dibredel pada 7 Januari 1961, dengan alasan terlibat dalam
gerakan separatisme di Sumatra dan Sulawesi Selatan (Dewan Banteng dan
PRRI/Permesta).

2. Sesungguhnya ia bernama Tio Oen Bik, seorang dokter, tinggal di Nederland.


Semasa PD II bergabung dalam gerakan partisan anti-fasis (Franco) di
Spanyol; pada masa sesudah PD II beberapa lama tinggal di RRT (Yenan); dia
jugalah yang menolong kelahiran bayi anak pertama Mao Ze-dong Jiang Xing.
Tentang Tio Oen Bik terdapat dalam buku The Call of Spain, Nancy Tsou dan

194
Len Tsou, (2001); dalam wawancara RM Gondho Pratomo dengan Hersri
Setiawan (1996), dan dalam percakapan pribadi Joop Morrien, eks-wartawan
De Waarheid, dengan Hersri Setiawan (2004).

BAB XXII

1. Untuk Yadau, baca sana-sini, antara lain, Negara Madiun? dan Sedjarah
Kodam VII "Diponegoro", terbit terbatas, disusun oleh Biro Sejarah
Kodam VII Diponegoro (sekarang Kodam V): Mayor Purnomo, Lettu
Ruslan dan Setiawan Hs (1962).

BAB XXV

1. Menurut RM Gondho Pratomo Ketua Perbepsi bernama Pramudji.

BAB XXVI

1. Sebuah kampung miskin termasuk kawasan Rawasari, Jakarta Timur, yang


sampai akhir tahun 70-an pun masih merupakan lahan-lahan kosong penuh
genangan air, yang banyak dimanfaatkan penduduk untuk menanam
kangkung dan empang ikan tawar.*

195
TENTANG PENULIS
Francisca C. Fanggidaej. Lahir pada 16 Agustus 1925. la sekarang tinggal di
Zeist, sebuah kota kecil di Provinsi Utrecht, Belanda. Lebih dari seperempat abad
sudah ia tinggal jauh dari tanahair sendiri, sebagai akibat dari "Peristiwa G30S" yang
terjadi sekitar empat puluh tahun lalu.

Francisca C. Fanggidaej lahir dari ibu Magda Mael, perempuan dusun dari
Pulau Timor, dan ayah Gottlieb Fanggidaej, seorang terpelajar anak pendeta dari
Pulau Rote. Ia bersekolah di "Stovia" Jakarta. Menjelang invasi Jepang (1942), ia
dikeluarkan dari sekolah, karena terlibat dalam aksi pernyataan ketidak-puasan
mahasiswa terhadap pemerintah Hindia Belanda ketika itu. Namun kemudian ia
berhasil masuk dalam jajaran amtenar pemerintah kolonial. Sebagai pegawai tinggi
ahli untuk urusan bangunan air, ia menjabat sebagai Hoofdopzichter di Burgelijke
Openbare Werken. Karena kedudukannya yang tinggi itu, ia masuk dalam golongan
masyarakat "yang dipersamakan" dengan "Belanda Putih".

Sampai menjelang berumur 20 tahun, ketika Jepang masuk di Jawa (1942),


Siska tumbuh dan besar sebagai "Belanda Hitam". Sejak jaman pendudukan Jepang
itulah ia mulai belajar berbahasa Indonesia, menyanyikan lagu "Indonesia Raya",
mengenali peta tanahair Indonesia, dan belajar mengenal serta mencintai
bangsanya sendiri. Ironinya justru berkat dan dalam penindasan Jepang! Siska sejak
itu merasa telah "menemukan rumahnya sendiri". Tentang semuanya itu ia pelajari
terutama berkat asuhan Gerrit Siwabessy, agaknya seorang tokoh pimpinan
gerakan ilegal pemuda nasionalis Maluku saat itu. Dari sejak itulah gadis remaja
Francisca Fanggidaej terus didewasakan dan mendewasakan diri di tengah badai
perjuangan anti-kolonialisme. Maka sudah sejak "hari pertama" Revolusi Pemuda

196
di Surabaya, ia berada di tengah-tengah “Arek-Arek Suroboyo", bangkit dengan
gagah-berani menyongsong serbuan tentara Sekutu (Gurkha-Inggris) dan Belanda
(Nica). Siska bergabung dalam PRI (Pemuda Republik Indonesia).

Pada hari-hari sekitar Hari Pahlawan 1945 di ibukota RI, Yogyakarta,


dilangsungkan Kongres Pemuda RI I. Sebagai salah tokoh muda revolusioner, ia
ditunjuk ikut seorang dalam delegasi pemuda Surabaya ke kongres itu. Tetapi
Delegasi Pemuda Surabaya terpaksa meninggalkan Yogyakarta lebih cepat. Kota
Surabaya dihujani bom dan meriam oleh Sekutu. Mereka meninggalkan Gedung
Kongres, dengan satu tekad: "Merdeka atau Mati!"

Dalam peranannya sebagi pemuda pejuang, pada awal 1946 Francisca


Fanggidaej ditugasi BKPRI (Badan Kongres Pemuda RI) untuk melakukan "Safari
Revolusi Pemuda" ke berbagai negeri di Eropa, dan kemudian juga untuk hadir di
Konferensi Pemuda Asia Tenggara yang tengah berjuang, yang dikenal sebagai
"Konferensi Kalkuta". Tugas yang diembannya sederhana saja. Pertama,
membukakan mata dunia tentang Revolusi Pemuda Indonesia; dan kedua, mencari
dukungan dunia untuk berseru bersama dengannya: "Stop the War!"

Ia meninggalkan ibukota RI, Yogyakarta, berbekal sehelai paspor kertas


merang, ditandatangani Perdana Menteri di lapangan terbang Maguwo, beberapa
menit sebelum pesawat tỉnggal landas. Tanpa uang, tanpa pakaian. Kopornya
penuh brosur, foto dan poster. Semuanya tentang Indonesia yang Berjuang.

197
198

Anda mungkin juga menyukai