Anda di halaman 1dari 15

RESUME

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II


Tentang
ASKEP BENIGNA PROSRAT HIPERPLASIA (BPH)

OLEH :

SALSABIL SYAHPUTRI
203310712

DOSEN PEMBIMBING : Ns. Yosi Suryarinilsih, M. Kep., Sp. Kep. MB

PROGRAM STUDI SARANA TERAPAN KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG
PADANG
2022
KONSEP DAN ASKEP BPH

A. Definisi
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan
oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar /
jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika. BPH adalah
pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun )
menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius.
Dapat disimpulkan bahwa BPH (Benigna Prostatic hyperplasia) merupakan
Pembesaran pada kelenjar prostat yang dapat menyumbat aliran urin yang sering
terjadi umumnya pada pria

B. Anatomi
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan
membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 32,5 cm
dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskuler dan
glandular yang terbagi dalam beberapa daerah atau zona yaitu : perifer, sentral, transisional,
prepostatik sfingter dan anterior.
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan
ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra
posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi.
Cairan ini merupakan ± 25% dari volume ajakulat Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak,
mengakibatkan uretra posterior membuntu dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran
kemih .Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional (Purnomo, 2000).
McNeal membagi kelenjar prostat menjadi 3 bagian:
1. Zona sentral
2. Zona perifer 75% volume prostat normal. Kanker prostat berkembang dari zona ini.
3. Zona transisional.5-10% volume prostat normal) ini merupakan bagian dari prostat yang
membesar pada hiperplasia prostat jinak.
Kelenjar prostat yang sehat seperti ukuran kenari, letaknya tepat di bawah blader dan di
atas rektum. dan mengelilingi uretra. Perannya untuk menghasilkan cairan kental yang membuat
sebagian besar air mani pria. Otot prostat membantu sperma bergerak melalui saluran ejakulasi,
dan juga membantu membuka kandung kemih untuk memungkinkan urin melewati uretra.
dengan demikian, kelenjar prostat yang sehat diperlukan untuk kinerja yang memuaskan dari
kedua fungsi seksual dan saluran kencing.

Fisiologi Prostat Sekret kelenjar prostat seperti cairan susu, sekret berasal dari vesikula
seminalis yang merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi sejumlah asam
sitrat sehingga pH nya agak asam yaitu 6,5 Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja
sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat
dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga menghasilkan
cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula
seminalis 46- 80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh androgen bodies
dan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol (Mulyono, 1995).

C. Tanda Dan Gejala


Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

D. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang
pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya
dengan BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron
2. Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari
kelenjar prostat mengalami hiperplasi
3. Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
4. Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
5. Interaksi stroma - epitel
6. Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
7. Berkurangnya sel yang mati
8. Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.
9. Teori sel stem
10. Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit .

E. Patofisiologi
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun.
Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologi,anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal
menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular pada
prostat.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan
pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah
terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah prostat
meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi
atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila
keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas.(Basuki B Purnomo,2008)
1. Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu :
1. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran
awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema yang terjadi
pada prostat yang membesar.
2. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
3. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi
resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis
miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
4. Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak
lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
5. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari
korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
6. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi)
jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga terjadi
kontraksi involunter, 7. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan
berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-
buli mencapai complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi
tekanan spingter.
7. Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah submukosa pada
prostat yang membesar.
8. Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau uretra prostatik,
sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau retensi urin. Akibatnya terjadi
dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal.
9. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin tetap berada
dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk organisme infektif. Karena
selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu tersebut dapat pula
menimbulkan sistiitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.(Azizah 2018)

F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :
1. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus
sfingter anus mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam rectum dan prostat.
2. Ultrasonografi (USG) Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat juga
keadaan buli-buli termasuk residual urine.
3. Urinalisis dan kultur urine Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC
(Red Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan atau hematuria
(prabowo dkk, 2014).
4. DPL (Deep Peritoneal Lavage) Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya
perdarahan internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan abdomen dan
diperiksa jumlah sel darah merahnya.
5. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi
ginjal. Hal ini sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH.
6. PA(Patologi Anatomi) Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi.
Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untukmengetahui apakah hanya
bersifat benigna atau maligna sehingga akan menjadi landasan untuk treatment selanjutnya.
(Rakhmawati 2011)
G. Komplikasi
Komplikasi Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harusmengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria
akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasidan hematuria. Selain itu,
stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat,
2005)

H. Treatment dan jelaskan peran perawat pada treatment pasien


Modalitas terapi BPH adalah :
1. Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung
keadaan klien
2. Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai
penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa
repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
3. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b. Klien dengan residual urin  100 ml.
c. Klien dengan penyulit.
d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
f. Pembedahan dapat dilakukan dengan : TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat 
90 - 95 % )
g. Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
h. Perianal Prostatectomy
i. Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
4. Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, Terapi Ultrasonik)
Peran Perawat pada Treatment Pasien
1. Perawat membantu pasien ke ruangan pemeriksaan/pembedahan.
2. Perawat memberikan informasi mengenai tindakan yang akan dilakukan nantinya agar
pasien tidak merasa binggung dan bisa berinteraksi dengan mudah mengenai hasil
pemeriksaan nantinya.
3. Pasien juga dapat berkonsultasi dengan perawat mengenai penyakit yang dia hadapi.
4. Melakukan pengkajian kepada klien apa penyebab terjadinya resistensi urin.
5. Perawat meminta izin dan pengisian informent consent atas tindakan yang akan
dilakukan.
6. Perawat melakukan tindakan dan setelah melakukan tindakan perawat memberikan
edukasi mengenai pencegahan agar penyakit tersebut tidak kembali menyerang

I. Masalah keperawatan/ dx kep yang mungkin muncul (semua kemungkinan dx kep yg


diangkat harus ada di WOC) beserta intervensinya  (Dx kep berdasarkan SDKI dan
intervensi berdasarkan SIKI)

Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain


1. Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) antara lain:
hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi
disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif dapat berupa urgensi, frekuensi serta disuria.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui
adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada
keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien
akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,
batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi
sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher
dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
 Derajat I = beratnya  20 gram.
 Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
 Derajat III = beratnya  40 gram.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya
keganasan.
4. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin
dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
a. Flow rate maksimal  15 ml / dtk = non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c. Flow rate maksimal  10 ml / dtk = obstruktif.
5. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a. BOF (Buik Overzich ) : Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
b. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar
prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat
dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.
c. IVP (Pyelografi Intravena), Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan
adanya hidronefrosis.
Pemeriksaan Panendoskop, Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli

No Diagnosis Intervensi

1. Retensi Urine b.d peningkatan Manajemen Eliminasi Urine


tekanan uretra a. Observasi
 Identifkasi tanda dan gejala retensi atau
inkontinensia urine
 Identifikasi faktor yang menyebabkan
retensi atau inkontinensia urine
 Monitor eliminasi urine (mis. frekuensi,
konsistensi, aroma, volume, dan warna)
b. Terapeutik
 Catat waktu-waktu dan haluaran
berkemih
 Batasi asupan cairan, jika perlu
 Ambil sampel urine tengah (midstream)
atau kultur
c. Edukasi
 Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran
kemih
 Ajarkan mengukur asupan cairan dan
haluaran urine
 Anjurkan mengambil specimen urine
midstream
 Ajarkan terapi modalitas penguatan otot-
otot pinggul/berkemihan
 Anjurkan minum yang cukup, jika tidak
ada kontraindikasi
d. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat suposituria
uretra jika perlu
2. Nyeri Akut b.d agen penyebab Manajemen Nyeri
pencedera fisiologis a. Observasi
 Identifikasilokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitasnyeri.
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri non verbal.
 Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri.
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
hidup.
 Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan.
 Monitor efek samping penggunaan
analgetik.
b. Terapeutik
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri.
 Control lingkungan yang memperbera
tnyeri.
 Fasilitasi istirahat dan tidur.
 Pertimbangan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri.
c. Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri.
 Jelaskan strategi meredakannyeri.
 Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri.
 Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat.
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri.
d. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu.
3. Ansietas b.d ancaman terhadap Reduksi Ansietas
kematian a. Observasi
 Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
(mis. Kondisi, waktu, stressor)
 Identifikasi kemampuan mengambil
keputusan
 Monitor tanda ansietas (verbal dan non
verbal)
b. Terapeutik
 Ciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan
 Temani pasien untuk mengurangi
kecemasan , jika memungkinkan
 Pahami situasi yang membuat ansietas
 Dengarkan dengan penuh perhatian
 Gunakan pedekatan yang tenang dan
meyakinkan
 Motivasi mengidentifikasi situasi yang
memicu kecemasan
 Diskusikan perencanaan realistis tentang
peristiwa yang akan datang
c. Edukasi
 Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang
mungkin dialami
 Informasikan secara factual mengenai
diagnosis, pengobatan, dan prognosis
 Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
pasien, jika perlu
 Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai kebutuhan
 Anjurkan mengungkapkan perasaan dan
persepsi
 Latih kegiatan pengalihan, untuk
mengurangi ketegangan
 Latih penggunaan mekanisme pertahanan
diri yang tepat
 Latih teknik relaksasi
d. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat anti ansietas,
jika perlu

J. WOC
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Lailatul. 2018. “Program studi d-iii keperawatan akademi keperawatan panti waluya malang
2018.”
Rakhmawati, Puspita indah. 2011. “Asuhan Keperawatan Pada..., Puspita Indah Rakhmawati,
Fakultas Ilmu kesehatan UMP, 2016 7.” : 7–33.
Bachtiar, S. M. (2019). Pengaruh Pmr (Progressive Muscle Relaxation) Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri
Pada Pasien Post Op Bph (Benign Prostate Hiperplasia). Media Keperawatan: Politeknik Kesehatan
Makassar, 10(2), 92. https://doi.org/10.32382/jmk.v10i2.1320

Bimandama, M. A., & Kurniawaty, E. (2018). Benign Prostatic Hyperplasia dengan Retensi Urin dan
Vesicolithiasis Benign Prostatic Hyperplasia with Urine Retention and Vesicolithiasis. Jurnal
Agromedicine Unila, 5(2), 655–661.

Febrianto, D. (2015). GAMBARAN SENSASI BERKEMIH PASIEN POST OPERASI TRANSURETHRAL


RESECTION OF THE PROSTATE (TURP) YANG DIBERI TINDAKAN BLADDER TRAINING DI
RSUD TUGUREJO SEMARANG. Acta Universitatis Agriculturae et Silviculturae Mendelianae
Brunensis. http://publications.lib.chalmers.se/records/fulltext/245180/245180.pdf%0Ahttps://
hdl.handle.net/20.500.12380/245180%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.jsames.2011.03.003%0Ahttps://
doi.org/10.1016/j.gr.2017.08.001%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.precamres.2014.12.0

Purwanto, H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II.

PPNI SDKI,SIKI,SLKI

Anda mungkin juga menyukai