Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN KESEHATAN REPRODUKSI


DI RS TK III 04.06.01 WIJAYAKUSUMA PURWOKERTO
KABUPATEN BANYUMAS

Untuk Memenuhi Persyaratan Target Praktik Semester II


Stage Kesehatan Reproduksi Program Studi Profesi Bidan

Disusun Oleh :

NISMASARI ULFI MULYANTI


P1337424820041

PRODI PROFESI BIDAN SEMARANG JURUSAN KEBIDANAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
TAHUN 2021

1
2

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Asuhan Kebidanan Kesehatan Reproduksi telah diperiksa dan


disahkan pada tanggal April 2021

Purwokerto, April 2021


Pembimbing Institusi Praktikan

Isti Rokhmanti, S.SiT Nismasari Ulfi Mulyanti


NIP 198703272008122001
NIM: P1337424820041
Pembimbing Institusi

Dr. Runjati, M.Mid


NIP. 19741114 199803 2 001

BAB I
3

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan yang menunjukkan kondisi
kesehatan fisik, mental, dan sosial seseorang dihubungkan dengan fungsi dan
proses reproduksinya termasuk di dalamnya tidak memiliki penyakit atau
kelainan yang mempengaruhi kegiatan reproduksi tersebut. Masalah kesehatan
reproduksi dapat terjadi sepanjang siklus hidup manusia. Status perempuan di
masyarakat merupakan penyebab utama masalah kesehatan reproduksi yang
dihadapi perempuan, karena menyebabkan peremuan kehilangan kendali
terhadap kesehatan, tubuh, dan fertilitasnya. Perempuan lebih rentan dalam
menghadapi resiko kesehatan reproduksi seperti kehamilan, melahirkan, aborsi
yang tidak aman, dan pemakaian alat kontrasepsi. Berdasar struktur alat
reproduksinya, perempuan lebih rentan secara sosial maupun fisik terhadap
penularan IMS (Kemenkes RI, 2018).
Masalah kesehatan reproduksi, diantaranya penyakit yang berkaitan
dengan sistem reproduksi. Kista ovarium adalah suatu penyakit ganguan organ
reproduksi wanita. Kista ovarium merupakan salah satu tumor jinak ginekologi
yang paling sering dijumpai pada wanita dimasa reproduksinya. Kista banyak
terjadi pada wanita usia subur atau usia reproduksi (Nurmayanti, 2011).
Angka kejadian kista ovarium di Indonesia mencapai 37,2%, sebanyak
23.400 orang dan meninggal sebanyak 13.900 orang. Angka kematian yang
tinggi ini disebabkan karena penyakit ini pada awalnya bersifat asimptomatik dan
baru menimbulkan keluhan apabila sudah terjadi metastatis sehingga 60- 70 %
pasien datang pada stadium lanjut. Beberapa faktor resikonya seperti nullipara,
melahirkan pertama kali pada usia di atas 35 tahun, wanita yang mempunyai
keluarga dengan riwayat kehamilan pertama terjadi pada usia di bawah 25 tahun
paling sering terdapat pada wanita berusia antara 20-50 tahun (Kemenkes, 2015).
Angka kejadian kista ovarium di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015
berdasarkan laporan dinas kesehatan kabupaten/kota yang berasal dai RS dan
Puskesmas. Kasus kista ovarium terdapat banyak 2.299 kasus. Dari data tersebut
maka didapatkan jumlah penderita kista ovarium terbanyak pada usia 25-44
tahun. (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2015).

B. TUJUAN
4

1. Tujuan umum
Diperolehnya pengalaman nyata dalam melaksanakan asuhan kebidanan
dengan menggunakan pendekatan proses manajemen kebidanan 7 langkah
Varney.

2. Tujuan khusus
a. Mampu melaksanakan pengkajian data subyektif terhadap pasien
dengan kista ovarium.
b. Mampu menggambarkan dan melakukan pengkajian berupa data
obyektif terhadap pasien dengan kista ovarium.
c. Mampu menegakkan diagnosis berdasarkan data subjektif dan data
objektif dalam assesment terhadap pasien dengan kista ovarium.
d. Menyusun perencanaan, implementasi, dan mengevaluasi respon ibu
terhadap tindakan dan asuhan yang telah diberikan terhadap pasien
dengan kista ovarium.
C. MANFAAT
1. Bagi penulis
Penulis dapat memahami tentang pengertian dan permasalahan yang muncul
pada pasien dengan kista ovarium dan sebagai bekal bagi penulis untuk
terjun ke lapangan kerja.

2. Bagi profesi
Memberi motivasi kepada bidan untuk dapat meningkatkan kualitas bidan
dalam memberikan Asuhan Kebidanan pada pasien dengan kista ovarium.
3. Bagi institusi.
Dapat menambah literature tentang Asuhan Kebidanan pada pasien dengan
kista ovarium.

BAB II
5

LAPORAN PENDAHULUAN
A. Tinjauan Teori Medis.
1. Kista Sistem Reproduksi.
a. Pengertian.
Kista termasuk tumor jinak yang terbungkus oleh selaput semacam
jaringan di organ reproduksi wanita. Bentuknya kistik, berisi cairan
kental, dan ada pula yang berbentuk anggur. Kista juga ada yang berisi
udara, cairan, nanah, ataupun bahan-bahan lainnya. Kista adalah
penyakit penyakit tumor jinak yang terbungkus selaput semacam
jaringan. Kumpulan sel-sel ini terpisah dengan jaringan normal yang
ada di sekitarnya sehingga tidak akan mengganggu sel-sel lainnya apa
bila dilakukan pembedahan. Makanya penderita kista apabila sudah
melakukan pembedahan pengangkatan kista masih bisa kemungkinan
punya keturunan asalkan sel telurnya tidak ikut diangkat.
b. Sifat Kista.
Sari, Indrawati dan Harjanto (2012) mengatakan bahwa, kista bersifat
jinak tetapi bisa juga berubah menjadi ganas. Beberapa kista bisa
mengecil dan ada juga yang menghilang dengan sendirinya. Kista
memiliki berbagai macam sifat, ada beberapa kista yang memiliki
sifat bisa mengecil dan ada juga yang dapat menghilang dengan
sendirinya. Kista tidak memiliki gejala namun ketika kista sudah
membesar, kista dapat membuat gangguan pada bagian bawah
perut.
2. Kista Ovarium
a. Pengertian
Kista ovarium adalah tumor kistik pada ovarium (asal dan jenis
bermacam-macam). Dapat menyebabkan nyeri perut akut karena terpuntir
atau ruptur (Kemenkes RI, 2013)
Kista ovarium adalah tumor ovarium yang bersifat neoplastik dan
non neoplastik. Kista ovarium merupakan suatu tumor, baik kecil
maupun yang besar, kistik atau padat, jinak atau ganas yang berada
di ovarium. Dalam kehamilan tumor ovarium yang paling sering dijumpai
ialah kista dermoid, kista coklat atau kista lutein. Tumor ovarium yang
cukup besar dapat menyebabkan kelainan letak janin dalam rahim atau
6

dapat menghalang-halangi masuknya kepala kedalam panggul


(Wiknjosastro, 2014).
Kista ovarium (kista indung telur) berarti kantung berisi cairan,
normalnya yang berukuran kecil, yang terletak di indung telur (ovarium).
Kista ovarium dapat terbentuk kapan saja, pada masa pubertas sampai
menopause, juga pada masa kehamilan (Nugroho, 2014).
b. Jenis dan Karakter Kista.
Berdasarkan tingkat keganasan, kista terbagi dua, yaitu nonneoplastik
dan neoplastik. Kista nonneoplastik sifatnya jinak dan biasanya akan
mengempis sendiri setelah 2 atau 3 bulan. Sementara kista neoplastik
umumnya harus operasi namun hal itu pun tergantung pada ukuran
dan sifatnya (Wiknjosastro, 2014). Menurut Sofian (2012), kista
ovarium neoplastik jinak diantaranya :
1) Kistoma ovarii simpleks.
Merupakan kista yang permukaannya rata dan halus, biasanya
bertangkai, sering kali bilateral dan dapat menjadi besar. Dinding
kista berisi cairan jernih yang serosa dan berwarna kuning.
Penatalaksanaan dengan pengangkatan kista dengan reseksi ovarium.
2) Kistadenoma ovarii musinosum.
Merupakan kista bentuk multilokular dan biasanya unilateral, dapat
tumbuh sangat besar. Gambaran klinis terdapat perdarahan dalam kista
dan perubahan degenerative sehingga timbul perlengketan kista
dengan omentum, usus-usus dan peritoneum perietale.
Penatalaksanaan dengan pengangkatan kista in tito tanpa pungsi
terlebih dulu dengan atau tanpa salphingo-ooforektomi tergantung
besarnya kista.
3) Kistadenoma ovarii serosum.
Merupakan kista bentuk unillokular, tapi jika multilokular perlu
dicurigai adanya keganasan. Kista ini dapat membesar, tetapi tidak
sebesar kista musinosum. Selain teraba massa intra abdominal juga
dapat timbul asites. Penatalaksanaan umumnya sama dengan
kistadenoma ovarii musinosum.
4) Kista dermoid.
Kista dermoid adalah teratoma kistik jinak. Bentuk cairan kista ini
seperti mentega. Kandungannya tidak hanya berupa cairan tapi
7

juga ada partikel lain seperti rambut, gigi, tulang atau sisa-sisa kulit.
Konsistensi sebagian kristik kenyal dan sebagian lagi padat. Dapat
menjadi ganas. Gambaran klinis adalah nyeri mendadak di perut
bagian bawah karena torsi tangkai kista dermoid. Dinding kista dapat
rupture sehingga isi kista keluar di rongga peritoneum.
Penatalaksanaan dengan pengangkatan kista dermoid bersama seluruh
ovarium.
Menurut Wiknjosastro (2014), kista nonneoplastik terdiri dari:
1) Kista folikel.
Kista ini berasal dari folikel de graff yang tidak sampai berovulasi,
namun tumbuh terus menjadi kista folikel, atau beberapa folikel primer
yang setelah tumbuh di bawah pengaruh estrogen tidak mengalami
proses atresia yang lazim, melainkan membesar menjadi kista. Bisa
didapat satu kista atau lebih, dan besarnya biasanya dengan diameter
1-15 cm. Kista folikel ini bias menjadi sebesar jeruk nipis. Cairan
dalam kista berwarna jernih dan sering kali mengandung estrogen.
Oleh sebab itu, kista kadang-kadang dapat menyebabkan gangguan
haid. Kista folikel lambat laun dapat mengecil dan menghilang
spontan, atau bisa terjadi rupture dan kistapun menghilang.
2) Kista korpus luteum.
Kista ini berisi cairan yang berwarna merah coklat karena darah tua.
Kista korpus luteum dapat menimbulkan gangguan haid, berupa
amenorea diikuti oleh pendarahan tidak teratur. Adanya kista dapat
pula menyebabkan rasa berat di perut bagian bawah dan pendarahan
yang berulang dalam kista data menyebabkan rupture. Rasa nyeri
didalam perut yang mendadak dengan adanya amenorea sering
menimbulkan kesulitan dalam diagnosis diferensial dengan kehamilan
ektopik yang terganggu.
3) Kista lutein.
Pada mola hidatidosa, koriokarsinoma dan kadang-kadang tanpa
adanya kelainan tersebut, ovarium dapat membesar dan menjadi kistik.
Kista biasanya bilateral dan bisa sebesar ukuran tinju. Tumbuhnya
kista ini ialah akibat pengaruh hormone koriogonadotropin yang
berlebihan, dan dengan hilangnya mola atau koriokarsinoma, ovarium
mengecil spontan.
8

4) Kista inklusi germinal.


Kista ini terjadi karena invaginasi dan isolasi bagian-bagian kecil dari
epitel germinativum pada permukaan ovarium. Kista ini lebih banyak
terdapat pada wanita yang lanjut umurnya, dan besarnya jarang
melebihi diameter 1 cm. Kista terletak dibawah permukaan ovarium
dan isinya cairan jernih dan serus.
5) Kista endometriosis.
Kista yang terbentuk dari jaringan endometriosis (jaringan mirip
dengan selaput dinding rahim yang tumbuh diluar rahim) menempel di
ovarium dan berkembang menjadi kista. Kista ini sering disebut juga
sebagai kista coklat endometriosis karena berisi darah coklat
kemerahan. Kista ini berhubungan dengan penyakit endometriosis
yang menimbulkan nyeri haid atau nyeri senggama. Gejala kista ini
sangat khas karena berkaitan dengan haid. Seperti diketahui, saat haid
tidak semua darah akan tumpah dari rongga rahim ke liang vagina, tapi
ada yang memercik ke rongga perut. Kondisi ini merangsang sel-sel
rusak yang ada di selaput perut mengidap penyakit baru yang dikenal
dengan endometriosis. Karena sifat penyusupannya yang perlahan,
endometriosis sering disebut kanker jinak.
6) Kista stein-leventhal.
Ovarium tampak pucat membesar 2 sampai 3 kali, polikistik dan
permukaannya licin. Kapsul ovarium menebal. Kelainan ini terkenal
dengan nama sindrom stein-leventhal dan kiranya disebabkan
gangguan keseimbangan hormonal. Umumnya pada penderita
terhadap gangguan ovulasi, oleh karena endometrium hanya
dipengaruhi oleh estrogen, hyperplasia endometrii sering ditemukan.
Menurut Prawirohardjo (2014), ada beberapa jenis tumor kistik ovarium,
yaitu:
1) Kista Folikel
a) Gambaran umum.
Kista folikel merupakan kista yang paling sering ditemukan di
ovarium, biasanya ukuran 3-8 cm. Kista ini terjadi karena kegagalan
proses ovulasi (LH Surge) dan kemudian cairan intra folikel tidak
9

diabsorpsi kembali titik pada beberapa keadaan, kegagalan ovulasi


juga dapat terjadi secara artifisial di mana gonadotropin diberikan
secara berlebihan untuk menginduksi ovulasi titik kista ini tidak
menimbulkan gejala yang spesifik. Jarang sekali terjadi torsi,
ruptur, atau perdarahan. Ada yang menghubungkan kista folikel
dengan gangguan menstruasi (perpanjangan interval antar
menstruasi atau pemendekan siklus). Kista folikel yang besar dapat
dihubungkan dengan nyeri pelvik, dispareunia, dan kadang-kadang
perdarahan abnormal uterus.
b) Gambaran klinik.
Penemuan kista folikel umumnya dilakukan melalui pemeriksaan
USG transvaginal atau pencitraan MRI. Diagnosis banding kista
folikel adalah salpingitis, endometriosis, kista lutein dan kista
neoplastik lainnya. Sebagian kista dapat mengalami obliterasi
dalam 60 hari tanpa pengobatan titik pil kontrasepsi dapat
digunakan untuk mengatur siklus dan atraksi kista folikel.
c) Terapi.
Tata laksana kista folikel dapat dilakukan dengan melakukan
pungsi langsung pada dinding kista menggunakan peralatan
laparoskopi. Pastikan dulu fungsi kista karena identifikasi dan
ganas, maka menyebar didalam rongga peritoneum.
2) Kista Korpus Luteum.

Kista luteum terjadi akibat pertumbuhan lanjut korpus luteum atau


perdarahan yang mengisi rongga yang terjadi setelah ovulasi.
Terdapat dua jenis kista lutein, yaitu kista granulosa dan kista teka.
3) Kista Granulosa.

Kista granulosa merupakan pembesaran non-neoplastik ovarium.


Setelah ovulasi, dinding sel granulosa mengalami luteinisasi titik
pada tahap terbentuknya vaskularisasi baru darah terkumpul di
tengah rongga membentuk korpus hemorrhagicum. 

Resorbsi darah di ruangan ini menyebabkan terbentuknya kista


korpus luteum titik kista lutein yang persisten dapat menimbulkan
nyeri lokal dan tegang dinding perut yang juga disertai amenorea
atau menstruasi terlambat yang menyerupai gambaran kehamilan
ektopik. kista lutein juga dapat menyebabkan torsi ovarium
10

sehingga menimbulkan nyeri hebat atau perdarahan intraperitoneal


yang membutuhkan tindakan pembedahan segera untuk
menyelamatkan penderita
4) Kista Teka.

Kista jenis ini tidak pernah mencapai ukuran yang besar. Umumnya
bilateral dan berisi cairan jernih kekuningan titik kista teka
seringkali dijumpai bersamaan dengan ovarium polikistik,
molahidatidosa, koriokarsinoma, terapi HCG dan klomifen sitrat. 

Tidak banyak keluhan yang ditimbulkan oleh kista ini titik pada
umumnya tidak diperlukan tindakan bedah untuk menangani kista
ini karena kista dapat menghilang secara spontan setelah evakuasi
mola, terapi kursi koriokarsinoma, dan penghentian stimulasi
ovulasi dengan klomifen. Walaupun demikian, apabila terjadi
ruptur kista dan terjadi perdarahan ke dalam rongga peritoneum
maka diperlukan tindakan laparatomi segera untuk menyelamatkan
penderita.
5) Ovarium Polikistik (Stein-leventhal syndrome).
a) Gambaran Umum.

Penyakit ovarium polikistik ditandai dengan pertumbuhan


polikistik ovarium kedua ovarium, amenorea sekunder atau
oligomenorea, dan infertilitas. Sekitar 50% pasien mengalami
hirsutisme dan obesitas. Gangguan ini terjadi pada perempuan
berusia 1530 tahun titik banyak kasus infertilitas terkait dengan
sindroma ini. Tampaknya hal ini berhubungan dengan
disfungsi hipotalamus.
b) Gambaran Klinik.

Walaupun mengalami pembesaran ovarium juga mengalami


proses sklerotika yang menyebabkan permukaannya berwarna
putih tanpa identasi seperti mutiara sehingga disebut sebagai
ovarium kerang. Ditemukan banyak folikel berisi cairan di
bawah dinding fibrosa korteks yang mengalami penebalan titik
teka internal terlihat kekuningan karena mengalami luteinisasi,
sebagian stroma juga mengalami hal yang sama.
11

Diagnosis penyakit ini dibuat berdasarkan anamnesis yang


mengarah pada beberapa gejala diatas dan pemeriksaan fisik
terarah. Riwayat menarik dan haid yang normal kemudian
berubah menjadi episode amenorea yang semakin lama.
Pembesaran ovarium dapat dipalpasi pada sekitar 50%. Terjadi
peningkatan 17-ketosteroid dan LH tetapi tidak ditemukan fase
lonjakan FH (LH Surge) yang akan menjelaskan mengapa tidak
terjadi ekspresi estrogen, FSH, dan  ACTH masih dalam batas
normal. Pemeriksaan yang dapat diandalkan adalah USG dan
laparaskopi.  FSH biasanya normal LH tinggi rasio
LH>FSH>2. E tinggi/normal prolaktin normal atau tinggi.
c) Terapi.
Klomifen sitrat 50-100 mg per hari untuk 5 sampai 7 hari per
siklus. Beberapa praktisi juga menambahkan HCG untuk
memperkuat efek pengobatan titik walaupun resepsi baji (wedge)
cukup menjanjikan hal tersebut jarang dilakukan karena dapat
terjadi perlengketan peri ovarial. Karena endometrium lebih
banyak terpapar oleh estrogen maka dianjurkan juga untuk
memberikan progesteron (LNG, desogestrel, cepat).
6) Kistadenoma Ovarii Serosum.
a) Gambaran Umum.
Kistadenoma serosum mencakup sekitar 15 sampai 25% dari
keseluruhan tumor jinak ovarium. Usia penderita berkisar antara
20-50 tahun. Pada 12-50% kasus, kisah ini terjadi pada kedua
ovarium (bilateral) titik ukuran kista berkisar antara 5-15 cm dan
ukuran ini lebih kecil dari rata-rata ukuran kistadenoma
musinosum. Kista berisi cairan serosa, jernih kekuningan.
Proliferasi vokal pada dinding kista menyebabkan proyeksi
papilomatosa ke tengah kita yang dapat bertransformasi menjadi
kistadenoma fibroma. Proyeksi papilomatosa ini harus
diperhatikan secara seksama dalam upaya untuk membedakan
nilai dengan proliferasi atipik.
b) Gambaran Klinik.

Kistadenoma serosum yang ditemukan pada usia 20-30 tahun


digolongkan sebagai neoplasma potensi rendah untuk
12

transformasi ganas dan hal ini bertolak belakang dengan


penderita pada usia peri atau pasca menopause yang memiliki
potensi anaplastik yang tinggi titik seperti dengan sebagian
besar tumor epitelial ovarium tidak dijumpai gejala klinik
khusus yang dapat menjadi pertanda kistadenoma serosum.
Pada Sebagian besar kasus tumor ini ditemukan secara
kebetulan saat dilakukan pemeriksaan rutin. Pada kondisi
tertentu penderita akan mengeluhkan rasa tidak nyaman di
dalam pelvis, pembesaran perut dan gejala seperti asites.
c) Terapi.

Pengobatan terpilih untuk kistadenoma serosum adalah


tindakan pembedahan (eksisi) dengan eksplorasi menyeluruh
pada organ intrapelvik dan abdomen. Untuk itu jenis insisi
yang dipilih adalah mediana karena dapat memberikan cukup
akses untuk tindakan eksplorasi. Sebaiknya dilakukan
pemeriksaan patologi anatomi selama operasi sebagai antisipasi
terhadap kemungkinan adanya keganasan.
7) Kistadenoma Ovarii Musinosum.
a) Gambaran Umum.
Kistadenoma ovarii musinosum mencakup 16-30% dari total
tumor jinak ovarium dan 85% di antaranya adalah jinak. Tumor
ini bilateral pada 5 sampai 7% kasus. tumor ini pada umumnya
adalah multilokuler dan lokulus yang berisi cairan musinosum
tampak berwarna kebiruan di dalam kapsul yang dindingnya
tegang dinding tumor tersusun dari epitel kolumnar yang tinggi
dengan inti sel berwarna gelap terletak di bagian basal titik
dinding kistadenoma musinosum ini, pada 50% kasus mirip
dengan struktur epitel endoserviks dan 50% lagi mirip dengan
struktur epitel kolon di mana cairan di dalam lokus kista
mengandung sel-sel goblet perlu untuk memilih sampel
pemeriksaan apa dari beberapa tempat karena sebaran area-area
dengan gambar yang jinak, potensial ganas atau ganas adalah
sangat variatif.
b) Gambaran Klinik.
13

Tumor Musin ini merupakan tumor dengan ukuran terbesar dari


tumor dalam tubuh manusia titik terdapat 15 laporan yang
menyebutkan berat tumor di atas 70 kg. Sebagai konsekuensi
semakin besar ukuran tumor di ovarium semakin besar pula
kemungkinan diagnosisnya adalah kistadenoma ovarii
musinosum. Tumor ini juga asimptomatik dan sebagian besar
pasien hanya merasakan pertambahan berat badan atau rasa penuh
di perut. Pada kondisi tertentu perempuan pasca menopause
dengan tumor ini dapat mengalami hiperplasia atau perdarahan
pervaginam karena stroma sel tumor mengalami proses luteinisasi
sehingga dapat menghasilkan hormon (terutama estrogen). Bila
hal ini terjadi pada perempuan hamil, maka dapat terjadi
pertumbuhan rambut yang berlebihan (virilisasi) pada penderita.

Cairan dari cystoma ini dapat mengalir ke kavum pelvik atau


abdomen melalui stroma ovarium sehingga terjadi akumulasi
cairan musin intraperitoneal dan hal ini dikenal sebagai
pseudomiksoma peritonii. Hal yang serupa dapat pula
disebabkan oleh kistadenoma pada apendiks.
c) Terapi.
Apabila ternyata stroma kistadenoma ovarii musinosum
mendiseminasi cairan musin ke rongga peritoneum dan hal ini
ditemukan pada saat melakukan tindakan laparatomi maka
sebaiknya dilakukan salpingo-oophorectomy unilateral. Untuk
mengosongkan cairan musin dari kavum peritoneum, encerkan
terlebih dulu musim dengan larutan dextrose 5% -10% sebelum
dilakukan pengisapan.
8) Kista Dermoid.
a) Gambaran Umum.
Kista dermoid merupakan tumor terbanyak (10% dari total tumor
ovarium dan daging yang berasal dari sel germinativum. Tumor ini
merupakan tumor jinak sel germinativum dan paling banyak
diderita oleh gadis yang berusia di bawah 20 tahun. Tumor sel
germinal ini mencakup 60% kasus dibandingkan 40% yang
berasal dari sel non germinal untuk kelompok umur yang telah
disebutkan terdahulu.
14

b) Gambaran Klinik.
Walaupun terdapat beberapa jaringan penyusun tumor, tetapi
ektodermal merupakan komponen utama, yang kemudian diikuti
dengan mesodermal dan endodermal. Semakin lengkap unsur
penyusun, akan semakin sulit konsistensi tumor ini kista dermoid
jarang mencapai ukuran yang besar, tetapi kadang-kadang
bercampur dengan kistadenoma ovarii musinosum sehingga
diameternya akan semakin besar titik unsur sebagai
teratoma matur. Kista dermoid mempunyai dinding berwarna
putih dan relatif tebal, berisi cairan kental dan berminyak karena
dinding tumor mengandung banyak kelenjar sebasea dan derivat
ektodermal (sebagai besar adalah rambut).  Dalam ukuran kecil,
kista dermoid tidak menimbulkan keluhan apapun dan penemuan
tumor pada umumnya hanya melakukan pemeriksaan ginekologi
rutin. Rasa penuh dan berat di dalam perut hanya dirasakan
apabila ukuran tumor cukup besar. Komplikasi kista dermoid
dapat berupa torsi, perdarahan, dan transformasi ganas. 
c) Terapi.
Laparatomi dan kistektomi.
c. Etiologi.
Kista ovarium menurut Nugroho (2014) disebabkan oleh gangguan
(pembentukan) hormon pada hipotalamus, hipofisis dan ovarium.
Beberapa teori menyebutkan bahwa penyebab tumor adalah bahan
karsinogen seperti rokok, bahan kimia, sisa-sisa pembakaran zat arang,
bahan-bahan tambang.
Beberapa faktor risiko pembentukan kista ovarium menurut
Shannong (2017) ialah sebagai berikut:
1) Perawatan Infertilitas.
Pasien yang dirawat karena infertilitas dengan induksi ovulasi dengan
gonadotropin atau agen lain seperti clomiphene citrate atau letrozole
dapat berkembang menjadi kista sebagai bagian dari sindrom
hiperstimulasi ovarium.
2) Tamoxifen.
Tamoxifen dapat menyebabkan kista ovarium fungsional jinak yang
biasanya hilang setelah pengobatan dihentikan.
15

3) Kehamilan.
Pada wanita hamil, kista ovarium dapat terbentuk di trimester kedua,
ketika kadar hCG mencapai puncak.

4) Hypothyroidism.
Karena kesamaan antara subunit alpha thyroid-stimulating hormone
(TSH) dan hCG, hypothyroidism dapat menstimulasi ovarium dan
pertumbuhan kista.
5) Gonadotropin ibu.
Efek transplasental dari ibu gonadotropin dapat menyebabkan
perkembangan kista ovarium neonatal dan janin.
6) Merokok.
Risiko kista ovarium fungsional meningkat dengan merokok, risiko
dari merokok mungkin meningkat lebih lanjut dengan indeks massa
tubuh yang menurun.
7) Tubal ligation.
Fungsional kista telah dikaitkan dengan sterilisasi tuba ligase.

d. Patofisiologi
Dalam endokrinologi reproduksi wanita, ovarium memiliki dua
fungsi utama, yaitu fungsi proliferative (generatif), yaitu sebagai sumber
ovum selama masa reproduksi. Di ovarium terjadi pertumbuhan folikel
primer, folikel de graf, peristiwa ovulasi, dan pembentukan korpus
luteum. Fungsi sekretonik (vegetatif), yaitu tempat pembentukan dan
pengeluaran hormone steroid (esterogen, progesteron, dan androgen).
Ovarium membentuk hormon steroid estrogen, progesteron, dan sedikit
androgen. Pembentukan hormon steroid ovarium terjadi melalui beberapa
tahap, secara enzimatik sebenarnya tidak ada perbedaan antara ovarium
dan organ lain dalam pembentukan hormon steroid. Perbedaannya
hanyalah bahwa ovarium berbeda dibawah kendali sistem hipotalamus-
hipofisis. Pembentukan androgen baru dianggap penting, bilamana sel-sel
penghasil androgen menjadi patologis atau terjadinya gangguan enzimatik
pada sistem androgen seperti penyakit ovarium polikistik (Wiknjosastro,
2009; h.74-75).
16

Fungsi ovarium yang abnormal dapat menyebabkan penimbunan


folikel yang terbentuk secara tidak sempurna didalam ovarium. Folikel
tersebut gagal mengalami pematangan dan gagal melepaskan sel telur,
terbentuk secara tidak sempurna didalam ovarium karena itu terbentuk
kista di dalam ovarium. Setiap hari, ovarium normal akan membentuk
beberapa kista kecil yang disebut folikel de graff. Pertengahan siklus,
folikel dominan dengan diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan
oosit mature. Folikel yang ruptur akan menjadi korpus luteum, yang
pada saat matang memiliki struktur 1,5–2 cm dengan kista ditengah-
tengah. Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit, korpus luteum akan
mengalami fibrosis dan pengerutan secara progresif. Namun bila terjadi
fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan membesar kemudian secara
gradual akan mengecil selama kehamilan. Kista ovari yang berasal dari
proses ovulasi normal disebut kista fungsional dan selalu jinak
(Nugroho, 2014).
e. Tanda dan Gejala.
Sebagian besar kelainan ovarium tidak menimbulkan gejala dan
tanda, terutama pada tumor yang kecil. Tanda dan gejala yang biasanya
timbul disebabkan oleh efek massa yang menekan organ-organ
abdomen, aktifitas endrokin, atau akibat dari komplikasi yang terjadi,
misalnya perdarahan, infeksi, dan putaran tangkai tumor (Rasjidi, 2010).
Kebanyakan pasien dengan kista ovarium tidak bergejala, namun ada
beberapa keadaan kista ovarium menimbulkan berbagai gejala dari
ringan sampai berat. Beberapa tanda dan gejala kista ovarium menurut
Shannon (2017) adalah:
1) Nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bawah.
2) Nyeri hebat akibat torsi atau ruptur kista. Ruptur kista ditandai
dengan nyeri pelvis yang mendadak, tajam, unilateral, hal ini
dapat dikaitkan dengan trauma, olahraga, atauhubungan seksual.
Ruptur kista dapat menyebabkan tanda peritoneum seperti distensi
abdomen dan perdarahan.
3) Rasa tidak nyaman ketika hubungan seksual, terutama penetrasi yang
dalam.
4) Perubahan buang air besar seperti konstipasi.
5) Tekanan panggul menyebabkan tenesmus atau frekuensi kencing.
17

6) Ketidakteraturan menstruasi.
7) Pubertas sebelum waktunya dan menarche dini pada anak-anak
muda.
8) Rasa sebah di perut dan kembung.
9) Gangguan pencernaan, mulas, atau cepat kenyang.
10) Endometrioma.
11) Takikardia dan hipotensi. Perdarahan yang disebabkan oleh ruptur
kista menyebabkan hemodinamik tidak stabil.
12) Hiperpireksia. Torsio kista menyebabkan inflamasi dan peningkatan
suhu tubuh.
13) Nyeri gerak adneksa atau serviks.
14) Curiga keganasan apabila terdapat beberapa gejala yang mendasari
seperti kenyang lebih awal, penurunan berat badan/cachexia,
limfadenopati, atau sesak napas terkait dengan asites atau efusi
pleura.
f. Diagnosis.
Menurut Kemenkes RI (2013) terdapat beberapa cara untuk
menegakkan diagnosa kista ovarium, yaitu:
1) Nyeri perut.
2) Teraba massa pada pemeriksaan dalam.
3) Diagnosis ditegakkan dengan USG.
Tidak jarang tentang penegakkan diagnosis tidak dapat diperoleh
kepastian sebelum dilakukan operasi, akan tetapi pemeriksaan yang cermat
dan analisis yang tajam dari gejala-gejala yang ditemukan dapat membantu
dalam pembuatan differensial diagnosis. Beberapa cara yang dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis menurut Bilotta (2012)
adalah:
1) Laparaskopi.
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah sebuah tumor
berasal dari ovarium atau tidak, serta untuk menentukan sifat-sifat tumor
itu.
2) Ultrasonografi (USG)
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor, apakah
tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing, apakah tumor
18

kistik atau solid, dan dapat pula dibedakan antara cairan dalam rongga
perut yang bebas dan yang tidak.
3) Foto Rontgen.
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya hidrotoraks.
Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat adanya
gigi dalam tumor.

4) Parasintesis.
Pungsi ascites berguna untuk menentukan sebab ascites. Tindakan
tersebut dapat mencemarkan kavum peritonei dengan isi kista bila
dinding kista tertusuk
g. Komplikasi
Menurut Wiknjosastro (2014), komplikasi yang dapat terjadi pada
kista ovarium diantaranya:
1) Akibat pertumbuhan kista ovarium.
Adanya tumor di dalam perut bagian bawah bisa menyebabkan
pembesaran perut. Tekanan terhadap alat-alat disekitarnya disebabkan
oleh besarnya tumor atau posisinya dalam perut. Apabila tumor
mendesak kandung kemih dan dapat menimbulkan gangguan miksi,
sedangkan kista yang lebih besar tetapi terletak bebas di rongga perut
kadang-kadang hanya menimbulkan rasa berat dalam perut serta dapat
juga mengakibatkan edema pada tungkai.
2) Akibat aktivitas hormonal kista ovarium.
Tumor ovarium tidak mengubah pola haid kecuali jika tumor itu
sendiri mengeluarkan hormon.
3) Akibat komplikasi kista ovarium
a) Perdarahan ke dalam kista.
Biasanya terjadi sedikit-sedikit sehingga berangsur-angsur
menyebabkan kista membesar, pembesaran luka dan menimbulkan
gejala-gejala klinik. Jika perdarahan dalam jumah banyak akan
terjadi distensi yang cepat dari kista yang menimbukan nyeri di
perut.
b) Torsio atau putaran tangkai.
19

Torsio atau putaran tangkai terjadi pada tumor bertangkai. Torsi


meliputi ovarium, tuba fallopi atau ligamentum rotundum pada
uterus. Jika dipertahankan torsi ini dapat menjadi infark,
peritonitis dan kematian. Torsi biasanya unilateral dan dikaitkan
dengan kista, karsinoma, TOA, massa yang tidak melekat atau
yang dapat muncul pada ovarium normal. Torsi ini paling sering
muncul pada wanita usia reproduksi. Gejalanya nyeri mendadak
dan hebat di kuadran abdomen bawah, mual dan muntah, demam
dan leukositosis. Laparoskopi adalah terapi pilihan, adneksa
dilepaskan (detorsi), viabilitasnya dikaji, adneksa gangren
dibuang, setiap kista dibuang dan dievaluasi secara histologis.
c) Infeksi pada tumor
Jika terjadi di dekat tumor ada sumber kuman patogen.
d) Robek dinding kista.
Terjadi pada torsi tangkai, akan tetapi dapat pula sebagai akibat
trauma, seperti jatuh atau pukulan pada perut dan lebih sering
pada saat bersetubuh. Jika robekan kista disertai hemoragi yang
timbul secara akut, maka perdarahan bebas berlangsung ke uterus
ke dalam rongga peritoneum dan menimbulkan rasa nyeri terus
menerus disertai tanda-tanda abdomen akut.
e) Perubahan keganasan.
f) Setelah tumor diangkat perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopis
yang seksama terhadap kemungkinan perubahan keganasannya.
Adanya asites dalam hal ini mencurigakan. Massa kista ovarium
berkembang setelah masa menopause sehingga besar
kemungkinan untuk berubah menjadi kanker (maligna). Faktor
inilah yang menyebabkan pemeriksaan pelvik menjadi penting.

h. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan wanita dengan kista ovarium didasarkan pada
adanya gejala, hasil pencitraan, usia wanita, riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan darah. Kista pertama kali
diklasifikasikan sebagai sederhana atau ganas berdasarkan ciri-ciri yang
diidentifikasi pada ultrasound. Kista yang memiliki ciri jinak dan ganas
memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan risiko keganasan.
20

Kista ovarium sederhana yang berdinding tipis, unilokular, dan kecil


biasanya jinak, tetapi sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan ultrasonografi
berkala. Ikatan Ahli Radiologi telah menerbitkan pedoman untuk
pengelolaan kista ovarium asimtomatik yang terdeteksi menggunakan
USG. Pedoman ini didasarkan pada status, ukuran, dan karakteristik wanita
pramenopause atau pascamenopause (King, dkk, 2019).
1) Observasi.
Jika kista tidak menimbulkan gejala, maka cukup dimonitor (dipantau)
selama 1 -2 bulan, karena kista fungsional akan menghilang dengan
sendirinya setelah satu atau dua siklus haid. Tindakan ini diambil jika
tidak curiga ganas (kanker) (Nugroho, 2014).
2) Terapi bedah/Operasi.
Apabila kista sudah terlanjur tumbuh dan didiagnosa sebagai kista
ovarium yang berbahaya, biasanya tindakan medis perlu dilakukan.
Operasi pengangkatan biasanya akan dilakukan untuk mencegah kista
ovarium tumbuh lebih besar. Penyembuhan dari kista juga tergantung
pada jenisnya masing-masing. Kista ovarium neoplastik memerlukan
operasi sementara pada kista non neoplastik tidak diperlukan. Jika
menghadapi kista yang tidak memberi gejala atau keluhan pada
penderita dan yang besar kistanya tidak melebihi jeruk nipis dengan
diameter kurang dari 5 cm, kemungkinan besar kista tersebut adalah
kista folikel atau kista korpus luteum, jadi merupakan kista
nonneoplastik. Tidak jarang kista-kista tersebut mengalami pengecilan
secara spontan dan menghilang, sehingga pada pemeriksaan ulangan
setelah beberapa minggu dapat ditemukan ovarium yang kira-kira
besarnya normal. Oleh sebab itu, dalam hal ini perlu menunggu
selama 2 sampai 3 bulan, sementara mengadakan pemeriksaan
ginekologik berulang. Jika selama waktu observasi dilihat
peningkatan dalam pertumbuhan kista tersebut, maka dapat
mengambil kesimpulan bahwa kemungkinan besar kista ini bersifat
neoplastik dan dapat dipertimbangkan satu pengobatan operatif
(Wiknjosastro, 2014).
Tindakan operasi pada kista ovarium neoplastik yang tidak ganas ialah
pengangkatan kista dengan mengadakan reseksi pada bagian ovarium
yang mengandung kista. Akan tetapi, jika kistanya besar atau ada
21

komplikasi, perlu dilakukan pengangkatan ovarium, biasanya disertai


dengan pengangkatan tuba (salphingo-ooforektomi). Pada saat operasi
kedua ovarium harus diperiksa untuk mengetahui apakah ditemukan
pada satu atau pada dua ovarium (Wiknjosastro, 2014). Tindakan
operasi pada kista ovarium neoplastik yang tidak ganas ialah
pengangkatan kista dengan mengadakan reseksi pada bagian ovarium
yang mengandung kista. Akan tetapi, jika kistanya besar atau ada
komplikasi, perlu dilakukan pengangkatan ovarium, biasanya disertai
dengan pengangkatan tuba (salphingo-ooforektomi).
Pada saat operasi kedua ovarium harus diperiksa untuk mengetahui
apakah ditemukan pada satu atau pada dua ovarium (Winjosastro,
2014). Pada operasi kista ovarium yang diangkat harus segera dibuka,
untuk mengetahui apakah ada keganasan atau tidak. Jika keadaan
meragukan, perlu pada waktu operasi dilakukan pemeriksaan sediaan
yang dibekukan (frozen section) oleh seorang ahli patologi anatomi
untuk mendapatkan kepastian apakah kista ganas atau tidak. Jika
terdapat keganasan, operasi yang tepat ialah histerektomi dan
salphingo-ooforektomi bilateral. Akan tetapi wanita muda yang masih
ingin mendapatkan keturunan dan tingkat keganasannya kista yang
rendah (misalnya kista sel granulosa), dapat dipertanggung-jawabkan
untuk mengambil resiko dengan melakukan operasi yang tidak
seberapa radikal (Winkjosastro, 2014).
i. Cara Pencegahan
Menurut Nugroho (2014), adapun cara pencegahan penyakit kista
yaitu:
1) Mengkonsumsi banyak sayuran dan buah karena sayuran dan buah
banyak mengandung vitamin dan mineral yang mampu meningkatkan
stamina tubuh.
2) Menjaga pola hidup sehat, khususnya menghindari rokok dan sering
olahraga.
3) Menjaga kebersihan area kewanitaan, hal tersebut untuk menghindari
infeksi mikroorganisme dan bakteri yang dapat berkembang disekitar
area kewanitaan.
4) Mengurangi makanan yang berkadar lemak tinggi. Apabila setiap
individu mengkonsumsi makanan yang berkadar lemak tinggi, hal
22

tersebut dapat menyebabkan gangguan hormon khususnya gangguan


hormon kortisol pemicu stress dan dapat pula terjadi obesitas.
5) Mengunakan pil KB secara oral yang mengandung hormon estrogen
dan progesteron guna untuk meminimalisir risiko terjadinya kista
karena mampu mencegah produksi sel telur.

B. TINJAUAN TEORI ASUHAN KEBIDANAN


1. Pengertian Asuhan Kebidanan.
Asuhan kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang di gunakan
sebagai metode untuk mengorganisasikan pikirandan tindakan berdasarkan
teori ilmiah, penemuan-penemuan keterampilan dalam rangkaian/tahapan
yang logis untuk pengambilan suatu keputusan yang berfokus pada klien
Asuhan kebidanan terdiri dari tujuh langkah yang berurutan, yang di mulai
dengan pengumpulan data dasar dan berakhir dengan evaluasi. Tujuh langkah
tersebut membentuk kerangka yang lengkap dan bisa di aplikasikan dalam
suatu situasi (Varney, 2012).
2. Tahapan asuhan kebidanan.
Dalam praktiknya bidan menggunakan manajemen kebidanan dalam
memberikan asuhan kebidanan. Menurut Varney (2012) dalam, manajemen
kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai
metode untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori
ilmiah, penemuan-penemuan, keterampilan-keterampilan dalam rangkaian/
tahapan yang logis untuk pengambilan suatu keputusan berfokus pada klien.
Menurut Helen Varney (2012), penerapan manajemen kebidanan
dilakukan melalui langkah-langkah atau proses manajemen kebidanan.
Langkah-langkah manajemen kebidanan tersebut adalah:
a. Langkah I: Tahap pengumpulan data dasar
Pada langkah ini dikumpulkan semua informasi yang akurat dan
lengkap yang berkaitan dengan kondisi klien. Pendekatan ini harus
bersifat komprehensif meliputi data subjektif, objektif, dan hasil
pemeriksaan.
b. Langkah II : Interpretasi data dasar
23

Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosis atau


masalah dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas
dasar data-data yang telah dikumpulkan. Data dasar yang telah
dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat merumuskan diagnosa dan
masalah yang spesifik. Diagnosa wanita hamil normal meliputi nama,
umur, gestasi (G) paritas (P) abortus (A), umur kehamilan, tunggal,
hidup, intra-uteri, letak kepala, keadaan umum baik (Varney, 2012).
c. Langkah III : Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial dan
mengantisipasi penanganannya
Pada langkah ini kita mengidentifikasi masalah atau diagnosa
potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosis yang telah
diidentifikasikan (Varney, 2012).
d. Langkah IV : Menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera
Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter dan
atau untuk dikonsulkan atau ditangani bersama dengan anggota tim
kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien (Varney,2012).
e. Langkah V : Menyusun rencana asuhan yang menyeluruh
Pada langkah ini dilakukan perencanaan yang menyeluruh,
ditentukan langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan
kelanjutan manajemen terhadap diagnosis atau masalah yang telah
diidentifikasi atau diantisipasi, pada langkah ini informasi/data dasar yang
tidak lengkap dapat dilengkapi.
f. Langkah VI : Pelaksanaan langsung asuhan efisien dan aman
Pada langkah ini, rencana asuhan yang menyeluruh di langkah kelima
harus dilaksanakan secara efisien dan aman.
g. Langkah VII: Mengevaluasi hasil tindakan
Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang
sudah diberikan. Rencana dapat dianggap efektif jika memang benar
efektif dalam pelaksanaannya.
3. Pendokumentasian Asuhan Kebidanan.
Menurut Varney (2012) pencacatan dilakukan segera setelah
melaksanakan asuhan pada formulir yang tersedia. Pencatatan tersebut
ditulis dalam catatan perkembangan SOAP.
a. S adalah data subjektif dan mencatat hasil anamnesa yang dilakukan.
b. O adalah data objektif dan mencatat hasil pemeriksaan.
24

c. A adalah hasil analisa yang mencatat diagnosa dan masalah kebidanan.


d. P adalah penatalaksanaan yang mencatat seluruh perencanaan yang
sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera dan
tindakan secara komprehensif yang meliputi penyuluhan, dukungan,
kolaborasi, evaluasi/follow up serta rujukan.
Pengkajian.
a. Nama.
Nama lengkap ibu, termasuk nama panggilannya perlu dikaji. Nama
merupakan identitas khusus yang membedakan seseorang dengan orang
lain. Sebaiknya memanggil klien sesuai dengan nama panggilan yang biasa
baginya atau yang disukainya agar ia merasa nyaman serta lebih
mendekatkan hubungan interpersonal bidan dengan klien. (Widatiningsih,
dkk. 2017).
b. Umur
Untuk mengetahui apakah usia ibu termasuk dalam kategori reproduksi
sehat atau tidak. Umur dalam kategori reproduksi sehat yaitu antara 20
hingga kurang dari 35 tahun (Widatiningsih, dkk, 2017).
Maulidya (2018) dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa ada
hubungan antara usia dengan kejadian kista ovarium. Seorang wanita yang
memiliki usia dari 20 sampai 40 tahun memiliki resiko terjadinya penyakit
tidak menular pada dirinya, hal ini terjadi karena, pada wanita yang
memiliki usia 20–40 tahun termaksud usia reproduksi dikarenakan pada
usia reproduksi peristiwa ovulasi sudah mulai teratur, hormon estrogen dan
progesteron sudah mulai berfungsi. Sehingga lebih rentan terkena kista
ovarium, disertai faktor penyebab lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Adriani mengenai Hubungan Paritas
Dan Usia Ibu Dengan Kista Ovarium Di RSUD dr. R. Goeteng
Tarunadibrata Purbalingga didapatkan hasil bahwa dari 47 responden usia
tidak beresiko terbanyak dengan tidak mengalami kista ovarium yaitu 29
responden (97,6%) dan yang mengalami kista ovarium sebanyak 18
responden (60%). Hasil uji chi-square didapatkan p value 0,001 dan nilai
odds rationya adalah 19,333, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada
hubungan usia ibu dengan kista ovarium di RSUD dr. R. Goeteng
Tarunadibrata.
25

Sejalan dengan penelitian sebelumnya, Fathkiyah (2019) dalam


penelitiannya menjelaskan bahwa faktor risiko ibu dengan frekuensi
dominan pada kejadian kista ovarium yaitu wanita berusia antara 20-45
tahun.
Memperkuat penelitian sebelumnya, Widyarni (2019) dalam
penelitiannya dengan judul Faktor Resiko Kejadian Kista Ovarium Di
Poliklinik Kandungan dan Kebidanan Rumah Sakit Islam Banjarmasin
mendapatkan hasil bahwa adanya hubungan dengan usia terhadap kejadian
kista ovarium dan nilai korelasi koefesien (r=225) menunjukan kekuatan
hubungan antara umur dengan kejadian kista ovarium yang bersifat sedang.
Hal ini berarti responden dengan umur beresiko lebih berpeluang
mengalami kista ovarium dibandingkan dengan umur responden yang tidak
beresiko. Responden dengan umur beresiko banyak mengalami kista
ovarium dibandingkan responden dengan umur tidak beresiko. Menurut
peneliti hal ini dikarenakan usia 20 tahun sampai 50 tahun dapat
mengalami kista ovarium, karena peningkatan usia seseorang diikuti oleh
penurunan kinerja organ-organ dan kekebalan tubuh sehingga relatif mudah
terserang berbagai penyakit. Kista ovarium paling sering terjadi pada
wanita berusia 20-50 tahun. Dimana usia dewasa muda, yaitu antara 16–45
tahun sering dihubungkan dengan masa subur. Dimana panca indera
berperan baik.
c. Agama
Agama perlu dikaji karena agama dapat memberikan informasi dalam
menuntun ke suatu diskusi tentang pentingnya agama dalam kehidupan
klien, tradisi keagamaan dalam kehamilan dan kelahiran, perasaan tentang
jenis kelamin tenaga kesehatan, dan pada beberapa kasus, penggunaan
produk darah (Marmi, 2014).
d. Pendidikan
Ditanyakan untuk mengetahui pendidikan tertinggi yang klien
tamatkan, informasi ini membantu klinis memahami klien sebagai individu
dan memberi gambaran kemampuan baca-tulisnya selain itu untuk
mengetahui tingkat pengetahuan ibu atau taraf kemampuan berpikir ibu,
sehingga bidan bisa menyampaikan atau memberikan penyuluhan atau KIE
pada pasien dengan lebih mudah (Marmi, 2014).
26

Kurniawaty (2019) dalam penelitiannya mengenai Hubungan


Pengetahuan Dan Sikap Wanita Usia Subur Dengan Pencegahan Kista
Ovarium, mendapatkan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara
sikap dengan pencegahan kista ovarium. Pengetahuan dipengaruhi oleh
banyak faktor diantaranya pendidikan, informasi, media massa, elektronik,
pekerjaan, lingkungan dan budaya. Semakin banyak informasi yang didapat
wanita usia subur tentang kista ovarium maka semakin baik
pengetahuannya dalam melakukan pencegahan kista ovarium sehingga
mampu memelihara kesehatan reproduksinya. Semakin baik pengetahuan
wanita usia subur maka semakin baik pula dalam melakukan pencegahan
kista ovarium.

e. Pekerjaan
Tanyakan pekerjaan suami dan ibu, untuk mengetahui taraf hidup dan
social ekonomi pasien agar nasihat yang diberikan sesuai. Serta untuk
mengetahui apakah pekerjaan ibu akan mengganggu kehamilan atau tidak
(Christina, 1993 dalam Marmi, 2014).
Mengetahui pekerjaaan klien adalah penting untuk mengetahui apakah
klien berada dalam keadaan utuh dan untuk mengkaji potensi pajanan
terhadap bahaya lingkungan kerja (Marmi, 2014).
f. Suku Bangsa
Untuk mengetahui faktor bawaan atau ras (Widatiningsih&Dewi,
2017).
g. Alamat
Alamat dikaji untuk mendapatkan informasi tentang tempat tinggal
klien, seberapa kali ia pindah, seperti apa rumahnya, jumlah individu,
keamanan lingkungan, dan jika diindikasikan apakah tersedia cukup
makanan di dalam rumah, dan keadaan lingkungan sekitar, diharapkan
tetap bersih dan terhindar dari berbagai sumber penyakit (Marmi, 2014)
2. Data Subjektif
a. Alasan Datang
Hal-hal yang mendasari kedatangan ibu sesuai dengan ungkapan
ibu. Jika alasannya jelas maka asuhan yang diberikan dapat disesuaikan
dengan kebutuhan klien (Widatiningsih & Dewi, 2017).
27

b. Keluhan Utama
Menurut Walyani (2015) keluhan utama klien dituliskan sesuai
dengan yang diungkapkan oleh klien dan tanyakan juga sejak kapan
keluhan tersebut dirasakan.
c. Riwayat Kesehatan
Data dari riwayat kesehatan ini dapat digunakan sebagai “penanda”
(warning). Riwayat kesehatan merupakan identifikasi keluhan sekarang,
penyakit umum yang pernah diderita, serta penyakit yang dialami saat ini
maupun sebelumnya (Marmi, 2014).
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Informasi tentang keluarga pasien penting untuk
mengidentifikasikan wanita yang beresiko menderita penyakit genetik.
Informasi ini juga mengidentifikasi ras atau etnik untuk melakukan
pendekatan berdasarkan pertimbangan budaya untuk mengetahui penyakit
yang memiliki komplement herrediter (Romauli, 2011).

Jika ada anggota keluarga yang menderita penyakit menular seperti


TBC, hepatitis, typhoid, herpes maka akan berisiko menularkannya pada
ibu hamil. Selain itu jika suami menderita penyakit kelamin seperti sifilis,
GO, HIV/AIDS dapat menular ke klien (Widatiningsih&Dewi, 2017).

Maulidya (2018) dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa ada


hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit keturunan (kista
ovarium) dengan kejadian kista ovarium. Sebab itu, jika dalam riwayat
kesehatan keluarga kita ada beberapa orang yang diketahui menderita
kanker, misal ibu, bibi, nenek, dan lain-lain, maka kita harus lebih
waspada menghindari faktor faktor lain yang dapat memicu kanker. Harus
lebih sensitif memilih makanan yang sehat, lebih teratut berolahraga,
jangan merokok, dan hindari hidup di antara para perokok. Wanita usia
subur yang memiliki riwayat penyakit pada keluarganya khususnya kista
ovarium akan memiliki peluang mengalami kista ovarium hal ini
disebabkan karena pada tubuh seseorang yang memiliki riwayat kista
ovarium, memiliki sel pemicu pada dirinya yang jika seseorang tersebut
tidak dapat merawat dirinya dengan cara pola hidup yang sehat dan benar
akan mengakibatkan sel pemicu tersebut dapat tumbuh menjadi kista.

e. Riwayat Haid
28

1) Menarche
Dikaji untuk mengetahui sejak kapan alat kandungan mulai berfungsi
dan merupakan ciri khas seorang wanita dimana terjadi perubahan-
perubahan siklik dari alat kandungannya sebagai persiapan kehamilan
(Widatiningsih&Dewi, 2017:170).
Wanita Indonesia umumnya mengalami menarche sekitar usia 12
tahun sampai 16 tahun (Sulistyawati, 2009 : 167). Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Zalni, dkk (2017) menyatakan bahwa rata-rata
usia menarche anak adalah 11,9±0,8 tahun. Variabel yang
berhubungan terhadap usia menarche adalah status gizi, asupan
lemak, konsumsi junk food, dan aktivitas fisik.
Maulidya (2018) dalam penelitiannya dengan judul Faktor-Faktor
yang Berhubungan Dengan Kista Ovarium Pada Wanita Usia Subur
Di RSUD dr. Chasbullah Abdulmagjid Kota Bekasi Tahun 2018
mendapatkan hasil bahwa ada hubungan menarche dini dengan
kejadian kista ovarium. Wanita dengan menarche beresiko (< 12
tahun) memiliki peluang mengalami kista ovarium 2,441 kali lebih
besar dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki menache
beresiko (≥12 tahun). Kista ovarium sering terjadi pada wanita
dimasa reproduksi, menstruasi di usia dini (menarche dini) yaitu usia
11 tahun atau lebih muda (<12 tahun) merupakan faktor resiko
berkembangnya kista ovarium, karena faktor asupan gizi jauh lebih
baik, rata-rata anak perempuan mulai memperoleh haid pada usia 10-
11 tahun. Seorang wanita yang mengalami menarche dini akan
meningkatkan resiko terjadinya kista ovarium. Hal ini dikarenakan
merupakan faktor resiko berkembangnya kista ovarium, karena faktor
asupan gizi jauh lebih baik, rata-rata anak perempuan mulai
memperoleh haid pada usia 10-11 tahun.
Memperkuat penelitian sebelumnya, Suprapto (2019) dalam
penelitiannya mendapatkan hasil bahwa pasien kista endometriosis
dengan usia menarche <11 tahun berjumlah 1 (2%) dan ≥ 11
tahun berjumlah 49 (98%).
2) Siklus Haid
29

Volume darah menstruasi perlu dikaji karena data ini menjelaskan


seberapa banyak darah menstruasi yang dikeluarkan (Sulistyawati,
2009 : 167).
Siklus haid normalnya 21-35 hari, mayoritas wanita mengalami
siklus 28-30 hari. Lama haid normalnya 4-7 hari, namun 2-8 hari
masih dianggap normal. Banyaknya darah dapat diperkirakan
berdasarkan pembalut yang dikenakan setiap harinya. Umumnya
volume darah haid dianggap normal jika pada hari pertama hingga
kedua haid, wanita mengganti pembalutnya tiap 4 jam (3-5 x sehari)
dengan kondisi pembalut ¾ penuh pada hari ke 3-4 ganti pembalut 3-
4 x sehari. ¼ penuh. Sedangkan hari ke 5-6 darah normalnya berupa
bercak-bercak kecoklatan saja (Widatiningsih & Dewi, 2017).
Siklus haid yang tidak teratur juga merupakan faktor resiko
terjadinya kista ovarium (Manuaba, 2010).

3) Sifat dan warna darah


Paling banyak pada hari ke 1-3 dengan warna darah merah tua
disertai sedikit bekuan darah. Selanjutnya berupa bercak-bercak
merah kecoklatan dan bersih pada hari ke 6 atau 7 (Widatiningsih &
Dewi, 2017).
4) Dismenore
Dismenore primer adalah normal, dialami sejak awal menarche
hingga sekarang, di mana wanita selalu merasakan nyeri perut bawah
pada permulaan haid (Widatiningsih & Dewi, 2017).
Menurut Kemenkes RI (2013) salah satu tanda gejala kista ovarium
adalah nyeri di bagian perut.
f. Riwayat Perkawinan
Riwayat pernikahan perlu untuk dikaji karena dari data ini kita akan
mendapatkan gambaran mengenai suasana rumah tangga pasangan.
Beberapa pertanyaan yang diajukan adalah usia ibu saat pertama
menikah, status pernikahan (sah/tidak sah), lama pernikahan, dan
pernikahan ke berapa (Sulistyawati, 2011).
1) Menikah
Menurut Astuti (2012) data tentang pernikahan klien perlu
ditanyakan apakah klien sekarang sudah menikah atau belum.
30

2) Usia saat menikah


Menurut Astuti (2012) usia pernikahan klien perlu dikaji karena
apabila klien mengatakan bahwa ia menikah di usia muda.
g. Riwayat KB
Bidan mengkaji tentang alat kontrasepsi yang pernah dipakai dan
lamanya, kapan terakhir berhenti dan alasan berhenti. Keluhan atau
masalah selama menggunakan alat kontrasepsi (Widatiningsih&Dewi,
2017).
h. Riwayat Kehamilan, Persalinan dan Nifas yang Lalu
Mengkaji riwayat kehamilan yang lalu untuk mengetahui apakah
ada gangguan seperti perdarahan, muntah yang sangat sering, toxaemia
gravidarum.
Mengkaji riwayat persalinan yang lalu untuk mengetahui apakah
persalinan spontan atau buatan, aterm atau premature, perdarahan,
ditolong oleh siapa (bidan, dokter).
Mengkaji nifas yang lalu untuk mengetahui adakah panas atau
perdarahan, bagaimana laktasinya.
Mengkaji keadaan anak untuk mengetahui jenis kelamin, hidup atau
tidak, kalau meninggal umur berapa dan sebabnya meninggal, berat badan
waktu lahir (Marmi, 2014).
Maulidya (2018) dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa ada
hubungan antara paritas dengan kejadian kista ovarium. seorang wanita
yang belum pernah melahirkan akan meningkatkan resiko terjadinya kista
ovarium. Hal ini dikarenakan wanita nulipara dan atau wanita yang
kesuburannya rendah, jika estrogen terganggu fungsinya maka siklus haid
pada wanita juga terganggu dan terdapat kemungkinan kesuburan juga
terganggu sehingga dapat mempengaruhi jumlah paritas yang dimiliki
oleh seorang wanita.
i. Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari-Hari
1) Pola Nutrisi
Pola nutrisi dikaji untuk mengetahui keadaan status gizi ibu (Rukiah,
2013).
Kekurangan gizi akan menyebabkan akibat buruk, ibu dapat
menderita anemia (Marmi, 2014:110).
31

Pengkajian ini juga untuk mengetahui komposisi makanan yang


dikonsumsi oleh ibu serta adakah pantangan atau tidak. Pantangan
terhadap jenis makanan tertentu biasanya ada alasannya seperti alergi
atau keyakinan budaya setempat. Pantang terhadap makanan tertentu
dapat berisiko malnutrisi jika pantangan itu mengandung nilai gizi
yang dibutuhkan oleh tubuh (Widatiningsih&Dewi, 2017:173).
Widyarni (2019) dalam penelitiannya dengan judul Faktor Resiko
Kejadian Kista Ovarium Di Poliklinik Kandungan dan Kebidanan
Rumah Sakit Islam Banjarmasin mendapatkan hasil bahwa adanya
hubungan antara pola makan dengan kejadian kista, dan nilai korelasi
koefesien (r=343) menunjukan kekuatan hubungan antara pola
makan dengan kejadian kista ovarium yang bersifat sedang. Hal ini
berarti responden dengan pola makan kurang baik berpeluang
mengalami kista ovarium. kejadian kista ovarium dengan pola makan
kurang mempunyai resiko lebih besar mengalami kista ovarium
dibandingkan responden dengan pola makan yang baik

2) Pola Eliminasi
Pola eliminasi perlu dikaji untuk mengetahui perubahan yang terjadi
pada klien, baik BAK maupun BAB. Frekuensi buang air kecil
perhari pada kondisi normal dengan intake minum 2 liter yaitu 4-7
kali perhari, warna urine yang baik yaitu jernih yang menandakan
kecukupan cairan dan tidak ada keluhan yang dirasakan. Jika urine
berwarna kuning dan pekat menunjukkan kekurangan intake cairan.
Frekuensi buang air besar perhari dikatakan lancar apabila teratur,
misalnya sehari 1-2 kali, sehari 1 kali, atau 2 hari sekali hingga 3 hari
sekali. Jika lebih dari 3 hari perlu diwaspadai. Selain itu juga tidak
ada keluhan/masalah seperti diare atau feses keras, disertai darah,
nyeri anus, dan sebagainya (Widatiningsih&Dewi, 2017).
3) Pola Aktivitas.
Perlu dikaji untuk mengetahui apakah aktivitas ibu berisiko atau
tidak (Widatiningsih&Dewi, 2017).
4) Pola Istirahat.
32

Pola istirahat dan tidur perlu dikaji untuk mengetahui tentang pola,
lama, dan gangguan tidur, baik waktu siang maupun malam hari
(Marmi, 2014).
5) Pola Seksual.
Koitus tidak dibenarkan apabila terdapat perdarahan pervaginam,
riwayat abortus berulang (Romauli, 2011).
6) Pola Hygiene.
Dikaji untuk mengetahui apabila pasien mempunyai kebiasaan yang
kurang baik dalam perawatan kebersihan dirinya, maka bidan harus
dapat memberikan bimbingan mengenai cara perawatan kebersihan
diri dan bayinya sedini mungkin (Sulistyawati, 2009).
7) Pola Hidup Sehat.
Gaya hidup seperti perokok, mengonsumsi obat-obatan, alkohol
adalah hal yang sangat berbahaya (Rukiyah, 2013: 92).
Maulidya (2018) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada
hubungan antara merokok dengan kejadian kista ovarium. Perubahan
gaya hidup juga mempengaruhi pola makan yaitu konsumsi tinggi
lemak dan rendah serat, merokok, konsusmsi alkohol, zat tambahan
pada makan, terpapar polusi asap rokok atau zat berbahaya lainya,
stress dan kurang aktifitas atau olahraga bisa memicu terjadinya suatu
penyakit. Kebiasaan merokok juga merupakan faktor resiko untuk
pertumbuhan kista ovaraium. Semakin meningkat resiko kista
ovarium dan semakin menurun indeks masa tubuh jika seorang
merokok. Responden yang merokok mempunyai peluang 3,43 kali
lebih besar untuk mengalami kista ovarium. Karena merokok dapat
meningkatkan resiko kista ovarium dan harus waspada serta harus
tidak lagi merokok dan memilih makanan yang sehat dan olahraga.
Wanita yang memiliki kebiasaan merokok atau terpapar asap rokok
(perokok pasif) memiliki peluang lebih beras mengalami kista
ovarium. Ini disebabkan karena dalam rokok terdapat zat
karsinogenik dan zat nikotin yang dapat menyerang ovarium bahkan
memicu kanker dan akan memudahkan terjadi kista ovarium
j. Data Psikososial dan Spiritual
Untuk mengetahui bagaimana keadaan mental dan kepercayaan yang
digunakan ibu, dan respon keluarga (Rukiah, 2013:147).
33

Triyanto (2010) dalam penelitiannya mengenai Hubungan Antara


Dukungan Suami Dengan Mekanisme Koping Istri Yang Menderita
Kista Ovarium Di Purwokerto, didapatkan hasil bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan mekanisme
koping istri yang menderita kista ovarium dengan nilai p = 0,016 pada CI
95%. Dukungan konkrit suami kepada istrinya berupa mengajak istrinya
untuk mencari pertolongan kepada penyedia layanan seperti dokter,
puskesmas dan rumah sakit. Dukungan informasional keluarga berupa
sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi seperti pemberian
saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu
masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya
suatu stresor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan
aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan
ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,
membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan
validator indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support,
penghargaan, perhatian. Bentuk dukungan emosional keluarga sebagai
tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta
membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan
emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi,
adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.
Dukungan suami akan memberikan dampak positif kepada kesembuhan
istrinya yang menderita kista ovarium. Kebutuhan perempuan yang
utama dari suaminya adalah berupa perhatian yang lebih. Dukungan
suami dapat berupa perhatian, komunikasi dan hubungan emosional yang
intim dan hangat dengan seluruh anggota keluarga.
Dikaji untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan ibu, hal yang
sudah diketahui dan hal yang ingin diketahui (Widatiningsih&Dewi,
2017).
3. Data Objektif
a. Pemeriksaan Fisik.
1) Pemeriksaan Umum.
a) Keadaan Umum.
34

Dikatakan baik jika pasien memperlihatkan respons yang


adekuat terhadap stimulasi lingkungan dan orang lain, serta
secara fisik pasien tidak mengalami kelemahan. Klien
dimasukkan dalam kriteria lemah ini jika ia kurang atau tidak
memberikan respons yang baik terhadap lingkungan dan orang
lain, dan pasien sudah tidak mampu lagi untuk berjalan sendiri
(Widatiningsih&Dewi, 2017).
b) Kesadaran.
Untuk mendapatkan gambaran tentang kesadaran pasien, kita
dapat melakukan pengkajian derajat kesadaran pasien dari
keadaan komposmentis (Kesadaran maksimal) sampai dengan
koma (pasien tidak dalam keadaan sadar) (Sulistyawati, 2011).

c) Berat Badan.
Berat badan ditimbang pada setiap kunjungan untuk
mengetahui berat badan ibu (Marmi, 2014).

d) Tinggi Badan.
Perlu dikaji untuk mengetahui apakah tinggi badan ibu masuk
standar normal atau tidak. Tubuh yang pendek menjadi indikator
gangguan genetik. Karena tinggi yang pasti tidak diketahui dan
tinggi badan berubah seiring peningkatan usia wanita (Marmi,
2014).

e) LILA
Perlu dikaji untuk mengetahui kondisi kecukupan energi ibu.
Standar minimal untuk ukuran lingkar lengan atas pada wanita
dewasa atau usia reproduksi adalah 23,5 cm. Jika ukuran lingkar
lengan atas kurang dari 23,5 cm maka interprestasinya adalah
kurang energi kronis (KEK) (Widatiningsih&Dewi, 2017).
f) IMT
Kenaikan berat badan dapat diketahui dari Indeks Massa Tubuh
(IMT) yaitu kesesuaian berat badan terhadap tinggi badan (Rukiyah,
2013).
Rumus perhitungan indeks massa tubuh sebagai berikut:
BB
IMT =
TB 2
Gambar 2.1 Rumus IMT
35

Keterangan:
BB=Berat badan.
TB=Tinggi badan (dalam meter).
IMT Klasifikasi dalam 4 kategori menurut WHO:
- IMT rendah (kurang dari 18,50)
- IMT normal (antara 18,50-25,99)
- IMT tinggi (antara 25,00-29,99)
- IMT obese (lebih dari 30)
(Widatiningsih & Dewi, 2017).
Anggraini, dkk (2015) dalam penelitiannya mengenai Pengaruh
Obesitas Terhadap Infertilitas Pada Wanita Pasangan Usia Subur
Di Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru didapatkan hasil bahwa ada
hubungan antara obesitas dengan infertilitas. Penelitian
menunjukkan bahwa wanita dengan berat badan lebih mungkin
akan sulit hamil. Semua risiko kesehatan yang dihubungkan dengan
kelebihan berat badan bisa mengganggu proses pembuahan,
kehamilan, dan kelahiran. Seorang istri yang mengalami obesitas
sangat mungkin mendapatkan problem gangguan ovulasi dan
gangguan implantasi embrio. Kelebihan berat badan dapat
mengganggu proses pembuahan dan akan terjadi gangguan pada
ovulasi.
g) Tekanan Darah
Tekanan darah perlu diukur untuk mengetahui tekanan darah ibu,
tetapi tekanan darah sistolik 140 mmHg atau diastolik 90 mmHg
pada saat awal pemeriksaan dapat mengindikasi potensi hipertensi
(Rukiyah, et al, 2013).
h) Nadi
Dalam keadaan santai denyut nadi ibu sekitar 60-80 x/menit. Jika
denyut nadi ibu 100x/menit atau lebih dalam keadaan santai,
mungkin ibu mengalami salah satu keluhan seperti tegang,
ketakutan atau cemas akibat masalah tertentu, perdarahan hebat,
anemia, demam, gangguan tiroid, serta gangguan jantung (Romauli,
2011).
i) Pernafasan
36

Frekuensi pernafasan normal pada orang dewasa 16 sampai 20 kali


per menit (Kusmiyati, 2011).
j) Suhu
Peningkatan suhu tubuh menunjukkan proses infeksi atau dehidrasi.
Suhu tubuh normal menurut Kusmiyati (2011) adalah 36,5-37,5°C.
2) Status Present
Pemeriksaan dilakukan secara pandang, rabaan dan dengan
menggunakan bantuan alat:

Kepala : Kepala dikaji apakah mesocephal, kulit kepala


menunjukkan adanya kelainan kulit atau tidak,
rambut yang mudah rontok atau rontok
(Widatiningsih&Dewi, 2017)

Muka : Bentuk simetris bila tidak menunjukkan kelainan,


tidak sembab.

Mata : Mata dikaji apakah simteris, keadaan konjungtiva


pucat atau tidak, oedema atau tidak
(Widatiningsih&Dewi, 2017). Sklera normal
berwarna putih, bila kuning menandakan ibu
mungkin terinfeksi hepatitis, bila merah
kemungkinan ada konjungtivitis. Kelopak mata
yang bengkak kemungkinan adanya pre-eklampsia.

Hidung : Hidung dikaji ada massa atau tidak, ada edema


mukosa atau tidak, sekresi (lendir/darah),
ditemukan cuping hidung atau tidak
(Widatiningsih&Dewi, 2017).

Telinga : Telinga dikaji simetris atau tidak, ada sekresi


(nanah, darah, cairan lain) atau tidak, gangguan
pendengaran atau tidak, ada tanda-tanda infeksi
atau tidak (Widatiningsih, Dewi, 2017).

Mulut :
Mulut dikaji :
a) Bibir (simetris atau tidak)
b) Lidah dan mukosa mulut ( sianosis atau tidak,
warna)
37

c) Gigi (kebersihan, karies, gangguan pada mulut)


(Widatiningsih, Dewi, 2017).

Leher : Leher dikaji ada nyeri atau tidak, ada


pembengkakan kelenjar tiroid atau tidak,
pembesaran kelenjar limfe atau tidak
(Widatiningsih&Dewi, 2017)

Dada :
Dadi dikaji simetris atau tidak, retraksi otot
interkostal atau tidak, suara nafas vesikuler atau
tidak, ada wheezing atau tidak, ada tidaknya
ronchi, ada tidaknya stridor, irama jantung teratur
atau tidak, ada tidaknya bising/murmur jantung,
ada tidaknya gallop (Widatiningsih&Dewi,2017).

Abdomen : Abdomen dikaji kembung atau tidak, bekas luka


operasi ditemukan atau tidak, terdapat massa
abnormal atau tidak, ada tidaknya nyeri tekan, ada
tidaknya pembesaran lien, ada tidaknya
pembesaran hepar (Widatiningsih&Dewi, 2017)

Ekstermitas : Ekstremitas atas dan bawah dikaji simetris atau


tidak, berfungsi normal atau tidak, ada tidaknya
edema sianosis bawah kuku, kapiler refill < 2 detik
(Widatiningsih&Dewi, 2017).

Vulva : Genetalia yang dikaji yaitu ada lecet/memar atau


tidak, ada tidaknya edema vulva, ada tidaknya
abses kelenjar bartholin dan skene, ditemukan
varises atau tidak, ada pengeluaran pervagina atau
tidak (Widatiningsih&Dewi, 2017).

Anus : Anus dikaji untuk mengetahui ada tidaknya


haemoroid, fistula, dan kebersihan (Kusmiyati,
2011)

Punggung : Untuk mengetahui ada tidaknya nyeri pergerakan,


skoliosis, kifosis, lordosis, nyeri costo vertebral
38

(Widatiningsih&Dewi, 2017).

b. Status Obstetrik
Pemeriksaan obstetrik digunakan untuk mengetahui kondisi pasien
berkaitan dengan kehamilan/persalinan. Pemeriksaan meliputi :

Muka : Adakah keadaan selaput mata pucat atau merah, adakah


2. odema pada muka, bagaimana keadaan lidah, gigi
(Marmi, 2014)

Mammae : Kaji bentuk buah dada, pigmentasi puting, dan


gelanggang susu, keadaan puting susu, adakah massa
(Marmi, 2014)

Abdomen : Kaji apakah ada massa (Marmi, 2014)

Vulva : Kaji apakah ada condylomata, flour (Marmi, 2014)

Pemeriksaan Penunjang
Menurut Bilotta (2012) ada beberapa pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosa kista ovarium, yaitu:
a. Laparaskopi.
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah
sebuahtumor berasal dari ovarium atau tidak, serta untuk menentukan
sifat-sifat tumor itu.
b. Ultrasonografi (USG).
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor,apakah
tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing,apakah
tumor kistik atau solid, dan dapat pula dibedakan antara cairan dalam
rongga perut yang bebas dan yang tidak.
c. Foto Rontgen.
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya
hidrotoraks.Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat
dilihat adanya gigi dalam tumor.
d. Parasintesis.
Pungsi ascites berguna untuk menentukan sebab ascites. Perlu
diperhatikan bahwa tindakan tersebut dapat mencemarkan
kavum peritonei dengan isi kista bila dinding kista tertusuk.
39

4. Analisa.
Data yang telah dkumpulkan pada tahap pengkajian kemudian
dianalisa dan diinterpretasikan untuk dapat menentukan diagnosa dan
masalah ibu (Widatiningsih&Dewi, 2017).
Diagnosa kebidanan adalah diagnosa yang ditegakkan bidan dalam
lingkup praktek kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur diagnosa
kebidanan (Essawibawa, 2011). Diagnosa kebidanan sendiri didapat dari
data dasar yang terdiri atas data subyektif dan data obyektif. Diagnosa
yang dapat ditegakkan adalah ”Ny ... P ... A… umur... tahun dengan
gangguan sistem reproduksi kista ovarium”.
Masalah yang diidentifikasi dilakukan pencegahan, bidan diharapkan
waspada dan siap dalam menangani masalah atau kemungkinan masalah,
sesuai kebutuhan klien (Kemenkes RI, 2018).
5. Penatalaksanaan.
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh berdasarkan
langkah sebelumnya. Semua perencanaan yang dibuat harus berdasarkan
pertimbangan yang tepat, mmeliputi pengetahuan, teori yang up to date,
serta divalidasikan dengan asumsi mengenai apa yang diinginkan dan tidak
diinginkan oleh pasien. Dalam menyusun perencanaan, sebaiknya pasien
dilibatkan karena pada akhirnya pengembalian keputusan dilaksanakannya
suatu rencana asuhan ditentukan oleh pasien sendiri (Sulistyawati, 2009).
Bidan mengembangkan rencana asuhan/tindakan yang komprehensif
berdasar langkah yang telah dilakukan sebelumnya. Rencana asuhan harus
disetujui bersama dengan klien agar pelaksanaannya efektif.
(Widatiningsih, dkk., 2017:186-189).
40

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, Prasanti. 2018. Hubungan Paritas Dan Usia Ibu Dengan Kista Ovarium Di
RSUD dr. R. Goeteng Tarunadibrata Purbalingga. Jurnal Publikasi
Kebidanan: Bidan Prada. 9(1):57-66.
Anggraini, Sri, dkk. 2015. Pengaruh Obesitas Terhadap Infertilitas Pada Wanita
Pasangan Usia Subur Di Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru. Jurnal
Proteksi Kesehatan. 4(1):49-58.
Astuti. 2012. Buku Ajaran Asuhan Kebidanan Ibu 1 (Kehamilan). Yogyakarta :
Rahima Press.

Dinas Kesehatan Provinsi Jateng, 2015. Kista Ovarium artikel perbandingan didunia
kesehatan
41

Fathkiyah, Natiqotul. 2019. Faktor Risiko Kejadian Kista Ovarium Pada Wanita Usia
Reproduksi Di RSKIA Kasih Ibu Kota Tegal. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kesehatan Bhamada. 10(1):79-84
Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. Jakarta:Kemenkes RI.
Kemenkes. 2015. Profil Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia
Kemenkes. 2018. Kesehatan Reproduksi dan Seksual Bagi Calon Pengantin. Jakarta:
Kemenkes RI.
King, dkk. 2019. Varney’s Midwifery. 6. Burlington: Jones&Bartlett Learning.
Kurniawaty. 2019. Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Wanita Usia Subur Dengan
Pencegahan Kista Ovarium. Jurnal ‘Aisyiyah Medika. 3(1):103-109.
Kusmiyati, Yuni. 2011. Penuntun Praktikum Asuhan Kehamilan.
Yogyakarta:Fitramaya.

Marmi. 2014. Kebidanan Pada Masa Antenatal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Maulidya, Yulia. 2018. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kista
Ovarium Di RSUD Kota Bekasi Tahun 2018. Stikes Medika Cikarang
Bekasi. Skripsi.
Nugroho, Taufan. 2014. Masalah Kesehatan Reproduksi Wanita. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Prawirohardjo, Sarwono. 2014.Ilmu Kebidanan.Jakarta : PT Bina Pustaka.

Prawirohardjo. 2014. Ilmu Kandungan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.
Rasjidi, Imam dkk.. 2010. Imaging Ginekologi Onkologi. Jakarta : CV Sagung
Seto.
Rasjidi. 2010. 1000 Questions & Answer Kanker pada Wanita. Jakarta : PT Elex
Media Komputindo
Romauli. 2011. BukuAjar Asuhan Kebidanan 1 Konsep Dasar Asuhan Kehamilan.
Cetakan Pertama Yogyakarta : Nuha Medika
Rukiah, dkk. 2013. Asuhan Kebidanan I Kehamilan. Jakarta:Trans Info Medika

Sofian. 2012. Sinopsis Obstetri Rustam Mochtar. Jilid 1. Jakarta : EGC


Sulistiyawati, Ari. 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Kehamilan. Jakarta:PT.
Salemba Medika.

Sulistyawati. A. 2011. Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta:Salemba Medika


42

Suprapto, Chirstian Hans. 2019. Faktor Risiko Kejadian Kista Endometriosis Di RS


Bethesda Yogyakarta. Katalog Universitas Kristen Duta Wacana. Skripsi.
Triyanto, Endang. 2010. Hubungan Antara Dukungan Suami Dengan Mekanisme
Koping Istri Yang Menderita Kista Ovarium Di Purwokerto. Jurnal
Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). 5(1):1-7.
Varney, dkk. 2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. 4. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Walyani, E. S. 2015. Asuhan Kebidanan pada Kehamilan. Yogyakarta: Pustaka Baru.


Widatiningsih, Sri&Christin Hiyana Tungga Dewi. 2017. Praktik Terbaik Asuhan
Kehamilan. Yogyakarta: Trans Medika.

Widyarni, Ari. 2019. Faktor Resiko Kejadian Kista Ovarium Di Poliklinik


Kandungan dan Kebidanan Rumah Sakit Islam Banjarmasin. Dinamika
Kesehatan Jurnal Kebidanan dan Keperawatan. 11(1):28-36.
Zalni R, Harahap H, Desfita S. (2017). Usia Menarche Berhubungan Dengan
Status Gizi, Konsumsi Makanan Dan Aktivitas Fisik. Jurnal
Kesehatan Reproduksi. 8 (2): 153-16.

Anda mungkin juga menyukai