Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN KEGAWATDARURATAN MATERNAL


DI RS TK III 04.06.01 WIJAYAKUSUMA PURWOKERTO
KABUPATEN BANYUMAS

Untuk Memenuhi Persyaratan Target Praktik Semester II


Stage Kegawatdaruratan Maternal-Neonatal
Program Studi Profesi Bidan

Disusun Oleh :

NISMASARI ULFI MULYANTI


P1337424820041

PRODI PROFESI BIDAN SEMARANG JURUSAN KEBIDANAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal telah diperiksa


dan disahkan pada tanggal 2021

Purwokerto, Mei 2021


Pembimbing Institusi Praktikan

Isti Rokhmanti, S.SiT Nismasari Ulfi Mulyanti


NIP 198703272008122001
NIM: P1337424820041
Pembimbing Institusi

Dr. Runjati, M.Mid


NIP. 19741114 199803 2 001
LAPORAN PENDAHULUAN

A. TINJAUAN TEORI MEDIS


1. Abortus
a. Pengertian

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi pada usia


kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram
(Sujiyatini dkk, 2014).
Keguguran simtomatik meningkat seiring dengan umur ibu. Frekuensi
berlipat dua dari 12% pada wanita berusia < 20 tahun menjadi 26% pada
mereka yang berusia >40 tahun (Chunningham, 2013). Abortus meningkat
seiring dengan meningkatnya paritas ibu (Chunningham 2013).
Resiko abortus semakin tinggi dengan semakin bertambahnya umur ibu.
Insiden abortus dengan trisomy meningkat dengan bertambahnya umur ibu.
Risiko ibu terkena aneuploidy (perubahan jumlah kromosom yang hanya
terjadi pada pasangan kromosom tertentu) adalah 1:80, pada umur diatas 35
tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomy akan meningkat
setelah usia 35 tahun (Winkjosastro, 2018).
Pada ibu hamil yang berusia kurang dari 20 tahun alat reproduksi belum
matang untuk hamil sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun
pertumbuhan dan perkembangan janin, ibu masih dalam masa
pertumbuhan, dari faktor psikologis pun belum matang atau belum siap
menerima kehamilan sedangkan abortus yang terjadi karena berkurangnya
fungsi alat reproduksi dan karena problem kesehatan seperti anemia dan
penyakit kronis (Manuaba, 2012).
Abortus adalah terancamnya atau keluarnya buah kehamilan baik
sebagian ataupun keseluruhan pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu.
Kematian janin dalam rahim disebut Intra Uterine Fetal Death (IUFD),
yakni kematian yang terjadi saat usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau
pada trimester kedua dan atau yang beratnya 500 gram. Jika terjadi pada
trimester pertama disebut keguguran atau abortus (Setiawati, 2013).
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan akibat faktor tertentu atau
sebelum kehamilan tersebut berusia 20 minggu atau buah kehamilan belum
mampu untuk hidup diluar kandungan (Yulaikha Lily, 2015).
b. Jenis-jenis Abortus.
Jenis abortus berdasarkan terjadinya abortus menurut Maryunani (2014)
dibedakan menjadi :
1) Abortus Spontan.
Abortus spontan adalah setiap kehamilan yang berakhir secara spontan
sebelum janin dapat bertahan. WHO mendefinisikan sebagai embrio
atau janin seberat 500 gram atau kurang, yang biasanya sesuai dengan
usia janin (usia kehamilan) dari 20 hingga 22 minggu atau kurang.
Abortus spontan terjadi pada sekitar 15%-20% dari seluruh kehamilan
yang diakui, dan biasanya terjadi sebelum usia kehamilan memasuki
minggu ke-13 (Fauziyah, 2012).
Abortus spontan yang disebut juga dengan miscarriage atau keguguran,
adalah abortus yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi luar (buatan)
untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Merupakan ±20 % dari semua
abortus. (Maryunani, 2014).
Gejala abortus spontan adalah kram dan pengeluaran darah dari jalan
lahir adalah gejala yang paling umum terjadi pada abortus spontan.
Kram dan pendarahan vagina yang mungkin tejadi sangat ringan,
sedang, atau bahkan berat. Tidak ada pola tertentu untuk berapa lama
gejala akan berlangsung. Selain itu gejala lain yang menyertai abortus
spontan yaitu nyeri perut bagian bawah, nyeri pada punggung,
pembukaan leher rahim dan pengeluaran janin dari dalam rahim.
Berdasarkan gambaran klinisnya, abortus dibagi menjadi
a) Abortus Imminiens (keguguran mengancam).
Abortus ini baru mengancam dan masih ada harapan untuk
mempertahankannya. Pada abortus ini terjadinya perdarahan uterus
pada kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu, janin masih
dalam uterus, tanpa adanya dilatasi serviks. Diagnosisnya terjadi
perdarahan melalui ostium uteri eksternum disertai mual, uterus
membesar sebesar tuanya kehamilan. Serviks belum membuka, dan
tes kehamilan positif.
b) Abortus insipiens (keguguran berlangsung).
Abortus ini sudah berlangsung dan tidak dapat dicegah lagi. Pada
abortus ini peristiwa peradangan uterus pada kehamilan sebelum
usia kehamilan 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks.
Diagnosisnya rasa mulas menjadi lebih sering dan kuat, pendarahan
bertambah.
c) Abortus incompletes (keguguran tidak lengkap).
Sebagian dari buah kehamilan telah dilahirkan tapi sebagian
(biasanya jaringan plasenta) masih tertinggal di dalam rahim. Pada
abortus ini pengeluaran sebagian janin pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada
pemeriksaan vaginal, servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba
dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium
uteri eksternum. Perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa janin
dikeluarkan, dapat menyebabkan syok.
d) Abortus komplit (keguguran lengkap).
Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap. Pada
abortus ini, ditemukan pendarahan sedikit, ostium uteri telah
menutup, uterus sudah mengecil dan tidak memerlukan pengobatan
khusus, apabila penderita anemia perlu diberi sulfat ferrosus atau
transfusi (Fauziyah, 2016).
e) Missed Abortion (keguguran tertunda).
Keadaan dimana janin telah mati sebelum minggu ke-22. Pada
abortus ini, apabila buah kehamilan yang tertahan dalam rahim
selama 8 minggu atau lebih. Sekitar kematian janin kadang-kadang
ada perdarahan sedikit sehingga menimbulkan gambaran abortus
imminiens (Sulistyawati, 2013).
f) Abortus habitualis (keguguran berulang-ulang),
Abortus yang telah berulang dan berturut-turut terjadi, sekurang-
kurangnya 3x berturut-turut.
g) Abortus infeksiosus, abortus septik.
Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat
genetalia. Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran
infeksi pada peredaran darah tubuh (Prawirohardjo, 2014).
2) Abortus Provokatus.
Abortus buatan, pengguguran aborsi atau abortus provokatus adalah
abortus yang terjadi akibat intervensi tertentu yang bertujuan untuk
mengakhiri proses kehamilan, biasanya karena kehamilan yang tidak
diinginkan. 80 % dari semua abortus dibagi atas 2 yaitu:
a) Abortus provocatus artificialis atau abortus therapeuticus.
Abortus provocatus artificialis atau abortus therapeuticus ialah
pengguguran kehamilan biasanya dengan alat-alat dengan alasan
bahwa kehamilan membahayakan membawa maut bagi ibu,
misalnya karena ibu berpenyakit berat misalnya: penyakit jantung,
hipertensi esensial, kanker serviks.
b) Abortus provocatus criminalis.
Abortus buatan kriminal (abortus propocatus criminalis) adalah
pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau oleh
orang yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum (Feryanto,
2014). Abortus provocatus criminalis adalah pengguguran
kehamilan tanpa alasan medis yang sah dan dilarang oleh hukum.
Abortus provokatus dapat dilakukan dengan pemberian
prostaglandin atau curettage dengan penyedotan (vakum) atau
dengan sendok kuret (Pudiastusi, 2012).
c. Patofisiologi.

Rahmani (2014) mengemukakan bahwa pada permulaan abortus terjadi


perdarahan dalam desidua basalis yang diikuti nekrosis jaringan
disekitarnya. Hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya sehingga
merupakan benda asing dalam uterus. Hal ini menyebabkan uterus
berkontraksi untuk mengeluarkan hasil konsepsi. Pada kehamilan kurang
dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya dikeluarkan seluruhnya karena
villi korialis belum menembus desidua secara mendalam. Pada kehamilan
antara 8-14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam, sehingga
plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak
perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu umumnya yang mula-
mula dikeluarkan setelah ketuban pecah, janin disusul beberapa waktu
kemudian oleh plasenta yang terbentuk lengkap.
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk.
Ada yang hanya kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya benda
kecil tanpa bentuk yang jelas (blighted ovum) dan ada yang berupa janin
lahir mati. Mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat maka
dapat diliputi oleh lapisan bekuan darah dan isi uterus dinamakan mola
kruenta.
Bentuk ini menjadi mola karnosa apabila pigmen darah telah diserap
sehingga semuanya tampak seperti daging. Bentuk lain adalah mola
tuberose dalam hal ini tampak berbenjol-benjol karena terjadi hematoma
antara amnion dan korion.
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi
proses mumifikasi yaitu janin mengering dan karena cairan amnion menjadi
kurang oleh sebab diserap, maka menjadi agak gepeng (fetus kompresus).
Dalam tingkat lebih lanjut menjadi tipis seperti kertas perkamen (fetus
papiraseus). Kemungkinan lain pada janin mati yang tidak lekas dikeluarkan
ialah terjadinya maserasi yaitu kulit terkelupas, tengkorak menjadi lembek,
perut membesar karena terisi cairan, dan seluruh janin berwarna kemerah-
merahan.
d. Penyebab.
Penyebab abortus bervariasi dan sering diperdebatkan. Umumnya
terdapat lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak diantaranya adalah
seperti berikut:
1) Penyebab Genetik.
Separuh dari abortus karena kelainan sitogenik pada trimester pertama
berupa trisomi autosom. Trisomi timbul akibat dari nondisjunction
meiosis selama gametogenesis pada pasien dengan kariotip normal.
Untuk sebagian besar trisomi, gangguan miosis maternal bisa
berimplikasi pada gametogenesis. Insiden trisomi meningkat dengan
bertambahnya usia. Trisomi 16, dengan kejadian sekitar 30 persen dari
seluruh trisomi, merupakan penyebab terbanyak. Semua kromosom
trisomi berakhir abortus kecuali pada trisomi kromosom 1. Pengelolaan
standar menyarankan untuk pemeriksaan genetik amniosentesis pada
semua ibu hamil dengan usia lanjut, yaitu di atas 35 tahun. Risiko ibu
terkena aneuploidi adalah 1:80, pada usia di atas 35 tahun karena
angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia
35 tahun (Prawirohardjo, 2018).
2) Penyebab Anatomik.
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik,
seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden
kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada
perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27
persen pasien. Mioma uteri bisa menyebabkan baik infertilitas maupun
abortus berulang. Sindroma Asherman bisa menyebabkan
gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan
endometrium. Risiko abortus antara 25-80%, bergantung pada berat
ringannya gangguan (Prawirohardjo, 2014).
3) Penyebab Autoimun.
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus yang berulang dan
penyakit autoimun. Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus
(SLE) dan antiphospholipid Antibodies (aPA). aPA merupakan antibody
spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE. Kejadian
abortus spontan di antara pasien SLE sekitar 10%, dibanding
populasi umum. Bila digabung dengan peluang terjadinya
pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka diperkirakan 75%
pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan.
Sebagian besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA
merupakan antibodi yang berikatan dengan sisi negatif dari fosfolipid.
4) Penyebab Infeksi.
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga
sejak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan
kejadian abortus berulang pada perempuan yang ternyata terpapar
brucellosis. Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran
infeksi terhadap risiko abortus, diantaranya sebagai berikut:
a) Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang
berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta.
b) Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat
sehingga janin sulit bertahan hidup.
c) Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa
berlanjut kematian janin.
d) Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitelia bawah
(misalnya mikoplasma bominis, klamidia) yang bisa mengganggu
proses implantasi.
e) Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh
karena virus selama kehamilan awal (misalnya Rubela, Parvovirus
B19, Sitomegalovirus, Koksakie virus B, Varisela-Zoster, HSV)
(Prawirohardjo, 2014).
5) Faktor Lingkungan.
Diperkirakan 1-10 persen malformasi janin akibat dari paparan obat,
bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus. Rokok
diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang
telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat
sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan
oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Dengan terjadinya
gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan
pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus (Prawirohardjo,
2014).
6) Faktor Hemotologik.
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan
adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen
koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi
embrio, invasi trofoblas, dan plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan
hiperkoagulasi dikarenakan peningkatan kadar faktor prokoagulan,
penurunan faktor antikoagulan, dan penurunan aktivitas fibrinolitik.
Kadar faktor VII, VIII, X, dan fibrinogen meningkat selama kehamilan
normal, terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu (Prawirohardjo,
2014).
Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering
didapatkan defek hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan
menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang,
sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan pada
usia kehamilan 4-6 minggu, dan penurunan produksi prostasklin saat
usia kehamilan 8-11 minggu. Perubahan rasio tromboksan-prostasiklin
memacu vasospasme serta agregrasi trombosit, yang akan menyebabkan
mikrotrombi serta nekrosis plasenta. Juga sering disertai penurunan
kadar protein C dan fibrinopeptida (Prawirohardjo, 2014).
Defisiensi faktor XII (Hageman) berhubungan trombosis sistemik
ataupun plasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan
abortus berulang pada lebih dari 22 persen kasus. Hiperhomosisteinemi
berhubungan dengan trombosis dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini
berhubungan dengan 21 persen abortus berulang. Gen pembawa akan
diturunkan secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat
adalah defisiensi folat (Prawirohardjo, 2014).
7) Faktor Hormonal.
Wanita dengan diabetes mellitus terkontrol memiliki risiko abortus yang
tidak lebih jelek dibandingkan wanita tanpa diabetes mellitus. Akan
tetapi, terjadi peningkatan signifikan risiko abortus dan malformasi janin
pada wanita-wanita pengidap diabetes dengan kadar HbA1c tinggi
pada trimester pertama. Wanita pengidap DM tipe 1 dengan kontrol
glukosa tidak adekuat mempunyai peluang 2-3 kali lipat mengalami
abortus. Selain itu, kadar progesteron yang rendah mempengaruhi
kepekaan endometrium terhadap implantasi embrio. Dukungan pada
fase luteal mempunyai peran kritis pada kehamilan sekitar 7 minggu,
yaitu saat dimana trofoblas harus menghasilkan cukup steroid untuk
menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus luteum sebelum usia 7
minggu akan menyebabkan abortus. Apabila progesteron diberikan pada
pasien ini, kehamilan bisa diselamatkan.

Penyebab abortus juga disebabkan berbagai faktor lain, baik dari janin,
ibu, maupun ayah.
1) Faktor Internal.
a) Usia.
Berdasarkan teori Prawirohardjo (2014) pada kehamilan usia
muda keadaan ibu masih labil dan belum siap mental untuk
menerima kehamilannya. Akibatnya, selain tidak ada persiapan,
kehamilannya tidak dipelihara dengan baik. Kondisi ini
menyebabkan ibu menjadi stress. Akan meningkatkan resiko
terjadinya abortus.
Kejadian abortus berdasarkan usia 42,9% terjadi pada kelompok
usia di atas 35 tahun, kemudian diikuti usia 30 sampai dengan 34
tahun dan antara 25 sampai dengan 29 tahun. Hal ini disebabkan
usia diatas 35 tahun secara medik merupakan usia yang rawan
untuk kehamilan. Selain itu, ibu cenderung memberi perhatian
yang kurang terhadap kehamilannya dikarenakan sudah mengalami
kehamilan lebih dari sekali dan tidak bermasalah pada kehamilan
sebelumnya.
Menurut Kenneth J. Leveno et al (2009) dalam Prawirohardjo
(2014) pada usia 35 tahun atau lebih, kesehatan ibu sudah menurun.
Akibatnya, ibu hamil pada usia itu mempunyai kemungkinan
lebih besar untuk mempunyai anak prematur, persalinan lama,
perdarahan, dan abortus. Abortus spontan yang secara klinis
terdeteksi meningkat dari 12% pada wanita usia kurang dari 20
tahun dan menjadi 26% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun.
Luthfiana, dkk (2017) dalam penelitiannya ada pengaruh usia
terhadap kejadian abortus inkomplit. Menurut Cunningham (2014)
bahwa keguguran simtomatik meningkat seiring dengan usia ibu
dan ayah. Frekuensi berlipat dua dari 12% pada wanita berusia
kurang dari 20 tahun menjadi 26 persen pada mereka yang berusia
lebih dari 40 tahun. Menurut Mochtar (2013) wanita yang hamil
pada usia terlalu muda yaitu dibawah umur 20 tahun secara fisik
alat-alat reproduksi belum berfungsi dengan sempurna dan belum
siap untuk menerima hasil konsepsi sehingga bila terjadi kehamilan
dan persalinan akan lebih mudah mengalami komplikasi dan secara
psikologis belum cukup dewasa dan matang untuk menjadi seorang
ibu.
Sejalan dengan penelitian sebelumnya, Ratnasari,dkk (2020) dalam
penelitiannya mengenai Hubungan Antara Usia Ibu Hamil Dan
Kejadian Abortus Spontan, didapatkan hasil bahwa terdapat
hubungan antara usia ibu hamil pada primigravida dengan kejadian
abortus spontan di RSI Sultan Agung Semarang.
b) Paritas.
Pada kehamilan, rahim ibu teregang oleh adanya janin. Bila terlalu
sering melahirkan, rahim akan semakin lemah. Bila ibu telah
melahirkan 4 anak atau lebih, maka perlu diwaspadai adanya
gangguan pada waktu kehamilan, persalinan dan nifas. Risiko
abortus spontan meningkat seiring dengan paritas ibu.
Ruqaiyah, dkk (2019) dalam penelitiannya mendapatkan hasil ada
hubungan antara paritas dengan kejadian abortus di RSU Bahagia
Makassar. Kejadian abortus paritas yang berisiko tinggi 66 orang
(54,1%) dibandingkan dengan paritas resiko rendah 56 orang
(45,9%). Hasil penelitian ini menunjukkan ibu hamil dengan paritas
resiko tinggi lebih banyak yang mengalami abortus dibandingkan
dengan ibu hamil dengan paritas resiko rendah. Ibu yang
mengalami kehamilan dan persalinan pertama berisiko karena
belum pernah mengalami kehamilan sebelumnya, selain itu jalan
lahir baru akan dilalui janin. Bila terlalu sering melahirkan, rahim
akan semakin lemah karena jaringan parut uterus akibat kehamilan
yang berulang dapat mengakibatkan ibu mengalami komplikasi saat
kehamilan maupun persalinan.
Sejalan dengan penelitian sebelumnya, Jumiati (2019) dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa ada hubungan paritas dengan
abortus. Paritas mempengaruhi terjadinya abortus karena pada
paritas nullipara dan primipara memerlukan adaptasi lebih dalam
untuk menerima kehamilan baik secara fisik maupun secara psikis
sedangkan pada paritas yang lebih dari 5 kemungkinan akan
ditemui keadaan seperti kekendoran pada dinding rahim sehingga
kekuatan rahim sebagai tempat pertumbuhan dan perkembangan
janin semakin berkurang dan tidak mampu mempertahankan hasil
konsepsi sehingga dapat menyebabkan terjadinya abortus.
c) Jarak Kehamilan.
Bila jarak kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun,
rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan
dalam keadaan ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan
pertumbuhan janin kurang baik, mengalami persalinan yang lama,
atau perdarahan (abortus). Insidensi abortus pada wanita yang hamil
dalam 3 bulan setelah melahirkan aterm.
Jumiati (2019) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa ada
hubungan jarak kehamilan ibu hamil dengan abortus di RSU Mutia
Sari Duri periode 2017. Jarak kehamilan merupakan salah satu
faktor penyebab terjadinya abortus. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu kurangnya pengetahuan dan informasi tentang
pentingnya menjaga jarak kehamilan serta kurangnya pengetahuan
tentang alat kontrasepsi. Dalam hal ini, jarak kehamilan yang
kurang dari 2 tahun mempengaruhi terjadinya abortus karena
keadaan ibu belum pulih secara fisiologis dari suatu kehamilan atau
persalinan sebelumnya sehingga memungkinkan terjadinya
komplikasi pada ibu maupun bayi.

d) Riwayat Abortus Sebelumnya.


Menurut Prawirohardjo (2014) riwayat abortus pada penderita
abortus merupakan predisposisi terjadinya abortus berulang.
Kejadiannya sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan
bahwa setelah 1 kali abortus pasangan punya risiko 15% untuk
mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali maka
risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi menyatakan risiko
abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah 30-45%.
e) Faktor Genetik.
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan
kariotip embrio yang merupakan kelainan sitogenik berupa
aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadis dari
fertilitas abnormal. Sebagian dari kejadian abortus pada
trimester pertama berupa trisomi autosom yang timbul selama
gametogenesis pada pasien dengan kariotip normal. Insiden trisomi
ini dapat meningkat dengan bertambahnya usiadimana risiko ibu
terkena aneuploidi diatas 35 tahun. Selain dari struktur
kromosom atau gen abnormal, gangguan jaringan konektif lainnya
misalnya Sindroma Marfan dan ibu dengan sickle cell anemia
berisiko tinggi mengalami abortus (Prawirohardjo, 2014).
f) Faktor Anatomik.
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi
obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas, dan malpresentasi
janin. Kelainan anatomik uterus lainnya seperti septum uterus dan
uterus bikornis. Mioma uteri dapat menyebabkan infertilitas
maupun abortus berulang dan sindroma asherman juga dapat
menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah
pada permukaan endometrium.

g) Faktor Imunologis.
Dalam faktor immunologis ada dua jenis faktor yang mempengaruhi
terjadiny abortus khususnya pada kejadian abortus berulang. Faktor
dengan penyebab autoimun yaitu antibodi dengan fosfolipid
bermuatan negatif yang terdeteksi sebagai antikoagulan lupus dan
antibodi antifosfolipid yang banyak terjadi pada abortus berulang.

h) Antikoagulan Lupus.
Yaitu imunoglobin yang mengganggu satu atau lebih dari beberapa
uji koagulasi dependen fosfolipid in vitro yang biasanya untuk
kriteria diagnostik penyakit lupus. Antibodi antifosfolipid adalah
antibodi yang didapat untuk ditujukan pada suatu fosfolipid yang
melibatkan trombosis dan infark plasenta.
i) Faktor Infeksi.
Penyakit yang diakibatkan oleh penularan virus atau bakteri yang
berdampak pada janin atau unit fetoplasenta seperti infeksi kronis
endometrium amnionitis, infeksi organ genetalia, dan HIV (Human
Immunodeficiency Virus).
j) Faktor Penyakit Debilitas Kronik.
Penyakit kronik yang timbul saat atau sebelum kehamilan dapat
menyebabkan abortus seperti tuberkulosis, karsinomatosis,
hipertensi dan sindroma malabsorbsi.
k) Faktor Hormonal.
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada
koordinasi yang baik pada sistem pengaturan hormon maternal.
Sistem hormonal ibu hamil yang perlu diperhatikan terutama setelah
konsepsi yaitu kadar progesteron, fase luteal dan kadar insulin.
Kadar progesteron ibu yang rendah dapat berisiko abortus karena
progesteron berperan dalam reseptivitas endometrium terhadap
implantasi embrio.
l) Faktor Hematologik.
Pada kasus abortus berulang yang ditandai defek plasentasi dan
adanya mikroorganisme pada pembuluh darah plasenta. Berbagai
komponen koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada
implantasi embrio, invasi trofoblas, dan plasentasi. Penyakit
trombofilia herediter juga berpengaruh terhadap terjadinya abortus.
m) Serviks Inkompeten.
Merupakan kelainan yang ditandai adanya pembukaan serviks
tanpa rasa nyeri pada trimester kedua atau awal trimester tiga
yang disertai prolaps dan menggembungnya selaput ketuban dan
ekspulsi janin immatur. Riwayat trauma pada serviks saat
adanya dilatasi atau pada kuretase menjadi salah satu penyebab dari
serviks inkompeten.
n) Cacat Uterus.
Destruksi endometrium luas akibat kuretase hal ini
menyebabkan amenore dan abortus berulang yang disebabkan
oleh kurang memadai endometrium untuk menunjang implantasi.
o) Gamet yang Menua.
Pada suatu penelitian dilaporkan bahwa penuaan gamet di dalam
saluran genetalia wanita sebelum pembuahan meningkatkan
kemungkinan abortus dan ibu yang berusia lebih dari 35 tahun
memperlihatkan peningkatan insidensi sindrom kantung amnion
kecil.
p) Trauma fisik.
Trauma yang dapat mengakibatkan abortus seperti trauma akibat
suatu benturan benda tumpul dalam kecelakaan, luka bakar,
kekerasan dan terkena senjata tajam yang mengakibatkan
perdarahan pada saat kehamilan.
e. Diagnosis Abortus.

Sebagai seorang bidan pada kasus perdarahan awal kehamilan yang


harus dilakukan adalah memastikan arah kemungkinan keabnormalan yang
terjadi berdasarkan hasil tanda dan gejala yang ditemukan, yaitu melalui:
1) Anamnesa.
a) Usia kehamilan ibu (kurang dari 20 minggu).
b) Adanya kram perut atau mules daerah atas sympisis, nyeri
pinggang akibat kontraksi uterus.
c) Perdarahan pervaginam mungkin disertai dengan keluarnya
jaringan hasil konsepsi.
2) Pemeriksaan Fisik.
Hasil pemeriksaan fisik di dapat:
a) Biasanya keadaan umum (KU) tampak lemah.
b) Tekanan darah normal atau menurun.
c) Denyut nadi normal, cepat atau kecil dan lambat.
d) Suhu badan normal atau meningkat.
e) Pembesaran uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan.
3) Pemeriksaan Ginekologi.
Hasil pemeriksaan ginekologi didapat inspeksi vulva untuk menilai
perdarahan pervaginam dengan atau tanpa jaringan hasil konsepsi.
a) Pemeriksaan pembukaan serviks.
b) Inspekulo menilai ada/tidaknya perdarahan dari cavum uteri,
ostium uteri terbuka atau tertutup, ada atau tidaknya jaringan di
ostium.
c) Vagina Toucher (VT) menilai portio masih terbuka atau sudah
tertutup teraba atau tidak jaringan dalam cavum uteri, tidak nyeri
adneksa, kavum doglas tidak nyeri
4) Pemeriksaan penunjang dengan ultrasonografi (USG) oleh dokter
(Irianti, 2014).
f. Tata Laksana Umum.
Sebelum penanganan sesuai klasifikasinya, abortus memiliki
penanganan secara umum antara lain:
1) Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu
termasuk tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan,
suhu).
2) Pemeriksaan tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan
sistolik <90 mmHg). Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal
syok. Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan
tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu
karena kondisinya dapat memburuk dengan cepat.
3) Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan
komplikasi, berikut kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam
untuk 48 jam:
a) Ampisilin 2 g lV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam.
b) Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
c) Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
4) Segera rujuk ibu ke rumah sakit.
5) Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan
emosional dan kongseling kontrasepsi pasca keguguran.
6) Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus (WHO, 2013).

a) Abortus Imminens.
1) Berbaring, cara ini menyebabkan bertambahnya aliran darah ke
uterus dan sehingga rangsang mekanik berkurang.
2) Pemberian hormon progesteron.
3) Pemeriksaan ultrasonografi (USG).
b) Abortus Insipiens.
Pengeluaran janin dengan kuret vakum, disusul dengan kerokan. Pada
kehamilan lebih dari 12 minggu bahaya peforasi pada kerokan lebih
besar, maka sebaiknya proses abortus dipercepat dengan pemberian infus
oksitosin. Sebaliknya secara digital dan kerokan bila sisa plasenta
tertinggal bahaya peforasinya kecil.
c) Abortus Inkomplit.
Abortus inkomplit adalah begitu keadaan hemodinamik pasien sudah
dinilai dan pengobatan dimulai, jaringan yang tertahan harus diangkat
atau perdarahan akan terus berlangsung. Oksitosin (oksitosin 10
IU/500ml larutan dekstrosa 5% dalam larutan RL IV dengan kecepatan
kira-kira 125 ml/jam) akan membuat uterus berkontraksi, membatasi
perdarahan, membantu pengeluaran bekuan darah atau jaringan dan
mengurangi kemungkinan perforasi uterus selama dilatasi dan kuretase.
d) Abortus Komplit dan abortus tertunda (missed abortion).
Penganan terbaru missed abortion adalah induksi persalinan dengan
supositoria prostaglandin E2, jika perlu dengan oksitosin IV (C.Benson,
2013).
g. Komplikasi.
Komplikasi yang terjadi pada abortus yang di sebabkan oleh abortus
kriminalis dan abortus spontan adalah sebagai berikut:
1) Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena
perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak di berikan pada
waktunya.
2) Infeksi kadang-kadang sampai terjadi sepsis, infeksi dari tuba dapat
menimbulkan kemandulan.
3) Faal ginjal rusak disebabkan karena infeksi dan syok. Pada pasien dengan
abortus diurese selalu harus diperhatikan. Pengobatan ialah dengan
pembatasan cairan dengan pengobatan infeksi.
4) Syok bakteril: terjadi syok yang berat rupa-rupanya oleh toksin-
toksin. Pengobatannya ialah dengan pemberian antibiotika, cairan,
corticosteroid dan heparin.
5) Perforasi: ini terjadi karena kuretase atau karena abortus kriminalis.

(Pudiastuti, 2012).

2. Abortus Inkomplitus.
a. Pengertian.
Abortus inkomplit (keguguran tidak lengkap) adalah pengeluaran
sebagian janin pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa
tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal, servikalis terbuka dan
jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol
dari ostium uteri eksternum. Pendarahan tidak akan berhenti sebelum sisa
janin dikeluarkan, dapat menyebabkan syok (Irianti, 2012).
b. Tanda-tanda Abortus Inkomplit.
1) Setelah tejadi abortus dengan pengeluaran jaringan, pendarahan
berlangsung terus.
2) Sering serviks tetap terbuka karena masih ada benda di dalam rahim yang
dianggap corpus allieum, maka uterus akan berusaha mengeluarkannya
dengan mengadakan kontraksi. Tetapi kalau keadaan ini dibiarkan lama
serviks akan menutup kembali (Pudiastuti, 2012).
c. Diagnosis
1. Perdarahan memanjang, sampai terjadi keadaan anemis.
2. Perdarahan mendadak banyak menimbulkan keadaan gawat.
3. Terjadi infeksi ditandai suhu tinggi.
4. Dapat terjadi degenerasi ganas.
5. Pada pemeriksaan dijumpai gambaran:
a) Kanalis servikalis terbuka.
b) Dapat diraba jaringan dalam rahim.
c) Lakukan pemeriksaan bimanual: ukuran uterus, dilatasi, nyeri tekan,
penipisan serviks, serta kondisi ketuban.
d) Jika hasil pemeriksaan negatif, lakukan pemeriksaan denyut jantung
janin untuk menentukan kelangsungan hidup janin dan tenangkan
keadaan ibu.
e) Jika perdarahan terus berlanjut, khususnya jika ditemui uterus lebih
besar dari yang harusnya mungkin menunjukkan kehamilan ganda
atau mola hidatidosa.
f) Jika perdarahan berhenti, lakukan asuhan antenatal seperti biasa dan
lakukan penilaian jika terjadi perdarahan lagi.
g) Konsultasi dan rujuk ke dokter spesialis jika terjadi perdarahan hebat,

kram meningkat atau hasil pemeriksaan menunjukkan hasil abnormal


(Yulaikhah, 2015).
d. Penanganan Abortus Inkomplit.

Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo, dkk (2021) mengenai


Penggunaan off-Label Misoprostol pada Pasien Obstetri-Ginekologi di
Rumah Sakit Swasta Kabupaten Banyumas, didapatkan hasil bahwa
penggunaan obat off-label misoprostol sebanyak 26,92% di RS X dan
sebanyak 4% di RS Y. Obat off-label yang ditemukan adalah
Misoprostol yang tergolong ke dalam kategori off-label indikasi (missed
abortion, abortus incomplete, blighted ovum, dan induksi persalinan
pada kasus serotinus, KPD, dan IUFD), off-label dosis (50 µg, 100 µg
dan 400 µg), dan off-label rute pemberian (sublingual dan vaginal).
Misoprostol adalah untuk menginduksi persalinan. Hal tersebut
dikarenakan Misoprostol memberikan efek uterotonik dan pelembutan
pada rahim. Misoprostol juga diketahui dapat mematangkan serviks.
Misoprostol juga diberikan pada beberapa kasus abortus inkomplitus
karena telah terdapat bukti efektif, aman dan dapat diterima bagi pasien
yang tidak memungkinkan dilakukan pembedahan atau menghindari
prosedur invasif.
Abortus inkomplitus harus segera dibersihkan dengan curettage
atau secara digital. Selama masih ada sisa-sisa plasenta akan terus
terjadi pendarahan (Pudiastuti, 2012).
1) Penanganan.
a) Terapi abortus dengan kuretase.
b) Perawatan pasca tindakan.
c) Pemantauan pasca abortus.
2) Penanganan.
a) Lakukan konseling.
b) Jika perdarahan ringan atau sedang dan usia kehamilan kurang
dari 16 minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk
mengeluarkan hasil konsepsi yang mencuap dari serviks.
c) Jika perdarahan berat atau usia kehamilan kurang dari 16
minggu, lakukan evaluasi isi uterus. Aspirasi vakum manual
(AVM) adalah metode yang dianjurkan. Kuret tajam sebaiknya
hanya dilakukan bila AVM tidak tersedia. Jika evaluasi tidak
dapat segera dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat
di ulang 15 menit kemudian bila perlu).
d) Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40 IU
oksitosin dalam satu liter NaCl 0,9% atau ringer laktat dengan
kecepatan 40 tetes/menit untuk membantu pengeluaran hasil
konsepsi.
e) Lakukan evaluasi tanda vital pasca tindakan setiap 30 menit
selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang
rawat.
f) Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopis dan
kirimkan untuk pemeriksaan patologi ke laboratorium.
g) Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda
akut abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam.
Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil
pemantauan baik dan kadar hb>8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan
pulang (WHO, 2013).
e. Komplikasi.
1) Perdarahan.
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa
hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian
karena perdarahan dapat terjadi apabil pertolongan tidak diberikan
pada waktunya.
2) Perforasi.
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus pada
posisi hiperretrofleksi. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadi
perforasi, laparatomi harus segera di lakukan untuk menentukan
luasnya perlukaan pada uterus dan apakah ada perlukaan alat-alat lain.
3) Infeksi.
Infeksi dalam uterus dan sekitarnya dapat terjadi disetiap abortus,
tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkomplit dan lebih sering
pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis
dan antisepsis.
4) Syok.
Syok pada abortus biasa terjadi karena perdarahan dan karena infeksi
berat.

5) Kematian.
Abortus berkontribusi terhadap kematian ibu sekitar 15%. Data
tersebut sering kali tersembunyi di balik data kematian ibu akibat
perdarahan. Data lapangan menunjukkan bahwa sekitar 60%-70%
kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, dan sekitar 60% kematian
akibat perdarahan tersebut, atau sekitar 35-40% dari seluruh kematian
ibu, disebabkan oleh perdarahan postpartum. Sekitar 15-20%
kematian disebabkan oleh perdarahan (Irianti, 2014).
B. TINJAUAN TEORI ASUHAN
1. Pengertian Asuhan Kebidanan
Asuhan kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang di gunakan
sebagai metode untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan
teori ilmiah, penemuan-penemuan keterampilan dalam rangkaian/tahapan
yang logis untuk pengambilan suatu keputusan yang berfokus pada klien
Asuhan kebidanan terdiri dari tujuh langkah yang berurutan, yang di mulai
dengan pengumpulan data dasar dan berakhir dengan evaluasi. Tujuh
langkah tersebut membentuk kerangka yang lengkap dan bisa di aplikasikan
dalam suatu situasi (Varney, 2012).
2. Tahapan asuhan kebidanan
Dalam praktiknya bidan menggunakan manajemen kebidanan dalam
memberikan asuhan kebidanan. Menurut Varney (2012) manajemen
kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai
metode untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori
ilmiah, penemuan-penemuan, keterampilan-keterampilan dalam
rangkaian/tahapan yang logis untuk pengambilan suatu keputusan berfokus
pada klien.
Menurut Helen Varney (2012), penerapan manajemen kebidanan
dilakukan melalui langkah-langkah atau proses manajemen kebidanan.
Langkah-langkah manajemen kebidanan tersebut adalah:
a. Langkah I: Tahap pengumpulan data dasar
Pada langkah ini dikumpulkan semua informasi yang akurat dan
lengkap yang berkaitan dengan kondisi klien. Pendekatan ini harus
bersifat komprehensif meliputi data subjektif, objektif, dan hasil
pemeriksaan.
b. Langkah II : Interpretasi data dasar
Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosis atau
masalah dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas
dasar data-data yang telah dikumpulkan. Data dasar yang telah
dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat merumuskan diagnosa dan
masalah yang spesifik. Diagnosa wanita hamil normal meliputi nama,
umur, gestasi (G) paritas (P) abortus (A), umur kehamilan, tunggal,
hidup, intra-uteri, letak kepala, keadaan umum baik (Varney, 2012).
c. Langkah III: Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial dan
mengantisipasi penanganannya.
Pada langkah ini kita mengidentifikasi masalah atau diagnosa
potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosis yang telah
diidentifikasikan (Varney, 2012).
d. Langkah IV: Menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera.
Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter dan
atau untuk dikonsulkan atau ditangani bersama dengan anggota tim
kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien (Varney, 2012).
e. Langkah V: Menyusun rencana asuhan yang menyeluruh.
Pada langkah ini dilakukan perencanaan yang menyeluruh,
ditentukan langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan
kelanjutan manajemen terhadap diagnosis atau masalah yang telah
diidentifikasi atau diantisipasi, pada langkah ini informasi/data dasar yang
tidak lengkap dapat dilengkapi.
f. Langkah VI: Pelaksanaan langsung asuhan efisien dan aman.
Pada langkah ini, rencana asuhan yang menyeluruh di langkah kelima
harus dilaksanakan secara efisien dan aman.
g. Langkah VII: Mengevaluasi hasil tindakan.
Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang
sudah diberikan. Rencana dapat dianggap efektif jika memang benar
efektif dalam pelaksanaannya.
3. Pendokumentasian Asuhan Kebidanan
Menurut Varney (2010) pencatatan dilakukan segera setelah
melaksanakan asuhan pada formulir yang tersedia. Pencatatan tersebut
ditulis dalam catatan perkembangan SOAP.
a. S adalah data subjektif dan mencatat hasil anamnesa yang dilakukan.
b. O adalah data objektif dan mencatat hasil pemeriksaan.
c. A adalah hasil analisa yang mencatat diagnosa dan masalah kebidanan.
d. P adalah penatalaksanaan yang mencatat seluruh perencanaan yang
sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera dan
tindakan secara komprehensif yang meliputi penyuluhan, dukungan,
kolaborasi, evaluasi/follow up serta rujukan.

Identitas Pasien
a. Nama
Nama lengkap ibu, termasuk nama panggilannya perlu dikaji. Nama
merupakan identitas khusus yang membedakan seseorang dengan orang lain.
Sebaiknya memanggil klien sesuai dengan nama panggilan yang biasa
baginya atau yang disukainya agar ia merasa nyaman serta lebih
mendekatkan hubungan interpersonal bidan dengan klien
(Widatiningsih&Dewi, 2017)
b. Umur
Umur dalam kategori reproduksi sehat yaitu antara 20 hingga kurang dari 35
tahun. Kehamilan usia muda berkaitan dengan risiko preeklamsia. Pada
umur diatas 35 tahun fungsi sistem reproduksi umumnya sudah tidak optimal
untuk pertumbuhan janin, jalan lahir juga tidak lentur lagi sehingga risiko
mengalami persalinan lama meningkat pada nulipara, seksio sesaria,
pelahiran preterm, IUGR. Semakin tua juga semakin sering terpapar
penyakit dan meningkatnya insiden DM tipe II dan hipertensi kronis yang
mungkin dapat membahayakan kehamilan. Selain itu juga meningkatkan
risiko anomali kromosom dan kematian janin. (Widatiningsih&Dewi, 2017).
c. Agama
Informasi ini dalam menuntun ke suatu diskusi tentang pentingnya agama
dalam kehidupan klien, tradisi keagamaan dalam kehamilan dan kelahiran,
perasaan tentang jenis kelamin tenaga kesehatan, dan pada beberapa kasus,
penggunaan produk darah (Marmi, 2014).
d. Pendidikan
Tanyakan pendidikan tertinggi yang klien tamatkan, informasi ini membantu
klinis memahami klien sebagai individu dan memberi gambaran kemampuan
baca-tulisnya (Marmi, 2014).
e. Pekerjaan
Mengetahui pekerjaaan klien adalah penting untuk mengetahui apakah klien
berada dalam keadaan utuh dan untuk mengkaji potensi kelainan premature
dan pajanan terhadap bahaya lingkungan kerja, yang dapat merusak janin.
(Marmi, 2014).
f. Suku Bangsa
Praktik budaya suku bangsa tertentu pada masa hamil jika tidak dapat
dilakukan terkadang menimbulkan distress dan kekhawatiran yang perlu
mendapatkan perhatian dari bidan (Widatiningsih&Dewi, 2017).
Seringkali tiap perpindahan dari satu tahapan kehidupan kepada tahapan
yang lainnya dianggap sebagai suatu masa krisis sehingga diadakan
serangkaian upacara bagi wanita hamil untuk mencari keselamatan bagi
dirinya dan bayinya. Contoh di Jawa: ada mitoni, procotan, brokohan,
sepasaran, selapanan. Selama praktik budaya tidak membahayakan
kehamilan dan tidak bertentangan dengan medis, maka tidak ada salahnya.
Tetapi ada juga praktik keyakinan budaya yang dapat berpengaruh terhadap
kesehatan seperti jamu-jamuan, pantang makan makanan tertentu, pijat
perut, dan yang lainnya. (Widatiningsih&Dewi, 2017).
g. Alamat
Mendapatkan informasi tentang tempat tinggal klien, seberapa kali ia pindah,
seperti apa rumahnya, jumlah individu, keamanan lingkungan, dan jika
diindikasikan apakah tersedia cukup makanan di dalam rumah, dan keadaan
lingkungan sekitar, diharapkan tetap bersih dan terhindar dari berbagai
sumber penyakit (Marmi, 2014).
I. DATA SUBYEKTIF
1. Alasan Datang
Hal-hal yang mendasari kedatangan ibu hamil sesuai dengan
ungkapan ibu. Jika alasannya jelas maka asuhan yang diberikan dapat
disesuaikan dengan kebutuhan klien (Widatiningsih&Dewi, 2017).
2. Keluhan Utama
Keluhan utama ditanyakan untuk mengetahui alasan pasien datang
ke fasilitas pelayanan kesehatan (Sulistyawati, 2009).
3. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan merupakan identifikasi keluhan sekarang,
penyakit umum yang pernah diderita, serta penyakit yang dialami saat
sebelum hamil maupun saat kehamilan (Marmi, 2014).

a. Sistem kardiovaskuler
 Penyakit Jantung
Penyakit jantung dalam kehamilan dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim dalam
bentuk dapat terjadi keguguran, persalinan prematuritas atau
berat lahir rendah, kematian perinatal yang makin meningkat,
dan pertumbuhan dan perkembangan bayi mengalami
hambatan intelegensia atau fisik (Manuaba, 2010).
 Hipertensi
Wanita dengan hipertensi yang sudah ada sebelumnya
mengalami peningkatan resiko terjadinya preeklamsia selama
kehamilan. (Varney, 2012)
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit
kehamilan. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami semua
lapisan ibu hamil. (Prawirohardjo, 2014)
Hipertensi esensial dapat mencetuskan terjadinya hipertensi
akibat kehamilan yang dapat menyebabkan berkurangnya
fungsi plasenta, restriksi pertumbuhan intrauterus, abruptio
plasenta, memburuknya kondisi janin, atau kematian janin.
Dampak kondisi ini pada ibu antara lain gagal jantung
kongestif, perdarahan intraserebri, gagal ginjal akut, koagulasi
intravaskuler diseminata (disseminated intravasculer
coagulation [DIC]) atau bahkan kematian akibat salah satu
hal diatas. (Hallak, 1999 dalam Fraser, 2009).
 Anemia
Anemia yang disebabkan oleh kondisi apapun (termasuk
thalasemia, sickle cell, maupun defisiensi) mengakibatkan
penurunan kapasitas pengikatan oksigen oleh darah sehingga
jantung berusaha mengkompensasinya dengan meningkatkan
COP yang mengakibatkan meningkatnya beban kerja jantung.
Jika keadaan ini disertai dengan kondisi seperti pre eklamsia,
maka dapat berakibat gagal jantung. Pengaruh anemia berat
pada kehamilan antara lain dapat IUFD, lahir prematur,
IUGR, ibu mudah terinfeksi serta berisiko dekompensasi
jantung. (Widatiningsih, dkk., 2014).
b. Sistem Pernafasan.
 Asma.
Wanita yang memiliki riwayat asma berat sebelum hamil
terbukti akan terus mengalaminya dan menjadi semakin buruk
selama masa hamil. Asma dihubungkan dengan peningkatan
angka kematian perinatal, hipertensi gravidarum, pelahiran
preterm, hipertensi kronis, preeklamsia, bayi berat lahir
rendah, dan perdarahan pervaginam (Varney, 2012).
 TBC.
Pada kehamilan pada infeksi TBC resiko prematuritas, IUGR
dan berat badan lahir rendah meningkat, serta resiko kematian
perinatal meningkat 6x lipat. Keadaan ini terjadi akibat
diagnosa yang terlambat, pengobatan yaang tidak teratur dan
derajat keparahan lesi di paru. Infeksi TBC dapat menginfeksi
janin yang dapat menyebabkan tuberculosis konginetal
(Prawirohardjo, 2014).
c. Sistem Endokrin.
 Diabetes Melitus.
Faktor resiko utama diabetes maternal ini adalah berat badan
berlebihan, peningkatan berat badan, dan kurangnya aktivitas
fisik. Jelas hal ini menjadi pertimbangan bagi semua bidan
dalam menganjurkan pola hidup sehat kepada wanita.
Diabetes juga merupakan permasalahan yang terus meningkat
pada wanita usia subur. Oleh sebab itu, penapisan diabetes
harus dilakukan pada semua wanita hamil (Varney, 2012).
Diabetes dapat memberikan penyulit pada ibu berupa
preeklamsia, polihidramnion, infeksi saluran kemih,
persalinan seksio sesarea, trauma persalinan akibat bayi besar.
Bagi bayi dapat menimbulkan makrosomia (bayi dengan berat
badan berlebihan), hambatan pertumbuhan janin, cacat
bawaan, hipoglikemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia,
hiperbilirubinemia, asfiksia perinatal, dan sindrom gawat
nafas neonatal, meningkatnya mortalitas atau kematian janin.
(Prawirohardjo, 2014).

 Hipertiroid
Hipertiroid dalam kehamilan pada umumnya disebabkan oleh
penyakit Grave (struma difusa toksika). Insidensi penyakit
Grave dalam kehamilan di atas 20 minggu adalah 2%.
Penyebab terbanyak lainnya adalah struma multinodosa,
tetapi kelainan ini hanya terjadi pada golongan usia di atas 40
tahun. Hipertiroid dalam kehamilan menyebabkan resiko
abortus dan janin mati dalam rahim 3 kali dari kehamilan
normal (Prawirohardjo, 2014).
 Hipotiroid
Keadaan hipotiroid dihubungkan dengan meningkatnya
kejadian keguguran (Prawirohardjo, 2014).
 Hepatitis B
Kehamilan tidak akan memperberat infeksi virus hepatitis,
akan tetapi jika terjadi infeksi akut pada kehamilan bisa
menimbulkan mortalitas tinggi pada ibu dan bayi. Pada ibu
dapat menimbulkan abortus (Prawirohardjo, 2014).
d. Sistem Urogenital
 Infeksi Saluran Kemih.
Identifikasi dan terapi infeksi saluran kemih sangat perlu
karena berkaitan dengan hipertensi, preeklamsia, dan anemia
pada ibu. Jika infeksi minor tidak diobati akan berkembang
menjadi pielonefritis (Varney, 2012).
Infeksi saluran kemih merupakan komplikasi medik utama
pada wanita hamil. Sekitar 15% wanita, mengalami paling
sedikit satu kali serangan akut infeksi saluran kemih selama
hidupnya. Akibat infeksi ini dapat dapat mengakibatkan
masalah pada ibu dan janin. ISK berkaitan dengan kejadian
anemia, hipertensi, kelahiran prematur dan BBLR
(Prawirohardjo, 2014).
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Jika ada anggota dalam keluarga yang menderita penyakit yang
bersifat menurun seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes,
kelainan/cacat bawaan, penyakit jiwa, kembar, preeklamsi-eklamsi pada
ibu/kakak/adik kandung, maka klien akan berpotensi mengalaminya
sehingga membahayakan kehamilan. Begitu juga jika ada anggota
keluarga yang menderita penyakit menular seperti TBC, hepatitis,
typhoid, herpes maka akan berisiko menularkannya pada ibu hamil.
Selain itu jika suami menderita penyakit kelamin seperti sifilis, GO,
HIV/AIDS dapat menular ke klien dan membahayakan kehamilan ini
(Widatiningsih&Dewi, 2017).
5. Riwayat Obstetrik.
a. Riwayat Haid.
1) Menarche.
Dikaji untuk mengetahui sejak kapan alat kandungan mulai
berfungsi dan merupakan ciri khas seorang wanita dimana terjadi
perubahan-perubahan siklik dari alat kandungannya sebagai
persiapan kehamilan (Widatiningsih&Dewi, 2017).
Menarche adalah usia pertama kali mengalami menstruasi.
Wanita Indonesia umumnya mengalami menarche sekitar usia 12
tahun sampai 16 tahun (Sulistyawati, 2009).
2) Siklus.
Keteraturan dan lamanya siklus perlu dikaji untuk menentukan
taksiran persalinan. Jika menstruasi lebih pendek atau lebih
panjang dari normal, kemungkinan wanita tersebut telah hamil
saat terjadi perdarahan (Marmi, 2014).
3) Volume.
Volume darah menstruasi perlu dikaji karena data ini
menjelaskan seberapa banyak darah menstruasi yang
dikeluarkan. Kadang kita akan kesulitan untuk mendapatkan data
yang valid. Sebagai acuan biasanya kita gunakan kriteria banyak,
sedang, dan sedikit. Jawaban yang diberikan oleh pasien
biasanya bersifat subjektif, namun kita dapat kaji lebih dalam
lagi dengan beberapa pertanyaan pendukung, misalnya sampai
berapa kali mengganti pembalut dalam sehari (Sulistyawati,
2009).
4) Keluhan.
Beberapa wanita menyampaikan keluhan yang dirasakan ketika
mengalami menstruasi, misalnya nyeri hebat, sakit kepala
(Sulistyawati, 2009).

b. Riwayat Kehamilan Sekarang


Riwayat kehamilan sekarang dikaji untuk menentukan umur
kehamilan dengan tepat. Setelah mengetahui umur kehamilan ibu,
bidan dapat memberikan konseling tentang keluhan kehamilan yang
biasa terjadi dan dapat mendeteksi adanya komplikasi dengan yang
lebih baik (Rukiyah, 2009).
1) HPHT
HPHT perlu dikaji karena gambaran riwayat menstruasi klien
yang akurat biasanya membantu penetapan tanggal perkiraan
kelahiran (Estimated Date Delivery-EDD) (Marmi, 2014).
2) HPL
Untuk mengetahui HPL biasa digunakan rumus Naegele. Dengan
mengetahui HPL bisa menjadi acuan persiapan persalinan dan
lamanya kehamilan (Kusmiyati, 2011).
3) Gerakan Janin
Perlu dikaji untuk mengetahui keadaan janin, apakah normal,
ada-tidaknya hipoksia, gerakan aktif atau tidak. Jika janin tidak
bergerak, ajukan diagnosa banding bayi tidur atau hipoksia.
Biasanya gerakan janin dalam rahim dapat dirasakan pada usia
kehamilan 18-20 minggu. Gerakan janin minimal 10 kali selama
12 jam (Widatiningsih&Dewi, 2017).
4) Tanda Bahaya
Perlu dikaji untuk mendeteksi dini tanda bahaya, kelainan,
komplikasi, dan penyakit yang biasanya dialami oleh ibu hamil
sehingga dapat segera dicegah dan diobati. Dengan demikian
angka morbiditas ibu dan bayi dapat berkurang (Marmi, 2014).
5) Imunisasi TT
Perlu dikaji untuk mengetahui apakah ibu sudah mendapat
imunisasi TT atau belum. Imunisasi dasar TT untuk pencegahan
tetanus neonatrum dengan dosis TT-1 sebanyak 0,5 cc secara
intramuskuler, yang dilanjutkan dengan TT-2 setelah 4 minggu,
pemberian terakhir sebelum 38 minggu. Bila ibu pernah
mendapatkan imunisasi dasar TT maka hanya perlu TT booster
0,5 cc sekali pada saat hamil (Widatiningsih&Dewi, 2017).

6) Riwayat ANC
Riwayat ANC perlu dikaji apakah ibu sudah memenuhi standar
kunjungan ANC atau belum. Selama kehamilan setidaknya ibu
sudah melakukan ANC 4 kali yang dibagi menjadi 1 kali pada
trimester I, 1 kali pada trimester II, 2 kali pada trimester III.
(Widatiningsih&Dewi, 2017).
c. Riwayat Kehamilan, Persalinan, dan Nifas yang Lalu
Mengkaji riwayat kehamilan yang lalu untuk mengetahui apakah
ada gangguan seperti perdarahan, muntah yang sangat sering,
toxaemia gravidarum.
Mengkaji riwayat persalinan yang lalu untuk mengetahui apakah
persalinan spontan atau buatan, aterm atau premature, perdarahan,
ditolong oleh siapa (bidan, dokter).
Mengkaji nifas yang lalu untuk mengetahui adakah panas atau
perdarahan, bagaimana laktasinya.
Mengkaji keadaan anak untuk mengetahui jenis kelamin, hidup
atau tidak, kalau meninggal umur berapa dan sebabnya meninggal,
berat badan waktu lahir.
(Marmi, 2014).
Jumlah kehamilan, anak yang lahir hidup, persalinan yang aterm,
persalinan yang premature, keguguran atau kegagalan kehamilan,
persalinan dengan tindakan (dengan forcep, atau dengan SC), riwayat
perdarahan pada kehamilan, persalinan atau nifas, sebelumnya,
hipertensi disebabkan kehamilan pada kehamilan seelumnya, berat
bayi sebelumnya, 2500 atau >4000, masalah-masalah lain yang
dialami, riwayat kebidanan yang lalu membantu dalam mengelola
asuhan pada kehamilan ini (konseling khusus, tes, tindak lanjut, dan
rencana persalinan) (Rukiyah,2009).

6. Riwayat Kontrasepsi
Dikaji untuk mengetahui lamanya pemakaian alat kontarasepsi
dan jenis kontrasepsi yang digunakan (Marmi, 2014).
Riwayat kontrasepsi diperlukan karena kontrasepsi hormonal
dapat mempengaruhi EDD dan karena penggunaan metode lain dapat
membantu menanggali kehamilan. Ketika seorang wanita menghabiskan
pil berisi hormone dalam tablet kontrasepsi oral, periode selanjutnya
akan mengalami disebut “withdrawall bleed”. Dan terkadang ada
kalanya kehamilan terjadi ketika IUD masih terpasang. Apabila ini
terjadi, lepas IUD jika talinya tampak. Prosedur ini dapat dilakukan oleh
perawat praktik selama trimester I, tetapi lebih baik dirujuk ke dokter
bila kehamilan sudah berusia 13 minggu. Pelepasan IUD menurunkan
resiko keguguran, sedangkan membiarkan IUD terpasang meningkatkan
aborsi septic pada pertengahan trimester. Riwayat penggunaan IUD
terdahulu meningkatkan resiko kehamilan ektopik (Marmi, 2014).
7. Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
a. Pola Nutrisi
Hal ini penting diketahui agar mendapat gambaran bagaimana
pasien mencukupi kebutuhan gizinya selama hamil, makanan yang
disukai, tidak disukai, seberapa banyak dan sering mengonsumsinya,
jika ada data yang tidak sesuai dengan standar pemenuhan, maka
dapat langsung diberikan klarifikasi dalam pemberian pendidikan
kesehatan mengenai gizi ibu hamil (Sulistiyawati, 2009).
Hal ini penting dalam pengawasan ibu hamil. Kekurangan atau
kelebihan nutrisi dapat menyebabkan kelainan yang tidak diinginkan
pada wanita hamil tersebut (Rukiah, 2013).
Pola nutrisi dikaji untuk mengetahui keadaan status gizi ibu.
Wanita hamil dengan status gizi kurang memiliki kategori risiko
tinggi keguguran, kematian bayi dalam kandungan (Rukiah, 2013).
Kekurangan gizi akan menyebabkan akibat buruk, ibu dapat
menderita anemia, sehingga suplai darah yang mengantarkan oksigen
terhambat, sehingga janin akan mengalami gangguan pertumbuhan
dan perkembangan. Kelebihan gizi pun dapat menyebabkan janin
akan bertumbuh besar melebihi berat badan normal (Marmi, 2014).
Pengkajian ini juga untuk mengetahui komposisi makanan
yang dikonsumsi oleh ibu serta adakah pantangan atau tidak.
Pantangan terhadap jenis makanan tertentu biasanya ada alasannya
seperti alergi atau keyakinan budaya setempat. Pantang terhadap
makanan tertentu dapat berisiko malnutrisi jika pantangan itu
mengandung nilai gizi yang dibutuhkan oleh tubuh
(Widatiningsih&Dewi, 2017).
Kebutuhan kalori ibu meningkat 300 kalori per hari begitu juga
dengan kebutuhan cairan yang meningkat 300cc per hari setelah
kehamilan (Widatiningsih&Dewi, 2017).
b. Pola Eliminasi
Pola eliminasi perlu dikaji untuk mengetahui perubahan yang
terjadi pada klien, baik BAK maupun BAB. Selama hamil bisa
terjadi peningkatan frekuensi mikturisi dari kondisi sebelum hamil
karena kurangnya kapasitas kandung kemih akibat tertekan oleh
pembesaran uterus. Bisa terjadi juga konstipasi akibat pengaruh
hormon progesteron dan relaksin yang menurunkan tonus dan
motilitas usus (sehingga penyerapan zat makanan menjadi lambat),
terjadi peningkatan reabsorbsi cairan, dan peristaltik usus lebih
lambat. (Widatiningsih&Dewi, 2017)
c. Pola Personal Hygiene
Dikaji untuk mengetahui apabila pasien mempunyai kebiasaan
yang kurang baik dalam perawatan kebersihan dirinya, maka badan
harus dapat memberikan bimbingan mengenai cara perawatan
kebersihan diri dan bayinya sedini mungkin (Sulistyawati, 2009).
d. Pola Aktivitas Seksual
Dikaji untuk mengetahui penggunaan kontrasepsi klien serta
masalah yang dialami selama penggunaannya, penyakit transmisi jika
ada.
Riwayat seksual adalah bagian dari data dasar yang lengkap
karena riwayat ini memberikan informasi medis penting sehingga
klinis dapat lebih memahami klien dan mendapat kesempatan untuk:
1. Mengidentifikasi riwayat penganiayaan seksual.
2. Menawarkan informasi yang dapat mengurangi kecemasan dan
menghilangkan mitos.
3. Menawarkan anjuran-anjuran untuk memperbaiki fungsi
seksual.
4. Membuat rujukan apabila tercatat disfungsi seksual atau
masalah emosional.
Pada hamil muda hubungan seksual sedapat mungkin dihindari,
bila terdapat keguguran berulang atau mengancam kehamilan dengan
tanda infeksi, pendarahan, mengeluarkan air (Marmi, 2014).
e. Pola Istirahat dan Tidur
Pola istirahat dan tidur perlu dikaji untuk mengetahui tentang
pola, lama, dan gangguan tidur, baik waktu siang maupun malam
hari. Ibu hamil harus mempertimbangkan pola istirahat dan tidur
yang mendukung kesehatan diri dan janinnya (Marmi, 2014).
Pada awal kehamilan wanita akan tidur lebih lama beberapa
jam karena peningkatan metabolisme dan efek dari hormon
kehamilan lainnya (Widatiningsih&Dewi, 2017).
f. Pola Aktivitas
Perlu dikaji untuk mengetahui apakah aktivitas ibu berisiko
terhadap kehamilan ibu atau tidak. Wanita hamil tetap harus
melakukan aktivitas fisik, tetapi jangan terlampau berat. Aktivitas
terlalu berat dapat menyebabkan abortus (Widatiningsih&Dewi,
2017).
Ibu hamil harus menghindari pekerjaan yang membahayakan atau
terlalu berat atau berhubungan dengan bahan kimia, terutama usia
kehamilan muda. (Winkjosastro dalam Prawirohardjo dalam Rukiah,
2013:108)
Selama trimester I perubahan tubuh masih sangat sedikit
sehingga merupakan waktu yang cocok untuk memulai olahraga,
tujuan utamanya agar bisa tidur nyenyak, memberikan cukup
endorfin, membuat diri merasa lebih baik. Olahraga yang bisa
dilakukan diantaranya latihan aerobik ringan, berenang, berjalan,
latihan kegel, teknik relaksasi (Widatiningsih&Dewi, 2017).
8. Pola Kebiasaan yang merugikan kesehatan
Dikaji untuk mengetahui apakah pola kebiasaan yang merugikan
kesehatan ibu seperti merokok dan memakai obat-obatan yang tidak
dianjurkan.
a. Merokok.
Merokok merupakan salah satu isu penting yang harus dikaji saat
kehamilan karena efek yang muncul akibat merokok adalah BBLR,
persalinan preterm, kematian perinatal (Widatiningsih&Dewi,
2017).

b. Konsumsi Jamu
Kebiasaan minum jamu merupakan kebiasaan yang berisiko
bagi wanita hamil, karena efek minum jamu dapat membahayakan
tumbuh kembang janin seperti menimbulkan kecacatan, abortus,
BBLR, partus prematurus, kelainan ginjal dan jantung janin,
asfiksia neonatrum, kematian janin dalam kandungan dan
malformasi organ janin (Widatiningsih&Dewi, 2017).
c. Konsumsi alkohol
Ibu yang mengkonsumsi alkohol dapat membahayakan jantung
ibu hamil, dan merusak janin, termasuk menimbulkan
kecacatan/kelainan pada janin, kelahiran prematur, pertumbuhan
janin terhambat, retardasi mental, kelainan jantung, dan masalah
neonatal seperti Fetal Alcohol Syndrome (FAS)
(Widatiningsih&Dewi, 2017).
d. Obat-obatan
Obat-obatan yang diberikan pada ibu hamil dapat menimbulkan
efek pada janin, seperti kelainan bentuk anatomik atau kecacatan
pada janin, terutama penggunaan obat pada trimester pertama,
kelainan faal alat tubuh, gangguan pertukaran zat dalam tubuh.
9. Data Psikososial Spiritual
Untuk mengetahui bagaimana keadaan mental dan kepercayaan
yang digunakan ibu dalam menjalani masa hamil ini, dan respon
keluarga sehingga membantu ibu menjalani masa kehamilan dan
merencanakan persalinannya dengan baik (Rukiah, 2013).
a. Riwayat perkawinan: status perkawinan, termasuk pernikahan ini
yang ke berapa dan lamanya menikah. Ada tidaknya masalah
dengan suami juga perlu ditanyakan untuk mengidentifikasi
dukungan suami terhadap ibu hamil.
b. Kehamilan yang diharapkan: Dikaji untuk mengetahui apakah
kehamilan ibu diharapkan atau tidak oleh ibu, suami dan keluarga,
dan respon keluarga bagaimana terhadap kehamilan ibu
c. Mekanisme coping : Dikaji untuk mengetahui cara menyelesaikan
masalah dalam keluarga
d. Tinggal serumah : Dikaji untuk mengetahui ibu tinggal serumah
dengan siapa, apakah dengan suami saja atau dengan orangtua.
e. Pengambil keputusan: Dikaji siapakah pengambil keputusan utama
dalam keluarga saat terjadi masalah dalam keluarga perlu dikaji,
dan jika dalam kondisi emergensi apakah ibu dapat/tidak
mengambil keputusan sendiri atau harus menunggu keputusan dari
orang lain.
f. Oang terdekat: Dikaji untuk mengetahui siapa orang terdekat ibu
dan yang menemani kunjungan ANC. Ibu hamil yang selalu
ditemani saat kunjungan ANC menunjukkan kuatnya dukungan dari
keluarga. Penkes dapat dilakukan pada ibu hamil atau keluarga yan
menemani.
g. Adat istiadat: Dikaji untuk mengetahui apakah ibu dan keluarga
masih menggunakan budaya setempat dalam menjalani masa
kehamilan. Ibu yang memiliki keyakinan tentang adat tertentu dan
merasa wajib melakukannya, hal ini mungkin menjadi
masalah/stresor budaya jika tidak dilakukan.
h. Rencana tempat dan penolong persalinan yang diinginkan harus
dikaji sejak awal. Jika ibu ingin bersalin di dukun maka harus diberi
penyuluhan.
i. Penghasilan per bulan: Dikaji untuk mengetahui berapa penghasilan
ibu/suami per bulan, cukup atau tidak untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya.
j. Praktik agama yang berhubungan dengan kehamilan: jika ibu
seorang muslimah dan berpuasa selama hamil, baik sunah maupun
wajib maka tanyakan: frekuensi, kaji apakah ibu merasa
lemah/lemas, pusing, gerakan janin menjadi berkurang saat puasa
merupakan tanda hipoglikemi. Kaji juga tentang keyakinan ibu
terhadap pelayanan kesehatan.
k. Data Pengetahuan: Dikaji untuk mengetahui seberapa jauh
pengetahuan ibu, hal yang sudah diketahui dan hal yang ingin
diketahui.
(Widatiningsih&Dewi, 2017).
II. DATA OBYEKTIF
Dalam data ini diambil dari pemeriksaan fisik beserta pemeriksan
diagnosa dan pendukung lain juga catetan medik lain :
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada kunjungan awal prenatal difokuskan untuk
mengidentifikasi kelainan yang sering mengontribusi morbiditas dan
mortalitas dan untuk mengidentifikasi gambaran tubuh yang
menunjukkan gangguan genetik (Marmi, 2014).
a. Keadaan Umum, untuk mengetahui keadaan ibu secara umum.
Keadaan umum ibu menunjukan kondisi umum akibat penyakit
atau keadaan yang dirasakan ibu. Dapat diketahui dengan cara
melihat langsung dan dapat dilakukan penilaian dengan kontak
pertama saat anamnesa dan selama pemeriksaan. Dikatakan baik
jika pasien memperlihatkan respons yang adekuat terhadap
stimulasi lingkungan dan orang lain, serta secara fisik tidak
mengalami kelemahan. Klien dimasukkan kriteria lemah jika
kurang atau tidak memberikan respons yang baik terhadap
lingkungan dan orang lain, dan pasien sudah tidak mampu berjalan
sendiri (Widatiningsih, &Dewi, 2017).
b. Kesadaran,
Untuk mendapatkan gambaran kesadaran pasien (Sulistiyawati,
2009).
i. Composmentis, kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya.
ii. Apatis, yaitu kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh
iii. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi, memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berkhayal.
iv. Somnolen (obtundasi, latergi), yaitu kesadaran menurun,
respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun
kesadaran cepat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jauh tertidur lagi, mampu memberi
jawaban verbal
v. Stupor (spoor), yaitu keadaan seperti tertidur lelap tetapi
ada respon terhadap nyeri.
vi. Koma, yaitu tidak bisa di bangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon apapun).

c. Berat Badan
Berat badan ditimbang pada kunjungan awal untuk membuat
rekomendasi penambahan berat badan pada wanita hamil dan
untuk membatasi kekurangan atau kelebihan berat badan (Marmi,
2014).
Laju kenaikan berat badan optimal tergantung pada tahap
kehamilan/trimester. Selama trimester I rata-rata kenaikan berat
badan adalah 1-2,5 kg (Widatiningsih&Dewi, 2017).
Berat badan juga menunjukkan status gizi ibu serta sebagai acuan
peningkatan berat badan selama hamil (Rukiah, 2013).
Pertambahan berat badan ibu hamil menggambarkan status gizi
selama hamil, oleh karena itu perlu dipantau setiap bulan. Jika
terdapat keterlambatan dalam penambahan berat badan ibu, ini
dapat mengindikasikan adanya malnutrisi sehingga menyebabkan
gangguan pertumbuhan janin intrauteri (IUGR).
Disarankan pada ibu primigravida untuk tidak menaikkan berat
badannya lebih dari 1 kg/bulan (Sulistiyawati, 2009).
d. Tinggi badan
Perlu dikaji untuk mengetahui apakah tinggi badan ibu masuk
standar normal atau tidak. Tubuh yang pendek menjadi indikator
gangguan genetik (Marmi, 2014).
Ibu hamil dengan tinggi badan kurang dari 145 cm terlebih pada
kehamilan pertama, tergolong risiko tinggi karena kemungkinan
besar memiliki panggul yang sempit (Widatiningsih&Dewi, 2017).
e. LILA
Perlu dikaji untuk mengetahui kondisi kecukupan energi ibu.
Standar minimal untuk ukuran lingkar lengan atas pada wanita
dewasa atau usia reproduksi adalah 23,5 cm. Jika ukuran lingkar
lengan atas kurang dari 23,5 cm maka interprestasinya adalah
kurang energi kronis (KEK) (Widatiningsih &Dewi, 2017).
f. IMT
IMT perlu dikaji sebagai salah satu dasar untuk penambahan berat
badan ibu hamil. Penambahan berat badan bisa diukur
menggunakan rumus IMT berat badan dibagi tinggi badan (dalam
m) pangkat 2. Kategori nilai IMT untuk wanita Indonesia memiliki
rentang sebagai berikut:

Kategori IMT(kg/m2)
Kurus Normal Kegemukan
Tingkat Tingkat Berat
Ringan
<17 17-23 >23-27 >27
Peningkatan berat badan total di akhir kehamilan yang disarankan
untuk hamil janin tunggal berdasarkan IMT sebelum hamil:
 IMT rendah : kenaikan 12,5 s/d 18 kg.
 IMT normal : 11,5 s/d 16 kg.
 IMT tinggi : 7,0 s/d 11,5 kg.

Pada kehamilan gemelli kenaikan BB yang disarankan adalah 16-


20 kg.
Berikut tabel anjuran kenaikan berat badan selama hamil
berdasarkan IMT Pra hamil:

Kategori IMT Pola Kenaikan BB Trimester II


dan III
Rendah 0,5 kg/minggu
Normal 0,4 kg/minggu
Tinggi dan Obese 0,3 kg/minggu.
(Widatiningsih&Dewi, 2017)

g. TTV
1. Tekanan darah
Mengukur tekanan darah sangat penting, karena peningkatan
tekanan darah dapt membahayakan kehidupan ibu dan bayi.
Pada kehamilan normal, TD sedikit menurun sejak minggu
ke-8. Kondisi ini menetap dan mulai kembali ke TD sebelum
hamil. Seluruh tekanan darah pada wanita hamil haru diukur
pada posisi duduk. Pengukuran harus diletakkan pada lengan
yang sama terutama pada lengan kanan untuk memperoleh
hasil pengukuran yang konsisten. Wanita yang tekanan
darahnya sedikit meningkat di awal pertengahan kehamilan
mungkin mengalami hipertensi. Kronis, atau jika wanita
tersebut adalah nulipara dengan sistolik lebih dari 120 mmHg.
(Marmi, 2014).
Tekanan darah pada ibu hamil tidak boleh mencapai 140
mmHg sistolik, atau 90 mmHg diastolik. Perubahan 30
mmHg sistolik dan 15 mmHg diastolik di atas tekanan darah
sebelum hamil, menandakan toxemia gravidarum (keracunan
kehamilan) (Hani dkk, 2010).
2. Nadi.
Denyut nadi maternal sedikit meningkat, tetapi jarang
melebihi denyut nadi lebih dari 100 dpm. Jika denyut
melebihi 100 per menit curigai adanya hipotiroidisme. Periksa
adanya eksoflatmia dan hiperrefleksia yang menyertai
(Marmi, 2014).
3. Respirasi.
Frekuensi pernapasan normal pada orang dewasa 16 sampai
20 kali per menit. Pada wanita hamil bernapas lebih cepat dan
dalam karena memerlukan lebih banyak oksigen untuk janin
dan dirinya (Kusmiyati, 2011).
Peningkatan frekuensi pernapasan dapat menunjukan syok
atau ansietas (Varney, 2012).
4. Suhu.
Peningkatan suhu tubuh menunjukkan proses infeksi atau
dehidrasi.
Suhu tubuh normal menurut Kusmiyati (2011:56) adalah
36,5-37,5°C.
(Widatingsih&Dewi, 2017).
h. Status Present
1. Kepala : Untuk mengetahui rambut rontok atau tidak,
bersih atau kotor, dan berketombe atau tidak
(Sulistyawati, 2009).
2. Mata : Untuk mengetahui warna konjungtiva pucat
atau tidak, sklera putih/kuning (Sulistiyawati,
2009).
3. Hidung : Untuk mengetahui kebersihan hidung, ada
tidaknya polip dan alergi debu (Sulistiyawati,
2009).
4. Mulut : Untuk mengetahui warna bibir, integritas
jaringan, warna dan keadaan lidah,
kebersihan gigi, ada tidaknya karies dan bau
(Sulistyawati, 2009)
5. Telinga : Untuk mengetahui keadaan telinga, ada
kotoran/serumen atau tidak, adakah gangguan
pendengaran atau tidak (Sulistyawati).
6. Leher : Adakah vena bendung dileher (misalnya
pada penyakit jantung), apakah kelenjar
gondok membesar atau kelenjer limfe
membengkak (Marmi, 2014).
7. Ketiak : Untuk mengetahui adanya nyeri tekan dan
adanya benjolan pada daerah ketiak.
8. Dada : Untuk mengetahui apakah pola pernapasan
normal, adakah tanda ketidaknyamanan
bernafas (Kusmiyati, 2011).
9. Ekstremitas atas dan bawah : untuk mengetahui adanya oedema
yang paling mudah dilakukan dengan cara
menekan jari beberapa detik. Apabila terjadi
cekungan yang tidak lekas pulih kembali,
berarti edema positif. Edema positif pada
tungkai menandakan adanya preeklampsia.
Positif (+)1 apabila cekung 2mm, (+)2
apabila cekung 6 mm (Kusmiyati, 2011:83),
periksa ada tidaknya kuku jari pucat, varises
vena (Rukiah, 2013).
10. Reflek patela : reflek patela (+) atau (-), normalnya (+).
Apabila reflek patela bernilai positif/baik,
maka menunjukan sistem saraf di area
ekstremitas bawah termasuk baik. Reflek lutut
negatif pada hypovitaminose dan penyakit urat
saraf (Marmi, 2014). Reflek sangat penting
dikaji untuk pemeriksaan fisik secara umum,
fungsi nervus dan koordinasi tubuh. Reflek
positif menunjukkan sejumlah komponen saraf,
otot, gelondong otot, aferen neuron motorik
keluaran otot eferen taut neuromuskulus dan
otot-otot ini berfungsi normal dan adanya
keseimbangan antara masukan eksitorik dan
inhibitorik ke neuron motorik dari dasar yang
lebih tinggi di otak. Reflek negatif
kemungkinan karena avitaminosis vitamin D
dan kalsium. Hiperrefleksia merupakan salah
satu tanda dari preeklamsia berat (Kusmiyati,
2011).
11. Punggung : Untuk mengetahui ada tidaknya nyeri
pergerakan, skoliosis, kifosis, lordosis, nyeri
costo vertebral (Widatiningsih&Dewi, 2017).
12. Anus : Untuk mengetahui ada tidaknya haemoroid,
fistula, dan kebersihan (Kusmiyati, 2011).
2. Status Obstetri.
a. Inspeksi (periksa pandang).
1. Muka.
Adakah cloasma gravidarum, keadaan selaput mata pucat atau
merah, adakah oedema pada muka, bagaimana keadaan lidah,
gigi (Marmi, 2014).
2. Dada/Mammae.
Kaji Bentuk buah dada, pigmentasi puting, dan gelanggang susu,
keadaan puting susu, adakah kolostrum (Marmi, 2014).
3. Abdomen.
Kaji apakah perut membesar ke depan atau ke samping (pada
ascites misalnya membesar ke samping), keadaan pusat,
pigmentasi di linea alba, nampakkan gerakan anak atau striae
gravidarum atau bekas luka (Marmi, 2014).
Periksa adanya massa adanya:
 Massa atau kelainan intra abdomen lainnya.
 Perut kembung dengan bising usus melemah.
 Nyeri ulang-lepas.
 Nyeri atau kaku dinding perut (pelvik/suprapubik)
(JNPK-KR, 2008).

4. Genitalia
Daerah genitalia eksterna, pehatikan sifat dan jumlah
perdarahan per vaginam. Perhatikan pula adakah darah yang
bercampur dengan sekret yang berbau (JNPK-KR, 2008)
b. Palpasi (periksa raba)
1. Palpasi Leopold
Bertujuan untuk menentukkan besarnya rahim dan dengan ini
menentukan tuanya kehamilan, menentukkan letaknya anak
dalam rahim, selain daripada itu selalu juga harus diraba apakah
ada tumor-tumor lain dalam rongga perut, kista, mioma, limpa
yang membesar (Marmi, 2014).
Palpasi leopold menjadi lebih jelas setelah minggu ke-22
(Kusmiyati, 2011).
a. Leopold I:
Untuk menentukkan TFU dengan jari dimana tingginya
sesuai dengan usia kehamilan. Deskripsikan bagian yang ada
di fundus bila usia gestasi >28 minggu. Kepala
dideskripsikan sebagai teraba 1 bagian besar, bulat, keras,
melenting. Bokong dideskripsikan sebagai teraba 1 bagian
besar, lunak, kurang bulat (Widatiningsih&Dewi, 2017).
Tinggi fundus uteri berdasar usia kehamilan:

Kehamilan 16 minggu :TFU pertengahan simfisis


dengan pusat.
Kehamilan 20 minggu :TFU 3 jari dibawah pusat.
Kehamilan 24 minggu :TFU setinggi pusat
Kehamilan 28 minggu :TFU 3 jari diatas pusat
Kehamilan 32 minggu :TFU pertengahan pusat
dengan prosesus
xyfoideus(PX)
Kehamilan 36 minggu :TFU 1 jari dibawah PX
Kehailan 40 minggu :TFU 3 jari dibawah PX

(Kusmiyati, 2011)

c. Auskultasi
Untuk memantau kesejahteraan janin merupakan bagian penting
dalam penatalaksanaan kehamilan. Dengan cara pemantauan
sederhana salah satunya yaitu menghitung denyut jantung janin.
(Kusmiyati, 2011).
Denyut jantung janin dapat terdengar jelas mulai usia 16 minggu
dengan menggunakan doppler, sedang jika menggunakan fetoskop
akan terdengar saat usia 20 minggu ke atas. Nilai normal DJJ antara
120-160 denyut per menit, teratur dengan punctum maksimum 1
terletak sesuai dengan letak punggung janin. (Widatiningsih&Dewi,
2017)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada setiap ibu dilakukan untuk screening
terhadap penyakit-penyakit yang menyertai ibu hamil. Pemeriksaan
penunjang hanya dilakukan jika ada indikasi.
Jika ibu mengalami tekanan darah tinggi maka diperlukan pemeriksaan
penunjang urin protein sebagai deteksi dini adanya preeklamsi-eklamsi
(Kusmiyati, 2011).
Tes urine kehamilan dilakukan jika ada indikasi amenore (Sulistiyawati,
2009).
Pemeriksaan USG dan rontgen dilaksanakan sebagai salah satu diagnosis
pasti kehamilan (Sulistiyawati, 2009).
Jika ibu atau keluarga ibu ada yang menderita DM maka ibu perlu
melakukan pemeriksaan penunjang urin glukosa (Kusmiyati, 2011:158).
Pemeriksaan haemoglobin dilakukan rutin selama kehamilan bertujuan
untuk mendeteksi anemia. Pemeriksaan Hb secara Sahli dilakukan pada
ibu hamil pada kunjungan awal dan pada trimester III (28 minggu).
Menurut Manuaba pemeriksaan Hb dilakukan minimal 2 kali selama
kehamilan yaitu pada trimester I dan trimester III. Pemeriksaan juga bisa
dilakukan menggunakan kertas Talquis (Rukiah, 2013).
Pada kasus abortus inkomplitus, Pemeriksaan USG hanya dilakukan
apabila ragu dengan diagnosis secara klinis (Prawirohardjo, 2014).
Pemeriksaan ultrasonografi pada trimester pertama sangat bermanfaat
untuk mengevaluasi wanita yang mengalami perdarahan sejak awal
kehamilan. Aborsi tidak komplet disertai retensi produk konsepsi juga
perlu dievaluasi (Varney, 2012).
III. ANALISA
Data yang telah dikumpulkan pada tahap pengkajian kemudian
dianalisa dan diinterpretasikan untuk dapat menentukan diagnosa dan
masalah ibu. (Widatiningsih&Dewi, 2017).
1. Diagnosa Kebidanan
Untuk wanita yang masih masih dalam usia reproduksi, sebaiknya
dipikirkan suatu abortus inkomplitus apabila:
 Terlambat haid (tidak datang haid lebih dari satu bulan,
dihitung dari haid terakhir).
 Terjadi perdarahan per vaginam.
 Spasme aatau nyeri perut bawah (seperti kontraksi saat
persalinan).
 Keluarnya massa kehamilan (fragmen plasenta)
(JNPK-KR. 2008)
Dalam bagian ini disimpulkan oleh bidan antara lain sebagai
berikut:
 Nama
Dikaji karena merupakan identitas khusus yang membedakan
seseorang dengan orang lain (Widatiningsih&Dewi, 2017).
 Maternal
Untuk mengetahui apakah ibu termasuk resiko tinggi atau
tidak. Usia dibawah 16 tahun atau di atas 35 tahun
mempredisposisikan wanita terhadap sejumlah komplikasi.
Usia di bawah 16 tahun meningkatkan insiden preeklamsia.
Usia di atas 35 tahun meningkatkan insiden diabetes, hipertensi
kronis, persalinan lama, dan kematian janin (Varney, 2012).
 Paritas
Diperlukan penjelasan tentang jumlah gravida dan para ibu.
Semakin tinggi paritas insiden abrupsio plasenta, plasenta
previa, perdarahan uterus, mortalitas ibu meningkat (Varney,
2012).
 Usia Kehamilan dalam minggu
Usia kehamilan dapat digunakan sebagai pertimbangan
penetapan diagnosa. Usia kehamilan ditentukan dari waktu
amenorhae, TFU, mulai merasakan pergerakan, mulai terdengar
DJJ, masuknya kepala ke dalam panggul (Sulistiyawati, 2009).
 Janin hidup atau mati
Janin hidup atau mati perlu dikaji untuk mengetahui adakah
tindakan segera yang harus dilakukan atau tidak. janin hidup
atau mati dapat ditentukan dari:

No Janin Hidup Janin Mati


1. DJJ terdengar DJJ tidak terdengar
2. Rahim membesar Rahim tidak membesar/TFU
seiring bertambahnya menurun
TFU
3. Pada palpasi teraba Palpasi tidak jelas
bagian-
bagiannya(usia>20
minggu)
4. Ibu merasakan gerakan  Ibu tidak merasakan
janin gerakan janin.
 Pada pemeriksaan rontgen
terdapat tanda Spalding
(tulang tengkorang
tumoang tindih), tulang
punggung melengkungm
ada gelembung gas dalam
janin.
 Reaksi biologis akan
muncul setelah 10 hari
janin mati.
(Sulistiyawati, 2009)
2. Masalah
Jika hasil analisa data menunjukkan bahwa ibu mengalami
masalah yang memerlukan penanganan namun tidak dapat
dimasukkan dalam kategori diagnosa, maka tuliskan sebagai
masalah (Widatiningsih&Dewi, 2017).

3. Diagnosa Potensial
Diagnosa potensial ditentukan atas dasar diagnosa dan masalah
yang telah dilakukan tersebut. (Widatiningsih&Dewi, 2017).
Perdarahan pada kasus abortus inkomplitus biasanya terjadi
dalam jumlah yang bisa banyak atau sedikit bergantung pada
jaringan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian placental site
masih terbuka sehingga perdarahan berjalan terus. Pasien dapat
terjatuh dalam keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa
jaringan konsepsi dikeluarkan (Prawirohardjo, 2014).
4. Kebutuhan.
Pengelolaan pasien dengan abortus inkomplitus harus diawali
dengan perhatian terhadap keadaan umum dan mengatasi gangguan
hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan tindakan
kuretase, kolaborasi dengan dokter spesialis obsgyn.
(Prawirohardjo, 2014)
IV. PENATALAKSANAAN
Bidan mengembangkan rencana asuhan/tindakan yang komprehensif berdasar
langkah yang telah dilakukan sebelumnya. Rencana asuhan harus disetujui
bersama dengan klien agar pelaksanaannya efektif.
Pada kasus abortus inkomplitus pengelolaan pasien dengan abortus
inkomplitus harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan umum dan
mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan
tindakan kuretase. Bila terjadi perdarahan hebat, dianjurkan segera melakukan
pengeluaran sisa hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal
terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat
berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya dilakukan
tindakan kuretase. Tindakan kuretase harus dilakukan secara hati-hati sesuai
dengan keadaan umum ibu dan besarnya uterus. Tindakan yang dianjurkan
ialah dengan karet vakum menggunakan kanula dari plastik. Pasca tindakan
perlu diberikan uterotonika parenteral ataupun per oral antibiotika.
(Prawirohardjo, 2014)
Prinsip pengobatan abortus inkomplit adalah pembersihan sisa konsepsi dari
kavum uteri. Cara melakukan pembersihan tersebut, tergantung dari usia
kehamilan, besar uterus dan cara penghitungan HPHT. Selain itu, dilihat pula
ketersediaan peralatan, pasokan medik dan tenaga kesehatan yang terampil.
Evaluasi sisa konsepsi pada abortus inkomplit hingga usia kehamilan 12-14
minggu dapat dilakukan dengan aspirasi vakum atau dilatasi dan kuretase
(D&K). dari beberapa hasil penelitian, aspirasi vakum menunjukkan risiko
yang lebih rendah jika dibanding dengan kuret tajam.
(JNPK-KR, 2008)
Aspirasi vakum manual (AVM) merupakan salah satu cara efektif untuk
pengobatan abortus inkomplit. Pembersihan dilakukan dengan mengisap sisa
konsepsi dari kavum uteri dengan tekanan negatif (vakum). Pengatur katup di
depan tabung menyalurkan tekanan negatif sekitar satu atmosfer atau 26
inchi/660mmHg. Tekanan negatif atau vakum tersebut akan menarik massa
kehamilan melalui kanula kedalam tabung pengisap.
AVM sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Berikut langkah prosedur
AVM:
1. Masukkan spekulum secara halus, perhatikan serviks, apakah ditemui
robekan atau jaringan yang terjepit di ostium. Apabila terdapat jaringan
atau bekuan darah di vagina atau serviks, keluarkan dengan klem ovum.
Bila tampak benang AKDR, bersihkan dulu serviks dengan kapas yang
telah dibasahi larutan antiseptik, baru tarik benangnya untuk
mengeluarkan AKDR.
2. Bersihkan serviks, usapkan larutan antiseptik.
3. Lakukan blok paraservikal (bila diperlukan).
4. Pegang bibir atas serviks (dengan tenakulum atau klem ovum) tegangkan
lalu ukur bukaan ostium serviks dengan kanula. Dilatasi tambahan secara
mekanik hanya diperkenankan pada tenaga medik ahli/operator yang
dilatih secara khusus.
5. Setelah diperoleh ukuran yang sesuai, dengan hati-hati, masukkan
(rotasikan dan dorong) kanula ke dalam kavum uteri.
6. Sambil memasukkan ujung kanula hingga fundus uteri, perhatikan titik-
titik pada sisi yang sama dengan lobang kanula. Titik dekat ujung kanula
menunjukkan ukuran 6 cm dari setiap titik berikutnya menunjukkan
tambahan 1 cm. Dengan memerhatikan skala pada titik-titik tersebut
dapat dilakukan pendugaan yang akurat tentang kedalaman dan besar
kavum uteri. Setelah pengukuran selesai, tarik sedikit ujung kanula dari
fundus uteri.
7. Hubungkan pangkal kanula (dipegang sambil memegang tenakulum)
dengan tabung AVM (melalui adaptor). Pastikan kanula tidak terdorong
ke depan pada saat menghubungkan dengan tabung.
8. Buka pengatur katup untuk menjalankan tekanan negatif (vakum) ke
kavum uteri. Bila tekanan tersebut bekerja, tampak cairan darah dan busa
memasuki tabung AVM.
9. Evakuasi sisa konsepsi dengan menggerakan kanula maju-mundur sambil
dirotasikan ke kanan-kiri secara sistematik. Gerakan rotasi tersebut,
jangan melebihi 180° pada satu sisi (depan atau belakang). Penting untuk
menjaga agar kanula tidak tertarik keluar dari ostium (kavum) uteri
karena akan menghilangkan tekanan negatif (vakum) dalam tabung. Hal
yang sama juga terjadi apabila tabung AVM penuh. Apabila tekanan
tersebut hilang maka lepaskan sambungan kanula dan tabung, kemudian
keluarkan isi tabung. Siapkan kembali tekanan negatif dengan jalan
menutup kembali pengatur katup, tarik tangkai pendorong hingga ganjal
terkait pada pangkal tabung. Jangan memegang tabung pada tangkai
pendorong karena dapat melepaskan kait atau ganjal sehingga tekanan
negatifnya hilang. Hal demikian tidak boleh terjadi pada keadaan kanula
sudah dihubungkan dengan tabung karena akan mendorong udara (atau isi
tabung) ke dalam kavum uteri.
10. Periksa kebersihan kavum uteri atau kelengkapan hasil evakuasi. Kavum
uteri diduga cukup bersih jika dilihat dari temuan:
 Busa-busa merah (merah jambu) atau tidak terlihat lagi maassa
kehamilan terhisap ke dalam tabung AVM.
 Mulut kanula melewati bagian-bagian bersabut/kasar (gritty
sensation) pada saat digerakkan melalui dinding kavum uteri.
 Uterus berkontraksi atau seperti memegang kanula.
11. Keluarkan kanula, lepaskan sambungannya dengan tabung AVM dan
masukkan ke dalam wadah yang berisi larutan dekontaminasi. Buka
pengatur katup, keluarkan isi tabung AVM (dengan menekan pendorong
toraks) ke dalam wadah khusus.
12. Periksa jaringan hasil evakuasi:
 Jumlah dan adanya massa kehamilan.
 Memastikan kebersihan evakuasi.
 Adanya kelainan diluar massa kehamilan (misal gelembung mola)/
13. Setelah dipastikan kavum uteri bersih dari sisa konsepsi, lepaskan
tenakulum dan spekulum. Lakukan dekontaminasi pada peralatan bekas
pakai.
14. Sementara masih menggunakan sarung tangan, kumpulkan bahan habis
pakai (kapas, kasa, dsb) ke dalam tempat sampah yang telah disediakan.
Amankan benda tajam pada tempat yang sesuai. Buang massa/jaringan
atau hasil evakuasi ke dalam saluran pembuangan khusus.
15. Masukkan kedua tangan ke dalam larutan klorin 0,5%, bersihkan cemaran
kemudian lepaskan sarung tangan secara terbalik ke dalam wadah
dekontaminasi.
16. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir hingga bersih.

(JNPK-KR, 2008).
Dilatasi dan kuretase dianjurkan apabila aspirasi vakum manual tidak tersedia.

DAFTAR PUSTAKA
Benson Ralph dan Martin L.Pernoll.Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta:
EGC.2013

Cuningham, Dkk, 2014. Obstetri William. Jakarta: EGC

Fauziah, Yulia. Obstetri Patologi. Yogyakart: Nuha Medika. 2012.

Feryanto Achmad dan Padlun. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba


Medika.2014

Fraser, Diane M, dkk. 2009. Myles Buku Ajar Kebidanan. 14. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Irianti, Bayu dkk. 2014. Asuhan Kehamilan Berbasis Bukti. Jakarta : Sagung Seto.
JNPK-KR. 2008. Asuhan Persalinan Normal Asuhan Esensial, Pencegahan Dan
PenanggulanganSegera Komplikasi Persalinan Dan Bayi Baru Lahir. Jakarta:
JNPK- KR

Jumiati. 2019. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Abortus Di RSU Mutia Sari
Duri Periode 2017. Jurnal Bidan Komunitas. 11(1):57-64.

Kemenkes RI. “Pusat Data dan Informasi Kementrian kesehatan RI” Jakarta. 2014.

Kusmiyati, Yuni. 2011. Penuntun Praktikum Asuhan Kehamilan.


Yogyakarta:Fitramaya.

Luthfiana, Mooren Lia, dkk. 2017. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap


Kejadia Abortus Inkomplit Di Rsud Gambiran Kota Kediri Tahun 2016. Jurnal
Ilmu Kesehatan. 6(1):66-76

Manuaba, Ida Ayu Chandranita dkk. 2 0 1 3 . Ilmu Kebidanan, Penyakit


Kandungandan KB. Jakarta: EGC.

Marmi.2014.Kebidanan Pada Masa Antenatal.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Mochtar, R. 2013. Sinopsis Obstetric. Jakarta: Penerbit EGC

Prawirohardjo, Sarwono. 2014.Ilmu Kebidanan.Jakarta : PT Bina Pustaka.

Pudiastuti, Ratna Dewi. 2012. Asuhan Kebidanan Pada Hamil Normal


Patologi.Yogyakarta: Nuha Medika.

Ratnasari, Harsi Maulida. 2020. Hubungan Antara Usia Ibu Hamil Dan Kejadian
Abortus Spontan. Konfrensi Ilmiah Mahasiswa Unissula 3.

Rukiah, dkk. 2013. Asuhan Kebidanan I Kehamilan. Jakarta:Trans Info Medika.

Ruqaiyah, dkk. 2019. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Terhadap Kejadian Abortus


Pada Ibu Hamil Di Rumah Sakit Umum Bahagia Makassar 2019. Jurnal
Kesehatan Delima Pelamonia. 3(1):1-9

Saifuddin, Abdul Bari. 2014. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan


Maternadan Neonatal. Jakarta: PT Bina Prawirohardjo Prawirohardjo.

Setiawati, Dewi. 2013. Kehamilan dan Pemeriksaan Kehamilan. Makassar: Alauddin


University Press

Sulistiyawati, Ari. 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Kehamilan. Jakarta:PT.


Salemba Medika.
Varney, dkk. 2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. 4. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Varney, dkk. 2010. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. 4. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

WHO. 2013. Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan


Rujukan. Jakarta:Unicef.

WHO (World Health). 2012. Manajemen Abortus Inkomplit. Jakarta:EGC.

Wibowo, dkk. 2021. Penggunaan off-Label Misoprostol pada Pasien Obstetri-


Ginekologi di Rumah Sakit Swasta Kabupaten Banyumas. Jurnal
Sains&Farmasi Klinis. 8(1):9-18.

Widatiningsih, Sri&Christin Hiyana Tungga Dewi. 2017. Praktik Terbaik Asuhan


Kehamilan. Yogyakarta: Trans Medika.

Yulaikha, Lili. Seri Asuhan Kebidanan Kehamilan. Jakarta: EGC. 2012

Anda mungkin juga menyukai