Anda di halaman 1dari 7

STEP 7 n0 1 2

1. Anatomi Fisiologi Tonsil

Bagian - bagian Tonsil

 Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Tonsil terletak di lateral orofaring.Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel
berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak
limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus.
Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan
limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan
tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik.
Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal
(Anggraini D, 2001).
 Tonsil Faringeal (Adenoid) Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus
dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil.
Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari
sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun
mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa
faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding
belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada
dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan
orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing
anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-
7 tahun kemudian akan mengalami regresi (Hermani B, 2004).
 Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat
foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata (Kartosoediro S, 2007).

Fungsi Tongsil

Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh dengan
cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan kerongkongan,
oleh karena itu tidak jarang tonsilmengalami peradangan. Peradangan pada tonsil
disebut dengan tonsilitis, penyakit ini merupakan salah satu gangguan Telinga
Hidung dan Tenggorokan ( THT ). (Pearce,2006 ; Syaifuddin, 2006)

Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu :

 Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif.


 Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik. (Hermani B, 2004).

Sistem Peredaran Darah Tonsil

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu

 Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris


dan arteri palatina asenden.
 Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden;
 Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal;
 Arteri faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal
asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal (Wiatrak BJ, 2005).

Aliran Getah Bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus
torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan
pembuluh getah bening aferen tidak ada (Wanri A, 2007).

Sistem Persarafan Tonsil

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX


(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

Sistem Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B


membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil
adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang (Wiatrak BJ, 2005). Limfosit
B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen
komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar (Eibling
DE, 2003). Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat
germinal pada folikel ilmfoid (Wiatrak BJ, 2005).
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.

 FISIOLOGI

Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh


dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan
kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan. Peradangan
pada tonsil disebut dengan tonsilitis, penyakit ini merupakan salah satu gangguan
Telinga Hidung & Tenggorokan (THT).

Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid terkadang tidak
mati dan tetap bersarang disana serta menyebabkan infeksi amandel yang kronis dan
berulang (Tonsilitisbkronis). Infeksi yang berulang ini akan menyebabkan tonsil dan
adenoid bekerja terus dengan memproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga
ukuran tonsil dan adenoid akan membesar dengan cepat melebihi ukuran yang
normal.

Tonsil (amandel) dan adenoid merupakan jaringan limfoid yang terdapat pada
daerah faring atau tenggorokan. Keduanya sudah ada sejak anak dilahirkan dan mulai
berfungsi sebagai bagian dari sistem imunitas tubuh setelah imunitas “warisan” dari
ibu mulai menghilang dari tubuh anak. Pada saat itu (usia lebih kurang 1 tahun) tonsil
dan adenoid merupakan organ imunitas utama pada anak, karena jaringan limfoid lain
yang ada di seluruh tubuh belum bekerja secara optimal.

Sistem imunitas ada 2 macam yaitu imunitas seluler dan humoral. Imunitas
seluler bekerja dengan membuat sel (limfoid T) yang dapat “memakan“ kuman dan
virus serta membunuhnya. Sedangakan imunitas humoral bekerja karena adanya sel
(limfoid B) yang dapat menghasilkan zat immunoglobulin yang dapat membunuh
kuman dan virus.
Kuman yang “dimakan” oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid terkadang
tidak mati dan tetap bersarang disana serta menyebabklan infeksi amandel yang
kronis dan berulang (Tonsilitis kronis). Infeksi yang berulang ini akan menyebabkan
tonsil dan adenoid “bekerja terus“ dengan memproduksi sel-sel imun yang banyak
sehingga ukuran tonsil dan adenoid akan membesar dengan cepat melebihi ukuran
yang normal. Tonsil dan adenoid yang demikian sering dikenal sebagai amandel yang
dapat menjadi sumber infeksi (fokal infeksi) sehingga anak menjadi sering sakit
demam dan batuk pilek.Selain itu folikel infeksi pada amandel dapat menyebabkan
penyakit pada ginjal (Glomerulonefritis), katup jantung (Endokarditis), sendi
(Rhematoid Artritis) dan kulit (Dermatitis). Penyakit sinusitis dan otitis media pada
anak seringkali juga disebabkan adanya infeksi kronis pada amandel dan adenoid.
2. Patofisiologi dan Patogenesis Tonsilitis Difteri

Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang


biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh
manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein
dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA
yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan
cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan
pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P.
Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B
dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim
translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 +
Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak
berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan
akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai
respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk
bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran
yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang
terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel.
Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas
sendiri pada masa penyembuhan. (1) Pada pseudomembran kadang-kadang dapat
terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran
dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan /
sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-
bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada
setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya
berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak
menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin
terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya
manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf
pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah
nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan.
Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan
system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput
myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak
perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.

Dapus :

Herry, dkk. 2000. Difteri : Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Edisi kedua. Bandung: Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUNPAD

Anda mungkin juga menyukai