Anda di halaman 1dari 3

PANCASILA DI SEKITAR KITA

PANCASILA SEBAGAI KACA MATA ENCHROMA BAGI BANGSA INDONESIA

Awalnya saya tidak tahu topik apa yang cocok dalam pembahasan untuk tugas saya.
Hingga kemarin sore tepat dua hari sebelum deadline pengumpulan tugas, saya tertarik untuk
membuka sebuah link Youtube yang dibagikan seseorang via facebook. Setelah saya klik, video
tersebut berisi liputan tentang reaksi seorang penderita kelainan buta warna parsial ketika
memakai kaca mata enchroma untuk pertama kalinya. Pada mulanya, dia sama sekali biasa-biasa
saja saat rekan lainnya membentangkan sebuah kain besar dengan motif unik dan warna yang
bervariasi. Ketika dimintai pendapat, dia hanya memberi komentar seadanya. Lalu tiba waktunya
ketika seorang temannya meminta dia untuk menutup mata. Dalam kondisi mata terpejam, salah
satu dari mereka memasangkan sebuah kaca mata yang sekilas terlihat biasa saja. hanya memiliki
bentuk frame dan kaca standar. Setelah beberapa saat, teman-temannya memberikan aba-aba
agar ia membuka mata. Lalu dalam hitungan sepersekian sekon, tampak orang tersebut
memberikan reaksi yang 180 derajat berbeda dari sebelumnya. Ia mulai mendekati bentangan
kain tersebut dan meraba warna-warna yang selama ini belum pernah terdeteksi oleh reseptor
retinanya. Sesekali orang tersebut memastikan nama warna yang ia tunjuk kepada teman-
temannya. “Is that purple? Is it orange? Is it what people call “pink”?”.Terdengar beberapa dari
temannya menanyakan “Apakah kamu mengenali warna ini? Bagaimana dengan ini?” lalu orang
tersebut mengangguk dan sesekali menyeka air matanya.

Setelah menonton video tersebut, saya tertarik untuk menganalogikan benda tersebut
dengan pancasila untuk membuka kesadaran saya tentang kedudukannya. Seperti yang kita
ketahui, pancasila bukanlah sebatas simbol yang hanya bisa dinilai berdasarkan keartistikannya.
Tapi, pancasila adalah sebuah kumpulan substansi yang didapat dari kearifan local sebuah
bangsa yang disebut Indonesia. Saya tidak sedang mengkritik golongan A atau golongan B
dalam penyikapannya terhadap pancasila. Saya hanya berusaha untuk belajar bagaimana
mengenali wajah Indonesia melalui “kaca mata” yang berbeda.

Seperti yang sudah pernah saya pelajari sebelumnya, saya teringat dengan istilah
identifikasi. Meminjam dari pernyataan Sigmund Freud, identifikasi adalah dorongan untuk
menyerupai orang lain yang dianggap ideal untuk memperolah sistem norma, sikap, dan nilai
yang diangap ideal. Sementara kalau saya membahasnya dalam koteks kelompok, berarti
identifikasi adalah dorongan untuk menyerupai kelompok yang dianggap ideal untuk
memperoleh sistem norma, sikap, dan nilai yang ia anggap ideal. Saya tekankan lagi bahwa
dengan identifikasi berarti otomatis suatu kelompok memiliki paradigma, skema, maupun sikap
yang sekiblat. Lalu saya memperluas sorot permasalahannya. Jika dalam suatu wilayah tidak
hanya terdiri dari satu kelompok saja, tetapi puluhan, ratusan, bahkan ribuan kelompok. Tentu
paradigma, skema, dan sikap yang mereka jadikan kiblat akan beragam pula. Terkadang karena
perbedaan kondisi tersebut, suatu hal yang sama akan didefinisikan berbeda-beda berdasarkan
sudut pandang sendiri. Misalnya ada sebuah bentangan kain berwarna hijau. Kain tersebut kita
tunjukkan kepada beberapa kelompok orang yang berbeda. Golongan protanopia berkata bahwa
kain tersebut berwarna kuning gelap. Sementara golongan tritanopia berkata bahwa kain tersebut
berwarna biru muda. Lantas golongan deuteranomalia berkata bahwa kain tersebut berwarna
kuning kehijauan. Kita akan menganggapnya benar, jika dilihat melalui sudut pandang masing-
masing kelompok. Tetapi, kebenaran tersebut hanya bernilai subjektif. Agar mereka tidak saling
menyalahkan, maka kita perlu untuk membuat mereka melihat melalui cara yang sama. Yaitu
dengan memakaikan mereka kacamata enchroma, sehingga reseptor retina mereka dapat
menangkap panjang gelombang cahaya sama yang sebelumnya sama sekali tidak terdeteksi.
Sama seperti gambaran tersebut, dalam memandang Indonesia,masing-masing dari “saya”
mungkin memiliki perspektif yang berbeda. Saya yang beranggapan bahwa Indonesia itu harus
menjadi negara agama, saya yang mengharuskan Indonesia menjadi negara sekuler, saya yang
mengharapkan negara atheis, atau mungkin saya yang menginginkan Indonesia bukan menjadi
sebuah negara. Coba “saya-saya” tersebut saya minta untuk duduk sejenak dan saling berempati.
Coba lihat Indonesia melalui kaca mata sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama
menggambarkan bahwa ciri khas Indonesia yang pertama dan utama adalah ber-Tuhan. dalam
riwayat sejarah Indonesia, nuansa relijius sudah ada sejak dulu kala. Dari masa Animisme
Dinamisme, Hindu-Buddha, Islam, dan lainnya. Jika memang dalam prakteknya masing-masing
dari itu memiliki sudut pandang yang berbeda, lantas mengapa kita tidak menarik satu substansi
yang sama yang dapat meminimalisir masalah subjektif diantara “saya-saya” tersebut? Tuhan
yang mana yang disembah itu tidak bisa saya paksakan kepada siapa, karena itu murni harus
berdasarkan kesadaran individu. Lalu jika memang sulit untuk menyelesaikan poin itu, mengapa
saya tidak memulainya saja dari budi kita sendiri dalam mengakui adanya Tuhan? Budi-budi
tersebut terefleksi dalam “kaca mata” tipe dua, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”,
setelah masing-masing mengevaluasi diri seperti yang diharapkan pada sila kedua, maka saya
yakin akan melihat masa depan Indonesia seperti yang tergambar pada “kacamata” tipe ketiga,
yang menceritakan tentang betapa indahnya persatuan Indonesia.Saya yang bersatu adalah saya
yang menyelesaikan segala bentuk permasalahan bangsa melalui musyawarah mufakat yang tak
lain ada pada “kacamata” keempat. Hingga tercipta suatu cita-cita mulia berupa keadilan yang
telah tegak bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari kelima tipe kacamata tersebut, saya yakin
merupakan sintesis terbijak dari antitesis dan tesis dari seluruh kemajemukan di Indonesia. Jika
memang saya melihat perbedaan Indonesia tampak begitu buruk di mata hati saya, mungkin saya
harus mulai memakai “kaca mata” pancasila, sehingga hati saya dapat melihat betapa indahnya
warna yang berbeda menghiasi Indonesia. Hingga sikap saya tampak seperti seorang buta warna
yang memakai kaca mata enchroma untuk pertama kalinya.

Nama : Wazna Rosyidatul Ahsanti

NIM : 16081300

Tugas : PPKn

Prodi : Psikologi

Anda mungkin juga menyukai