Anda di halaman 1dari 2

SURAT UNTUK JEROME POLIN SIJABAT

Hai, Jer. Salam kenal. Aku Eva Cristine Ronauli Naibaho, salah satu dari sekian juta pengikutmu. Kamu
kurang suka kata ‘pengikut’ ya? Tetapi aku memang itu, aku bukan bagian tim mantappu—aku belum
pernah ikut acara-acaramu. Hehe. Minimal aku sudah tahu tentangmu sejak 2015 

Aku menulis surat ini karena ingin berbagi pemikiran denganmu, Jer. Aku sudah tertarik denganmu sejak
dulu. Bukan hanya karena prestasimu, tapi aku penasaran dengan presuposisi yang kamu miliki sehingga
kamu bisa berjuang sampai detik ini. Aku akan menceritakan tentangku lebih dulu, apa boleh?

Kamu suka pendidikan kan? Hatimu condong ke sana kan? Sama sepertiku yang sangat menyukai sosial dan
lingkungan. Aku suka mengamati hal-hal itu di Indonesia. Ah, boleh ku tebak? Apa salah satu motivasimu
untuk pendidikan karena melihat situasi dan kondisi di Indonesia ini? Jika benar, kita sama, Jer 

Sudah lama aku memerhatikan negeri ini, fokusnya sosial dan lingkungan. Hal lain seperti pendidikan,
budaya, agama, keadilan, kesehatan, dan politik juga, namun tidak seperti dua itu. It’s really sad, you know.
Saat setiap hal memiliki akar permasalahan yang sama—edukasi dan mentalitas. Menurutku, kedua hal ini
merupakan fondasi. Kalau kedua hal itu sudah tidak benar, bagaimana?

Edukasi dan mentalitas membentuk pola pikir dan attitude. Pola pikir dan attitude digunakan setiap hari di
masyarakat, entah di rumah, kantor, sekolah, dan lain-lain. In my opinion, edukasi dan mentalitas pola
pikir dan attitude.

Setiap hari akan saling memengaruhi, jika dipelihara dengan baik akan berkembang semakin baik juga.
Digunakan di masyarakat, setiap orang berinteraksi. Tanpa sadar saling memengaruhi, entah dari perkataan,
perlakuan, dan lain-lain. Hal ini tidak hanya dari tatap langsung, melalui sosial media pun sangat
memengaruhi. Ah, kamu pasti lebih mengerti, Jer.

Masyarakat pun memiliki lapisan-lapisan. Entah berdasarkan kekayaan, pekerjaan, dan sebagainya. Apa
yang bisa diharapkan jika semuanya saling memengaruhi tapi nyatanya edukasi dan mentalitas kurang
tertata? Aku mahasiswi yang belajar tentang perikanan dan perairan, by the way. Contohnya saja limbah dari
pabrik-pabrik, kalau limbah itu tidak dapat diolah oleh alam, perairan menjadi tercemar. Kalau sudah begitu,
makhluk hidup di perairan juga terdampak. Ah, seram jika membayangkannya.

Pola-nya alam dan pola-nya masyarakat tidak berbeda jauh ternyata. Sebagian orang mengeluh mengenai
global warming, bingung bagaimana mengatasi. Tetapi hanya sedikit yang benar-benar tau akar
permasalahannya. It’s complex. Tidak semudah orang-orang mengatakan, “Gara-gara manusia nebang hutan
sembarangan!” atau “Gara-gara pemerintah membangun gedung terus!” In my opinion, kedua contoh kasus
di atas hanya ‘luka luar’ yang dapat dilihat, ‘luka di dalam’ siapa yang mengetahui?

Kembali lagi. Contoh simpelnya: jika kita spreading a love, cinta yang didapat; jika kita spreading a hate,
benci yang didapat. Itu komunikasi yang terbilang baik, by the way. Jika kita mau memberi X, maka X yang
didapatkan. Kalau ada gangguan dalam komunikasi itu? Jangan-jangan X bisa menjadi Y bahkan Z—
spreading a love bisa diplintir menjadi spreading a hate. Begitu juga sebaliknya. Mengerikan.

Aku yakin ada sebagian entah besar atau kecil yang sudah memahami hal ini sehingga berusaha menjadi
orang yang lurus dalam berkomunikasi. Tetapi sangat sulit mengharapkan budaya komunikasi yang baik
terbentuk menjadi pola yang umum di masyarakat Indonesia. Jujur saja, kita sering miskomunikasi.

Penyebab miskomunikasi pun beragam. Hal yang paling sulit bagi aku untuk diubah adalah pola pikir. Setiap
orang memiliki kebebasan untuk berpendapat dan berbicara. Jika hak kebebasan ini disalahgunakan oleh
orang yang memiliki pola pikir yang tidak benar, bagaimana? Terlebih lagi jika orang tersebut merupakan
publik figur di masyarakat. Aku tidak sedang menyindir siapapun, hanya menuangkan keresahan.

I know, membentuk pola pikir dan attitude seseorang itu tidak mudah. Seperti yang sudah disebutkan,
edukasi dan mentalitas berperan penting. Edukasi dan mentalitas berawal dari rumah, kemudian pergaulan,
sekolah, kantor, dan banyak lagi. Sekolah, right? 12 tahun di sekolah dan jika diijinkan 4 tahun lagi untuk
kuliah. Apa ya yang kita dapatkan selama ini? Mungkin tanpa sadar kita sudah dibentuk oleh lingkungan
menjadi orang yang memiliki pola pikir dan attitude yang kurang baik. Lebih kompleks lagi, pola pikir dan
attitude seseorang yang cenderung sama akan berkumpul membentuk suatu ‘kelompok.’
Hal ini bukanlah suatu yang mengagetkan. Contoh paling dekat ya kamu, Jer. Misalnya kamu beropini
tentang sesuatu, orang yang memiliki pola pikir yang sama denganmu akan mendukungmu, jika tidak ya
mereka akan meninggalkanmu. Ah, tapi sepertinya dalam kebanyakan hal, itu semua hanya karena KASUS.
You know, tidak mudah menilai pola pikir dan attitude seseorang. Hal ini kompleks. Dalam kasus yang
berbeda, saat kamu berpendapat, jangan-jangan orang yang dulu meninggalkanmu jadi berbalik
mendukungmu. Lucu ya!

Nyatanya, pemerintah berupaya dalam hal ini. Ya, setiap pemerintah memilih dan mengadaptasi suatu
bentuk pendidikan entah dari luar negeri atau Indonesia jaman doeloe. Harapan pemerintah nyatanya sangat
besar terhadap pendidikan karena mereka tau hal ini menjadi fondasi untuk membentuk negara yang baik.
Tapi apa setiap orang di Indonesia peduli akan hal ini? Aku rasa tidak.

Ah, aku bukan tipe orang yang membesar-besarkan bentuk pendidikan, by the way. I don’t really concern
about it. Sebagian orang mengagungkan bentuk pendidikan di luar negeri kan? Aku pikir ada hal lain yang
sering dilupakan orang-orang—hati.

Hati terkait motivasi. Hati dicurahkan melalui attitude. Hati dan pikiran saling memengaruhi. Berapa banyak
orang yang benar-benar peduli tentang keadaan Indonesia? Kenyataannya, sebagian besar orang cenderung
self-centered. Bukan berarti, aku menyatakan diri sebagai orang baik yang peduli dengan negeri ini. Aku
hanyalah salah satu dari sebagian orang yang memberi waktu dan energi untuk memikirkan negeri ini. Aku
rasa kamu juga, Jer 

Tidak perlu dahulu idealis ingin menjadi orang yang pola pikirnya ‘wah’ dan attitude-nya seperti malaikat.
Minimal setiap orang ingin menjadi orang yang jujur saja itu sudah sangat baik. Minimal membiasakan sikap
tidak mencontek saja itu sudah sangat baik. Minimal tidak memalsukan catatan keuangan saja itu sudah
sangat baik. Minimal membiasakan sikap antri saja itu sudah sangat baik. Minimal membiasakan membuang
sampah pada tempatnya itu sudah sangat baik. Betapa indahnya.

Sadar gak sih, Jer? Aku baru sadar by the way waktu menulis sampai paragraf ini. Tulisanku dari awal
hingga saat ini seperti gelombang—naik-turun. Menyebar-mengecil. Masyarakat-individu. Lucu, seperti
pupil.

Jer, aku mendukungmu karena kamu punya hati untuk pendidikan di Indonesia. Jadilah seseorang yang mau
belajar ya termasuk belajar menjadi role model yang baik bagi masyarakat terutama anak muda. I know,
banyak orang yang melihat prestasimu dan mengapresiasi itu, Jer, bahkan buku pertamamu dipenuhi oleh
pengalamanmu akan prestasi.

Tetapi, satu hal yang aku pikirkan, Jer. Tentang presuposisimu. Tentang pemikiranmu. Tentang hatimu bagi
pendidikan Indonesia. Berapa orang ya yang peduli akan itu? Setidaknya, aku salah satunya. Aku tidak ingin
menjadi seorang pemuja. Aku ingin menjadi rekan. Rekan jarak jauh itu sudah pasti, rekan jarak dekat, who
knows?

Aku bukan siapa-siapa, by the way. Hanya seorang mahasiswi biasa yang punya hati ingin menjadi
pemimpin di masyarakat suatu hari nanti. Terima kasih karena kamu sudah meluangkan waktu dan energi
untuk membaca suratku ini. Aku bersyukur kepada Tuhan boleh mengetahui tentangmu, Jer. Semangat dan
jaga kesehatan ya. Tuhan memberkati.

Bogor, 17 Oktober 2020

Salam kenal, Eva.

Anda mungkin juga menyukai