Anda di halaman 1dari 2

Teori Kognisi Sosial David Elkind

Kognisi Sosial (Sosial cognition) merujuk pada cara yang digunakan individu untuk
menyusun konsep dan bernalar mengenai dunia sosialnya, orang –orang yang mereka amati
dan terlibat dalam interaksi, relasi mereka dengan orang-orang kelompok yang diikuti, cara
bernalar mengenai dirinya sendiri mengenai orang lain. Akhir-akhir ini para ahli semakin
berminat terhadap kognisi sosial (Flavell, Miller & Miller, 2002; Lapsley & Narvaez, 2004)

Menurut teori David Elkind tentang kognisi sosial remaja dibagi menjadi beberapa tahap
yaitu:

 Egosentrisme Remaja
Egosentrisme remaja (adolescent egoscentrism) adalah meningkatnya kesadaran diri
pada remaja, yang tercermin dalam keyakinan mereka bahwa orang lain berminat
terhadap diri merek seperti halnya mereka terhadap dirinya sendiri. David Elkind
(1976) berpendapat bahwa egosentrisme remaja mengandung dua jenis pemikiran
sosial- imaginary audience dan personal fable.
Penonton imajiner (imaginary audience) merujuk pada segi dari egosentrisme
remaja yang melibatkan perilaku menarik perhatian, berusaha untuk diperhatikan,
terlihat, berada “di panggung”. Seorang remaja laki-laki mungkin beranggapan bahwa
orang lain menyadari bahwa beberapa helai rambutnya terlihat kurang teratur.
Seorang remaja peremmpuan yang berjalan memasuki kelas mungkin beranggapan
bahwa semua mata tertuju pada warna kulitnya. Penghayatan remaja bahwa mereka
“berada di panggung”’ secara khusus terjadi di masa awal remaja, mereka
berkeyakinan bahwa mereka adalah aktor utama dan yang lain adalah penonton.
Menurut Elkind, dongeng pribadi (personal fable) adalah bagian dari
egosentrisme remaja yang mengandung penghayatan bahwa dirinya unik dan tidak
terkalahkan. Penghayatan bahwa dirinya unik ini membuat mereka merasa bahwa
tidak seorangpun yang dapat memahami bagaimana perasaan mereka sebenarnya.
Sebagai contoh, seorang remaja perempuan mungkin beranggapan bahwa ibunyatidak
mungkin dapat memahami betapa terlukanya perasaannya karena pacarnya telah
memutuskan hubungan mereka. Dalam usaha mereka untuk memperoleh penghayatan
mengenai keunikan pribadi ini, remaja dapat menjadi seorang ahli kisah mengenai
dirinya yang dipenuhi dengan fantasi, menenggelamkan dirinya ke dalam sebuah
dunia yang jauh dari kenyataan. Personal fable, sering kali menggejala di dalam buku
harian remaja.
Remaja sering kali memperlihatkan penghayatannya bahwa dirinya tidak
terkalahkan, percaya bahwa mereka tidak pernah menderita pengalaman buruk seperti
kecelakaan mobil yang meatikan), meskipun hal itu mungkin saja terjadi pada orang
lain. Pada beberapa remaja, penghayatan mengenai keunikan dan bahwa dirinya tidak
terkalahkan ini cenderung membuat mereka terlibat di dalam perilakuyang ceroboh,
seperti balapan mobil, menggunakan obat terlarang, bunuh diri, dan melakukan
hubungan seks tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Dolcini dkk,1989). Sebagai
contoh, sebuah studi menemukan bahwa remaja-remaja perempuan kelas sebelas dan
dua belas yang memiliki egosentrisme tinggi cenderung menyatakan bahwa mereka
tidak akan hamil apabia melakukan hubungan seksual tanpa alat kontrasepsi,
dibandingkan dengan rekan-rekannya yang memiliki egosentrisme rendah.

 Pengambilan Perspektif
Para peneliti telah menemukan bahwa perubahan-perubahan dalam pengambilan
perspektif (perspective taking), yaitu kemampuan untuk mempertimbangkan sudut
pandang orang lain serta memahami pikiran dan perasaanya, cenderung berperan
dalam perkembangan egosentrisme remaja (Lapsely & Murphy, 1985). Munculnya
kaitan antara pengambilan perspektif dan egosentrisme remaja agaknya disebabkan
karena kemajuan dalam pengambilan perspektif menyebabkan remaja cilik itu
menjadi lebih peduli mengenai hal-hal yang dipikirkan orang lain.
Pengambilan perspektif dapat meningkatkan pemahaman diri remaja,
mningkatkan status kawan sebaya, dan kualitas persahabatan mereka (Selman &
Adalbjarnardottir, 2000; Selman & Schultz, 1999). Sebagai contoh, dalam sebuah
penyelidikan, sebagian besar anak-anak yang populer di kelas tiga dan kelas delapan
memiliki ketrampilan yang baik dalam pengambilan perspektif juga lebih dapat
memahami kebutuhan dan kebersamaan mereka dengan orang lain sehingga mereka
juga dapat berkomunikasi secara lebih efektif. Di samping itu, sebuah studi
menemukan bahwa kompetensi dalam melakukan koordinasi perspektif sosial
berpengaruh penting terhadap terbentuknya persahabatan di antara remaja setelah
mereka ditempatkan kembali di tempat kediamannya (Venberg dkk, 1994).
Kaitan antara diri (self) dengan individu lain memiliki sifat yang kompleks,
sebagian besar ahli teori perkembangan berpendapat bahwa perubahan perkembangan
dalam relasi antara diri orang lain diitandai doleh kemampuan untuk meninggalkan
egosentrisme dan beralih pada kemampuan melihat perspektif orang lain. Meskipun
demikian, karena rentang usia dari munculnya tingkat-tingkat tertentu dari
pengambilan perspektif ini cenerung bervariasi, maka para ahli juga kurang
dimungkinkan untuk melakukan generalisasi dalam melakukan pemilahan yang tegas
terhadap tahap-tahap tersebut
Kita dapat melihat bahwa remaja tidak begitu saja menerima suatu informasi
dari orang lain, melainkan mereka mencocokkan dengan informasi yang telah didapat
sebelumnya. Remaja juga cenderung mendeteksi perubahan yang bersifat situasional
baik pada diri sendiri maupun orang lain dibandingkan berpikir bahwa kita semua
berperilaku secara konsisten. Selain itu, para remaja mulai mencari lebih dalam
tentang siapa dirinya/orang lain baik dari hal yang kompleks bahkan sampai pada hal
yang tersembunyi—yang membentuk kepribadian (John W. Santrock, 2007 : 164-
166).

Anda mungkin juga menyukai