Anda di halaman 1dari 10

Petunjuk praktis cara melakukan penelitian fenomenologi

Posted on January 3, 2011 by Desi Dwi Prianti

Petunjuk praktis cara melakukan penelitian fenomenologi

oleh Desi Dwi Prianti

Kebanyakan mahasiswa mengalami kesalahan yang sama ketika mereka diminta

untuk memberikan alasan kenapa mereka memilih melakukan penelitian dengan pendekatan

fenomenologi. Tanpa studi literatur dahulu, dengan entengnya biasanya mereka menjawab,

“karena sesuatu yang saya teliti adalah sebuah fenomena bu, oleh karena itu fenomenologi

adalah pendekatan penelitian yang paling tepat untuk saya gunakan”. Semoga anda tidak

termasuk mahasiswa yang bermental asal jawab seperti yang saya ceritakan diatas, kalaupun

iya, jangan berkecil hati karena saya percaya dengan istilah bahasa inggris sleng yang sering

diungkapkan oleh teman saya “people change, you know”. Dengan kepercayaan awal seperti

tadi, saya berharap dengan membaca tulisan ini, anda bisa memahami dan mengetahui apa itu

penelitian fenomenologi, kenapa dan bagaimana melakukanya sehingga membuat anda

menjadi seorang mahasiswa ataupun peneliti yang lebih berkompeten.

Definisi

Komunikolog favorit saya dan saya yakin favorit anda juga, Littlejohn (1999: 199)

mendefinisikan fenomenologi sebagai studi tentang pengalaman yang datang dari kesadaran

atau cara kita memahami sesuatu dengan secara sadar mengalami sesuatu tersebut.

Sedangkan menurut Hegel (dalam Moustakas 1994: 26) fenomenologi mengacu pada

pengalaman sebagaimana yang muncul pada kesadaran, lebih lanjut ia menjelaskan

fenomenologi adalah ilmu menggambarkan apa yang seseorang terima, rasakan dan ketahui
di dalam kesadaran langsungnya dan pengalamannya. Dan apa yang muncul dari kesadaran

itulah yang disebut sebagai fenomena.

Untuk sebagian orang yang memang dianugrahi kemampuan analisis bahasa yang

tinggi atau yang sudah terbiasa membaca artikel-artikel ilmiah dengan bahasa yang memiliki

abstraksi tingkat tinggi, dua definisi diatas saya rasa cukup untuk menjelaskan tentang apa itu

fenomenologi. Akan tetapi, saya sangat memahami bahwa tidak semua orang dilahirkan

dengan kemampuan analisis bahasa yang sama; seperti saya misalnya yang suka bingung

sendiri membaca tulisan mahasiswa dengan tingkat kesulitan bahasa yang tinggi, atau untuk

pemula yang sama sekali belum pernah membaca tentang fenomenologi, saya akan coba

menjelaskan lagi tentang apa itu fenomenologi.

Merangkum dari berbagai definisi yang ada, fenomenologi adalah studi tentang

pengalaman yang disadari (conscious experience). Jadi peneliti yang menggunakan

fenomenologi nantinya akan meneliti pengalaman yang disadari dari responden penelitiannya

bukan meneliti sesuatu yang diluar responden penelitiannya atau sesuatu diluar pengalaman

sadar responden penelitiannya. Misalkan, pernyataan yang dikeluarkan pada saat individu

dalam keadaan tidak sadar atau terhipnotis seperti dalam acara televisi Uya-Kuya misalnya

tidak bisa dijadikan data penelitian fenomenologi. Tetapi alasan individu kenapa mau

dihipnotis, bagaimana perasaannya ketika mendengarkan kejujuran dari orang-orang

dekatnya, apa yang mendasari individu tersebut untuk memaafkan orang terdekatnya

misalnya karena pada saat dihipnotis dirinya dijelek-jelekan orang terdekatnya, adalah

pengalaman-pengalaman yang menjadi studi penelitian fenomenologi. Hanya pengalaman

sadar individu yang menjadi obyek studi dari penelitian fenomenologi.

Contoh lain, misalkan saya tertarik untuk meneliti tentang fenomena lagu garuda di

dadaku dan bagaimana lagu itu sepertinya bisa menggugah semangat ketika dinyanyikan

(saya katakan sepertinya, karena ini masih menjadi dugaan awal saya). Dengan metode
fenomenologi saya akan fokus pada bagaimana individu memaknai lagu garuda di dadaku,

bagaimana perasaanya pada saat menyanyikannya, pada saat mendengarkan lagu tersebut

dinyanyikan, apa asosiasi dia terhadap lagu tersebut, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan

terus berkembang seiring dengan jawaban individu tersebut, misalkan tentang bagaimana

individu tersebut mengidentifikasi diri sebagai seorang warga Negara Indonesia, bagaimana

pengaruh lagu tersebut dengan rasa nasionalisme yang dimilikinya. Sebenarnya, saya

memiliki impian untuk melakukan penelitian tersebut pada seluruh pemain timnas yang

kemarin berlaga pada piala AFF 2010. Sayangnya impian tingal impian, mungkin kalau saya

anak orang berkuasa di negeri ini baru saya akan bisa melakukan penelitian tersebut.

Jadi, masih tentang penelitian lagu garuda di dadaku, saya sebagai peneliti tidak akan

fokus meneliti dari mana lagu garuda di dadaku, siapa yang memopulerkan, (jawaban

pertanyaan-pertanyaan ini hanya melengkapi bab gambaran umum), bagaimana intensitasnya

di media massa, bagaimana pengaruhnya pada nasionalisme bangsa Indonesia (pertanyaan-

pertanyaan ini akan bisa dijawab dengan metode penelitian sosial lainya) tetapi saya akan

fokus meneliti tentang pengalaman yang disadari (bukan pada saat dia dihipnotis, mimpi,

ngelindur,dll) responden penelitian saya mengenai seputar lagu garuda didadaku.

Setelah sebelumnya kita membahas tentang apa itu fenomenologi, berikut ini saya

akan membahas tentang cara berpikir fenomenologi. Ini penting untuk dikuasai sebelum anda

mulai menganalisa fenomena yang anda temukan menggunakan pendekatan fenomenologi.

Jangan menganggap sepele apa yang akan saya paparkan nanti, karena apabila anda tidak

pernah melakukan cara berpikir fenomenologi tetapi tiba-tiba menggunakan teknik analisis

fenomenologi, bisa-bisa penelitian anda gagal dan harus mengulang dari awal. Tidak

bermaksud untuk menakut-nakuti tetapi membuat anda untuk belajar mempersiapkan diri

sebagai seorang yang bisa mempertahankan dengan argumen yang rasional tentang apa yang

anda kerjakan.
Paradigma interpretative

Penelitian fenomenologi sendiri termasuk pada paradigma interpretative. Semoga

anda masih bisa mengingat hukum-hukum yang ada pada paradigma interpretative, karena

saya yakin ini anda dapatkan beberapa kali di mata kuliah metodologi penelitian. Bagi yang

tidak ingat, segeralah mengejar ketinggalan dengan membaca lagi tentang paradigma

interpretative dalam penelitian sosial. Metode-metode penelitian yang ada dalam paradigma

interpretative, menganalisis aktivitas sosial melalui pengamatan langsung yang mendetail atas

individu didalam situasi dan kondisi yang alami (Jadi tidak ada rekayasa seperti dalam

penelitian experimental) dengan tujuan untuk mencapai pemahaman dan penafsiran

bagaimana individu menciptakan dan memelihara dunia sosial mereka. Oleh karena itu

asumsi utama dari paradigma interpretative, bahwa individu secara aktif menginterpretasikan

pengalaman mereka dengan memberikan makna pada apa yang mereka lihat atau rasakan.

Jadi apabila anda ingin meneliti bagaimana pengalaman individu didalam memaknai tokoh

upin dan ipin dalam serial upin-ipin dengan fenomenologi, anda harus memilih responden

penelitian yang memang tahu dan mengikuti serial upin-ipin, bukan individu yang sengaja

anda pertontonkan serial upin-ipin dalam rangka penelitian yang anda lakukan. Jika demikian

yang anda lakukan adalah penelitian experimental bukan fenomenologi. Dalam penelitian

fenomenologi, fenomena yang akan diteliti sudah ada / exist (situasi dan kondisi yang alami)

bukan sengaja diciptakan dengan tujuan untuk membuktikan asumsi penelitian.

Prinsip dasar fenomenologi

Stanley deetz (dalam littlejohn, 1999:200) menyimpulkan tiga prinsip dasar dalam

fenomenologi:

1. Pengetahuan adalah kesadaran. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman

tetapi ditemukan secara langsung dari pengalaman yang disadari “conscious


experience”. Contoh, saya tahu kalau hubungan jarak jauh (LDR) adalah sebuah

hubungan yang bisa mengalami banyak hambatan dan akan susah untuk

dipertahankan apabila tidak ada komitmen dari kedua belah pihak, bukan saya

simpulkan secara tidak sadar dari pengalaman-pengalaman tetapi saya temukan

langsung dari pengalaman yang saya sadari.

2. Makna dari sesuatu tergantung dari apa kegunaan sesuatu tersebut dalam kehidupan

individu. Dengan kata lain, bagaimana hubungan kita dengan sesuatu ditentukan oleh

apa makna sesuatu tersebut dalam kehidupan kita. Contoh, seseorang yang dimata

orang lain biasa-biasa saja tidak memiliki kelebihan yang terlalu waah bisa sangat

berarti dan sangat berharga di mata anda karena seseorang tersebut adalah kekasih

tercinta anda. Atau contoh yang biasanya saya gunakan di kelas adalah spidol, untuk

saya yang sedang kesal karena mahasiswa berbicara sendiri di kelas, spidol tidak saya

maknai sebagai alat tulis tetapi saya maknai sebagai sesuatu yang bisa membuat

mahasiswa saya berhenti berbicara sendiri dengan melemparkan spidol tersebut ke

arah mahasiswa yang bersangkutan (Jadi tolong jangan berbicara sendiri di kelas

kalau anda tidak mau menjadi korban lemparan spidol saya).

3. Bahasa adalah sarana makna. Kita mengalami dan memaknai dunia sosial kita melalui

bahasa yang kita gunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia sosial

tersebut. Contoh, kita bisa dengan mudah mengetahui kalau itu cincin karena label-

label yang berhubungan dengan cincin; logam/plastik, berbentuk lingkaran, jari,

aksesoris, dll. Seperti salah satu tayangan kuis di stasiun telivisi swasta, katakan

katamu.
Bracketing

Oleh karena paradigma interpretative percaya bahwa setiap individu melakukan

interpretasi secara aktif, dan fenomenologi percaya bahwa pengetahuan didapatkan dari

“conscious experience”, dan bagaimana individu memaknai segala sesuatu tergantung pada

arti sesuatu tersebut dalam kehidupan individu (subyektif), maka peneliti fenomenologi tidak

pernah mencari benar-salah dari pengalaman respondennya bahkan membenarkan atau

menyalahkan pernyataan respondennya, tetapi peneliti fenomenologi berusaha mengejar

bagaimana pengetahuan tersebut didapatkan respondenya atau bagaimana pernyataan tersebut

bisa dikemukakan oleh respondennya.

Contoh, misalkan anda meneliti tentang budaya dugem di kalangan mahasiswa fisip.

Lalu ketika anda menanyakan pada responden anda, alasan dia memiliki hobi dugem, lantas

dia menjawab kalau dugem adalah alasan dia dilahirkan di dunia, sarana eksistensi diri

sebagai seorang mahasiswa gaul, keren dan tenar. Sebagai peneliti fenomenologi, anda tidak

diperbolehkan untuk langsung menyalahkan responden anda, atau ketika anda menuliskanya

di penelitian anda, anda memberikan teori tentang bagaimana pengaruh buruk teman sebaya

didalam membentuk perilaku dugem mahasiswa dengan tujuan untuk mendeskriditkan

jawaban responden anda tadi. Tetapi sebagai peneliti fenomenologi, yang berusaha anda

kejar/ temukan adalah bagaimana responden anda bisa memaknai dugem sebagaimana yang

dia utarakan tadi.

Berkaitan dengan hal tersebut dikenal istilah bracketing di dalam fenomenologi.

Bracket sendiri adalah sebuah kata kerja yang dalam bahasa Indonesia berarti mengurung.

Disini berarti, selama melakukan penelitian fenomenologi seorang peneliti harus mengurung

(bracket) pengetahuan dan kepercayaan-kepercayaan yang selama ini dimiliki dan

diyakininya dalam rangka untuk mendapatkan true essence atau esensi murni dari fenomena
yang ditelitinya. Huserl (dalam Moustakas, 1994) menyebut bracketing dengan istilah

epoche.

Jadi interview guide yang anda buat diawal, hanya sebuah guide atau panduan awal

tentang apa yang akan anda tanyakan kepada responden anda. Interview guide tersebut tidak

menjadi harga mati pertanyaan-pertanyaan yang akan anda ajukan pada responden. Dalam

setiap wawancara mendalam yang anda lakukan pertanyaan-pertanyaan yang anda ajukan

akan berkembang seiring dengan jawaban-jawaban dari responden anda. Tetapi harap diingat

kalau interview guide yang anda buatpun tidak anda buat dengan ngawur atau asal saja, tetapi

tetap dia harus berangkat dari preliminary research sebelumnya yang anda lakukan dan kajian

pustaka yang sudah anda tulis. Oleh karena itu kajian pustaka bukan digunakan hanya untuk

pemanis penelitian anda (asal copy-paste biar terlihat tebal dan ilmiah) tetapi benar-benar

digunakan untuk menjadi pijakan anda didalam melakukan penelitian. Itulah sebabnya kajian

pustaka diletakkan pada bab 2 atau proposal, karena dia dibuat sebelum anda melakukan

penelitian.

Teknik analisis data adalah tahapan terakhir dalam sebuah penelitian yang

menentukan apakah peneliti berhasil menjawab pertanyaan penelitian atau tidak. Oleh karena

itu pertanyaan penelitian atau rumusan masalah sangat menentukan teknik analisis data yang

akan digunakan. Teknik analisis data juga, yang membedakan penelitian yang satu dengan

penelitian yang lainnya.

Sebelum saya membahas tentang teknik analisis data fenomenologi, saya akan

menjelaskan pembagian pendekatan fenomenologi secara singkat. Fenomenologi sendiri

terdiri dari tiga kelompok yaitu Classical phenomenology, Social phenomenology dan

Hermeneutic phenomenology. Disini teknik analisis yang akan saya jelaskan adalah teknik

analisis classical phenomenology dari Edmund Husserl. Dalam buku Clark Moustakas,

classical phenomenology diberi istilah transcendental phenomenology. Fenomenologi


Transedental menekankan pada subjektifitas dan pengungkapan inti dari pengalaman dengan

sebuah metodologi yang sistematis dan disiplin untuk asal mula pengetahuan. Pendekatan

Huserl ini disebut “phenomenology” karena hanya menggunakan data-data yang dialami

melalui consciousness terhadap suatu objek. Disebut “transcendental”, karena mengacu pada

apa yang bisa diungkapkan melalui refleksi dalam tindakan-tindakan subjektif dan

keobjektifan yang menghubungkan tindakan-tindakan tersebut (Moustakas, 1994:45).

Unit analisis

Unit analisis adalah bagian terpenting dari penelitian yang dilakukan karena dia

adalah satuan data yang akan peneliti analisis guna menjawab permasalahan penelitian yang

diajukan. Apabila anda benar-benar memahami apa yang saya tulis pada part 1 dan part 2,

anda akan bisa menebak apa unit analisis dalam penelitian fenomenologi. Bagaimana? Apa

anda sudah bisa menebaknya? Mari kita cocokkan jawaban anda.

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa fenomenologi adalah studi tentang pengalaman

yang disadari atau “conscious experience”. Segala hal diluar yang disadari oleh responden

penelitian tidak dianalisis dalam penelitian fenomenologi (masih ingat contoh saya tentang

program televisi uya-kuya?). Maka dari itu, unit analisis dalam penelitian fenomenologi

adalah setiap pernyataan yang diungkapkan oleh responden penelitian/individu secara

sadar. Jadi anda tidak berusaha menganalisis “tanda” yang anda tangkap dalam wawancara

anda dengan responden anda, tetapi anda hanya menganalisis setiap jawaban atau pertanyaan

yang diungkapkan individu. Anda tidak berusaha untuk memahami komunikasi non verbal

yang dilakukan oleh responden anda tetapi murni hanya pengalaman yang disadari

responden.
Teknik analisis data

Teknik analisis data yang akan saya paparkan disini adalah modifikasi teknik analisis

fenomenologi dari Van Kaam (Moustakas, 1994:121) :

1. Listing and Preliminary Grouping

Mendaftar semua ekspresi yang relevan dengan pengalaman yaitu daftar jawaban partisipan

atau responden penelitian (horizonalization).

2. Reduction and Elimination

Menguji setiap ekspresi yang ada dengan dua persyaratan berikut :

1. Apakah ekspresi tersebut mengandung momen pengalaman yang penting dan

mengandung unsur pokok yang cukup baik untuk memahami fenomena ?

2. Apakah ekspresi tersebut memungkinkan untuk dikelompokkan dalam suatu

kelompok besar dan diberi label ?

3. Clustering and Thematizing the Invariant Constituents (Thematic potrayal)

pengalaman responden penelitian yang berkaitan kedalam label-label tematik. Constituent

(unsur pokok) yang dikelompokkan dan diberi label ini adalah tema inti dari pengalaman.

Jadi tema-tema yang ada pada thematic potrayal adalah benang merah dari jawaban-jawaban

semua responden.

4. Final Identification of the Invariant Constituents and Themes by Application : Validation

Merupakan proses memvalidkan Invariant Constituent. Yang dilakukan dalam tahap ini

adalah mencek invariant constituent dan tema yang menyertainya terhadap rekaman utuh

pernyataan responden penelitian.

 Apakah diekspresikan secara eksplisit dalam trasnkripsi utuh ?

 Apakah sesuai atau cocok dengan konteks dalam transkrip ? ( jika tidak diekspresikan

secara eksplisit )
 Apabila tidak dinyatakan secara eksplisit dan tidak cocok, maka hal itu tidak relevan

terhadap pengalaman responden penelitian dan harus dihapuskan.

5. Individual Textural Description

Dengan menggunakan invariant constituent dan tema yang valid dan relevan dari tahap

sebelumnya, dapat disusun Individual Textural Description dari pengalaman setiap responden

penelitian. Termasuk didalamnya adalah ekspresi harfiah (kata per kata) dari catatan

interview yang ada.

6. Individual Structural Description

Hasil dari penyusunan Individual Textural Description dan Imaginative Variation akan

membangun Individual Structural Description dari pengalaman setiap responden penelitian.

7. Textural-Structural Description

Tahap ini merupakan proses penggabungan antara Textural Description dan Structural

Description dari pengalaman masing-masing setiap responden penelitian.

Setelah Individual Textural – Structural Description tersusun maka dibuat suatu Composite

Description dari makna dan esensi pengalaman sehingga menampilkan gambaran

pengalaman kelompok secara satu kesatuan.

*contoh lengkap aplikasi setiap tahapan diatas ada di Moustakas, bab 7 hal. 120-154

Reference : (and further reading)

Moustakas, Clark. 1994. Phenomenological Research Methods. California: SAGE

Publications.

Littlejohn, S. W. 1999. Theories of Human Communication 6th Edition. Belmont, CA:

Wadsworth. N/A.

Anda mungkin juga menyukai