Definisi fenomenologi
Sekilas di awal kita sudah singgung mengenai pengertian atau definisi fenomenologi. Studi
fenomenologis dapat diseskripsikan sebagai penerapan metode kualitatif dalam rangka
menggali dan mengungkap kesamaan makna dari sebuah konsep atau fenomena yang
menjadi pengalaman hidup sekelompok individu.
Fenomena yang dialami oleh sekelompok individu tentunya begitu beragam. Saya akan
paparkan sedikit contoh agar pembaca ada gambaran. Ambil contoh fenomena HIV atau
AIDS. Penelitian kita fokuskan pada fenomena berupa perlakuan diskriminatif yang menjadi
pengalaman hidup para penderita HIV. Fokus penelitian demikian bisa dilakukan dengan
mengaplikasikan metode fenomenologi.
Contoh lain, konsep atau fenomena tentang menjadi seorang ayah. Fokus penelitiannya
adalah seperti apa pengalaman yang dirasakan oleh bapak-bapak muda ketika pertama kali
menjadi seorang ayah. Studi fenomenologis dapat diaplikasikan untuk pertanyaan penelitian
semacam itu. Data bisa dikumpulkan dengan cara mewawancarai sekelompok individu yang
terdiri dari bapak-bapak muda yang masih fresh punya pengalaman jadi ayah.
Salah satu poin penting yang menjadi kelebihan studi fenomenologis adalah pengalaman
yang tersembunyi di dalam aspek filosofis dan psikologis individu dapat terungkap melalui
narasi sehingga peneliti dan pembaca seolah dapat mengerti pengalaman hidup yang dialami
oleh subjek penelitian.
Tujuan dari penelitian fenomenologis, seperti yang sudah disinggung di awal adalah
mereduksi pengalaman individual terhadap suatu fenomena ke dalam deskripsi yang
menjelaskan tentang esensi universal dari fenomena tersebut. Fenomenolog berupaya
”memahami esensi dari suatu fenomena”.
Creswell memberi satu contoh esensi universal dari suatu fenomena yang menurut saya
cukup mudah dipahami, yaitu duka cita. Duka cita adalah fenomena yang dialami oleh
individu secara universal. Duka cita memiliki esensi universal yang dialami oleh individu
terlepas dari siapa objek yang hilang atau meninggalkannya sehingga sekelompok individu
tersebut berduka. Entah orang terdekatnya yang hilang atau hewan peliharaan yang
disayanginya, duka cita memiliki esensi universal sehingga sangat mungkin diteliti secara
fenomenologis.
Prosedur riset fenomenologis
Bila kita melakukan studi fenomenologi, maka cerita oral tentang pengalaman hidup menjadi
bentuk data primer yang wajib dikumpulkan. Untuk memperoleh data tersebut tentu saja
dibutuhkan keterbukaan informan untuk mengungkapkan apa yang dialaminya di masa lalu.
Beberapa langkah perlu dipahami ketika melaksanakan riset fenomenologis. Saya merujuk
pada pendapat pakar metodologi Creswell dalam pemaparan langkah-langkah ini:
» Pertama, peneliti memastikan bahwa apakah rumusan masalah yang dibuat relevan untuk
diteliti menggunakan pendekatan fenomenologis. Rumusan masalah penelitian yang relevan
menerapkan fenomenologi adalah masalah penelitian dimana sangat penting untuk
memahami pengalaman pribadi yang dirasakan sekelompok individu terhadap suatu
fenomena yang dialaminya. Pemahaman terhadap pengalaman tersebut sekiranya nanti dapat
membantu proses mengembangkan kebijakan atau untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam terhadap fenomena yang diteliti.
» Keempat, data fenomenologis berupa narasi deskriptif yang dikumpulkan dari cerita
individu yang mengalami suatu fenomena yang diteliti. Data riset fenomenologis diperoleh
dari wawancara mendalam dengan sekelompok individu. Jumlahnya tidak dapat ditentukan.
Beberapa peneliti merekomendasikan antara 5-25 orang. Pertanyaan yang diajukan seorang
fenomenolog bisa beragam. Tipikalnya, peneliti menanyakan tentang apa yang dialami dan
bagaimana fenomena tersebut bisa dialami.
» Kelima, proses analisis data pada prinsipnya mirip dengan analisis kualitatif lainnya, yaitu
data ditranskrip, lalu dengan merujuk pada rumusan masalah, peneliti melakukan koding,
klastering, labelling secara tematik dan melakukan interpretasi. Proses tersebut berlangsung
bolak-balik sebagaimana analisis data kualitatif pada umumnya.
» Keenam, masing-masing tema yang muncul dalam proses analisis mengandung narasi
verbatim. Secara garis besar berupa deskripsi tekstual tentang apa yang dialami oleh
partisipan dan bagaimana mereka mengalaminya. Dari deskripsi tekstual tersebut peneliti
mendeskripsikan esensi universal dari fenomena yang ditelitinya. Tipikal deskripsi tektual
yang disusun dalam riset fenomenologi adalah terdiri dari paragraf yang cukup panjang dan
mendalam.
Fenomenologi sebagai bidang disiplin filsafat dan sebagai metodologi ilmu manusia telah
diakui kemampuannya dalam mempelajari suatu fenomena sosial. Para peneliti komunikasi
kontemporer menggunakan kelebihan fenomenologi sebagai prinsip dasar yang kuat dalam
penelitian komunikasi.
Selain itu, fenomenologi juga memberikan penawaran kepada para peneliti komunikasi suatu
pendekatan ilmu manusia untuk mempelajari fenomena dengan cara yang tetap peka terhadap
keunikan orang yang diteliti.
Disamping kelebihannya, fenomenologi juga tidak lepas dari kritik para peneliti lainnya,
salah satunya adalah Daniel Dennett. Daniel Dennet menyatakan bahwa pendekatan orang
pertama dalam fenomenologi memiliki keterbatasan dalam meneliti keberadaan manusia
secara efektif.
Pendekatan orang pertama dipandang sebagai pendekatan subyektif yang merujuk pada
terminologi autofenomenologi. Selain itu, fenomenologi juga memiliki keterbatasan dalam
ketidakmampuannya untuk menghasilkan suatu intepretasi reduksi yang lengkap atau
kecenderungan untuk mempromosikan sebuah konseptualisasi esensialis dari suatu
fenomena. (Baca juga: Komunikasi Sosial)
Asumsi Dasar
Fenomenologi sebagai bidang disiplin filosofis memiliki beberapa asumsi dasar yang berakar
dari asumsi epistemologis serta asumsi ontologi. Keduanya memberikan kontribusi dalam
menjelaskan dasar-dasar pendekatan filosofis untuk memahami berbagai fenomena sosial.
(Baca : Komunikasi Sosial)
Asumsi pertama adalah penolakan terhadap gagasan bahwa para peneliti dapat bersikap
objektif. Para ahli fenomenologi percaya bahwa pengetahuan mengenai esensi hanya dapat
dilakukan dengan cara mengasah berbagai asumsi yang telah ada sebelumnya melalui suatu
proses-yang dalam fenomenologi dikenal dengan istilah epoche. (Baca juga: Jenis – jenis
Interaksi Sosial)
Asumsi kedua adalah bahwa pemahaman yang mendalam terhadap sifat dan arti dari hidup
terletak pada analisis praktik kehidupan yang dilakukan oleh manusia dalam kesehariannya.
Asumsi ketiga adalah eksplorasi manusia yang bertentangan dengan individu adalah hal
sangat penting dalam fenomenologi. Manusia dipahami melalui berbagai cara yang unik
sebagaimana mereka merefleksikannya melalui keadaan sosial, budaya, dan sejarah
kehidupannya.
Asumsi keempat adalah bagaimana manusia dikondisikan dalam sebuah proses penelitian.
Para peneliti fenomenologi tertarik untuk mengumpulkan berbagai pengalaman sadar
manusia yang dianggap penting melalui intepretasi seorang individu dibandingkan dengan
pengumpulan data secara tradisional.
Asumsi kelima berkaitan dengan proses. Fenomenologi adalah sebuah metodologi yang
berorientasi pada penemuan yang secara spesifik tidak menentukan sebelumnya apa yang
akan menjadi temuannya.
Penelitian Fenomenologis
Penelitian fenomenologis bertujuan untuk mengekspresikan diri secara murni tanpa adanya
gangguan dari peneliti. Terdapat beberapa tahapan harus yang dilalui ketika melakukan
penelitian yaitu bracketing, intuiting, analyzing, dan describing.
Bracketing – proses mengidentifikasi dan menahan setiap keyakinan serta pendapat yang
sebelumnya telah terbentuk yang mungkin saja ada dan mengenai fenomena atau gejala
yang sedang diteliti.
Intuiting – proses yang terjadi ketika peneliti bersikap terbuka terhadap makna yang terkait
dengan fenomena oleh mereka yang pernah mengalaminya sehingga menghasilkan
pemahaman umum mengenai fenomena yang sedang diteliti. (Baca juga: Proses Interaksi
Sosial)
Analyzing – proses yang melibatkan proses lainnya yang meliputi coding, kategorisasi dan
memahami arti dari fenomena tersebut. (Baca juga: Komunikasi Pembelajaran)
Describing – pada tahapan ini, peneliti menjadi mengerti, memahami, dan mendefinisikan
fenomena yang diteliti. Tujuannya adalah mengkomunikasikan dan menawarkan perbedaan,
atau deskripsi kritis dalam bentuk tertulis atau verbal.
Fenomenologi sebagai bidang disiplin tidak dapat disamakan dengan filsafat namun berkaitan
dengan berbagai disiplin kunci dalam filsafat seperti ontologi, epistemologi, logika, dan etika.
Masing-masing disiplin kunci filsafat memiliki domain studi yang berbeda satu sama lain.
(Baca juga: Media Komunikasi Modern)
Begitu pula dengan fenomenologi. Walaupun terdapat perbedaan dalam domain studi,
fenomenologi berkaitan dengan masing-masing disiplin kunci filsafat. Berikut adalah
keterkaitan antara fenomenologi dengan ontologi, epistemologi, logika, dan etika. (Baca
juga: Pengaruh Media Sosial)
Fenomenologi dan logika: Teori makna logika mengantarkan Husserl kepada teori
intensionalitas yang merupakan jantung fenomenologi.
Fenomenologi dan ontologi: Fenomenologi mempelajari sifat kesadaran manusia yang
menjadi isu sentral dalam metafisis atau ontologi.
Fenomenologi dan etika: Fenomenologi memainkan peran dalam etika dengan menawarkan
analisis struktur keinginan, penilaian, kebahagiaan, dan kepedulian terhadap sesama.
Dalam sejarah ilmu manusia dan filsafat, salah satu pendekatan yang terbaik untuk
memahami ruang lingkup pengalaman kesadaran manusia adalah fenomenologi. Tidak seperti
hewan atau mesin, manusia memiliki fungsi dalam tiga tingkatan simultan kesadaran yang
mengintegrasikan ekspresi dan persepsi dari afeksi atau emosi, kognitif atau pikiran, dan
konatif atau tindakan yang bertujuan. (baca juga: Literasi Media)
Para peneliti filsafat menyebutnya dengan istilah Latin yaitu capta, data, dan acta. Ketiga
deskripsi proses analitik tersebut mengikuti model metodologi penelitian standar dari
fenomenologi semiotika yang terdiri dari deskripsi, reduksi, dan intepretasi (Lanigan, 2015 :
2). (Baca juga: Sejarah Jurnalistik di Indonesia)
Menurut Jurgen Ruesch (1972) ketiga tahapan prosedur yang terdiri dari deskripsi, reduksi
dan intepretasi, mengacu pada proses dasar dari komunikasi, yaitu understanding atau
memahami, acknowledging atau mengakui, dan agreeing atau menyetujui. Sebagai sebuah
praksis, fenomenologi berjalan dengan menggunakan metodologi investigatif untuk
menjelaskan pengalaman manusia. Fenomenologi sebagai sebuah metodologi dikenalkan
oleh Richard L. Lanigan. Menurutnya, fenomenologi sebagai metodologi memiliki tiga
tahapan proses yang saling bersinergi, yaitu :
1. Deskripsi fenomenologis
Para ahli fenomenologi berpendapat bahwa kata sifat fenomenologis digunakan untuk
mengingatkan jika kita berhubungan dengan capta yaitu pengalaman sadar. (Baca juga: Peran
Media Komunikasi Politik)
2. Reduksi fenomenologis
Tujuan dari reduksi fenomenologis adalah untuk menentukan bagian mana dari deskripsi
yang penting dan bagian mana yang tidak penting. Dalam artian, reduksi fenomenologis
bertujuan untuk melakukan isolasi suatu objek dari kesadaran yang masuk ke dalam
pengalaman yang dimiliki.
Teknik yang umum dilakukan dalam reduksi fenomenologis adalah variasi bebas imajinatif.
Prosedur ini terdiri dari refleksi berbagai bagian dari pengalaman dan membayangkan setiap
bagian sebagai kehadiran atau ketiadaan dalam pengalaman secara sistematis. (Baca
juga: Efek Media Sosial)
3. Intepretasi fenomenologis
Pada umumnya dimaksudkan untuk menjelaskan pemaknaan yang lebih khusus atau yang
penting dalam reduksi dan deskripsi dari pengalaman kesadaran yang tengah diselidiki.
Secara teknis, intepretasi disebut secara beragam dengan semiotik atau analisis hermeneutik.
Semiologi adalah studi yang mempelajari sistem lambang atau kode-kode. Dengan demikian
hermeneutik semiologi adalah hubungan khusus yang menyatukan deskripsi dan reduksi.