Buku ini tercetus dari proses pembelajaran penulis sewaktu mengali lebih
dalam penelitian sehubungan literasi digital. Kompetensi ini penting dalam
menyikapi abad 21 yang menjadi tonggak kebangkitan digital. Data,
informasi dan pengetahuan semuanya diproduksi dan dikelola secara
digital. Berbagai cara kerja dan cara belajar yang terdahulu sudah usang dan
ditinggalkan, digantikan dengan berbasiskan teknologi yang sama
sekali baru, praktis, ringkas, efektif, efisien, modern dan canggih.
Hanya saja kesiapan masyarakat dan peran institusi pendidikan menjadi
penentu dalam memanfaatkan semua kebaikan teknologi yang ada untuk
menyiapkan peserta didik memiliki kompetensi literasi digital
Untuk dapat memanfaatkan semua kebaikan teknologi di abad 21 dan
meningkatkan kompetensi literasi digital di ranah edukasi, penting
peranannya mengalamati dengan seksama fenomena apa yang terjadi saat
ini dari aspek teknologi, pendidik, peserta didik, masyarakat dan dinamika
global di era krisis yang mengancam keberlangsungan pembelajaran.
Buku ini membahas aspek-aspek penting literasi digital dalam persepektif
, diantaranya: menggungkap kondisi masyarakat digital masa
kini, mengalamati literasi digital sebagai solusi pendidikan, mengamati
perkembangan pembelajaran IPS dari masa ke masa, kurikulum
internasional dan porsi dari literasi digital, karakteristik peserta
didik generasi digital, pengembangan pembelajaran digital dan bentuk-
bentuk pembelajaran digital kini dan masa depan semisal konten digital
sebagai ruang pembelajaran masyarakat digital, media
pembelajaran digital, , dsb.
v
Bandung, Mei 2020
Feri Sulianta
vi
vii
DAFTAR ISI
viii
3.9 Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Masyarakat (Science, Technology
& Society) ............................................................................... 38
3.10 Koneksi Global (Global Connections) ...................................... 39
3.11 Warga Negara yang Baik dan Berbudaya (
) ................................................................................ 39
x
MASYARAKAT DIGITAL
MASA KINI
Melek teknologi atau literasi digital menjadi keahlian yang harus dimiliki oleh
masyarakat masa kini di abad ke-21, tetapi justru dewasa ini keberadaan
masyarakat di Indonesia yang mengakses perangkat teknologi informasi
dan internet teralamati memiliki kompetensi literasi yang rendah meskipun
sebagian besar merupakan pengguna aktif internet. Terlebih lagi dengan
maraknya konten-konten negatif yang dapat memengaruhi masyarakat dan
merusak ekosistem digital. Kondisi ini harus disikapi dengan keterampilan
literasi digital, salah satu contohnya yakni kemampuan memberdayakan
dan menyikapi konten digital.
1
Perkembangan dunia digital dapat berkontribusi positif dan negatif jika
dilihat dalam sudut pandang literasi digital. Berkembangnya peralatan
digital dan akses terhadap informasi dalam bentuk digital memunculkan
peluang sekaligus tantangan. Jumlah generasi muda yang mengakses
internet sangat besar, yaitu kurang lebih 70 juta orang, dan mereka kerap
kali menggunakan telepon pintar (smartphone), komputer personal,
maupun laptop, selama lebih kurang 5 jam per harinya untuk berinternet
(Cnnindonesia.com, 2018).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilansir oleh Mitchell Kapoor (dalam
Hagel, 2012a) memperlihatkan bahwa generasi muda pada dasarnya
memiliki keahlian dalam mengakses media digital saat ini, tetapi mereka
belum mengimbangi kemampuannya dalam menggunakan media digital
untuk memperoleh informasi untuk mengembangkan potensi dan kapasitas
diri. Kondisi yang dialami generasi muda tersebut, tidak didukung konten
dan informasi media digital berkualitas yang memiliki keragaman jenis,
relevansi dan keabsahannya.
Dewasa ini, perkembangan jumlah media di Indonesia mengalami
peningkatan pesat, yakni mencapai sekitar 43.400, sedangkan media yang
terdaftar di Dewan Pers Nasional berkisar 100 media saja. Hal ini
memperlihatkan bahwa banyak media dengan mudahnya terhubung ke
internet dan melansir informasi secara bebas. Kondisi ini memberikan
kemudahan bagi masyarakat mudah mendapatkan informasi dari berbagai
media yang ada, terlepas dari terpercaya atau tidaknya berita tersebut. Hal
ini terindikasi dari semakin merosotnya budaya membaca masyarakat yang
pada dasarnya masih dalam tingkat yang rendah (Kementerian Komunikasi
dan Informatika Republik Indonesia, 2018).
Masyarakat didapati dengan mudah menyebarkan konten menggunakan
berbagai macam layanan internet termasuk melansirnya pada situs web dan
jejaring sosial, dan penyebaran ini dilakukan secara berjejaring misalnya
lansiran pada portal internet disebarkan dengan membagikan alamat
konten internet ke berbagai jejaring sosial sehingga meningkatkan visibilitas
dan selain itu konten secara terus menerus secara berulang-ulang diakses,
hanya saja tidak semua informasi yang tersedia di web adalah konten yang
terpercaya (Pikiran Rakyat, 2019). Dampak dari perilaku ini, konten yang
berisi berita bohong tetapi diakses dan disebarluaskan secara terus menerus
menjadi informasi yang dianggap penting dan benar yang merupakan
kondisi pasca kebenaran ( ), yang muncul bersama dengan berita
2
bohong, hal ini memperlihatkan bahwa memang didapati kelompok
masyarakat tidak memiliki keterampilan literasi digital (Llorente, 2017).
3
Munculnya berbagai macam konten yang menargetkan warganet sebagai
konsumennya, perlu disikapi dengan cermat. Kompetensi literasi digital di
abad ke-21 menjadi keterampilan yang penting dalam menyikapi
perkembangan teknologi dan internet dewasa ini.
Ada banyak kajian perihal literasi dan literasi digital dalam menjawab
tantangan di abad ke-21. Pada dasarnya, literasi digital sama pentingnya
dengan membaca, menulis, berhitung, dan disiplin ilmu lainnya, bahkan
dalam praktiknya, literasi memiliki tindakan yang lebih bermakna. Hal ini
penting diperkenalkan pada masyarakat masa kini, terutama generasi yang
hidup di era informasi. Hal ini dikarenakan, generasi yang tumbuh dalam
era teknologi digital mempunyai pola berpikir yang amat berbeda
dibandingkan generasi sebelumnya, dimana generasi tersebut sudah
menikmati kemapanan teknologi informasi, misalnya: mengakses ragam
konten atau ragam informasi menggunakan layanan digital (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2017).
Kemampuan literasi dalam aspek kehidupan menjadi penyangga bagi
kemajuan peradaban suatu bangsa. Literasi memaksudkan keberaksaraan,
yaitu kemampuan membaca dan menulis. Sedangkan, budaya literasi
ditujukan untuk pembiasaan berpikir yang diawali dengan kegiatan
membaca dan menulis hingga tercipta sebuah karya yang diharapkan
terjadinya perubahan tingkah laku dan budi pekerti. Literasi media, literasi
teknologi serta literasi visual merupakan kompetensi yang perlu
diberdayakan dalam era teknologi dan internet (Suragangga, 2017).
Literasi digital mampu menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir
dan pandangan yang kritis dan kreatif. Masyarakat tidak mudah termakan
oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi bohong (hoax), atau
korban penipuan yang berbasis digital karena masyarakat memahami
kredibilitas dan kualitas konten digital yang sepatutnya. Dengan demikian,
kehidupan sosial dan budaya masyarakat akan cenderung aman dan
kondusif. Membangun budaya literasi digital perlu melibatkan peran aktif
masyarakat secara bersama-sama. Keberhasilan membangun literasi digital
merupakan salah satu indikator pencapaian dalam bidang pendidikan dan
kebudayaan.
4
1.3 Literasi Digital dan Pendidikan
Tidak dapat dipungkiri, era digital yang berkontribusi pada penyebaran dan
terciptanya informasi digital berdampak pada munculnya
(informasi yang membingungkan). Banyaknya konten yang tidak
mengedukasi semisal konten sadistik, konten kengerian, konten yang
mengajarkan tindakan tidak terpuji, semisal: cara mencuri password, cara
membuat bom, dan sebagainya, juga teralamati banyaknya konten dengan
muatan berita bohong, dapat mendegradasi masyarakat dan peserta didik.
Masyarakat terpapar konten digital yang tidak edukatif, dan terpengaruh
dengan berita bohong. Dalam kasus ini tidak sedikit masyarakat yang
tampaknya tidak dapat membedakan konten yang bermanfaat dan tidak
bermanfaat (Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, 2018).
Terdapat dua pandangan utama yang memiliki pengaruh sama kuatnya di
kalangan praktisi pendidikan media dan para pegiat literasi media
sehubungan tujuan literasi digital (Aufderheide, 1993) yaitu:
1) Pandangan pertama, yang disebut dengan kelompok ‘proteksionis’
menyatakan bahwa, pendidikan media atau literasi media ditujukan
untuk melindungi warga masyarakat sebagai konsumen media dari
dampak negatif media massa.
2) Pandangan kedua yang disebut ‘preparasionis’ yang menyatakan
bahwa literasi media merupakan upaya mempersiapkan warga
masyarakat untuk hidup di dunia yang melimpah dengan
keberadaan media agar mampu menjadi konsumen media yang
kritis. Kelompok preparasionis, berpendapat bahwa warga
masyarakat secara umum perlu dibekali kompetensi keterampilan
bermedia, sehingga mampu mendapatkan manfaat dari
keberadaan media massa.
Menjadi berarti dapat memroses berbagai informasi, dapat
memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang lain dalam
berbagai bentuk. Dalam hal ini, bentuk yang dimaksud termasuk
menciptakan, mengolaborasi, mengomunikasikan, mampu bekerja sesuai
dengan etika, memahami kapan dan bagaimana teknologi harus digunakan
agar efektif untuk mencapai tujuan.
5
Literasi digital memampukan individu untuk beralih dari konsumen
informasi yang pasif, menjadi produsen aktif, baik secara individu maupun
sebagai bagian dari komunitas. Jika generasi muda kurang menguasai
kompetensi digital, hal ini dapat membuat mereka tersisih dalam persaingan
memperoleh pekerjaan, partisipasi dalam ruang demokrasi, dan interaksi
sosial (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 2017).
6
Mengalamati hal ini, peranan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
penting peranannya dalam menggalakkan literasi digital yang menjadi salah
satu kompetensi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial atau
. Hal ini dapat dijelaskan secara historis, konseptual dan
dimensional. Keterampilan literasi dapat meningkatkan kemampuan
seseorang sewaktu berhadapan dengan media digital baik mengakses,
memahami konten, menyebarluaskan, membuat bahkan memperbarui
media digital untuk pengambilan keputusan dalam aktivitas hidup manusia.
Jika seseorang memiliki keterampilan tersebut maka orang tersebut dapat
memanfaatkan media digital untuk aktivitas yang produktif, mengupayakan
perilaku serta tindakan yang menyenangkan guna mengembangkan potensi
diri, bukan sekedar untuk tindakan konsumtif atau destruktif. Atas dasar
itulah pembelajaran literasi digital diperlukan dalam masyarakat.
Terdapat dua jalur yang dapat digunakan yaitu pendidikan formal di sekolah
dan pendidikan informal dalam bentuk pelatihan sehubungan literasi digital.
Di sekolah, literasi digital dapat dimasukan ke dalam beberapa mata
pelajaran, yang utamanya adalah IPS, bahasa, kesehatan dan komputer.
Sedangkan pada mata pelajaran, ada beberapa keterampilan yang harus
dikuasai siswa seperti membaca, menyimak, dan menulis. Jika
dihubungkan dengan literasi digital maka keterampilan membaca,
menyimak dan menulis dilakukan dengan media digital seperti melalui
komputer, internet (blog, media sosial, web), dan telepon pintar
(smartphone). Lebih lanjut, siswa dapat diajak untuk membedakan berita
terpercaya atau informasi bohong yang tersebar di internet bahkan
membuat tulisan yang bermanfaat dalam wawasan IPS.
Pembelajaran dengan menggunakan media digital melibatkan
pembelajaran mengenai nilai-nilai universal yang harus ditaati setiap orang
seperti kebebasan berekspresi, privasi, keberagaman budaya, hak
intelektual dan sebagainya. Dengan demikian, peserta didik akan
memahami bahwa media digital ibarat mata uang, dimana kebebasan
informasi berada di satu sisi dan pelanggaran privasi pada sisi lainnya.
Kedua sisi itu harus dipahami dan digunakan dengan seksama sehingga
tidak merugikan diri sendiri dan pihak lain.
Selain melalui pendidikan formal, pembelajaran literasi digital juga dapat
diaplikasikan dalam pendidikan bermasyarakat melalui komunitas semisal
komunitas hobi atau organisasi masyarakat lainnya. Literasi media digital
merupakan perangkat penting guna mengatasi berbagai problematika
7
sosial, seperti pornografi dan pornoaksi, penggunaan alkohol, konsumsi
rokok, penggunaan obat terlarang, obesitas, penganiayaan dan kekerasan,
identitas gender dan seksualitas, rasialisme, diskriminasi, penindasan.
Literasi digital memampukan masyarakat dalam mengakses, memilah dan
memahami berbagai jenis informasi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kualitas hidup seperti kesehatan, pengasuhan anak, dan
kualitas keluarga. Selain itu setiap orang dapat berpartisipasi dalam
kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berpolitik dengan menyampaikan
aspirasinya menggunakan media literasi.
Melalui media digital, masyarakat dapat menyuarakan perspektif dan opini
dengan mempertimbangkan aspek kelayakan tanpa harus merugikan pihak
lain. Tujuan ekonomi pun dapat direalisasikan melalui literasi digital,
misalnya dengan pemahaman sehubungan transaksi online. Singkat kata,
literasi digital membuat seseorang menjadi mawas diri terhadap diri dan
dunia yang dinamis, sehingga ia dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial
dengan lebih baik. Maka dari itu, literasi digital perlu dikembangkan di
sekolah dan masyarakat sebagai bagian dari pembelajaran seumur hidup
(Yusup & Saepudin, 2017).
Perkembangan perangkat teknologi informasi terutama internet,
memampukan terwujudnya literasi digital dengan menggunakan perangkat
teknologi informasi dalam mengakses, mengkaryakan dan
mendistribusikan informasi. Hanya saja, berbicara perihal literasi digital dan
mempraktikannya sebagai peserta didik yang dengan
mempertimbangakan aspek literasi dan dunia digital, halnya tidaklah
mudah.
Hadirnya teknologi digital membutuhkan penanganan yang berbeda
dengan aktivitas dan produk tradisional atau non digital. Misalnya saja
perihal keterampilan membaca dan menulis dalam ranah digital sangatlah
berbeda dengan cara-cara tradisional. Perangkat yang digunakan pun
berbeda, kemasan konten yang berbeda, mekanisme membaca dan
menulisnya pun berbeda. Sedangkan jika berbicara perihal keterampilan
menjadi , hingga saat ini pun konten digital yang ada
sekarang ini hanya sebatas mendigitalisasi konten tradisional dan
melansirnya di internet. Banyak hal lain yang belum teralamati dengan
hanya sekedar proses digitalisasi konten menjadi konten digital. Kondisi ini
menjadi pekerjaan rumah para pendidik dan periset sehingga mampu
menghadirkan metode pembelajaran yang selain berkontribusi pada literasi
8
digital, pembelajaran itu pun harus didasari pada kemampuan akan literasi
digital dalam menggunakan perangkat pembelajaran berbasiskan teknologi
informasi.
9
PERKEMBANGAN
PEMBELAJARAN IPS DARI
MASA KE MASA
12
2) PIPS menjadi satu kesatuan di SLTP yang mencakup mata
pelajaran Geografi, Sejarah dan Ekonomi Koperasi.
3) PIPS terpisah pada tingkat SMU, yang memiliki kesamaan dengan
Social Studies.
Pada kurikulum PIPS tahun 2004, mata pelajaran IPS menyerupai
sebagaimana yang terdapat pada kurikulum 1994. Perbedaannya terletak
pada tingkat SMA, yakni mata pelajaran Sosiologi yang awalnya hanya
diperuntukan bagi peserta didik kelas 3 SMA, pada kurikulum 2004 sudah
diberikan pada peserta didik jenjang SMA kelas 2.
Juga terdapat perbedaan skema PIPS untuk tingkat pendidikan tinggi dan
pendidikan lebih tinggi (Somantri, 2001):
1)
Pendidikan IPS yang dimaksud dalam hal ini adalah seleksi dari
disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan kegiatan dasar manusia
yang diorganisir secara ilmiah dan psikologis untuk kepentingan
edukasi.
Titik tolak pemikiran mengenai kedudukan konseptual Pendidikan Disiplin
Ilmu Pengetahuan Sosial (PDIPS) atau objek kajian dari sistem pengetahuan
PDIPS tersebut, yakni (Somantri, 2001):
1) Karakteristik potensi perilaku belajar peserta didik di tingkat SD,
SLTP, dan SMA.
2) Karakteristik potensi dan perilaku belajar mahasiswa Fakultas
Pendidikan IPS- Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FPIPS-
IKIP).
3) Kurikulum IPS dan bahan ajar di SD, SLTP dan SMA.
13
4) Disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin ilmu lain yang
relevan.
5) Teori, prinsip, strategi, media dan evaluasi pembelajaran IPS.
6) Masalah-masalah sosial dan masalah ilmu dan teknologi yang
berdampak sosial.
7) Norma agama yang melandasi dan memperkuat profesionalisme.
Perubahan jaman mengubah cara manusia diedukasi, dikarenakan manusia
harus memenuhi kebutuhan dan kondisi di masyarakat serta tuntutan dalam
masyarakat. Hal ini teralamati pada beberapa periode waktu (Thangaraj &
Lakshmi, 2018). :
1) Revolusi Industri versi 1.0: yang dimulai sekitar abad ke-18 Masehi
dengan penggunaan perangkat pada pabrik-pabrik yang
merupakan bentuk industrialisasi masa awal. Tenaga penggerak
mesin-mesin produksi kala itu adalah tenaga mekanik semisal air
dan arus.
2) Revolusi Industri versi 2.0: yang dimulai pada abad ke-19 Masehi
dengan penggunaan perangkat pada pabrik-pabrik yang
memproduksi produk-produk rakitan masal dengan tenaga buruh
serta mesin-mesin produksi bertenaga listrik.
3) Revolusi Industri versi 3.0: yang dimulai sekitar abad ke-20 dengan
penggunaan perangkat-perangkat terotomatisasi. Tenaga
penggerak mesin-mesin produksi yang digunakan adalah listrik
serta perangkat komputer.
4) Revolusi Industri versi 4.0: yang dimulai sekitar abad ke-21 hingga
kini, saat ini kita masih berada dalam era industri versi 4.0. Industri
pada masa tersebut yakni perangkat produksi yang pintar dengan
kecerdasan buatan, teknologi utamanya adalah IoT (Internet of
Thing), Cloud Technology, serta Big Data. Kehadiran internet dan
berbagai perangkat komputer canggih adalah contoh dari
perkembangan era industri versi 4.0.
Bahkan berbagai metode serta perangkat pembelajaran pun mengalami
transformasi, halnya terasa sewaktu era informasi yang semuanya
terkomputerisasi, misalnya: perangkat pembelajaran terkomputerisasi serta
materi atau bahan pelajaran terdigitalisasi. Perkembangan
14
(ICT) atau Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK), mampu mengubah cara-cara kita belajar dan
mendapatkan informasi, diciptakannya sistem e-learning atau
pembelajaran jarak jauh, berbagai perangkat komputer canggih, serta
ketersediaan konten digital edukatif adalah wujud dari perkembangan era
industri saat ini (Munir, 2017).
15
Terdapat beberapa hubungan ilmu-ilmu sosial dengan IPS, yaitu (Hasan,
1995):
1) IPS bukan disiplin ilmu seperti halnya ilmu-ilmu Sosial, IPS lebih
tepat dipandang sebagai suatu bidang kajian.
2) IPS mengambil pendekatan multidisipliner atau interdisipliner,
sedangkan ilmu-ilmu sosial menggunakan pendekatan disiplin ilmu
atau monodisiplin.
3) Ilmu Pengetahuan Sosial dirancang untuk kepentingan pendidikan.
Berbeda dengan ilmu-ilmu sosial yang diimplementasikan pada
ruang lingkup yang lebih luas.
4) IPS mengimplementasikan ilmu-ilmu sosial dalam
mengembangkan pembelajaran dengan juga mempertimbangkan
aspek psikologis dan pedagogis.
Persamaan antara social studies dengan social sciences terletak pada objek
yang ditelaah, yaitu manusia dan kehidupan bermasyarakat. Keduanya
membahas masalah yang muncul akibat hubungan antar manusia
(interrelationship), keduanya pun mempelajari perihal masyarakat manusia,
dan segala aspek kehidupan sosial masyarakat, serta berbagai problem
yang muncul di masyarakat.
Perbedaan mendasar antara ilmu-ilmu sosial dengan ilmu pengetahuan
sosial terletak pada tujuan ilmu masing-masing. Ilmu sosial bertujuan
memajukan dan mengembangkan konsep dan generalisasi melalui
penelitian ilmiah, membuat hipotesis serta menghasilkan teori baru.
Sedangkan, tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial memiliki kecenderungan untuk
mengedukasi, dan bukan pada penemuan teori ilmu sosial, meskipun hal
itu dimungkinkan.
Salah satu tujuan utama dari IPS yakni keberhasilan dalam mengedukasi
dan bagaimana siswa dapat mengaplikasikan Ilmu Pengetahuan Sosial
dalam aktivitas dan kehidupannya, berupa terciptanya tujuan instruksional.
Untuk tujuan itulah Ilmu Pengetahuan Sosial mengambil bagian-bagian
ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pengajaran. Penyederhanaan konsep
dari ilmu sosial ditujukan agar lebih mudah dipahami oleh peserta didik.
16
Mengenai kerangka dan konsep dasar dari IPS dapat dideskripsikan sebagai
berikut (Hasan, 1995):
1) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bukan bidang keilmuan atau disiplin
bidang akademis, tetapi merupakan sebuah bidang kajian yang
berfokus pada masalah-masalah sosial di masyarakat.
2) Kerangka kerja IPS mengkaji bidang-bidang keilmuan yang adalah
bidang-bidang ilmu sosial, sifatnya non teoritis, tetapi praktikal,
dengan mempelajari gejala dan masalah-masalah sosial yang ada
di lingkungan masyarakat, umumnya diajarkan di tingkat
sekolahan, yakni di Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi.
3) IPS menggunakan pendekatan interdisipliner atau bersifat
multidisipliner dengan menggunakan berbagai bidang keilmuan
guna meninjau gejala atau masalah sosial dari berbagai dimensi
atau aspek kehidupan, sedangkan pendekatan ilmu-ilmu sosial
(Sosial Sciences) bersifat disipliner.
4) Bidang studi IPS, pada dasarnya merupakan perpaduan ilmu-ilmu
sosial. Misalnya, pada tingkat Sekolah Dasar (SD), IPS memadukan
antara geografi dan sejarah. Pada Sekolah Lanjut Menengah
Pertama (SLTP), IPS memadukan geografi, sejarah dan ekonomi
koperasi. Di Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA), IPS memadukan
geografi, sejarah dan ekonomi koperasi dan antropologi.
Sedangkan pada jenjang perguruan tinggi, bidang studi IPS dikenal
sebagai studi sosial, yang merupakan perpaduan dari berbagai
bidang keilmuan Ilmu Sosial. Studi Sosial pun pada dasarnya
memiliki perbedaan yang mendasar dengan ilmu-ilmu sosial.
Proses pembelajaran pendidikan IPS dilakukan secara berjenjang dan
kontinu, menyesuaikan dengan kebutuhan serta tingkat usia peserta didik.
Metode pembelajaran pun disesuaikan dengan kehidupan bermasyarakat,
terutama di era Industri versi 4.0 dimana berbagai aspek hidup
bertransformasi dalam bentuk digital. Maka dari itu literasi digital adalah
aspek mendasar yang menjadi bagian dari Pendidikan IPS dalam
mempersiapkan peserta didik sebagai bagian dari masyarakat dengan
kompetensi literasi digital.
17
2.3 Kurikulum IPS Abad ke-21
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan bidang studi yang mempelajari,
menelaah, serta menganalisis gejala dan masalah-masalah sosial di
masyarakat, yang ditinjau dari berbagai aspek kehidupan secara terpadu.
IPS diajarkan pada pendidikan dasar dan menengah, sebagai dasar atau
pengantar dalam mempelajari studi sosial atau ilmu sosial di tingkat yang
lebih tinggi.
IPS yang diberikan di Sekolah Dasar, secara mendasar mengkaji fakta,
konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial.
Materi dalam IPS merupakan perpaduan dari materi sejarah, geografi,
sosiologi, dan ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diedukasi
menjadi warga negara Indonesia yang bertanggung jawab, demokratis, serta
warga dunia yang cinta damai. IPS di Sekolah Dasar mengalami perubahan
dari waktu ke waktu dikarenakan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta kebutuhan masyarakat seiring perkembangan jaman.
Pada dasarnya, perkembangan tiap kurikulum merupakan penyempurnaan
dari kurikulum sebelumnya. Kurikulum pada dasarnya merupakan
pengaturan mengenai tujuan, dan isi bahan pelajaran yang ditujukan
sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Dua dimensi kurikulum yakni: (1) Rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, dan (2) Cara yang
digunakan untuk kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 36 Ayat (2) menyatakan bahwa kurikulum pada
semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik. Atas dasar pemikiran tersebut maka dikembangkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang mulai dilaksanakan pada tahun
ajaran 2006/2007.
Kurikulum IPS tahun 2006 hanya berfokus pada capaian Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang dipersyaratkan. Hal ini
memberikan peluang pada tenaga pendidik sebagai pengembang
kurikulum dalam mengkreasikan pembelajaran IPS yang aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan (PAKEM). Dengan demikian peserta didik dapat
mengembangkan keterampilan, sikap, dan pemahaman dengan penekanan
18