Sejarah Perekonomian Indonesia
Sejarah Perekonomian Indonesia
TUJUAN PEMBELAJARAN:
Dengan mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa dapat:
1. Mengetahui kondisi perekonomian Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan.
2. Mengetahui kondisi perekonomian Indonesia pada masa setelah kemerdekaan.
3. Mengetahui kondisi perekonomian Indonesia pada masa setelah reformasi.
I. MASA SEBELUM KEMERDEKAAN
Pada awal abad 17, Kawasan Nusantara merupakan kumpulan unit-unit sosial-politik dengan
teritori tertentu, umumnya berbentuk kerajaan yang berdaulat dan mandiri yang umumnya
bukan unit tertutup karena sudah terbiasa menjalin hubungan perdagangan antar mereka
maupun dengan negara lain. Kawasan ini sejak awal adalah bagian dari jalur perdagangan
dunia yang ramai.
Perdagangan mendorong spesialisasi produksi antar daerah dan menciptakan manfaat
perdagangan namun tidak terdistribusi secara merata.
Perdagangan juga mendorong monetisasi sehingga memperluas sistem ekonomi pasar. Pada
masa ini, baik monetisasi maupun perluasan sistem pasar belum tuntas.
Menjelang akhir abad 18, melalui diplomasi dan operasi militer, VOC berhasil menguasai
bagian terbesar Jawa dan Maluku serta beberapa pos dagang di Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi. VOC kemudian berubah menjadi “pemerintah kuasi” bagi teritori yang dikuasainya,
meliputi kekuasaan ekonomi dan politik yang digunakan untuk mengeksploitasi secra
maksimal sumber alam dan penduduk di sana. Sistem ekstraktif murni dijalankan. VOC
menggunakan cara eksploitasi tidak langsung, yaitu melaui penguasa-penguasa lokal.
Indonesia mengalami masa panjang pertumbuhan ekonomi (1450-1680), diikuti masa
stagnasi dan kemunduran (1680-1750), kemudian kebangkitan Kembali (1750-1820)
Selama abad 19 terjadi proses konsolidasi sistem pemerintahan kolonial di India Belanda
dalam tiga tahap , yaitu:
1. 1800 -1830; sistem birokrasi pemerintahan modern mulai dicanangkan , tetapi
berhenti di tengah jalan karena tergeser oleh prioritas yang lebih mendesak, yaitu
kerajaan butuh uang dari tanah jajahannya
2. 1830- 1850; pembangunan birokrasi modern sewaktu sistem tanam paksa pada
puncak pelaksanaannya
3. Setelah 1870 ;pembangunan sistem administrasi pemerintahan kolonial melaju cepat
sewaktu kebijakan ekonomi liberal di adopsi penuh pada akhir abad 19 administrasi
pemerintahan kolonial tuntas terbentuk dan jaringan infrastruktur dasar terbangun
mendukung, investasi besar-besaran
Kebijakan ekonomi liberal menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang manfaatnya
sebagian juga sampai kepada Mayoritas penduduk Hindia Belanda tetapi, pembagiannya
antar kelompok sosial tidak merata. pendapatan rata-rata semua kelompok sosial meningkat
tetapi ketimpangan juga meningkat .Menjelang depresi Dunia tahun 1929 ekonomi India
Belanda termasuk yang kinerjanya terbaik di dunia.
Tabel 1. Ekspor Indonesia, 1874-1914
(dalam Juta Gulden)
Di balik kehidupan ekonomi yang cukup baik itu, kerisauan sosial merebak kebangsaan di
antara kaum terdidik mengelola. Orang kebanyakan jumlah mulai mengerti betapa besar
ketimpangan pembagian manfaat antara negara jajahan dan ibu negerinya serta antara
kelompok sosial/etnis di dalam negeri. kesadaran tersebut melahirkan gerakan politik
kemerdekaan yang makin menguat titik tetapi peristiwa yang mengguncangkan kehidupan di
masa ini terjadi di bidang ekonomi - depresi ekonomi dunia datang ke Hindia Belanda.
Depresi dunia berawal dari New York, Kemudian dengan cepat merembet ke seluruh dunia.
Proses deflasi terjadi:panik, krisis perbankan, sektor riil, PHK, daya beli masyarakat merosot
stok barang tak laku meningkat, produsen mengurangi produksi dan karyawan, daya beli
merosot barang tak laku meningkat, produsen mengurangi produksi, dan seterusnya.
Hindia-belanda terkena imbasnya melalui anjloknya harga komoditi ekspor utama. proses
deflasi juga terjadi di sini dan dampaknya tidak hanya terbatas di sektor modern, tapi juga ke
sektor tradisional. dampak depresi di Hindia Belanda lebih panjang daripada di negara-negara
lain karena pemerintah tetap mempertahankan standar emas yang pada waktu itu sudah
banyak ditinggalkan oleh negara-negara lain.
Timbul kesadaran untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dalam ekonomi dunia kebijakan
perdagangan bebas dan kebijakan pengaturan dan impor diambil untuk memperkuat struktur
ekonomi dalam negeri dan impor yang berlebihan. Produksi Industri Dalam Negeri 4 sampai
datangnya Jepang di Indonesia pada tahun 1942. kebijakan substitusi impor berhasil karena
masih berada pada “tahap mudah” dan ditopang oleh birokrasi yang efektif.
Tahun 1942 Belanda di Indonesia menyerah kepada Jepang, mengakhiri ratusan tahun
kolonialisme Belanda di Indonesia dan awal dari tiga setengah tahun masa pemerintahan
Jepang yang keras. Ekonomi Indonesia menjadi “ekonomi perang”. Tujuan utama seluruh
kegiatan ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan perang Jepang, bukan kebutuhan
masyarakat. Ekonomi dijalankan melalui perintah penguasa perang transaksi sukarela
(mekanisme pasar) sangat terbatas dan hanya terjadi di celah-celah sempit sektor ekonomi
yang tidak terjangkau penguasa. Kesejahteraan rakyat sangat menurun.
Selama 4 tahun setelah Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945 Indonesia terus-menerus
mengalami Situasi konflik sebagai akibat dari konfrontasi antara republik yang baru berdiri
dan Belanda yang ingin kembali menguasai tanah jajahannya warnai oleh penurunan produksi
nasional sebagai akibat dari kerusakan kapasitas produksi di semua sektor hambatan
kegiatan produksi dan Perdagangan dan blokade laut Belanda bersama-sama dengan
peningkatan jumlah uang beredar untuk menutup defisit anggaran menimbulkan inflasi yang
tinggi masa ini juga diwarnai oleh terjadinya pergeseran penduduk besar-besaran
antardaerah dengan berbagai konsekuensi sosial ekonominya.
Kilas balik perjalanan perekonomian Indonesia selama lebih dari 3 abad menunjukkan bahwa
ekonomi dan politik adalah dua sisi dari satu mata uang biasanya, politik layang ekonomi.
pandangan politik dan sasaran politik menentukan sasaran dan corak kebijakan ekonomi yang
dipakai untuk mencapai sasaran tersebut berulang dari masa ke masa.
Masa ini menggambarkan betapa erat interaksi antara ekonomi dan politik dalam praktek
seperti yang disebutkan sebelumnya secara umum kebijakan ekonomi selalu di sub ordinasi
oleh tujuan politik kesepakatan KMB dimaksudkan untuk mencapai sasaran politik Untuk
menghentikan konflik dengan Belanda dan memperoleh pengakuan internasional sasaran itu
dicapai dengan sejumlah biaya ekonomi yang harus ditanggung Republik. sasaran politik
Indonesianisasi sebagian dicapai, sekali lagi dengan biaya ekonomi. upaya untuk
mempertahankan kesatuan negara dicapai dengan memadamkan pemberontakan di Daerah
yang membebani anggaran negara dan menimbulkan gangguan produksi di daerah untuk
beberapa tahun kemudian Irian Barat berhasil kembali ke pangkuan republik dengan biaya
anggaran dan biaya biaya ekonomi lain yang sangat besar. seandainya dilakukan survei
pendapat pada waktu itu dan bahkan sekarang, Barangkali mayoritas bangsa Indonesia akan
mengatakan bahwa sasaran-sasaran politik tersebut memang seharusnya diperjuangkan
untuk dicapai.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah sasaran-sasaran itu harus dicapai at all cost?
ataukah masih ada ruang untuk menghitung-hitung dan menimbang-nimbang biaya
ekonominya? Kenyataannya, semua, atau hampir semua, sasaran politik itu diputuskan untuk
dicapai tanpa adanya perhitungan matang mengenai biaya ekonominya. sebabnya barangkali
karena sasaran sasaran politik itu hampir selalu mempunyai emosional orang cenderung
menumbuhkan semangat untuk melakukan perhitungan cost-benefit yang objektif. lagipula,
Kenyataannya memang tidak mudah untuk menghitung dengan tepat biaya ekonomi dari
suatu sasaran politik yang sering kompleks dan multidimensi titik biaya ekonominya baru akan
menarik perhatian ketika sudah berakumulasi dengan berakibat pada situasi kehidupan
ekonomi yang parah dan menimbulkan reaksi balik yang keras dari masyarakat Seperti yang
terjadi pada akhir masa hiperinflasi. pada saat seperti itu, ekonomi mensubordinasi politik.
keadaan ekonomi menuntut perubahan politik. masalah memperkirakan biaya ekonomi dari
sebuah tujuan politik perlu terus Kita Renungkan dengan jernih karena akan terus berulang
terjadi dalam perjalanan bangsa. barangkali dengan belajar dari sejarah sebagai bangsa
menjadi semakin arif dan makin cerdas dalam mengambil keputusan
Pada tahun 1966 Indonesia mengalami kondisi ekonomi sosial dan politik yang sangat berat.
sesudah terjadinya peristiwa G30S kehidupan sosial dan politik di tanah air putih suasana
konflik, trauma mendalam, dan ketidakpastian politik. roda pemerintahan dan perekonomian
berada pada puncak hiperinflasi dan stagnasi.
Prinsip-prinsip dasar kebijakan seperti anggaran belanja berimbang sistem devisa bebas dan
kurs tunggal serta mendorong keikutsertaan swasta dari dalam dan luar negeri yang
kesemuanya melandasi kebijakan dan program stabilisasi terus menjadi jangkar kebijakan di
masa sesudahnya.
Setelan stabilitas ekonomi mulai kembali dan roda ekonomi bergerak Lagi, fokus bergeser ke
masalah-masalah ekonomi dan Pembangunan Jangka yang lebih panjang. Indonesia
memasuki periode panjang melaksanakan pembangunan, sesuatu yang belum pernah terjadi
pada masa sebelumnya.
Repelita 1 (1969 1974) Kan apa yang dicapai sebelumnya dan memulai beberapa inisiatif
baru tapi perluasan program pembangunan mulai terjadi sejak Repelita 2.
1969 1979
Total 118,2 4.014,2
Sektor
Pertanian 29,8 508,2
Industri 21,3 356,3
(termasuk pertambangan dan energi)
Pertambangan dan Energi - 376,4
Tenaga Kerja & Transmigrasi 0,2 465,8
Daerah 5,9 335,8
Pendidikan 8,1 361,4
Kesehatan 5,4 142,4
(termasuk perumahan)
Perumahan - 117,3
Penanaman Modal (BUMN dsb) 0 456,6
Lingkungan Hidup 0 120,4
Lain-lain 14,2 602,4
Pertumbuhan ekonomi tinggi dapat dicapai dengan industri dan pertanian pangan sebagai
motor penggeraknya. tetapi juga bidang Kesejahteraan kakyat menunjukkan kemajuan yang
mengesankan.
Tabel 3. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sektor 1967-1972 dan 1972-1980
(rata-rata per tahun, dalam %)
1967-1972 1972-1980
Sektor
-Pertanian 5,5 4,7
-Industri 12,7 10,3
-Migas 16,5 4,8
-Perdagangan 8,9 7,8
-Transportasi 5,8 7,3
-Pemerintah 20,5 17,5
-Jasa-jasa lain 5,7 5,7
-Jasa keseluruhan 7,7 8,0
PDB
-Non Migas 8,,0 7,3
-Total 10,2 6,8
-Per Kapita 6,5 4,7
Memasuki decade 1980-an harga minyak berbalik arah. Startegi pembangunan semasa
kejayaan minyak pada decade sebelumnya tidak bisa dipertahankan lagi, harus berubah.
Masalah defisit ganda-defisit APBN dan defisit transaksi berjalan yang membengkak harus
segera diatasi dengan kebijakan makro yang diperlukan agar tidak lepas kendali. Bersamaan
dengan itu, harus dicari pengganti motor penggerak ekonom selain dana minyak dan
anggaran negara agar ekonomi tetap tumbuh.
Ada dua gelombang Langkah yang diambil, masing-masing merupakan kombinasi antara
kebijakan makro untuk stabilisasi dan kebijakan untuk mendorong sumber pertumbuhan di
luar sektor migas dan APBN.
Tetapi, deregulasi all out di bidang keuangan membawa serta benih-benih risiko baru-
timbulnya gelembung (bubbles) dan tertinggalnya governance, keduanya ikut memperparah
dampak krisis yang sedang menunggu di depan pintu.
Krisis keuangan Asia membawa musibah besar bagi Indonesia yang selama tiga dasawarsa
sebelumnya mengalami pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan yang
mengesankan. Tidak hanya badai datang mendadak, tapi juga krisis ini merupakan gejala
yang relatif baru bagi Indonesia, yaitu aliran dana keluar secara besar-besaran. Pada akhir
decade 1980an pelarian dana pernah terjadi, tapi tidak dalam skala ini dan dapat segera
dipatahkan. Kali ini resep lama tidak mempan karena skalanya lebih besar dan akar
penyebabnya lebih dalam.
Korporasi perbankan, dan pelaku utama ekonomi lain yang bertahun-tahun terbiasa dengan
kemudahan mendapatkan pembiayaan dari luar negeri dalam lingkungan system kurs devisa
mengambang terkendali yang hampir sepenuhnya bisa diantisipasi oleh mereka, tiba-tiba saja
harus menghadapi kekeringan dana luar negeri dan sistem kurs mengambang penuh yang
sulit diprediksi. Ini mengubah prilaku mereka menjadi spekulatif dan memperparah kondisi
pasar devisa. Dalam perkembangan selanjutnya, perilaku mereka ditiru oleh masyarakat
kebanyakan, mengakibatkan pelarian modal ke luar secara luas dan tidak terkendali.
Namun yang paling telak dan memperburuk situasi adalah timbulnya krisis perbankan, yang
dipicu oleh penutupan bank tanpa paying penjaminan penuh, yang menyebabkan hilangnya
kepercayaan kepada bank dalam negeri dan penarikan simpanan besar-besaran oleh
nasabah bank untuk dibawa ke tempat yang lebih aman (di bawah bantal, bank milik
pemerintah, bank asing, atau kalau dirasa masih kurang aman, dibawa keluar negeri). Situasi
ini baru berhenti Ketika penjaminan penuh diterapkan pada awal 1998. Tetapi, perbankan kita
sudah terlanjur porak poranda dan penataannya Kembali memakan biaya keuangan dan
sosial yang sangat mahal.
Dampak krisis tidak hanya terbatas pada sektor keuangan, tetapi melalui system pembayaran
yang macet merembet ke sektor riil, mengakibatkan PHK dan kebangkrutan usaha besar-
besaran. Dan tidak berhenti di situ, PHK besar-besaran itu dibarengi dengan terjadinya
musibah alam, kekeringan intens, yang mengakibatkan harga pangan paling utama, beras,
melonjak 3x lipat selama tahun 1998, memicu gejolak sosial dan kemudian gejolak politik.
Karena komplikasi-komplikasi ini, dampak krisis di Indonesia jauh lebih parah daripada yang
dialami oleh negara-negara lain yang terkena imbas krisis di kawasan ini.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman Indonesia melewati krisis, baik
mengenai apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan. Pelajaran
yang dapat membuat kita lebih cerdas menghadapi krisis yang mungkin terjadi di masa
mendatang.
Dekade 2004-2014 mencatat 4 episode yang berbeda, yang timbul terutama karena situasi
ekonomi dunia yang berbeda. Episode pertama (2004-2008) adalah masa kebangkitan
setelah Indonesia melewati 6 tahun masa penyembuhan dari krisis 1997-1998. Masa ini juga
mencatat tahap awal dari boom komoditi yang terlihat mulai 2005. Episode kedua9 2008-
2009) adalah masa pecahnya krisis dan penanganannya. Episode ketiga (2010-2011) adalah
kelanjutan dari boom sebelumnya yang terinterupsi oleh krisis dan kali ini dengan intensitas
tinggi. Episode keempat (2012-2014) adalah masa penurunan harga komoditi sebagai akibat
dari perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dengan segala permasalahannya.
Episode kedua adalah masa yang penuh dinamika. Krisis keuangan global menimbulkan
guncangan yang lebih hebat di lebih banyak negara disbanding krisis keuangan Asia satu
dasawarsa sebelumnya. Indonesai tidak terkecuali. Tetapi kali ini respons Indonesia jauh lebih
baik daripada masa krisis sebelumnya. Sektor keuangan, khususnya perbankan, yang selalu
merupakan mata rantai terlemah dalam setiap krisis, tidak dibiarkan berkembang menjadi
pemicu krisis yang lebih luas. Indonesia belum belajar sepenuhnya dari pengalaman
sebelumnya, dengan tidak menerapkan penjaminana penuh, sementara negara-negara
utama di Kawasan ini menerapkannya. Mereka sadar akan besarnya risiko sistemik di masa
krisis. Tanpa paying penjaminan penuh, satu-satunya opsi yang terbuka untuk menghindari
risiko sistemik adalah dengan tidak memperbolehkan adanya bank jatuh di saat demem krisis
pada puncaknya. Bank Century tidak dibiarkan jatuh dan diambil alih LPS pada saat krisis
berada pada tahap yang paling rawan. Perkembangan selanjutnya, Indonesia kali ini dapat
melewati krisis dengan biaya keuangan dan biaya sosial yang jauh lebih kecil daripada dalam
krisis sebelumnya. Dan ternyata Indonesia juga dapat bangkit kembali lebih cepat daripada
negara-negara lain.
Episode ketiga mencatat peningkatan pertumbuhan ekonomi pada kisaran sedikit di atas 6%
berkat kenaikan harga komoditi ekspor kita. Karena beberapa kendala (fisik, kebijakan dan
kelembagaan), Indonesia masih belum dapat mencapai pertumbuhan potensialnya, seperti
yang dicapai selama tiga decade sebelum krisis 1997-1998. Sementara itu, stabilitas ekonomi
terjaga.
MASA REFORMASI
Orde reformasi dimulai saat kepemimpinan Presiden BJ. Habibie, namun belum terjadi
peningkatan ekonomi yang cukup signifikan dikarenakan masih adanya persoalan-persoalan
fundamental yang ditinggalkan oleh rezim Orde Baru. Kebijakan yang menjadi perhatian
adalah cara mengendalikan stabilitas politik. Sampai pada masa kepimpinan Presiden
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga
sekarang masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo pun masalah-masalah yang diwariskan
dari masa Orde Baru masih belum dapat diselesaikan secara sepenuhnya. Hal ini terlihat
dengan masih adanya KKN, inflasi, pemulihan ekonomi, kinerja BUMN dan melemahnya nilai
tukar rupiah yang menjadi polemik bagi erekonomian Indonesia.
Ketika B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden RI, keadaan di Indonesia sedang terjadi
kericuhan. Banyak massa sedang berdemo dan berhasil menduduki Gedung MPR. Sebelum
itu terjadi Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang menelan korban jiwa 6 orang mahasiswa.
Tuntutan mahasiswa tentang reformasi dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia pada 1998. Harga kebuthan pokok mengalami kenaikan yang sangat tajam. Pada
saat itu, pemerintah Soeharto merencanakan kenaikan BBM. Dalam menghadapi tuntutan
reformasi dan golongan intelektual lainnya, Presiden Soeharto memberikan janji melalui
Menteri Dalam Negeri R. Hartono bahwa akan terjadi reformasi namun bukan pada tahun
1998 melainkan tahun 2003 pada akhir masa kerja cabinet Pembangunan VII yang baru
dibentuk (1998-2003).
Dibidang ekonomi, B.J. Habibie berhasil memangkas nilai tukar rupiah terhadap dollar pada
kisaran Rp 10.000 – 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama seteah
pertangungjawabannya ditolak MPR nilai tukar rupiah meroket naik pada level TRp 6.500 per
dollar AS, nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di ere pemerintahan selanjutnya. Selain
itu, ia juga mulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih focus dalam mengurus
perekonomian. Langka-langkah yang dilakukan B.J. Habibie dalam menyelesaikan krisis
moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan menlalui pembentukan BPPN (
Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara.
2. Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
3. Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS hingga dibawah Rp 10.000
4. Membentuk Lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
5. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
6. Mengeshkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang LArangan Praktek MOnopoli dan
Persaingan yang Tidak Sehat
7. Mengesahkan UU nO. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pemerintahan B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-
manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk
mengendalikan stabilitas politik.
Masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan
hukum. Kebijakan yang dilakukan untuk mengatasi persoalan ekonomi antara lain:
1. Meminta penundaan utang sebesar US$ 5,8 Milyar pada pertemuan Paris Clun ke-3
dan mengalokasikan pembayran utang luar negeri sebesar Rp 116,3 Triliun.
2. Kebijakan privatisasi BUMN.
Privatisasi yaitu menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan
melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Penjualan tersebut berhasil menaikkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 4,1%. Namun kebijakn ini menimbulkan kontroversi yaitu
BUMN yang diprivatisasikan dijual kepada perusahaan asing.
Jokowi-JK juga dihadapkan pada konflik suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) hingga
isu terorisme dan bangkitnya komunisme. Konflik dan isu tersebut mewarnai dinamika sosial
politik selama satu tahun pemerintahan Jokowi-JK.
Terdapat beberapa kebijakan Jokowi dalam segi ekonomi Tahap I yang berfokus pada tiga
hal besar, yaitu meningkatkan daya saing industry, mempercepat proyek-proyek strategis
nasional dan mendorong investasi di sector property. Menurut Jokowi, pemerintah dan Bank
Indonesia (BI) sebelumnya telah melakukan stabilisasi fiskal dan moneter, termasuk di
dalamny a adalah pengendalian inflasi. Sinergi kebijakan ini dilakukan guna menggerakkan
mesin pertumbuhan ekonomi, antara lain dengan mendorong percepatan belanja pemerintah
dan juga Langkah-langkah penguatan neraca.
Sumber Referensi: