Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Setelah berakhirnya Pemerintahan Belanda dan mengakui secara resmi kemerdekaan


Indonesia, selama dekade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965 Indonesia dilanda gejolak
politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah seperti di Sumatera
dan Sulawesi. Akibatnya selama Pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia
sangat buruk, selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak 1958, dari tahun ke
tahun defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) terus membesar selain itu selama orde lama, kegiatan produksi di sektor
pertanian dan industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena
keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung. Baik nonfisik maupun fisik
seperti pendanaan dari bank.

Dalam era demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno menjalankan Sistem Ekonomi


Terpimpin. Dalam sistem ekonomi ini, Presiden secara langsung terlibat dan mengatur
perekonomian. Seluruh kegiatan perekonomian terpusat pada Pemerintah Pusat. Akibatnya,
kegiatan perekonomian di daerah menjadi terganggu dan menurun. Dalam era ekonomi
terpimpin, Indonesia berulang kali mengganti desain ekonominya seiring dengan bergantinya
kabinet yang sedang berkuasa.

Seperti negara - negara berkembang lain yang baru telepas dari kekuasaan kolonial,
kebijaksanaan - kebijaksanaan ekonomi di Indonesia pada awal tahun 1950-an sebagian besar
dibentuk dengan saling mempengaruhi masalah-masalah sosial dan ekonomi yang objektif
yang menghadapkan negara dan gagasan-gagasan ekonomi dasar dari para perumus
kebijaksanaan ekonomi yang utama. Dihadapkan pada tugas berat mendamaikan kembali
kebutuhan mendesak untuk merehabilitas ekonomi yang mengalami kehancuran secara luas
selama penduduk Jepang dan revolusi, dengan permintaan umum yang kuat untuk mengubah
ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional. Ketika Indonesia menganut ekonomi terpimpin
pemerintah menumpuh kebijaksanaan yang berorientasi ke dalam’ ( Inward-loking police).
Kebijaksanaan ini dicirikan oleh kebijaksanaan “ Berdikari “ ( berdiri di atas kaki sendiri ),
dan kebijaksanaan yang sangat membatasi, dan kemudian menolak sama sekali penanaman
modal asing.
2

Selama kurun waktu ini perdagangan luar negeri banyak di kendalikan oleh
pemerintah Indonesia, baik karena pertimbangan jangka pendek tentang neraca pembayaran
(dengan membatasi impor untuk menekan devisit transaksi berjalan ) maupun karena
pertimbangan non-ekonomi, yaitu pertimbangan nasionalisme ekonomi yang dengan tegas
melanjutkan ’pola ekonomi kolonial sebelum perang ‘ (preware kolonial pattern) yang sangat
mengandalkan diri pada sektor ekspor komoditi - komoditi primer. Oleh karena ini terdapat
aspirasi yang besar di antara para pemimpin nasional Indonesia untuk mendorong
industrialisasi sebagai jalan - jalan terbaik untuk memperluas landasan ekonomi Indonesia
yang pada waktu itu tergantung pada sektor pertanian.

Walaupun pemerintah tidak bersabahat dengan Negara Kapitalis Barat namun


kebijakan pemerintah yang membawa slogan Berdikari justru tetap mengandalkan bantuan
luar negeri, termasuk bantuan Negara Barat. Kebijakan pemerintah tidak bisa dikatakan
sebagai kebijaksanaan berorientasi ke dalam yang murni (pure inward-loking policies).
Bantuan luar negeri yang diperoleh digunakan untuk membiayai proyek - proyek subtitusi
impor yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia. Indonesia menjadi anti negara-negara
barat namun berpaling ke negara - negara Sosialis lainnya di Eropa Timur dan RCC untuk
memperoleh bantuan luar negeri, untuk membeli peralatan perang.

Para perumus kebijaksanaan Indonesia mengambil beberapa langkah untuk


sekurangnya menampung permintaan – permintaan mendesak nasionalisme ekonomi. Sesuai
dengan hasil perjanjian Indonesia – Belanda yang telah disepakati pada Konferensi Meja
Bundar di Deen Hag 1949, kepentingan - kepentingan Ekonomi Belanda terus mendapat
jaminan dari Indonesia, menyusul pengakuan kemerdekaan Indonesia. Dihadapkan pada
situasi seperti ini, Indonesia membuat rumusan kebijaksanaan agar dapat mengambil langkah
- langkah penting untuk mengambil bagian - bagian penting ekonomi di bawah pemilikan dan
kontrol nasional. Tugas yang dihadapi pemerintah baru pada tahun 1950-an adalah untuk
menstabilkan dan mengembangkan perekonomian yang didominasi oleh asing dan memiliki
sebagian besar oleh pihak swasta. Pada tahun 1952 diperkirakan bahwa 50% dari semua
produk konsumsi impor masih dikuasai 4 perusahaan besar Belanda, dan 60 persen ekspor
oleh delapan perusahaan ( Van Zaden ). Selain itu, bank - bank swasta sebagian besar berada
di tangan tujuh bank asing, tiga diantaranya adalah milik Belanda.

Kabinet yang di pimpin Natsir dari Partai Masyumi didedikasikan untuk mengubah
situasi ini. Kabinet ini meraih dapuk kekuasaan ketika sesuatu yang disebut Boom Korea
3

(Korea Boom) tengah kuat-kuatnya berhembus. Perang Korea mengakibatkan munculnya


permintaan ekspor yang meningkat yang menjadikan sumber pendapatan yang baru untuk
pemerintah indonesia. surplus yang diperoleh adalah sepenuhnya merupakan hasil dari
pendapatan ekspor yang tinggi, secara langsung melalui bea cukai ekspor dan secara tidak
langsung melalui efek pendapatan yang meningkat dari pajak penghasilan dan bea impor.

Jadi, surplus yang ada merupakan hasil dari sebuah kejutan luar negeri bukan berasal
dari kebijakan fiskal yang telah di formulasikan. Dalam situasi tersebut kabinet sudah
bereaksi dengan meliberalkan impor sebagai cara untuk menjaga harga-harga domestik tetap
rendah, meningkatkan standar kosumsi, dan mendorong perkembangan perusahaan-
perusahaan bumi putera. Pada surplus kali itu Indonesia mampu mendapatkan surplus
mencapai 1.7 triliun. Surplus ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1952 indonesia kembali
mengalami defisit anggaran mencapai 3 triliun.

Untuk mengembangkan kewirausahaan pribumi Indonesia dan meletakkan kegiatan


ekonomi penting dibawah kontrol nasional pada tahun 1950 pemerintah memperkenalkan
Program benteng yang ditujukan untuk memberikan lisensi impor untuk komoditas
komoditas tertentu hanya kepada warga negara Indonesia. Program ini menimbulkan korupsi
skala besar dan mengacaukan praktik politik secara serius kaena setiap partai mencoba untuk
memperoleh hasilnya dan hanya sedikit efektik mendorong pertumbuhan kewirausahaan.
Banyak pengusaha indonesia yang menjual lisensinya kepada importir China dan Belada, dan
pengusaha Indonesia hanya berpura-pura tampil di muka berbisnis. Kelompok perusahaan
tersebut biasa di sebut dengan perusahaan ”Ali Baba “.

Volume ekspor komoditi - komoditi premier Indonesia mengalami pertumbuhan yang


lumayan pada awal tahun 1950-an, bahkan melebihi tingkat volume yang telah dicapai pada
akhir tahun 1930-an, Indonesia hampir tidak berpartisipasi daam ekspansi perdagangan dunia
yang telah terjadi selama tahun 1950-an dan 1960-an. Bahkan selama kurun waktu 1953-
1966 volume ekspor Indonesia hanya bertumbuh dengan rata-rata satu persen dalam satu
tahun. Merosotnya peranan perdagangan luar negeri selama awal tahun 1950-an terutama
disebabkan oleh karena peralatan produksi industri - industri ekspor Indonesia telah
mengalami banyak kerusakan. Ini merupakan akibat dari usaha presiden Soekarno yang tidak
ingin di bantu oleh Negara Barat.

Negara baru seperti Indonesia menghadapi persoalan besar dalam pemeliharaan


infrastruktur, dibutuhkan lebih banyak investasi baru, sementara berambisi besar dalam hal
4

pendidikan, pemeliharaan kesehatan, dan program reformasi kesejahteraan lainnya. Satu -


satunya item dalam anggaran yang memungkinkan untuk di pangkas adalah pengeluaran
Militer. Seperti negara baru merdeka lainnya setelah melalui perjuangan kemerdekaan,
pengeluaran di bidang militer meningkat luar biasa, namun suasana yang menjadi tenang
kembali pastinya kemungkinan untuk mengurangi pembiyayaan operasi militer. Hal ini
dilakukan pada saat tahun 1951 - 1955, kemudian setelah itu terdapat peningkatan kembali.
Kebijakan-kebijakan untuk menaikkan kembali anggaran militer tersebut tidak membuat
palemen dan partai politik yang berkuasa menjadi sangat populer di kalangan militer, dan
ketegangan antara mereka dan kelompok mapan politis seringkali dipicu oleh Soekarno.

Dalam pelaksanaan Ekonomi Terpimpin ini perubahan hanya terjadi di kota - kota
besar sehingga mengakibatkan banyaknya urbanisasi yang terjadi. Kota - kota menjadi sangat
padat sedangkan daerah - daerah pingggiran menjadi sepi. Sistem yang dibuat pemerintah
untuk mengatur perdangan luar negeri dibuat pada awal 1950-an dan tarif impor yang tinggi.
Dengan adanya kebijakan - kebijakan baru, membuat aktifitas ekspor - ekspor utama berasal
dari wilayah pinggiran sepeti Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau luar lainnya yang
memiliki pendapatan seperti minyak, karet, kopra, timah, tembakau, yang semuanya menjadi
di terpasung. Hal yang diakibatkan oleh situasi ini adalah maraknya perdagangan ke pasar
gelap. Apalagi jarak dengan Singapura yang sangat dekat membuat para pedagang lebih
mudah menyelundupkan produk – produk mereka keluar Indonesia dan kembali dengan
barang konsumsi impor ilegal. Dengan mejual produk-produk mereka ke luar negeri para
pedagang mendapatkan harga barang 20 kali lipat daripada di jual di Jakarta.

Walaupun dari sudut pandang politik Soekarno berhasil menjaga indonesia tetap
bersatu, “ Demokrasi Terpimpin “ dan prinsip - prinsip yang menyertai Ekonomi Terpimpin
membawa Indonesia pada salah satu krisis ekonomi paling dramatis dalam sejarah.

1.2. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana perekonomian Indonesia pada masa Penjajahan?


2. Bagaimana perekonomian Indonesia pada masa Orde Lama?
3. Bagaimana perekonomian Indonesia pada masa Orde Baru?
4. Bagaimana perekonomian Indonesia pada masa Era Reformasi?
5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Bagaimana perekonomian Indonesia pada masa Penjajahan

Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa
periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,
Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena
diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah
menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah
perekonomian Indonesia pada masa penjajah :

2.1.1 MASA PENDUDUKAN BELANDA

Pada masa penjajahan,Indonesia menerapkan system perekonomian monopolis. Dimana


setiap kegiatan perekonomian dijalankan sesuai dengan penguasa perdagangan Indonesia saat
6

itu. VOC adalah lembaga yang menguasai perdagangan Indonesia pada saat itu, disini VOC
menerapkan peraturan dan strategi agar mereka tetap menguasai perekonomian Indonesia.
Peraturan-peraturan yang diterapkan VOC seperti kewajiban menyerahkan hasil bumi pada
VOC dan pajak hasil bumi yang dirancang untuk mendukung monopoli tersebut. Untuk
mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi,antara lain meliputi:

· Hak mencetak uang

· Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai

· Hak menyatakan perang dan damai

· Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri

· Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja

Disamping itu VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah agar tetapa tinggi.antara lain
dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah. Semua aturan itu pada
umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi VOC dari pola
pelayaran niaga samudera Hindia. Dengan monopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan
menambah isi kas negeri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan
kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan kewajiban menanam tanaman kopi bagi
penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi
ekspor cengkeh yang hanya 1.050 metrik ton. Dan pada tahun 1795, VOC bubar karena
dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada
defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh :

· Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya


besar, terutama perang Diponegoro.

· Penggunaan tentara sewaan memebutuhkan biaya besar

· Korupsi yang dilakukan pegawai VOC sendiri

· Pembagian deviden kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit.

2.1.2 MASA PENDUDUKAN INGGRIS (1811-1816)

Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh
Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan
7

Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu,
dengan menggunakan pajak tanah, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk
membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern
yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga
menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Akan tetapi, perubahan yang cukup
mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir
kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara
lain :

· Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal
uang

· Pegawai pengukur tanah dari inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.

· Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena inggris
tak mampu mengakui suksesi jabatan secara turun temurun.

2.1.3 MASA CULTUURSTELSEL (SISTEM TANAM PAKSA)

Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif
Van Den Bosch. Yang bertujuan untuk memproduksi berbagai komoditi yang permintaannya
ada di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain
kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet dan kelapa sawit.
Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, akan tetapi sangant menguntungkan bagi
Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan
kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung
tergantikan berkali lipat. Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent (pajak tanah) dalam
rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan
menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah
untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Bagi
masyarakat pribumi, sudah tentu cultuur stelstel sangat memeras keringat dan darah mereka,
apalagi aturan kerja rodipun masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka
mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan
tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu
meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat
sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan
8

ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari
meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi non agraris.

Dengan menerapkan cultuur stelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari
mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun
disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya
untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar.

2.1.4 MASA PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)

Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi
mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi
perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat
merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan
untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur
menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang
sebelumnya didapat dengan jalan impor. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai
kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.

2.2. Perekonomian Pada Masa Orde Lama

Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, sudah banyak tokok-tokoh negara yang
saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang tepat bagi bangsa Indonesia, baik
secara individu maupun diskusi kelompok. Tetapi pada pemerintah orde lama masih belum
mampu memperbaiki keadaan ekonomi negara Republik Indonesia yang memburuk.

Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan oleh :

a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche
Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup
pintu perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
9

d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara


lain:

a. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh Menteri Keuangan Ir. Surachman


dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak
dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera
dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
c. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan
yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu :
masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan
administrasi perkebunan-perkebunan.
d. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
e. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948
f. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa
petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan
perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian
merupakan sumber kekayaan).

Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)

Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum
bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem
ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :

a. Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) pada tanggal 20 Maret
1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b. Program Benteng (Kabinet Natsir)
c. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat
UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo
10

e. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda.

Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)

Sebagai akibat dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem
Demokrasi Terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme
(segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada
kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi. Akan tetapi,
kebijakan - kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia

2.3.Perekonomian Indonesia Pada Masa Orde Baru

Inflasi pada tahun 1966 mencapai 650%,dan defisit APBN lebih besar daripada
seluruh jumlah penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar negeri mengalami defisit
yang besar, nilai tukar rupiah tidak stabil” (Gilarso, 1986:221) merupakan gambaran singkat
betapa hancurnya perekonomian kala itu yang harus dibangun lagi oleh masa orde baru atau
juga bisa dikatakan sebagi titik balik.

Awal masa orde baru menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun
1966 - 1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha
keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi,
stabilitas politik tercapai ayng berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin
dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk
rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).
Repelita dilaksanakan mulai tanggal 1 April 1969. Pembangunan ekonomi pada masa orde
baru diarahkan pada sektor pertanian. Hal itu dikarenakan kurang lebih 55% dari produksi
nasional berasal dari sektor pertanian dan juga 75% pendudukan Indonesia memperoleh
penghidupan dari sektor pertanian. Bidang sasaran pembangunan dalam Repelita, antara lain
bidang pangan, sandang, perbaikan prasarana, rumah rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani. Jangka waktu pembangunan orde baru dapat dibedakan atas dua
macam, yaitu program pembangunan jangka pendek dan program pembangunan jangka
panjang. Program pembangunan jangka pendek sering disebut pelita (pembangunan lima
tahun), adapun program pembangunan jangka panjang terdiri atas pembangunan jangka
pendek yang saling berkesinabungan. Masa pembangunan jangka oanjang direncanakan
11

selama 25 tahun. Modernitas memerlukan sarana, salah satunya dengan pengadaan sarana
fisik. Pembangunan yang dilaksanakan di realisasikan dalam system pembangunan nasional
yang dilaksanakan dengan bentuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA).

2.3.1 PELITA I
Pada 1 April 1969 dimulailah pelaksanaan Pelita 1 yaitu pada periode 1969 - 1974.
Pada pelita 1 ini, orde baru menyelesaikan fase stabilitas dan rehabilitasi sehingga dapat
menciptakan keadaan yang stabil. Selama beberapa tahun, sebelum orde baru keadaan
ekonomi mengalami kemerosotan. Pada 1955 - 1960 laju inflasi rata - rata 25% per tahun,
dalam periode 1960 - 1965 harga - harga meningkat dengan laju rata - rata 226% per tahun,
dan pada 1966 laju inflasi mencapai puncaknya, yaitu 650% setahun.
Kemerosotan ekonomi tersebut terjadi di segala bidang akibat kepentingan ekonomi
dikorbankan demi kepentingan politik. Pada masa orde baru, kemerosotan ekonomi dapat
dikendalikan. Pada 1976, laju inflasi dapat ditekan menjadi 120%, atau seperlima dari tahun
sebelumnya. Pada 1968, inflasi dapat ditekan lagi menjadi 85%. Berdasarkan hasil-hasil yang
telah dicapai, kemudian dimulailah pelaksanaan pelita 1 pada tahun 1969.
Adapun titik berat pelita 1 adalah pada sektor pertanian dan industri yang mendukung
sektor pertanian. Adapun sasaran pelita 1, yaitu meningkatkan pangan, sandang, perbaikan
prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Pelaksanaan pelita 1 termasuk pembiayaannya selalu disetujui DPR dengan membuat undang
- undang sesuai ketentuan UUD 1945.

2.3.2 PELITA II
Pelita 1 berakhir pada 31 Maret 1974, yang telah meletakan dasar-dasar yang kuat
bagi pelaksanaan pelita I. MPR hasil pemilu 1971 secara aklamasi memilih dan mengangkat
kembali Jendral Soeharto sebagai Presiden RI. Selain itu, MPR hasil pemilu 1971 berhasil
pula menyusun GBHN melalui Tap MPR RI No IV/MPRS/1973.
Di dalam GBHN 1973 terdapat rumusan pelita II, yaitu :
1. Tersedianya bahan pangan dan sandang yang cukup dan terjangkau oleh daya beli
masyarakat;
2. Tersedianya bahan-bahan bangunan perumahan terutama bagi kepentingan
masyarakat;
3. Perbaikan dan peningkatan prasarana;
4. Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata;
12

5. Memperluas kesempatan kerja.

Untuk melaksanakan pelita II, Presiden Soeharto kemudian membentuk Kabinet


Pembangunan II. Program kerja Kabinet Pembangunan II, disebut Sapta Krida Kabinet
Pembangunan II, yang meliputi:
1. Meningkatkan stabilitas politik;
2. Meningkatkan stabilitas keamanan;
3. Melanjutkan pelita 1 dan melaksanakan pelita II;
4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
5. Melaksanakan pemilihan umum.

2.3.3 PELITA III


Pada 31 Maret 1979, Pelita III mulai dilaksanakan. Titik berat pembangunan pada
pelita III adalah pembangunan sector pertanian menuju swasembada pangan yang mengolah
bahan baku menjadi bahan jadi. Sasaran pokok pelita III diarahkan pada Trilogi
Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan.
A. Trilogi pembangunan mencakup:
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terwujudnya keadilan social
bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

B. Delapan jalur pemerataan mencakup:


1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan perumahan
bagi rakyat banyak;
2. Pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan;
3. Pemerataan pembagian pendapatan;
4. Pemerataan memperoleh kesempatan kerja;
5. Pemerataan mempreoleh kesempatan berusaha;
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khusunya bagi
generasi muda dan kaum wanita;
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Indonesia;
8. Pemerataan memperoleh keadilan.
13

Terpilih menjadi presiden RI untuk kedua kalinya MPR hasil pemilu membentuk
cabinet pembangunan III. Kabinet ini dilantik secara resmi pada 31 Maret 1978. Program
Kerja Kabinet Pembangunan III, disebut Sapta Krida Pembangunan III, yang meliputi:
1. Menciptakan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dnegan memeratakan
hasil pembangunan;
2. Melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3. Memelihara stabilitas keamanan yang mantap;
4. Menciptakan aparatur Negara yang bersih dan berwibawa;
5. Membina persatuan dan kesatuan bangsa yang kukuh dan dilandasi oleh
penghayatan dan pengamalan pancasila;
6. Melaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia;
7. Mengembangkan politik luar negri yang bebas aktif untuk diabdikan kepada
kepentingan nasional.

2.3.4 PELITA IV
Pelita III berakhir pada 31 Maret 1989 yang dilanjutkan dengan pelaksanaan Pelita IV
yang dimulai 1 April 1989. Untuk ketiga kalinya Jenderal Soeharto terpilih dan diangkat
kembali oleh MPR hasil pemilu. Untuk melaksanakan Pelita IV, Presiden Soeharto
membentuk Kabinet Pembangunan IV. Titik berat Pelita IV adalah pembangunan sektor
pertanian untuk melanjutkan usaha - usaha menuju swasembada pangan dan meningkatkan
industri yang dapat menghasilkan mesin - mesin sendiri, baik untuk mesin - mesin industri
ringan maupun industri berat. Sasaran pokok Pelita IV yaitu sebagai berikut:
a. Bidang politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4 (Pedoman, Penghayatan, dan
Pengamalan Pancasila).
b. Bidang pendidikan, menekankan pada pemerataan kesempatan belajar dan
meningkatkan mutu pendidikan.
c. Bidang keluarga berencana (KB), menekankan pada pengendalian laju pertumbuhan
penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.

2.3.5 PELITA V
Pelita IV berakhir pada 31 Maret 1994 yang dilanjutkan oleh pelaksanaan Pelita V
yang dimulai 1 April 1994. Pelita V ini merupakan pelita terakhir dari keseluruhan Program
Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PPJP 1). Pelita V merupakan masa tinggal landas
untuk memasuki Program Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PPJP II), yang akan dimulai
14

pada pelita VI pada April 1999. Titik berat Pelita V adalah meningkatkan sektor pertanian
untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan prduksi hasil pertanian lainnya
serta sektor industri, khususnya industri yang menghasilkan barang untuk ekspor, industri
yang banyak tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat
menghasilkan mesin - mesin industri menuju terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang
antara industri dengan pertanian, baik dari segi nilai tambah maupun dari segi penyeraan
tenaga kerja.

2.3.6 PELITA VI
Pelita V berakhir pada 31 Maret 1999yang dilanjutkan oleh pelaksanaan Pelita VI
yang dimulai pada 1 April 1999. Pada akhir Pelita V diharapkan akan mampu menciptakan
landasan yang kukuh untuk mengawali pelaksanaan Pelita VI dan memasuki proses tinggal
landas menuju pelaksanaan Program Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PPJP II) . Titik
berat Pelita VI diarahkan pada pembangunan sektor - sektor ekonomi dengan keterkaitan
antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Sasaran pembangunan industri dalam Rencana Pembangunan Lima
Tahun VI sebagai bagian dari sasaran bidang ekonomi sesuai amanat GBHN 1993 adalah
tertata dan mantapnya industri nasional yang mengarah pada penguatan, pendalaman,
peningkatan, perluasan, dan penyebaran industri ke seluruh wilayah Indonesia, dan makin
kukuhnya struktur industri dengan peningkatan keterkaitan antara industri hulu, industri
antara, dan industri hilir serta antara industri besar, industri menengah, industri kecil, dan
industri rakyat. Serta keterkaitan antara sektor industri dengan skctor ekonomi lainnya. Pelita
VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia kearah yang lebih baik lagi, malah
menjadi gagal landas, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun
1997. Namun, pelaksanaan PPJP II tidak berjalan lancar akibat krisis ekonomi dan moneter
melanda Indonesia. Inflasi yang tinggi akibat krisis ekonomi menyebabkan terjadinya gejolak
social yang mengarah pada pertentangan terhadap pemerintah orde baru. Kenaikan tariff
BBM pada 1997 merupakan awal gerakan pengkoreksian rakyat dan mahasiswa terhadap
pemerintahan orde baru. Sejak saat itu terjadilah gelombang demonstrasi, kerusuhan,
penjarahan, dan pembakaran di ibu kota Jakarta yag kemudian menyebar ke seluruh wilayah
di tanah air .

2.4. Perekonomian Pada Masa Era Reformasi


15

Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru
kemudian disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie.
Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga
kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa
mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.

2.4.1. Masa Kepemimpinan B.J. Habibie

Pada awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan
investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan
kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan
menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), supremasi hukum, Hak Asasi Manusia (HAM),
Tragedi Trisakti, peranan ABRI di dalam politik, dan lainnya.

Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana


Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie
juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi. Di bidang
ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp
10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah
pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per
dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya.

Selain itu, ia juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus
mengurusi perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi
Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN


(Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
2. Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
3. Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
4. Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
5. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
6. Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan yang Tidak Sehat
7. Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
16

Pemerintahan presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum


melakukan manuver - manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan -
kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.

2.4.2. Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB
mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan
perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%.
Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang
mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.

Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat


tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-
ucapan kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung
bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin
berkurang yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa
walaupun namanya pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru.
Sikap presiden tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) yang klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat
Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan
diturunkan dari jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan
pada bulan Agustus 2001.

Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri
yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi
dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis
di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan
semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga
pertikaian elite politik semakin besar.

Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid


dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999
mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan
daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda
17

pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan


bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini
sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut
oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan
kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus
membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan
jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan
menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.

Ketidakstabilan politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan
Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan
memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-
pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau
menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa
pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan,
lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan bertambah
buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami
perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya
(seperti Standard & Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke
negatif.

Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi
Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa
kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political
will) untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all.
Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap
persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia,
desentralisasi fiskal, restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya
berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea
masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan
pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of
crisis terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.

Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator


ekonomi. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8
18

Maret 2001 menunjukkan growth trend yang negatif. Dalam perkataan lain, selama periode
tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya
kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap
prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek.

2.4.3. Masa Kepemimpinan Ibu Megawati (23 Juli 2001-20 Oktober 2004)

Masa kepemimpinan Megawati mengalami masalah - masalah yang mendesak yang


harus diselesaikan yaitu pemulihan ekonomi dan penegakan hokum. Kebijakan - kebijakan
yang ditempuh untuk mengatasai persoalan - persoalan ekonomi antara lain :

a. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris
Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun
b. Kebijakan privatisasi BUMN.
Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan
melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi,
karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Megawati bermaksud
mengambil jalan tengah dengan menjual beberapa asset Negara untuk membayar
hutang luar negeri. Akan tetapi, hutang Negara tetap saja menggelembung karena
pemasukan Negara dari berbagai asset telah hilang dan pendapatan Negara menjadi
sangat berkurang.

2.4.4. Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

2.4.4.1. Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I Era SBY - JK 2004 - 2009

Kabinet Indonesia Bersatu adalah kabinet pemerintahan Indonesia diatas


kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf
Kalla.

Kabinet ini dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa baktinya berakhir pada tahun
2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk
pertama kalinya, dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya,
Presiden melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007. Susunan Kabinet Indonesia
19

Bersatu pada awal pembentukan (21 Oktober 2004), perombakan pertama (7 Desember
2005), dan perombakan kedua (9 Mei 2007)

Pada periode ini, pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang


dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya Bantuan Langsung
Tunai (BLT), PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program - program ini
berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.

2.4.4.2. Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II era SBY – BOEDIONO 2009 -


2014

Kabinet Indonesia Bersatu II adalah kabinet pemerintahan Indonesia diatas


kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Susunan
kabinet ini berasal dari usulan partai politik pengusul pasangan SBY - Boediono pada Pilpres
2009 yang mendapatkan kursi di DPR (Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB)
ditambah Partai Golkar yang bergabung setelahnya, tim sukses pasangan SBY - Boediono
pada Pilpres 2009, serta kalangan profesional. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II
diumumkan oleh Presiden SBY pada 21 Oktober 2009 dan dilantik sehari setelahnya. Pada 19
Mei 2010, Presiden SBY mengumumkan pergantian Menteri Keuangan.

Pada periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat
kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :

1. BI rate
2. Nilai tukar
3. Operasi moneter
4. Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu
lintas modal.

Dengan kebijakan - kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat


meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya
kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Kinerja Pemerintahan SBY – Tak terasa sudah 1 tahun pemerintahan SBY jilid II
berjalan, Namun masih saja dianggap gagal serta mendapat rapor merah dari beberapa
kalangan. Perolehan suara 60 % dalam Pilpres 2009 dan mendapat dukungan mayoritas di
parlemen ternyata belum bisa dioptimalkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan
20

Boediono untuk melakukan langkah - langkah yang konkrit dalam meningkatkan


pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

2.4.5 Masa Kepemimpinan Jokowi

Tantangan yang dihadapi Presiden terpilih Joko Widodo alias Jokowi di bidang
ekonomi tidak mudah. Jika pemerintahan Jokowi mau memenuhi janjinya kepada rakyat
Indonesia yang telah menaruh kepercayaan besar pada dirinya, maka dia harus membuat
terobosan penting. Sejumlah agenda reformasi di bidang ekonomi sudah menuggu. Yang
ditunggu oleh publik bukan sekedar apa daftar niat baik yang mau dilakukan pemerintah
Jokowi, tetapi bagaimana dia akan melakukannya. Dengan kata lain, bukan soal “what” tetapi
“how”. Demikian salah satu rangkuman diskusi tentang Ekonomi Indonesia di Era yang
diselenggarakan oleh Freedom Institute bersama Friedrich Naumann Stiftung fur die Freiheit
pada Senin, 1 September 2014. Dua ekonom muda tampil sebagai pembicara dalam diskusi
ini. Yang pertama, Dr. Ari A Perdana dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K) dan Dr. I Kadek Dian Sutisna Artha dari LPEM UI.Diskusi
dimoderatori oleh Ulil Abshar Abdalla. Perdana menyebut sejumlah tantangan krusial yang
dihadapi pemerintahan Jokowi, misalnya mengurangi subsidi BBM agar tersedia ruang fiskal
yang cukup bagi pemerintahan mendatang untuk membiayai sejumlah rencana besar yang
diniatkan Jokowi. Tapi Perdana mengatakan bahwa tak cukup hanya mengurangi BBM,
tetapi pemerintahan Jokowi harus melakukan reformasi yang komprehensif di bidang energi
dan mengenai agenda yang kurang terpikirkan dengan serius di
era pemerintahan SBY.

Perdana juga menyebut tentang pentingnya perhatian pemerintah mendatang di


bidang pembangunan infrastruktur. Saat ini, belanja negara di sektor infrastruktur sekitar 2%
dari GDP (bandingkan dengan Indonesia di tahun 1995 yang membelanjakan 9,5% di sektor
infrastrukur; China dan India sekitar 10%). Kondisi ekonomi Indonesia di era SBY 2004-
2014 tidak jelek dibandingkan dengan keadaan ekonomi di kawasan Asia atau dunia pada
umumnya. Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama sepuluh tahun
berturut-turut. Tetapi, kata Perdana, banyak tantangan yang dihadapi ke depan, apalagi
dengan situasi ekonomi dunia yang mengalami pelambatan. Sementara Dr. I Kadek Dian
Sutisna Artha mengemukakan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 2018.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia
berkisar antara 5,3% pada 2014 hingga 7,4% pada 2018. Sementara itu, lifting minyak
cenderung mengalami penurunan hingga 2018 pada angka700-800 ribu barrel/hari, turun dari
804 ribu barrel/hari saat ini. Tentu saja, ini makin menciptakan beban fiskal yang besar jika
tidak ada upaya untuk mengurangi subsidi minyak dan reformasi sektor energi secara
komprehensif. Apalagi jika dilihat bahwa konsumsi minyak terus meningkat dari tahun ke
tahun.

Menurut Dr. Artha, memang ruang fiskal yang dimiliki Jokowi tidak cukup besar,
sementara harapan publik terhadap Jokowi cukup besar. Tantangan bagi Jokowi adalah
bagaimana melakukan terobosan yang cukup berani, walau tidak populer, di bulan-bulan
awal pemerintahannya saat kepercayaan publik masih cukup besar. Ternyata cukup banyak
masyarakat yang tertarik dengan tema ini. Buktinya peserta yang hadir dalam diskusi ini
cukup membludak memenuhi Ballroom. Beberapa peserta terpaksa berdiri atau duduk di
21

lantai karena tidak kebagian kursi, panitia menyediakan 115 kursi. Peserta yang menanggapi
pembicara pun antusias. Diskusi berlangsung dari jam 19 dan diakhiri jam 21.30
22

BAB III

PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

Perekonomian Indonesia sejak pemerintahan masa orde lama hingga masa reformasi
masih mengalami beberapa gejolak. Perekonomian Indonesia masih jatuh bangun. Hal itu
dapat dilihat dari kemiskinan yang masih mengalami peningkata dari tahun ke tahun,
pengangguran berada pada tingkat tinggi dikarenakan jumlah lapangan pekerjaan yang
tersedia tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang ada, maraknya para koruptor
karena hukuman yang berlaku di negeri ini kurang tegas, masih terlihatnya kesenjangan
ekonomi antara penduduk yang miskin dan yang kaya, nilai tukar rupiah sudah menembus
angka sekitar Rp 14.000,- , dan masih memiliki hutang ke luar negeri.
23

DAFTAR PUSTAKA

http://hafizasmenta.blogspot.com/2012/03/perekonomian-indonesia-pada-masa-orde.html

http://devinuroctavia.wordpress.com/2013/03/27/sejarah-ekonomi-indonesia-sejak-orde-
lama-hingga-era-transisi/

http://sejumoffc2011.wordpress.com/2013/12/02/kelompok-9ekonomi-terpimpin/

http://ressa-ressapratama.blogspot.com/2012/04/sejarah-perekonomian-indonesia-orde.html

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/04/perekonomian-indonesia-di-era-reformasi/

http://selvianadianasari.blogspot.com/2014/04/perkembangan-perekonomian-indonesia.html

http://laendadhikadewi.blogspot.com/2014/03/sejarah-ekonomi-indonesia-sejak-

orde.html

http://ayuchantry.blogspot.com/2017/03/perekonomian-di-indonesia-dari-zaman.html?m=1

https://www.academia.edu/17540655/Perekonomian_Indonesia

Anda mungkin juga menyukai