Anda di halaman 1dari 12

KEBIJAKAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI ERA

SOEKARNO ( 1945 1965 )

RAJAINAL SIREGAR
140211

Dosen Pembimbing

: EKA ARMAS PAILIS,SE.MM

MATA KULAIH

: ANALISIS KEBIJAKAN INDUSTRI

FAKULTAS EKONOMI
ILMU EKONOMI PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS RIAU
2016/2017

PEMBANGUNAN DAN KEBIJAKAN EKONOMI ERA


SOEKARNO ( 1945 1965 )

A. PENDAHULUAN
Kita mau menjadi satu Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat penuh, bermasyarakat adil
makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem
kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas tapak palune pande, ora tedas gurindo.
(Pidato Presiden RI Sukarno tanggal 17 Agustus 1963)
Soekarno, sosok yang fenomenal dan dikagumi tidak hanya oleh bangsa indonesia tapi juga
seluruh dunia. Selain dikenal dengan kepemimpinanya, soekarno juga dikenal dengan
kepiawaianya dalam berbagai hal, mulai dari perebutan kemerdekaan, politik dan diplomasi,
ekonomi, seni dan berbagai hal lainya termasuk urusan wanita. Meskipun begitu kami tidak
akan membahas mengenai sepak terjang Ir. Soekarno di Bidang politik atau urusan wanita.
Seperti judul yang kami buat Kami akan membahas mengenai PEMBANGUNAN
EKONOMI DI ERA SOEKARNO
Sebagai tokoh pejuang kemerdekaan, Proklamator sekaligus Presiden pertama indonesia,
perekonomian indonesia tidak dapat lepas dari sosok Ir. Soekarno. Sebagai orang yang
pertama memimpin Indonesia boleh dibilang Soekarno adalah peletak dasar perekonomian
indonesia. Beberapa kebijakan yang diambil dibawah pemerintahan Soekarno diantaranya :

Nasionalisasi Bank Java menjadi Bank Indonesia

Mengamankan usaha-usaha yang menyangkut harkat hidup orang banyak

Berusaha memutuskan kontrol Belanda dalam bidang perdagangan ekspor-impor

Serta beberapa kebijakan lainya yang ditujukan untuk memajukan perekonomian

indonesia. Dan lebih lengkapnya akan kita bahas di bab berikutnya.

B. PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA DARI MASA KE MASA.


Sistem ekonomi Indonesia awalnya didukung dengan diluncurkannya Oeang Repoeblik
Indonesia (ORI) yang menjadi mata uang pertama Republik Indonesia, yang selanjutnya
berganti menjadi Rupiah.
Setelah kemerdekaan hingga tahun 1965, perekonomoian Indonesia memasuki era yang
sangat sulit, karena bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial, politik dan keamanan yang
sangat dahsyat, sehingga pertumbuhan ekonomi kurang diperhatikan. Kegiatan ekonomi
masyarakat sangat minim, perusahaan-perusahaan besar saat itu merupakan perusahaan
peninggalan penjajah yang mayoritas milik orang asing, dimana produk berorientasi pada
ekspor. Kondisi stabilitas sosial- politik dan keamanan yang kurang stabil membuat
perusahaan-perusahaan tersebut stagnan.
Pada periode tahun 1950-an Indonesia menerapkan model guidance development dalam
pengelolaan ekonomi, dengan pola dasar Growth with Distribution of Wealth di mana peran
pemerintah pusat sangat dominan dalam mengatur pertumbuhan ekonomi (pembangunan
semesta berencana). Model ini tidak berhasil, karena begitu kompleknya permasalahan
ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin diselesaikan
secara bersama-sama dan simultan. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde lama
adalah terjadi hiper inflasi yang mencapai lebih 500% pada akhir tahun 1965
Pada masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem
ekonomi kapitalis, namun juga memadukannya dengan nasionalisme ekonomi. Pemerintah
yang belum berpengalaman, masih ikut campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi
yang berpengaruh bagi masyarakat banyak. Hal tersebut, ditambah pula kemelut politik,
mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada ekonomi negara.
Pemerintahaan Orde Baru segera menerapkan disiplin ekonomi yang bertujuan menekan
inflasi, menstabilkan mata uang, penjadualan ulang hutang luar negeri, dan berusaha menarik
bantuan dan investasi asing. Pada era tahun 1970-an harga minyak bumi yang meningkat
menyebabkan melonjaknya nilai ekspor, dan memicu tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata
yang tinggi sebesar 7% antara tahun 1968 sampai 1981. Reformasi ekonomi lebih lanjut

menjelang akhir tahun 1980-an, antara lain berupa deregulasi sektor keuangan dan pelemahan
nilai rupiah yang terkendali, selanjutnya mengalirkan investasi asing ke Indonesia khususnya
pada industri-industri berorientasi ekspor pada antara tahun 1989 sampai 1997 Ekonomi
Indonesia mengalami kemunduran pada akhir tahun 1990-an akibat krisis ekonomi yang
melanda sebagian besar Asia pada saat itu, yang disertai pula berakhirnya masa Orde Baru
dengan pengunduran diri Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998.
Saat ini ekonomi Indonesia telah cukup stabil. Pertumbuhan PDP indonesia tahun 2004 dan
2005 melebihi 5% dan diperkirakan akan terus berlanjut. Namun demikian, dampak
pertumbuhan itu belum cukup besar dalam mempengaruhi tingkat pengangguran, yaitu
sebesar 9,75%. Perkiraan tahun 2006, sebanyak 17,8% masyarakat hidup di bawah garis
kemiskinan, dan terdapat 49,0% masyarakat yang hidup dengan penghasilan kurang dari
AS$2 per hari.
Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar Jawa, termasuk minyak mentah,
gas alam, timah, tembaga, dan emas. Indonesia pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia,
meski akhir-akhir ini ia telah mulai menjadi pengimpor bersih minyak mentah. Hasil
pertanian yang utama termasuk beras, teh, kopi, rempah-rempah, dan karet. Sektor jasa
adalah penyumbang terbesar PDB, yang mencapai 45,3% untuk PDB 2005. Sedangkan sektor
industri menyumbang 40,7%, dan sektor pertanian menyumbang 14,0%. Meskipun demikian,
sektor pertanian mempekerjakan lebih banyak orang daripada sektor-sektor lainnya, yaitu
44,3% dari 95 juta orang tenaga kerja. Sektor jasa mempekerjakan 36,9%, dan sisanya sektor
industri sebesar 18,8%.
Meski kaya akan sumber daya alam dan manusia, Indonesia masih menghadapi masalah
besar dalam bidang kemiskinan yang sebagian besar disebabkan oleh korupsi yang merajalela
dalam pemerintahan. Lembaga Transparency International menempatkan Indonesia sebagai
peringkat ke-143 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, yang dikeluarkannya pada
tahun 2007.
C. PEMBANGUNAN EKONOMI DI MASA ORDE LAMA
Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut,
Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.

Meskipun pemerintah kolonial belanda mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia


dalam konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, namun tidak bisa ditutupi kenyataan
bahwa hasil-hasil KMB banyak menguntungkan kepentingan ekonomi Belanda. Setidaknya
untuk menopang perekonomian negeri Belanda yang masih carut-marut paska perang dunia
ke II, pemerintah Belanda memandang penting mempertahankan perusahaan-perusahaanya di
Indonesia. Indonesia tetap amat penting bagi ekonomi Belanda. Hal ini tercermin dari suatu
perkiraan resmi Belanda yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1950 penghasilan total
Belanda yang diperoleh dari hubungan ekonomi dengan Indonesia (ekspor ke Indonesia,
pengolahan bahan-bahan mentah, penghasilan dari penanaman modal di Indonesia, transfer
uang pensiun dan tabungan, dan lain-lain) merupakan 7,8 persen dari pendapatan nasional
Belanda.
Tahun-tahun berikutnya, sampai tahun 1957, sewaktu semua perusahaan Belanda diambil alih
oleh pekerja, angka persentase ini adalah: 8,2 persen (1951); 7,0 persen (1952); 5,8 persen
(1953); 4,6 persen (1954); 4,1 persen (1955); 3,3 persen (1956); dan 2,9 persen (1957). Di
sisi lain, beberapa tokoh Indonesia -terutama Moh.Hatta yang memimpin delegasi Indonesiamenganggap bahwa apapun hasil KMB tetap harus diterima. Menurut mereka yang paling
penting, Belanda menarik kekuatan militernya dan menghargai kedaulatan politik Indonesia.
Beberapa kelompok kiri -terutama yang berbasiskan serikat pekerja- menganggap bahwa
eksistensi perusahaan-perusaan Belanda di Indonesia, selain melakukan penindasan langsung
terhadap pekerja Indonesia dengan politik upah murah, juga merupakan perwujudan masih
bercokolnya neokolonialisme di Indonesia.
Menghadapi watak kolonial yang masih bercokol terutama di lapangan ekonomi,
pemerintah berupaya mengambil langkah untuk menyelamatkan sektor yang dianggap
strategis, terutama perbankan. Pada tahun 1953, dilakukan nasionalisasi terhadap Bank Java
dan kemudian namanya berubah menjadi Bank Indonesia. Serta membentuk dua Financial
Bank yaitu: Bank Industri Negara (BIN) yang akan membiayai proyek-proyek indutri; dan
Bank Negara Indonesia (BNI) yang menyediakan foreign-exchange sekaligus membiayai
kegiatan impor.
Di samping itu, karena desakan kaum kiri dan nasionalis, kabinet Wilopo akhirnya
melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan listrik dan penerbangan . Tindakan
nasionalisasi ini semakin berkembang luas karena di dorong oleh mobilisasi kaum pekerja

yang dipimpin SOBSI. Beberapa perusahaan belanda yang berhasil dinasionalisasi kemudian
dikelola dengan sistem Self-Management.
Langkah pemerintah berikutnya adalah mengamankan usaha-usaha yang menyangkut harkat
hidup orang banyak, seperti: balai gadai, beberapa wilayah pertanian yang penting, pos,
telepon, listrik, pelabuhan, pertambangan batu bara dan rel kereta. Selanjutnya pemerintah
membiayai perusahan negara melalui BIN di sektor produksi semen, tekstil, perakitan mobil,
gelas, dan botol.
Langkah terakhir pemerintah adalah berusaha memutuskan kontrol Belanda dalam bidang
perdagangan ekspor-impor dengan mendirikan Pusat Perusahaan Perdagangan pada tahun
1948 untuk mengekspor produk pertanian Indonesia. Pemerintah juga mendirikan USINDO
pada tahun 1956 untuk mengekspor industri manufaktur -yang dibiayai oleh BIN- dan
mengimpor bahan mentah untuk keperluan industri mereka.
Semua langkah intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi ini ditujukan untuk membangun
infrastruktur bagi perkembangan kelas kapitalis dalam negeri. Program Sumitro
Djojohadikusumo menggambarkan dengan jelas maksud dari rencana ini. Dimulai pada tahun
1951, BIN mengucurkan dana sebesar Rp 160 juta untuk membiayai proyek-proyek industri.
Berbagai macam industri termasuk pengolahan karet, semen, tekstil didirikan. Pemerintah
menguasai kepemilikan serta manajemennya. Namun pemilik modal dalam negeri tidak
mampu memobilisir modal mereka untuk menjadi partner dalam industri-industri tersebut dan
juga tak mampu menemukan usaha lain yang lebih menguntungkan.
Beberapa perusahan yang dibeli atau didirikan oleh pemerintah adalah Indonesia Service
Company -perusahan milik pemerintah yang membeli General Motor; di Tanjung Priok
mendirikan PT. PELNI. Upaya Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan sektor industri
manufaktur modern yang dikuasai dan dikendalikan oleh orang Indonesia sendiri dimulai
dengan Rencana Urgensi Ekonomi yang bertujuan mendirikan berbagai industri skala besar.
Menurut rencana ini, pembangunan industri-industri akan dibiayai dulu oleh pemerintah
kemudian akan diserahkan kepada pihak swasta Indonesia, koperasi, atau dikelola sebagai
usaha patungan antara pihak swasta nasional dan Pemerintah Indonesia.
Untuk memperkuat perlawanan terhadap imperialisme, dan disisi lain memperkuat
kemandirian ekonomi nasional, maka pada tahun 1950 pemerintah Soekarno

mendeklarasikan poros kekuatan ekonomi baru yakni gerakan Banteng. Program ini
memiliki tujuan utama untuk membangkitkan industri nasional terutama yang berbasiskan
kepemilikan pribumi dan menempatkan sektor ekonomi yang vital, seperti perdagangan dan
impor dibawah pengendalian negara.
Tujuan mulia program Banteng ternyata berbeda dalam prakteknya, borjuasi nasional
Indonesia yang terdiri dari kaum priyayi dalam partai-partai berkuasa -seperti PNI dan
Masyumi- tidak memiliki kapasitas borjuisme yang cukup. Pada prakteknya muncul
kelompok-kelompok pengusaha pribumi yang menyalahgunakan lisensi ini dengan
menjualnya kepada pengusaha asing, terutama pengusaha-pengusaha cina.
Pengusaha-pengusaha pribumi dadakan tersebut sama sekali tidak memiliki bekal
kemampuan usaha yang memadai. Akhirnya mereka hanya menyewakan lisensi yang
mereka punyai tersebut kepada pengusaha-pengusaha swasta lainnya, yang umumnya berasal
dari pengusaha keturunan Cina. Praktek kongkalingkong ini lah yang melahirkan istilah AliBaba. Si Ali yang memiliki lisensi dan si Baba yang memiliki uang untuk memodalkerjai
lisensi tersebut. Hampir seluruh program ekonomi pemerintahan Soekarno kandas di tengah
jalan. Penyebabnya adalah:
(1) Situasi politik yang diwarnai manuver dan sabotase, terutama dari kelompok-kelompok
kanan (masyumi, PSI, dan tentara-AD) yang tidak menghendaki kemandirian ekonomi
nasional. Pemberontakan PRRI/Permesta dan kekacauan-kekacauan keamanan di daerah
sengaja dilakukan panglima-panglima tentara untuk memblokir kebijakan ekonomi Soekarno
serta mengakumulasi sentimen anti-pemerintah pusat. Bahkan kenyataan menunjukkan
bahwa jenderal-jenderal tersebut memanfaatkan situasi ini untuk terlibat dalam perdagangan
gelap, penyelundupan, dan lain-lain.
(2) Pertarungan kekuasaan antar elit politik di tingkat nasional -yang berakibat jatuhbangunnya kabinet- tidak memberikan kesempatan kepada Soekarno dan kabinetnya untuk
teguh menjalankan kebijakan-kebijakan tersebut.
(3) Yang paling pokok: borjuasi dalam negeri (pribumi) yang diharapkan menjadi kekuatan
pokok dalam mendorong industrialisasi dan kegiatan perekonomian justru tidak memiliki
basis borjuis yang tangguh. Mereka tidak ubahnya bagai calo yang memperdagangkan
lisensi.

Kendati berkali-kali mengalami kegagalan, Soekarno kemudian menekankan bahwa haluan


ekonomi baru ini hanya akan berhasil dengan dukungan massa rakyat. Dalam usaha
memassifkan dukungan rakyat, Soekarno berpropaganda tentang Trisakti:

Berdikari di bidang ekonomi;

Berdaulat di bidang politik; dan

Berkepribadian dalam budaya.

Kemudian pada Peringatan 17 Agustus 1959, Soekarno berpidato tentang Penemuan Kembali
Revolusi Kita, yang terkenal sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol).
Dalam pidato tersebut, secara garis besar, Soekarno mencanangkan dilaksanakannya sistem
Demokrasi Terpimpin. Pada intinya manipol terdiri atas lima hal pokok, yaitu: UUD 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia
yang disingkat USDEK. Sejak saat itu, setiap gerak dan langkah seluruh komponen bangsa
Indonesia diharuskan berdasar pada Manipol-USDEK. Oleh karena itu, sistem ekonomi
terpimpin menuntut seluruh unsur perekonomian Indonesia menjadi alat revolusi.
Dalam ekonomi terpimpin, kegiatan perekonomian ditekankan pada konsepsi gotong royong
dan kekeluargaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam
perkembangan selanjutnya, kegiatan ekonomi pada masa terpimpin juga dilandaskan atas
strategi dasar ekonomi Indonesia yang diamanatkan dalam Deklarasi Ekonomi (DEKON)
oleh Presiden Soekarno pada tanggal 28 Maret 1963.
Dalam pidato yang berjudul Banting Stir untuk Berdikari di depan sidang umum MPRS
tanggal 11 April 1965, Soekarno menyerukan kepada seluruh kekuatan pokok revolusi:
buruh, petani, mahasiswa progresif, perempuan, termasuk etnis tionghoa untuk memperbesar
kekuatan ekonomi Indonesia agar lepas dari kepentingan asing. Sangat jelas bahwa Indonesia
pernah punya sejarah panjang dalam melakukan pergulatan membangun haluan ekonomi
baru, yaitu berdikari untuk melepaskan diri dari belenggu untuk kolonialisme.
D. BERBAGAI PERMASALAHAN EKONOMI ORDE LAMA
1. Masa Pasca Kemerdekaan ( 1945 1950 )

Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan oleh
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara
tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata
uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah
Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946,
Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan
berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946,
pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia)
sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang
beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain
a. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan
perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke
Singapura dan Malaysia.
c. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang
bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunanperkebunan.

d. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947


Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan
membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
1. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori
mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi
masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha
Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang
baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a) Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b) Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi
dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan
membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir
pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat
berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat
pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi.
c) Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat
UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d) Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha
pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha
pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.

Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman,
sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e) Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya
sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut.
1. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem
demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segalagalanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada
kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab
Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini
belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a) Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai
berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi
Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b) Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi
perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c) Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000
menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama,
tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan
pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.Kegagalankegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak
menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar
yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia
dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan
menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke
Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.

E. DAFTAR PUSTAKA
Iswandi. 2008. HYPERLINK http://id.shvoong.com/authors/iswandi/” 3 tahap
EKONOMI INDONESIA apa kata dunia. HYPERLINK
http://id.shvoong.com/humanities” http://id.shvoong.com/humanities
Gerakan Banting Setir Ekonomi Soekarno. http://www.Arahkiri2009.blogspot.com. 2008.
Ekonomi Indonesia. http://id.wikipedia.org.

Anda mungkin juga menyukai