Anda di halaman 1dari 27

Orde Lama dalam sejarah politik Indonesia merujuk kepada masa pemerintahan

Soekarno (1945-1965). Istilah ini tentu saja tidak digunakan pada saat itu, dan baru
dicetuskan pada masa pemerintahan Soeharto yang disebut juga dengan Orde
Baru.

A. Pengertian Orde Lama


Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia.
Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia
menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.
Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan
parlementer. Presiaden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi
komando.
Orde lama (Demokrasi Terpimpin), terdiri dari beberapa kejadian penting..
1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan
oleh :
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak
terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang
yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia
Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima
AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya
uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI
juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti
uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi
kenaikan tingkat harga.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.

b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan
perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke
Singapura dan Malaysia.
c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan
distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan
membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
2. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan
prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik
yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum
bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini
hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan
membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi
serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi
dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi
yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU
no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi.
Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan
pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak
berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya
dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.

e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya
sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut.
3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi
terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur
oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan
persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki
keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut
:Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan
semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian
Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi
Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di
masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah
untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak
menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang
dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan
negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan
sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis)
baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
Masalah pemanfaatan kekayaan alam.
Pada masa orde lama : Konsep Bung Karno tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika Bangsa
Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi dsb biarlah
SDA tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan menjadi tabungan
anak cucu di masa depan. Biarlah anak cucu yang menikmati jika mereka sudah mampu dan
bisa. Jadi saat dipimpin Bung Karno, meski RI hidup miskin, tapi Bung Karno tidak pernah
menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik bangsa ke perusahaan asing. Penebangan hutan
pada masa Bung Karno juga amat minim.
Sistem pemerintahan

Orde lama : kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik,semua proyek diserahkan
kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.
Persamaan kebijakan ekonomi pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi.
1. Sama-sama masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan
Setelah Indonesia Merdeka, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan namun
tetap saja ada terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan. Dalam 26 tahun
masa orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan penduduk daerah
termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan naik lagi menjadi 9,8 (1997). Ketika
reformasi ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi dari 0,29 (2002) menjadi 0,35
(2006).
Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum kaya memperoleh manfaat terbesar dari pertumbuhan
ekonomi yang dikatakan cukup tinggi, namun pada kenyataanya tidak merata terhadap
masyarakat.
2. Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)
Orde Lama: Walaupun kecil, korupsi sudah ada.
Orde Baru: Hampir semua jajaran pemerintah koruptor (KKN).
Reformasi: Walaupun sudah dibongkar dan dipublikasi di mana-mana dari media massa,media
elektronik,dll tetap saja membantah melakukan korupsi.
Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat yang sulit untuk disembuhkan akibat
praktik-pratik pemerintahan yang manipulatif dan tidak terkontrol.
3. Kebijakan Pemerintah
Sejak pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini, kewenangan menjalankan anggaran
negara tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau pemimpin yang sangat
kuat dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan mereka seperti manusia setengah
dewa). Namun tiap-tiap masa pemerintahan mempunyai cirinya masing-masing dalam
menjalankan arah kebijakan anggaran negara. Hal ini dikarenakan untuk disesuaikan dengan
kondisi: stabilitas politik, tingkat ekonomi masyarakat, serta keamanan dan ketertiban.
Kebijakan anggaran negara yang diterapkan pemerintah selama ini sepertinya berorientasi pada
ekonomi masyarakat. Padahal kenyataannya kebijakan yang ada biasanya hanya untuk segelintir
orang dan bahkan lebih banyak menyengsarakan rakyat. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang
tidak tepat sasaran, yang hanya menambah beban APBN. Bila diteliti lebih mendalam kebijakankebijakan sejak Orde Baru hingga sekarang hanya bersifat jangka pendek. Dalam arti kebijakan
yang ditempuh bukan untuk perencanaan ke masa yang akan datang, namun biasanya cenderung
untuk mengatur hal-hal yang sedang dibutuhkan saat ini.
C. Berakhirnya Orde Lama

setelah turunnya presiden soekarno dari tumpuk kepresidenan maka berakhirlah orde
lama.kepemimpinan disahkan kepada jendral soeharto mulai memegang kendali.pemerintahan
dan menanamkan era kepemimpinanya sebagai orde baru konsefrasi penyelenggaraan sistem
pemerintahan dan kehidupan demokrasi menitipberatkan pada aspek kestabilan politik dalam
rangka menunjang pembangunan nasional.untuk mencapai titik-titik tersebut dilakukanlah upaya
pembenahan sistem keanekaragaman dan format politik yang pada prinsipnya mempunyai
sejumlah sisi yang menonjol.yaitu;
1]adanya konsep difungsi ABRI
2]pengutamaan golonga karya
3]manifikasi kekuasaan di tangan eksekutif
4]diteruskannya sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga pendidikanpejabat
5]kejaksaan depolitisan khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep masca mengembang
[flating mass]
6]karal kehidupan pers
konsep diafungsi ABRI pada masa itu secara inplisit sebelumnya sudah ditempatkan oleh kepala
staf angkatan darat.mayjen A.H.NASUTION tahun 1958 yaitu dengan konsep jalan tengah
prinsipnya menegaskan bahwaperan tentara tidak terbatas pada tugas profesional militer belaka
melainkan juga mempunyai tugas-tugas di bidang sosial politik dengan konsep seperti inilah
dimungkinkan dan bahkan menjadi semacam kewajiban jikalau militer berpatisipasi dan bidang
politik penerapan konjungsi ini menurut pennafsiran militer dan penguasa orde baru memperoleh
landasan yuridi konstitusional di dalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan majelis
permusyawaratan rakyat.

Peristiwa (dulu: Pemberontakan PKI) Madiun 1948

PERISTIWA Madiun (Madiun Affairs) adalah


sebuah konflik kekerasan atau situasi chaos yang terjadi di Jawa Timur bulan
September Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara
Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso,
seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri
Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.

Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun
Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun,
baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan
agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa
PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru
(dan sebagian pelaku Orde Lama).
Tawaran bantuan dari Belanda
Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan
untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh
pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan,
Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total
terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk
Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi
Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada AS.

Latar belakang
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai
organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan
sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis
Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok
Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang
ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam
Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan
beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto
(Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III.
Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI), Letkol
Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.
Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari
Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati
kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan
komandan pasukan bergabung dengan Musso, antara lain Mr. Amir Sjarifuddin
Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.
Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak
menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak perwira TNI, perwira polisi,
pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan

dibunuh.
Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo)
dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang tersebut
dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi dari
golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah
yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang
namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota
Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI saat itu, termasuk Wakil
Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat
untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S.
Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman
menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka
negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya
dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi
komunis di seluruh dunia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje"
Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam
negeri, Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di
pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle
Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB).
Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan
Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive
Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell,
Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian RI. Campbell
yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika di
Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency - CIA
Diisukan, bahwa Sumarsoso tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di
Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi
Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang
mengatakan bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah
(FND) dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia bahwa FND dibentuk sebagai
perlawanan terhadap ancaman dari Pemerintah Pusat
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui
radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso-Amir
Syarifuddin atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu
itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru
terutama di buku-buku pelajaran sejarah kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan
PKI Madiun.

Akhir konflik

Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan
Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur
Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari
Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah
pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur,
tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur,
di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat
menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang
benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam
waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan
Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat,
bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa
pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak
dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung
Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir
Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948,
atas perintah Kol. Gatot Subroto.
peristiwa-peristiwa pada masa orde baru

1.

Tritura (tri tuntutan rakyat)


Aksi yang di lakukan oleh Gerakan 30 September segera diketahui
oleh masyarakat bahwa PKI terlibat di dalamnya. Oleh karena itu
banyak elemen masyarakat yang melakukan demonstrasi menuntut
kepada pemerintah untuk membubarkan PKI dan ormasnya. Akan
tetapi pemerintah tidak segera mengambil tindakan yang tegas
terhadap PKI.
Pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI mempelopori
kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam front Pancasila
mendatangi DPR-GR menuntut Tritura. Adapun tuntutan tersebut
adalah :

a. Pembubaran PKI
b. Pembersiahan kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI
c.

Penurunan harga/perbaikan ekonomi


Ketiga tuntutan diatas menginginkan perubahan di bidang politik,
yakni pembubaran PKI besrta ormasnya dan pembersihan kabinet dari
unsur G 3o S/PKI. Selain itu juga keinginan adanya perubahanekonomi
yakni penurunan harga.

2. Surat Perintah Sebelas Maret

Aksi untuk menentang terhadap G 30 S/PKI semakin meluas


menyebabkan pemerintah merasa tertekan. Olekh karena itu setelah
melakukan pembicaraan dengan beberapa anggota kabinet dan
perwira ABRI di istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden
Sukarno akhirnya menyetujui memberikan perintah kepada Letnan
Jendral Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib
untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah. Surat mandat ini
terkenal dengan nama Surat Perintah Sebelas Maret 1966
(supersemar).

3. Sidang Umum MPRS

Sidang Umum IV MPRS yang di selenggarakan pada tanggal 17


Juni 1966 telah menghasilkan beberapa ketetapan yang dapat
memperkokoh tegaknya orde baru antara lain sebagai berikut :
a. Ketetapan MPRS No. IX tentang pengukuhan Surat Perintah Sebelas
Maret.
b. Ketetapan MPRS No. XXV tentang Pembubaran PKI dan ormasnya
serta larangan menyebar ajaran marxisme- komunisme Indonesia.
c. Ketetapan MPRS No. XXIII tentang Pembaruan Landasan Kebijakan
Ekonomi, keungan, dan Pembangunan.

d. Ketetapan MPRS No. XIII tentang Pembentukan Kabinet Ampera yang


di tugaskan kepada Pengemban tap MPRS no. IX.
4. Nawaksara

MPRS meminta pertanggungjawaban terhadap Presiden Sukarno


dalam sidang umum MPRS 1966 atas terjadinya pemberontakan
G30S/PKI, kemerosotan ekonomi dan moral. Untuk memenuhi
permintaan MPRS tersebut maka presiden Sukarno menyampaikan
amantnya pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul Nwaksara
(sembilan pasal). Amanat tersebut oleh MPRS dipandang tidak
memenuhi harapan rakyat.
Oleh karena itu pada tanggal 10 Januari 1966 Presiden Sukarno
memberikan pelengkap Nawaksara. Akan tetapi isisnya juga tidak bisa
memuaskan banyak pihak. Pada tanggal 22 Februari 1967 Presiden
Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS
No. IX, Jendral Suharto. Peristiwa penyerahan kekuasaan yang di
lakauakan atas prakarsa Presiden Soekarno ini merupakan peristiwa
penting dalam upaya mengatasi situasi konflik pada waktu itu.
Penyerahan kekuasaan ini ternyata mendapat tanggapan yang positif
dari masyarakat umum dan ABRI.

5. Politik Luar Negeri

Politik luar negeri Indonesia pada masa yang condong kepada


salah satu blok. Pada msa Demokrasi Terpimpin merupakan
pengalaman pahit bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu orde baru
bertekad untuk mengoreksi bentuk-bentuk penyelewengan politik luar
negeri Indonesia pada masa orde lama.
Memihak kepada salah satu blok dinyatakan salah oleh MPRS.
Indonesia harus kembali ke politik luar negeri yang bebas dan aktif
serta tidak memencilkan diri. Landasan kebijakan politik luar negeri :

Tap No. XII/ MPRS / 1966. Menurut rumusan MPRS bahwa politik luar
negeri RI mengabdiakn diri kepada kepentingan nasional.
Untuk mewujudkan politik luar negeri yang aktif dan bebas
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menghentikan politik konfrontasi dengan malaisia setelah di tanda
tanganinya persetujuan pada tanggal 11 agustus 1966, sejak 31
agustus1967 kedua pemerintah telah membuka hubungan.
b. Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 september
1966.
c. Indonesia ikut memprakarsai terbentuknya ASEAN pada tanggal 8
Agustus 1967.
6. Pemilihan Umum

Pemilihan umum pada masa orde baru pertama kali 3 Juli 1971.
Pada waktu itu pemilu menggunakan sistem distrik, distrik yaitu partaipartai harus memeperebutkan perwakilan yang d sediakan untuk suatu
daerah.
Pemilu tahun 1977 diikuti 10 kontestan, yaitu : PKRI, NU, Parmusi,
Parkindo, Murba, PNI, dan Golkar. Pemilu berikutnya pada tanggal 2
Meia 1977 diikuti 3 organisasi yaitu : PPP, Golkar, dan PDI. Selanjutnya
pemuli-pemilu di Indonesia selama orde baru selalu di menangkan oleh
partai Golkar (golongan karya).

7. Sidang MPR Tahun 1973

Dengan pemilu I 1971, maka untuk pertama kali RI mempunayai


MPR tetap, yaitu bukan MPRS. Pimpinan MPR dan DPR hasil pemilu I
adalah idham chalid. Selanjutnya MPR ini mengadakan sidang pada
bulan Maret 1973 yang menghasilkan beberapa keputusan yang
diantaranya sebagai berikut :

a. Tap IV /MPR /73 tentang garis besar haluan negara sebagai pengganti
manipol.
b. Tap IX /MPR /73 tentang pemilihan Jendral Soeharto sebagai presiden
RI.
c. Tap XI /MPR /73 tentang pemilihan Sri Sultan Hamengkubuwana IX
sebagai wakil presiden RI.
Denagn demikian RI telah memiliki presiden dan wakil presiden sesuai
dengan amanat UUD 1945.

Orde Baru
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Istilah Orde Baru dalam sejarah politik Indonesia dicetuskan oleh pemerintahan Soeharto dan
merujuk kepada masa pemerintahan Soeharto (1966-1998). Istilah ini digunakan untuk
membedakan dengan Orde Lama pemerintahan Soekarno. Setelah kejatuhan Soeharto, Orde
Baru digantikan dengan Orde Reformasi (1999-sekarang).

Peristiwa Sejarah Supersemar

Supersemar adalah surat pemberontakan sebelas maret?

...Soeharto adalah seorang ahli


strategi yang handal. Tetapi ia bukan seorang grand master yang mampu menghitung 10-15
langkah ke depan di papan catur. Ia lebih banyak beruntung karena piawai memanfaatkan
kesempatan...(Dr. Asvi Warman Adam).

Apakah benar Supersemar versi Orde Baru tak lagi Super sehingga kita berhak
menuntutnya? Di sinilah kontroversi seputar Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 seakan
tidak pernah ada habisnya dibicarakan. Banyak yang menggugat bahwa Supersemar yang
ditandangani oleh presiden Soekarno pada dini hari tersebut sebenarnya adalah surat mandat
yang diberikan kepada Soeharto untuk mengamankan keadaan negara yang sedang gawat.
Memang pada waktu itu kondisi sosial-politik sedang kacau balau pascapemberontakan G30
S/PKI. Karena itu, seharusnya Soeharto menyerahkan kembali mandat tersebut kepada
presiden Soekarno setelah selesai menjalankan tugas.
Namun yang terjadi justru tidak demikian. Sekenario untuk menjatuhkan presiden Soekarno
ternyata sudah direncanakan matang-matang. Des Alwi mantan anggota Dewan Banteng
pencetus PRRI yang juga dianggap sebagai gerakan separatis adalah tokoh di balik layar yang
berperan penting dalam peristiwa tersebut. Ia tidak hanya lihai dalam melakukan rekayasa
penandatanganan Supersemar. Akan tetapi kepandaiannya dalam mempengaruhi MPR/DPR
untuk mengangkat Soeharto sebagai presiden RI dengan menggunakan mandat yang
disalahgunakan tersebut, merupakan strategi jitu yang terbukti keampuhannya dalam
jangka waktu yang sangat panjang.
Penandatangan Supersemar menurut pengakuan Soekardjo Wilardjito SMiss, mantan pengawal
Soekarno, bahkan sempat diwarnai oleh penodongan pistol terhadap presiden Soekarno.
Pendapat ini sekaligus menguatkan kebenaran suatu pendapat menyangkut pembuatan
Supersemar yang tidak lain bukanlah atas inisiatif dan kemauan presiden Soekarno sendiri.
Akan tetapi merupakan kehendak Soeharto yang berkeinginan kuat menduduki tampuk
kekuasaan. Karena itu, tidak heran kalau kemudian Soeharto mengambil jalan pintas dengan
memaksa presiden Soekarno turun takhta.
Periode kelam inilah yang oleh Asvi Warman Adam (2007) disebut sebagai Kudeta Merangkak
ala Soeharto. Soeharto menjadi presiden RI melalui suatu proses yang sama sekali tidak bisa
dinalar: suatu proses yang diawali dengan (percobaan) kudeta 1 Oktober 1965 dan diakhiri
dengan keluarnya Supersemar yang secara de facto memberikan kekuasaan kepada Mayjend
Soeharto. Karena itu, 32 tahun kepemimpinan Soeharto menjadi tidak absah mengingat
Supersemar yang dijadikan sebagai legitimasi tidak lain adalah Supersemar yang tidak lagi
Super.
Kudeta Merangkak ala Soeharto
Dengan demikian, sampai saat ini kita tetap menyangsikan ihwal kebenaran dan keaslian
Supersemar yang masih misterius itu. Banyak pengamat sejarah yang meyakini bahwa
Supersemar yang asli itu masih ada. Adapun Supersemar versi Orde baru yang kemudian
dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan Soeharto bukanlah Supersemar yang asli sebagaimana
yang ditandatangani oleh presiden Soekarno. Di sinilah, sekali lagi, muncul kontroversi yang tak
kunjung usai: apakah benar presiden Soekarno yang menyusun surat itu sehingga seolah-olah
Soeharto mendapatkan tugas untuk mengamankan keadaan? Kalau memang benar bagaimana
proses penyerahannya?
Menurut penuturan Wilardjito sosok yang sempat dituduh oleh Polda DIY menyebarkan

berita bohong ihwal kesaksiannya tentang peristiwa Supersemar awalnya Soekarno didatangi
empat Jenderal, Amir Machmud, Basuki Rahmat, M Yusuf dan M Panggabean. Mereka datang
ke istana Bogor untuk menemui presiden Soekarno. Setelah presiden menemui keempat
Jenderal itu dan bertanya ihwal kedatangannya, mereka menyodorkan map yang berisi diktum
militer, bukan diktum kepresidenan, untuk segera ditandangani. Bahkan M. Yusuf mencabut
pistol FN 46, yang juga diikuti oleh Panggabean agar presiden mau menandatangani diktum
tersebut.
Melihat kondisi presiden yang terancam bahaya, Wilardjito sebenarnya juga mencabut pistol,
namun oleh Soekarno dilarang karena dia tidak suka ada pertumpahan darah. Akhirnya,
presiden menandatangani diktum militer tersebut. Wilardjito mengaku tidak tahu pulpen siapa
yang dipakai untuk menandatanganinya, dan dia juga tidak tahu surat apa yang diberikan Yusuf
kepada Soekarno. Menurutnya, sebelum Soekarno menandatangani, dia sempat berkata
terpaksa menyerahkan mandat kepada Soeharto, tapi kalau situasinya sudah kembali pulih,
mandatnya harus dikembalikan kepadanya lagi.
Setelah peristiwa penandatanganan yang menurutnya tidak lebih dari 15 menit tersebut,
Soekarno bilang akan pergi dan berpesan agar dia berhati- hati, lalu Soekarno masuk kamar
tidur. Setelah itu Wilardjito pergi kebelakang untuk mencari anggotanya, tapi keburu ditangkap
oleh satu peleton pasukan tentara berseragam doreng dan berbaret merah, tanpa tanda
pengenal. Bersama dengan 12 orang lainnya, dia digiring ke sebuah truk, lalu dilucuti dan
dibawa ke Jakarta dan dimasukkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Budi Utomo.
Setelah berada dipenjara dia mengaku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya di Istana Jakarta
dan Bogor. Setelah ditahan lebih dari enam bulan, dia baru diinterogasi Teperda Jaya, oleh
seorang CPM berpangkat Mayor yang namanya tidak diingatnya lagi.
Dalam interogasi tersebut, dia didakwa sebagai komplotannya Kol Maulwi Saelan seorang Ajpri
(Ajudan Pribadi), yang dijawabnya bukan. Ditanya apakah yang menempatkanya Aidit, dia
menjawab tidak kenal Aidit. Ditanya siapa yang menempatkannya di istana, dia menjawab
Wakasad Gatot Subroto, tapi justru dia dimarahi karena mengutik-utik orang yang sudah mati.
Selain itu dia dituduh PKI karena berani menodong jenderal ketika menghadap Presiden.
Setelah tiga tahun dipenjara dia baru memperoleh kabar bahwa yang membuat Supersemar
adalah Ali Murtopo dan Alamsyah yang kemudian oleh Soeharto diangkat menjadi Menteri
Penerangan dan Menteri Agama.
Merujuk fakta sejarah inilah, keterlibatan Soeharto sebagai aktor utama dalam merekayasa
Supersemar harus kita gugat. Sebab Soeharto telah menjadikan Supersemar itu sebagai Surat
Pemberontakan Sebelas Maret atas keabsahan Soekarno sebagai presiden.
The Living Legend
Keberhasilan Soeharto dalam memalsukan otentisitas Supersemar menempatkan dirinya
sebagai The Living Legend yang diagung-agungkan sepanjang sejarah Orde Baru. Seolah-olah
pergantian kekuasaan adalah murni berangkat dari inisiatif presiden Soekarno sendiri. Padahal
setelah kepalsuan sejarah itu terbongkar, Soekarno pada awalnya sama sekali tidak menduga

bahwa Supersemar yang ditandanganinya itu ternyata disalahgunakan oleh Soeharto dan
dijadikan sebagai alat delegitimasi untuk meruntuhkan kekuasaan Orde lama.
Di sinilah kita melihat sosok Soeharto sebagai aktor di balik terjadinya peristiwa-peristiwa
bersejarah yang telah dibengkokkan sedemikian rupa, termasuk di dalamnya adalah peristiwa
Supersemar yang kontroversial itu. perisriwa Supersemar menurut saya tak ubahnya suatu
pertarungan sejarah yang senantiasa menghasilkan kekalahan dan kemenangan. Dalam
konteks ini, Soeharto adalah salah satu pihak yang keluar sebagai pemenang (juara) dan berhak
mendapatkan gelar sebagai The Living Legend. Sedangkan Soekarno hanya kurang beruntung
karena sejatinya ia kalah dalam sebuah pertarungan yang diwarnai dengan kecurangan.
Kejeniusan Soeharto dalam upayanya menggulingkan presiden Soekarno sebenarnya hanya
terletak pada kepiawaiannya dalam memanfaatkan sekecil apa pun setiap kesempatan.
Instabilitas sosial-politik pascaserangan G30S/PKI, misalnya, dijadikan sebagai kesempatan
emas untuk memaksa presiden Soekarno membuat dan menandatangani Supersemar sebagai
surat mandat. Tetapi keterpaksaan presiden Soekarno dalam konteks ini bukan menunjukkan
betapa ia sangat lemah, tidak pandai, dan kerdil dalam menghadapi serangan dari musuh yang
tidak lain adalah anak buahnya sendiri. Sebab posisi Soekarno pada waktu itu benar-benar
tertekan, ditodong, dan berada dalam kondisi keterkepungan yang memang sudah direkayasa
sebelumnya.
Di situlah sebenarnya kelebihan Soeharto dalam memanfaatkan setiap kesempatan yang
menurutnya sangat berarti dalam proyek jangka panjang: membangun imperium
otoritarianisme berkedok demokrasi. Kesuksesan Soeharto selama 32 tahun memimpin negeri
ini diawali dengan pertumpahan darah yang berlangsung pada 1 Oktober 1965-11 Maret 1966.
Melalui kedua peristiwa yang dilalui dengan mudah itulah Soeharto menempatkan dirinya
sebagai sosok pejuang. Ia membangun image sebagai pemberontak PKI, aktor utama di balik
serangan umum 1 Maret 1949, dan lain sebagainya. Bahkan melalui media massa, Soeharto
melakukan indoktrinasi massal untuk menunjukkan kegigihannya. Sehingga rakyat pun tanpa
sadar menyebutnya sebagai The Living Legend atas peranannya dalam peristiwa-peristiwa
penting.
Dr. Asvi Warman adam dalam Seabad Kontroversi Sejarah (2007), mengatakan: Kalau
diperhatikan periode 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 tampak perkembangan peristiwa
yang demikian cepat dan luar biasa. Soeharto adalah seorang ahli strategi yang handal. Tetapi ia
bukan seorang grand master yang mampu menghitung 10-15 langkah ke depan di papan catur.
Ia lebih banyak beruntung karena piawai memanfaatkan kesempatan. Bisa saja periode 6 bulan
setelah peristiwa 1 Oktober 1965 itu disebut sebagai Kudeta Merangkak. Tetapi ini adalah
sebah drama tanpa sutradara dan sekenario yang ketat. Soeharto bukan dalang melainkan
pemain yang mampu berimprovisasi.
Demikianlah menurut penilaian Dr. Asvi Warman Adam. Soeharto sebenarnya lebih banyak
tertolong oleh keberuntungan dan keberuntungan. Namun sayang, keberuntungan ternyata
tidak selamanya datang dan berpihak. Kasus penyalahgunaan Supersemar akhirnya terbongkar
seiring runtuhnya Soeharto dengan Orde Barunya. Soeharto kesusahan mencari perlindungan

karena tidak mungkin mengelak dari fakta sejarah yang sesungguhnya. Walaupun sampai saat
ini pengusutan terhadap kasus tersebut kurang menunjukkan keseriusan, namun rakyat kini
sudah paham bahwa Soeharto bukanlah sosok yang patut dihormati dan dihargai sebagai The
Living Legend.

Masa Reformasi (Sekilas Cerita Tahun 1998 s.d 2010 )


Posted: 28 Maret 2012 in Aris Djunaedi, IPPA, Masa Reformasi, Pelajaran, Sejarah
Tag:arisdjunaedi, indonesia, pemerintahan, pendidikan

28
Masa Reformasi 1998 2010

Presiden Tahun 1998 - 2010


1. Latar belakang jatuh/berakhirnya orde baru:
Krisis politik
Pemerintah orde baru, meskipun mampu mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi dan
memberikan kemajuan, gagal dalam membina kehidupan politik yang demokratis, terbuka, adil,
dan jujur. Pemerintah bersikap otoriter, tertutup, dan personal. Masyarakat yang memberikan
kritik sangat mudah dituduh sebagai anti-pemerintah, menghina kepala negara, anti-Pancasila,
dan subversive. Akibatnya, kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis tidak pernah
terwujud dan Golkar yang menjadi partai terbesar pada masa itu diperalat oleh pemerintah orde
baru untuk mengamankan kehendak penguasa.
Praktik KKN merebak di tubuh pemerintahan dan tidak mampu dicegah karena banyak pejabat

orba yang berada di dalamnya. Dan anggota MPR/DPR tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan baik dan benar karena keanggotaannya ditentukan dan mendapat restu dari penguasa,
sehingga banyak anggota yang bersikap ABS daripada kritis.
Sikap yang otoriter, tertutup, tidak demokratis, serta merebaknya KKN menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat. Gejala ini terlihat pada pemilu 1992 ketika suara Golkar
berkurang cukup banyak. Sejak 1996, ketidakpuasan masyarakat terhadap orba mulai terbuka.
Muncul tokoh vokal Amien Rais serta munculnya gerakan mahasiswa semakin memperbesar
keberanian masyarakat untuk melakukan kritik terhadap pemerintahan orba.
Masalah dwifungsi ABRI, KKN, praktik monopoli serta 5 paket UU politik adalah masalah yang
menjadi sorotan tajam para mahasiswa pada saat itu. Apalagi setelah Soeharto terpilih lagi
sebagai Presiden RI 1998-2003, suara menentangnya makin meluas dimana-mana.
Puncak perjuangan para mahasiswa terjadi ketika berhasil menduduki gedung MPR/DPR pada
bulan Mei 1998. Karena tekanan yang luar biasa dari para mahasiswa, tanggal 21 Mei 1998
Presiden menyatakan berhenti dan diganti oleh wakilnya BJ Habibie.
Krisis ekonomi
Krisis moneter yang menimpa dunia dan Asia Tenggara telah merembet ke Indonesia, sejak Juli
1997, Indonesia mulai terkena krisis tersebut. Nilai rupiah terhadap dollar Amerika terus
menurun. Akibat krisis tersebut, banyak perusahaan ditutup, sehingga banyak pengangguran
dimana-mana, jumlah kemiskinan bertambah. Selain itu, daya beli menjadi rendah dan sulit
mencari bahan-bahan kebutuhan pokok.
Sejalan dengan itu, pemerintah melikuidasi bank-bank yang bermasalah serta mengeluarkan
KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) untuk menyehatkan bank-bank yang ada di bawah
pembinaan BPPN. Dalam praktiknya, terjadi manipulasi besar-besaran dalam KLBI sehingga
pemerintah harus menanggung beban keuangan yang semakin besar. Selain itu, kepercayaan
dunia internasional semakin berkurang sejalan dengan banyaknya perusahaan swasta yang tak
mampu membayar utang luar negeri yang telah jatuh tempo. Untuk mengatasinya, pemerintah
membentuk tim ekonomi untuk membicarakan utang-utang swasta yang telah jatuh tempo.
Sementara itu, beban kehidupan masyarakat makin berat ketika pemerintah tanggal 12 Mei 1998
mengumumkan kenaikan BBM dan ongkos angkutan. Dengan itu, barang kebutuhan ikut naik
dan masyarakat semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup.
Krisis sosial
Krisis politik dan ekonomi mendorong munculnya krisis dalam bidang sosial. Ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah serta krisis ekonomi yang ada mendorong munculnya perilaku
yang negatif dalam masyarakat. Misalnya: perkelahian antara pelajar, budaya menghujat,
narkoba, kerusuhan sosial di Kalimantan Barat, pembantaian dengan isu dukun santet di
Banyuwangi dan Boyolali serta kerusuhan 13-14 Mei 1998 yang terjadi di Jakarta dan Solo.
Akibat kerusuhan di Jakarta dan Solo tanggal 13, 14, dan 15 Mei 1998, perekonomian kedua
kota tersebut lumpuh untuk beberapa waktu karena banyak swalayan, pertokoan, pabrik dibakar,
dirusak dan dijarah massa. Hal tersebut menyebabkan angka pengangguran membengkak.
Beban masyarakat semakin berat serta tidak ada kepastian tentang kapan berakhirnya krisis

tersebut sehingga menyebabkan masyarakat frustasi. Kondisi tersebut membahayakan karena


mudah diadu domba, mudah marah, dan mudah dihasut untuk melakukan tindakan anarkis.
2. Kronologi mundur/berakhirnya kekuasaan Soeharto:
5 Maret 1998
Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR untuk menyatakan
penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan pada Sidang Umum
MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional. Mereka diterima Fraksi ABRI
11 Maret 1998
Soeharto dan BJ Habibie disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden
14 Maret 1998
Soeharto mengumumkan kabinet baru yang dinamai Kabinet Pembangunan VII.
15 April 1998
Soeharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan kembali ke kampus karena sepanjang bulan
ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi swasta dan negeri melakukan unjukrasa menuntut
dilakukannya reformasi politik.
18 April 1998
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Purn. Wiranto dan 14 menteri
Kabinet Pembangunan VII mengadakan dialog dengan mahasiswa di Pekan Raya Jakarta namun
cukup banyak perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang menolak dialog
tersebut.
1 Mei 1998
Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dachlan
mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003.
2 Mei 1998
Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Soeharto mengatakan reformasi bisa
dilakukan sejak sekarang (tahun 1998).
4 Mei 1998
Mahasiswa di Medan, Bandung dan Yogyakarta menyambut kenaikan harga bahan bakar minyak
(2 Mei 1998) dengan demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi itu berubah menjadi kerusuhan
saat para demonstran terlibat bentrok dengan petugas keamanan. Di Universitas Pasundan
Bandung, misalnya, 16 mahasiswa luka akibat bentrokan tersebut.
5 Mei 1998
Demonstrasi mahasiswa besar besaran terjadi di Medan yang berujung pada kerusuhan.

9 Mei 1998
Soeharto berangkat ke Kairo, Mesir untuk menghadiri pertemuan KTT G -15. Ini merupakan
lawatan terakhirnya keluar negeri sebagai Presiden RI.
12 Mei 1998
Aparat keamanan menembak empat mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi secara damai.
Keempat mahasiswa tersebut ditembak saat berada di halaman kampus.
13 Mei 1998
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi datang ke
Kampus Trisakti untuk menyatakan duka cita. Kegiatan itu diwarnai kerusuhan.
14 Mei 1998
Soeharto seperti dikutip koran, mengatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat
menginginkan. Ia mengatakan itu di depan masyarakat Indonesia di Kairo. Sementara itu
kerusuhan dan penjarahan terjadi di beberapa pusat perbelanjaan di Jabotabek seperti
Supermarket Hero, Super Indo, Makro, Goro, Ramayana dan Borobudur. Beberapa dari
bangunan pusat perbelanjaan itu dirusak dan dibakar. Sekitar 500 orang meninggal dunia akibat
kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi.
15 Mei 1998
Soeharto tiba di Indonesia setelah memperpendek kunjungannya di Kairo. Ia membantah telah
mengatakan bersedia mengundurkan diri. Suasana Jakarta masih mencekam. Toko-toko banyak
ditutup. Sebagian warga pun masih takut keluar rumah.
16 Mei 1998
Warga asing berbondong-bondong kembali ke negeri mereka. Suasana di Jabotabek masih
mencekam.
19 Mei 1998
Soeharto memanggil sembilan tokoh Islam seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid,
Malik Fajar, dan KH Ali Yafie. Dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir 2,5 jam
(molor dari rencana semula yang hanya 30 menit) itu para tokoh membeberkan situasi terakhir,
dimana eleman masyarakat dan mahasiswa tetap menginginkan Soeharto mundur.
Permintaan tersebut ditolak Soeharto. Ia lalu mengajukan pembentukan Komite Reformasi. Pada
saat itu Soeharto menegaskan bahwa ia tak mau dipilih lagi menjadi presiden. Namun hal itu
tidak mampu meredam aksi massa, mahasiswa yang datang ke Gedung MPR untuk berunjukrasa
semakin banyak.
Sementara itu Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional untuk
memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
20 Mei 1998
Jalur jalan menuju Lapangan Monumen Nasional diblokade petugas dengan pagar kawat berduri
untuk mencegah massa masuk ke komplek Monumen Nasional namun pengerahan massa tak jadi

dilakukan. Pada dinihari Amien Rais meminta massa tak datang ke Lapangan Monumen
Nasional karena ia khawatir kegiatan itu akan menelan korban jiwa. Sementara ribuan
mahasiswa tetap bertahan dan semakin banyak berdatangan ke gedung MPR / DPR. Mereka
terus mendesak agar Soeharto mundur.
21 Mei 1998
Di Istana Merdeka, Kamis, pukul 09.05 Soeharto mengumumkan mundur dari kursi Presiden dan
BJ. Habibie disumpah menjadi Presiden RI ketiga.
3. Indonesia masa pemerintahan B.J. Habibie:
Kebijakan-kebijakan pada masa Habibie:
Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan
Dibentuk tanggal 22 Mei 1998, dengan jumlah menteri 16 orang yang merupakan perwakilan
dari Golkar, PPP, dan PDI.
Mengadakan reformasi dalam bidang politik
Habibie berusaha menciptakan politik yang transparan, mengadakan pemilu yang bebas, rahasia,
jujur, adil, membebaskan tahanan politik, dan mencabut larangan berdirinya Serikat Buruh
Independen.
Kebebasan menyampaikan pendapat.
Kebebasan menyampaikan pendapat diberikan asal tetap berpedoman pada aturan yang ada yaitu
UU No.9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Refomasi dalam bidang hukum
Target reformasinya yaitu subtansi hukum, aparatur penegak hukum yang bersih dan berwibawa,
dan instansi peradilan yang independen. Pada masa orde baru, hukum hanya berlaku pada rakyat
kecil saja dan penguasa kebal hukum sehingga sulit bagi masyarakat kecil untuk mendapatkan
keadilan bila berhubungan dengan penguasa.
Mengatasi masalah dwifungsi ABRI
Jendral TNI Wiranto mengatakan bahwa ABRI akan mengadakan reposisi secara bertahap sesuai
dengan tuntutan masyarakat, secara bertahap akan mundur dari area politik dan akan
memusatkan perhatian pada pertahanan negara. Anggota yang masih menduduki jabatan
birokrasi diperintahkan untuk memilih kembali kesatuan ABRI atau pensiun dari militer untuk
berkarier di sipil. Dari hal tersebut, keanggotaan ABRI dalam DPR/MPR makin berkurang dan
akhirnya ditiadakan.
Mengadakan sidang istimewa
Sidang tanggal 10-13 November 1998 yang diadakan MPR berhasil menetapkan 12 ketetapan.
Mengadakan pemilu tahun 1999
Pelaksanaan pemilu dilakukan dengan asas LUBER (langsung, bebas, rahasia) dan JURDIL
(jujur dan adil).

Masalah yang ada yaitu ditolaknya pertanggung jawaban Presiden Habibie yang disampaikan
pada sidang umum MPR tahun1999 sehingga beliau merasa bahwa kesempatan untuk
mencalonkan diri sebagai presiden lagi sangat kecil dan kemudian dirinya tidak mencalonkan
diri pada pemilu yang dilaksanakan.
4. Indonesia masa pemerintahan Abdurrahman Wahid:
Kebijakan-kebijakan pada masa Gus Dur:
Meneruskan kehidupan yang demokratis seperti pemerintahan sebelumnya (memberikan
kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat minoritas, kebebasan beragama,
memperbolehkan kembali penyelenggaraan budaya tiong hua).
Merestrukturisasi lembaga pemerintahan seperti menghapus departemen yang dianggapnya
tidak efesien (menghilangkan departemen penerangan dan sosial untuk mengurangi pengeluaran
anggaran, membentuk Dewan Keamanan Ekonomi Nasional).
Ingin memanfaatkan jabatannya sebagai Panglima Tertinggi dalam militer dengan mencopot
Kapolri yang tidak sejalan dengan keinginan Gus Dur.
Masalah yang ada:
Gus Dur tidak mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan TNI-Polri.
Masalah dana non-budgeter Bulog dan Bruneigate yang dipermasalahkan oleh anggota DPR.
Dekrit Gus Dur tanggal 22 Juli 2001 yang berisikan pembaharuan DPR dan MPR serta
pembubaran Golkar.
Hal tersebut tidak mendapat dukungan dari TNI, Polri dan partai politik serta masyarakat
sehingga dekrit tersebut malah mempercepat kejatuhannya. Dan sidang istimewa 23 Juli 2001
menuntutnya diturunkan dari jabatan.
5. Indonesia masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri:
Kebijakan-kebijakan pada masa Megawati:
Memilih dan Menetapkan
Ditempuh dengan meningkatkan kerukunan antar elemen bangsa dan menjaga persatuan dan
kesatuan. Upaya ini terganggu karena peristiwa Bom Bali yang mengakibatkan kepercayaan
dunia internasional berkurang.
Membangun tatanan politik yang baru
Diwujudkan dengan dikeluarkannya UU tentang pemilu, susunan dan kedudukan MPR/DPR, dan
pemilihan presiden dan wapres.
Menjaga keutuhan NKRI
Setiap usaha yang mengancam keutuhan NKRI ditindak tegas seperti kasus Aceh, Ambon,
Papua, Poso. Hal tersebut diberikan perhatian khusus karena peristiwa lepasnya Timor Timur
dari RI.

Melanjutkan amandemen UUD 1945


Dilakukan agar lebih sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.
Meluruskan otonomi daerah
Keluarnya UU tentang otonomi daerah menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang
pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu, pelurusan dilakukan dengan pembinaan terhadap
daerah-daerah.
Tidak ada masalah yang berarti dalam masa pemerintahan Megawati kecuali peristiwa Bom Bali
dan perebutan pulan Ligitan dan Sipadan.
6. Indonesia masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono:
Kebijakan-kebijakan pada masa SBY:
Anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 20% dari keseluruhan APBN.
Konversi minyak tanah ke gas.
Memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Pembayaran utang secara bertahap kepada badan PBB.
Buy back saham BUMN
Pelayanan UKM (Usaha Kecil Menengah) bagi rakyat kecil.
Subsidi BBM.
Memudahkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Meningkatkan sektor pariswisata dengan mencanangkan Visit Indonesia 2008.
Pemberian bibit unggul pada petani.
Pemberantasan korupsi melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Masalah yang ada:
Masalah pembangunan ekonomi yang ala kadarnya sangat memperihatinkan karena tidak
tampak strategi yang bisa membuat perekonomian Indonesia kembali bergairah. Angka
pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi.
Penanganan bencana alam yang datang bertubi-tubi berjalan lambat dan sangat tidak
profesional. Bisa dipahami bahwa bencana datang tidak diundang dan terjadi begitu cepat
sehingga korban kematian dan materi tidak terhindarkan. Satu-satunya unit pemerintah yang
tampak efisien adalah Badan Sar Nasional yang saat inipun terlihat kedodoran karena sumber
daya yang terbatas. Sementara itu, pembentukan komisi dll hanya menjadi pemborosan yang luar
biasa.
Masalah kepemimpinan SBY dan JK yang sangat memperihatinkan. SBY yang sok kalem dan
berwibawa dikhawatirkan berhati pengecut dan selalu cari aman, sedangkan JK yang sok
profesional dikhawatirkan penuh tipu muslihat dan agenda kepentingan kelompok. Rakyat
Indonesia sudah melihat dan memahami hal tersebut. Selain itu, ketidakkompakan anggota
kabinet menjadi nilai negatif yang besar.
Masalah politik dan keamanan cukup stabil dan tampak konsolidasi demokrasi dan keberhasilan
pilkada Aceh menjadi catatan prestasi. Namun, potensi demokrasi ini belum menghasilkan

sistem yang pro-rakyat dan mampu memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia. Tetapi malah
mengubah arah demokrasi bukan untuk rakyat melainkan untuk kekuatan kelompok.
Masalah korupsi. Mulai dari dasar hukumnya sampai proses peradilan, terjadi perdebatan yang
semakin mempersulit pembersihan Republik Indonesia dari koruptor-koruptor perampok
kekayaan bangsa Indonesia. Misalnya pernyataan JK yang menganggap upaya pemberantasan
korupsi mulai terasa menghambat pembangunan.
Masalah politik luar negeri. Indonesia terjebak dalam politk luar negeri Pahlawan Kesiangan.
Dalam kasus Nuklir Korea Utara dan dalam kasus-kasus di Timur Tengah, utusan khusus tidak
melakukan apa-apa. Indonesia juga sangat sulit bergerak diantara kepentingan Arab Saudi dan
Iran. Selain itu, ikut serta dalam masalah Irak jelas merupakan dikte Amerika Serikat yang
diamini oleh korps Deplu. Juga desakan peranan Indonesia dalam urusan dalam negeri Myanmar
akan semakin menyulitkan Indonesia di masa mendatang. Singkatnya, Indonesia bukan lagi
negara yang bebas dan aktif karena lebih condong ke Amerika Serikat.
7. Dampak reformasi bagi rakyat Indonesia:
Pemerintahan orde baru jatuh dan muncul era reformasi. Namun reformasi dan keterbukaan
tidak diikuti dengan suasana tenang, aman, dan tentram dalam kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Konflik antar kelompok etnis bermunculan di berbagai daerah seperti Kalimantan
Barat. Konflik tersebut dilatarbelakangi oleh masalah-masalah sosial, ekonomi dan agama.
Rakyat sulit membedakan apakah sang pejabat bertindak sebagai eksekutif atau pimpinan partai
politik karena adanya perangkapan jabatan yang membuat pejabat bersangkutan tidak dapat
berkonsentrasi penuh pada jabatan publik yang diembannya.
Banyak kasus muncul ke permukaan yang berkaitan dengan pemberian batas yang tegas pada
teritorial masing-masing wilayah, seperti penerapan otonomi pengelolaan wilayah pengairan.
Pemerintah tidak lagi otoriter dan terjadi demokratisasi di bidang politik (misalnya: munculnya
parpol-parpol baru), ekonomi (misalnya: munculnya badan-badan umum milik swasta, tidak lagi
melulu milik negara), dan sosial (misalnya: rakyat berhak memberikan tanggapan dan kritik
terhadap pemerintah).
Peranan militer di dalam bidang politik pemerintahan terus dikurangi (sejak 2004, wakil militer
di MPR/DPR dihapus).
8. Latar belakang munculnya reformasi:
Bidang politik
Munculnya reformasi di bidang politik disebabkan oleh adanya KKN, ketidakadilan dalam
bidang hukum, pemerintahan orde baru yang otoriter (tidak demokratis) dan tertutup, besarnya
peranan militer dalam orde baru, adanya 5 paket UU serta munculnya demo mahasiswa yang
menginginkan pembaharuan di segala bidang.
Bidang ekonomi
Munculnya reformasi di bidang ekonomi disebabkan oleh adanya sistem monopoli di bidang

perdagangan, jasa, dan usaha. Pada masa orde baru, orang-orang yang dekat dengan pemerintah
akan mudah mendapatkan fasilitas dan kesempatan, bahkan mampu berbuat apa saja demi
keberhasilan usahanya.
Selain itu juga disebabkan oleh krisis moneter. Krisis tersebut membawa dampak yang luas bagi
kehidupan manusia dan bidang usaha. Banyak perusahaan yang ditutup sehingga terjadi PHK
dimana-mana dan menyebabkan angka pengangguran meningkat tajam serta muncul kemiskinan
dimana-mana dan krisis perbankan.
Hal-hal tersebut membuat perlu dilakukannya tindakan-tindakan yang cepat dan tepat untuk
mengatasinya.
Bidang sosial
Krisis ekonomi dan politik pada masa pemerintahan orde baru berdampak pada kehidupan sosial
di Indonesia. Muncul peristiwa pembunuhan dukun santet di Situbondo, perang saudara di
Ambon, peristiwa Sampit, beredar luasnya narkoba, meningkatnya kejahatan, pembunuhan,
pelacuran. Hal tersebut membuat diperlukannya tindakan yang cepat dan tepat.
______________________________________________________________________________
_______________________
Beginilah Masa Reformasi dari tahun 1998 sampai 2004 kemarin, semoga bermanfaat buat para
Pembaca dan bagi kalian yang punya Tugas di sekolah maupun Kuliah
Sekian
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998,
khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali
oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas
Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.

Kerusuhan
Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massaterutama milik
warga Indonesia keturunan Tionghoa[1]. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta,
Bandung, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan
mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut[2][3]. Sebagian bahkan diperkosa beramairamai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga
Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis
relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata
Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh
karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini
digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka
toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi". Sebagian masyarakat
mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9
November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan
berpuncak pada pembunuhan massal yang sistematis atas mereka di hampir seluruh benua Eropa
oleh pemerintahan Jerman Nazi.

Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun


terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah
mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan
atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, namun pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari
ini. Namun demikian umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa
ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama
pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap orang
Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa
yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan
tertentu hingga menyebar ke masyarakat.

Pengusutan dan penyelidikan


Tidak lama setelah kejadian berakhir dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk
menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah laporan yang dikenal dengan "Laporan
TGPF" [4]
Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan, dan pelecehan seksual, TGPF
menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang berdasar penampilannya diduga berlatar
belakang militer[5]. Sebagian pihak berspekulasi bahwa Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto
dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin melakukan pembiaran atau bahkan aktif terlibat
dalam provokasi kerusuhan ini[6][7][8].
Pada 2004 Komnas HAM mempertanyakan kasus ini kepada Kejaksaan Agung namun sampai 1
Maret 2004 belum menerima tanggapan dari Kejaksaan Agung.[9]
Penuntutan Amandemen KUHP

Pada bulan Mei 2010, Andy Yentriyani, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat di Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), meminta supaya dilakukan
amandemen terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Menurut Andy, Kitab UU Hukum
Pidana hanya mengatur tindakan perkosaan berupa penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat
kelamin perempuan. Namun pada kasus Mei 1998, bentuk kekerasan seksual yang terjadi sangat
beragam. Sebanyak 85 korban saat itu (data Tim Pencari Fakta Tragedi Mei 1998), disiksa alat
kelaminnya dengan benda tajam, anal, dan oral. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut belum diatur
dalam pasal perkosaan Kitab UU Hukum Pidana.[10]

Persamaan kebijakan ekonomi pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi.
1.

Sama-sama masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan

Setelah Indonesia Merdeka, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan namun
tetap saja ada terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan. Dalam 26 tahun
masa orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan penduduk daerah
termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan naik lagi menjadi 9,8 (1997). Ketika
reformasi ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi dari 0,29 (2002) menjadi 0,35
(2006).
Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum kaya memperoleh manfaat terbesar dari pertumbuhan
ekonomi yang dikatakan cukup tinggi, namun pada kenyataanya tidak merata terhadap
masyarakat.
2.

Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)

Orde Lama: Walaupun kecil, korupsi sudah ada.


Orde Baru: Hampir semua jajaran pemerintah koruptor (KKN).
Reformasi: Walaupun sudah dibongkar dan dipublikasi di mana-mana dari media massa,media
elektronik,dll tetap saja membantah melakukan korupsi.
Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat yang sulit untuk disembuhkan akibat
praktik-pratik pemerintahan yang manipulatif dan tidak terkontrol.
3.

Pemerintah

Sejak pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini, kewenangan menjalankan anggaran
negara tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau pemimpin yang sangat
kuat dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan mereka seperti manusia setengah
dewa). Namun tiap-tiap masa pemerintahan mempunyai cirinya masing-masing dalam
menjalankan arah kebijakan anggaran negara. Hal ini dikarenakan untuk disesuaikan dengan
kondisi: stabilitas politik, tingkat ekonomi masyarakat, serta keamanan dan ketertiban.
Kebijakan anggaran negara yang diterapkan pemerintah selama ini sepertinya berorientasi pada
ekonomi masyarakat. Padahal kenyataannya kebijakan yang ada biasanya hanya untuk segelintir
orang dan bahkan lebih banyak menyengsarakan rakyat. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang
tidak tepat sasaran, yang hanya menambah beban APBN. Bila diteliti lebih mendalam kebijakankebijakan sejak Orde Baru hingga sekarang hanya bersifat jangka pendek. Dalam arti kebijakan
yang ditempuh bukan untuk perencanaan ke masa yang akan datang, namun biasanya cenderung
untuk mengatur hal-hal yang sedang dibutuhkan saat ini.

Anda mungkin juga menyukai