Disusun oleh:
FAKULTAS EKONOMI
PRODI MANAJEMEN
UNIVERSITAS BINA SARANA INFORMATIKA
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “Perekonomian Indonesia Pada Masa Orde Lama Hingga Era
Reformasi”. Makalah ini berisikan tentang sejarah bangsa Indonesia, khususnya
sejarah Indonesia pada Masa Orde Baru sampai dengan Reformasi, yang
diharapkan makalah ini dapat menambahkan pengetahuan kita semua, bagaimana
kehidupan masyarakat dan sistem pemerintahan dan perekonomian Indonesia
pada masa itu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari dosen dan teman-teman yang bersifat membangun, selalu
kami harapkan demi lebih baiknya makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala
usaha kita.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
2
rumusan kebijaksanaan agar dapat mengambil langkah-langkah penting untuk
mengambil bagian-bagian penting ekonomi dibawah pemilikan dan kontrol
nasional. Tugas yang dihadapi pemerintah baru pada tahun 1950-an adalah untuk
menstabilkan dan mengembangkan perekonomian yang didominasi oleh asing dan
dimiliki sebagian besar oleh pihak swasta. Pada tahun 1952 diperkirakan bahwa
50% dari semua produk konsumsi impor masih dikuasai 4 perusahaan besar
Belanda, dan 60 persen ekspor oleh delapan perusahaan (Van Zaden). Selain itu,
bank-bank swasta sebagian besar berada di tangan tujuh bank asing, tiga
diantaranya adalah milik Belanda.
3
secara serius kaena setiap partai mencoba untuk memperoleh hasilnya dan hanya
sedikit efektik mendorong pertumbuhan kewirausahaan. Banyak pengusaha
indonesia yang menjual lisensinya kepada importir China dan Belada, dan
pengusaha Indonesia hanya berpura-pura tampil di muka berbisnis. Kelompok
perusahaan tersebut biasa di sebut dengan perusahaan “Ali Baba”. Volume ekspor
komoditi-komoditi premier Indonesia mengalami pertumbuhan yang lumayan
pada awal tahun 1950-an, bahkan melebihi tingkat volume yang telah dicapai
pada akhir tahun 1930-an, Indonesia hampir tidak berpartisipasi daam ekspansi
perdagangan dunia yang telah terjadi selama tahun 1950-an dan 1960-an. Bahkan
selama kurun waktu 1953-1966 volume ekspor Indonesia hanya bertumbuh
dengan rata-rata satu persen dalam satu tahun. Merosotnya peranan perdagangan
luar negeri selama awal tahun 1950-an terutama disebabkan oleh karena peralatan
produksi industry-industri ekspor Indonesia telah mengalami banyak kerusakan.
Ini merupakan akibat dari usaha presiden Soekarno yang tidak ingin di bantu oleh
Negara Barat.
4
kota menjadi sangat padat sedangkan daerah-daerah pingggiran menjadi sepi.
Sistem yang dibuat pemerintah untuk mengatur perdangan luar negeri dibuat pada
awal 1950-an dan tarif impor yang tinggi. Dengan adanya kebijakan-kebijakan
baru membuat aktivitas ekspor-ekspor utama berasal dari wilayah pinggiran sepeti
Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau luar lainnya yang memiliki pendapatan
seperti minyak, karet, kopra, timah, tembakau, yang semuanya menjadi terpasung.
Hal yang diakibatkan oleh situasi ini adalah maraknya perdagangan ke pasar
gelap. Apalagi jarak dengan Singapura yang sangat dekat membuat para pedagang
lebih mudah menyelundupkan produk-produk mereka keluar Indonesia dan
kembali dengan barang konsumsi impor ilegal. Dengan mejual produk-produk
mereka ke luar negeri para pedagang mendapatkan harga barang 20 kali lipat
daripada di jual di Jakarta. Walaupun dari sudut pandang politik Soekarno
berhasil menjaga indonesia tetap bersatu atau “Demokrasi Terpimpin” dan
prinsip-prinsip yang menyertai Ekonomi Terpimpin membawa Indonesia pada
salah satu krisis ekonomi paling dramatis dalam sejarah.
5
BAB II
PEMBAHASAN
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu
mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu
pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI,
yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia
Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang;
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk
menutup pintu perdagangan luar negeri RI;
c. Kas negara kosong;
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
a. Pinjaman Nasional;
b. Pemenuhan Kebutuhan Rakyat;
c. Melakukan Konferensi Ekonomi.
2.1.2 Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
7
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem
ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Padahal pengusaha pribumi
masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama
pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi
perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi masalah ekonomi, antara lain sebagai berikut.
Inflasi pada tahun 1966 mencapai 650% dan defisit APBN lebih besar
daripada seluruh jumlah penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar negeri
mengalami defisit yang besar, nilai tukar rupiah tidak stabil (Gilarso, 1986:221),
8
merupakan gambaran singkat betapa hancurnya perekonomian kala itu yang harus
dibangun lagi oleh masa orde baru atau juga bisa dikatakan sebagi titik balik.
Awal masa orde baru menerima beban berat dari buruknya perekonomian
orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi.
Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan
harga. Dengan dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai yang
berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya
IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan
pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).
Repelita dilaksanakan mulai tanggal 1 April 1969. Pembangunan ekonomi pada
masa orde baru diarahkan pada sektor pertanian. Hal itu dikarenakan kurang lebih
55% dari produksi nasional berasal dari sektor pertanian dan juga 75%
pendudukan Indonesia memperoleh penghidupan dari sektor pertanian. Bidang
sasaran pembangunan dalam Repelita, antara lain bidang pangan, sandang,
perbaikan prasarana, rumah rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan
rohani. Jangka waktu pembangunan orde baru dapat dibedakan atas dua macam,
yaitu program pembangunan jangka pendek dan program pembangunan jangka
panjang. Program pembangunan jangka pendek sering disebut pelita
(pembangunan lima tahun), adapun program pembangunan jangka panjang terdiri
atas pembangunan jangka pendek yang saling berkesinabungan. Masa
pembangunan jangka oanjang direncanakan selama 25 tahun. Modernitas
memerlukan sarana, salah satunya dengan pengadaan sarana fisik. Pembangunan
yang dilaksanakan di realisasikan dalam system pembangunan nasional yang
dilaksanakan dengan bentuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA).
2.2.1 PELITA I
2.2.2 PELITA II
a. Tersedianya bahan pangan dan sandang yang cukup dan terjangkau oleh
daya beli masyarakat;
b. Tersedianya bahan-bahan bangunan perumahan terutama bagi kepentingan
masyarakat;
c. Perbaikan dan peningkatan prasarana;
d. Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata;
e. Memperluas kesempatan kerja.
11
Pemerataan memperoleh keadilan.
12
c. Bidang keluarga berencana (KB), menekankan pada pengendalian laju
pertumbuhan penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.
2.2.5 PELITA V
2.2.6 PELITA VI
13
industri menengah, industri kecil, dan industri rakyat. Serta keterkaitan antara
sektor industri dengan skctor ekonomi lainnya. Pelita VI yang diharapkan menjadi
proses lepas landas Indonesia kearah yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal
landas, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun 1997.
Namun, pelaksanaan PPJP II tidak berjalan lancar akibat krisis ekonomi dan
moneter melanda Indonesia. Inflasi yang tinggi akibat krisis ekonomi
menyebabkan terjadinya gejolak social yang mengarah pada pertentangan
terhadap pemerintah orde baru. Kenaikan tarif BBM pada 1997 merupakan awal
gerakan pengkoreksian rakyat dan mahasiswa terhadap pemerintahan orde baru.
Sejak saat itu terjadilah gelombang demonstrasi, kerusuhan, penjarahan, dan
pembakaran di ibu kota Jakarta yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah di
tanah air.
1. Krisis politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari
berbagai kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik
14
yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan dalam kerangka
pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah dalam
rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya.
Artinya, demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi
yang semestinya, melainkan demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi
bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi
yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa. Pada masa Orde Baru, kehidupan
politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap
pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik
yang represif, di antaranya:
2. Krisis hukum
15
bertentangan dengan ketentuan pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan
pemerintah (eksekutif).
3. Krisis ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996
mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi
Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda dunia. Krisis
ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp
2,575.00 menjadi Rp 2,603.00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember
1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp
5,000.00 per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus
melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.00 per dollar Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi,
seperti Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab
terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara,
tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis
ekonomi.
4. Krisis sosial
5. Krisis kepercayaan
16
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto.
Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang
demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan
pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah
melahirkan krisis kepercayaan.
0.45
0.41 0.41 0.413 0.41 0.41
0.380000000
0.4 000001
0.363 0.363 0.37
0.330000000 0.35
0.329000000
0.34
0.35
0.35 0.310000000 000001
000001
0.308 0.3000001
0.3
0.25
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Gambar 1
Rasio Gini Indonesia pada 1999-2015 (sumber: BPS)
Menurut Institute for Development of Economic and Finance (Indef), rasio
gini di Indonesia semenjak era reformasi terus mengalami peningkatan dan pada
tahun 2015 sudah mencapai angka 0.41-0.45. Angka ini sangat memperihatinkan
dan dianggap sudah memasuki fase “Lampu Kuning”, karena apabila rasio gini
sudah mencapai angka 0.5 maka dapat dikatakan sudah memasuki kesenjangan
sosial yang berbahaya bagi kestabilan sebuah negara. Bahkan, beberapa pengamat
ekonomi mengatakan bahwa apabila angka rasio gini sudah mencapai 0.45 maka
tragedi 1998 akan sangat memungkinkan untuk terulang kembali. Selain itu pada
era reformasi terdapat peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Berikut
17
ini data yang telah di olah pada era reformasi terkait peningkatan jumlah
pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.
Gambar 2
Jumlah Pengangguran pada Era Reformasi
Gambar 3
Jumlah Kemiskinan pada Era Reformasi
2.3.3 Hutang Pemerintah Era Reformasi
19
Gambar 4
Utang Pemerintah pada Masa Era Reformasi
Proses akumulasi utang pun terus berlanjut di era Presiden Habibie.
Bahkan, Habibie tercatat sebagai presiden yang membuat utang Indonesia makin
besar hanya dalam waktu singkat. Pada masa kepemimpinannya yang hanya
seusia jagung, kata Dani, Habibie mengakumulasi tambahan utang luar negeri
hingga USD 20 miliar. Warisan utang dari Habibie sekitar USD 178 miliar.
Zaman reformasi tidak berarti Indonesia lepas dari jerat utang. Presiden
Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, sempat menurunkan utang
luar negeri pemerintah sekitar USD 21,1 miliar. Dari USD 178 miliar menjadi
USD 157 miliar. Namun, utang pemerintah secara keseluruhan meningkat.
Sebelum lengser, Gus Dur mewarisi utang sebesar Rp 1.273,18 triliun ke
pemerintahan Megawati.
Di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno putri yang duduk
menjadi orang nomor satu di republik ini setelah Gus Dur lengser. Di masa
Megawati berkuasa, terjadi penurunan jumlah utang melalui penjualan aset-aset
negara. Pada 2001 utang Indonesia sebesar Rp 1.273,18 triliun turun menjadi Rp
1.225,15 triliun pada 2002. Sayangnya, di tahun-tahun berikutnya utang Indonesia
terus meningkat. Pada 2004, total utang Indonesia menjadi Rp 1.299,5 triliun.
Budaya warisan utang berlanjut ke era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Setelah mendapat warisan utang sebesar RP 1.299 triliun, utang Indonesia
justru semakin membengkak menjadi Rp 1.700 triliun di 2009 atau lima tahun
pertama masa kepemimpinan SBY. Catatan positif pada masa kepemimpinan
SBY, Indonesia melunasi utang-utangnya pada dana moneter internasional atau
20
International Monetary Fund (IMF) yang telah menjerat sejak 1997. Pada Oktober
2006, sisa utang pada IMF sebesar USD 3,7 miliar yang harusnya jatuh tempo
pada 2010 telah diselesaikan oleh BI. Sebelumnya, pada Juni 2006, BI juga
membayar utang ke IMF sebesar Rp 3,7 miliar. Jadi, dalam waktu satu tahun
anggaran, sisa utang ke IMF sebesar Rp 7,4 miliar telah dilunasi. Data terbaru,
menjelang berakhirnya masa kepemimpinan SBY di 2014, utang Indonesia
semakin menggunung. Per April 2013, utang pemerintah sudah menembus Rp
2.023 triliun.
2.3.4 Cadangan Devisa Era Reformasi
Gambar 5
Cadangan Devisa pada Era Reformasi
Pada era refomasi cadangan devisa Indonesia mengalami fluktasi dan
peningkatan yang lambat. Namun pada masa kepemimpinan presiden SBY,
cadangan devisa Indonesia mengalami perbaikan yang signifikan dimana
cadangan devisa yang semula 33.8 miliar dolar AS, pada tahun 2008 naik menjadi
69.1 miliar dolar AS.
21
Setelah krisis ekonomi pada tahun 1997, maka laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia turun (-13,16%) pada 1998, bertumbuh sedikit (0,62%) pada tahun
1999 dan setelah itu makin membaik. Laju pertumbuhan tahunan 1999 – 2005
berturut-turut sbb.: 0,62%, 4,6%, 3,83%, 4,38%, 4,88%, 5,13% dan 5,69%.
Ekonomi kita bertumbuh dari hanya 0,62% berangsur membaik pada kisaran 4%
antara tahun 2000 s.d. 2003 dan mulai tahun 2004 sudah masuk pada kisaran 5%.
Pemerintah pada mulanya menargetkan pertumbuhan ekonomi 2006 adalah 6,2%
tetapi kemudian dalam APBN-P 2006 merubah targetnya menjadi 5,8%; namun
BI memperkirakan laju pertumbuhan 2006 adalah 5,5% lebih rendah dari laju
pertumbuhan 2005. Patut diduga bahwa laju pertumbuhan tahun 2007 akan lebih
rendah lagi karena investasi riil tahun 2006 lebih rendah dari tahun 2005.
Laju pertumbuhan ekonomi kita dari tahun 1999 s.d. 2008 mencapai rata-
rata 4,75%. Dari data di atas kelihatannya ekonomi kita memiliki prospek
membaik yaitu terus meningkatnya laju pertumbuhan di masa depan. Namun
apabila diteliti lebih mendalam akan terlihat adanya permasalahan dalam
pertumbuhan ekonomi tersebut. Sektor ekonomi dapat dikelompokkan atas dua
kategori yaitu sektor riil dan sektor non-riil. Sektor riil adalah sektor penghasil
barang seperti: pertanian, pertambangan, dan industri ditambah kegiatan yang
terkait dengan pelayanan wisatawan internasional. Sektor non-riil adalah sektor
lainnya seperti: listrik, bangunan, perdagangan, pengangkutan, keuangan, dan
jasa-jasa (pemerintahan, sosial, perorangan). Kegiatan yang melayani wisatawan
internasional masuk pada beberapa sektor non-riil sehingga tidak dapat
dipisahkan. Antara tahun 1999 s.d. 2005 sektor riil bertumbuh 3,33% sedangkan
sektor non-riil bertumbuh 5,1%. Pertumbuhan ini adalah pincang karena
semestinya sektor non-riil bertumbuh untuk melayani sektor riil yang bertumbuh.
Antara tahun 1999 s.d. 2005 sektor pertanian bertumbuh 3,11%, pertambangan -
0,8%, dan sektor industri bertumbuh 5,12%.
Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah dari tahun 2002 s.d. 2005 laju
pertumbuhan sektor riil cenderung melambat. Hal ini berarti pertumbuhan
ekonomi keseluruhan sejak 2002 adalah karena pertumbuhan sektor non-riil yang
22
melaju 2 kali lipat dari sektor riil. Pada 2 tahun terakhir sektor yang tinggi
pertumbuhannya adalah: pengangkutan, keuangan, bangunan, dan perdagangan.
Pada saat yang sama tingkat pengangguran terbuka pada mulanya turun tetapi
sejak tahun 2002 cenderung naik. Menurut perhitungan Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi tingkat pengangguran pada tahun 2004 sebesar 10,3 juta
meningkat menjadi 11,2 juta pada tahun 2005 dan diperkirakan sebesar 12,2 juta
pada tahun 2006 (Harian Kompas, tgl. 7 Agustus 2006, hal. 15). Hal ini sangat
ironis karena pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu yang sama berada di atas
5%. Persentase orang miskin pada mulanya juga terus menurun, tetapi sejak tahun
2005 sudah mulai bertambah. Hal ini disebabkan oleh sektor yang bertumbuh itu
adalah sektor non-riil
Gambar 6
Pertumbuhan Ekonomi pada Era Reformasi
Pertumbuhan ekonomi memiliki dua sisi: kuantitas dan kualitas. Kuantitas
diukur dalam bentuk % pertumbuhan per tahun, misalnya 5%, 7%, dan
sebagainya. Namun pertumbuhan ekonomi juga memiliki unsur kualitas yaitu
sektor atau komoditas dominan yang menciptakan pertumbuhan itu. Tingkat
pertumbuhan ekonomi dapat di bagi atas beberapa kategori. Menurut Robinson
kategori pertumbuhan ekonomi suatu negara yaitu:
23
Tabel 1
Klasifikasi Pertumbuhan Ekonomi Robinson
Berdasarkan kategori tersebut, maka laju pertumbuhan ekonomi yang terus
menerus rendah sejak era reformasi, pertumbuhan yang tidak berkualitas, kondisi
prasarana yang tidak memadai, rendahnya minat investor untuk menanamkan
modal di sektor riil, serta faktor kondisi global, maka dapat disimpulkan bahwa
ekonomi Indonesia telah terperangkap pada pertumbuhan rendah (low growht
trap). Artinya setelah ada peningkatan laju pertumbuhan 4-5% maka peningkatan
menjadi tersendat. Hal ini berarti kedepan, laju pertumbuhan ekonomi akan tetap
rendah, tingkat pengangguran terbuka tetap tinggi, jumlah orang miskin akan tetap
besar dan cenderung makin besar, mayoritas lulusan perguruan tinggi akan
menjadi pengangguran atau terpaksa bekerja pada pekerjaan yang tidak
membutuhkan keahlian sarjana, serta akan sulit untuk dapat keluar dari perangkap
tersebut.
24
Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan
Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi.
Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan
kebebasan berekspresi. Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar
rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp. 10.000 - Rp. 15.000. Namun
pada akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak
MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp. 6.500 per dolar AS nilai
yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia
juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus
mengurusi perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan
ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
25
pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun
2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju
pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan
tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter
di dalam negeri sudah mulai stabil.
26
tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut
oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa
Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit
keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar
kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang.
Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru
jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
27
pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis
terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.
a. BI rate;
29
b. Nilai tukar;
c. Operasi moneter;
d. Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan
makroprudensial lalu lintas modal.
30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
32
DAFTAR PUSTAKA
https://sandranilawatyhandayani.wordpress.com/2018/03/28/perkembangan-
ekonomi-indonesia-dari-masa-orde-lama-sampai-reformasi/
https://mrasyidiyahya.blogspot.com/2018/03/perkembangan-ekonomi-indonesia-
dari.html
http://nurulemji.blogspot.com/2014/04/makalah-perekonomian-indonesia-
dari.html
https://www.academia.edu/17084543/Makalah_Perekonomian_Indonesia
http://www.academia.edu/28423401/
ANALISA_KONDISI_PEREKONOMIAN_INDONESIA_ERA_REFORMASI
33