Anda di halaman 1dari 36

TUGAS MAKALAH

PEREKONOMIAN INDONESIA PADA MASA ORDE LAMA


HINGGA ERA REFORMASI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia

Disusun oleh:

Ayi Sukmana (66170019)


Firman (66170030)
Thomi Alhakim (66170096)

FAKULTAS EKONOMI
PRODI MANAJEMEN
UNIVERSITAS BINA SARANA INFORMATIKA
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “Perekonomian Indonesia Pada Masa Orde Lama Hingga Era
Reformasi”. Makalah ini berisikan tentang sejarah bangsa Indonesia, khususnya
sejarah Indonesia pada Masa Orde Baru sampai dengan Reformasi, yang
diharapkan makalah ini dapat menambahkan pengetahuan kita semua, bagaimana
kehidupan masyarakat dan sistem pemerintahan dan perekonomian Indonesia
pada masa itu.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari dosen dan teman-teman yang bersifat membangun, selalu
kami harapkan demi lebih baiknya makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala
usaha kita.

Bandung, 19 November 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 5
1.3 Tujuan .............................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 6
2.1 Perekonomian Indonesia pada Masa Orde Lama .............................. 6
2.2 Perekonomian Indonesia pada Masa Orde baru ................................ 8
2.3 Perekonomian Indonesia pada Era Reformasi ................................ 14
2.4 Perekonomian Indonesia pada Masa Pemerintah B.J. Habibie hingga
Susilo Bambang Yudhoyono .......................................................... 23
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 30
3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 30
3.2 Saran ............................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 32

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setelah berakhirnya Pemerintahan Belanda dan mengakui secara resmi


kemerdekaan Indonesia, selama dekade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965
Indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di
sejumlah daerah seperti di Sumatera dan Sulawesi. Akibatnya selama
Pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, selain
laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak 1958, dari tahun ke tahun
defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) terus membesar selain itu selama orde lama, kegiatan
produksi di sektor pertanian dan industri manufaktur berada pada tingkat yang
sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur
pendukung. Baik nonfisik maupun fisik seperti pendanaan dari bank.

Dalam era demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno menjalankan Sistem


Ekonomi Terpimpin. Dalam sistem ekonomi ini, Presiden secara langsung terlibat
dan mengatur perekonomian. Seluruh kegiatan perekonomian terpusat pada
Pemerintah Pusat. Akibatnya, kegiatan perekonomian di daerah menjadi
terganggu dan menurun. Dalam era ekonomi terpimpin, Indonesia berulang kali
mengganti desain ekonominya seiring dengan bergantinya kabinet yang sedang
berkuasa. Seperti negara - negara berkembang lain yang baru telepas dari
kekuasaan kolonial, kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi di Indonesia pada awal
tahun 1950-an sebagian besar dibentuk dengan saling mempengaruhi masalah-
masalah sosial dan ekonomi yang objektif yang menghadapkan negara dan
gagasan-gagasan ekonomi dasar dari para perumus kebijaksanaan ekonomi yang
utama. Dihadapkan pada tugas berat mendamaikan kembali kebutuhan mendesak
untuk merehabilitas ekonomi yang mengalami kehancuran secara luas selama
penduduk Jepang dan revolusi, dengan permintaan umum yang kuat untuk
1
mengubah ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional. Ketika Indonesia
menganut ekonomi terpimpin pemerintah menumpuh kebijaksanaan yang
berorientasi ke dalam (Inward-loking police). Kebijaksanaan ini dicirikan oleh
kebijaksanaan “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri), dan kebijaksanaan yang
sangat membatasi, dan kemudian menolak sama sekali penanaman modal asing.

Selama kurun waktu ini perdagangan luar negeri banyak di kendalikan


oleh pemerintah Indonesia, baik karena pertimbangan jangka pendek tentang
neraca pembayaran atau dengan membatasi impor untuk menekan devisit
transaksi berjalan, maupun karena pertimbangan non-ekonomi, yaitu
pertimbangan nasionalisme ekonomi yang dengan tegas melanjutkan “pola
ekonomi kolonial sebelum perang” (preware kolonial pattern) yang sangat
mengandalkan diri pada sektor ekspor komoditi-komoditi primer. Oleh karena itu
terdapat aspirasi yang besar diantara para pemimpin nasional Indonesia untuk
mendorong industrialisasi sebagai jalan terbaik untuk memperluas landasan
ekonomi Indonesia yang pada waktu itu tergantung pada sektor pertanian.
Walaupun pemerintah tidak bersabahat dengan Negara Kapitalis Barat namun
kebijakan pemerintah yang membawa slogan Berdikari justru tetap mengandalkan
bantuan luar negeri, termasuk bantuan Negara Barat. Kebijakan pemerintah tidak
bisa dikatakan sebagai kebijaksanaan berorientasi ke dalam yang murni (pure
inward-loking policies). Bantuan luar negeri yang diperoleh digunakan untuk
membiayai proyek-proyek subtitusi impor yang direncanakan oleh pemerintah
Indonesia. Indonesia menjadi anti negara-negara barat namun berpaling ke
negara-negara Sosialis lainnya di Eropa Timur dan RCC untuk memperoleh
bantuan luar negeri, untuk membeli peralatan perang.

Para perumus kebijaksanaan Indonesia mengambil beberapa langkah


untuk sekurangnya menampung permintaan-permintaan mendesak nasionalisme
ekonomi. Sesuai dengan hasil perjanjian Indonesia-Belanda yang telah disepakati
pada Konferensi Meja Bundar di Deen Hag 1949, kepentingan-kepentingan
Ekonomi Belanda terus mendapat jaminan dari Indonesia, menyusul pengakuan
kemerdekaan Indonesia. Dihadapkan pada situasi seperti ini, Indonesia membuat

2
rumusan kebijaksanaan agar dapat mengambil langkah-langkah penting untuk
mengambil bagian-bagian penting ekonomi dibawah pemilikan dan kontrol
nasional. Tugas yang dihadapi pemerintah baru pada tahun 1950-an adalah untuk
menstabilkan dan mengembangkan perekonomian yang didominasi oleh asing dan
dimiliki sebagian besar oleh pihak swasta. Pada tahun 1952 diperkirakan bahwa
50% dari semua produk konsumsi impor masih dikuasai 4 perusahaan besar
Belanda, dan 60 persen ekspor oleh delapan perusahaan (Van Zaden). Selain itu,
bank-bank swasta sebagian besar berada di tangan tujuh bank asing, tiga
diantaranya adalah milik Belanda.

Kabinet yang di pimpin Natsir dari Partai Masyumi didedikasikan untuk


mengubah situasi ini. Kabinet ini meraih dapuk kekuasaan ketika sesuatu yang
disebut Boom Korea (Korea Boom) tengah kuat-kuatnya berhembus. Perang
Korea mengakibatkan munculnya permintaan ekspor yang meningkat yang
menjadikan sumber pendapatan yang baru untuk pemerintah indonesia. Surplus
yang diperoleh adalah sepenuhnya merupakan hasil dari pendapatan ekspor yang
tinggi, secara langsung melalui bea cukai ekspor dan secara tidak langsung
melalui efek pendapatan yang meningkat dari pajak penghasilan dan bea impor.
Jadi, surplus yang ada merupakan hasil dari sebuah kejutan luar negeri bukan
berasal dari kebijakan fiskal yang telah di formulasikan. Dalam situasi tersebut
kabinet sudah bereaksi dengan meliberalkan impor sebagai cara untuk menjaga
harga-harga domestik tetap rendah, meningkatkan standar kosumsi, dan
mendorong perkembangan perusahaan-perusahaan bumi putera. Pada surplus kali
itu Indonesia mampu mendapatkan surplus mencapai 1.7 triliun. Surplus ini tidak
bertahan lama. Pada tahun 1952 indonesia kembali mengalami defisit anggaran
mencapai 3 triliun.

Untuk mengembangkan kewirausahaan pribumi Indonesia dan meletakkan


kegiatan ekonomi penting dibawah kontrol nasional pada tahun 1950 pemerintah
memperkenalkan Program benteng yang ditujukan untuk memberikan lisensi
impor untuk komoditas komoditas tertentu hanya kepada warga negara Indonesia.
Program ini menimbulkan korupsi skala besar dan mengacaukan praktik politik

3
secara serius kaena setiap partai mencoba untuk memperoleh hasilnya dan hanya
sedikit efektik mendorong pertumbuhan kewirausahaan. Banyak pengusaha
indonesia yang menjual lisensinya kepada importir China dan Belada, dan
pengusaha Indonesia hanya berpura-pura tampil di muka berbisnis. Kelompok
perusahaan tersebut biasa di sebut dengan perusahaan “Ali Baba”. Volume ekspor
komoditi-komoditi premier Indonesia mengalami pertumbuhan yang lumayan
pada awal tahun 1950-an, bahkan melebihi tingkat volume yang telah dicapai
pada akhir tahun 1930-an, Indonesia hampir tidak berpartisipasi daam ekspansi
perdagangan dunia yang telah terjadi selama tahun 1950-an dan 1960-an. Bahkan
selama kurun waktu 1953-1966 volume ekspor Indonesia hanya bertumbuh
dengan rata-rata satu persen dalam satu tahun. Merosotnya peranan perdagangan
luar negeri selama awal tahun 1950-an terutama disebabkan oleh karena peralatan
produksi industry-industri ekspor Indonesia telah mengalami banyak kerusakan.
Ini merupakan akibat dari usaha presiden Soekarno yang tidak ingin di bantu oleh
Negara Barat.

Negara baru seperti Indonesia menghadapi persoalan besar dalam


pemeliharaan infrastruktur, dibutuhkan lebih banyak investasi baru, sementara
berambisi besar dalam hal pendidikan, pemeliharaan kesehatan, dan program
reformasi kesejahteraan lainnya. Satu-satunya item dalam anggaran yang
memungkinkan untuk di pangkas adalah pengeluaran Militer. Seperti negara baru
merdeka lainnya setelah melalui perjuangan kemerdekaan, pengeluaran di bidang
militer meningkat luar biasa, namun suasana yang menjadi tenang kembali
pastinya kemungkinan untuk mengurangi pembiyayaan operasi militer. Hal ini
dilakukan pada saat tahun 1951 - 1955, kemudian setelah itu terdapat peningkatan
kembali. Kebijakan-kebijakan untuk menaikkan kembali anggaran militer tersebut
tidak membuat palemen dan partai politik yang berkuasa menjadi sangat populer
di kalangan militer, dan ketegangan antara mereka dan kelompok mapan politis
seringkali dipicu oleh Soekarno.

Dalam pelaksanaan Ekonomi Terpimpin ini perubahan hanya terjadi di


kota-kota besar sehingga mengakibatkan banyaknya urbanisasi yang terjadi. Kota-

4
kota menjadi sangat padat sedangkan daerah-daerah pingggiran menjadi sepi.
Sistem yang dibuat pemerintah untuk mengatur perdangan luar negeri dibuat pada
awal 1950-an dan tarif impor yang tinggi. Dengan adanya kebijakan-kebijakan
baru membuat aktivitas ekspor-ekspor utama berasal dari wilayah pinggiran sepeti
Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau luar lainnya yang memiliki pendapatan
seperti minyak, karet, kopra, timah, tembakau, yang semuanya menjadi terpasung.
Hal yang diakibatkan oleh situasi ini adalah maraknya perdagangan ke pasar
gelap. Apalagi jarak dengan Singapura yang sangat dekat membuat para pedagang
lebih mudah menyelundupkan produk-produk mereka keluar Indonesia dan
kembali dengan barang konsumsi impor ilegal. Dengan mejual produk-produk
mereka ke luar negeri para pedagang mendapatkan harga barang 20 kali lipat
daripada di jual di Jakarta. Walaupun dari sudut pandang politik Soekarno
berhasil menjaga indonesia tetap bersatu atau “Demokrasi Terpimpin” dan
prinsip-prinsip yang menyertai Ekonomi Terpimpin membawa Indonesia pada
salah satu krisis ekonomi paling dramatis dalam sejarah.

1.2 Rumusan Masalah


 Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia pada masa Orde Lama?
 Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia pada masa Orde Baru?
 Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia pada Era Reformasi?
 Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia pada masa kepempimpinan
B.J. Habibie hingga masa kepemimpian Susilo Bambang Yudhoyono?
1.3 Tujuan

 Untuk mengetahui kondisi perekonomian Indonesia pada masa Orde


Lama.

 Untuk mengetahui kondisi perekonomian Indonesia pada masa Orde Baru.

 Untuk mengetahui kondisi perekonomian Indonesia pada Era Reformasi.


 Untuk mengetahui kondisi perekonomian Indonesia pada masa
kepempimpinan B.J. Habibie hingga masa kepemimpian Susilo Bambang
Yudhoyono.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perekonomian Indonesia pada Masa Orde Lama

Sejak berdirinya negara Republik Indonesia sudah banyak tokoh-tokoh


negara yang saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang tepat bagi
bangsa Indonesia, baik secara individu maupun diskusi kelompok. Tetapi pada
pemerintah orde lama masih belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi negara
Republik Indonesia yang memburuk. Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal
kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh:

a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu
mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu
pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI,
yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia
Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang;
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk
menutup pintu perdagangan luar negeri RI;
c. Kas negara kosong;
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan


ekonomi, antara lain:

a. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh Menteri Keuangan Ir.


Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli
1946;
6
b. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan
kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade
Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia;
c. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh
kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi
yang mendesak, yaitu masalah produksi dan distribusi makanan, masalah
sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan;
d. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari
1947;
e. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948;
f. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan
beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan,
diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat :
sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
2.1.1 Masa Kemerdekaan (1945-1950)

Keadaan ekonomi pada masa awal kemerdekaan dapat dibilang sangat


tidak menggembirakan. Hal itu terjadi karena adanya inflasi yang disebabkan oleh
beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Oktober 1946
Pemerintah RI mengeluarkan ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti
uang Jepang, namun adanya blockade ekonomi oleh Belanda dengan menutup
pintu perdagangan luar negeri mengakibatkan kekosongan kas Negara. Akibatnya
Negara berada dalam kondisi krisis keuangan dan kondisi itu tentu
membahayakan bagi keberlangsungan perekonomian Indonesia pada saat itu.
Dalam menghadapi krisis tersebut, pemerintah menempuh beberapa kebijakan,
yaitu:

a. Pinjaman Nasional;
b. Pemenuhan Kebutuhan Rakyat;
c. Melakukan Konferensi Ekonomi.
2.1.2 Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)

7
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem
ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Padahal pengusaha pribumi
masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama
pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi
perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi masalah ekonomi, antara lain sebagai berikut.

a. Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) pada tanggal


20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat
harga turun;
b. Program Benteng (Kabinet Natsir);
c. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15
Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank
sentral dan bank sirkulasi;
d. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai
Mr Iskak Cokrohadisuryo;
e. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk
pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
2.1.3 Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)

Sebagai akibat dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia


menjalankan sistem Demokrasi Terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia
menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan
sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan
dalam sosial, politik, dan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi
yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan
ekonomi Indonesia.

2.2 Perekonomian Indonesia pada Masa Orde Baru

Inflasi pada tahun 1966 mencapai 650% dan defisit APBN lebih besar
daripada seluruh jumlah penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar negeri
mengalami defisit yang besar, nilai tukar rupiah tidak stabil (Gilarso, 1986:221),

8
merupakan gambaran singkat betapa hancurnya perekonomian kala itu yang harus
dibangun lagi oleh masa orde baru atau juga bisa dikatakan sebagi titik balik.

Awal masa orde baru menerima beban berat dari buruknya perekonomian
orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi.
Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan
harga. Dengan dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai yang
berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya
IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan
pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).
Repelita dilaksanakan mulai tanggal 1 April 1969. Pembangunan ekonomi pada
masa orde baru diarahkan pada sektor pertanian. Hal itu dikarenakan kurang lebih
55% dari produksi nasional berasal dari sektor pertanian dan juga 75%
pendudukan Indonesia memperoleh penghidupan dari sektor pertanian. Bidang
sasaran pembangunan dalam Repelita, antara lain bidang pangan, sandang,
perbaikan prasarana, rumah rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan
rohani. Jangka waktu pembangunan orde baru dapat dibedakan atas dua macam,
yaitu program pembangunan jangka pendek dan program pembangunan jangka
panjang. Program pembangunan jangka pendek sering disebut pelita
(pembangunan lima tahun), adapun program pembangunan jangka panjang terdiri
atas pembangunan jangka pendek yang saling berkesinabungan. Masa
pembangunan jangka oanjang direncanakan selama 25 tahun. Modernitas
memerlukan sarana, salah satunya dengan pengadaan sarana fisik. Pembangunan
yang dilaksanakan di realisasikan dalam system pembangunan nasional yang
dilaksanakan dengan bentuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA).

2.2.1 PELITA I

Pada 1 April 1969 dimulailah pelaksanaan Pelita 1 yaitu pada periode


1969-1974. Pada pelita 1 ini, orde baru menyelesaikan fase stabilitas dan
rehabilitasi sehingga dapat menciptakan keadaan yang stabil. Selama beberapa
tahun, sebelum orde baru keadaan ekonomi mengalami kemerosotan. Pada 1955-
1960 laju inflasi rata-rata 25% per tahun, dalam periode 1960-1965 harga-harga
9
meningkat dengan laju rata-rata 226% per tahun, dan pada 1966 laju inflasi
mencapai puncaknya, yaitu 650% setahun.

Kemerosotan ekonomi tersebut terjadi di segala bidang akibat kepentingan


ekonomi dikorbankan demi kepentingan politik. Pada masa orde baru,
kemerosotan ekonomi dapat dikendalikan. Pada 1976, laju inflasi dapat ditekan
menjadi 120%, atau seperlima dari tahun sebelumnya. Pada 1968, inflasi dapat
ditekan lagi menjadi 85%. Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai, kemudian
dimulailah pelaksanaan pelita 1 pada tahun 1969. Adapun titik berat pelita 1
adalah pada sektor pertanian dan industri yang mendukung sektor pertanian.
Adapun sasaran pelita 1, yaitu meningkatkan pangan, sandang, perbaikan
prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Pelaksanaan pelita 1 termasuk pembiayaannya selalu disetujui DPR dengan
membuat undang-undang sesuai ketentuan UUD 1945.

2.2.2 PELITA II

Pelita 1 berakhir pada 31 Maret 1974, yang telah meletakan dasar-dasar


yang kuat bagi pelaksanaan pelita I. MPR hasil pemilu 1971 secara aklamasi
memilih dan mengangkat kembali Jendral Soeharto sebagai Presiden RI. Selain
itu, MPR hasil pemilu 1971 berhasil pula menyusun GBHN melalui Tap MPR RI
No IV/MPRS/1973. Di dalam GBHN 1973 terdapat rumusan pelita II, yaitu:

a. Tersedianya bahan pangan dan sandang yang cukup dan terjangkau oleh
daya beli masyarakat;
b. Tersedianya bahan-bahan bangunan perumahan terutama bagi kepentingan
masyarakat;
c. Perbaikan dan peningkatan prasarana;
d. Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata;
e. Memperluas kesempatan kerja.

Untuk melaksanakan pelita II, Presiden Soeharto kemudian membentuk


Kabinet Pembangunan II. Program kerja Kabinet Pembangunan II, disebut Sapta
Krida Kabinet Pembangunan II, yang meliputi:
10
a. Meningkatkan stabilitas politik;
b. Meningkatkan stabilitas keamanan;
c. Melanjutkan pelita 1 dan melaksanakan pelita II;
d. Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
e. Melaksanakan pemilihan umum.

2.2.3 PELITA III

Pada 31 Maret 1979, Pelita III mulai dilaksanakan. Titik berat


pembangunan pada pelita III adalah pembangunan sektor pertanian menuju
swasembada pangan yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Sasaran
pokok pelita III diarahkan pada Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur
Pemerataan.

a. Trilogi pembangunan mencakup:


 Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terwujudnya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
 Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
 Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
b. Delapan jalur pemerataan mencakup:
 Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan
perumahan bagi rakyat banyak;
 Pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan dan
kesehatan;
 Pemerataan pembagian pendapatan;
 Pemerataan memperoleh kesempatan kerja;
 Pemerataan mempreoleh kesempatan berusaha;
 Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khusunya
bagi generasi muda dan kaum wanita;
 Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Indonesia;

11
 Pemerataan memperoleh keadilan.

Terpilih menjadi presiden RI untuk kedua kalinya MPR hasil pemilu


membentuk cabinet pembangunan III. Kabinet ini dilantik secara resmi pada 31
Maret 1978. Program Kerja Kabinet Pembangunan III, disebut Sapta Krida
Pembangunan III, yang meliputi:

a. Menciptakan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dnegan


memeratakan hasil pembangunan;
b. Melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
c. Memelihara stabilitas keamanan yang mantap;
d. Menciptakan aparatur Negara yang bersih dan berwibawa;
e. Membina persatuan dan kesatuan bangsa yang kukuh dan dilandasi oleh
penghayatan dan pengamalan pancasila;
f. Melaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia;
g. Mengembangkan politik luar negri yang bebas aktif untuk diabdikan
kepada kepentingan nasional.
2.2.4 PELITA IV

Pelita III berakhir pada 31 Maret 1989 yang dilanjutkan dengan


pelaksanaan Pelita IV yang dimulai 1 April 1989. Untuk ketiga kalinya Jenderal
Soeharto terpilih dan diangkat kembali oleh MPR hasil pemilu. Untuk
melaksanakan Pelita IV, Presiden Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan
IV. Titik berat Pelita IV adalah pembangunan sektor pertanian untuk melanjutkan
usaha-usaha menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin-mesin sendiri, baik untuk mesin-mesin industri ringan
maupun industri berat. Sasaran pokok Pelita IV yaitu sebagai berikut:

a. Bidang politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4 (Pedoman,


Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila);
b. Bidang pendidikan, menekankan pada pemerataan kesempatan belajar dan
meningkatkan mutu pendidikan;

12
c. Bidang keluarga berencana (KB), menekankan pada pengendalian laju
pertumbuhan penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.
2.2.5 PELITA V

Pelita IV berakhir pada 31 Maret 1994 yang dilanjutkan oleh pelaksanaan


Pelita V yang dimulai 1 April 1994. Pelita V ini merupakan pelita terakhir dari
keseluruhan Program Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PPJP 1). Pelita V
merupakan masa tinggal landas untuk memasuki Program Pembangunan Jangka
Panjang Kedua (PPJP II), yang akan dimulai pada pelita VI pada April 1999. Titik
berat Pelita V adalah meningkatkan sektor pertanian untuk memantapkan
swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya serta
sektor industri, khususnya industri yang menghasilkan barang untuk ekspor,
industri yang banyak tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan
industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri menuju terwujudnya
struktur ekonomi yang seimbang antara industri dengan pertanian, baik dari segi
nilai tambah maupun dari segi penyeraan tenaga kerja.

2.2.6 PELITA VI

Pelita V berakhir pada 31 Maret 1999 yang dilanjutkan oleh pelaksanaan


Pelita VI yang dimulai pada 1 April 1999. Pada akhir Pelita V diharapkan akan
mampu menciptakan landasan yang kukuh untuk mengawali pelaksanaan Pelita
VI dan memasuki proses tinggal landas menuju pelaksanaan Program
Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PPJP II) . Titik berat Pelita VI diarahkan
pada pembangunan sektor - sektor ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan
pertanian serta bidang pembangunan lainnya dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia. Sasaran pembangunan industri dalam Rencana Pembangunan Lima
Tahun VI sebagai bagian dari sasaran bidang ekonomi sesuai amanat GBHN 1993
adalah tertata dan mantapnya industri nasional yang mengarah pada penguatan,
pendalaman, peningkatan, perluasan, dan penyebaran industri ke seluruh wilayah
Indonesia, dan makin kukuhnya struktur industri dengan peningkatan keterkaitan
antara industri hulu, industri antara, dan industri hilir serta antara industri besar,

13
industri menengah, industri kecil, dan industri rakyat. Serta keterkaitan antara
sektor industri dengan skctor ekonomi lainnya. Pelita VI yang diharapkan menjadi
proses lepas landas Indonesia kearah yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal
landas, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun 1997.
Namun, pelaksanaan PPJP II tidak berjalan lancar akibat krisis ekonomi dan
moneter melanda Indonesia. Inflasi yang tinggi akibat krisis ekonomi
menyebabkan terjadinya gejolak social yang mengarah pada pertentangan
terhadap pemerintah orde baru. Kenaikan tarif BBM pada 1997 merupakan awal
gerakan pengkoreksian rakyat dan mahasiswa terhadap pemerintahan orde baru.
Sejak saat itu terjadilah gelombang demonstrasi, kerusuhan, penjarahan, dan
pembakaran di ibu kota Jakarta yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah di
tanah air.

2.3 Perekonomian Indonesia pada Era Reformasi


2.3.1 Faktor Penyebab Reformasi

Banyak faktor yang mendorong timbulnya Reformasi pada masa


pemerintahan orba, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan
hukum. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32
tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde
Baru. Pada awal kelahirannya tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak
melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan
yang tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan,
Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan
kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan krisis multidimensional
yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan reformasi, yaitu:

1. Krisis politik

Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari
berbagai kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik

14
yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan dalam kerangka
pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah dalam
rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya.
Artinya, demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi
yang semestinya, melainkan demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi
bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi
yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa. Pada masa Orde Baru, kehidupan
politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap
pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik
yang represif, di antaranya:

 Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah


dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan Republik
Indonesia);
 Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau
demokrasi rekayasa.
 Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan
masyarakat tidak memilikikebebasan untuk mengontrolnya.
 Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga
negara (sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.
 Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto
dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu
merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.

2. Krisis hukum

Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas


pada bidang politik. Dalam bidang hukum, pemerintah melakukan intervensi.
Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan
para penguasa bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan,
hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu

15
bertentangan dengan ketentuan pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan
pemerintah (eksekutif).

3. Krisis ekonomi

Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996
mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi
Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda dunia. Krisis
ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp
2,575.00 menjadi Rp 2,603.00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember
1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp
5,000.00 per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus
melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.00 per dollar Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi,
seperti Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab
terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara,
tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis
ekonomi.

4. Krisis sosial

Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis


sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan
terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu
berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah. Ketimpangan
perekonomian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial.
Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-harga
sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor yang rentan terhadap
krisis sosial.

5. Krisis kepercayaan

16
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto.
Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang
demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan
pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah
melahirkan krisis kepercayaan.

2.3.2 Kesenjangan Sosial Era Reformasi

Pada era reformasi, Indonesia mengalami tingkat kesenjangan sosial yang


meningkat setiap tahunnya. Kesenjangan sosial mengakibatkan jumlah orang
miskin meningkat sehingga koefisien gini juga naik karena setiap orang terkena
dampak pada era reformasi. Namun, orang kaya yang paling terpukul keras oleh
dampak tersebut. Berikut ini rasio koefisien gini pada era reformasi:

0.45
0.41 0.41 0.413 0.41 0.41
0.380000000
0.4 000001
0.363 0.363 0.37
0.330000000 0.35
0.329000000
0.34
0.35
0.35 0.310000000 000001
000001
0.308 0.3000001
0.3

0.25
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015

Gambar 1
Rasio Gini Indonesia pada 1999-2015 (sumber: BPS)
Menurut Institute for Development of Economic and Finance (Indef), rasio
gini di Indonesia semenjak era reformasi terus mengalami peningkatan dan pada
tahun 2015 sudah mencapai angka 0.41-0.45. Angka ini sangat memperihatinkan
dan dianggap sudah memasuki fase “Lampu Kuning”, karena apabila rasio gini
sudah mencapai angka 0.5 maka dapat dikatakan sudah memasuki kesenjangan
sosial yang berbahaya bagi kestabilan sebuah negara. Bahkan, beberapa pengamat
ekonomi mengatakan bahwa apabila angka rasio gini sudah mencapai 0.45 maka
tragedi 1998 akan sangat memungkinkan untuk terulang kembali. Selain itu pada
era reformasi terdapat peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Berikut

17
ini data yang telah di olah pada era reformasi terkait peningkatan jumlah
pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.

Gambar 2
Jumlah Pengangguran pada Era Reformasi

Era reformasi yang menyebabkan berbagai masalah telah meningkatkan


jumlah pengangguran di Indonesia. Tidak hanya itu tingkat kemiskinan akibat
bertambahnya jumlah pengagguran juga mengalami peningkatan yang signifikan.

Gambar 3
Jumlah Kemiskinan pada Era Reformasi
2.3.3 Hutang Pemerintah Era Reformasi

Enam kali pergantian presiden nampaknya belum mampu mengantarkan


Indonesia keluar dari lilitan utang. Bukannya membawa Indonesia keluar dari
utang, masing-masing presiden justru melanjutkan tongkat estafet warisan utang
untuk presiden selanjutnya. Indonesia pun semakin terperangkap dalam kebiasaan
utang. Jangan heran jika Indonesia seakan sulit melepaskan diri dari jerat utang.
Sebab, kebiasaan berutang sudah dimulai sejak republik ini masih seumur jagung.
Pun demikian dengan budaya mewarisi utang yang sudah dimulai sejak Indonesia
18
baru berusia 4 tahun. Presiden Soekarno sempat tak setuju dan membatalkan
warisan utang yang menjadi beban bagi Indonesia. Utang dari pemerintah Hindia
Belanda pun tak seluruhnya dibayar. Tapi bukan berarti Soekarno anti terhadap
utang. Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno juga pernah
berutang ke negara lain. Soekarno pun melanjutkan tradisi pengalihan utang ke
pemerintahan Soeharto. Bung Karno mewarisi utang sekitar USD 2,3 miliar (di
luar utang Hindia Belanda USD 4 miliar).
Saat dilantik sebagai presiden, Soeharto sudah menanggung beban utang
dari Soekarno. Tapi, bukannya melunasi utang sebelumnya, Soeharto yang
berkuasa selama lebih dari 32 tahun justru semakin rajin melakukan pinjaman
baru. Bedanya, Soeharto tidak memilih utang dari negara blok timur, tapi
cenderung ke blok barat dan lembaga asing semisal Bank Dunia dan IMF.
Warisan utang dari Hindia Belanda yang sempat dibatalkan oleh Soekarno, justru
di re-schedule ulang oleh Soeharto pada 1964. Selain mereschedule ulang,
Soeharto juga mendapat komitmen pinjaman baru. Utang di era Soeharto, kata dia
diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi. Mulai dari bangun infrastruktur, bangun
pabrik, industri, dan lain-lain. Tapi yang tidak dilupakan adalah utang di era
Soeharto banyak disebut utang haram karena tidak bisa dipertanggungjawabkan
(korupsi). Data yang ada menyebutkan, rezim orde baru berutang sebesar Rp1.500
triliun yang jika dirata-ratakan selama 32 tahun pemerintahan Soeharto , utang
negara bertambah sekitar Rp 46,88 triliun tiap tahun. Saat dilengserkan pada
1998, Soeharto pun melanjutkan tradisi mewarisi utang ke Presiden Habibie.
Utang luar negeri mencapai USD 53 miliar ditambah utang BLBI yang
dimasukkan sebagai utang dalam negeri. Totalnya, Soeharto mewarisi utang
sekitar USD 171 miliar.

19
Gambar 4
Utang Pemerintah pada Masa Era Reformasi
Proses akumulasi utang pun terus berlanjut di era Presiden Habibie.
Bahkan, Habibie tercatat sebagai presiden yang membuat utang Indonesia makin
besar hanya dalam waktu singkat. Pada masa kepemimpinannya yang hanya
seusia jagung, kata Dani, Habibie mengakumulasi tambahan utang luar negeri
hingga USD 20 miliar. Warisan utang dari Habibie sekitar USD 178 miliar.
Zaman reformasi tidak berarti Indonesia lepas dari jerat utang. Presiden
Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, sempat menurunkan utang
luar negeri pemerintah sekitar USD 21,1 miliar. Dari USD 178 miliar menjadi
USD 157 miliar. Namun, utang pemerintah secara keseluruhan meningkat.
Sebelum lengser, Gus Dur mewarisi utang sebesar Rp 1.273,18 triliun ke
pemerintahan Megawati.
Di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno putri yang duduk
menjadi orang nomor satu di republik ini setelah Gus Dur lengser. Di masa
Megawati berkuasa, terjadi penurunan jumlah utang melalui penjualan aset-aset
negara. Pada 2001 utang Indonesia sebesar Rp 1.273,18 triliun turun menjadi Rp
1.225,15 triliun pada 2002. Sayangnya, di tahun-tahun berikutnya utang Indonesia
terus meningkat. Pada 2004, total utang Indonesia menjadi Rp 1.299,5 triliun.
Budaya warisan utang berlanjut ke era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Setelah mendapat warisan utang sebesar RP 1.299 triliun, utang Indonesia
justru semakin membengkak menjadi Rp 1.700 triliun di 2009 atau lima tahun
pertama masa kepemimpinan SBY. Catatan positif pada masa kepemimpinan
SBY, Indonesia melunasi utang-utangnya pada dana moneter internasional atau
20
International Monetary Fund (IMF) yang telah menjerat sejak 1997. Pada Oktober
2006, sisa utang pada IMF sebesar USD 3,7 miliar yang harusnya jatuh tempo
pada 2010 telah diselesaikan oleh BI. Sebelumnya, pada Juni 2006, BI juga
membayar utang ke IMF sebesar Rp 3,7 miliar. Jadi, dalam waktu satu tahun
anggaran, sisa utang ke IMF sebesar Rp 7,4 miliar telah dilunasi. Data terbaru,
menjelang berakhirnya masa kepemimpinan SBY di 2014, utang Indonesia
semakin menggunung. Per April 2013, utang pemerintah sudah menembus Rp
2.023 triliun.
2.3.4 Cadangan Devisa Era Reformasi

Cadangan devisa merupakan aspek terpenting dalam menyangga


perekonomian suatu negara. Aspek penting disini karena cadangan devisa dapat
digunakan oleh pemerintah untuk menyeimbangkan pembayaran internasional,
menstabilkan nilai tukar suatu negara, serta melakukan pembayaran ke luar
negeri.

Gambar 5
Cadangan Devisa pada Era Reformasi
Pada era refomasi cadangan devisa Indonesia mengalami fluktasi dan
peningkatan yang lambat. Namun pada masa kepemimpinan presiden SBY,
cadangan devisa Indonesia mengalami perbaikan yang signifikan dimana
cadangan devisa yang semula 33.8 miliar dolar AS, pada tahun 2008 naik menjadi
69.1 miliar dolar AS.

2.3.5 Pertumbuhan Ekonomi pada Era Reformasi

21
Setelah krisis ekonomi pada tahun 1997, maka laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia turun (-13,16%) pada 1998, bertumbuh sedikit (0,62%) pada tahun
1999 dan setelah itu makin membaik. Laju pertumbuhan tahunan 1999 – 2005
berturut-turut sbb.: 0,62%, 4,6%, 3,83%, 4,38%, 4,88%, 5,13% dan 5,69%.
Ekonomi kita bertumbuh dari hanya 0,62% berangsur membaik pada kisaran 4%
antara tahun 2000 s.d. 2003 dan mulai tahun 2004 sudah masuk pada kisaran 5%.
Pemerintah pada mulanya menargetkan pertumbuhan ekonomi 2006 adalah 6,2%
tetapi kemudian dalam APBN-P 2006 merubah targetnya menjadi 5,8%; namun
BI memperkirakan laju pertumbuhan 2006 adalah 5,5% lebih rendah dari laju
pertumbuhan 2005. Patut diduga bahwa laju pertumbuhan tahun 2007 akan lebih
rendah lagi karena investasi riil tahun 2006 lebih rendah dari tahun 2005.

Laju pertumbuhan ekonomi kita dari tahun 1999 s.d. 2008 mencapai rata-
rata 4,75%. Dari data di atas kelihatannya ekonomi kita memiliki prospek
membaik yaitu terus meningkatnya laju pertumbuhan di masa depan. Namun
apabila diteliti lebih mendalam akan terlihat adanya permasalahan dalam
pertumbuhan ekonomi tersebut. Sektor ekonomi dapat dikelompokkan atas dua
kategori yaitu sektor riil dan sektor non-riil. Sektor riil adalah sektor penghasil
barang seperti: pertanian, pertambangan, dan industri ditambah kegiatan yang
terkait dengan pelayanan wisatawan internasional. Sektor non-riil adalah sektor
lainnya seperti: listrik, bangunan, perdagangan, pengangkutan, keuangan, dan
jasa-jasa (pemerintahan, sosial, perorangan). Kegiatan yang melayani wisatawan
internasional masuk pada beberapa sektor non-riil sehingga tidak dapat
dipisahkan. Antara tahun 1999 s.d. 2005 sektor riil bertumbuh 3,33% sedangkan
sektor non-riil bertumbuh 5,1%. Pertumbuhan ini adalah pincang karena
semestinya sektor non-riil bertumbuh untuk melayani sektor riil yang bertumbuh.
Antara tahun 1999 s.d. 2005 sektor pertanian bertumbuh 3,11%, pertambangan -
0,8%, dan sektor industri bertumbuh 5,12%.

Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah dari tahun 2002 s.d. 2005 laju
pertumbuhan sektor riil cenderung melambat. Hal ini berarti pertumbuhan
ekonomi keseluruhan sejak 2002 adalah karena pertumbuhan sektor non-riil yang

22
melaju 2 kali lipat dari sektor riil. Pada 2 tahun terakhir sektor yang tinggi
pertumbuhannya adalah: pengangkutan, keuangan, bangunan, dan perdagangan.
Pada saat yang sama tingkat pengangguran terbuka pada mulanya turun tetapi
sejak tahun 2002 cenderung naik. Menurut perhitungan Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi tingkat pengangguran pada tahun 2004 sebesar 10,3 juta
meningkat menjadi 11,2 juta pada tahun 2005 dan diperkirakan sebesar 12,2 juta
pada tahun 2006 (Harian Kompas, tgl. 7 Agustus 2006, hal. 15). Hal ini sangat
ironis karena pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu yang sama berada di atas
5%. Persentase orang miskin pada mulanya juga terus menurun, tetapi sejak tahun
2005 sudah mulai bertambah. Hal ini disebabkan oleh sektor yang bertumbuh itu
adalah sektor non-riil

Gambar 6
Pertumbuhan Ekonomi pada Era Reformasi
Pertumbuhan ekonomi memiliki dua sisi: kuantitas dan kualitas. Kuantitas
diukur dalam bentuk % pertumbuhan per tahun, misalnya 5%, 7%, dan
sebagainya. Namun pertumbuhan ekonomi juga memiliki unsur kualitas yaitu
sektor atau komoditas dominan yang menciptakan pertumbuhan itu. Tingkat
pertumbuhan ekonomi dapat di bagi atas beberapa kategori. Menurut Robinson
kategori pertumbuhan ekonomi suatu negara yaitu:

23
Tabel 1
Klasifikasi Pertumbuhan Ekonomi Robinson
Berdasarkan kategori tersebut, maka laju pertumbuhan ekonomi yang terus
menerus rendah sejak era reformasi, pertumbuhan yang tidak berkualitas, kondisi
prasarana yang tidak memadai, rendahnya minat investor untuk menanamkan
modal di sektor riil, serta faktor kondisi global, maka dapat disimpulkan bahwa
ekonomi Indonesia telah terperangkap pada pertumbuhan rendah (low growht
trap). Artinya setelah ada peningkatan laju pertumbuhan 4-5% maka peningkatan
menjadi tersendat. Hal ini berarti kedepan, laju pertumbuhan ekonomi akan tetap
rendah, tingkat pengangguran terbuka tetap tinggi, jumlah orang miskin akan tetap
besar dan cenderung makin besar, mayoritas lulusan perguruan tinggi akan
menjadi pengangguran atau terpaksa bekerja pada pekerjaan yang tidak
membutuhkan keahlian sarjana, serta akan sulit untuk dapat keluar dari perangkap
tersebut.

2.4 Perekonomian pada Masa Pemerintah B.J. Habibie hingga Susilo


Bambang Yudhoyono
2.4.1 Masa Kepemimpian B.J. Habibie

Pada awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan


pengusaha dan investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar
terhadap kemampuan dan kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan
kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada
di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN), supremasi hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Tragedi Trisakti, peranan
ABRI di dalam politik, dan lainnya.

24
Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan
Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi.
Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan
kebebasan berekspresi. Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar
rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp. 10.000 - Rp. 15.000. Namun
pada akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak
MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp. 6.500 per dolar AS nilai
yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia
juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus
mengurusi perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan
ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui


pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit
Pengelola Aset Negara;
2. Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah;
3. Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp.
10.000,00;
4. Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar
negeri;
5. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF;
6. Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan yang Tidak Sehat;
7. Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

Pemerintahan presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi


belum melakukan manuver - manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi.
Kebijakan - kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.

2.4.2 Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999


kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju

25
pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun
2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju
pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan
tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter
di dalam negeri sudah mulai stabil.

Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia


keempat tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan
mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku
bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungannya
semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan
dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan
reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden
tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat
Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden
terancam akan diturunkan dari jabatannya jika usulan percepatan Sidang
Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001

Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di


dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial
yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan
Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi
demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya
mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite
politik semakin besar. Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah
pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena
masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan
otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari
luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak
tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya
kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat

26
tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut
oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa
Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit
keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar
kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang.
Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru
jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.

Ketidakstabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut selama


pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia.
Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan
IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi
enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia.
Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi
cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga
pemeringkat internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan
bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator
ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik
dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard & Poors) menurunkan
prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif. Jika kondisi seperti ini
terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami
pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif.
Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will)
untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for
all. Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan
menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU
Bank Indonesia, desentralisasi fiskal, restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan
Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan
inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan
KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas

27
pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis
terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.

Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa


indikator ekonomi. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30
Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan growth trend yang negatif. Dalam
perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin
yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan
pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan
semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek
perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek.

2.4.3 Masa Kepemimpinan Megawati (23 Juli 2001-20 Oktober 2004)

Masa kepemimpinan Megawati mengalami masalah-masalah yang


mendesak yang harus diselesaikan yaitu pemulihan ekonomi dan penegakan
hokum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasai persoalan-
persoalan ekonomi antara lain:

1. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada


pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar
negeri sebesar Rp 116.3 triliun;
2. Kebijakan privatisasi BUMN.

Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis


dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan
politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu
banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Megawati bermaksud mengambil jalan tengah dengan menjual beberapa asset
Negara untuk membayar hutang luar negeri. Akan tetapi, hutang Negara tetap saja
menggelembung karena pemasukan Negara dari berbagai asset telah hilang dan
pendapatan Negara menjadi sangat berkurang.

2.4.4 Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)


28
1. Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I Era SBY-JK Tahun 2004-2009

Kabinet Indonesia Bersatu adalah kabinet pemerintahan Indonesia diatas


kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden
Muhammad Jusuf Kalla. Kabinet ini dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa
baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono
melakukan perombakan kabinet untuk pertama kalinya, dan setelah melakukan
evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya, Presiden melakukan
perombakan kedua pada 7 Mei 2007. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu pada
awal pembentukan (21 Oktober 2004), perombakan pertama (7 Desember 2005),
dan perombakan kedua (9 Mei 2007)

Pada periode ini, pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang


dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya Bantuan
Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya,
program - program ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih
banyak kekurangan disana-sini.

2. Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II era SBY-BOEDIONO Tahun


2009-2014

Kabinet Indonesia Bersatu II adalah kabinet pemerintahan Indonesia diatas


kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden
Boediono. Susunan kabinet ini berasal dari usulan partai politik pengusul
pasangan SBY - Boediono pada Pilpres 2009 yang mendapatkan kursi di DPR
(Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB) ditambah Partai Golkar yang
bergabung setelahnya, tim sukses pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009,
serta kalangan profesional. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II diumumkan
oleh Presiden SBY pada 21 Oktober 2009 dan dilantik sehari setelahnya. Pada 19
Mei 2010, Presiden SBY mengumumkan pergantian Menteri Keuangan. Pada
periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat
kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu:

a. BI rate;
29
b. Nilai tukar;
c. Operasi moneter;
d. Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan
makroprudensial lalu lintas modal.

Dengan kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat


meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada
meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kinerja Pemerintahan SBY
tak terasa sudah 1 tahun pemerintahan SBY jilid II berjalan, namun masih saja
dianggap gagal serta mendapat rapor merah dari beberapa kalangan. Perolehan
suara 60 % dalam Pilpres 2009 dan mendapat dukungan mayoritas di parlemen
ternyata belum bisa dioptimalkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan
Boediono untuk melakukan langkah-langkah yang konkrit dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

30
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sejak berdirinya negara Republik Indonesia sudah banyak tokoh-tokoh


negara yang saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang tepat bagi
bangsa Indonesia, baik secara individu maupun diskusi kelompok. Tetapi pada
pemerintah orde lama masih belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi negara
Republik Indonesia yang memburuk. Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal
kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh inflasi yang sangat tinggi,
adanya blokade ekonomi oleh Belanda, kas negara yang kosong dan adanya
eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan. Awal masa orde baru menerima
beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan
tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk
menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi,
stabilitas politik tercapai yang berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang
mulai terjamin dengan adanya IGGI.

Perekonomian Indonesia pada era reformasi di timbulkan oleh beberapa


faktor yang berujung pada krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum
lahirnya gerakan reformasi. Faktor tersebut antara lain krisis ekonomi, krisis
politik, krisis sosial, krisis hukum dan krisis kepercayaan. Reformasi di Indonesia
berdampak paling dominan dari segi sosial dan ekonomi. Dari segi sosial melalui
era reformasi terjadi kesenjangan sosial yang cukup signifikan. Hal ini tercermin
dari perubahan rasio koefisien gini yang semakin menunjukan trend peningkatan
sehingga berdampak pada peningkatan jumlah kemiskinan dan pengangguran.
Sedangkan dari segi ekonomi, era reformasi membawa kondisi ekonomi Indonesia
mengalami fluktasi yang signifikan yang tercermin dari tingkat pertumbuhan
ekonomi, utang pemerintah dan cadangan devisa negara.
31
3.2 Saran

Perekonomian Indonesia sejak pemerintahan masa orde lama hingga masa


reformasi masih mengalami beberapa gejolak. Perekonomian Indonesia masih
jatuh bangun. Hal itu dapat dilihat dari kemiskinan yang masih mengalami
peningkata dari tahun ke tahun, pengangguran berada pada tingkat tinggi
dikarenakan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan
jumlah angkatan kerja yang ada, maraknya para koruptor karena hukuman yang
berlaku di negeri ini kurang tegas, masih terlihatnya kesenjangan ekonomi antara
penduduk yang miskin dan yang kaya, serta masih memiliki hutang ke luar negeri.

Era reformasi mengajarkan kepada Indonesia khususnya generasi muda


mengenai perjalanan panjang perekonomian di Indonesia. Sebagai generasi
penerus bangsa, kita harus ikut berjuang dalam lebih mensejahterakan Indonesia,
khususnya dalam bidang ekonomi. Mengingat bagaimana sejarah pergolakan
perekonomian kita yang megalami fluktasi signifikan, seharusnya sekarang kita
sudah mulai memikirkan untuk mengantisipasi pasar bebas yang akan terjadi
nanti. Cara yang dapat dilakukan dengan membekali diri dengan sertifikasi
kompetensi keahlian sehingga memiliki keunggulan bersaing dalam membangun
perekonomian Indonesia.

32
DAFTAR PUSTAKA

https://sandranilawatyhandayani.wordpress.com/2018/03/28/perkembangan-
ekonomi-indonesia-dari-masa-orde-lama-sampai-reformasi/

https://mrasyidiyahya.blogspot.com/2018/03/perkembangan-ekonomi-indonesia-
dari.html

http://nurulemji.blogspot.com/2014/04/makalah-perekonomian-indonesia-
dari.html

https://www.academia.edu/17084543/Makalah_Perekonomian_Indonesia

http://www.academia.edu/28423401/
ANALISA_KONDISI_PEREKONOMIAN_INDONESIA_ERA_REFORMASI

33

Anda mungkin juga menyukai