Anda di halaman 1dari 18

Profesi Etika Kedokteran dalam Komunikasi Dokter-Pasien

Novella Ruana Fista Hamady


102014197 / E3
Email: vella.hamady28@gmail.com
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Jl. Arjuna Utara No 6 Jakarta 11510. Telephone: (021) 5694-2061, fax: (021) 563-1731

SKENARIO 6

Seorang pasien bayi dibawa orangtuanya datang ke tempat praktek dokter A, seorang
dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter obsgyn B sewaktu
melahirkan dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter B maupun C tidak pernah
mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat disana.
Sepuluh hari pasca lahir orangtua bayi menemukan benjolan di pundak kanan bayi.

Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai penunjangnya,
pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah berbentuk khalus. Kepada
dokter A mereka meminta kepastian apakah benar terjadi patah tulang klavikula dan kapan kira-
kira terjadinya. Bila benar bahwa patah tulang terssebut terjadi sewaktu kelahiran, mereka akan
menuntut dokter B karena telah mengakibatkan patah tulang dan dokter C karena lalai tidak
dapat mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompoten sehingga
sebaiknya ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A berpikir apa yang sebaiknya ia
katakan.

PENDAHULUAN

Beberapa tahun terakhir ini kasus penututan terhadap dokter atas dugaan adanya kelalaian
medis semakin meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Seirama dengan itu telah
tercatat jumlah kasus pengaduan dugaan pelanggaran etika kedokteran yang diajurkan ke MKEK
juga meningkat. MKEK IDI Wilayah DKI yang pada tahun - tahun sebelum 1999 hanya
melayani 7 - 13 kasus pertahun, melayani 15 - 25 kasus pertahun pada tahun 2000 hingga 2004.
Di Jakarta sendiri setiap tahun terdapat beberapa kasus kelalaian dokter yang diajukan ke
pengadilan. Jumlah tuntutan ganti rugi berkisar antara puluhan juta rupiah hingga 100 milyar

1
rupiah. Bahkan akhir - akhir ini juga terdapat beberapa kasus tersebut yang mengakibatkan
kematian yang menyangkut dokter atau petugas rumah sakit.1,2

1. PRINSIP ETIKA KEDOKTERAN

PRINSIP-PRINSIP ETIKA PROFESI :


1. Tanggung jawab
 Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
 Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada
umumnya.
2. Keadilan untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.
3. Otonomi menuntut agar setiap kaum profesional diberi kebebasan menjalankan
profesinya1.
PERANAN ETIKA DALAM PROFESI:
1. Suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama
kerana nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja,
tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga
sampai pada suatu bangsa.
2. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam
pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama
anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian
karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi)
dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
3. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para
anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati
bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada
masyarakat profesi tersebut2.
TUJUAN KODE ETIK PROFESI :
1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.

2
4. Untuk meningkatkan mutu profesi.
5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat3.
PRINSIP-PRINSIP MORAL :
Praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-
prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam
menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi
moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis.
Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang
etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti :
 Autonomy: menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak
membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya. Autonomy
mempunyai ciri-ciri :
 Menghargai hak menentukan nasib sendiri
 Berterus terang Menghargai privasi
 Menjaga rahasia pasien
 Melaksanakan Informed Consent3

 Beneficence: melakukan tindakan untuk kebaikan pasien. Ciri ciri dari beneficence:

 Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak hanya


menguntungkan seorang dokter
 Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan
suatu keburukannya
 Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
 Memaksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
 Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
 Menerapkan golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti yang
orang lain inginkan

3
 Memberikan suatu resep obat
 Mengutamakan altruisme3,4
 Non maleficence: tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien. Ciri ciri prinsip
ini adalah:
 Menolong pasien emergensi
 Mengobati pasien yang luka
 Tidak membunuh pasien
 Tidak memandang pasien sebagai objek
 Melindungi pasien dari serangan
 Manfaat pasien lebih banyak dari pada kerugian dokter
 idak membahayakan pasien karena kelalaian
 Tidak melakukan White Collar Crime dalam bidang kesehatan
 Justice: bersikap adil dan jujur. terhadap untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien
tersebut. Ciri ciri prinsip ini adalah:
 Memberlakukan segala sesuatu secara universital
 Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan    
 Menghargai hak sehat pasien
 Menghargai hak hukum pasien.2,3

Kode Etik Kedokteran

Kewajiban Umum

 Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
 Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi.
 Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu
yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
 Pasal 4

4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
 Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya
diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
 Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.
 Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
 Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
 Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter
atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien
 Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
 Pasal 7d
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
 Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat
dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
 Pasal 9

5
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya
serta masyarakat, harus saling menghormati3.

Kewajiban Dokter Terhadap Pasien


 Pasal 10
Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya
untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
 Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan
dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
 Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
 Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat


 Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
 Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan persetujuan
atau berdasarkan prosedur yang etis.

Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri


 Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
 Pasal 17

6
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.

HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
Hubungan dokter-pasien merupakan tunjang praktek kedokteran dan asas kepada etika
kedokteran. Deklarasi Geneva menyatakan bahwa seorang dokter harus meletakkan kesehatan
pasiennya sebagai perkara yang paling utama. Kode Etik Medis Internasional pula menyatakan
bahwa seorang dokter wajib memberikan pelayanan terbaik sesuai sarana yang tersedia atas
kepercayaan yang telah diberikan pasien kepadanya. Prinsip utama moral profesi adalah
autonomy, beneficence, non maleficence dan justice. Prinsip turunannya pula adalah veracity
(memberikan keterangan yang benar), fidelity (kesetiaan), privacy, dan confidentiality (menjaga
kerahasiaan).

Hubungan dokter-pasien pada awalnya merupakan hubungan paternalistic dengan


memegang prinsip beneficence sebagai prinsip utama. Namun cara ini dikatakan mengabaikan
hak autonomy pasien sehingga sekarang lebih merujuk kepada teori social contract dengan
dokter dan pasien sebagai pihak bebas yang saling menghargai dalam membuat keputusan.
Dokter bertanggungjawab atas segala keputusan teknis sedangkan pasien memegang kendali
keputusan penting terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien.

Hubungan dokter-pasien yang baik memerlukan kepercayaan. Maka, dengan memegang


pada dasar kepercayaan pasien terhadap dokter yang merawatnya, seorang dokter tidak boleh
menjalin hubungan di luar bidang profesinya dengan pasien yang sedang dirawat1.

MENGHORMATI DAN PELAYANAN SAMA RATA

Isu hak sama rata merupakan suatu hal yang rumit buat dokter. Menuruk Deklarasi
Geneva, dokter tidak boleh mendiskriminasi pasien baik secara umur, penyakit, ras, jenis
kelamin, kewarganegaraan, orientasi seksual, maupun status social. Tetapi pada masa yang sama
dokter juga dibenarkan untuk menolak pasien yang datang kepadanya kecuali pada kasus gawat
darurat dengan alasan kurang kemahiran dan penyakit pasien bukan di dalam bidang kompetensi
nya.

7
Dokter juga harus menyadari bahwa perilaku terhadap pasien turut berpengaruh dalam
hubungan dokter-pasien untuk mewujudkan kepercayaan dalam diri pasien kepada dokternya.
Dokter juga tidak boleh meninggalkan pasien di bawah jagaannya sehingga Kode Etika Medis
Internasional dari World Medical Association(WMA) menyatakan bahwa dokter hanya boleh
“meninggalkan” pasiennya dengan cara merujuk pasien ke dokter lain apabila tindakan lanjut
yang diperlukan adalah di luar bidang kompetensinya.

Selain itu, dokter juga tidak dibenarkan untuk menolak pelayanan kesehatan terhadap
pasien dengan HIV/AIDS. Ini karena menurut WMA, pasien dengan HIV/AIDS harus
diperlakukan seperti pasien lain dan dokter hanya boleh melepaskan tanggungjawabnya melalui
rujukan ke dokter lain yang lebih kompeten1.

KOMUNIKASI DAN CONSENT

Informed consent merupakan alat paling penting dalam hubungan dokter-pasien pada
masa kini. Informed consent yang benar harus disertai dengan komunikasi baik antara dokter
dan pasien. Keterangan yang dapat diberikan kepada pasien sebelum mendapatkan informed
consent termasuklah menerangkan diagnosis penyakit, prognosis dan pilihan pengobatan
penyakit. Perlu juga kebaikan dan keburukan masing-masing tindakan yang bakal dilakukan.

Informed consent harus memuatkan pilihan untuk pasien menerima atau menolak
tindakan medic yang bakal dilakukan dokter selain mencantumkan pilihan terapi lain. Pasien
yang kompeten boleh memilih untuk menolak tindakan medik walaupun tanpa tindakan ini dapat
mengancam nyawa pasien. Terdapat dua kondisi di mana informed consent dikecualikan yaitu:

1. Pasien menyerahkan sepenuhnya keputusan tindakan medik terhadap dirinya kepada


dokter. Apabila pasien menyerahkan semua keputusan kepada dokter yang merawatnya,
dokter tetap harus menerangkan secara lengkap tindakan yang bakal dilakukan.
2. Keadaan apabila pemberitahuan tentang kondisi penyakit pasien dapat berdampak besar
terhadap pasien secara fisik, psikologis dan emosional. Contohnya adalah apabila pasien
cenderung untuk membunuh diri apabila mengetahui tentang penyakitnya. Namun,
dokter pada awalnya harus menganggap bahwa semua pasien dapat menerima berita
tentang penyakitnya dan memberikan informasi selengkapnya sesuai dengan hak pasien3.

INFORMED CONSENT UNTUK PASIEN INKOMPETEN

8
Pasien inkompeten adalah mereka yang tidak mampu membuat keputusan untuk diri
mereka sendiri seperti anak, individu dengan gangguan psikologi atau neurologi berat dan pasien
yang tidak sadar. Mengikut WMA Declaration on the Rights of the Patients, apabila pasien tidak
mampu membuat keputusan untuk dirinya sendiri, perlulah mendapat kebenaran dari wakilnya.
Apabila tidak dapat ditemukan wakil dan pasien memerlukan tindak medis segera, dokter
perlulah memikirkan bahwa pasien sudah bersetuju dengan tindakan yang bakal dilakukan
melainkan telah tercatat bahwa pasien tidak bersetuju dengan tindakan tersebut sebelumnya3.

Apabila pasien adalah anak, hak diberikan kepada mereka yang bertanggungjawab
terhadapnya. Namun, pasien harus ikut serta dalam pembuatan keputusan dan memahami
tindakan yang bakal dilakukan.

KERAHASIAAN PASIEN

Dasar dari kerahasiaan pasien adalah autonomy, rasa hormat dan kepercayaan pasien.
Kepercayaan adalah bagian paling penting dalam hubungan dokter-pasien sehingga seorang
dokter tidak dibenarkan untuk membuka rahasia pasien tanpa kebenaran dari pasien itu sendiri
kecuali diminta oleh hukum. Dokter juga dibenarkan untuk membuka rahasia pasien apabila
pasien tidak mampu untuk mengambil keputusan sendiri.

Dalam keadaan di mana pasien dapat menimbulkan bahaya kepada orang sekitarnya,
dokter dapatlah memberitahu mereka yang mungkin beresiko terhadap penyakit pasien tersebut.
Contohnya adalah memberitahu pasangan pasien dengan HIV/AIDS tentang penyakitnya apabila
pasien enggan untuk melakukan seks dengan perlindungan3.

HUBUNGAN DOKTER – TEMAN SEJAWAT

Profesi kedokteran merupakan profesi yang berjalan di bawah satu sistem hirarki baik
secara internal maupun eksternal. Hirarki internal dapat dibagi kepada tiga yaitu perbedaan
kedudukan dokter berdasarkan kepakaran, perbedaan berdasarkan pencapaian akademik, dan
perbedaan kompetensi dan pengalaman dalam menangani pasien. Secara eksternal pula, dokter
sering diletakkan di bagian tertinggi dibanding petugas kesehatan lain2.

9
Dalam perkembangan ilmu kedokteran, seorang dokter harus menyadari bahwa dia tidak
mampu menangani semua penyakit dan memerlukan kerjasama baik antara tenaga kesehatan lain
seperti perawat, pharmacist, ahli fisioterapi, teknisi laboratorium, dan lain-lain.

HUBUNGAN TEMAN SEJAWAT

Hubungan antara dokter dan teman sejawat dinyatakan dalam Declaration of Geneva
yang menyatakan hubungan antara petugas kesehatan adalah seperti saudara. Menurut Kode Etik
Medik Internasional pula, terdapat dua larangan dalam hubungan sesama dokter yaitu:

1. Membayar atau menerima bayaran dari dokter lain dalam menangani pasien
2. Mengambil alih tugas perawatan pasien dari dokter lain tanpa rujukan dokter tersebut.

Sering dalam praktek sehari-hari, akan timbul perbedaan pendapat antara dokter tentang
penanganan yang tepat untuk seorang pasien2. Dengan menganggap isu yang timbul hanya untuk
kebaikan pasien dan tidak ada penyimpangan dari etika kedokteran, hal ini dapat diselesaikan
dengan cara:

1. Dilakukan secara informal yaitu melalui rundingan dan perbincangan antara pihak yang
terlibat. Perbincangan hanya akan dilakukan secara formal apabila cara informal tidak
member hasil.
2. Opini semua pihak yang terlibat perlu didengarkan dan dipertimbangkan.
3. Pasien berhak menentukan tindakan medis untuk dirinya dan pilihan pasien ini akan
menjadi penunjang utama dalam pengambilan keputusan isu terkait.
4. Apabila semua rundingan tidak disepakati, maka penyelesaian isu dapat melibatkan pihak
wewenang dan hukum.

HAK PASIEN

WMA telah mengeluarkan Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient (1991)
yang menyatakan hak pasien adalah sebagai berikut3:

1. Hak memilih dokter secara bebas


2. Hak klinis dan etis
3. Hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat
4. Hak untuk dihormati kerahasiaan dirinya

10
5. Hak untuk mati secara bermartabat
6. Hak untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral.

UU Kesehatan pula menyebutkan beberapa hak pasien yaitu:

1. Hak atas informasi


2. Hak atas second opinion
3. Hak untuk memberi persetujuan atau menolak suatu tindakan medis
4. Hak untuk kerahasiaan
5. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan
6. Hak untuk memperoleh ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.

Selain itu, UU Praktik Kedokteran menyatakan hak pasien sebagai berikut:

1. Hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis (Pasal 45 ayat
(3)). Penjelasan sekurang-kurangnya meliputi diagnosis, tatacara tindakan, tujuan
tindakan medis yang bakal dilakukan, alternative tindakan lain dan risikonya, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
2. Hak untuk memeinta pendapat dokter lain
3. Hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis
4. Hak untuk menolak tindakan medis
5. Hak untuk mendapatkan isi rekam medis3.

ASPEK HUKUM

ASPEK HUKUM MALPRAKTIK

1. Penyimpangan dari Standar Profesi Medis


2. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan ataupun kelalaian
3. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian
materiil atau non materiil maupun fisik atau mental4

SANKSI HUKUM PIDANA


• Pasal 267 KUHP (surat keterangan palsu)

11
1. Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada
atau tidaknya penyakit , kelemahan atau cacat, diancam dengan dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
2. Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seorang kedalam rumah
sakit gila atau menahannya disitu , dijatuhkan pidana paling lama delapan tahun enam
bulan.
3. Di ancam dengan pidana yang sama ,barangsiapa dengan sengaja memakai surat
keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

 Pasal 268 KUHP


1. Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada
atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat , dengan maksud untuk menyesatkan
penguasa umum atau penanggung (verzekeraar), diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
2. Diancam dengan pidana yang sama ,barangsiapa dengan maksud yang sama memakai
surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu benar dan tidak
dipalsu
 PASAL 359 KUHP
Barangsiapa karena kelalainnya menyebabkan matinya orang lain , diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun
 PASAL 360 KUHP
1. Barangsiapa karena kelalainnyamenyebabkan orang lain menderita luka berat,diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun
2. Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa
sehingga menderita sakit untuk sementara waktu atau tidak dapat menjalankan jabatan
atau perkejaannya selama waktu tertenu diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana kurungan enam bulan atau denda paling tinggi empat ribu
lima ratus rupiah5,6

ASPEK HUKUM PERDATA

12
 Pasal 1338 KUH Perdata ( wan prestasi )
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
2. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alas an-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik
 Pasal 1365 KUH Perdata
1.Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain,mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.
 Pasal 1366 KUH Perdata( Kelalaian )
1.Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya , tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalainnnya atau
kurang hati – hatinya
 Pasal 1370 KUH Perdata
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain ) dengan sengaja atau kurang hati
– hatinya seeorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau korban orang tua yang
biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti
rugi, yang harus dinilai menurut kedudukanya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut
keadaan .
 Pasal 55 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan .
2. Ganti rugi sebagaimana diatur dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan yang berlaku5,6

DAMPAK HUKUM

A. Perlidungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek


medik
Perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan
malpraktek medik menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat 1 Kitab Undang-

13
Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran, Pasal 53 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan. Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum
sepanjang ia melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating
Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu
alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP.
Hubungan dokter dengan pasien haruslah berupa mitra. Dokter tidak dapat
disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur. Sehingga rekam medik (medical record) dan
informed consent (persetujuan) yang baik dan benar harus terpenuhi. Cara dan tahapan
mekanisme perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan
malpraktek medis adalah dengan dibentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) yang bekerja sama dengan pihak Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI) atas dasar hubungan lintas sektoral dan saling menghargai komunitas profesi.
Dalam tahapan mekanisme penanganan pelanggaran disiplin kedokteran, MKDKI
menentukan tiga jenis pelanggarannya yaitu pelanggaran etik, disiplin dan pidana. Untuk
pelanggaran etik dilimpahkan kepada Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK),
pelanggaran disiplin dilimpahkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dan
pelanggaran pidana dilimpahkan kepada pihak pasien untuk dapat kemudian dilimpahkan
kepada pihak kepolisian atau ke pengadilan negeri. Apabila kasus dilimpahkan kepada
pihak kepolisian maka pada tingkat penyelidikannya dokter yang diduga telah melakukan
tindakan malpraktek medik tetap mendapatkan haknya dalam hukum yang ditetapkan
dalam Pasal 52, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 57 Ayat 1, Pasal 65, Pasal 68, dan Pasal 70
Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan apabila kasus
dilimpahkan kepada tingkat pengadilan maka pembuktian dugaan malpraktek dapat
menggunakan rekam medik (medical record) sebagai alat bukti berupa surat yang sah
(Pasal 184 Ayat 1 KUHAP).
B. Hukum kedokteran akibat kelalaian
Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya
kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya.
Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir

14
selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku
yang dituntut adalah malpraktik medis, yang merupakan sebutan “genus” (kumpulan)
dari kelompok perilaku profesional medis yang “menyimpang” dan mengakibatkan
cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya.
Gugatan perdata dalam bentuk permintaan ganti rugi dapat diajukan dengan
mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :
 Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian
 Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa
memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu,
penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.
 Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar dilakukan
karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut, seandainya
ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis4.

INFORM CONSENT
Informasi dalam lingkup medis sangat penting bagi memberi peluang kepada pasien untuk
mengetahui tentang status sebenar kesehatan diri dan tindakan yang akan dilakukan terhadap
pasien. Para professional dalam pelayanan kesehatan perlu meningkatkan perhatian terhadap
pentingnya informed consent sebagai sebagian dari prosedur pengobatan atau clinical trial.
Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Persetujuan boleh dalam bentuk lisan maupun tertulis.
Informed consent ini juga merupakan sebagian dari prosese komunikasi antara dokter-pasien
tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan. Formulir informed consent merupakan
tanda bukti yang disimpan dalam arsip rekam medis pasien7.
Dalam Undang-Undang Republika Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, telah diatur tentang Informed Consent ini pada Pasal 45 tentang “Persetujuan
Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi” yang isinya antara lain: 
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.

15
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
 diagnosis dan tata cara tindakan medis.
 tujuan tindakan medis yang dilakukan.
 alternative tindakan lain dan resikonya.
 risikonya dan komplikasi yang mungkin terjadi.
 prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan. 
5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan. 
Dalam penjelasan atas UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut disebutkan bahwa pada
prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah pasien
yang bersangkutan. Namun, apabila pasien yang bersangkutan berada di bawah pengampuan,
persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat antara lain
suami/istri/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung. 
Jika sesuatu tindakan medis dilakukan tanpa izin pasien, ia digolongkan sebagai tindakan
penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5
Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, sebelum dimulai tindakan (1), persetujuan
tindakan kedokteran dapat dibatalkan oleh yang memberi persetujuan dan pembatalan tersebut
harus secara bertulis oleh yang memberi persetujuaan (2)6,7.
Elemen-elemen yang terdapat dalam informed consent adalah penjelasan mengenai:
 penyakit dan atau tindakan yang akan dilakukan.
 Harapan dari tindkan dan prognosisnya.
 Alternative tindakan dan tingkat harapan serta keberhasilannya.
 Resiko, komplikasi dan biaya.
Dokter hanya boleh bertindak melebihi yang telah disepakati apabila gawat-darurat dan butuh
waktu yang singkat.
Seperti yang terjadi dalam kasus ini pula, telah terjadinya informed consent antara dokter
A kepada keluarga si bayi mengenai keadaan anaknya. Bagi dokter B dan C pula, kurang
komunikasi kepada keluarga bayi mengenai apa yang terjadi pada bayi tersebut sehinggakan

16
dicurigai telah melakukan kesalahan dalam merawat bayi tersebut dan bisa dituntut ke
pengadilan oleh keluarga si bayi.
Kurangnya komunikasi yang terjalin antara dokter dan keluarga pasien merupakan salah
satu sebab ketidak puasan pasien. Komunikasi merupakan kunci penting hubungan dokter
dengan pasien atau keluarga selain dari memeriksa dan member obat. Pasien atau keluarga juga
perlu sama menanyakan ke dokter dan minta dijelaskan kemungkinan penyakitnya.
Dokter harus bertanggungjawat terhadap perbuatannya jika terdapat kasus yang berunsur
kelalaian dari pihak dokter. Dari pihak pasien pula, perlu adanya bukti yang kukuh terhadap
kelalaian tersebut jika mahu menuntut. Jika hal tersebut adalah resiko dari tindakan yang telah
dinyatakan dalam informed consent, maka penuntutan tidak boleh dilakukan7.

KESIMPULAN
Dalam profesi kedokteran, komunikasi dokter - pasien merupakan salah satu kompetensi
yang harus dikuasai dokter. Kompetensi komunikasi menentukan keberhasilan dalam membantu
penyelesaian masalah kesehatan pasien. Selama ini kompetensi komunikasi dapat dikatakan
terabaikan, baik dalam pendidikan maupun dalam praktik kedokteran/kedokteran gigi. Di
Indonesia, sebagian dokter merasa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk berbincang-
bincang dengan pasiennya, sehingga hanya bertanya seperlunya. Akibatnya, dokter bisa saja
tidak mendapatkan keterangan yang cukup untuk menegakkan diagnosis dan menentukan
perencanaan dan tindakan lebih lanjut.
Dari sisi pasien, umumnya pasien merasa dalam posisi lebih rendah di hadapan dokter,
sehingga takut bertanya dan bercerita atau hanya menjawab sesuai pertanyaan dokter saja. Tidak
mudah bagi dokter untuk menggali keterangan dari pasien karena memang tidak bisa diperoleh
begitu saja. Perlu dibangun hubungan saling percaya yang dilandasi keterbukaan, kejujuran dan
pengertian akan kebutuhan, harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan terbangunnya
hubungan saling percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar dan lengkap sehingga
dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik dan memberi obat yang
tepat bagi pasien.
Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan setara ( tidak superior -
inferior) sangat diperlukan agar pasien mau/dapat menceritakan sakit/keluhan yang dialaminya
secara jujur dan jelas. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam

17
pengambilan keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan komunikasi tidak
efektif akan mengundang masalah.

Daftar Pustaka
1. Etika Kedokteran Indonesi. [online]. 2008. [cited 10 January 2018]. Available from:
http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/
2. Kode Etik Kedokteran. [online]. 2009. [cited 10 January 2018. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/652/1/Kode%20Etik%20Kedokteran.pdf
3. Williams J. World Medical Association : Medical Ethics Manual 2nd Edition. 2009
4. Rizaldy Pinzon. Strategi 4s untuk pelayanan medik berbasis bukti. Cermin dunia
kedokteran 163:Vol 36;2009;208.
5. Bagian kedokteran forensik. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Hukum
perdata yang berkaitan dengan profesi dokter. FKUI. Jakarta:1994;51
6. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka
Dwipar, Oktober 2005
7. Penerangan informed consent dalam pelayanan kesihatan [online]. 2009. [cited 10
January 2018]. Available from:
http://eprints.undip.ac.id/1133/1/A_1_Informed_Consent_Journal__RS.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai