Disusun Oleh :
ANDRE IRWANTO
2111040052
2022
LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA OTAK
A. PENGERTIAN
Cedera Orak Ringan (COR) adalah hilangnya fungsi neurologi atau
menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya. Cidera otak
merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembbengkakan otak sebagai respon
terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (Smeltzer,
2000).
Cedera Otak Ringan (COR) Adalah cidera otak yang ditandai dengan tidak
adanya kehilangan kesadaran, pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, dan
pasien dapat menderita laserasi dan hematoma kulit kepala. (Mansjoer Arif, 2000).
Cedera Orak Ringan (COR) adalah hilangnya fungsi neurologi atau
menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer,
2002)Cedera Otak Ringan (COR) adalah cedera kapala tertutup yang ditandai dengan
hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupuntidak
langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah
suatukerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapidisebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
ataumengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
danfungsi fisik.
B. ETIOLOGI
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatanutama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaanlalu lintas
(Mansjoer, 2000:3). Penyebab cidera kepala antara lain: kecelakaan lalulintas,
perkelahian, terjatuh, dan cidera olah raga. Cidera kepala terbuka seringdisebabkan
oleh peluru atau pisau (Corkrin, 2001:175).
a. Cedera Kepala Primer yaitu cedera yang terjadi akibat langsung dari trauma:
1) Kulit : Vulnus, laserasi, hematoma subkutan, hematoma subdural
2) Tulang : Fraktur lineal, fraktur bersih kranial, fraktur infresi (tertutup
&terbuka).
3) Otak : Cedera kepala primer, robekan dural, contusio (ringan, sedang,berat),
difusi laserasi.
b. Cedera Kepala Sekunder yaitu cedera yang disebabkan karena komplikasi :
1) Oedema otak
2) Hipoksia otak
3) Kelainan metabolic
4) Kelainan saluran nafas
5) Syok
C. TANDA GEJALA
a. Kepala nyeri
b. Perut mual
c. Muntah darah
d. Pendengaran terganggu
e. Pingsan
f. Tubuh lemah
g. Wajah pucat
D. PATOFISIOLOGI
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang
yangmembungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat
kitaseperti adanya) akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami
kerusakan.Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannyakonsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala.. Lesi pada kepala dapat
terjadipada jaringan luar dan dalam rongga kepala. Lesi jaringan luar terjadi pada
kulitkepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah
tengkorakmaupun otak itu sendiri.Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada
3 jenis keadaan, yaitu :
a. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak
b. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam
c. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur
oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera
kepaladiterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi
tengkorak,pergeseran otak dan rotasi otak.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dancoup.
Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja padaorang-orang
yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan
hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup
terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan.Kejadian coup dan contre
coup dapat terjadi pada keadaan. Keadaan ini terjadi ketika pengereman mendadak
pada mobil/motor. Otak pertama kali akan menghantam bagian depan dari tulang
kepala meskipun kepala pada awal nyabergerak ke belakang. Sehingga trauma terjadi
pada otak bagian depan. Karena pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala,
sehingga pergerakan otak terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak
menabrak tulang tengkorakbagian depan. Pada keadaan ini, terdapat daerah yang
secara mendadak terjadi penurunan tekanan sehingga membuat ruang antara otak dan
tulang tengkorak bagian belakang dan terbentuk gelembung udara. Pada saat otak
bergerak kebelakang maka ruangan yang tadinya bertekanan rendah menjadi tekanan
tinggi dan menekan gelembung udara tersebut. Terbentuknya dan kolapsnya
gelembung yang mendadak sangat berbahaya bagi pembuluh darah otak karena terjadi
penekanan, sehingga daerah yang memperoleh suplai darah dari pembuluh tersebut
dapat terjadi kematian sel-sel otak. Begitu juga bila terjadi pergerakan kepala ke
depan.
E. PATHWAY
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus, tetapi
untuk memonitoring kadar O2 dan CO2 dalam tubuh di lakukan pemeriksaan
AGD adalah salah satu testdiagnostic untuk menentukan status respirasi.
b. CT-scan : mengidentifikasi adanya hemoragik dan menentukan pergeseran
jaringan otak.
c. Foto Rontgen : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahanstruktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
d. MRI : sama dengan CT-scan dengan/ tanpa kontras.
e. Angiografi serebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral, perdarahan.
f. Pemeriksaan pungsi lumbal: mengetahui kemungkinan perdarahan subarahnoid
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan cedera otak pada unit gawat darurat mengikuti
protokol advance trauma life support (ATLS). Pasien penurunan kesadaran harus
selalu dilakukan manajemen jalan napas, pemberian ventilasi dan oksigen yang
adekuat, dan pemberian cairan. Imobilisasi spinal harus dilakukan kecuali jika sudah
dilakukan pemeriksaan penunjang yang mengindikasikan bahwa imobilisasi dapat
dihentikan. Penilaian skor GCS dilakukan dan secepatnya diputuskan apakah
memerlukan pemeriksaan CT-Scan kepala atau tidak. Pasien dengan perdarahan
(subdural, epidural) langsung dipersiapkan untuk tindakan bedah. Pasien cedera otak
traumatik berat pada umumnya mengalami peningkatan tekanan intrakranial (trias
peningkatan tekanan intrakranial yaitu muntah proyektil, kejang, dan nyeri kepala)
harus dikontrol dengan tindakan antara lain:
a. Pengawasan tekanan darah, tekanan darah sistolik dipertahankan di atas 90
mmHg
b. Oksigenasi, pemberian oksigen dengan mempertahankan saturasi oksigen di atas
90%
c. Terapi hiperosmolar dengan manitol untuk menurunkan tekanan intrakranial
dengan dosis 0,25 g/kgBB sampai 1 g/kgBB. Terapi manitol harus dihindari pada
kondisi hipotensi dan tanda-tanda herniasi transtentorial
d. Terapi hipersalin dengan cairan salin 3%, kadar elektrolit natrium dapat
ditingkatkan hingga batas atas 155 meq/L melalui infus kontinyu maupun bolus
250 mL cairan NaCl 3%. Hipertonik salin tidak dapat dihentikan tiba-tiba karena
dapat menyebabkan kembalinya peningkatan tekanan intrakranial tiba-tiba. Harus
dilakukan tappering-off.
e. Terapi hiperventilasi, tidak dianjurkan dilakukan dalam 24 jam pertama setelah
trauma. Tujuan hiperventilasi adalah membuat kondisi hipokapnia sehingga
terjadi refleks vasokonstriksi sehingga mengurangi aliran darah serebral.
f. Pemberian profilaksis antibiotik, untuk mencegah infeksi dan pneumonia akibat
tindakan medis (intubasi)
g. Pemberian steroid dalam menurunkan tekanan intrakranial berhubungan dengan
peningkatan mortalitas.
Obat-obatan
yang digunakan dalam manajemen cedera otak traumatik antara lain:
a. Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial dengan dosis 0,25
g/kgBB sampai 1 g/kgBB. Terapi manitol harus dihindari pada kondisi hipotensi
dan tanda-tanda herniasi transtentorial
b. Cairan NaCl atau salin 3%, infus kontinyu maupun bolus 250 mL cairan NaCl 3%
untuk meningkatkan kadar elektolit natrium hingga batas atas 155 meq/L apabila
perlu. Penghentian pemberian salin 3 % harus di tapering-off.
c. Pemberian profilaksis antibiotik, untuk mencegah infeksi dan pneumonia.
d. Pemberian steroid tidak dianjurkan
Tindakan Bedah
Tata laksana bedah umumnya dilakukan pada hematoma akut ekstra aksial
yakni perdarahan subdural dan perdarahan epidural. Beberapa studi berskala kecil
pernah melaporkan bahwa pembuatan burr hole untuk manajemen awal hematoma
ekstra aksial mungkin bermanfaat bagi pasien cedera otak traumatik.
Di lain sisi, pada perdarahan intraserebral, tindakan bedah masih kontroversial
dilakukan karena tidak banyak bukti yang mendukung. Tindakan bedah pada
perdarahan intraserebral dilakukan setelah pertimbangan lokasi perdarahan dan
jumlah perdarahan.
Rujukan
Pasien cedera otak traumatik harus dirujuk dapat ke bagian bedah saraf atau ke
bagian penyakit saraf. Indikasi rujukan cedera otak traumatik ke bedah saraf antara
lain:
a. Temuan abnormal pada CT-Scan kepala (hematoma, fraktur)
b. Skor GCS kurang dari 8 setelah resusitasi
c. Skor GCS yang semakin menurun terutama motorik
d. Tanda kelainan neurologis yang progresif
e. Luka tusuk pada kepala
f. Kebocoran cairan serebrospinal
Rehabilitasi
Rehabilitasi penting bagi pasien setelah mengalami cedera otak traumatik,
karena gangguan kognitif, gangguan emosional, serta gejala sisa defisit neurologis
dapat mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Modalitas rehabilitasi bersifat
kompleks karena tergantung dari kondisi masing-masing pasien. Dukungan sosial
sangat diperlukan dalam upaya rehabilitasi tersebut.
H. FOKUS PENGKAJIAN
a. Pengkajian Umum
1) Airway
Pertahankan kepatenan jalan nafas
Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi untuk
mencegah penekanan/bendungan pada vena jugularis
Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
2) Breathing
Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi oksigen
3) Circulation
Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill,
sianosispada kuku, bibir)
Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek
terhadapcahaya
Monitoring tanda- tanda vital
Pemberian cairan dan elektrolit
Monitoring intake dan output
b. Pengkajian Khusus
1) Konservatif : Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid,
pemberiansteroid
2) Operatif : Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
3) Monitoring tekanan intrakranial : yang ditandai dengan sakit kepala
hebat,muntah proyektil dan papil edema
4) Pemberian diet/nutrisie. Rehabilitasi, fisioterapi
c. Prioritas Keperawatan
1) Memaksimalkan perfusi/fungsi serebral
2) Mencegah/meminimalkan komplikasi
3) Mengoptimalkan fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum trauma
4) Meningkatkan koping individu dan keluargae.
d. Kebutuhan sehari-hari :
1) Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia
caraberjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (tauma)
ortopedi,kehilangan tonus otot, otot spastic
2) Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi),
perubahanfrekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan
bradikardi,disritmia
3) Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis)Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,
depresi daninpulsif
4) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi
5) Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan seleraTanda : Muntah
(mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar,disfagia)
6) Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yanghebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
7) Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi).
Napasberbunyi, stridor, tersedak. Ronkhi, mengi positif (kemungkinan
karenarespirasi)
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan (spesifik serebral) b.d aliran arteri dan atauvena
terputus,
b. Nyeri akut b.d dengan agen injuri fisik
J. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifanperfusi jaringan(spesifik serebral)b.d aliran arteri danatau vena
terputus
Tujuan :
Status sirkulasi Perfusi jaringanserebralSetelah dilakukantindakan keperawatan
selama ….x 24 jam, klien mampu mencapai :
1) Status sirkulasi dengan indikator:
Tekanan darah sis-tolik dan diastolikdalam rentang yang diharapkan
Tidak ada ortostatikhipotensi
Tidak ada tanda tanda PTIK
2) Perfusi jaringan serebral, dengan indicator :
Klien mampu berkomunikasi dengan jelas dan sesuai kemampuan
Klien menunjukkanperhatian, konsen-trasi, dan orientasi
Klien mampu memproses informasi
Klien mampu membuat keputusan dengan benar
Tingkat kesadaranklien membaik
Intervensi :
Monitor Tekanan Intra Kranial
Catat perubahan respon klienterhadap stimulus / rangsangan
Monitor TIK klien dan responneurologis terhadap aktivitas
Monitor intake dan output
Pasang restrain, jika perlu
Monitor suhu dan angka leukosit
Kaji adanya kaku kuduk
Kelola pemberian antibiotik
Berikan posisi dengan kepalaelevasi 30-40 dengan leher dalamposisi
netral
Minimalkan stimulus dari lingkungan
Beri jarak antar tindakankeperawatan untuk meminimalkanpeningkatan
TIK
Kelola obat obat untuk mempertahankan TIK dalam batas spesifik
Monitoring Neurologis (2620)
Monitor ukuran, kesimetrisan, reaksidan bentuk pupil
Monitor tingkat kesadaran klien
Monitor tanda-tanda vital
Monitor keluhan nyeri kepala, mual,dan muntah
Monitor respon klien terhadappengobatan
Hindari aktivitas jika TIK meningkat
Observasi kondisi fisik klien
Terapi Oksigen (3320)
Bersihkan jalan nafas dari secret
Pertahankan jalan nafas tetap efektif
Berikan oksigen sesuai instruksi
Monitor aliran oksigen, kanuloksigen, dan humidifier
Beri penjelasan kepada klien tentangpentingnya pemberian oksigen
Observasi tanda-tanda hipoventilasi
Monitor respon klien terhadappemberian oksigen
Anjurkan klien untuk tetap memakaioksigen selama aktivitas dan tidur
Arif Mansjoer. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius
Corwin, E.J., (2000). Patofisiologi, Alih Bahasa Brahn U, Pandit EGC, JakartaPrice,
Mansjoer Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. FKUI.
Smeltzer, S.C & Bare, B.G., (2002). Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2, Alih
Bahasa Kuncara, H.Y,dkk, EGC, Jakarta