Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya kepada
penyusun, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah dengan judul "Mengembangkan
Potensi Seni untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Pengembangan Pembelajaran Seni di SD”.
Dalam penyelesaian makalah ini penyusun berusaha untuk melakukan yang terbaik, namun kami
menyadari bahwa kemampuan kami terbatas.Oleh karena itu kritik dan saran sangatlah kami harapkan
dan dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan selesainya makalah ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
proses penyelesaian makalah ini yang telah memberikan dorongan, masukan dan semangat.
Semoga apa yang kami tulis ini bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya serta
mendapat ridha dari Allah Subhanahu wata’ala. Aamiin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata seni adalah sebuah kata yang semua orang di pastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar
pemahaman yang berbeda. Konon kabarnya kata seni berasal dari kata “sani” yang kurang lebih artinya
“Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Mungkin saya memaknainya dengan keberangkatan orang/
seniaman saat akan membuat karya seni, namun menurut kajian ilimu di eropa mengatakan “ART”
(artivisial) yang artinya kurang lebih adalah barang/ atau karya dari sebuah kegiatan. Namun kita tidaka
usah mempersoalkan makna ini, karena kenyataannya kalu kita memperdebatkan makna yang seperti
ini akan semakain memperkeruh suasana kesenian, biarlah orang memilih yang mana terserah mereka.
Seni adalah proses yang sengaja mengatur unsur-unsur dalam suatu cara yang menarik indra atau
emosi. Ini mencakup berbagai macam kegiatan manusia, ciptaan, dan cara berekspresi, termasuk musik,
sastra, film, patung, dan lukisan. Makna seni ini dibahas dalam cabang filsafat yang dikenal sebagai
estetika.
Kreaivitas merupakan suatu ungkapan yang tidak asing lagi di dalam kehidupan sehari-hari, khususnya
untuk anak usia prasekolah yang selalu berusaha untuk menciptakan segala sesuatu sesuai dengan
imajinasinya. Kreativitas anak di tk ditampilkan dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk gambar yang
dia sukai, bercerita, bermain peran ataupun menampilkan berbagai gerakan yang berkaitan dengan
aktivitas motoriknya. Pengembangan kreativitas anak terdapat pada seluruh bidang kemampuan dasar,
yaitu meliputi bidang pengembangan berbahasa, kognitif, dan fisik motor. Dan yang tidak kalah penting
adalah pengembangan kreativitas anak dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni. Dalam
pengembangan kreativitas dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni terdapat berbagai
macam kegiatan yang dapat dilakukan, baik dalam bidang seni tari, seni rupa, maupun seni musik.
B. Ruumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Setiap guru SD perlu mengenal latar belakang anak didiknya, khususnya landasan teori tentang dunia
kesenirupaan anak yang telah dikembangkan oleh para ahli, agar ia dapat memilih strategi pembelajaran
yang sesuai dengan kondisi siswa. Anak Sekolah Dasar (SD) berusia sekitar 6 - 12 tahun. Berdasarkan
teori tahap-tahap perkembangan seni, secara garis besar dapat dibedakan dua tahap karakteristik, yaitu
kelas I sampai dengan kelas III ditandai dengan kuatnya daya fantasi-imajinasi, sedangkan kelas IV
sampai dengan kelas VI ditandai dengan mulai berfungsinya kekuatan rasio. Perbedaan kedua
karakteristik ini tampak pada gambar-gambar (karya dua dimensi) atau model, patung dan perwujudan
karya tiga dimensi lainnya.
Periodisasi masa perkembangan seni anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1982)
adalah: Penyelidikan yang dilakukan terhadap anak-anak usia 2 sampai 17 tahun menghasilkan
periodisasi sebagai berikut:
type to search
BERANDA › MAKALAH
Baca Juga
MAKALAH
Dosen Pengampu :
Oleh :
Muhammad 0103517074
Rombel 5
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya kepada
penyusun, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah dengan judul "Mengembangkan
Potensi Seni untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Pengembangan Pembelajaran Seni di SD”.
Dalam penyelesaian makalah ini penyusun berusaha untuk melakukan yang terbaik, namun kami
menyadari bahwa kemampuan kami terbatas.Oleh karena itu kritik dan saran sangatlah kami harapkan
dan dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan selesainya makalah ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
proses penyelesaian makalah ini yang telah memberikan dorongan, masukan dan semangat.
Semoga apa yang kami tulis ini bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya serta
mendapat ridha dari Allah Subhanahu wata’ala. Aamiin
PENYUSUN
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................. 2
Daftar Isi........................................................................................................... 3
Bab I Pendahuluan
B. Rumusan Masalah................................................................................ 5
C. Tujuan ................................................................................................. 5
Bab II Pembahasan
6. Meningkatkan Kesehatan.............................................................. 17
A. Simpulan ............................................................................................. 19
Daftar Pustaka.................................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata seni adalah sebuah kata yang semua orang di pastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar
pemahaman yang berbeda. Konon kabarnya kata seni berasal dari kata “sani” yang kurang lebih artinya
“Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Mungkin saya memaknainya dengan keberangkatan orang/
seniaman saat akan membuat karya seni, namun menurut kajian ilimu di eropa mengatakan “ART”
(artivisial) yang artinya kurang lebih adalah barang/ atau karya dari sebuah kegiatan. Namun kita tidaka
usah mempersoalkan makna ini, karena kenyataannya kalu kita memperdebatkan makna yang seperti
ini akan semakain memperkeruh suasana kesenian, biarlah orang memilih yang mana terserah mereka.
Seni adalah proses yang sengaja mengatur unsur-unsur dalam suatu cara yang menarik indra atau
emosi. Ini mencakup berbagai macam kegiatan manusia, ciptaan, dan cara berekspresi, termasuk musik,
sastra, film, patung, dan lukisan. Makna seni ini dibahas dalam cabang filsafat yang dikenal sebagai
estetika.
Kreaivitas merupakan suatu ungkapan yang tidak asing lagi di dalam kehidupan sehari-hari, khususnya
untuk anak usia prasekolah yang selalu berusaha untuk menciptakan segala sesuatu sesuai dengan
imajinasinya. Kreativitas anak di tk ditampilkan dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk gambar yang
dia sukai, bercerita, bermain peran ataupun menampilkan berbagai gerakan yang berkaitan dengan
aktivitas motoriknya. Pengembangan kreativitas anak terdapat pada seluruh bidang kemampuan dasar,
yaitu meliputi bidang pengembangan berbahasa, kognitif, dan fisik motor. Dan yang tidak kalah penting
adalah pengembangan kreativitas anak dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni. Dalam
pengembangan kreativitas dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni terdapat berbagai
macam kegiatan yang dapat dilakukan, baik dalam bidang seni tari, seni rupa, maupun seni musik.
B. Ruumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Setiap guru SD perlu mengenal latar belakang anak didiknya, khususnya landasan teori tentang dunia
kesenirupaan anak yang telah dikembangkan oleh para ahli, agar ia dapat memilih strategi pembelajaran
yang sesuai dengan kondisi siswa. Anak Sekolah Dasar (SD) berusia sekitar 6 - 12 tahun. Berdasarkan
teori tahap-tahap perkembangan seni, secara garis besar dapat dibedakan dua tahap karakteristik, yaitu
kelas I sampai dengan kelas III ditandai dengan kuatnya daya fantasi-imajinasi, sedangkan kelas IV
sampai dengan kelas VI ditandai dengan mulai berfungsinya kekuatan rasio. Perbedaan kedua
karakteristik ini tampak pada gambar-gambar (karya dua dimensi) atau model, patung dan perwujudan
karya tiga dimensi lainnya.
Periodisasi masa perkembangan seni anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1982)
adalah: Penyelidikan yang dilakukan terhadap anak-anak usia 2 sampai 17 tahun menghasilkan
periodisasi sebagai berikut:
1. Masa coreng-moreng (sribbling period) 2-4 tahun
Kesenangan membuat goresan telah muncul pada anak-anak usia dua tahun atau bahkan sebelum dua
tahun, sejalan dengan perkembangan motorik tangan dan jari anak yang masih menggunakan motorik
kasar. Hal ini dapat kita temukan pada anak yang kerap melubangi atau melukai kertas yang digoresnya.
Pada periode ini terbagi atas tiga tahap, yakni 1) corengan tidak beraturan, 2) corengan terkendali, dan
3) corengan bernama.Ciri gambar yang dihasilkan anak pada tahap corengan tidak beraturan adalah
bentuk gambar yang sembarang, mencoreng tanpa melihat ke kertas, belum dapat membuat corengan
berupa lingkaran dan memiliki semangat yang tinggi.Corengan terkendali ditandai dengan kemampuan
anak menemukan kendali visualnya terhadap coretan yang dibuatnya. Hal ini tercipta dengan telah
adanya kerjasama antara koordinasi perkembangan visual dengan perkembangan motorik. Hal ini
terbukti dengan adanya pengulangan coretan garis baik yang horizontal, vertikal, lengkung, bahkan
lingkaran.Corengan bernama merupakan tahap akhir masa coreng moreng. Biasanya terjadi menjelang
usia 3-4 tahun, sejalan dengan perkembangan bahasanya, anak mulai mengontrol goresannya bahkan
telah memberinya nama, misalnya “rumah”, “mobil”, “bola”.
Usia anak pada tahap ini biasanya berada pada jenjang PAUD dan Sekolah Dasar (SD) kelas awal.
Kecenderungan umum pada tahap ini, obyek yang digambar anak biasanya berupa gambar kepala-
berkaki. Sebuah lingkaran yang menggambarkan kepala, kemudian pada bagian bawahnya ada dua garis
sebagai pengganti kedua kaki.
Ciri-ciri yang menarik lainnya, pada tahap ini anak telah menggunakan bentuk-bentuk dasar geometris
untuk memberi kesan obyek dari dunia sekitarnya. Koordinasi tangan lebih berkembang. Aspek warna
belum ada hubungan tertentu dengan obyek, orang bisa saja berwarna biru, merah, coklat, atau warna
lain yang anak kehendaki.Penempatan dan ukuran obyek bersifat subyektif, didasarkan kepada
kepentingannya. Jika obyek gambar lebih dikenalinya, seperti ayah dan ibu, maka gambar dibuat lebih
besar dari yang lainnya. Hal ini dinamakan dengan perspektif batin. Penempatan obyek dan penguasaan
ruang belum dikuasai anak pada usia ini.
Kenyataan tersebut diperkuat oleh pandangan Max Verworm (dalam Zulkifli, 2002: 45) bahwa “anak
menggambar benda-benda menurut apa yang dilihatnya. Hasil karya anak-anak itu disebut gambar
fisioplastik”. Anak yang belum berumur 8 tahun belum mampu menggambar apa yang dilihatnya tetapi
mereka menggambar menurut apa yang sedang di pikirannya. Hasil karya mereka itu disebut gambar
ideoplastik.
Pada masa realisme awal, karya anak lebih menyerupai kenyataan. Kesadaran perspektif mulai muncul,
namun berdasarkan penglihatan sendiri. Mereka menyatukan obyek dalam lingkungan. Selain itu,
kesadaran untuk berkelompok dengan teman sebaya dialami pada masa ini. Perhatian kepada obyek
sudah mulai rinci. Namun demikian, dalam menggambarkan obyek, proporsi (perbandingan ukuran)
belum dikuasai sepenuhnya.Pemahaman warna mulai disadari.Warna biru langit berbeda dengan biru
air laut. Penguasaan konsep ruang mulai dikenal, sehingga letak obyek tidak lagi bertumpu pada garis
dasar, melainkan pada bidang dasar sehingga mulai ditemukan garis horizon. Selain dikenalnya warna
dan ruang, penguasaan unsur desain seperti keseimbangan dan irama mulai dikenal pada periode ini.
type to search
BERANDA › MAKALAH
MAKALAH
Dosen Pengampu :
Muhammad 0103517074
Rombel 5
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya kepada
penyusun, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah dengan judul "Mengembangkan
Potensi Seni untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Pengembangan Pembelajaran Seni di SD”.
Dalam penyelesaian makalah ini penyusun berusaha untuk melakukan yang terbaik, namun kami
menyadari bahwa kemampuan kami terbatas.Oleh karena itu kritik dan saran sangatlah kami harapkan
dan dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan selesainya makalah ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
proses penyelesaian makalah ini yang telah memberikan dorongan, masukan dan semangat.
Semoga apa yang kami tulis ini bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya serta
mendapat ridha dari Allah Subhanahu wata’ala. Aamiin
PENYUSUN
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................. 2
Daftar Isi........................................................................................................... 3
Bab I Pendahuluan
B. Rumusan Masalah................................................................................ 5
C. Tujuan ................................................................................................. 5
Bab II Pembahasan
6. Meningkatkan Kesehatan.............................................................. 17
Bab III Penutup
A. Simpulan ............................................................................................. 19
Daftar Pustaka.................................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata seni adalah sebuah kata yang semua orang di pastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar
pemahaman yang berbeda. Konon kabarnya kata seni berasal dari kata “sani” yang kurang lebih artinya
“Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Mungkin saya memaknainya dengan keberangkatan orang/
seniaman saat akan membuat karya seni, namun menurut kajian ilimu di eropa mengatakan “ART”
(artivisial) yang artinya kurang lebih adalah barang/ atau karya dari sebuah kegiatan. Namun kita tidaka
usah mempersoalkan makna ini, karena kenyataannya kalu kita memperdebatkan makna yang seperti
ini akan semakain memperkeruh suasana kesenian, biarlah orang memilih yang mana terserah mereka.
Seni adalah proses yang sengaja mengatur unsur-unsur dalam suatu cara yang menarik indra atau
emosi. Ini mencakup berbagai macam kegiatan manusia, ciptaan, dan cara berekspresi, termasuk musik,
sastra, film, patung, dan lukisan. Makna seni ini dibahas dalam cabang filsafat yang dikenal sebagai
estetika.
Kreaivitas merupakan suatu ungkapan yang tidak asing lagi di dalam kehidupan sehari-hari, khususnya
untuk anak usia prasekolah yang selalu berusaha untuk menciptakan segala sesuatu sesuai dengan
imajinasinya. Kreativitas anak di tk ditampilkan dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk gambar yang
dia sukai, bercerita, bermain peran ataupun menampilkan berbagai gerakan yang berkaitan dengan
aktivitas motoriknya. Pengembangan kreativitas anak terdapat pada seluruh bidang kemampuan dasar,
yaitu meliputi bidang pengembangan berbahasa, kognitif, dan fisik motor. Dan yang tidak kalah penting
adalah pengembangan kreativitas anak dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni. Dalam
pengembangan kreativitas dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni terdapat berbagai
macam kegiatan yang dapat dilakukan, baik dalam bidang seni tari, seni rupa, maupun seni musik.
B. Ruumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Setiap guru SD perlu mengenal latar belakang anak didiknya, khususnya landasan teori tentang dunia
kesenirupaan anak yang telah dikembangkan oleh para ahli, agar ia dapat memilih strategi pembelajaran
yang sesuai dengan kondisi siswa. Anak Sekolah Dasar (SD) berusia sekitar 6 - 12 tahun. Berdasarkan
teori tahap-tahap perkembangan seni, secara garis besar dapat dibedakan dua tahap karakteristik, yaitu
kelas I sampai dengan kelas III ditandai dengan kuatnya daya fantasi-imajinasi, sedangkan kelas IV
sampai dengan kelas VI ditandai dengan mulai berfungsinya kekuatan rasio. Perbedaan kedua
karakteristik ini tampak pada gambar-gambar (karya dua dimensi) atau model, patung dan perwujudan
karya tiga dimensi lainnya.
Periodisasi masa perkembangan seni anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1982)
adalah: Penyelidikan yang dilakukan terhadap anak-anak usia 2 sampai 17 tahun menghasilkan
periodisasi sebagai berikut:
Kesenangan membuat goresan telah muncul pada anak-anak usia dua tahun atau bahkan sebelum dua
tahun, sejalan dengan perkembangan motorik tangan dan jari anak yang masih menggunakan motorik
kasar. Hal ini dapat kita temukan pada anak yang kerap melubangi atau melukai kertas yang digoresnya.
Pada periode ini terbagi atas tiga tahap, yakni 1) corengan tidak beraturan, 2) corengan terkendali, dan
3) corengan bernama.Ciri gambar yang dihasilkan anak pada tahap corengan tidak beraturan adalah
bentuk gambar yang sembarang, mencoreng tanpa melihat ke kertas, belum dapat membuat corengan
berupa lingkaran dan memiliki semangat yang tinggi.Corengan terkendali ditandai dengan kemampuan
anak menemukan kendali visualnya terhadap coretan yang dibuatnya. Hal ini tercipta dengan telah
adanya kerjasama antara koordinasi perkembangan visual dengan perkembangan motorik. Hal ini
terbukti dengan adanya pengulangan coretan garis baik yang horizontal, vertikal, lengkung, bahkan
lingkaran.Corengan bernama merupakan tahap akhir masa coreng moreng. Biasanya terjadi menjelang
usia 3-4 tahun, sejalan dengan perkembangan bahasanya, anak mulai mengontrol goresannya bahkan
telah memberinya nama, misalnya “rumah”, “mobil”, “bola”.
Usia anak pada tahap ini biasanya berada pada jenjang PAUD dan Sekolah Dasar (SD) kelas awal.
Kecenderungan umum pada tahap ini, obyek yang digambar anak biasanya berupa gambar kepala-
berkaki. Sebuah lingkaran yang menggambarkan kepala, kemudian pada bagian bawahnya ada dua garis
sebagai pengganti kedua kaki.
Ciri-ciri yang menarik lainnya, pada tahap ini anak telah menggunakan bentuk-bentuk dasar geometris
untuk memberi kesan obyek dari dunia sekitarnya. Koordinasi tangan lebih berkembang. Aspek warna
belum ada hubungan tertentu dengan obyek, orang bisa saja berwarna biru, merah, coklat, atau warna
lain yang anak kehendaki.Penempatan dan ukuran obyek bersifat subyektif, didasarkan kepada
kepentingannya. Jika obyek gambar lebih dikenalinya, seperti ayah dan ibu, maka gambar dibuat lebih
besar dari yang lainnya. Hal ini dinamakan dengan perspektif batin. Penempatan obyek dan penguasaan
ruang belum dikuasai anak pada usia ini.
Konsep bentuk mulai tampak jelas pada tahap ini. Anak cenderung mengulang bentuk. Gambar masih
tetap berkesan datar dan berputar atau rebah. Pada perkembangan selanjutnya kesadaran ruang
muncul dengan dibuatnya garis pijak (base line).Penafsiran ruang bersifat subyektif, tampak pada
gambar tembus pandang. Gejala ini disebut dengan idioplastis (gambar terawang, tembus pandang).
Misalnya gambar sebuah rumah yang seolah-olah terbuat dari kaca bening, hingga seluruh isi di dalam
rumah kelihatan dengan jelas.
Kenyataan tersebut diperkuat oleh pandangan Max Verworm (dalam Zulkifli, 2002: 45) bahwa “anak
menggambar benda-benda menurut apa yang dilihatnya. Hasil karya anak-anak itu disebut gambar
fisioplastik”. Anak yang belum berumur 8 tahun belum mampu menggambar apa yang dilihatnya tetapi
mereka menggambar menurut apa yang sedang di pikirannya. Hasil karya mereka itu disebut gambar
ideoplastik.
Pada masa realisme awal, karya anak lebih menyerupai kenyataan. Kesadaran perspektif mulai muncul,
namun berdasarkan penglihatan sendiri. Mereka menyatukan obyek dalam lingkungan. Selain itu,
kesadaran untuk berkelompok dengan teman sebaya dialami pada masa ini. Perhatian kepada obyek
sudah mulai rinci. Namun demikian, dalam menggambarkan obyek, proporsi (perbandingan ukuran)
belum dikuasai sepenuhnya.Pemahaman warna mulai disadari.Warna biru langit berbeda dengan biru
air laut. Penguasaan konsep ruang mulai dikenal, sehingga letak obyek tidak lagi bertumpu pada garis
dasar, melainkan pada bidang dasar sehingga mulai ditemukan garis horizon. Selain dikenalnya warna
dan ruang, penguasaan unsur desain seperti keseimbangan dan irama mulai dikenal pada periode ini.
Pada masa ini, kemampuan berpikir abstrak serta kesadaran sosial semakin berkembang. Perhatian
kepada seni mulai kritis, bahkan terhadap karyanya sendiri. Pengamatan kepada obyek lebih rinci.
Tampak jelas perbedaan anak-anak bertipe haptic dengan tipe visual. Tipe visual memperlihatkan
kesadaran rasa ruang, rasa jarak, dan lingkungan dengan fokus pada hal-hal yang menarik
perhatiannya.Gambar-gambar gaya kartun banyak digemari.
Ada sesuatu yang unik pada masa ini, di mana pada satu sisi anak, ekspresi kreatifnya sedang muncul
sementara kemampuan intelektualnya berkembang dengan sangat pesat. Sebagai akibatnya, rasio anak
seakan-akan menjadi penghambat dalam proses berkarya. Anak ingin menggambar kucing, sementara
kemampuan menggambar kucing masih kurang. Sebagai akibatnya mereka malu kalau memperlihatkan
karyanya kepada sesamanya.
6. Periode penentuan (Period of Decision) 14-17 tahun
type to search
BERANDA › MAKALAH
Baca Juga
Dosen Pengampu :
Oleh :
Muhammad 0103517074
Rombel 5
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR S2 (PGSD)
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya kepada
penyusun, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah dengan judul "Mengembangkan
Potensi Seni untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Pengembangan Pembelajaran Seni di SD”.
Dalam penyelesaian makalah ini penyusun berusaha untuk melakukan yang terbaik, namun kami
menyadari bahwa kemampuan kami terbatas.Oleh karena itu kritik dan saran sangatlah kami harapkan
dan dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan selesainya makalah ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
proses penyelesaian makalah ini yang telah memberikan dorongan, masukan dan semangat.
Semoga apa yang kami tulis ini bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya serta
mendapat ridha dari Allah Subhanahu wata’ala. Aamiin
Semarang, Agustus 2018
PENYUSUN
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................. 2
Daftar Isi........................................................................................................... 3
Bab I Pendahuluan
B. Rumusan Masalah................................................................................ 5
C. Tujuan ................................................................................................. 5
Bab II Pembahasan
6. Meningkatkan Kesehatan.............................................................. 17
A. Simpulan ............................................................................................. 19
Daftar Pustaka.................................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata seni adalah sebuah kata yang semua orang di pastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar
pemahaman yang berbeda. Konon kabarnya kata seni berasal dari kata “sani” yang kurang lebih artinya
“Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Mungkin saya memaknainya dengan keberangkatan orang/
seniaman saat akan membuat karya seni, namun menurut kajian ilimu di eropa mengatakan “ART”
(artivisial) yang artinya kurang lebih adalah barang/ atau karya dari sebuah kegiatan. Namun kita tidaka
usah mempersoalkan makna ini, karena kenyataannya kalu kita memperdebatkan makna yang seperti
ini akan semakain memperkeruh suasana kesenian, biarlah orang memilih yang mana terserah mereka.
Seni adalah proses yang sengaja mengatur unsur-unsur dalam suatu cara yang menarik indra atau
emosi. Ini mencakup berbagai macam kegiatan manusia, ciptaan, dan cara berekspresi, termasuk musik,
sastra, film, patung, dan lukisan. Makna seni ini dibahas dalam cabang filsafat yang dikenal sebagai
estetika.
Kreaivitas merupakan suatu ungkapan yang tidak asing lagi di dalam kehidupan sehari-hari, khususnya
untuk anak usia prasekolah yang selalu berusaha untuk menciptakan segala sesuatu sesuai dengan
imajinasinya. Kreativitas anak di tk ditampilkan dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk gambar yang
dia sukai, bercerita, bermain peran ataupun menampilkan berbagai gerakan yang berkaitan dengan
aktivitas motoriknya. Pengembangan kreativitas anak terdapat pada seluruh bidang kemampuan dasar,
yaitu meliputi bidang pengembangan berbahasa, kognitif, dan fisik motor. Dan yang tidak kalah penting
adalah pengembangan kreativitas anak dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni. Dalam
pengembangan kreativitas dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni terdapat berbagai
macam kegiatan yang dapat dilakukan, baik dalam bidang seni tari, seni rupa, maupun seni musik.
B. Ruumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Tahap Perkembangan Seni Anak
Setiap guru SD perlu mengenal latar belakang anak didiknya, khususnya landasan teori tentang dunia
kesenirupaan anak yang telah dikembangkan oleh para ahli, agar ia dapat memilih strategi pembelajaran
yang sesuai dengan kondisi siswa. Anak Sekolah Dasar (SD) berusia sekitar 6 - 12 tahun. Berdasarkan
teori tahap-tahap perkembangan seni, secara garis besar dapat dibedakan dua tahap karakteristik, yaitu
kelas I sampai dengan kelas III ditandai dengan kuatnya daya fantasi-imajinasi, sedangkan kelas IV
sampai dengan kelas VI ditandai dengan mulai berfungsinya kekuatan rasio. Perbedaan kedua
karakteristik ini tampak pada gambar-gambar (karya dua dimensi) atau model, patung dan perwujudan
karya tiga dimensi lainnya.
Periodisasi masa perkembangan seni anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1982)
adalah: Penyelidikan yang dilakukan terhadap anak-anak usia 2 sampai 17 tahun menghasilkan
periodisasi sebagai berikut:
Kesenangan membuat goresan telah muncul pada anak-anak usia dua tahun atau bahkan sebelum dua
tahun, sejalan dengan perkembangan motorik tangan dan jari anak yang masih menggunakan motorik
kasar. Hal ini dapat kita temukan pada anak yang kerap melubangi atau melukai kertas yang digoresnya.
Pada periode ini terbagi atas tiga tahap, yakni 1) corengan tidak beraturan, 2) corengan terkendali, dan
3) corengan bernama.Ciri gambar yang dihasilkan anak pada tahap corengan tidak beraturan adalah
bentuk gambar yang sembarang, mencoreng tanpa melihat ke kertas, belum dapat membuat corengan
berupa lingkaran dan memiliki semangat yang tinggi.Corengan terkendali ditandai dengan kemampuan
anak menemukan kendali visualnya terhadap coretan yang dibuatnya. Hal ini tercipta dengan telah
adanya kerjasama antara koordinasi perkembangan visual dengan perkembangan motorik. Hal ini
terbukti dengan adanya pengulangan coretan garis baik yang horizontal, vertikal, lengkung, bahkan
lingkaran.Corengan bernama merupakan tahap akhir masa coreng moreng. Biasanya terjadi menjelang
usia 3-4 tahun, sejalan dengan perkembangan bahasanya, anak mulai mengontrol goresannya bahkan
telah memberinya nama, misalnya “rumah”, “mobil”, “bola”.
Usia anak pada tahap ini biasanya berada pada jenjang PAUD dan Sekolah Dasar (SD) kelas awal.
Kecenderungan umum pada tahap ini, obyek yang digambar anak biasanya berupa gambar kepala-
berkaki. Sebuah lingkaran yang menggambarkan kepala, kemudian pada bagian bawahnya ada dua garis
sebagai pengganti kedua kaki.
Ciri-ciri yang menarik lainnya, pada tahap ini anak telah menggunakan bentuk-bentuk dasar geometris
untuk memberi kesan obyek dari dunia sekitarnya. Koordinasi tangan lebih berkembang. Aspek warna
belum ada hubungan tertentu dengan obyek, orang bisa saja berwarna biru, merah, coklat, atau warna
lain yang anak kehendaki.Penempatan dan ukuran obyek bersifat subyektif, didasarkan kepada
kepentingannya. Jika obyek gambar lebih dikenalinya, seperti ayah dan ibu, maka gambar dibuat lebih
besar dari yang lainnya. Hal ini dinamakan dengan perspektif batin. Penempatan obyek dan penguasaan
ruang belum dikuasai anak pada usia ini.
Konsep bentuk mulai tampak jelas pada tahap ini. Anak cenderung mengulang bentuk. Gambar masih
tetap berkesan datar dan berputar atau rebah. Pada perkembangan selanjutnya kesadaran ruang
muncul dengan dibuatnya garis pijak (base line).Penafsiran ruang bersifat subyektif, tampak pada
gambar tembus pandang. Gejala ini disebut dengan idioplastis (gambar terawang, tembus pandang).
Misalnya gambar sebuah rumah yang seolah-olah terbuat dari kaca bening, hingga seluruh isi di dalam
rumah kelihatan dengan jelas.
Kenyataan tersebut diperkuat oleh pandangan Max Verworm (dalam Zulkifli, 2002: 45) bahwa “anak
menggambar benda-benda menurut apa yang dilihatnya. Hasil karya anak-anak itu disebut gambar
fisioplastik”. Anak yang belum berumur 8 tahun belum mampu menggambar apa yang dilihatnya tetapi
mereka menggambar menurut apa yang sedang di pikirannya. Hasil karya mereka itu disebut gambar
ideoplastik.
Pada masa realisme awal, karya anak lebih menyerupai kenyataan. Kesadaran perspektif mulai muncul,
namun berdasarkan penglihatan sendiri. Mereka menyatukan obyek dalam lingkungan. Selain itu,
kesadaran untuk berkelompok dengan teman sebaya dialami pada masa ini. Perhatian kepada obyek
sudah mulai rinci. Namun demikian, dalam menggambarkan obyek, proporsi (perbandingan ukuran)
belum dikuasai sepenuhnya.Pemahaman warna mulai disadari.Warna biru langit berbeda dengan biru
air laut. Penguasaan konsep ruang mulai dikenal, sehingga letak obyek tidak lagi bertumpu pada garis
dasar, melainkan pada bidang dasar sehingga mulai ditemukan garis horizon. Selain dikenalnya warna
dan ruang, penguasaan unsur desain seperti keseimbangan dan irama mulai dikenal pada periode ini.
Pada masa ini, kemampuan berpikir abstrak serta kesadaran sosial semakin berkembang. Perhatian
kepada seni mulai kritis, bahkan terhadap karyanya sendiri. Pengamatan kepada obyek lebih rinci.
Tampak jelas perbedaan anak-anak bertipe haptic dengan tipe visual. Tipe visual memperlihatkan
kesadaran rasa ruang, rasa jarak, dan lingkungan dengan fokus pada hal-hal yang menarik
perhatiannya.Gambar-gambar gaya kartun banyak digemari.
Ada sesuatu yang unik pada masa ini, di mana pada satu sisi anak, ekspresi kreatifnya sedang muncul
sementara kemampuan intelektualnya berkembang dengan sangat pesat. Sebagai akibatnya, rasio anak
seakan-akan menjadi penghambat dalam proses berkarya. Anak ingin menggambar kucing, sementara
kemampuan menggambar kucing masih kurang. Sebagai akibatnya mereka malu kalau memperlihatkan
karyanya kepada sesamanya.
Pada periode ini tumbuh kesadaran akan kemampuan diri. Perbedaan tipe individual makin tampak.
Anak yang berbakat cenderung akan melanjutkan kegiatannya dengan rasa senang, tetapi yang merasa
tidak berbakat akan meninggalkan kegiatan seni rupa, terlebih apabila tanpa bimbingan. Di dalam hal ini
peran guru banyak menentukan, terutama dalam meyakinkan bahwa keterlibatan manusia dengan seni
akan berlangsung terus-menerus dalam kehidupan. Seni bukan urusan seniman saja, tetapi urusan
semua orang dan siapa pun tidak akan terhindar dari sentuhan seni dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan seni merupakan usaha sadar untuk mewariskan atau menularkan kemampuan berkesenian
sebagai perwujudan transformasi kebudayaan dari generasi ke generasi yang dilakukan oleh para
seniman atau pelaku seni kepada siapa pun yang terpanggil untuk menjadi bakal calon seniman (M.
Jazuli, 2008: 14). Anak adalah pribadi yang unik memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda
dengan orang dewasa, dan salah satu kebutuhan anak yang khas adalah kebutuhan mengekspresikan
diri atau menyatakan diri. Pendidikan seni dapat memberikan kontribusi kepada perkembangan pribadi
anak (siswa). Kontribusi yang dimaksud berkaitan dengan pemberian ruang berekspresi, pengembangan
potensi kreatif dan imajinatif, peningkatan kepekaan rasa, menumbuhkan rasa percaya diri, dan
pengembangan wawasan budaya.
Seni menjadi wahana untuk mengungkapkan keinginan, perasaan, pikiran melalui berbagai bentuk
aktivitas seni sehingga menimbulkan kesenangan dan kepuasaan. Berekspresi seni rupa melalui elemen
visual berupa garis, warna, bidang, tekstur, volume, dan ruang. Berekspresi seni musik melalui nada,
irama, melodi, dan harmoni. Berekspresi seni tari melalui elemen gerak, ruang (bentuk dan volume),
waktu (irama), energi (dinamika). Berekspresi teater melalui pemeranan/pelakonan, bahasa, dan dialog.
Secara implisit ekspresi diri mengandung makna komunikasi karena siapa pun mengeskpresikan sesuatu
mempunyai tujuan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Sejumlah penelitian telah
meyakinkan bahwa 90 persen komunikasi emosi disampaikan tanpa kata-kata, keterampilan ini dapat
sangat meningkatkan kemampuan anak memahami perasaan orang lain sehingga mampu bertindak
cepat (Shapiro dalam M. Jazuli, 2008).
Ekspresi diri juga bermakna aktualisasi diri karena apa yang diungkapkan melibatkan sosok subjek yang
menampilkan/mengungkapkan kepada orang lain. Berekspresi juga dapat dimaknai bermain karena
bermain adalah pekerjaan anak yang bisa memberikan kebebasan, kesenangan, dan tantangan
sebagaimana ketika mereka bermain. Melalui permainan anak¬anak akan memperoleh kesempatan
belajar dan mempraktikkan cara-cara baru dalam berpikir, merasakan, dan bertindak. Dengan demikian
berekspresi berarti pembelajaran emosi yang selalu melibatkan daya kreasi sering muncul secara
spontan ketika Si anak mengungkapkan sesuatu, berkomunikasi, dan bermain.
Potensi kreatif ditandai oleh kemampuan berpikir kritis, rasa ingin tahu menonjol, percaya diri, sering
melontarkan gagasan baru orisinil, berani mengambil resiko dan tampil beda, terbuka terhadap
pengalaman baru, menghargai diri sendiri dan orang lain (M. Jazuli, 2008: 104). Dengan demikian anak
kreatif selalu memunculkan gagasan baru, orisinil, cemerlang, dan unik. Dalam jagat seni sangat mampu
memberikan peluang yang amat luas bagi berkembangnya segala, potensi kreatif anak secara bebas
(nyaman) dan menyenangkan karena tidak ada indoktrinasi, tidak mengenal benar dan salah, tetapi
selalu dalam situasi harmoni.
×
type to search
BERANDA › MAKALAH
Baca Juga
Dosen Pengampu :
Oleh :
Muhammad 0103517074
Rombel 5
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya kepada
penyusun, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah dengan judul "Mengembangkan
Potensi Seni untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Pengembangan Pembelajaran Seni di SD”.
Dalam penyelesaian makalah ini penyusun berusaha untuk melakukan yang terbaik, namun kami
menyadari bahwa kemampuan kami terbatas.Oleh karena itu kritik dan saran sangatlah kami harapkan
dan dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan selesainya makalah ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
proses penyelesaian makalah ini yang telah memberikan dorongan, masukan dan semangat.
Semoga apa yang kami tulis ini bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya serta
mendapat ridha dari Allah Subhanahu wata’ala. Aamiin
PENYUSUN
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................. 2
Daftar Isi........................................................................................................... 3
Bab I Pendahuluan
B. Rumusan Masalah................................................................................ 5
C. Tujuan ................................................................................................. 5
Bab II Pembahasan
6. Meningkatkan Kesehatan.............................................................. 17
A. Simpulan ............................................................................................. 19
Daftar Pustaka.................................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata seni adalah sebuah kata yang semua orang di pastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar
pemahaman yang berbeda. Konon kabarnya kata seni berasal dari kata “sani” yang kurang lebih artinya
“Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Mungkin saya memaknainya dengan keberangkatan orang/
seniaman saat akan membuat karya seni, namun menurut kajian ilimu di eropa mengatakan “ART”
(artivisial) yang artinya kurang lebih adalah barang/ atau karya dari sebuah kegiatan. Namun kita tidaka
usah mempersoalkan makna ini, karena kenyataannya kalu kita memperdebatkan makna yang seperti
ini akan semakain memperkeruh suasana kesenian, biarlah orang memilih yang mana terserah mereka.
Seni adalah proses yang sengaja mengatur unsur-unsur dalam suatu cara yang menarik indra atau
emosi. Ini mencakup berbagai macam kegiatan manusia, ciptaan, dan cara berekspresi, termasuk musik,
sastra, film, patung, dan lukisan. Makna seni ini dibahas dalam cabang filsafat yang dikenal sebagai
estetika.
Kreaivitas merupakan suatu ungkapan yang tidak asing lagi di dalam kehidupan sehari-hari, khususnya
untuk anak usia prasekolah yang selalu berusaha untuk menciptakan segala sesuatu sesuai dengan
imajinasinya. Kreativitas anak di tk ditampilkan dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk gambar yang
dia sukai, bercerita, bermain peran ataupun menampilkan berbagai gerakan yang berkaitan dengan
aktivitas motoriknya. Pengembangan kreativitas anak terdapat pada seluruh bidang kemampuan dasar,
yaitu meliputi bidang pengembangan berbahasa, kognitif, dan fisik motor. Dan yang tidak kalah penting
adalah pengembangan kreativitas anak dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni. Dalam
pengembangan kreativitas dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni terdapat berbagai
macam kegiatan yang dapat dilakukan, baik dalam bidang seni tari, seni rupa, maupun seni musik.
B. Ruumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Setiap guru SD perlu mengenal latar belakang anak didiknya, khususnya landasan teori tentang dunia
kesenirupaan anak yang telah dikembangkan oleh para ahli, agar ia dapat memilih strategi pembelajaran
yang sesuai dengan kondisi siswa. Anak Sekolah Dasar (SD) berusia sekitar 6 - 12 tahun. Berdasarkan
teori tahap-tahap perkembangan seni, secara garis besar dapat dibedakan dua tahap karakteristik, yaitu
kelas I sampai dengan kelas III ditandai dengan kuatnya daya fantasi-imajinasi, sedangkan kelas IV
sampai dengan kelas VI ditandai dengan mulai berfungsinya kekuatan rasio. Perbedaan kedua
karakteristik ini tampak pada gambar-gambar (karya dua dimensi) atau model, patung dan perwujudan
karya tiga dimensi lainnya.
Periodisasi masa perkembangan seni anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1982)
adalah: Penyelidikan yang dilakukan terhadap anak-anak usia 2 sampai 17 tahun menghasilkan
periodisasi sebagai berikut:
Kesenangan membuat goresan telah muncul pada anak-anak usia dua tahun atau bahkan sebelum dua
tahun, sejalan dengan perkembangan motorik tangan dan jari anak yang masih menggunakan motorik
kasar. Hal ini dapat kita temukan pada anak yang kerap melubangi atau melukai kertas yang digoresnya.
Pada periode ini terbagi atas tiga tahap, yakni 1) corengan tidak beraturan, 2) corengan terkendali, dan
3) corengan bernama.Ciri gambar yang dihasilkan anak pada tahap corengan tidak beraturan adalah
bentuk gambar yang sembarang, mencoreng tanpa melihat ke kertas, belum dapat membuat corengan
berupa lingkaran dan memiliki semangat yang tinggi.Corengan terkendali ditandai dengan kemampuan
anak menemukan kendali visualnya terhadap coretan yang dibuatnya. Hal ini tercipta dengan telah
adanya kerjasama antara koordinasi perkembangan visual dengan perkembangan motorik. Hal ini
terbukti dengan adanya pengulangan coretan garis baik yang horizontal, vertikal, lengkung, bahkan
lingkaran.Corengan bernama merupakan tahap akhir masa coreng moreng. Biasanya terjadi menjelang
usia 3-4 tahun, sejalan dengan perkembangan bahasanya, anak mulai mengontrol goresannya bahkan
telah memberinya nama, misalnya “rumah”, “mobil”, “bola”.
Usia anak pada tahap ini biasanya berada pada jenjang PAUD dan Sekolah Dasar (SD) kelas awal.
Kecenderungan umum pada tahap ini, obyek yang digambar anak biasanya berupa gambar kepala-
berkaki. Sebuah lingkaran yang menggambarkan kepala, kemudian pada bagian bawahnya ada dua garis
sebagai pengganti kedua kaki.
Ciri-ciri yang menarik lainnya, pada tahap ini anak telah menggunakan bentuk-bentuk dasar geometris
untuk memberi kesan obyek dari dunia sekitarnya. Koordinasi tangan lebih berkembang. Aspek warna
belum ada hubungan tertentu dengan obyek, orang bisa saja berwarna biru, merah, coklat, atau warna
lain yang anak kehendaki.Penempatan dan ukuran obyek bersifat subyektif, didasarkan kepada
kepentingannya. Jika obyek gambar lebih dikenalinya, seperti ayah dan ibu, maka gambar dibuat lebih
besar dari yang lainnya. Hal ini dinamakan dengan perspektif batin. Penempatan obyek dan penguasaan
ruang belum dikuasai anak pada usia ini.
3. Masa bagan (schematic period) 7-9 tahun
Konsep bentuk mulai tampak jelas pada tahap ini. Anak cenderung mengulang bentuk. Gambar masih
tetap berkesan datar dan berputar atau rebah. Pada perkembangan selanjutnya kesadaran ruang
muncul dengan dibuatnya garis pijak (base line).Penafsiran ruang bersifat subyektif, tampak pada
gambar tembus pandang. Gejala ini disebut dengan idioplastis (gambar terawang, tembus pandang).
Misalnya gambar sebuah rumah yang seolah-olah terbuat dari kaca bening, hingga seluruh isi di dalam
rumah kelihatan dengan jelas.
Kenyataan tersebut diperkuat oleh pandangan Max Verworm (dalam Zulkifli, 2002: 45) bahwa “anak
menggambar benda-benda menurut apa yang dilihatnya. Hasil karya anak-anak itu disebut gambar
fisioplastik”. Anak yang belum berumur 8 tahun belum mampu menggambar apa yang dilihatnya tetapi
mereka menggambar menurut apa yang sedang di pikirannya. Hasil karya mereka itu disebut gambar
ideoplastik.
Pada masa realisme awal, karya anak lebih menyerupai kenyataan. Kesadaran perspektif mulai muncul,
namun berdasarkan penglihatan sendiri. Mereka menyatukan obyek dalam lingkungan. Selain itu,
kesadaran untuk berkelompok dengan teman sebaya dialami pada masa ini. Perhatian kepada obyek
sudah mulai rinci. Namun demikian, dalam menggambarkan obyek, proporsi (perbandingan ukuran)
belum dikuasai sepenuhnya.Pemahaman warna mulai disadari.Warna biru langit berbeda dengan biru
air laut. Penguasaan konsep ruang mulai dikenal, sehingga letak obyek tidak lagi bertumpu pada garis
dasar, melainkan pada bidang dasar sehingga mulai ditemukan garis horizon. Selain dikenalnya warna
dan ruang, penguasaan unsur desain seperti keseimbangan dan irama mulai dikenal pada periode ini.
Pada masa ini, kemampuan berpikir abstrak serta kesadaran sosial semakin berkembang. Perhatian
kepada seni mulai kritis, bahkan terhadap karyanya sendiri. Pengamatan kepada obyek lebih rinci.
Tampak jelas perbedaan anak-anak bertipe haptic dengan tipe visual. Tipe visual memperlihatkan
kesadaran rasa ruang, rasa jarak, dan lingkungan dengan fokus pada hal-hal yang menarik
perhatiannya.Gambar-gambar gaya kartun banyak digemari.
Ada sesuatu yang unik pada masa ini, di mana pada satu sisi anak, ekspresi kreatifnya sedang muncul
sementara kemampuan intelektualnya berkembang dengan sangat pesat. Sebagai akibatnya, rasio anak
seakan-akan menjadi penghambat dalam proses berkarya. Anak ingin menggambar kucing, sementara
kemampuan menggambar kucing masih kurang. Sebagai akibatnya mereka malu kalau memperlihatkan
karyanya kepada sesamanya.
Pada periode ini tumbuh kesadaran akan kemampuan diri. Perbedaan tipe individual makin tampak.
Anak yang berbakat cenderung akan melanjutkan kegiatannya dengan rasa senang, tetapi yang merasa
tidak berbakat akan meninggalkan kegiatan seni rupa, terlebih apabila tanpa bimbingan. Di dalam hal ini
peran guru banyak menentukan, terutama dalam meyakinkan bahwa keterlibatan manusia dengan seni
akan berlangsung terus-menerus dalam kehidupan. Seni bukan urusan seniman saja, tetapi urusan
semua orang dan siapa pun tidak akan terhindar dari sentuhan seni dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan seni merupakan usaha sadar untuk mewariskan atau menularkan kemampuan berkesenian
sebagai perwujudan transformasi kebudayaan dari generasi ke generasi yang dilakukan oleh para
seniman atau pelaku seni kepada siapa pun yang terpanggil untuk menjadi bakal calon seniman (M.
Jazuli, 2008: 14). Anak adalah pribadi yang unik memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda
dengan orang dewasa, dan salah satu kebutuhan anak yang khas adalah kebutuhan mengekspresikan
diri atau menyatakan diri. Pendidikan seni dapat memberikan kontribusi kepada perkembangan pribadi
anak (siswa). Kontribusi yang dimaksud berkaitan dengan pemberian ruang berekspresi, pengembangan
potensi kreatif dan imajinatif, peningkatan kepekaan rasa, menumbuhkan rasa percaya diri, dan
pengembangan wawasan budaya.
Seni menjadi wahana untuk mengungkapkan keinginan, perasaan, pikiran melalui berbagai bentuk
aktivitas seni sehingga menimbulkan kesenangan dan kepuasaan. Berekspresi seni rupa melalui elemen
visual berupa garis, warna, bidang, tekstur, volume, dan ruang. Berekspresi seni musik melalui nada,
irama, melodi, dan harmoni. Berekspresi seni tari melalui elemen gerak, ruang (bentuk dan volume),
waktu (irama), energi (dinamika). Berekspresi teater melalui pemeranan/pelakonan, bahasa, dan dialog.
Secara implisit ekspresi diri mengandung makna komunikasi karena siapa pun mengeskpresikan sesuatu
mempunyai tujuan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Sejumlah penelitian telah
meyakinkan bahwa 90 persen komunikasi emosi disampaikan tanpa kata-kata, keterampilan ini dapat
sangat meningkatkan kemampuan anak memahami perasaan orang lain sehingga mampu bertindak
cepat (Shapiro dalam M. Jazuli, 2008).
Ekspresi diri juga bermakna aktualisasi diri karena apa yang diungkapkan melibatkan sosok subjek yang
menampilkan/mengungkapkan kepada orang lain. Berekspresi juga dapat dimaknai bermain karena
bermain adalah pekerjaan anak yang bisa memberikan kebebasan, kesenangan, dan tantangan
sebagaimana ketika mereka bermain. Melalui permainan anak¬anak akan memperoleh kesempatan
belajar dan mempraktikkan cara-cara baru dalam berpikir, merasakan, dan bertindak. Dengan demikian
berekspresi berarti pembelajaran emosi yang selalu melibatkan daya kreasi sering muncul secara
spontan ketika Si anak mengungkapkan sesuatu, berkomunikasi, dan bermain.
Potensi kreatif ditandai oleh kemampuan berpikir kritis, rasa ingin tahu menonjol, percaya diri, sering
melontarkan gagasan baru orisinil, berani mengambil resiko dan tampil beda, terbuka terhadap
pengalaman baru, menghargai diri sendiri dan orang lain (M. Jazuli, 2008: 104). Dengan demikian anak
kreatif selalu memunculkan gagasan baru, orisinil, cemerlang, dan unik. Dalam jagat seni sangat mampu
memberikan peluang yang amat luas bagi berkembangnya segala, potensi kreatif anak secara bebas
(nyaman) dan menyenangkan karena tidak ada indoktrinasi, tidak mengenal benar dan salah, tetapi
selalu dalam situasi harmoni.
Keadaan semacam ini memungkinkan anak memiliki keberanian untuk mengungkapkan ide dan
meningkatkan rasa empati, menyadari kemampuan sendiri, serta siap menerima tanggapan lingkungan
terhadap apa yang diungkapkan. Dengan adanya keberanian tersebut pendidik cukup sebagai fasilitator
yang berperan memberikan arahan dan pelayanan secara proporsional dan konstruktif. Misalnya:
menciptakan suasana yang mampu memotivasi kepada siswa untuk berani mencetuskan idenya,
menyediakan sarana yang mendorong eksplorasi dan eksperimen, bersikap komunikatif, serta cerdas
dalam menciptakan lingkungan sekolah yang bebas sekaligus tertib.
Eisner dan Ecker menginformasikan pendapat tokoh pendidikan seni di Amerika Margaret Mathias, Bella
Boas, Florence Cane, dan Victor D'Amico bahwa pendidikan seni potensial untuk mencetak manusia
kreatif. Hasil penelitian Mohanty dan Hejmadi tahun 1992 menginformasikan bahwa setelah 20 hari
anak belajar menari dan bermusik kemudian diberi tes berpikir kreatif, ternyata hasil skornya lebih tinggi
dari anak yang tidak belajar menari dan bermusik. Hal ini menunjukkan bahwa menari dan bermusik
dapat meningkatkan daya kreatif. Berdasarkan hasil penelitian tersebut kemudian menyebar ke seluruh
penjuru dunia sebagai gerakan pendidikan seni yang mempromosikan kekreatifan (M. Jazuli, 2008: 105).
3. Meningkatkan kepekaan perasaan
Kepekaan perasaan khususnya rasa keindahan alam maupun buatan manusia. Orang yang peka
perasaannya ditandai oleh kesadaran dan responsif terhadap gejala yang terjadi di sekitarnya. Hal ini
tercermin pada kemampuannya untuk menerima, mengamati, dan menghayati berbagai rangsang dari
luar. Dengan kata lain, orang yang peka rasa memiliki daya penghayatan tinggi terhadap lingkungannya
sehingga relatif mudah menyerap variasi keindahan yang muncul ke permukaan, seperti tergetar bila
mendengar suara gemericik air, deburan ombak, alunan seruling, gesekan biola, gerakan tarian, goresan
lukisan, ekspresi wajah pengemis dan orang tuli, dan sebagainya.
Orang yang peka perasaannya cenderung berpikir dan bertindak positif dan konstruktif terhadap
lingkungannya sehingga kemudian mendorong para pendidik untuk mencetak siswa yang peka perasaan
melalui pembelajaran apresiasi seni di sekolah umum. Untuk menciptakan kepekaan perasaan siswa
dalam proses pembelajaran apresiasi seni ditempuh dengan berbagai cara. Misalnya mengenalkan tokoh
seniman besar dan karya-karyanya beserta kisah perjalanan hidupnya melalui foto reproduksi,
mendengarkan dan menyimak musik secara cermat, mencermati gerakan flora dan fauna serta gerakan
tari, mengunjungi galeri, gedung pertunjukan, museum, mengoleksi gambar, foto, kaset, DVD, dan
sebagainya. Semua itu dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kepekaan perasaan terhadap
keindahan. Kepekaan perasaan sering menjadi modal awal dan utama bagi proses penciptaaan karya
seni.
Orang yang memiliki rasa percaya diri berarti dia mampu menyesuaikan diri dan mampu berkomunikasi
pada berbagai situasi, memiliki kemampuan bersosialisasi, serta memiliki kecerdasan yang cukup.
Implikasi dari rasa percaya diri adalah munculnya sikap mandiri, yang di dalamnya memuat rasa
tanggung jawab. Hasil penelitian Atip Nurharini menginformasikan bahwa pembelajaran tari mampu
mengembangkan rasa kepercayan diri anak ( M. Jazuli, 2008 : 106).
Rasa percaya diri anak dimaksud adalah suatu keyakinan atas segala aspek kelebihan yang dimiliki anak,
dan dengan keyakinan itu membuat diri anak mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan dan
keinginan didalam hidupnya. Cara yang dilakukan guru dalam pembelajaran tari untuk mengembangkan
rasa percaya anak meliputi:
a. Pemberian bimbingan sebagai dasar pengembangan rasa percaya anak melalui perlakuan, seperti
memberikan sentuhan, memotivasi anak, pengkondisian relaksasi, menumbuhkan rasa bangga, melatih
berekspresi, berkreativitas, bersosialisasi, melatih bertanggung jawab, dan memberikan stimulan pada
anak;
b. Materi tari disesuaikan dengan karakter anak seperti tari bergembira dan mengandung permainan,
serta tari garapan baru yang mampu menghibur maupun mengundang simpati anak;
d. Evaluasi dilakukan dengan cara pengamatan tentang kemampuan prestasi anak dan perubahan
perilaku anak.
Setelah anak diberi pembelajaran tari karakteristik rasa kepercayan diri anak terlihat dari munculnya
perasaaan bangga, memiliki sifat pemberani, mampu mengendalikan emosi, mampu mengasah
kehalusan budi, mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan mandiri, mudah berinteraksi, memiliki
prestasi lebih baik, berkembang imajinasinya, dan kreatif.
Pendidikan seni adalah pendidikan berbasis budaya, artinya belajar seni sekaligus belajar budaya dari
mana seni tersebut berasal. Belajar dengan seni atau melalui seni yang beragam sama halnya dengan
belajar banyak tentang budaya-bermakna pengayaan wawasan budaya. Wawasan budaya bisa
berkembang bila orang memiliki kesadaran budaya yaitu semacam sikap peduli bahwa dirinya
merupakan bagian dari masyarakat di mana dia hidup. Sikap 'peduli' ini lebih penting daripada sikap
'memiliki' karena kepedulian mengandung nilai perhatian yang tinggi dan kesadaran penuh untuk selalu
memelihara meskipun sesuatu yang dipedulikan bukan miliknya, sebaliknya memiliki bisa bermakna
belum mau memelihara, merawat, jadi tidak peduli. Dengan kepedulian terhadap budaya masyarakat
akan melahirkan rasa cinta, bangga, dan kebutuhan untuk melestarikan budaya.
Oleh karena itu wajar bila pendidikan seni dianggap sangat efektif untuk menumbuhkan kesadaran
budaya. Contohnya adalah seni mimesis dari Yunani, yang sampai sekarang masih menjadi salah satu
model pembelajaran melukis, dengan tujuan untuk menanamkan rasa memiliki pada diri anak seni
terhadap budaya sendiri; di Cina anak sejak sekolah dasar sudah diajarkan bagaimana menggunakan
kuas, cara duduk yang tepat, mencampur tinta untuk melukis kaligrafi gaya Cina; di Jepang seni rupa ala
Jepang menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di sekolah umum; di Indoensia sejak zaman kerajaan,
anak-anak raja di Jawa diwajibkan menguasai beberapa bentuk dan jenis seni, seperti harus bisa
bermain gamelan, menari, menulis sastra, membuat syair (tembang), dan sebagainya.
Bahkan dalam sejarah seni budaya istana Jawa sudah banyak berkolaborasi dengan budaya dari daerah
lain maupun mancanegara. Contonya adalah ornamen atau hiasan yang terpampang pada bangunan
istana Jawa tampak telah bercampur dengan budaya Cina, budaya Hindu, budaya Barat (Eropa). Semua
contoh tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menanamkan kecintaan dan kekaguman pada diri anak-
anak terhadap budayanya sendiri, tanpa menjadikan superioritas. Oleh karena itu kesadaran budaya
perlu ditanamkan sejak dini, sejak anak-anak melalui pendidikan seni. Sebagimana pernah
diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara bersama sekolah Taman Siswanya, yang didirikan untuk
kepentingan anak bangsa Indonesia.
Salah satu pidato beliau mengenai hubungan pendidikan dan kultur yang disampaikan di RRI Yogyakarta
14 Januari 1940 ( Dalam M. Jazuli, 2008 : 108) seperti berikut ini:
"... dengan pendidikan menghaluskan perasaan, anak-anak kita hendaknya mendapatkan kecerdasan
yang luas dan sempurna dari rohnya, jiwanya, budinya, hingga mereka hendaknyalah mendapatkan
tingkatan yang luhur sebagai manusia (mempertinggi value human)."
6. Meningkatkan kesehatan
Suatu kekayaan yang tak ternilai harganya bagi setiap orang adalah kesehatan. Oleh karenanya semua
orang selalu ingin sehat jasmani dan rokhani. Sungguhpun aktivitas seni banyak bergulat pada wilayah
rohani (olahrasa dan olahhati) tetapi bukan berarti mengesampingkan olahraga pada wilayah jasmani.
Ada kecenderungan bahwa sumber kesehatan manusia terletak pada jiwa, rohani. Artinya bila orang
jiwanya sehat maka jasmaninya cenderung juga sehat, terkecuali orang gila. Bila jasmani seseorang sakit
maka jiwanya belum tentu sakit, mungkin agak sedikit terganggu. Oleh karena itu, orang yang
berkesenian sangat berpeluang untuk selalu sehat, dalam arti sehat jiwanya, apalagi bila berkesenian
tari maka akan sehat jasmani dan rohaninya.
Seni tari dengan mediumnya gerak, ruang, waktu, tenaga tampak jelas memerlukan olah rasa (estetika),
olah hati (etika), olah cipta (logika), dan olahraga (kinestetika). Dibandingkan dengan cabang seni lainnya
seni tari lebih berperan penting dalam mengembangkan ketahanan, kelenturan, keseimbangan, dan
kebugaran jasmani (tubuh) bagi kesehatan setiap orang secara menyeluruh. Meskipun demikian
kebugaran dalam seni tari tidak menjadi rumusan tujuan, yang lebih utama adalah kesehatan.
Kebugaran menjadi persyaratan instrumen bagi penari dimaksudkan agar gerakan tarinya tampak lebih
luwes, ringan, dan enak dipandang. Keaktifan fisik (kinestetik) pada seni rupa tampak pada sapuan kuas,
membentuk tanah liat, mencetak bidang, sedangkan pada seni musik aktivitas fisik tampak pada
memukul drum, menggesek biota, meniup terompet, tetapi tidaklah seintensif dan dominan
sebagaimana seni tari.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Tahap perkembangan seni anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1982): Masa coreng-
moreng (sribbling period) 2-4 tahun, Masa pra-bagan (pre schematic period) 4-7 tahun, Masa bagan
(schematic period) 7-9 tahun, Masa realisme awal (early realism) 9-12 tahun, Masa naturalisme semu
(Pseudo Naturalistic)12-14 tahun, Periode penentuan (Period of Decision) 14-17 tahun. Anak adalah
pribadi yang unik memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda dengan orang dewasa, dan salah
satu kebutuhan anak yang khas adalah kebutuhan mengekspresikan diri atau menyatakan diri.
Pendidikan seni dapat memberikan kontribusi kepada perkembangan potensi pribadi anak (siswa).
Kontribusi yang dimaksud berkaitan dengan pemberian ruang berekspresi, pengembangan potensi
kreatif dan imajinatif, peningkatan kepekaan rasa, menumbuhkan rasa percaya diri, dan pengembangan
wawasan budaya.
Daftar Pustaka
Lowenfeld, V., & Brittain, L. 1982. Creative and Mental Growth. New York: Maemillan.