Anda di halaman 1dari 6

Asal mula terbentuk nya kerajaan dompu

Budayawan dan sejarawan Dompu Almarhum Israil M. Saleh dalam risalahnya yang berjudul Sekitar
Kerajaan Dompu mencatat bahwa Wilayah Daerah Tingkat II Dompu (Kabupaten Dompu) ini dulunya
adalah bekas wilayah kerajaan/kesultanan. Status daerah kabupaten yang diperolehnya

justru karena nilai historis yang dimilikinya sebagai wilayah kerajaan/

kesultanan yang telah berdiri sendiri sejak lama dengan jumlah raja/

sultan yang telah memerintah sebanyak 29 orang (ada yang menyebut 30).

Dikemukakan penulis bahwa hari lahirnya suatu daerah bila ingin ditetapkan tentu dihitung saat

daerah itu mulai membentuk dirinya dalam kehidupan berpemerintahan

sendiri. Maka sejak adanya pemukiman di daerah ini, masyarakatnya

telah menata dirinya dalam kehidupan berpemerintahan.

"Awal kehidupan berpemerintahan di Dompu ialah yang disebut

zaman Ncuhi, yaitu suatu persekutuan hidup kemasyarakatan yang

kecil yang dikepalai oleh Ncuhi atau kepala suku. Dalam persekutuan

masyarakat seperti ini belum ada nama kampung, desa atau marga

seperti sekarang, akan tetapi sebutan nggaro di Dompu dan lewi di

Bima, itulah nama tempat pemukiman buat mereka pada zamannya," tulisnya.

Dilanjutkan penulis, periode berikutnya adalah pengelompokan kehidupan dalam bentuk yang lebih
besar lagi dengan wilayah yang lebih luas.

Persekutuan hidup kemasyarakatan seperti ini dipimpin oleh

seorang raja.

Dikatakannya eksistensi Kerajaan Dompu tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Sriwijaya di Sumatera

sebagai negara nasional

di Nusantara (sekitar tahun


pertama 700 sampal 900 M).

Menurut catatan dalam buku Atlas Sejarah karangan Prof. M. Yamin Negeri Dompu sudah ada pada
masa Kerajaan Sriwijaya itu.

Setelah Kerajaan Sriwijaya sirna, maka muncul pula di Pulau Jawa

sebuah kerajaan nusantara bernama Kerajaan Majapahit (tahun

1293 sampai 1521 M). Kerajaan Dompu tetap berada di dalamnya.

"Perlu dicatat di sini salah satu pengukuhan sejarah seperti yang

disebutkan dalam Sumpah Palapa tahun 1331 yang diucapkan

oleh Maha Patih Gajah Mada dengan isi selengkapnya berbunyi:

"Saya baru akan berhenti berpuasa makan Palapa jikalau seluruh

Nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jikalau Gurun,

Seran, Tanjung Pura, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan

Tumasik sudah ditaklukkan"

Dengan demikian ini berarti di sebelah timur Pulau Jawa sudah

ada sebuah kerajaan yang kuat dan perlu diperhitungkan yaitu

Kerajaan Dompu," sebutnya.

Israil menambahkan Kerajaan Majapahit pernah mengirimkan prajuritnya untuk menaklukkan Kerajaan
Dompu. Peristiwa ini juga didukung oleh cerita-

cerita orang tua telah terjadi peperangan yang dahsyat antara

pasukan Majapahit dan pasukan Kerajaan Dompu. Peristiwa

ini terjadi berkisar pada tahun 1340 M. dengan membawa banyak korban di antara kedua belah pihak
yang berkesudahan dengan kekalahan pasukan Majapahit

"Serangan kedua terjadi

sekitar tahun 1357 M yang berkesudahan dengan kalah dan


takluknya Kerajaan Dompu di bawah panji-panji Kerajaaan Majapahit. Peperangan ini dikenal dengan
Perang Tanding atas kesepakatan kedua panglima dari Kerajaan Majapahit dan

Kerajaan Dompu untuk menghindarkan pertumpahan darah

dan banyaknya korban.

Pada saat seluruh wilayah Nusantara mulai dijajah oleh Belanda,

Kerajaan Dompu pun termasuk di dalamnya. Akan tetapi Kerajaan Dompu tidaklah bertakluk tanpa
syarat pada Kerajaan Belanda. Selama periode penjajahan Belanda yang panjang di

Indonesia, Kerajaan Dompu telah berkali-kali mengadakan perjanjian kerja sama dengan Belanda, dan
sebagai akibat bertakluknya Sultan Hasanuddin yang dikokohkan dengan

Perjanjian Bungaya tahun 1667. Saat itu merupakan titik awal Kerajaan Dompu harus membuat
perjanjian kerja sama

dengan pemerintah Belanda, karena dengan takluknya Sultan Hasanuddin berarti takluknya kerajaan-
kerajaan di Pulau Sumbawa. Perjanjian-perjanjian itu adalah perjanjian antara

Belanda dengan Sultan Abdullah, putra Sultan Muhammad Salahuddin,

Sultan Muhammad Sirajuddin( putra Sultan Abdullah).

Perjanjian yang lain sudah tidak didapatkan lagi, entah di mana

adanya

Tulisan-tulisan yang berkenaan dengan Pulau Sumbawa terdapat

juga di dalam buku Negarakertagama tahun 1365, saat Majapahit

menguasai Pulau Sumbawa, saat dimana di Pulau Sumbawa telah

berdiri kerajaan, yang masing-masing telah memiliki struktur

politik yang mantap dan pemerintahan yang teratur.

5. Saat penjajahan Belanda yang kemudian disusul dengan

penjajahan Jepang. Saat itu pemerintahan Kerajaan Dompu

dalam keadaan vakum karena Sultan

Muhammad Sirajuddin dibuang

Belanda ke Kupang dan meninggal


di sana. Oleh pendudukan Jepang

Kerajaan Dompu ini digabungkan dengan Kerajaan Bima.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia bagian timur masih
dikuasai Belanda. Maka masyarakat Dompu menuntut untuk berdirinya kembali

Kerajaan Dompu dan dengan besluit Resident Timur tanggal 12

September 1947 No. 1a, Kerajaan Dompu dinyatakan berdiri

kembali dan Muhammad Tajul Arifin Sirajuddin diangkat sebagai Sultan Dompu yang ke-29 (sultan
terakhir).

Setelah terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT) dengan UU NIT

No. 44 tahun 1950, kerajaan ini berubah statusnya menjadi daerah Swapraja dan di Pulau Sumbawa
dibentuk Dewan

raja-raja yang diketuai oleh Sultan Sumbawa, Muhammad

Kaharuddin.

Dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dibentuk
menjadi daerah Swatantra Tk. II, kemudian Undang-Undang No. 69 tahun

1958 dibentuk menjadi daerah Kabupaten Tingkat II Dompu.

Berikut pejabat-pejabat yang memegang kendali pemerintahan

tercatat sebagai berikut:

1. Muhammad Tajul Arifin Sirajudin, mulai 1 Desember 1958

dan berakhir tanggal 30 April 1960 dengan SK Menteri Dalam

Negeri Nomor UP-7/14/35 tanggal 2 Oktober 1958.

2. H.A Rahman Mahmud, mulai tanggal 30 April 1960. Berakhir

tanggal 30 November 1966 dengan SK Menteri Nomor

UP.7/7/5/862 tanggal 18 Maret 1960.

3. I Gusti Ngurah BA., mulai tanggal 30 November 1966, dan

berakhir tanggal 11 Agustus 1967 dengan SK Menteri Dalam


Negeri No.UP.14/18/370172 tanggal 24 September 1966.

4. Suwarno Atmojo, mulai tanggal 11 Agustus 1967 dan berakhir

tanggal 24 September 1979 dengan SK Menteri Dalam Negeri

Nomor UP.9/2/17/1129 tanggal 18 Juni 1967.

5. Heroe Soegijo, mulai tanggal 24 September 1979, dan berakhir

24 Agustus 1984 dengan SK Menteri Dalam Negeri No. Pem.

7/20/4/0576 tanggal 22 September 1979.

6. H. Moh. Yakub MT., mulai tanggal 29 September 1984. (Risalah Sekitar Kerajaan Dompu (SKD) ditulis
oleh almarhum pada masa pemerintahan Bupati Dompu keenam H. Moh. Yakub MT sehingga catatan
tentang Bupati Dompu yang dimuat dalam risalah tersebut hanya sampai pada H. Moh. Yakub MT.
Risalah SKD kemudian dipublikasikan oleh Kantor BP-7 Kabupaten Dompu tahun 1985 dan telah
direkomendasikan oleh Bupati Dompu saat itu yakni H. Moh. Yakub MT tersebut akhirnya dicetak
menjadi buku dengan judul yang sama tahun 2020 dengan beberapa perubahan oleh penyunting yakni
putri almarhum sendiri Ir. Nurhaidah Asikin).

Berdirinya kerajaan dompu

Ada dua atau tiga versi kisah pendirian Kerajaan Dompu. Semuanya berasal dari cerita tutur. Cerita yang
tercatat di Buku Sejarah Daerah NTB yang ditulis tahun 1977 menyebutkan bahwa Kerajaan Dompu
didirikan atas prakarsa Ncuhi Tonda, yakni Ncuhi Patakula dan Pangeran Tulang Bawang.

Mustakim AR (1995) memiliki historiografinya sendiri. Menurutnya, dahulu di Dompu masyarakat


terbagi atas kelompok-kelompok kecil yang dipimpin oleh seorang Ncuhi. Ada Ncuhi Tonda, Ncuhi Nowa,
Ncuhi Hu'u, Ncuhi Adu, Ncuhi Saneo, dll. Kelompok ini statusnya sama dengan kabilah dalam sejarah
Arab. Mereka punya territory dan aturan masing-masing. Kita sebut saja kelompok ini Ke-ncuhi-an.

Para Ncuhi ini saling bersaing dan berperang untuk menjadi yang terkuat. Maka keluarlah Ncuhi Tonda
sebagai Ncuhi terkuat. Dialah pemimpin para Ncuhi, Ncuhi di atas Ncuhi. Seluruh Ncuhi lain tunduk
padanya dan wajib memberikan upeti kepadanya sekali dalam setahun.

Tonda (saat ini adalah Desa Mumbu, Kec. Woja) ibu kota Kerajaan Dompu yang pertama. Ncuhi Tonda
berkedudukan di Riwo. Maka, setiap tahun para ncuhi yang lain datang ke Riwo untuk membawa
persembahan sebagai tanda ketundukan. Persembahan itu diletakkan di dalam sebuah wadah dari
anyaman bambu bernama Kula. Ncuhi Tonda adalah seorang yang sakti, sehingga ia dapat mengenali
mana Kula milik Ncuhi Hu'u dan mana Kula milik Ncuhi Nowa, dan Kula milik para ncuhi yang lain. Maka
para ncuhi yang lain menggelarinya dengan julukan Ncuhi Patakula atau Ompu Patakula.
Dahulu kerajaan ini belum memiliki nama, hanya saja faktanya saat itu Ncuhi Tonda atau Ompu Patakula
telah menjadi Ncuhi atas segala Ncuhi, raja atas segala raja kecil. Setiap kali para Ncuhi datang
membawa persembahan, mereka akan bertemu di jalan. Ncuhi Saneo misalnya, ketika akan membawa
persembahan ke Riwo, ia pasti akan melewati daerah kekuasaan Ncuhi Nowa yang berpusat di Bukit
Doro Nowa. Ia akan mampir di sana.

Ncuhi Nowa akan bertanya: "Mulao 'bakaiku? (Engkau hendak ke mana?)." Maka Ncuhi Saneo akan
menjawab: "Kalao 'do Ompu (Saya akan pergi ke Ompu)," maksudnya hendak ke Ompu Patakula. Atau ia
akan menyingkatnya menjadi 'do Ompu. 'Do (selatan) yang mengacuk kepada kedudukan Ncuhi Tonda
yang berada di selatan.

Karena mereka rutin pergi 'do Ompu, maka lama kelamaan tempat Ncuhi Tonda bertahta disebut 'do
Ompu. Dan lambat laun sebutan ini dipersingkat menjadi 'Dompu. Itulah asal muasal nama Kerajaan
Dompu.

Pada masa selanjutnya, Kencuhian ini berubah menjadi kerajaan dengan datangnya Pangeran Kerajaan
Tulang Bawang yang terdampar di Pantai Woja. Kerajaan Dompu ini kemudian menjadi kerajaan kuat
yang menguasai setengah dari Pulau Sumbawa.

Pada tahun 1331 M, nama Dompu disebut dalam sumpah palapa oleh Gajah Mada, Perdana Menteri
Kerajaan Majapahit di Jawa. Lalu pada tahun 1357, Majapahit baru dapat menaklukkan Kerajaan
Dompu. Maka dimulailah dinasty baru di Kerajaan Dompu yang berasal dari Indera Kumala, putera dari
Sang Bima. Inilah yang menurunkan para raja Dompu. Tahun 1545, Kerajaan Dompu berubah menjadi
kesultanan. Kesultanan Dompu kemudian dibubarkan pada tahun 1958 dengan berdirinya NKRI. (Penulis
: Satyawadhi E. Ozananta).

Anda mungkin juga menyukai