Budayawan dan sejarawan Dompu Almarhum Israil M. Saleh dalam risalahnya yang berjudul Sekitar
Kerajaan Dompu mencatat bahwa Wilayah Daerah Tingkat II Dompu (Kabupaten Dompu) ini dulunya
adalah bekas wilayah kerajaan/kesultanan. Status daerah kabupaten yang diperolehnya
kesultanan yang telah berdiri sendiri sejak lama dengan jumlah raja/
sultan yang telah memerintah sebanyak 29 orang (ada yang menyebut 30).
Dikemukakan penulis bahwa hari lahirnya suatu daerah bila ingin ditetapkan tentu dihitung saat
kecil yang dikepalai oleh Ncuhi atau kepala suku. Dalam persekutuan
masyarakat seperti ini belum ada nama kampung, desa atau marga
Bima, itulah nama tempat pemukiman buat mereka pada zamannya," tulisnya.
Dilanjutkan penulis, periode berikutnya adalah pengelompokan kehidupan dalam bentuk yang lebih
besar lagi dengan wilayah yang lebih luas.
seorang raja.
Dikatakannya eksistensi Kerajaan Dompu tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Sriwijaya di Sumatera
Menurut catatan dalam buku Atlas Sejarah karangan Prof. M. Yamin Negeri Dompu sudah ada pada
masa Kerajaan Sriwijaya itu.
Israil menambahkan Kerajaan Majapahit pernah mengirimkan prajuritnya untuk menaklukkan Kerajaan
Dompu. Peristiwa ini juga didukung oleh cerita-
ini terjadi berkisar pada tahun 1340 M. dengan membawa banyak korban di antara kedua belah pihak
yang berkesudahan dengan kekalahan pasukan Majapahit
Kerajaan Dompu pun termasuk di dalamnya. Akan tetapi Kerajaan Dompu tidaklah bertakluk tanpa
syarat pada Kerajaan Belanda. Selama periode penjajahan Belanda yang panjang di
Indonesia, Kerajaan Dompu telah berkali-kali mengadakan perjanjian kerja sama dengan Belanda, dan
sebagai akibat bertakluknya Sultan Hasanuddin yang dikokohkan dengan
Perjanjian Bungaya tahun 1667. Saat itu merupakan titik awal Kerajaan Dompu harus membuat
perjanjian kerja sama
dengan pemerintah Belanda, karena dengan takluknya Sultan Hasanuddin berarti takluknya kerajaan-
kerajaan di Pulau Sumbawa. Perjanjian-perjanjian itu adalah perjanjian antara
adanya
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia bagian timur masih
dikuasai Belanda. Maka masyarakat Dompu menuntut untuk berdirinya kembali
kembali dan Muhammad Tajul Arifin Sirajuddin diangkat sebagai Sultan Dompu yang ke-29 (sultan
terakhir).
No. 44 tahun 1950, kerajaan ini berubah statusnya menjadi daerah Swapraja dan di Pulau Sumbawa
dibentuk Dewan
Kaharuddin.
Dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dibentuk
menjadi daerah Swatantra Tk. II, kemudian Undang-Undang No. 69 tahun
6. H. Moh. Yakub MT., mulai tanggal 29 September 1984. (Risalah Sekitar Kerajaan Dompu (SKD) ditulis
oleh almarhum pada masa pemerintahan Bupati Dompu keenam H. Moh. Yakub MT sehingga catatan
tentang Bupati Dompu yang dimuat dalam risalah tersebut hanya sampai pada H. Moh. Yakub MT.
Risalah SKD kemudian dipublikasikan oleh Kantor BP-7 Kabupaten Dompu tahun 1985 dan telah
direkomendasikan oleh Bupati Dompu saat itu yakni H. Moh. Yakub MT tersebut akhirnya dicetak
menjadi buku dengan judul yang sama tahun 2020 dengan beberapa perubahan oleh penyunting yakni
putri almarhum sendiri Ir. Nurhaidah Asikin).
Ada dua atau tiga versi kisah pendirian Kerajaan Dompu. Semuanya berasal dari cerita tutur. Cerita yang
tercatat di Buku Sejarah Daerah NTB yang ditulis tahun 1977 menyebutkan bahwa Kerajaan Dompu
didirikan atas prakarsa Ncuhi Tonda, yakni Ncuhi Patakula dan Pangeran Tulang Bawang.
Para Ncuhi ini saling bersaing dan berperang untuk menjadi yang terkuat. Maka keluarlah Ncuhi Tonda
sebagai Ncuhi terkuat. Dialah pemimpin para Ncuhi, Ncuhi di atas Ncuhi. Seluruh Ncuhi lain tunduk
padanya dan wajib memberikan upeti kepadanya sekali dalam setahun.
Tonda (saat ini adalah Desa Mumbu, Kec. Woja) ibu kota Kerajaan Dompu yang pertama. Ncuhi Tonda
berkedudukan di Riwo. Maka, setiap tahun para ncuhi yang lain datang ke Riwo untuk membawa
persembahan sebagai tanda ketundukan. Persembahan itu diletakkan di dalam sebuah wadah dari
anyaman bambu bernama Kula. Ncuhi Tonda adalah seorang yang sakti, sehingga ia dapat mengenali
mana Kula milik Ncuhi Hu'u dan mana Kula milik Ncuhi Nowa, dan Kula milik para ncuhi yang lain. Maka
para ncuhi yang lain menggelarinya dengan julukan Ncuhi Patakula atau Ompu Patakula.
Dahulu kerajaan ini belum memiliki nama, hanya saja faktanya saat itu Ncuhi Tonda atau Ompu Patakula
telah menjadi Ncuhi atas segala Ncuhi, raja atas segala raja kecil. Setiap kali para Ncuhi datang
membawa persembahan, mereka akan bertemu di jalan. Ncuhi Saneo misalnya, ketika akan membawa
persembahan ke Riwo, ia pasti akan melewati daerah kekuasaan Ncuhi Nowa yang berpusat di Bukit
Doro Nowa. Ia akan mampir di sana.
Ncuhi Nowa akan bertanya: "Mulao 'bakaiku? (Engkau hendak ke mana?)." Maka Ncuhi Saneo akan
menjawab: "Kalao 'do Ompu (Saya akan pergi ke Ompu)," maksudnya hendak ke Ompu Patakula. Atau ia
akan menyingkatnya menjadi 'do Ompu. 'Do (selatan) yang mengacuk kepada kedudukan Ncuhi Tonda
yang berada di selatan.
Karena mereka rutin pergi 'do Ompu, maka lama kelamaan tempat Ncuhi Tonda bertahta disebut 'do
Ompu. Dan lambat laun sebutan ini dipersingkat menjadi 'Dompu. Itulah asal muasal nama Kerajaan
Dompu.
Pada masa selanjutnya, Kencuhian ini berubah menjadi kerajaan dengan datangnya Pangeran Kerajaan
Tulang Bawang yang terdampar di Pantai Woja. Kerajaan Dompu ini kemudian menjadi kerajaan kuat
yang menguasai setengah dari Pulau Sumbawa.
Pada tahun 1331 M, nama Dompu disebut dalam sumpah palapa oleh Gajah Mada, Perdana Menteri
Kerajaan Majapahit di Jawa. Lalu pada tahun 1357, Majapahit baru dapat menaklukkan Kerajaan
Dompu. Maka dimulailah dinasty baru di Kerajaan Dompu yang berasal dari Indera Kumala, putera dari
Sang Bima. Inilah yang menurunkan para raja Dompu. Tahun 1545, Kerajaan Dompu berubah menjadi
kesultanan. Kesultanan Dompu kemudian dibubarkan pada tahun 1958 dengan berdirinya NKRI. (Penulis
: Satyawadhi E. Ozananta).