Lembaga Afiliasi
Masalah mendasar adalah tanggung jawab dalam kepengurusan masjid. Banyak masjid yang
dibangun oleh swadaya masyarakat sendiri. Misalnya sebuah RT berusaha mengumpulkan dana
lalu membangun masjid di RT mereka. Tujuan utamanya mungkin adalah agar jarak dan waktu
menuju masjid dapat dipersingkat.
Hal ini sangat bagus. Ada kemandirian masyarakat. Namun sistem pembangunan seperti ini
ada hal negatifnya. Ketiadaan induk dan afiliasi masjid secara nasional mempunyai potensi
penyimpangan fungsi masjid tersebut, karena tidak adanya kontrol.
Penyelesaiannya, sebuah masjid yang telah dibangun seharusnya melaporkan diri ke pihak
yang berwenang/organisasi kompeten seperti MUI, NU, atau lainnya. Lembaga inilah yang akan
membimbing pengelola masjid. Pembinaan dan standarisasi keilmuwan pengurusnya akan
dapat dilakukan, misal menghitung zakat, kemampuan imam, khatib dan berbagai pengetahuan
lainnya.
Lembaga tersebut juga akan selalu melakuan audit, pelatihan berkala dan berbagai program
pembinaan lainnya sehingga kepengurusan masjid menjadi akuntable dan bertanggung jawab.
Struktur Organisasi
Masjid seharusnya dikelola oleh tim pengelola (badan wakaf atau semacamnya) yang
independen dan profesional, serta dapat dikontrol oleh lembaga-lembaga afiliasi tersebut di
atas. Selain meringankan kerja pewakaf/pendiri masjid, hal ini untuk menjaga ke-istiqamah-an
masjid seandainya pendiri masjid telah meninggal.
Ketika seseorang mewakafkan sebuah masjid, hendaknya dibentuk sebuah badan wakaf
sebagai pengelolanya. Anggota tim pengelola harus dipilih secara hati-hati, dengan melihat
aspek-aspek keilmuwan, kemapanan, kepemimpinan, dan latar belakangnya, karena tim ini
yang menentukan arah dan perkembangan masjid (GBHN-nya masjid). Tim tidak usah terlalu
banyak, namun jangan terlalu sedikit. Seperti pengorganisasian Wali Songo, ketika ada anggota
tim yang meninggal dunia, sebaiknya cepat-cepat dicari/ditunjuk penggantinya.
Tim Pengelola ini kemudian menunjuk takmir masjid sebagai pengurus hariannya. Tim
pengelola (Badan wakaf) tidak perlu bekerja secara full, cukup hanya memantau/mengontrol
saja. Sedangkan keseharian kegiatan masjid diselenggarakan oleh takmir, yang dibentuk oleh
tim pengelola tersebut.
Antara tim pengelola dan takmir harus melakukan pertemuan secara berkala, walaupun tidak
perlu terlalu sering. Ini dilakukan untuk kontrol, evaluasi kerja, dan penyamaan/penyegaran
(kembali) persepsi GBHN masjid. Tim pengelola berhak memecat atau mengganti takmir ketika
diketahui ada penyelewengan.
Hubungan antara tim pengelola dan takmir masjid seperti hubungan MPR dengan Presiden.
Atau antara Syuriyah dengan Tanfidiyah. Kalau di dunia bisnis, seperti hubungan antara Komite
(pemilik saham) dengan Direktur Utama.
Kepekaan Sosial
Selain kegiatan-kegiatan di atas, pengurus masjid harus tanggap terhadap kondisi sosial yang
terjadi di masyarakat. Kendala-kendala maupaun masalah-masalah sosial yang dialami warga
sekitarnya. Misalnya kelaparan, musibah, kesusahan, sakit jiwa, kefakiran, deviasi sosial,
kenakalan remaja, musafir (pendatang yang kesusahan), ketiadaan air, ibn sabil dan lain
sebagainya. Masijd melalui pengurusnya harus bertindak sebagai, pengayom, pencegah,
pengobat dan konseling.
Dalam hal peristiwa-peristiwa besar, pengurus masjid perlu bekerja sama dengan lembaga-
lembaga afiliasi di atasnya, dengan organisasi terkait lain, ataupun dengan pemerintah.
Wallahu a’lam.
Semoga manfaat.