Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN RESIKO BUNUH DIRI


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas stase Keperawatan Jiwa
Pembimbing :

Disusun oleh :

Shanti ariani
211FK04024

PROGRAM STUDI PROFRSI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
2022
A. Konsep Resiko Bunuh Diri

1. Definisi

Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat

mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang

disebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping

yang digunakan dalam mengatasi masalah (Damayanti & Iskandar, 2014).

Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko

untuk menyakiti diri sendiri untuk melakukan tindakan yang dapat

mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri

sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang juka tidak dicegah

dapat mengarah kepada kematian. Perilkau destruktif diri yang mengcakup

setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu

menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan (Damayanti &

Iskandar, 2014).

Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat

mengarah pada kematian. Risiko bunuh diri adalah rentan terhadap

menyakiti diri sendiri dan cedera yang mengancam jiwa (keliat & dkk,

2015).

2. Tanda dan gejala

Menurut (Damayanti & Iskandar, 2014) tanda dan gejala dari

resiko bunuh diri adalah :


 Mempunyai ide untuk bunuh diri

 Mengungkapkan keinginan untuk mati

 Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan

 Implusif

 Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi

sangat patuh)

 Memiliki riwayat percobaan bunuh diri

 Verbal terselubung ( berbicara tentang kematian, menanyakan

tentang obat dosis mematikan)

 Status ekonomi (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik,

marah dan mengasingkan diri).

 Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang

yang depresi, psikosis dan menyalagunakan alkohol).

 Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik

atau terminal)

 Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau

mengalami kegagalan dalam karier)

 Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun

 Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan)

 Pekerjaan

 Konflik interperseonal
 Latar belakang keluarga

 Orientasi seksual

 Sumber-sumber personal

3. Etiologi

a. Faktor predisposisi

Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman

perilaku destruktif diri sepanjang siklus kehidupan adalah

sebagai berikut:

- Diagnostik psikiatrik

Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya

dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan

jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu

berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah

gangguan efektif, penyalagunaan zat, dan skizofrenia.

- Sifat kepribadian

Tiga tipe kepribadiaan yang erat hubungannya dengan

besarnya resiko bunuh diri adalah antipati, implusif, dan

depresi.

- Lingkungan psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri,

antaranya adalah pengalaman kehilangan, kehilangan

dukungan sosial, kejadian- kejadian negatif dalam hidup,

penyakit kronis, perpisahan, atau bahkan perceraian.

Kekuatan dukungan social sangan penting dalam

menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih

dahulu mengetahui penyebab masalah, respon seseorang

dalam menghadapi masalah tersebut, dan lai-lain.

- Riwayat keluarga

Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri

merupakan faktor penting yang dapat menyebabkan

seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

- Faktor biokimia

Data menunjukkan bahwa klien dengan resiko bunuh diri

terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat dalam otak

seperti serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan

zat tersebut dapat diliham melalui rekaman gelombang

otak electro encephalo graph (EEG).

b. Faktor presipitasi

Perilaku destriktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan


yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa

kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi

pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai

orang yang melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri.

Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat

rentan.

c. Perilaku koping

Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam

kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali

orang ini secara sadar meminta untuk melakukan tindakan

bunuh diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak

faktor, baik faktor sosial maupun budaya. Struktur sosial dari

kehidupan bersosial dapat menolong atau bahkan mendorong

klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi sosial dapat

menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang

untuk melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam

kegiatan masyarakat lebih mampu menoleransi stress dan

menurunkan angka bunuh diri. Aktif dalam kegiatan keagamaan

juga dapat mencegah seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

d. Mekanisme koping
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme

koping yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri.

Termasuk denial, rasionalization, regrassion, dan magical

thingking. Mekanisme pertahanan diri yang ada seharusnya

tidak ditentang tanpa memberikan koping alternatif.

(Damaiyanti & Iskandar, 2014)

4. proses terjadinya
Penjabaran Krisis Bunuh Tindakan
Motivasi Niat
gagasan Diri Bunuh Diri

Hidup atau Konsep - Jeritan Minta Tolon


mati Bunuh Diri - Catatan Bunuh Diri

Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan

adanya motivasi untuk bunuh diri dengan berbagai alasan, berniat

melaksanakan bunuh diri, mengembangkan gagasan sampai

akhirnya melakukan bunuh diri. Oleh karena itu, adanya percobaan

bunuh diri merupakan masalah keperawatan yang harus

mendapatkan perhatian serius. Sekali pasien berhasil mencoba

bunuh diri, maka selesai riwayat pasien. Untuk itu, perlu

diperhatikan beberapa mitos (pendapat yang salah) tentang bunuh

diri. (Yusuf, Firyasari, & Nihayati, 2015).


5. patofisiogram

Masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum kehilangan pekerjaan,


ancaman pengurungan Ide bunuh diri

Koping individu tidak efektif

Isyarat bunuh diri verbal/non verbal

Pertimbangan untuk melakukan bunuh diri

Ancaman bunuh diri

Kurangnya respon positif (putus asa)

Upaya bunuh diri/ pencederaan diri)

Bunuh diri

(Azizah & Zainuri, 2016)


6. Rentang respon

(Damayanti & Iskandar,2014)

Respon adaptif respon maladaptif

Peningkatan berisiko destruktif diri pencederaan

Bunuh diri

Diri destruktif tidak langsung diri

Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping.

Ancaman bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk

mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri

yang terjadi merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada

diri seseorang.

a. Peningkatan diri. Seseorang dapat menungkatkan proteksi atau

pertahanan diri secara wajar terhadap situasional yang

membutuhkan pertahanan diri. Sebagai contoh seseorang

mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda mengenai

loyalitas terhadap pimpinan ditempat kerja.

b. Berisiko destruktif. Seseorang memiliki kecendrungan atau berisiko


mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri

terhadap situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri,

seperti seseorang merasa patahsemangat bekerja ketika dirinya

dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal suda melakukan

pekerjaan secara optimal.

c. Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap

yang kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan

dirinya untuk mempertahankan diri. Misalnya, karena pandangan

pimpinan terhadap kerjanya yang tidak royal, maka seseorang

karyawan menjadi tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan

tidak optimal.

d. Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau

pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang

ada.

e. Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai

dengan nyawanya hilang.

7. Fase

Perilaku bunuh diri berkembang pada fase diantaranya (Keliat & dkk,

2015) :

a. Suicidal ideation. Pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari

suicide, atau sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan


aksi/tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak akan

mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian,

perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki

pikiran tentang keinginan untuk mati.

b. Suicide intent. Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah

melakukan perencanaan yang konkrit untuk melakukan bunuh diri.

c. Suicidal gesture. Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku

destruktif yang diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak

hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah pada percobaan untuk

melakukan bunh diri. Tindakan yang dilakukan pada fase ini pada

umumnya tidak mematikan, misalnya meminum beberapa pil atau

menyayat pembuluh darah pada lengannya. Hal ini terjadi karena

individu memahami ambivalen kemauan untuk hidup, ingin

diselamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik mental.

Tahap ini sering di namakan “Crying for help” sebab individu ini

sedang berjuang dengan stress yang tidak mampu diselesaikan.

d. Suicidal attermpt. Pada tahap ini perilaku destruktif yang

mempunyai indikasi individu ingin mati dan tidak diselamatkan

misalnya minum obat yang mematikan. Walaupun demikian banyak

individu masih mengalami ambivalen akan kehidupannya.

e. Suicide. Tindakan yang bermaksud membunuh diri sendiri. Hal ini


telah didahului oleh beberapa percobaan bunuh diri sebelumnya.

30% orang yang berhasil melakukan bunuh diri adalah orang yang

pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya. Suicide ini

yakini merupakan hasil dari individu yang tidak punya pilihan untuk

mengatasi kesedihan yang mendalam.

8. Jenis bunuh diri

Menurut (Damayanti & Iskandar, 2014) bunuh diri di bagi menjadi tiga

jenis yaitu :

a. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)

Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini di

sebabkan oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang

menjadi individu itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan

integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka tidak

menikah atau lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri

dibandingkan mereka yang menikah. Contohnya orang yang putus

cinta atau putus harapan kerap membuat seseorang mengakhiri

hidupnya.

b. Bunuh diri allturuistik (terkait kehormatan seseorang)

Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus atau dia cenderung

untuk bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu

kelompok. Ia merasa kelompok tersebut sangat mengharapkannya


contohnya konsep kehormatan dapat mendorong seseorang untuk

melakukan ritual bunuh diri jika mereka percaya bahwa mereka

telah membawa aib pada kelompok sosial utama mereka.

c. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)

Hal ini terjadi bila terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan

integratis antara individu dan masyarakat, sehingga individu

tersebut meningggalkan norma-norma kelakuan yang biasa.

Individu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau

kelompoknya tidak memberikan kepuasaan padanya karena tidak

ada pengaturan atau pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya

contohnya angka bunuh diri cenderung meningkat karna individu

gagal menghadapi perubahan yang cukup drastis yang menimpa

dirinya.

9. Perilaku yang berisiko bunuh diri

FAKTOR RESIKO TINGGI RESIKO

RENDAH

Umur >45 th/akal balig 24-45 th/<12 th

Jenis kelamin Pria Wanita

Status kawin Cerai,pisah,janda,duda Kawin

Hidup sosial Terisolasi Aktif

bermasyarakat
Keahlian Profesional, dr,ahli Buruh

hukum, mahasiswa

Pekerjaan Pengangguran Bekerja

Kesehatan fisik Kronik/terminal Tak ada masalah

media serupa

Kesehatan mental Depresi,dilusi,halusinasi Gangguan

kepribadian

Obat dan alkohol Kecanduan Tidak pernah

Usaha bunuh diri Minimal 1x Tidak pernah

sebelumnya

Rencana Pasti/spesifik Kabur (samar)

Cara Tembak,loncat,gantung Minum obat,racun

diri

Tersedianya alat Selalu tersedia Tidak sedia

10. Mekanisme koping

Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan

perilaku pengerusakan diri tak langsung adalah pengingkaran

(denial ) .Sementara, mekanisme koping yang paling menonjol

adalah rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi. (Yusuf,

Firyasari, & Nihayati, 2015)


11. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada klien

resiko bunuh diri salah satunya adalah dengan terapi

farmakologi. Menurut (Yosep & Sutini, 2014) .Obat-obat yang

biasanya digunakan pada klien resiko bunuh diri adalah :

a. SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor (fluoksetin 20 mg/hari

per oral), venlafaksin (75-225mg/hari per oral)

b. Nefazodon (300-600 mg/hari per oral)

c. Trazodon (300-600 mg/hari per oral)

d. Bupropion (300-600 mg/hari per oral)

Obat-obat tersebut sering dipilih karena tidak berisiko letal

akibat overdosi. Mekanisme kerja obat tersebut akan bereaksi

dengan sistem neurotransmiter monoamin di otak khususnya

norapenefrin dan serotonin. Kedua neurotransmiter ini

dilepas di seluruh otak dan membantu mengatur keinginan,

kewaspadaan, perhataian, mood, proses sensori, dan nafsu

makan.

a. Ruangan aman dan nyaman, terhindar dari alat yang digunakan

untuk mencederai diri sendiri atau orang lain

b. Alat-alat medis, obat-obatan, dan jenis cairan medis di lemari


dalam keadaan terkunci

c. Ruangan harus ditempatkan dilantai satu dan keseluruhan

ruangan mudah dipantau oleh petugas kesehatan

d. Ruangan yang menarik, misalnya dengan warna cerah, ada

poster dll.

e. Hadirkan musik yang ceria, televisi, film komedi, bacaan ringan

dan lucu

f. Adanya lemari khusus untuk menyimpan barang pribadi klien

g. Lingkungan sosial
B. Proses Keperawatan

1. Pengkajian

a. Data fokus

Format/data fokus pengkajian pada kliem dengan resiko bunuh diri

(Yusu,Firyasari & Nihayati, 2015)

1. Keluhan utama : keluhan yang muncul pada saat pengkajian

yang mengarah pada tanda-tanda resiko bunuh diri

2. Pengalaman masalalu yang tidak menyenangkan

a. Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri

b. Riwayat keluarga terhadap bunuh diri

c. Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAFZA dan

skizofrenia

d. Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.

e. Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian

boderline, paranoid, antisosial.

f. Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses

berduka

3. Konsep diri

Klien umumnya mengatakan hal yang negatif tentang dirinya,

yang menunjukkan harga diri rendah

4. Alam perasaan
a. Sedih

b. Putus asa

(klien umumnya merasakan kesedihan dan keputusasaan

yang sangat mendalam)

5. Interaksi selama wawancara

a. Tidak kooperatif

b. Defensive

c. Kontak mata kurang

d. Curiga

6. Afek

a. Datar

b. Tumpul

7. Mekanisme koping maladaptif

a. Mencederai diri

b. Menghindar

8. Masalah psikososial dan lingkungan

a. Masalah dengan dukungan keluarga

b. Masalah dengan perumahan

b. Masalah keperawatan

Risiko bunuh diri

c. Analisis data
No Data Masalah

1.  Mempunyai ide untuk bunuh diri Resiko bunuh

 Mengungkapkan keinginan untuk mati diri

 Mengungkapkan rasa bersalah dan

keputusasaan

 Implusif

 Menunjukkan perilaku yang

mencurigakan (biasanya menjadi sangat

patuh)

 Memiliki riwayat percobaan bunuh diri

 Verbal terselubung ( berbicara tentang

kematian, menanyakan tentang obat

dosis mematikan)

 Status ekonomi (harapan, penolakan,

cemas meningkat, panik, marah dan

mengasingkan diri).

 Kesehatan mental (secara klinis, klien

terlihat sebagai orang yang depresi,

psikosis dan menyalagunakan alkohol).

 Kesehatan fisik (biasanya pada klien


dengan penyakit kronik atau terminal)

 Pengangguran (tidak bekerja,

kehilangan pekerjaan, atau mengalami

kegagalan dalam karier)

 Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun

 Status perkawinan (mengalami

kegagalan dalam perkawinan)

 Pekerjaan

 Konflik interperseonal

 Latar belakang keluarga

 Orientasi seksual

 Sumber-sumber personal
d. Pohon masalah

Risiko perilaku kekerasan (pada

diri sendiri, orang lain,

lingkungan dan verbal)

Effect

Risiko Bunuh Diri

Core problem

Harga Diri Rendah Kronik

Causa

(Damayanti & Iskandar, 2014)

2. Diagnosa Keperawatan

Risiko bunuh diri

3. Intervensi keperawatan
Rencana tindakan keperawatan terdiri atas empat komponen, yaitu

tujuan umum, tujuan khusus, rencana tindakan keperawatan, dan rasional.

Tujuan umum berfokus pada penyelesaian masalah (P). Tujuan ini dapat

dicapai jika tujuan khusus yang ditetapkan telah tercapai. Tujuan khusus

berfokus pada penyelesaian etiologi (E). Tujuan ini merupakan rumusan

kemampuan pasien yang harus dicapai. Pada umumnya kemampuan ini

terdiri atas tiga aspek, yaitu sebagai berikut (Damayanti & Iskandar, 2014)

Kemampuan kognitif diperlukan untuk menyelesaikan etiologi dari

diagnosis keperawatan.

1) Kemampuan psikomotor diperlukan agar etiologi dapat selesai.

2) Kemampuan efektif perlu dimiliki agar pasien percaya akan

kemampuan menyelesaikan masalah

Lampiran Intervensi SP1-SP4

NO KLIEN KELUARGA

SP1P SP1K

1 Mengidentifikasi benda benda - Mendiskusikan masalah yang

yang dapat membahayakan pasien dirasakam keluarga dalam merawat

2 Mengamankan benda benda yang klien

dapat membahayakan pasien - Menjelaskan pengertian, tanda dan


3 Melakukan kontrak treatment gejala risiko bunuh diri dan jenis
4 Mengajarkan cara cara perilaku bunuh diri yang dialami klien
mengendalikan dorongan bunuh beserta proses terjadinya

diri - Menjelaskan cara-cara merawat klien


5 Melatih cara mengendalikan risiko bunuh diri

dorongan bunuh diri

SP2P SP2K

1 Mengidentifikasi aspek positif - Melatih keluarga mempraktikkan cara

klien merawat klien dengan risiko bunuh

2 Mendorong klien untuk berfikir diri

positif tentang diri - Melatih keluarga mempraktikan cara


3 Mendorong klien untuk merawat langsung kepada klien resiko

menghargai diri sebagai individu bunuh diri

berharga

SP3P SP3K

1 Mengidentifikasi pola koping Membantu keluarga membuat jadwal

yang biasa diterapkan klien aktifitas di rumah termasuk minum obat

2 Menilai pola koping yang biasa (discharge planning) menjelaskan follow

dilakukan up klien setelah pulang


3 Mengidentifikasi pola koping

yang konstruktif
4
Mendorong klien memilih pola

koping yang konstruktif


5 Mengajarkan klien menerapkan

pola koping konstruktif dalam

kegiatan harian

SP4P SP4K

1 Membuat rencana masa depan Menjelaskan follow up klien setelah

yang realistis bersama klien pulang

2 Mengidentifikasi cara mencapai

rencana masa depan yang realistis


3 Memberi dorongan klien

melakukan kegiatan dalam rangka

meraih masa depan yang realistis


4
Menganjurkan klien memasukan

dalam jadwal kegiatan harian

SP5P SP5K

1 Memberi dorongan klien Membantu keluarga membuat jadwal

melakukan kegiatan dalam rangka aktifitas di rumah termasuk minum obat

masa depan yang realistis (discharge planning) menjelaskan follow


2 Menganjurkan klien memasukkan up klien setelah pulang

dalam jadwal kegiatan harian


4. Implementasi Keperawatan

Tindakan keperawatan harus menggambarkan tindakan keperawatan

yang mandiri, serta kerja sama dengan pasien, keluarga, kelompok, dan

kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa lain.

Sebelum tindakan keperawatan diimplementasikan perawat perlu

mempalidasi apakah rencana tindakan yang ditetapkan masih sesuai

dengan kondisi pasien saat ini (here and now)perawat juga oerlu

mengevaluasi diri sendiri apakah mempunyai kemampuan

interpesonal,intelektual,dan teknikal sesuai dengan tindakan yang akan

dilaksanakan.setelah tidak ada hambatan lagi,maka tindakan keperawatan

bisa diimplestasikan.saat mulai untuk tindakan implementasi tindakan

keperawatan,perawat harus membuat kontrak dengan pasien yang

diharapkan.kemudian oenting untuk diperhatikan terkait dengan standar

tindakan yang telah ditentukan dan aspek legal yaitu mendokumentasikan

apa yang telah dilaksanakan.


DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M.,& Zainuri, I. (2016). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan


Jiwa. Teori dan Aplikasi Praktik. Yogyakarta: Indonesia Pustaka.

Damayanti, M., & Iskandar. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung:


PT. Refika Aditama.

Keliat, B. A., & dkk. (2015). Diagnosis Keperawatan :Definisi dan


Klasifikasi. Jakarta: EGC.

Yosep, I., & Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance
Mental Health Nursing. Bandung: PT Refika Aditama.

Yusuf, A.H., Firyasari, R., & Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai