Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Etik Keperawatan Lansia
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam
hubungan dengan orang lain. Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif
yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang.
Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang
berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan
filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan
perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu.
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup,
sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi
perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik
perawatan. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah
yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa
yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Keperawatan gerontik adalah suatu pelayanan profesional yang berdasarkan ilmu
dan kiat/tekhnik keperawatan yang berbentuk bio-psiko-sosial-spritual dan kultural yang
holistic yang ditujukan kepada klien lanjut usia baik sehat maupun sakit pada tingkat
individu.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa etik keperawatan adalah
istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku,
apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain khususnya dalam
memberikan suatu pelayanan profesional yang berdasarkan ilmu dan kiat/tekhnik
keperawatan yang berbentuk bio-psiko-sosial-spritual dan kultural yang holistic yang
ditujukan kepada klien lanjut usia baik sehat maupun sakit pada tingkat individu

2.2 Prinsip Etik


1. Respect (Hak untuk dihormati)
Perawat harus menghargai hak-hak pasien/klien.
2. Autonomy (hak pasien memilih)
Hak pasien untuk memilih treatment terbaik untuk dirinya.
3. Beneficence (Bertindak untuk keuntungan orang lain/pasien)
Kewajiban untuk melakukan hal yang tidak membahayakan pasien/pasien dan secara
aktif berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan pasien.
4. Non-Maleficence (utamakan tidak mencederai orang lain)
Kewajiban perawat untuk tidak menimbulkan kerugian/cidera.
Prinsip : jangan membunuh, menghilangkan orang lain, jangan membuat nyeri atau
penderitaan pada orang lain, dan jangan melukai perasaan orang lain.
5. Confidentiality (hak kerahasiaan)
Menghargai kerahasiaan terhadap semua informasi tentang pasien/klien yang sudah
dipercayakan kepada perawat.
6. Justice (keadilan)
Kewajiban untuk berlaku adilkepada semua orang/pasien/klien. Kata adil disini yaitu
berarti tidak memihak.
7. Fidelity (loyalty/ketaatan)
1) Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab terhadap
kesepakatan yang telah diambil.
2) Era modern, pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak hanya pada
satu profesi). 80% kebutuhan dipenuhi perawat.
3) Masing-masing profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku
4) Memiliki keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan yang
disepakati.
8. Veracity (Truthfullness & honesty)
Kewajiban untuk mengatakan kebenaran
1) Terkait erat dengan prinsip otonomi, khususnya terkait informed-consent
2) Prinsip veracity mengikat pasien dan perawat untuk selalu mengutarakan
kebenaran

2.3 Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan pada Lansia


Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita usia
lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
1. Empati
Istilah empati menyangkut pengertian : ”simpati atas dasar pengertian yang
dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri harus memandang
seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih sayang dan memahami rasa
penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus
dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-
protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus
memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
2. Yang harus dan yang ”jangan”
prinsip ini sering dikemukakan sebagai non-maleficence dan beneficence.
Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada keharusan untuka mngerjakan yang baik
untuk pnderita dan harus menghindari tindakan yang menambah penderita (harm)
bagi penderita. Terdapat adagium primum non nocere (”yang penting jangan
membuat seseorang menderita”). Dalam pengertian ini, upaya  pemberian posisi
baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu
dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan
contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan.
3. Otonomi
Yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk menentukan
nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak tersebut
mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar pada
keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan secara mandiri dan bebas.
Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?)
oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk
melindungi penderita yang fungsional masih kapabel (sedanagkan non-
maleficence dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel).
Dalam berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme,
dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan
(mis. Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).
4. Keadilan
Yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang sama bagi
semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara
wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak
relevan.
5. Kesungguhan Hati
Yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang diberikan pada
seorang penderita.

2.4 Informed Consent


Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan geriatric
berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai
berikut:

1. penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan


pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus bersifat
sukarela.
2. keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau
keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas.
3. keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental dianggap
kapabel.
Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian
ituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik) atau
informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita berha menolak tindakan
medik yang disarankan oleh dokter, tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan,
apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan yang dipilih
tersebut tidak berguan (useless) atau bahkan berbahaya (harmful).
Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hokum
yang sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita
tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label
iagnosis, antara lain terlihat dari:
1. apakan penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar ?
2. dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat ?
3. apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita mendapatkan
penjelasan yang lengkap dan benar) ?
4. apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya ? (misalnya tentang keuntungan
dan kerugian dari tindakan tersebut ? dan mengerti pula berbagai pilihan yang
ada) ?
Pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih
terdapat fungsi yagn baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak baik,
sehingga perlu pertimbangan beberapa faktor. Pada usia lanjut serinkali sudah
terdapat gangguan komunikasi akibat menurunnya pendengaran, sehingga perlu
waktu, upaya dan kesabaran yang lebih guna mengetahui kapasitas fungsional
penderita.
Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita untuk
mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh :
1. Realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan (misalnya pada
keadaan depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila gangguan tersebut
demikian berat, sedangakan keputusan harus segera diambil, maka keputusan bisa
dialihkan kepada wakil hukum atau walimkeluarga (istri/suami/anak atau
pengacara). Dalam istilah asing keadaan ini disebut sebagai surrogate decission
maker.
2. Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek
medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta benda dll) maka
sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi kepentingan
penderita yang disebut badan perlindungan hokum (guardianship board).
(brocklehurst and allen 1987, kane et al, 1994).
Dalam kenyatannya pengambila keputusan ini sering dilakukan berdasarkan
keadaan de-facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dinbanding keadaan de-jure
oleh pengacara, karena hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama, dan
sering melelahkan baik secara fisik maupun emosional.
Oleh Karena suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah pengertian,
kepercayaan penderita atau latar belakang budaya dapat menyebabkan penderita
mengambil keputusan yang salah ( antara lain menolak tramfusi / tindakan bedah
yagn live saving). Dalam hal ini, dokter dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana
atas otonomi penderita tetap harus dihargai.
Yang penting adalah bahwa dokter mau mendengar semua keluhan atau alasan
penderita dan kalau mungkin memperbaiki keputusan penderita tersebut denagn
pemberian edukasi. Seringkali perlu diambil tindakan “kompromi” antara apa yang
baik menurut pertimbangan dokter dan apa yang diinginkan oleh penderita.

2.5 Peraturan Yang Berkaitan Dengan Kesejahteran Lansia


Landasan Hukum Di Indonesia
Berbagai perundang-undangan yang langsung mengenai Lanjut Usia atau yang
tidak langsung terkait dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah diterbitkan sejak 1965.
beberapa di antaranya adalah :

1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang


Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan
tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747).
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja.
3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial.
4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.
6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang PErkembangan Kependudukan
dan Pembangunan keluarga Sejahtera.]
10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan
Kependudukan.
14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
(Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang-Undang
nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
15. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :

1) Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan


kelembagaan.
2) Upaya pemberdayaan.
3) Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak
potensial.
4) Pelayanan terhadap Lanjut Usia.
5) Perlindungan sosial.
6) Bantuan sosial.
7) Koordinasi.
8) Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.
9) Ketentuan peralihan.

2.6 Permasalahan-permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia


Bila ditinjau dari aspek hukum dan etika, dapat disebabkan oleh faktor, seperti
berikut :
1. Produk Hukum
Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk hukum
dan perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan. Begitu pula, belum
diterbitkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk Teknisnya,
sehingga penerapannya di lapangan sering menimbulkan permasalahan. Undang-
undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang Nomor 13 tahun 1998, baru
mengatur kesejahteraan sosial Lanjut Usia, sehingga perlu dipertimbangkan
diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat mengatasi permasalahan Lanjut
Usia secara spesifik.
2. Keterbatasan prasarana
Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat masyarakat,
pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II, sering
menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut Usia. Demikian pula, lembaga sosial
masyarakat dan ortganisasi sosial dan kemsyarakatan lainnya yang menaruh minat
pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan para Lanjut Usia
tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga persoalannya menjadi berat pada
saat diberikan pelayanan.
3. Keterbatasan sumber daya manusia
Terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan serta
perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan mengakibatkan
keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya suatu permasalahan hukum
dan etika yang sedang terjadi. Dengan demikian, upaya mengatasinya secara benar
oleh tenaga yang berkompeten sering dilakukan terlambat dan permasalahan sudah
berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari berbagai disiplin ilmu, antara lain :
1) Tenaga ahli gerontologi.
2) Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatrik, psikogeriatri, neurogeriatri, dokter
spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis, perawat terlatih.
3) Tenaga sosisal : sosiolog, petugas yang mengorganisasi kegiatan (case managers),
petugas sosial masyarakat, konselor.
4) Ahli hukum: sarjana hukum terlatih dalam gerontologi, pengacara terlatih, jaksa
penunutut umum, hakim terlatih.
5) Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontologi, konselor.
6) Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana, mahasiswa,
pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus lembaga ketahanan masyarakat
desa, Rukun Warga/RW, Rukun Tetangga/RT terlatih.
4. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga
Menurut Hardiwinoto (2010), berbagai isu hukum dan etika yang sering terjadi
pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah :
1) Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)
2) Tindak kejahatan (crime)
3) Pelayanan perlindungan (protective services)
4) Persetujuan tertulis (informed consent)
5) Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical issues)

Anda mungkin juga menyukai

  • Katpeng
    Katpeng
    Dokumen2 halaman
    Katpeng
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Pedoman Wawancara
    Pedoman Wawancara
    Dokumen1 halaman
    Pedoman Wawancara
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • No 3 Manajemen
    No 3 Manajemen
    Dokumen2 halaman
    No 3 Manajemen
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Pibot
    Pibot
    Dokumen5 halaman
    Pibot
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Surat
    Surat
    Dokumen1 halaman
    Surat
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Sekre Notulen
    Sekre Notulen
    Dokumen1 halaman
    Sekre Notulen
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii Manajemen
    Bab Iii Manajemen
    Dokumen16 halaman
    Bab Iii Manajemen
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Proses Menua
    Proses Menua
    Dokumen11 halaman
    Proses Menua
    Agung Brahma
    Belum ada peringkat
  • Proses Menua
    Proses Menua
    Dokumen11 halaman
    Proses Menua
    Agung Brahma
    Belum ada peringkat
  • Pergi Datang Pulang
    Pergi Datang Pulang
    Dokumen3 halaman
    Pergi Datang Pulang
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Materi
    Materi
    Dokumen9 halaman
    Materi
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Curhat Mamah Dedeh
    Curhat Mamah Dedeh
    Dokumen2 halaman
    Curhat Mamah Dedeh
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Makalah
    Makalah
    Dokumen22 halaman
    Makalah
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Menua dan Lanjut Usia
    Menua dan Lanjut Usia
    Dokumen18 halaman
    Menua dan Lanjut Usia
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Bio Temu 8 Setelah Uts
    Bio Temu 8 Setelah Uts
    Dokumen10 halaman
    Bio Temu 8 Setelah Uts
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • No 3 Manajemen
    No 3 Manajemen
    Dokumen2 halaman
    No 3 Manajemen
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Dokumen 6
    Dokumen 6
    Dokumen3 halaman
    Dokumen 6
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • NiLuhDesyPurwaningsih Mindmaptraumamuskulos 173212737 A11B
    NiLuhDesyPurwaningsih Mindmaptraumamuskulos 173212737 A11B
    Dokumen1 halaman
    NiLuhDesyPurwaningsih Mindmaptraumamuskulos 173212737 A11B
    hey tayo
    Belum ada peringkat
  • Video
    Video
    Dokumen4 halaman
    Video
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • STANDAR_GERONTOLOGI
    STANDAR_GERONTOLOGI
    Dokumen10 halaman
    STANDAR_GERONTOLOGI
    W Suma
    Belum ada peringkat
  • NiLuhDesyPurwaningsih MindmapGigitanSerangga 173212737 A11B
    NiLuhDesyPurwaningsih MindmapGigitanSerangga 173212737 A11B
    Dokumen1 halaman
    NiLuhDesyPurwaningsih MindmapGigitanSerangga 173212737 A11B
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Makalah
    Makalah
    Dokumen22 halaman
    Makalah
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen9 halaman
    Bab I
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Tugas Video
    Tugas Video
    Dokumen2 halaman
    Tugas Video
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Soal
    Soal
    Dokumen2 halaman
    Soal
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Soal
    Soal
    Dokumen2 halaman
    Soal
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • Temu 4
    Temu 4
    Dokumen6 halaman
    Temu 4
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • NiLuhDesyPurwaningsih MindmapPlasentaPrevia 173212737 A11B
    NiLuhDesyPurwaningsih MindmapPlasentaPrevia 173212737 A11B
    Dokumen1 halaman
    NiLuhDesyPurwaningsih MindmapPlasentaPrevia 173212737 A11B
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat
  • NiLuhDesyPurwaningsih MindmapPlasentaPrevia 173212737 A11B
    NiLuhDesyPurwaningsih MindmapPlasentaPrevia 173212737 A11B
    Dokumen1 halaman
    NiLuhDesyPurwaningsih MindmapPlasentaPrevia 173212737 A11B
    Ni Luh Desy Purwaningsih
    Belum ada peringkat