Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ulvi Susanti

NIM : AK2419959

Tugas Etika Keperawatan mencari 1 kasus dilema etik keperawatan.

Dilema etik penolakan imunisasi, antara hak orang tua dan tanggung jawab
pemberi pelayanan kesehatan.

KASUS

Penolakan tindakan imunisasi yang ditemukan di wilayah Kabupaten Wonosobo


pada tahun 2012. Adapun alasan yang dikemukakan oleh kelompok yang menolak
imunisasi adalah alasan agama yaitu tentang kehalalan dari vaksin yang
digunakan untuk imunisasi. Mereka juga menyampaikan anak-anaknya yang tidak
mendapatkan imunisasi juga tetap dalam keadaan sehat dan tidak mengalami
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

PENYELESAIAN

1. Ditinjau dari prinsip etik


a. Autonomy
Dimana pasien dalam hal ini adalah anak mempunyai kebebebasan dan
kemerdekaan untuk memilih tindakan teretntu yang memperbolehkan
setiap orang untuk memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya.
(Halperin MD & Mac Donald, 2007 dalam Alison Fernbach 2010).
Anak yang masih muda dianggap tidak kompeten dan kurang
pengetahuan untuk membuat pilihan dengan implikasi sepanjang hidup
(Baines 2008 dalam Alison F, 2010). Hal ini akan menjadi tidak
beralasan untuk menganggap bahwa bayi (infant) atau anak dapat
membuat keputusan secara otonomi untuk diimunisasi. Siapa yang
secara moral ditunjuk untuk membuat keputusan bagi anak? Menurut
Baines (2008), orang tua mungkin tidak mempunyai otonomi atas
keputusan ini akan tetapi mereka mempunyai otoritas sebagai orang
tua dan karena alasan ini, perawat tidak boleh mengesampingkan orang
tua dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini tidak untuk
dikatakan, akan tetapi pendapat orang tua secara otomatis menentukan
tindakan. Setiap kasus harus diujikan secara individu untuk
menentukan apa yang terbaik untuk anak mereka dan komunitas.
Angus Dawson (2005), menyampaikan “the best interest argument for
children vaccination”termasuk :
1. Keputusan medic bagi pasien yang tidak kompeten harus dibuat
berdasrkan pada apa yang terbaik untuk mereka. (dimana keinginan
sebelumnya tidak diketahui atau tidak ada)
2. Anak usia preschool termasuk tidak kompeten dan tidak
mempunyai keinginan sebelumnya, oleh karena itu keputusan
tentang pelayanan medis harus dibuat berdasarkan pada apa yang
terbaik untuk mereka.
3. “Best Interest”dalam hubungannya dengan anak harus ditentukan
dengan melihat keseimbangan antara potensial bahaya yang
ditimbulkan dengan kemungkinan keuntungan yang akan
ddiperoleh jika tindakan atau pelayanan medis ini dilakukan atau
tidak dilakukan.
4. Orang tua yang membuat keputusan tentang perawatan bayi dimana
terjadi bahaya yang signifikan setelahnya, maka pihak ketiga dalam
hal ini adalah pemerintah, mempunyai kewajiban untuk
memberikan perlindungan pada bayi tersebut dari konsekuensi
akibat keputusan yang diambil
5. “Best Interest” untuk anak dalam hubungannya dengan vaksinasi
ditentukan dengan melihat bahaya dan keuntungan yang
berhubungan dengang vaksinasi versus non vaksinasi.
b. Prinsip beneficence menyatakan secara tidaak langsung bahwa
kewajiban moral dari pemberi perawatan primer / perawat adalah
untuk memberikan kebaikan dan membantu orang lain, sedangkan
nonmaleficence adalah menghindari hal yang berbahaya (Do no harm).
Ketika prinsip ini diaplikasikan pada imunisasi, terdapat dua
pandangan yang saling berlawanan yang harus dilihat.Keuntungan dan
bahaya dari imunisasi pada anak sebagai seorang individu versus
keuntungan dan bahaya imunisasi pada komunitas.Pertimbangan
pertama dari hal yang terbaik untuk anak adalah keuntungan dari
imunisasi harus lebih besar dari pada bahaya yang mungkin
ditimbulkan akibat imunisasi. Sedangkan yang kedua, mengevaluasi
keuntungan untuk kesehatan masyarakat dimana masyarakat umum
akan beruntung daripada individu yang mungkin secara fakta dirugikan
(Hodges, Svoboda, & Van Howe, 2002). Imunisai mungkin dapat
dilihat menguntungkan pada keduanya baik individu maupun
masyarakat.Imunisasi dianjurkan pada anak-anak sebagai prosedur
profilaksis.Pertama bahaya publik jika penyakit ini sangat menular
luas dapat mengakibatkan mortalitas dan morbiditas.Kedua jika
ditularkan, penyakit ini mempunyai potensi untuk mebahayakan setiap
individu, imunisasi digunakan untuk mencegah hal ini.Ketiga
efektifitas imunisasi dalam melindungi masyarakat telah terbukti.
Berdasarkan prinsip-prinsip etik ini, orang tua yang memutuskan untuk
mengimunisasikan anak atau tidak harus berdasarkan pada apa yang
menurut mereka terbaik bagi anak-anaknya. Walaupun persepsi
terhadap apa yang terbaik untuk anak bersifat sangat subyektif dan
mungkin berlawanan dengan persepsi petugas kesehatan. Pemikiran
tenaga professional harus didasarkan pada ‘scientific research” dan
‘evidence‘.Hal ini menjadi tanggung jawab setiap petugas kesehatan /
clinician untuk memberikan intervensi kesehatan profilaksis untuk
kehidupan anak yang lebih baik dan memberikan perlindungan dari
penyakit-penyakit infeksi yang mungkin menimbulkan masalah
kesehatan pada masa yang akan datang.
2. Ditinjau dari teori-teori etik
Teori etik yang dapat digunakan untuk mendukung dan menentamg
permasalahan dilemma etik pada kasus penolakan imunisasi oleh orang tua
adalah Utilitarianisme dan Deontology. Utilitarianisme adalah salah satu
teori teleological utama dan konsekuensialist yang dikemukakan oleh JS
Mill dan J. Bentham, dimana prinsipnya bahwa moralitas suatu tindakan
harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai
kebahgiaan umat manusia, sesuai dengan the principle of utility yang
berbunyi: the greates 10 Jurnal Managemen Keperawatan . Volume 3, No.
1, Mei 2015; 7-12 happiness of the greatest number, ”kebahagiaan terbesar
dari jumlah orang yang terbesar. Prinsip kegunaan ini menjadi norma
tindakan pribadi maupun untuk kebijakan pemerintah. (Bertens,
2007).Tindakan yang terbaik adalah tindakan yang paling memberikan
manfaat.Tindakan dikatakan baik atau tidak tergantung pada
keseimbangan antara kemanfaatan dengan potensi bahaya yang dapat
ditimbulkan dari tindakan tersebut.Neutel mengutip dari kamus Collins
English Dictionary and Thesaurus bahwa utilitarinisme adalah “Doktrin
yang secara moral benar terdiri dari tindakan benar yang terbesar dan
jumlah yang terbesar yang secara maksimal memberikan keuntungan tanpa
memperhatikan manfaat dan beban.(Neutel, 2004, dalam Anita JC,2008).
Imunisasi memberikan lebih banyak keuntungan baik bagi anak supaya
terhindar dari berbagai penyakit infeksius maupun bagi masyarakat dalam
menurunkan morbiditas dan mortalitas.Sebagai contoh, imunisasi telah
terbukti menekan angka kejadian dan angka kematian akibat penyakit
campak di Indonesia. Deontologisme merupakan teori yang ditulis oleh
filosof German yang bernama Immanuel Kant (1724 – 1804). Kant
menyatakan bahwa hukum universal harus mendasari setiap tindakan, baik
buruknya suatu tindakan tidak berdasarkan pada hasilnya melainkan
semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan
tersebut.Aliran ini sangat penuh dengan hal-hal etik, dimana setiap
tindakan dilihat secara moral adalah benar. (Anita J, 2008). Dari
pandangan teori ini, perawat telah melakukan tindakan beretika yang
bertitik tolak pada kewajiban (obligation) yang berasal dari hati nurani
sendiri. Selain itu imunisasi merupakan program pemerintah yang wajib
diberikan oleh perawat / petugas kesehatan, dalam hal ini apa yang
dilakukan perawat berlandaskan aturan / hukum yang mengaturnya, sesuai
dengan Undangundang kesehatan no.36 tahun 2009 pasal 130 yang
berbunyi “ Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap pada setiap
bayi dan anak.” Berdasarkan hati nuranipun imunisasi mempunyai tujuan
yang secara moral sangat baik bagi anak. Sekalipun anak tidak kompeten
untuk mengambil keputusan terkait tindakan imunisasi yang akan
dilakukan kepada dirinya. Sehingga orang tua yang akan memberikan
keputusan tindakan imunisasi ini dengan dasar memberikan yang terbaik
bagi anak. Adapun efek samping yang dapat ditimbulkan dari imunisasi
memang tidak dapt dihilangkan akan tetapi kewajiban untuk memberikan
imunisasi bagi tenaga kesehatan dan orang tua sangat sesuai denngan teori
yang dikemukakan oleh Kant ini.
3. Ditinjau dari agama
Pandangan agama Islam, para ulama dalam berijtihad untuk menetapkan
hukum terhadap masalah-masalah kontemporer pasti tidak pernah
menghasilkan keputusan ijma’iyyah ‘amiyyah (kesepakatan umum),
melainkan khilafiyyah (perbedaan pendapat diantara mereka). Bentuk
khilafiyyah yang paling ekstrim adalah halal atau haram.Tidak terkecuali
mengenai vaksinasiimunisasi.(Danusiri, 2012). Bagi yang menganggap
haram, dikarenakan mereka yakin bahwa manusia adalah makhluk paling
sempurna yang diciptakan oleh Allah SWT, sehingga tubuh akan secara
alami mampu untuk melakukan fungsi kekebalan terhadap adanya
berbagai mikroba, virus ataupun benda asing yang menyerang, berbeda
dengan orang kafir yang merasa lemah sehingga butuh vaksinasi untuk
kekebalan tubuhnya. Selain alasan kemuliaan manusia, yang menjadi
alasan lain adalah bahan untuk membuat vaksin terdapat unsur haram
seperti unsur babi, sehingga tidak boleh dipergunakan. Pandangan kedua
adalah kelompok yang mengatakan bahwa vaksinasiimunisasi adalah
halal. Pada prinsipnya vaksinasi-imunisasi adalah boleh alias halal karena;
(1) vaksinasi-imunisasi sangat dibutuhkan sebagaimana
penelitianpenelitian di bidang ilmu kedokteran, (2) belum ditemukan
bahan lainnya yang mubah, (3) termasuk dalam keadaan darurat,(4) sesuai
dengan prinsip kemudahan syariat di saat ada kesempitan Dilema Etik
Penolakan Imunisasi, Antara Hak Orang Tua dan Tanggung Jawab
Pemberi Pelayanan Kesehatan Ika Purnamasari 11 atau kesulitan.
Sebagaimana dalam QS Al Baqarah : 172 yang menerangkan bahwa
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya.Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa memakan yang
mestinya haram seperti memakan daging babi yang telah dimasak menjadi
halal ketika memang tidak ada makanan selain itu, selagi ia memakannya
secukupnya, yaitu untuk menyambung hidup, bukan dalam arti memakan
daging babi dalam berbagai olahan kuliner sehingga mendatangkan aneka
macam aroma, rasa, dan citarasa untuk berpestaria dalam hal
makanmemakan. Dengan demikian, secara analogis vaksinasi-imunisasi
yang bahanbahan alaminya najis boleh dilakukan terhadap keluarga
muslim lantaran belum ada vaksin yang sepenuhnya dari bendabenda halal
dan suci dari najis. Menurut pendapat penulis, berdasarkan berbagai telaah
yang telah dikemukakan oleh para ahli baik agama atau medis, tindakan
pemberian vaksinasi - imunisasi diperbolehkan (halal). Hal ini
dikarenakan banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh guna mencegah
berbagai macam penyakit dan juga untuk menyediakan generasi masa
depan yang sehat dan lebih produktif. Memang penulis juga memahami
akan adanya efek samping yang mungkin ditimbulkan dari imunisasi ini,
akan tetapi jika dibuat rasio, jumlahnya sangat sedikit dibanding dengan
keuntungannya. Sekaligus terkait bahan yang tidak halal yang masih
digunakan sebagai media ataupun katalisator dalam pembuatan vaksin
sebaiknya memang terus diupayakan, sehingga kedepannya tindakan ini
akan diterima semua pihak.
4. Alternatif pemecahan masalah
Alternatif solusi yang dapat dilakukan oleh perawat jika menghadapi kasus
dilemma etik terkait penolakan imunisasi harus disesuaikan dengan alasan
penolakan tersebut. Hal-hal yang dapat dilakukan oleh perawat antara
lain(diadaptasikan dari “Responding to Parental Refusals of Immunization
of Children,” oleh D.S. Diekema and the Committee on Bioethics, 2005,
Pediatrics): 1. Jika penolakan karena keyakinan bahwa imunisasi sangat
berbahaya bagi anak-anak mereka, maka perawat berkewajiban untuk (a).
menjelaskan risiko efek samping yannng jauh lebih sedikit daripada tidak
mendapatkan imunisasi, (b) berikan informasi yang up-to-date, (c)
Jelaskan kebingungan atau mispersepsi yang mungkin mereka miliki, (d)
Yakin untuk menyampaikan kebenaran bahwa imunisasi tidak 100%
efektif dan aman, 2. Jika karena alasan memberikan lebih dari 1 imunisasi
pada satu waktu akan menimbulakn nyeri dan trauma pada anak,maka
perawat dapat menggunakan metode untuk mengurangi nyeri disesuaikan
usia anak 3. Jika alasan perhatian terhadap 1 atau 2 imunisasi secara
khusus berbahaya, maka sampaikan secara jujur tentang risiko dan
keuntungan dari setiap vaksin dan diskusikan setiap imunisasi secara
terpisah. 4. Jika alasan karena biaya, maka diskusikan dengan keluarga
strategi yang efektif untuk menentukan biaya dan rujuk pada pelayanan
non swasta yang memberikan vaksinasi gratis. Alternatif solusi yang lain
yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, seperti yang pernah dialami
oleh penulis adalah selalu memberikan “informed consent” setiap kali
akan melakukan tindakan pemberian imunisasi pada anak. Dengan dasar
ini, kita secara kewajiban sudah menyampaikan tentang jadwal dan
keuntungan imunisasi serta menyampaikan efek sampingyang dapat
ditimbulkan jika anak tidak atau mendapatkan imunisasi.Sehingga tidak
disoalkan secara hukum. Berdasarkan pengalaman penulis, penolakan
yang dijumpai disebabkan oleh 12 Jurnal Managemen Keperawatan .
Volume 3, No. 1, Mei 2015; 7-12 keraguan akan halalnya vaksin yang
digunakan untuk imunisasi, maka sudah dilakukan upaya untuk
memberikan pemahaman dari berbagai sumber diantaranya dari tenaga
pengelola vaksin, dinas kesehatan, organisasi profesi yang terlibat (IDI,
IBI dan PPNI) dan organisasi agama (NU, Muhammadiyah, LDII, dll)
serta menghadirkan juga tokoh masyarakat setempat. Sehingga diputuskan
jika penolakan tetap terjadi maka informed consent lah yang harus
diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

Purnamasari, Ika. 2016. Dilema Etik Penolakan Imunisasi, Antara Hak Orang Tua Dan
Tanggung Jawab Pemberi Pelayanan Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai