Anda di halaman 1dari 11

Sovereignty and jurisdiction

Trans-national extradition

Erwin Hendrik
Muhammad Irfan
Randi Pranata
Deby Arlindi
Retno Ayu
Permasalahan Yurisdiksi dalam
Penyelesaian Kasus Cybercrime

Kemajuan teknologi informasi yang cepat selalu


menimbulkan suatu permasalahan terutama di
bidang hukum pidana, sementara di satu sisi hokum
seringkali tertinggal jauh di banding dengan
kemajuan teknologi. Komunitas (community) sosial
yang ada dan telah terbentuk serta berjalan dengan
adanya perkembangan teknologi informasi juga
akan mengalami perubahan di berbagai aspek.
Dengan menggunakan internet muncul pula
komunitas masyarakat yang berbeda dengan yang
sudah ada selama ini, komunitas masyarakat
internet dapat pula disebut sebagai
“cybercommunity”.
Yurisdiksi legislatif (Jurisdiction to prescribe)

Yurisdiksi legislatif adalah wewenang negara


untuk membuat hukum sesuai dengan
masyarakat dan keadaan yang ada . Dalam
keterkaitannya dengan internet, muncul
pertanyaan ialah negara mana yang berwenang
terhadap kegiatan atau orang di dunia
cyber?.Menimbulkan suatu permasalahan yaitu
“choice of law”.
Yurisdiksi untuk mengadili ( Jurisdiciton to
adjudicate)

Yurisdiksi untuk mengadili didefinisikan sebagai


wewenang negara terhadap seseorang untuk
melakukan proses pemeriksaan pengadilan ,
dalam masalah kriminal. Pada yurisdiksi ini,
masalah yang muncul adalah “choice of forum”.
Yurisdiksi untuk melaksanakan (Jurisdiction to
enforce)

Yurisdiksi untuk melaksanakan berhubungan


dengan wewenang suatu negara untuk
melakukan penghukuman terhadap terdakwa
sesuai hukum yang berlaku, baik melalui
pengadilan atau melalui tindakan non-hukum
lainnya (sanksi administratif).
Dalam bahasa yang lebih sederhana Shaw
mengemukakan bahwa yurisdiksi adalah
kompetensi atau kekuasaan hukum Negara
terhadap orang, benda dan peristiwa
hukum.Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari
prinsip dasar kedaulatan Negara, persamaan
derajat Negara dan prinsip non intervensi.
Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh
Negara yang berdaulat menurut John O’Brien,
yaitu:
1. Kewenangan Negara untuk membuat
ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang,
benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah
teritorialnya (legislative jurisdiction or
prescriptive jurisdiction) ;
2. Kewenangan Negara untuk memaksakan
berlakunya ketentuan-ketentuan hukum
nasionalnya (executive jurisdiction or
enforcement jurisdiction) ;
3. Kewenangan pengadilan Negara untuk
mengadili dan memberikan putusan hukum
(yudicial jurisdiction).
• Prinsip-Prinsip Yurisdiksi dalam Hukum
Internasional
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial
jurisdiction) mencakup perdata dan pidana.
Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hokum
pengadilan suau Negara terhadap perkara-perkara
yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya
perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat
perdata internasional di mana ada unsur-unsur
asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para
pihak, objek yang disengketakan maupun tempat
perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana
adalah kewenangan hokum pengadilan suatu
Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut
kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang
terdapat unsure asing di dalamnya.
Bentuk Kerja Sama Antarnegara Dalam Penerapan Yurisdiksi

Kedaulatan Negara hanya dapat dilakasanakan di wilayah atau teritorialnya


dan akan berakhir ketika sudah dimulai wilayah atau territorial Negara
lain. Meskipun suatu Negara memiliki judicial jurisdiction atau
kewenangan untuk mengadili seseorang berdasarkan prinsip-prinsip
yurisdiksi dalam hokum internasional, namun tidak begitu saja Negara
dapat melaksanakannya (enforcement jurisdiction) ketika orang tersebuut
sudah melarikan diri ke Negara lain. Demikian pula berlaku terhadap
seorang terpidana yang berhasil kabur dari tahanan, Negara tidak bisa
langsung menangkapnya lagi ketika si terpidana berhasil kabur ke luar
negeri.Untuk itulah dalam tata kra pergaulan internasional dibutuhkan
permohonan ekstradisi dari Requesting State kepada Requested State.
Dengan demikian, keterbatasan kedaulatan territorial bisa dijembatani
melalui kerja sama dengan Negara-negara lainnya untuk proses penegakan
hukumnya. Keberhasilan kerja sama penegakan hokum tersebut pada
umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidakada perjanjian bilateral
maupun multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerja
sama penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut
tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerja sama
penegakan hokum dapat dilaksnakan berlandaskan asas resiprositas
(timbal balik).
Pemerintah Indonesia telah memiliki “undang-undang payung”
(umbrella act) untuk ekstradisi dengan undang-undang Nomor 1
Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan untuk kerja sama penyidikan
dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan asset, dengan
Undang-undang No 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik
dalam Masalah Pidana (mutual assistance in criminal matters).
Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerja sama penegakan hokum
tersebut adalah, bahwa perjanjian ekstradisi untuk tujuan
penyerahan orang (pelaku kejahatan), sedangkan perjanjian
MLTA’s untuk tujuan perbantuan dalam proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk
pengusutan, penyitaan dan pengembalian asset hasil kejahatan.
Permintaan penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak serta
merta merupakan pengembalian asset hasil kejahatan yang dibawa
pelaku kejahatan yang bersangkutan.Kedua bentuk perjanjian
tersebut harus saling melengkapi dan bukan dilihat secara
terpisah.Hal ini berarti permintaan ekstradisi wajib dilengkapi
dengan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana
terutama pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku
kejahatan yang bersangkutan.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai