Anda di halaman 1dari 29

emyuenampuluhtujuh ( Abah Yunaz )

8 Golongan Asnaf yang Layak Menerima Zakat

emyuenampuluhtujuh ( Yunazsixtisevent )

3 years ago

Firman Allah swt dalam surah at Taubah ayat 60 bermaksud:

60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-
pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].

[647] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak
mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak
cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas
untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan
orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga
untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang
berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun
orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat,
walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan
Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup
juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang
yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

1. Fakir (al Fuqara) – adalah orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan
keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya seperti makanan, pakaian dan
tempat tinggal.

2. Miskin (al-Masakin) – mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya


akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya

3. Amil – orang yang dilantik untuk memungut dan mengagih wang zakat.

4. Muallaf – seseorang yang baru memeluk agama Islam.

5. Riqab – seseorang yang terbelenggu dan tiada kebebasan diri.


6. Gharimin – penghutang muslim yang tidak mempunyai sumber untuk menjelaskan hutang yang
diharuskan oleh syarak pada perkara asasi untuk diri dan tanggungjawab yang wajib ke atasnya.

7. Fisabilillah – orang yang berjuang, berusaha dan melakukan aktiviti untuk menegakkan dan
meninggikan agama Allah.

8. Ibnus Sabil – musafir yang kehabisan bekalan dalam perjalanan atau semasa memulakan
perjalanan dari negaranya yang mendatangkan pulangan yang baik kepada Islam dan umatnya atau
orang Islam yang tiada perbekalan di jalanan.

I. Fakir (al Fuqara) –

adalah orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan keperluannya. Tidak
mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.

Bagaimana menurut Al-Quran ?.

Menurut Bahasa Arab, Fakir berasal dari kata “Faqara” yang artinya orang yang patah tulang
belakangnya. Atau orang yang sangat berhajat kepada sesuatu, karena miskin. Atau orang yang papa
dan termiskin.

Kata Miskin, juga berasal dari Bahasa Arab “Sakana” yang berarti diam, tidak banyak bergerak, karena
miskin. Inilah yang terbanyak di negeri kita.

Dalam Ilmu Fikih, orang miskin ialah orang yang berpenghasilan rendah, dan tidak mencukupi
penghasilan yang ia peroleh. Sedang fakir ialah orang yang tidak berharta dan tidak berpenghasilan.
Kedua istilah ini sering digabung menjadi Fakirmiskin, sebagai gambaran orang yang lemah dan perlu di
tolong.

Menurut salah satu ayat dalam Surah Al-Ma’un, seorang muslim sekalipun ia mengerjakan salat masih
dapat disebut orang celaka, jika tidak suka membantu orang miskin.

Bahkan makna Pendusta agama itu, diantaranya orang yang “ WALA YAHUDDHU… “( Orang yang tidak
menganjurkan memberi makanan orang miskin ).
Menurut ulama Tafsir WALA YAHUDDHU berarti, tidak menganjurkan. Atau tidak menyadari dan tidak
menangani orang miskin sebagai tugas tugas kita semua. Termasuk bagi mereka yang hidupnya
menengah ( pas-pasan ) Jika tidak memungkinkan dapat menyumbang uang dan harta, maka yang harus
dilakukan adalah menyumbangkan tenaganya dengan jalan menganjurkan atau ikut Tim yang dapat
mengentaskan orang-orang Miskin.

Dari ayat tersebut dapat dipahami, bahwa orang-orang yang akan menghuni neraka nanti ialah orang
yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula mendorong orang lain, memberi makan orang-orang
miskin diserkelilingnya.

II. Miskin (al-Masakin) –

mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi
sepenuhnya

19. dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian[1417].

[1417] Orang miskin yang tidak mendapat bagian Maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-
minta.

Hak orang miskin:

Menurut Al-Quran, WAFI AMWALIHIM HAQQUN LISSAILIN (Didalam harta mereka ( yang kaya) terdapat
hak orang-orang peminta-minta dan tidak meminta ) (QS 51:19).

Hal ini dipahami, nahwa harta benda yang bertahun-tahun kita kumpulkan, bukan seluruhnya milik kita,
sekalipun kita sendiri yang berusaha dan membanting tulang. Sebagian kecil didalamnya kepunyaan
orang miskin.Bahkan kata kasarnya, jika kita gunakan sendiri, kita dianggap termasuk kelompok
perampas hak orang miskin. Agama mewajibkan kita memberikan sebagian kepada mereka yang miskin.
Tidak banyak. Zakat itu tidak berkisar antara 2, 5 – 2O % pertahun. Tapi sebagian mufasir menganjurkan,
setiap menerima rezeki, langsung dikeluarkan juga seketika, karena ditafsirkan masuk kelompok
“ghanimah ” (rezeki mendadak), semacam honor atau jasa dari keahlian.Dan Inilah yang diperaktekkan
sebagian negeri-negeri Islam di Timur Tengah, sehingga orang miskinnya berkurang.
Jika kita berpikir rasional,sebenarnya harta benda yang dikumpulkan orang yang berpunya (aghniya) ,
sebagian dari jasa yang ikut bermandi keringat, ketika mengangkat harta itu misalnya dari pelabuhan ke
gudang, waktu barang-barang itu diimpor atau diekspor. Sebab itu wajar juga, jika memperoleh
bahagian kecil.

Alhasil, pemberian yang disumbangkan kepada orang miskin, memang awalnya adalah haknya sendiri,
lalu diperkuat Al-Qutan. Dan tidak akan merugikan orang mampu ( aghniya ).

276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah[177]. dan Allah tidak menyukai Setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178].

[177] Yang dimaksud dengan memusnahkan Riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan
berkahnya. dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang
telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.

[178] Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan Riba dan tetap melakukannya.

Harta bertambah:

Bantuan yang diberikan kepada orang miskin, bukan berkurang, tapi akan semakin bertambah. Al-Quran
menyebutnya “WAYURBI SHADAQAT “(Allah menghancurkan sistem riba dan mengembangbiakkan
sedekah) (QS.2: 276)

Untuk membuktikan kebenaran ayat ini, penulis pernah membaca riwayat hidup seorang pengusaha
sukses di daerah ini. Ketika keuangannya melaporkan saldo kas sisa sedikit, justru diperintahkan
kepadanya, untuk mengeluarkan semuanya dan membaginya kepada orang-orang miskin. Apa yang
terjadi ?. Dalam waktu yang relative singkat, uang yang dibagikan itu terganti, mebihi dengan yang telah
disedekahkan.Boleh dicoba asal ikhlas.

Bantuan yang diberikan kepada orang miskin, sekaligus menghilangkan jurang pemisah antara sikaya
dan miskin. Sebab lanjutan ayat yang memerintahkan agar yang menerima sumbangan dianjurkan Al-
Quran “WASHALLI ALAIHIM…
103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan
mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada
harta benda

[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka.

(Berdoalah untuk mereka, sehingga membawa ketenteraman bagi pemberi sumbangan.).(QS. 9 : 1O3).

Berdasarkan ayat tersebut, maka aghniya hendaknya dengan ikhlas menyerahkan sebagian hartanya dan
masakin, hendaknya berterima kasih dengan berdoa, agar lebih murah rezekinya para penyumbang.

Untuk menghidari kemungkinan terjadi korban antrean mustahik menunggu sumbangan seperti bulan
Ramadhan yang lalu, sebaiknya orang yang membagikan zakat itu proaktif. Bukan didatangi, tapi
mendatangi. Salah satu makna “Atu al-zakat ” dalam Al-Quran berarti proaktif pergi ke lokasi membagi.
Itulah arti Walmarhum ( yaitu miskin, tapi tidak pergi minta-minta), karena malu sehingga wajib bagi
amil mengantarkan. Inilah kaifiat pendistribusian sedekah yang benar.

Akhirnya, makna menyumbang (Atu zakat ) kepada orang miskin ialah senantiasa siap bergerak
membantu sekalipun dasarnya adalah kewajiban Negara, sesuai undang-undang. Tapi karena Islam
mewajibkan lebih dulu sesuai Al-Quran, maka kita semua harus membantu pemerintah. Bantuan “
aghniya ” sesuai keikhlasan. Minimal sama kadarnya kewajiban zakat tahunan ( antara 2,5 % sampai 2O
% ).Tapi bantuan yang lebih baik seperti yang dilakukan Rasul adalah membantu yang produktif. Hal itu
ditempuh juga di Korea yaitu petani penyewa diubah statusnya menjadi pemilik. Dan bantuan
berikutnya berupa bibit, air dan kredit murah.

Bantuan muslim yang berpenghasilan menengah, minimal ikut menjadi Amil ( panitia), sehingga semua
muslim rata-rata berada dalam koridor pencinta rakyat miskin seperti sifat Rasulullah SAW.
Untuk menghindari pembagian yang dapat membawa bencana, kaifiatnya mengantarkan ke gubuk
orang miskin, seperti yang dipraktekkan Khalifah Umar bin Khattab RA.

III. Amil

Amil dalam zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan
pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat.
Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah
yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang
berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau penyuluhan masyarakat tentang hukum zakat,
menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar zakat dan mereka yang
menjadi mustahiq, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan harta zakat sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam rekomendasi pertama Seminar Masalah Zakat Kontemporer
Internasional ke-3, di Kuwait. Lembaga-lembaga dan panitia-panitia pengurus zakat yang ada pada
zaman sekarang ini adalah bentuk kontemporer bagi lembaga yang berwenang mengurus zakat yang
ditetapkan dalam syari’at Islam. Oleh karena itu, petugas (amil) yang bekerja di lembaga tersebut harus
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.

Tugas-tugas yang dipercayakan kepada amil zakat ada yang bersifat pemberian kuasa (karena
berhubungan dengan tugas pokok dan kepemimpinan) yang harus memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan oleh para ulama fikih, antara lain muslim, laki-laki, jujur, dan mengetahui hukum zakat Ada
tugas-tugas sekunder lain yang boleh diserahkan kepada orang yang hanya memenuhi sebagian syarat-
syarat di atas, yaitu akuntansi]], penyimpanan, dan perawatan aset yang dimiliki lembaga pengelola
zakat, pengetahuan tentang ilmu fikih zakat, dan lain-lain.

Para amil zakat berhak mendapat bagian zakat dari kuota amil yang diberikan oleh pihak yang
mengangkat mereka, dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas, walaupun
mereka orang fakir. Dengan penekanan supaya total gaji para amil dan biaya administrasi itu tidak lebih
dari seperdelapan zakat (13.5%). Perlu diperhatikan, tidak diperkenankan mengangkat pegawai lebih
dari keperluan. Sebaiknya gaji para petugas ditetapkan dan diambil dari anggaran pemerintah, sehingga
uang zakat dapat disalurkan kepada mustahiq lain.

Para amil zakat tidak diperkenankan menerima sogokan, hadiah atau hibah, baik dalam bentuk uang
ataupun barang.

Melengkapi gedung dan administrasi suatu badan zakat dengan segala peralatan yang diperlukan bila
tidak dapat diperoleh dari kas pemerintah, hibah atau sumbangan lain, maka dapat diambil dari kuota
amil sekedarnya dengan catatan bahwa sarana tersebut harus berhubungan langsung dengan
pengumpulan, penyimpanan dan penyaluran zakat atau berhubungan dengan peningkatan jumlah zakat.

Instansi yang mengangkat dan mengeluarkan surat izin beroperasi suatu badan zakat berkewajiban
melaksanakan pengawasan untuk meneladani sunah Nabi saw dalam melakukan tugas kontrol terhadap
para amil zakat. Seorang amil zakat harus jujur dan bertanggung jawab terhadap harta zakat yang ada di
tangannya dan bertanggung jawab mengganti kerusakan yang terjadi akibat kecerobohan dan
kelalaiannya.

Para petugas zakat seharusnya mempunyai etika keislaman secara umum. Misalnya, penyantun dan
ramah kepada para wajib zakat (muzaki) dan selalu mendoakan mereka. Begitu juga terhadap para
mustahiq, mereka mesti dapat menjelaskan kepentingan zakat dalam menciptakan solidaritas sosial.
Selain itu, agar menyalurkan zakat sesegera mungkin kepada para mustahiq.

IV. Mu’allaf

Mu’allaf adalah sebutan bagi orang non-muslim yang mempunyai harapan masuk agama Islam atau
orang yang baru masuk Islam. Pada Surah At-Taubah Ayat 60 disebutkan bahwa para mu’allaf termasuk
orang-orang yang berhak menerima zakat.

Ada tiga kategori mualaf yang berhak mendapatkan zakat:

1. Orang-orang yang dirayu untuk memeluk Islam: sebagai pendekatan terhadap hati orang yang
diharapkan akan masuk Islam atau ke-Islaman orang yang berpengaruh untuk kepentingan Islam dan
umat Islam.

2. Orang-orang yang dirayu untuk membela umat Islam: Dengan memersuasikan hati para
pemimpin dan kepala negara yang berpengaruh, baik personal maupun lembaga, dengan tujuan ikut
bersedia memperbaiki kondisi imigran warga minoritas muslim dan membela kepentingan mereka.
Atau, untuk menarik hati para pemikir dan ilmuwan demi memperoleh dukungan dan pembelaan
mereka dalam permasalahan kaum muslimin. Misalnya, membantu orang-orang non-muslim korban
bencana alam, jika bantuan dari harta zakat itu dapat meluruskan pandangan mereka terhadap Islam
dan kaum muslimin.

3. Orang-orang yang baru masuk Islam kurang dari satu tahun yang masih memerlukan bantuan
dalam beradaptasi dengan kondisi baru mereka, meskipun tidak berupa pemberian nafkah, atau dengan
mendirikan lembaga keilmuan dan sosial yang akan melindungi dan memantapkan hati mereka dalam
memeluk Islam serta yang akan menciptakan lingkungan yang serasi dengan kehidupan baru mereka,
baik moril maupun materiil.

V. RIQAB

Secara bahasa riqab adalah jamak dari raqabah yang artinya adalah tengkuk (leher bagian belakang),
seluruh tubuh dinamakan dengan satu anggota karena nilai anggota ini yang berharga, kata raqabah
digunakan secara mutlak dengan makna hamba sahaya, jadi riqab adalah hamba sahaya yang dimiliki
oleh seseorang, dan di sini mencakup mukatab, yaitu hamba sahaya yang berakad dengan majikannya
untuk menebus dirinya atau ghairu mukatab.

Riqab berhak menerima zakat, bila dia mukatab maka untuk membantu pembayaran yang harus
ditunaikannya kepada majikannya dan bila dia bukan mukatab, maka agar dia bisa menebus dirinya dari
majikannya sehingga dia menjadi orang merdeka.

Apakah tawanan muslim termasuk riqab?

Atau dengan kata lain, bisakah harta zakat dari pos riqab ini digunakan untuk membebaskan tawanan
muslim dari tangan orang-orang kafir?

Pendapat yang rajih adalah pendapat yang membolehkan memberikan zakat dari pos riqab untuk
membebaskan tawanan muslim karena:

1- Membebaskan tawanan dari penawanan tidak berbeda dengan memerdekakan hamba sahaya dari
penghambaan.

2- Harta yang dibayarkan untuk membebaskan tawanan sama dengan harta yang dibayarkan untuk
gharim agar terbebas dari belitan hutang.

3- Bahwa ayat hadir dengan kata riqab mencakup hamba sahaya, mukatab dan tawanan.

Pos riqab untuk membantu bangsa muslim yang terjajah

Pendapat pertama: disyariatkan. Pendapat kedua: tidak disyariatkan.

Pendapat pertama berdalil: penjajahan atas suatu bangsa lebih berat dan lebih berbahaya dibandingkan
dengan penghambaan dalam skala pribadi.
Pendapat kedua berdalil: dicaploknya(dikuasainya-ed) negeri Islam oleh orang-orang kafir tidak
termasuk ke dalam makna riqab, tidak dari sisi bahasa dan tidak pula dari sisi syara’.

Tarjih: Pendapat kedua adalah pendapat yang rajih berdasarkan:

1- Tidak adanya dalil yang menunjukkan bahwa membebaskan suatu bangsa dari penjahahan termasuk
ke dalam makna riqab.

2- Tidak adanya hajat untuk itu, karena masih ada pos-pos lain untuk menopang tujuan tersebut, bisa
dari pos fi sabilillah atau dari pos lainnya dari Baitul Mal. Wallahu a’lam.

VI. Gharimin

Gharimîn adalah kata dari bahasa Arab yang bermakna orang-orang yang memiliki hutang.

Orang berutang yang berhak menerima kuota zakat adalah orang-orang dalam golongan:

• Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan, dengan syarat-
syarat sebagai berikut:

1. Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan.

2. Utang itu melilit pelakunya.

3. Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya.

4. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si
pengutang.

• Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang untuk
mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diyat (denda kriminal) atau biaya
barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini berhak menerima zakat, walaupun mereka orang kaya
yang mampu melunasi utangnya.

• Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, dimana yang menjamin dan
yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan keuangan.
• Orang yang berutang untuk pembayaran diyat (denda) karena pembunuhan tidak sengaja,
apabila keluarganya (aqilah) benar-benar tidak mampu membayar denda tersebut, begitu pula kas
negara.

Pembayaran diyat itu dapat diserahkan langsung kepada wali si terbunuh. Adapun diyat pembunuhan
yang disengaja tidak boleh dibayar dari dana zakat. Namun demikian, tidak boleh mempermudah
pembayaran diyat dari dana zakat, karena banyaknya kasus pembunuhan tidak sengaja, sebab para
mustahiq zakat yang lain juga sangat membutuhkannya. Untuk itu, dianjurkan membuat kotak-kotak
dana sosial untuk meringankan beban orang yang menanggung diyat seperti ini, misalnya karena
kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Juga sugesti membuat kotak-kotak dana sosial keluarga atau
profesi untuk menyerasikan sistem aqilah (sanak keluarga yang ikut menanggung diyat pembunuhan
tidak sengaja) sesuai dengan tuntutan zaman.

KRITERIA GHÂRIMIN PENERIMA ZAKAT

Status ekonomi yang berbeda, merupakan bagian dari realita kehidupan yang tidak bisa dipungkiri.
Kondisi ini mestinya tidak mengganggu keharmonisan hubungan antara individu masyarakat yang
berbeda status ekonominya, asal masing-masing mengerti hak dan kewajibannya. Karena, mereka
sebenarnya saling membutuhkan; si miskin butuh si kaya, begitu sebaliknya. Disamping juga, tidak ada
jaminan bahwa kondisi itu akan berlangsung selamanya. Terkadang bisa berubah seratus delapan puluh
derajat, si miskin menjelma menjadi orang kaya sementara si kaya terpuruk menjadi si miskin. Ini alasan
lain, kenapa si miskin dan si kaya selalu saling membutuhkan. Namun sangat disayangkan, betapa
banyak orang yang tidak mengerti, pura-pura tidak tahu atau memang tidak mau tahu masalah ini.
Akibatnya berbagai macam permasalahan bermunculan.

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mengatur hubungan antara yang kaya dan yang miskin, agar
terjalin rasa kasih sayang diantara sesama. Zakat yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan atas orang kaya lalu
diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, merupakan salah satu dari cara Islam
mengatur hubungan antara si kaya dan si miskin. Dengan ini, si kaya akan menyadari bahwa dalam harta
mereka ada bagian untuk orang-orang miskin atau tidak mampu. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian (maksudnya orang miskin yang tidak meminta-minta)”. [adz-Dzariyât/51:19]

Diantara yang berhak menerima zakat dari orang kaya adalah al-ghârim (orang yang terlilit hutang).
Namun penerima zakat yang satu ini harus memenuhi beberapa kriteria sehingga zakat yang dikeluarkan
oleh orang-orang kaya tepat sasaran dan tidak berpotensi menyuburkan ketamakan. Dengan demikian,
hikmah zakat akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Yang berhak menerima, merasa terbantu
dan tidak berpikir untuk melakukan tindakan negatif.. Sementara si kaya merasa tenang dan nyaman
karena sudah melaksanakan syari’at dengan benar dan akan mendapatkan limpahan do’a dari si miskin.
Disamping juga, dia terlepas dari rencana negatif sebagian orang yang mungkin dengan dalih terpaksa
melakukan kejahatan.

DEFINISI AL-GHARIM (BANGKRUT)

Dalam mendefinisikan al-ghârim, para Ulama’ berbeda-beda. Ada yang mengatakan, al-ghârim adalah
orang yang terlilit hutang. Ada juga yang menambahkan definisi ini dengan menyertakan penyebabnya.
Mujâhid rahimahullah mengatakan al-ghârim adalah orang yang menanggung hutang karena rumahnya
terbakar, atau hartanya terseret banjir, atau untuk memenuhi kebutuhan keluarganya [1].

Ibnu Atsîr rahimahullah menambahkan, al-ghârim adalah orang yang menjamin pelunasan hutang orang
lain, atau orang yang bangkrut guna mencukupi kebutuhan hidup, tidak untuk berbuat maksiat atau
berlaku boros (tabdzîr) [2].

Berdasarkan ini, Ulama’ fiqh menentukan kriteria tertentu bagi al-ghârim yang berhak menerima zakat
ditinjau dari faktor penyebab pailit atau terlilit hutang.

FAKTOR-FAKTOR PAILIT ATAU TERLILIT HUTANG

Secara garis besar, ada dua jenis penyebab seseorang terlilit hutang atau menjadi al-ghârim:

1. Ghârim limaslahati nafsihi (Terlilit hutang demi kemaslahatan atau kebutuhan dirinya)

2. Ghârim li ishlâhi dzatil bain ( Terlilit hutang karena mendamaikan manusia, qabilah atau suku)

Kedua jenis al-ghârim diatas berhak menerima zakat tetapi dengan syarat tambahan pada ghârim
linafsihi yaitu harus dalam keadaan miskin. Sedangkan untuk ghârim li ishlâhi dzatil bain maka boleh
diberi zakat meski dia kaya.

I. GHARIM LI MASHLAHATI NAFSIHI


Pada jenis ini ulama mendefinisikan kriteria al-gharîm yang berhak menerima zakat, yaitu mereka yang
terjerat hutang untuk maslahat dirinya dan keluarganya, seperti orang yang berhutang untuk makan,
pakaian, tempat tinggal atau berobat dsb.

Al-Ba’li rahimahullah berkata, “Al-ghârim adalah orang yang berhutang untuk menafkahi diri dan
keluarganya atau untuk berpakaian.”[3]

Juga termasuk kategori al-ghârim jenis ini adalah orang yang terkena bencana alam atau musibah
lainnya yang mengakibatkan hartanya habis, contohnya : banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran,
pencurian dan sebagainya yang mengakibatkan mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok.
Sehingga mereka termasuk fuqara’ (orang-orang fakir). Inilah yang disabdakan Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam potongan hadits yang panjang dari shahabat Qabishah Radhiyallahu ‘anhu :

ٍ ‫يب قِ َوا ًما ِم ْن َع ْي‬


‫ش‬ ِ ‫ت لَهُ ْال َم ْسَألَةُ َحتَّى ي‬
َ ‫ُص‬ ْ َّ‫ت َمالَهُ فَ َحل‬ َ ‫َو َر ُج ٍل َأ‬
ْ ‫صابَ ْتهُ َجاِئ َحةٌ اجْ تَا َح‬

“Dan seorang yang tertimpa bencana sehingga hartanya musnah. Orang ini dihalalkan meminta-minta
sampai kembali mendapat harta untuk hidup”.[4]

Apakah Hutang Karena Kafarat Atau Fidyah (Hutang Yang Menyangkut Hak Allâh) Termasuk Ghârim Yang
Berhak Diberi Zakat ?

Ada dua pendapat tentang ghârim yang seperti ini :

Pertama : pendapat Ulama’ Hanafiyyah dan Mâlikiyyah yang menyatakan mereka tidak berhak
mendapat zakat dari baitul mal. Karena hutang yang dibantu adalah hutang yang berkaitan dengan (hak)
manusia, sedangkan hutang kepada Allâh Azza wa Jalla seperti pembayaran kafarat atau zakat yang
tertunda maka tidak bisa diambilkan dari uang zakat.

Kedua : Pendapat sebagian Ulama’ Hanabilah, mereka membolehkan pemberian zakat dari baitul mal
untuk al-ghârim jenis ini, dengan dalil bahwa hutang kepada Allâh Azza wa Jalla adalah hutang yang
paling berhak untuk dibayar.
Pendapat yang râjih, wallahu A’lam adalah pendapat pertama. Karena sebagian kafarat memiliki
pengganti kafarat lainnya yang tidak mesti dengan harta, misalnya dengan puasa. Apabila seseorang
tidak mampu membayar kafarat, sesungguhnya rahmat Allâh Azza wa Jalla sangat luas. sehingga bagi
yang memiliki hutang dan beniat mengembalikannya niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menutupinya hari
qiamat, maka bagaimana dengan orang yang tidak mampu bayar kafarat ? Sedangkan ia telah berniat
membayar kafarat namun tidak mampu. Oleh karenanya uang zakat tidak diberikan untuk membayar
kafarat-kafarat tersebut.[5]

Bagaimana Jika Seseorang Meninggal Dalam Keadaan Pailit?

Jika seseorang mati meninggalkan hutang yang lebih banyak dari harta warisannya. Apakah boleh
dilunasi dengan uang zakat ?

Dalam masalah ini Ulama’ berbeda pendapat, ada yang melarangnya dan ada yang membolehkannya.
Pendapat yang melarang adalah pendapat Ulama’ Hanafiyyah dan Hanabilah serta salah satu pendapat
Imam Syâfi’i rahimahullah. Sedangkan yang membolehkannya adalah pendapat Mâlikiyyah dan
dirâjihkan oleh syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah. Inilah yang rajah berdasarkan hadist yang
diriwayatkan oleh imam Bukhâri :

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َما ِم ْن ُمْؤ ِم ٍن ِإاَّل َوَأنَا َأوْ لَى بِ ِه فِي ال ُّد ْنيَا َواآْل ِخ َر ِة ا ْق َر ُءوا ِإ ْن ِشْئتُ ْم { النَّبِ ُّي َأوْ لَى‬
َ ‫ي‬ َّ ِ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َأ َّن النَّب‬
ِ ‫ع َْن َأبِي ه َُر ْي َرةَ َر‬
‫َأ‬ ‫ْأ‬ ْ
ُ‫ضيَاعًا فَليَ تِنِي فَ نَا َموْ اَل ه‬ ‫َأ‬
َ ْ‫ك َد ْينًا و‬ َ ‫صبَتُهُ َم ْن كَانُوا َو َم ْن تَ َر‬ ْ ْ ‫اًل‬ ‫َأ‬ ُ ْ ‫َأ‬
َ ‫بِال ُمْؤ ِمنِينَ ِم ْن نف ِس ِه ْم }فَ يُّ َما ُمْؤ ِم ٍن َماتَ َوتَرَكَ َما فَليَ ِرثهُ َع‬ ْ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anmhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada seorang
mukmin pun kecuali aku lebih berhak padanya di dunia dan akhirat, bacalah firman Allâh Azza wa Jalla
(yang artinya) ” Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” [6],
maka mukmin manapun yang mati dan meninggalkan harta maka ahli warisnya yang mewarisi hartanya.
Barangsiapa mati meninggalkan hutang atau barang yang hilang maka hendaklah ia mendatangiku
karena aku adalah tuannya”.[7]

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa hujah (dasar pijakan) pendapat yang menyatakan mayit
termasuk dalam kategori al-ghârim lebih kuat. Ditambah lagi pendapat yang menolak memasukkan
mayit sebagai al-ghârim tidak memiliki dalil yang jelas.[8]

II. GHARIM LI ISHLAHI DZATIL BAYYIN


Perselisihan antar suku seringkali berujung peperangan dan mengakibatkan korban yang tidak sedikit.
Kondisi ini terkadang menggerakkan hati orang-orang yang berjiwa sosial dan dermawan untuk
berupaya memadamkan api permusuhan dengan menjadi penengah. Terkadang upaya yang dilakukan
memaksanya merogoh kocek dalam-dalam karena membutuhkan dana besar. Hutang pun terpaksa
ditempuh demi menggapai tujuan mulia yaitu menghentikan pertikaian. Orang seperti inilah yang
disebut al-ghârim li ishlahi dzâtil bayyin.

Ketika memaparkan pengertian al-ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, Imam Nawawi rahimahullah dalam
Kitâbul Majmû’ menyatakan, “Yaitu seorang yang berhutang untuk mendamaikan pertikaian, seperti jika
dikhawatirkan terjadi peperangan antara dua suku atau dua orang yang berselisih, lalu hutang tersebut
digunakan untuk memadamkan api permusuhan [9].

Diantara al-ghârim jenis yang kedua yaitu orang yang menghabiskan hartanya untuk membantu saudara
seiman yang tertimpa bencana atau musibah. Imam al Murdawai rahimahullah berkata, “Jika seseorang
menanggung kerugian orang lain disebabkan harta bendanya musnah atau korban perampokan maka
boleh baginya mendapat uang zakat.” [10]

Menurut pandapat jumhur Ulama’, ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh menerima zakat walaupun dia
kaya atau mampu. Imam Ibnu Abdil Bar t dalam kitab al-Istidkâr mengatakan, “Tiga imam yaitu imam
Mâlik rahimahullah, Syâfi’i rahimahullah, Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan para pengikut mereka
menyatakan bahwa ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh mengambil zakat walaupun dia kaya.” [11]
Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ق َعلَى‬ ٌ ‫َار ٍم َأوْ لِ َرج ٍُل ا ْشتَ َراهَا بِ َمالِ ِه َأوْ لِ َر ُج ٍل َكانَ لَهُ َجا ٌر ِم ْس ِك‬
ُ ُ‫ين فَت‬
َ ‫ص ِّد‬ ِ ‫يل هَّللا ِ َأوْ لِ َعا ِم ٍل َعلَ ْيهَا َأوْ لِغ‬ ٍ ‫ص َدقَةُ لِ َغنِ ٍّي ِإاَّل لِخَ ْم َس ٍة لِغ‬
ِ ِ‫َاز فِي َسب‬ َّ ‫اَل ت َِحلُّ ال‬
ْ ْ ْ ‫َأ‬َ ْ
‫ال ِم ْس ِكي ِن ف هدَاهَا ال ِم ْس ِكينُ لِل َغنِ ِّي‬

“Harta sedekah (zakat) itu tidak halal buat orang kaya kecuali lima golongan, yaitu orang yang berperang
di jalan Allâh Azza wa Jalla, amil zakat, ghârim (pailit) , seseorang yang membeli barang zakat dengan
hartanya, atau seorang yang memiliki tetangga miskin kemudian ia bersedekah kepadanya, kemudian si
miskin tersebut menghadiahkan sedekah tadi kepada orang kaya”. [12]

Syarat-Syarat Ghârim Boleh Menerima Zakat

1. Beragama Islam
Ghârim berhak menerima zakat kalau dia beragama Islam, begitu pula penerima zakat lainnya. Ibnu
Mundzir rahimahullah mengatakan, “Para Ulama’ telah bersepakat bahwa zakat itu tidak sah bila
diberikan kepada seorang ahli dzimmah ( non muslim).”[13]

2. al-Faqr (Miskin)

Syarat ini berlaku pada ghârim limaslahati nafsihi (untuk kebutuhan pribadi), sedangkan pada ghârim li
ishlâhi dzâtil bayyin, syarat ini tidak berlaku. Artinya, dia boleh menerima zakat meskipun dia kaya.

3. Hutang Bukan Karena Untuk Maksiat

Jika hutang tersebut disebabkan maksiat seperti judi, minum khamr, berbuat tabdzîr dan boros, maka ia
tidak diberi uang zakat. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Saya tidak pernah mendapati satu
pendapat ahli ilmu yang membolehkan zakat diberikan kepada orang yang terbelit hutang dalam rangka
berbuat maksiat, sebelum ia bertaubat, kecuali pendapat lemah dari sebagian kecil Syâfi’iyyah, seperti
al-Hanathi dan ar-Râfi’y, yang memandang mereka boleh diberi karena Ghârim.[14].

Bagaimana Hukum Orang Yang Terbelit Hutang Ribawi?

Riba merupakan dosa besar dan termasuk maksiat yang telah banyak menalan korban. Karena termasuk
maksiat, maka yang terlilit hutang ribawi, ia tidak boleh diberi zakat untuk melunasinya, kecuali jika
bertaubat. Akan tetapi bagi yang terpaksa berhutang dengan system riba untuk kebutuhan pokok,
seperti sandang papan atau pangan, maka baitul mal boleh memberikannya zakat. Hukum darurat ini
diukur sesuai kebutuhan.[15]

4. Tidak Mampu Mencari Penghasilan Lagi

Ulama’ berselisih dalam masalah ini. Sebagian Ulama syâfi’iyah dan sebagian hanabilah
memperbolehkan pemberian zakat pada orang yang masih mampu bekerja. Menurut penyusun kitab
Abhâtsun fi Qadâyâz Zakât, hukum yang benar dalam masalah ini yaitu bila hutangnya banyak dan dia
kesulitan sekali untuk melunasinya maka ia boleh menerima zakat walaupun ia masih mampu bekerja.
Akan tetapi sebaliknya, jika hutangnya sedikit atau pihak pemberi hutangan memberikan tambahan
waktu maka hendaknya ia tidak mengambil zakat dan berusaha untuk melunasinya (sendiri). [16]

5. Bukan Keturunan Bani Hâsyîm (Keturunan Kerabat Rasûlullâh Shallallahu Alaihi Wa Sallam)

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


ِ َّ‫ت ِإنَّ َما ِه َى َأوْ َسا ُخ الن‬
‫اس َوِإنَّهَا الَ تَ ِحلُّ لِ ُم َح َّم ٍد َوالَ آل ِل ُم َح َّم ٍد‬ ِ ‫ص َدقَا‬
َّ ‫ِإ َّن َه ِذ ِه ال‬

“Sesungguhnya sedekah ini adalah kotoran manusia [17], dan ia tidak halal untuk Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga keluarga Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [18]

6. Waktu Pelunasan Sudah Jatuh Tempo

Jatuh tempo merupakan syarat yang diperselisihkan oleh para Ulama’. Ibnu Muflih rahimahullah
berpendapat, “Hukum yang nampak dari hadits Qabishah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ghârim boleh
mengambil zakat walaupun belum jatuh tempo.”[19]

Namun Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa ghârim tidak boleh diberi zakat kecuali setelah
jatuh Tempo. [20]

Dr. Sulaiman al-Asqar menguatkan pendapat pertama dengan catatan, baitul mal boleh mengeluarkan
zakat untuk ghârim tersebut, apabila jatuh tempo tinggal beberapa bulan atau sudah masuk dalam
tahun jatuh tempo. Jika temponya masih beberapa tahun atau lebih dari satu tahun maka tidak berhak
menerima zakat untuk melunasi hutang, kecuali kondisi orang yang memberikan hutangan dalam
keadaan sakit atau membutuhkan. Wallahu A’lam. [21]

7. Ghârim Bukan Termasuk Dalam Tanggungan Muzakki (Orang Yang Berzakat)

Apabila gharîm berada dalam tanggungan muzakki seperti istri atau kerabat lain, maka zakat yang
diberikan kepada orang-orang ini tidak sah. Karena seolah-olah dia membelanjakan harta untuk dirinya
sendiri. Oleh karena itu, apa yang dikeluarkan ini tidak bisa dinamakan zakat, namun dianggap sebagai
nafkah yang diberikan oleh kepala rumah tangga untuk keluarganya. Orang-orang yang termasuk dalam
tanggungan muzakki adalah istri, anak dan keturunannya dan Bapak serta kakek keatas. [22]

KADAR ZAKAT YANG DIBERIKAN KEPADA GHARIM

Harta zakat dari baitul mal yang diberikan kepada ghârim yaitu seukuran hutang yang harus dilunasi.
Karena tujuan penyaluran zakat untuk ghârim hanya sebatas untuk tujuan ini.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Ghârim diberi zakat untuk menutup hutangnya walaupun sangat
banyak”[23]

Ibnu Rusyd rahimahullah, penyusun kitab Bidâyatul Mujtahid menyatakan, “Ghârim diberi dari zakat
sejumlah hutangnya jika hutangnya bukan karena maksiat” [24]

Dalam hal ini, sering terkumpul dua sifat yaitu faqir dan ghârim pada seseorang, maka boleh baginya
menerima zakat untuk kemiskinannya dan melunasi hutangnya sehingga ia mendapat dua jatah. [25]

Bila kita amati dengan cermat, syariat Islam yang sempurna ini ternyata merupakan solusi terbaik dalam
rangka menciptakan stabilitas ekonomi umat, di samping niat yang utama adalah dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan menjalin ukhuwah Islamiyah di antara kaum Muslimin.

Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat bagi kita dan menumbuhkan semangat dalam bersedekah
tidak hanya di bulan suci Ramadhan semata. Wallahu a’lam

AL-GHARIMIN (ORANG YANG MENANGGUNG HUTANG)

Wahai kaum Muslimin yang dirahmati Allah,

MARILAH kita meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan penuh keyakinan
dan keikhlasan dengan melakukan segala suruhan-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Mudah-
mudahan kita menjadi insan yang bertakwa dan beriman serta selamat di dunia dan selamat di akhirat.

Sesungguhnya agama Islam menyuruh umatnya mencari rezeki supaya dengan rezeki itu nanti mereka
dapat menikmati kehidupan ini dengan selesa dan seterusnya dapat beribadat kepada Allah Subhanahu
Wata’ala. Selain itu, agama Islam juga mengajar umatnya supaya rezeki yang diperolehi itu digunakan
atau dibelanjakan dengan sebaik-baiknya seperti membelanjakan wang bagi keperluan diri, keluarga dan
orang-orang yang dibawah tanggungannya, bersikap sederhana dalam berbelanja, bijak mengimbangkan
di antara kadar pendapatan dan perbelanjaan dan sebagainya.

Sememangnya keperluan bagi memenuhi tuntutan kehidupan pada zaman ini memerlukan perbelanjaan
yang bukan sedikit seperti makan minum, tempat tinggal, kenderaan, pakaian, perbelanjaan anak-anak
sekolah dan sebagainya. Apa yang penting kita hendaklah bijak mentadbir kewangan dengan berbelanja
hanya pada keperluan asasi, tidak berlebih-lebihan dan tidak membazir. Ingatlah larangan Allah
Subhanahu Wata’ala sebagaimana firman-Nya dalam surah Al- Israa’ ayat 26-27 tafsirnya :
26. dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang
yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.

27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.

“Dan janganlah engkau membelanjakan hartamu dengan boros yang melampau-lampau. Sesungguhnya
orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara syaitan, sedang syaitan itu pula adalah makhluk
yang sangat kufur kepada Tuhan-Nya”.

Sebagaimana diketahui bahawa di antara lapan golongan asnaf yang berhak menerima zakat ialah Al-
Gharimin iaitu orang yang berhutang. Tetapi perlulah diketahui bahawa tidak semua orang yang
berhutang itu berhak menerima bantuan zakat bagi menyelesaikan hutang-hutang yang ditanggung.
Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Muhzatal Mu’min Min Ihya Ulumuddin, Al-Gharimin itu ialah
orang yang dibebani hutang dan ia berhutang kerana bertujuan ketaatan atau kerana sebab yang mubah
(harus) seperti perbelanjaan ke atas anak isteri sedangkan orang yang berhutang itu dalam keadaan fakir
dan miskin, ia tidak lagi sanggup atau berdaya untuk membayar hutangnya itu. Ketika itu bolehlah ia
mengadu nasib kepada penguasa sehingga hutang itu dapat dibayar dengan zakat. Kiranya ia berhutang
dengan tujuan maksiat, maka tiadalah ia diberikan dari bahagian zakat itu, melainkan jika ia telah
bertaubat dengan sebenar-benar taubat. Kiranya orang yang berhutang itu seorang yang kaya atau
mempunyai harta benda tiadalah boleh ditunaikan hutangnya itu dari bahagian zakat kecuali jika ia
berhutang kerana faedah dan maslahat orang ramai ataupun kerana tujuan memadamkan fitnah atau
huru-hara.

Dari itu dapatlah difahami bahawa orang yang berhutang disebabkan perbelanjaan yang tidak perlu
maka tiadalah ia berhak menerima zakat. Selain itu juga telah dijelaskan dalam sebuah hadis berkenaan
orang-orang yang berhak meminta wang zakat sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Muslim yang
menceritakan bahawa Qabisah bin Mukariq Al-Hilali pernah menanggung hutang untuk mendamaikan
dua kabilah yang saling bersengketa. Lalu dia datang kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam
meminta bantuan kepada Baginda untuk membayar hutangnya itu, Baginda bersetuju dan menyuruhnya
menunggu sehingga ada orang datang menghantar zakat dan akan menyerahkan zakat itu kepadanya
nanti. Kemudian Baginda bersabda bahawa sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal)
kecuali tiga golongan :

Pertama : Orang yang menanggung suatu tanggungan atau beban. Maka orang itu boleh meminta
sehingga dia dapat membayar tanggungannya atau bebanannya itu (tanggungan kerana dia berhutang
untuk mendamaikan dua qabilah yang sedang bertikai itu). Maka apabila hutang itu telah selesai, maka
tidak boleh lagi ia meminta-minta.
Kedua : Orang ditimpa bencana sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh meminta-minta
sehingga dia memperolehi sumber kehidupan yang layak bagi dirinya.

Ketiga : Orang yang ditimpa kemiskinan (disaksikan atau diketahui oleh orang yang dipercayai bahawa
dia memang miskin) Orang itu boleh meminta-minta hingga memperolehi sumber kehidupan yang layak.
Selain tiga golongan tersebut, haram baginya meminta-minta dan haram pula baginya memakan hasil
perbuatan meminta-minta itu.

Muslimin yang dirahmati Allah,

Sememangnya tidak dinafikan bahawa Allah Subhanahu Wata’ala telah menetapkan rezeki yang
berbeza-beza di antara hamba-hamba-Nya, ada yang hidup dalam kesenangan dan ada pula yang hidup
dalam serba kekurangan. Oleh itu dengan adanya pemberian zakat dapatlah membantu golongan yang
memerlukan bantuan seperti fakir miskin dan Al-Gharimin iaitu orang yang berhutang. Maka sebagai
orang yang menerima agihan zakat hendaklah mensyukuri nikmat tersebut dan hendaklah mengetahui
bahawa Allah Subhanahu Wata’ala mewajibkan pemberian zakat itu hanyalah untuk mencukupi
keperluannya terutama dalam mengerjakan ketaatan. Wang zakat yang diterima hendaklah
dimanfaatkan dan dibelanjakan dengan bijaksana dan berhemah seperti perbelanjaan harian dan
perbelanjaan sekolah. Jika wang zakat itu digunakannya untuk maksiat, seolah-olah ia telah mengkufuri
nikmat Allah yang diberikan kepadanya, dengan itu jauhlah ia dari rahmat Allah dan mendapat pula
kutukkan dari Allah Subhanahu Wata’ala.

Selain itu mereka hendaklah bersyukur kepada orang yang memberikan zakat serta mendoakan baginya
kebaikan. Mereka juga hendaklah memelihara diri dari menerima zakat melainkan dalam kadar yang
harus diterimanya iaitu sekadar keperluannya saja. Begitu juga, janganlah ia menerima melainkan
sesudah ia yakin bahawa ia mempunyai salah satu sifat dari sifat-sifat asnaf yang berhak menerima zakat
yang telah ditetapkan oleh agama Islam.

Namun tidak dinafikan terdapat sebilangan orang yang mencari helah ataupun apa jua cara supaya
dirinya dapat menerima zakat seperti orang yang mempunyai wang yang cukup untuk perbelanjaan
dirinya dan nafkah orang yang di bawah tanggungannya, tetapi dia berbelanja berlebih-lebihan dengan
harapan supaya nantinya dia boleh meminta-minta bantuan wang zakat bagi melangsaikan hutang-
hutangnya itu. Niatnya berbuat demikian adalah tidak baik dan perbuatan demikian merupakan suatu
penipuan, sedangkan perbuatan menipu adalah berdosa. Perbuatan menipu dalam mencari harta
merupakan cara haram yang balasannya tidak lain neraka jahanam.

Muslimin yang berbahagia,

Ingatlah bahawa risiko berhutang itu amat besar. Telah berkali-kali diingatkan dalam hadis-hadis
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam akan risiko orang yang berhutang dimana hutang itu merupakan
kegelisahan di waktu malam dan suatu penghinaan di siang hari. Baginda Rasulullah Sallallahu Alaihi
Wasallam sendiri selalu berdoa meminta perlindungan Allah Subhanahu Wata’ala supaya dijauhkan diri
bebanan hutang sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, daripada ‘Aisyah
Radiallahuanha bahawa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam selalu berdoa di dalam sembahyang yang
maksudnya : ‘Ya Allah sesungguhnya Aku berlindung denganmu daripada dosa dan hutang’.

Oleh itu bagi orang yang berhutang hendaklah ia segera membayar hutangnya itu apabila
berkemampuan atau mengikut perjanjian yang telah disepakati bersama orang yang memberi hutang.
Elakkanlah juga dari melambat-lambatkan membayar hutang sedang ia berkemampuan kerana
hukumnya adalah berdosa.

Akhirnya marilah kita memelihara diri dari banyak berhutang dengan mengamalkan perbelanjaan secara
sederhana, membeli hanya pada yang perlu, berusaha untuk mendapatkan dan meningkatkan
pendapatan serta membanyakkan doa dan selawat. Mudah-mudahan dengan amalan demikian
kehidupan kita bahagia dan selamat di dunia dan di akhirat. Amin Ya Rabbal’alamin.

Firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 283 tafsirnya :

“Kalau yang memberi hutang percaya kepada yang berhutang, maka hendaklah orang yang dipercayai
itu menyempurnakan amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah”.

Fatwa Tentang Masail Asnaf Gharimin Dan Penyelesaiannya

Takrif Al-Gharimin : mengikut ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali ialah orang yang berhutang sama ada
hutang untuk dirinya sendiri atau hutang untuk orang lain dan sama ada hutang ini bertujuan untuk
melakukan sesuatu kebaikan (taat kepada Allah).

Keputusan:

Takrif Al-Gharimin : mengikut ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali ialah orang yang berhutang sama ada
hutang untuk dirinya sendiri atau hutang untuk orang lain dan sama ada hutang ini bertujuan untuk
melakukan sesuatu kebaikan (taat kepada Allah).

Syarat-syarat terhadap gharimin yang perlu mendapat bantuan adalah seperti berikut:

(1) Pemohon tidak mempunyai harta atau sumber kewangan yang melebihi keperluan asasinya.

(2) Pinjaman yang dibuat di dalam perkara-perkara yang halal dan harus.

(3) Wujud keperluan menyelesaikan hutang dengan segera.

(4) Wujudnya kemudharatan terhadap diri dan keluarga jika hutang tidak dibayar.

(5) Gharimin yang berhutang untuk menyelesaikan permasalahan asasi seperti kesihatan, pelajaran
diperingkat rendah dan menengah, makanan, tempat perlindungan sementara dan segala hutang untuk
meninggikan martabat agama dibantu terus dari peruntukan asnaf gharimin tanpa melihat kepada
jumlah yang ditanggung.

(6) Gharimin yang berhutang untuk menyelesaikan permasalahan selain dari syarat (5) yang disebutkan
di atas dibantu dari peruntukan asnaf gharimin secara Qardhul Hasan dan wajib menjalani tempoh
pemulihan.

VII. Fisabilillah

Fisabilillah merupakan gelaran dan sejenis perlakuan yang dianggap mulia dalam Islam. Sejak dahulu lagi
Fi sabil Allah yang menjadi polemik di antara ulama. Ada yang menyempitkan makna fi sabil Allah dan
ada yang meluaskan pemahamannya. Perbincangan ini bukanlah hanya untuk menyenaraikan pendapat-
pendapat yang bercanggah di antara ulama tetapi lebih kepada analisa yang kritis bagi memastikan
kebenaran yang tulen yang perlu dipatuhi dan merupakan perbincangan yang melibatkan keharusan
talfiq selagi sesuatu masalah itu masih kabur dan tidak nyata. Perbincangan juga melibatkan maslahah
yang menjadi alasan dan senjata utama bagi mereka yang mengeluarkan hukum tanpa asas, tanpa
memahami dengan mendalam maksud sebenar maslahah dalam Usul Al-Fiqh. Ramai golongan yang suka
bercakap mengenai Fiqh tapi tidak didasarkan pada asas sebenar Fiqh itu iaitu usul Al-Fiqh. Realitinya
amalan peluasan makna fi sabil Allah memang dipraktikkan di Malaysia tanpa diambil kira asas sebenar
syariah. Pemberian zakat kepada mangsa bencana alam, adakah menepati makna fi sabil Allah atau
tidak? Pendapat-pendapat ulama terhadap saham fi sabil Allah

A.Golongan yang menyempitkan makna fi sabil Allah.

Mazhab Hanafiyy

Imam Abu Yusof berpendapat bahawa makna fi sabil Allah bermaksud tentera-tentera Islam yang tidak
berkeupayaan menyertai perang disebabkan kemiskinan yang dialami, ini merupakan maksud yang mula
terlintas di fikiran (al-Kasani 1997 : jil. 2,472).

Imam Muhammad al-Hassan pula berpendapat fi sabil Allah bermaksud orang yang tidak cukup
kelengkapan menunaikan haji dengan beralaskan kepada satu hadis bahawa seorang lelaki hendak
menyerahkan seekor unta untuk tujuan perang tetapi Rasulullah menyuruh beliau menyalurkannya
untuk tujuan haji (al-Kasani 1997 : jil.2,472).

Al-Kasani dalam Badai’ al-sanai’ menjelaskan bahawa maksud fi sabil Allah adalah semua bentuk amalan
mendekatkan diri dan ketaatan kepada Allah (Ibn ‘Abidin 1994 : jil.3,289). Ibn Nujaym dalam al-Bahr
mengatakan bahawa unsur kefakiran mestilah ada pada setiap bahagian (Ibn Nujaim 1997 : jil.2,422).

Disyaratkan pemilikan harta zakat pada asnaf, maka tidak boleh disalurkan untuk pembinaan masjid,
kafan serta pembayaran hutang mayat, pembinaan jambatan, terusan, pembinaan jalan, haji dan jihad
yang tiada kaitan dengan pemilikan harta (Ibn Abidin 1994 : jil.3,291).

Ringkasnya ulama Mazhab Hanafi mentakrifkan fi sabil Allah sebagai amalan-amalan yang mendekatkan
diri dan ketaatan kepada Allah serta mensyaratkan wujudnya sifat kefakiran bagi bahagian fi sabil Allah
kecuali bahagian amil dan berlakunya pemilikan harta, maka tidak harus disalurkan zakat pada
pembinaan masjid, pembinaan jambatan, tali air, jalan dan sebagainya.

Mazhab Malikiyy

Ibn al-Arabi dalam Ahkam al-Quran meriwayatkan daripada Imam Malik bahawa maksud fi sabil Allah
banyak maknanya, tetapi tiada perselisihan pendapat tentang makna perang pada jalan Allah (Ibn al-
Arabi 1967 : jil.2,957).

Muhammad Ibn al-Hakam mengatakan bahawa zakat boleh disalurkan bagi mendapatkan binatang dan
senjata bagi kegunaan perang, bagi menahan kemaraan musuh kerana semuanya untuk maslahah
perang berhujahkan pada satu hadis yang menerangkan bahawa Rasulullah S.A.W pernah menyalurkan
zakat dalam bentuk seratus ekor unta kepada jajahan kekuasaan Sahal Ibn Abi Hathmah bagi meredakan
penentangan (Ibn al-Arabi 1967 :jil.2,957).

Al-Dardir menjelaskan dalam Syarh ala Matan Khalil bahawa zakat diberikan kepada tentera-tentera dan
keperluan mereka seperti senjata dan kuda (pengangkutan), walaupun tentera itu kaya kerana ia
menerima zakat melalui bahagian jihad bukan kefakiran. Diberikan juga kepada pengintip-pengintip
walaupun seorang kafir tetapi tidak boleh disalurkan pada pembinaan benteng negara dan dalam
perkara yang mempunyai kaitan sebahagian sahaja dalam perang.

Dalam tafsir al-Qurtubi dinyatakan bahawa maksud fi sabil Allah adalah tentera-tentera serta
kelengkapan yang berkaitan sama ada miskin kaya dan ini adalah mazhab Maliki (al-Qurtubi 1996 :
jil.8,172).

Ringkasnya, makna fi sabil Allah dalam Mazhab Maliki bermakna bagi tujuan peperangan, jihad dan yang
berkaitan dengannya, tidak hanya tertakluk pada tentera tetapi lebih meluas pemahamannya
merangkumi perkara-perkara yang berkaitan dengan persediaan perang dan boleh disalurkan zakat
walaupun pada orang kaya.

Mazhab Syafi’iyy

Al-Nawawi dalam Minhaj al-Talibin menjelaskan bahawa maksud fi sabil Allah bermakna tentera-tentera
yang tidak menerima gaji daripada kerajaan, iaitu bermakna tentera yang sukarela menyertai
peperangan (al-Nawawi 2000 : jil.2,403).

Al-Syafi’iyy menjelaskan dalam al-Umm bahawa bahagian fi sabil Allah disalurkan kepada tentera yang
berada dalam kawasan sesuatu zakat yang disalurkan, sama ada pada yang kaya atau miskin kecuali
diperlukan sebaliknya (al-Syafie 1993 : jil.2,97).

Ringkasnya, Mazhab Syafi’iyy memfokuskan makna fi sabil Allah hanyalah untuk jihad, tentera yang tidak
menerima gaji dan yang berkaitan dengannya walaupun ia kaya.

Mazhab Hanbaliyy
Mazhab Hanbaliyy sama dengan Mazhab Syafi’iyy dalam mentakrifkan fi sabil Allah iaitu dengan makna
tentera-tentera sukarela yang tidak menerima gaji daripada kerajaan atau yang menerima gaji tetapi
tidak mencukupi keperluan mereka untuk berperang walaupun ia kaya. Al-Bahuti menjelaskan bahawa
tidak harus disalurkan zakat selain daripada yang disebutkan oleh Allah seperti pembinaan masjid,
jambatan, terusan, pembinaan jalan, kafan mayat dan semua bentuk kebaikan untuk keredaan Allah
kerana lafaz ‫ امنإ‬dalam ayat zakat tersebut bermakna hanya (al-Bahuti 1982 : jil.2,283).

Terdapat dua riwayat Imam Ahmad berkaitan dengan haji :

1.Haji termasuk dalam fi sabil Allah berdasarkan pada hadis Umm Mi’qal al-Asadiyyah bahawa suaminya
menyerahkan seekor unta untuk tujuan jihad tetapi beliau ingin menggunakannya untuk tujuan haji
lantas meminta unta tersebut daripada suaminya tetapi enggan, maka perkara ini diadukan pada
Rasulullah dan baginda memutuskan supaya diberikan pada Umm Mi’qal dengan sabda : “Haji dan
Umrah itu termasuk fi sabil Allah”.

2.Haji tidak termasuk fi sabil Allah seperti pendapat majoriti ulama. Ibn Qudamah dalam al-Syarh al-
Kabir menjelaskan bahawa ini lebih tepat kerana fi sabil Allah bermakna jihad merupakan maksud yang
pertama terlintas di fikiran kerana sebahagian besar ayat al-Quran yang menggunakan perkataan sabil
Allah membawa erti jihad, ini merupakan zahir ayat (Ibn Qudamah 1995 : jil.4,104).

Rumusan

Hasil daripada kajian ringkas ini menunjukkan bahawa keempat-empat mazhab bersepakat mengatakan
bahawa :

1.Jihad atau perang kerana Allah termasuk dalam fi sabil Allah.

2.Penyaluran zakat terhadap tentera-tentera yang terlibat dengan jihad.

3.Ketidakharusan penyaluran zakat bagi tujuan maslahah umum seperti pembinaan empangan, terusan,
masjid, sekolah, jalan, urusan jenazah.

B.Gologan yang memperluaskan makna fi sabil Allah.

Al-Razi menyatakan dalam takfsirnya : “Zahir lafaz fi sabil Allah tidak menunjukkan pengkhususan
terhadap tentera sahaja justeru al-Qaffal menyatakan dalam tafsirnya mengikut sebahagian fuqaha
mengharuskan pembahagian zakat kepada semua bentuk kebaikan seperti mengkafankan mayat,
pembinaan benteng dan masjid kerana fi sabil Allah umum bagi semua”. (al-razi 1995 : jil.8,115).

Anas Ibn Malik dan al-Hassan

Ibn Qudamah dalam al-Mughni menyatakan bahawa Anas dan al-Hassan al-Basri pernah mengatakan
bahawa “apa yang anda salurkan pada pembinaan jambatan dan jalan ia adalah sedekah yang diterima”
(Ibn Qudamah 1995 : jil.4,104).
Al-Imamiyyah al-Ja’fariyyah

Kitab al-Mukhtasar al-Nafi’ menjelaskan bahawa fi sabil Allah bermakna setiap perkara kebaikan dan
kepentingan umum seperti haji, jihad dan pembinaan jambatan dan ada pendapat yang mengatakan
bahawa ia khusus untuk jihad sahaja.

Kitab Syarai’ al-Islam menyebutkan bahawa kepentingan umum seperti pembinaan jambatan, masjid,
haji dan semua bentuk kebaikan termasuk dalam kategori fi sabil Allah (Muhammad jawwad t.th :
jil.1,87).

Al-Zaidiyyah

Pengarang al-Rawd al-Nadir menjelaskan bahawa Imam Zayd mengatakan bahawa zakat tidak boleh
disalurkan pada urusan jenazah atau pembinaan masjid, tetapi beliau sendiri menyalahi pendapat Imam
Zayd dengan mentarjihkan peluasan makna fi sabil Allah (al-Siyaghi t.th ; jil.2,621). Dalam Syarh al-Azhar
dinyatakan bahawa harus disalurkan zakat untuk kepentingan umum umat Islam dan ini adalah nas atau
keterangan Imam al-Hadi.

Al-Sayyid Rasyid Ridha berpendapat bahawa fi sabil Allah bermaksud maslahah-maslahah umum umat
Islam bagi tujuan agama dan negara bukan untuk persendirian, yang paling baik dan patut diutamakan
ialah untuk jihad; pembelian senjata, bekalan makanan askar, pengangkutan tentera dan sebagainya,
tetapi segala peralatan tersebut perlulah dikembalikan balik pada baitulmal disebabkan sifat fi sabil
Allah hanya sah semasa berlakunya peperangan. Termasuk juga pembinaan hospital tentera, kebajikan
umum dan pembinaan jalan-jalan, landasan keretapi tentera, menara-menara tentera, lapangan terbang
tentera, bagi tujuan bekalan pendakwah-pendakwah Islam melalui institusi-institusi yang berkaitan
(Rasyid Ridho t.th : jil.10,585).

Al-Syaikh Mahmud Syaltut

Beliau berpendapat bahawa makna fi sabil Allah bermaksud kepentingan-kepentingan umum yang tidak
dimiliki oleh sesiapapun hanya untuk jalan Allah dan untuk kepentingan manusia. Perlu diutamakan
persiapan perang bagi mempertahankan kehormatan daripada musuh, termasuklah peralatan yang
canggih, hospital tentera dan awam, pembinaan jalan, bagi tujuan pendakwah Islam….dibolehkan
penyaluran zakat bagi tujuan pembinaan masjid dengan syarat mengikut keperluan sahaja (Syaltut
1991 : 119).

ANALISA

Hujah-hujah yang dikemukakan oleh setiap golongan menunjukkan bahawa majoriti fuqaha memiliki
hujah yang lebih kukuh dan konkrit berbanding golongan yang memperluaskan makna fi sabil Allah.
Golongan ini hanya berhujahkan dengan hujah berikut :

1.Umum ayat zakat yang menunjukkan maksud yang merangkumi semua kebajikan.

2.Riwayat-riwayat tabiin dan tabi’ tabiin tanpa alasan yang kukuh.


3.Tafsiran-tafsiran ulama tanpa berdasarkan pada nas atau hujah yang konkrit.

Sebaliknya majoriti fuqaha memiliki hujah dan alasan yang konkrit serta ilmiah dalam menentukan
kehendak ayat zakat tersebut melalui hujah-hujah berikut :

1.Takhsis al-‘am ; ayat zakat tersebut menunjukkan lafaz yang umum iaitu fi sabil Allah yang berfungsi
mengumumkan makna tersebut iaitu merangkumi semua kebajikan untuk jalan Allah. Tetapi ayat yang
bersifat umum ini telah ditakhsiskan oleh hadis yang menerangkan makna fi sabil Allah seperti hadis
riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, dan al-Hakim; sahih mengikut syarat Bukhari dan Muslim iaitu
sabda Rasulullah : Tidak halal zakat bagi orang yang kaya kecuali lima golongan iaitu tentera berjihad
pada jalan Allah….perkataan tentera berjihad pada jalan Allah mentakhsiskan umum makna fi sabil Allah
dalam ayat zakat. Tidak ada pertentangan pendapat ulama yang berhujahkan dengan prinsip umum
dalam takhsis al-‘am sama ada dengan dalil ‘aqli atau sam’i. (al-Ghazzali 1996 : 245).

2. Apabila berlawanan maksud dalam Quran dan Sunnah antara definisi dari segi bahasa dan syarak
maka hendaklah diutamakan definisi syarak dahulu. Al-Ghazzali telah menyatakan bahawa pendapat
yang terpilih adalah setiap definisi yang berkaitan dengan penyataan atau suruhan maka perlulah
disesuaikan dengan makna syarak (al-Ghazzali 1996 : 190). Ini bermakna maksud fi sabil Allah dari segi
syaraknya adalah jihad atau perang pada jalan Allah kerana perbahasan zakat merupakan perbahasan
syarak bukan perbahasan bahasa.

3. Perkataan fi sabil Allah jika diperluaskan maknanya maka ini menyebabkan berlakunya fenomena
pengulangan terhadap ayat Allah tanpa faedah sedangkan Allah Maha Suci daripada sifat yang
sedemikian. Sekiranya kehendak fi sabil Allah merangkumi semua amal kebaikan maka tidak perlu lagi
Allah menyebutkan asnaf yang tujuh selain fi sabil Allah. Ini bermakna penetapan kelapan-lapan asnaf
tersebut mempunyai tujuan dan hikmah iaitu mengkhususkan fi sabil Allah untuk tujuan jihad atau
perang fi sabil Allah bukan sebaliknya. Ini dikuatkan lagi dengan penggunaan kalimat ‫ امنإ‬yang bermaksud
hanya iaitu lapan golongan itu sahajalah yang berhak menerima zakat. Sekiranya makna umum yang
dimaksudkan, maka kalimah Innama itu juga tidak ada faedahnya disebutkan dan Allah Maha Suci
daripada tuduhan-tuduhan seperti ini.

4. Kebanyakan ayat Quran dan hadis Rasulullah apabila membicarakan tentang fi sabil Allah merujuk
kepada jihad atau perang fi sabil Allah sekiranya tidak ada qarinah yang memesongkan maknanya
kecuali beberapa ayat dan hadis yang menunjukkan makna umum fi sabil Allah disebabkan terdapat
qarinah. Perkataan fi sabil Allah dalam ayat zakat tersebut mempunyai makna yang khusus disebabkan
tidak terdapat qarinah yang dapat memesongkan maknanya.

5.Sekiranya pemberian zakat kepada mangsa bencana alam dikategorikan sebagai maslahah, adakah ia
menepati prinsip maslahah yang sepatutnya? Tambahan pula mazhab Syafie (Syafi’iyy) tidak
mengiktirafkan penggunaan maslahah dalam penghasilan hukum secara mutlak dan itulah yang hak (Al-
Amidi 2000 : jil.4,919). Kalau dikatakan fenomena talfiq mazhab harus dipraktikkan maka adalah adil jika
dilaksanakan juga pada semua aspek syariah tidak hanya bab zakat malah dalam bab-bab yang lain juga.
Sekiranya dipraktikkan juga prinsip maslahah ini terhadap penyaluran zakat kepada mangsa-mangsa
bencana alam (setelah kajian terperinci menunjukkan bahawa Imam syafie juga mempraktikkan
maslahah dengan nama penghujahan dengan asas-asas syariah yang umum serta menyeluruh) maka ia
termasuk dalam perkara yang dinyatakan oleh Al-Ghazzali : “Setiap maslahah yang tidak menjuruskan
kepada tujuan-tujuan syariat daripada Quran, Hadis dan Ijma’ tergolong dalam maslahah yang janggal
yang tidak menepati kehendak syarak maka hukumnya batil dan tidak perlu dipratikkan. Sesiapa yang
mempraktikkannya seolah-olah membuat syariat yang baru “(Al-Ghazzali 1996 : 179). Setelah diteliti
hujah-hujah majoriti ulama jelaslah bahawa penyaluran zakat kepada mangsa bencana alam tidak
menepati prinsip maslahah yang sebenar.

Kompromi

Pengagihan zakat yang telah, sedang dan akan dilakukan perlulah diteliti dengan penuh keinsafan.
Pemberian zakat kepada mangsa-mangsa bencana alam bukanlah tidak boleh disalurkan kepada mereka
disebabkan mangsa bencana alam ini berbeza situasinya menurut individu. Contohnya pemberian zakat
masih boleh diberikan kepada mereka melalui asnaf yang lain seperti mangsa yang mengalami kefakiran
atau kemiskinan setelah ditimpa bencana alam tetapi bukan semua mangsa boleh dikategorikan sebagai
fakir atau miskin. Begitu juga boleh disalurkan melalui asnaf gharimin tetapi kalau hanya sekadar
penghutang kenapa dikhususkan kepada mangsa bencana alam sahaja sedangkan boleh dikatakan
semua orang berhutang.

Kesimpulan

Rumusannya, majoriti ulama termasuklah mazhab yang empat mengkhususkan makna fi sabil Allah
dengan makna jihad atau perang dan yang berkaitan dengannya. Hanya segelintir sahaja yang
memperluaskan makna tersebut dengan hujah yang rapuh. Pemberian zakat kepada mangsa bencana
alam memang jelas tidak terdapat dalam asnaf yang lapan yang disebutkan dalam Qur’an. Sebagai
alternatifnya segala bantuan yang hendak disalurkan kepada mangsa-mangsa berkenaan bolehlah
diambil daripada sumber-sumber kewangan yang lain selain zakat ataupun diteliti dan dibuat analisa
sekiranya di antara mangsa-mangsa yang terbabit tergolong dalam asnaf yang tujuh selain fi sabil Allah

VII. Ibnus Sabil

Orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk kembali ke
tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih di lingkungan
negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan, maka ia dianggap sebagai fakir atau
miskin.

2. Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, sehingga pemberian zakat itu tidak
menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.

3. Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya, meskipun di negerinya sebagai
orang kaya. Jika ia mempunyai piutang yang belum jatuh tempo, atau pada orang lain yang tidak
diketahui keberadaannya, atau pada seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau pada orang yang
mengingkari utangnya, maka semua itu tidak menghalanginya berhak menerima zakat.
Ibnu Sabil iaitu orang asing yang tidak memiliki pembiayaan untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini
bolehIbnu sabil adalah musafir yang terputus bekalnya dalam perjalanan sehingga dia tidak bisa pulang
ke negerinya. Bagaimana dengan calon musafir? Pendapat pertama: dia tidak termasuk ibnu sabil ini
adalah pendapat jumhur, dengan alasan bahwa sabil adalah jalan, maka ibnu sabil adalah orang jalanan
yang ada di jalan bukan orang yang hendak jalan. Kedua: muqim termasuk ibnu sabil bila dia hendak
berangkat dari negerinya, akan tetapi dia tidak mempunyai harta sebagai bekal dalam safarnya, ini
adalah madzhab Syafi’i, dengan mengqiyaskannya dengan musafir dalam arti yang sebenarnya.

Fatwa an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Muashirah kesembilan terkait dengan Ibnu Sabil:

1- Ibnu sabil adalah musafir dalam arti yang sebenarnya, sejauh apa pun jarak perjalanannya, yang
membutuhkan bekal karena hilangnya harta atau habisnya bekal, sekalipun dia adalah orang kaya di
negerinya.

2- Syarat memberikan zakat kepada ibnu sabil adalah:

A- Hendaknya perjalanannya bukan perjalanan maksiat.

B- Hendaknya dia tidak bisa mendapatkan hartanya.

3- Ibnu sabil diberi sesuai dengan hajatnya berupa bekal, perhatian dan penginapan, biaya perjalanan ke
tempat yang dituju kemudian pulang ke negerinya.

4- Ibnu sabil tidak dituntut untuk menghadirkan bukti atas lenyapnya harta dan habisnya nafkah, kecuali
bila keadaannya tidak menunjukkan hal itu.

5- Ibnu sabil tidak wajib berhutang sekalipun ada orang yang mau memberinya hutang, dia juga tidak
wajib untuk bekerja sekalipun mampu bekerja.

6- Ibnu sabil tidak wajib mengembalikan sisa bekal di tangannya dari harta zakat saat dia sudah tiba di
negerinya dan hartanya, sekalipun lebih baik baginya bila dia mengembalikan sisa tersebut bila dia
adalah orang yang berkecukupan ke Baituz Zakah atau kepada salah satu pos penerima zakat.
7- Orang-orang berikut ini termasuk ke dalam ibnu sabil dengan syarat dan ketentuan di atas:

A- Jamaah haji dan umrah.

B- Penuntut ilmu dan pencari kesembuhan (pengobatan).

C- Para da’i ke jalan Allah Ta’ala.

D- Orang-orang yang berperang di jalan Allah Ta’ala.

E- Orang-orang yang diusir dan dipindahkan dari negeri mereka atau tempat tinggal mereka.

F- Para perantau yang hendak pulang kampung namun tidak memiliki bekal.

G- Orang-orang yang berhijrah yang berlari menyelamatkan agama mereka yang dihalang-halangi untuk
pulang ke negeri mereka atau mengambil harta mereka.

H- Orang-orang yang mengemban tugas dan para wartawan yang berusaha mewujudkan kemaslahatan
informasi syar’i.

Gelandangan Termasuk Ibnu Sabil?

Pertama: termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr. Yusuf al-Qardhawi. Alasannya orang-orang yang tidak
bertempat tinggal adalah orang-orang jalanan, karena mereka tinggal di jalanan dan berlindung di
jalanan, sehingga hukum mereka adalah sama dengan orang musafir yang terputus dari hartanya.

Kedua: bukan termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr. Umar al-Asyqar. Alasannya bahwa mereka adalah
orang-orang yang tinggal, mereka tidak berharta, sehingga mereka lebih berhak dikategorikan miskin.

Orang-orang di Perantauan demi Mencari Ilmu atau Untuk Bekerja

Sebagian kaum muslimin pergi ke negeri lain untuk menuntut ilmu atau untuk mencari pekerjaan yang
lebih baik, dan selama di perantauannya tersebut dia membutuhkan biaya untuk menamatkan
belajarnya atau untuk mencari pekerjaan, apakah disyariatkan memberinya dari pos ibnu sabil?

Jawaban dari pertanyaan ini terlihat melalui perincian tentang keadaan mereka. Pertama: mereka
mempunyai harta di negeri mereka namun mereka tidak bisa mengambilnya atau memanfaatkannya:
1- Mereka telah tinggal menetap di negeri perantauan, maka mereka bukan ibnu sabil, karena ibnu sabil
hanya untuk musafir bukan muqim.

2- Mereka belum tinggal menetap di negeri tersebut, keadaan mereka memiliki dua kemungkinan:

A- Bila diduga mereka akan pulang dalam waktu dekat maka mereka diberi dari pos ibnu sabil kadar
yang cukup untuk mereka pulang ke negeri mereka.

B- Bila mereka akan menetap dalam jangka waktu yang lama untuk belajar atau bekerja, maka mereka
dihukumi muqim, hal ini menghalangi mereka untuk mengambil zakat dari pos ibnu sabil, bila mereka
membutuhkan maka mereka diberi dari pos fakir dan miskin. Wallahu a’lam.

About these ads

Categories: Uncategorized

Leave a Comment

emyuenampuluhtujuh ( Abah Yunaz )

Create a free website or blog at WordPress.com.

Back to top

Anda mungkin juga menyukai