Anda di halaman 1dari 22

8 Golongan Asnaf yang Layak Menerima Zakat

July 15, 2013 emyuenampuluhtujuh ( Yunazsixtisevent )


Firman Allah swt dalam surah at Taubah ayat 60 bermaksud:
60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana[647].
[647] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya,
tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang
yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang
yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada
harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5.
memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang
kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat
dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan
umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada
jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara
mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan
umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam
perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
1. Fakir (al Fuqara) adalah orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan
keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya seperti makanan,
pakaian dan tempat tinggal.
2. Miskin (al-Masakin) mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya
akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
3. Amil orang yang dilantik untuk memungut dan mengagih wang zakat.
4. Muallaf seseorang yang baru memeluk agama Islam.
5. Riqab seseorang yang terbelenggu dan tiada kebebasan diri.
6. Gharimin penghutang muslim yang tidak mempunyai sumber untuk menjelaskan hutang
yang diharuskan oleh syarak pada perkara asasi untuk diri dan tanggungjawab yang wajib ke
atasnya.
7. Fisabilillah orang yang berjuang, berusaha dan melakukan aktiviti untuk menegakkan dan
meninggikan agama Allah.
8. Ibnus Sabil musafir yang kehabisan bekalan dalam perjalanan atau semasa memulakan
perjalanan dari negaranya yang mendatangkan pulangan yang baik kepada Islam dan umatnya
atau orang Islam yang tiada perbekalan di jalanan.
I. Fakir (al Fuqara)
adalah orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan keperluannya. Tidak

mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya seperti makanan, pakaian dan tempat
tinggal.
Bagaimana menurut Al-Quran ?.
Menurut Bahasa Arab, Fakir berasal dari kata Faqara yang artinya orang yang patah tulang
belakangnya. Atau orang yang sangat berhajat kepada sesuatu, karena miskin. Atau orang yang
papa dan termiskin.
Kata Miskin, juga berasal dari Bahasa Arab Sakana yang berarti diam, tidak banyak bergerak,
karena miskin. Inilah yang terbanyak di negeri kita.
Dalam Ilmu Fikih, orang miskin ialah orang yang berpenghasilan rendah, dan tidak mencukupi
penghasilan yang ia peroleh. Sedang fakir ialah orang yang tidak berharta dan tidak
berpenghasilan. Kedua istilah ini sering digabung menjadi Fakirmiskin, sebagai gambaran orang
yang lemah dan perlu di tolong.
Menurut salah satu ayat dalam Surah Al-Maun, seorang muslim sekalipun ia mengerjakan salat
masih dapat disebut orang celaka, jika tidak suka membantu orang miskin.
Bahkan makna Pendusta agama itu, diantaranya orang yang WALA YAHUDDHU ( Orang
yang tidak menganjurkan memberi makanan orang miskin ).
Menurut ulama Tafsir WALA YAHUDDHU berarti, tidak menganjurkan. Atau tidak menyadari
dan tidak menangani orang miskin sebagai tugas tugas kita semua. Termasuk bagi mereka yang
hidupnya menengah ( pas-pasan ) Jika tidak memungkinkan dapat menyumbang uang dan harta,
maka yang harus dilakukan adalah menyumbangkan tenaganya dengan jalan menganjurkan atau
ikut Tim yang dapat mengentaskan orang-orang Miskin.
Dari ayat tersebut dapat dipahami, bahwa orang-orang yang akan menghuni neraka nanti ialah
orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula mendorong orang lain, memberi makan
orang-orang miskin diserkelilingnya.
II. Miskin (al-Masakin)
mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak
mencukupi sepenuhnya
19. dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapat bagian[1417].
[1417] Orang miskin yang tidak mendapat bagian Maksudnya ialah orang miskin yang tidak
meminta-minta.
Hak orang miskin:
Menurut Al-Quran, WAFI AMWALIHIM HAQQUN LISSAILIN (Didalam harta mereka ( yang
kaya) terdapat hak orang-orang peminta-minta dan tidak meminta ) (QS 51:19).

Hal ini dipahami, nahwa harta benda yang bertahun-tahun kita kumpulkan, bukan seluruhnya
milik kita, sekalipun kita sendiri yang berusaha dan membanting tulang. Sebagian kecil
didalamnya kepunyaan orang miskin.Bahkan kata kasarnya, jika kita gunakan sendiri, kita
dianggap termasuk kelompok perampas hak orang miskin. Agama mewajibkan kita memberikan
sebagian kepada mereka yang miskin. Tidak banyak. Zakat itu tidak berkisar antara 2, 5 2O %
pertahun. Tapi sebagian mufasir menganjurkan, setiap menerima rezeki, langsung dikeluarkan
juga seketika, karena ditafsirkan masuk kelompok ghanimah (rezeki mendadak), semacam
honor atau jasa dari keahlian.Dan Inilah yang diperaktekkan sebagian negeri-negeri Islam di
Timur Tengah, sehingga orang miskinnya berkurang.
Jika kita berpikir rasional,sebenarnya harta benda yang dikumpulkan orang yang berpunya
(aghniya) , sebagian dari jasa yang ikut bermandi keringat, ketika mengangkat harta itu misalnya
dari pelabuhan ke gudang, waktu barang-barang itu diimpor atau diekspor. Sebab itu wajar juga,
jika memperoleh bahagian kecil.
Alhasil, pemberian yang disumbangkan kepada orang miskin, memang awalnya adalah haknya
sendiri, lalu diperkuat Al-Qutan. Dan tidak akan merugikan orang mampu ( aghniya ).
276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah[177]. dan Allah tidak menyukai Setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178].
[177] Yang dimaksud dengan memusnahkan Riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan
berkahnya. dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta
yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[178] Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan Riba dan tetap melakukannya.
Harta bertambah:
Bantuan yang diberikan kepada orang miskin, bukan berkurang, tapi akan semakin bertambah.
Al-Quran menyebutnya WAYURBI SHADAQAT (Allah menghancurkan sistem riba dan
mengembangbiakkan sedekah) (QS.2: 276)
Untuk membuktikan kebenaran ayat ini, penulis pernah membaca riwayat hidup seorang
pengusaha sukses di daerah ini. Ketika keuangannya melaporkan saldo kas sisa sedikit, justru
diperintahkan kepadanya, untuk mengeluarkan semuanya dan membaginya kepada orang-orang
miskin. Apa yang terjadi ?. Dalam waktu yang relative singkat, uang yang dibagikan itu terganti,
mebihi dengan yang telah disedekahkan.Boleh dicoba asal ikhlas.
Bantuan yang diberikan kepada orang miskin, sekaligus menghilangkan jurang pemisah antara
sikaya dan miskin. Sebab lanjutan ayat yang memerintahkan agar yang menerima sumbangan
dianjurkan Al-Quran WASHALLI ALAIHIM
103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan
mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebihlebihan kepada harta benda
[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka.
(Berdoalah untuk mereka, sehingga membawa ketenteraman bagi pemberi sumbangan.).(QS. 9 :
1O3).
Berdasarkan ayat tersebut, maka aghniya hendaknya dengan ikhlas menyerahkan sebagian
hartanya dan masakin, hendaknya berterima kasih dengan berdoa, agar lebih murah rezekinya
para penyumbang.
Untuk menghidari kemungkinan terjadi korban antrean mustahik menunggu sumbangan seperti
bulan Ramadhan yang lalu, sebaiknya orang yang membagikan zakat itu proaktif. Bukan
didatangi, tapi mendatangi. Salah satu makna Atu al-zakat dalam Al-Quran berarti proaktif
pergi ke lokasi membagi. Itulah arti Walmarhum ( yaitu miskin, tapi tidak pergi minta-minta),
karena malu sehingga wajib bagi amil mengantarkan. Inilah kaifiat pendistribusian sedekah yang
benar.
Akhirnya, makna menyumbang (Atu zakat ) kepada orang miskin ialah senantiasa siap bergerak
membantu sekalipun dasarnya adalah kewajiban Negara, sesuai undang-undang. Tapi karena
Islam mewajibkan lebih dulu sesuai Al-Quran, maka kita semua harus membantu pemerintah.
Bantuan aghniya sesuai keikhlasan. Minimal sama kadarnya kewajiban zakat tahunan ( antara
2,5 % sampai 2O % ).Tapi bantuan yang lebih baik seperti yang dilakukan Rasul adalah
membantu yang produktif. Hal itu ditempuh juga di Korea yaitu petani penyewa diubah
statusnya menjadi pemilik. Dan bantuan berikutnya berupa bibit, air dan kredit murah.
Bantuan muslim yang berpenghasilan menengah, minimal ikut menjadi Amil ( panitia), sehingga
semua muslim rata-rata berada dalam koridor pencinta rakyat miskin seperti sifat Rasulullah
SAW.
Untuk menghindari pembagian yang dapat membawa bencana, kaifiatnya mengantarkan ke
gubuk orang miskin, seperti yang dipraktekkan Khalifah Umar bin Khattab RA.
III. Amil
Amil dalam zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan
pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat.
Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi
pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta
tugas lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau penyuluhan masyarakat
tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar
zakat dan mereka yang menjadi mustahiq, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta
menginvestasikan harta zakat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam rekomendasi
pertama Seminar Masalah Zakat Kontemporer Internasional ke-3, di Kuwait. Lembaga-lembaga
dan panitia-panitia pengurus zakat yang ada pada zaman sekarang ini adalah bentuk kontemporer
bagi lembaga yang berwenang mengurus zakat yang ditetapkan dalam syariat Islam. Oleh
karena itu, petugas (amil) yang bekerja di lembaga tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang

ditetapkan.
Tugas-tugas yang dipercayakan kepada amil zakat ada yang bersifat pemberian kuasa (karena
berhubungan dengan tugas pokok dan kepemimpinan) yang harus memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan oleh para ulama fikih, antara lain muslim, laki-laki, jujur, dan mengetahui hukum
zakat Ada tugas-tugas sekunder lain yang boleh diserahkan kepada orang yang hanya memenuhi
sebagian syarat-syarat di atas, yaitu akuntansi]], penyimpanan, dan perawatan aset yang dimiliki
lembaga pengelola zakat, pengetahuan tentang ilmu fikih zakat, dan lain-lain.
Para amil zakat berhak mendapat bagian zakat dari kuota amil yang diberikan oleh pihak yang
mengangkat mereka, dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas,
walaupun mereka orang fakir. Dengan penekanan supaya total gaji para amil dan biaya
administrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat (13.5%). Perlu diperhatikan, tidak
diperkenankan mengangkat pegawai lebih dari keperluan. Sebaiknya gaji para petugas ditetapkan
dan diambil dari anggaran pemerintah, sehingga uang zakat dapat disalurkan kepada mustahiq
lain.
Para amil zakat tidak diperkenankan menerima sogokan, hadiah atau hibah, baik dalam bentuk
uang ataupun barang.
Melengkapi gedung dan administrasi suatu badan zakat dengan segala peralatan yang diperlukan
bila tidak dapat diperoleh dari kas pemerintah, hibah atau sumbangan lain, maka dapat diambil
dari kuota amil sekedarnya dengan catatan bahwa sarana tersebut harus berhubungan langsung
dengan pengumpulan, penyimpanan dan penyaluran zakat atau berhubungan dengan peningkatan
jumlah zakat.
Instansi yang mengangkat dan mengeluarkan surat izin beroperasi suatu badan zakat
berkewajiban melaksanakan pengawasan untuk meneladani sunah Nabi saw dalam melakukan
tugas kontrol terhadap para amil zakat. Seorang amil zakat harus jujur dan bertanggung jawab
terhadap harta zakat yang ada di tangannya dan bertanggung jawab mengganti kerusakan yang
terjadi akibat kecerobohan dan kelalaiannya.
Para petugas zakat seharusnya mempunyai etika keislaman secara umum. Misalnya, penyantun
dan ramah kepada para wajib zakat (muzaki) dan selalu mendoakan mereka. Begitu juga
terhadap para mustahiq, mereka mesti dapat menjelaskan kepentingan zakat dalam menciptakan
solidaritas sosial. Selain itu, agar menyalurkan zakat sesegera mungkin kepada para mustahiq.
IV. Muallaf
Muallaf adalah sebutan bagi orang non-muslim yang mempunyai harapan masuk agama Islam
atau orang yang baru masuk Islam. Pada Surah At-Taubah Ayat 60 disebutkan bahwa para
muallaf termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat.
Ada tiga kategori mualaf yang berhak mendapatkan zakat:
1. Orang-orang yang dirayu untuk memeluk Islam: sebagai pendekatan terhadap hati orang yang
diharapkan akan masuk Islam atau ke-Islaman orang yang berpengaruh untuk kepentingan Islam
dan umat Islam.
2. Orang-orang yang dirayu untuk membela umat Islam: Dengan memersuasikan hati para
pemimpin dan kepala negara yang berpengaruh, baik personal maupun lembaga, dengan tujuan
ikut bersedia memperbaiki kondisi imigran warga minoritas muslim dan membela kepentingan
mereka. Atau, untuk menarik hati para pemikir dan ilmuwan demi memperoleh dukungan dan
pembelaan mereka dalam permasalahan kaum muslimin. Misalnya, membantu orang-orang non-

muslim korban bencana alam, jika bantuan dari harta zakat itu dapat meluruskan pandangan
mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.
3. Orang-orang yang baru masuk Islam kurang dari satu tahun yang masih memerlukan bantuan
dalam beradaptasi dengan kondisi baru mereka, meskipun tidak berupa pemberian nafkah, atau
dengan mendirikan lembaga keilmuan dan sosial yang akan melindungi dan memantapkan hati
mereka dalam memeluk Islam serta yang akan menciptakan lingkungan yang serasi dengan
kehidupan baru mereka, baik moril maupun materiil.
V. RIQAB
Secara bahasa riqab adalah jamak dari raqabah yang artinya adalah tengkuk (leher bagian
belakang), seluruh tubuh dinamakan dengan satu anggota karena nilai anggota ini yang berharga,
kata raqabah digunakan secara mutlak dengan makna hamba sahaya, jadi riqab adalah hamba
sahaya yang dimiliki oleh seseorang, dan di sini mencakup mukatab, yaitu hamba sahaya yang
berakad dengan majikannya untuk menebus dirinya atau ghairu mukatab.
Riqab berhak menerima zakat, bila dia mukatab maka untuk membantu pembayaran yang harus
ditunaikannya kepada majikannya dan bila dia bukan mukatab, maka agar dia bisa menebus
dirinya dari majikannya sehingga dia menjadi orang merdeka.
Apakah tawanan muslim termasuk riqab?
Atau dengan kata lain, bisakah harta zakat dari pos riqab ini digunakan untuk membebaskan
tawanan muslim dari tangan orang-orang kafir?
Pendapat yang rajih adalah pendapat yang membolehkan memberikan zakat dari pos riqab untuk
membebaskan tawanan muslim karena:
1- Membebaskan tawanan dari penawanan tidak berbeda dengan memerdekakan hamba sahaya
dari penghambaan.
2- Harta yang dibayarkan untuk membebaskan tawanan sama dengan harta yang dibayarkan
untuk gharim agar terbebas dari belitan hutang.
3- Bahwa ayat hadir dengan kata riqab mencakup hamba sahaya, mukatab dan tawanan.
Pos riqab untuk membantu bangsa muslim yang terjajah
Pendapat pertama: disyariatkan. Pendapat kedua: tidak disyariatkan.
Pendapat pertama berdalil: penjajahan atas suatu bangsa lebih berat dan lebih berbahaya
dibandingkan dengan penghambaan dalam skala pribadi.
Pendapat kedua berdalil: dicaploknya(dikuasainya-ed) negeri Islam oleh orang-orang kafir tidak
termasuk ke dalam makna riqab, tidak dari sisi bahasa dan tidak pula dari sisi syara.
Tarjih: Pendapat kedua adalah pendapat yang rajih berdasarkan:

1- Tidak adanya dalil yang menunjukkan bahwa membebaskan suatu bangsa dari penjahahan
termasuk ke dalam makna riqab.
2- Tidak adanya hajat untuk itu, karena masih ada pos-pos lain untuk menopang tujuan tersebut,
bisa dari pos fi sabilillah atau dari pos lainnya dari Baitul Mal. Wallahu alam.
VI. Gharimin
Gharimn adalah kata dari bahasa Arab yang bermakna orang-orang yang memiliki hutang.
Orang berutang yang berhak menerima kuota zakat adalah orang-orang dalam golongan:
Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan, dengan syaratsyarat sebagai berikut:
1. Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan.
2. Utang itu melilit pelakunya.
3. Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya.
4. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si
pengutang.
Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang untuk
mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diyat (denda kriminal) atau
biaya barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini berhak menerima zakat, walaupun mereka
orang kaya yang mampu melunasi utangnya.
Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, dimana yang menjamin dan
yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan keuangan.
Orang yang berutang untuk pembayaran diyat (denda) karena pembunuhan tidak sengaja,
apabila keluarganya (aqilah) benar-benar tidak mampu membayar denda tersebut, begitu pula kas
negara.
Pembayaran diyat itu dapat diserahkan langsung kepada wali si terbunuh. Adapun diyat
pembunuhan yang disengaja tidak boleh dibayar dari dana zakat. Namun demikian, tidak boleh
mempermudah pembayaran diyat dari dana zakat, karena banyaknya kasus pembunuhan tidak
sengaja, sebab para mustahiq zakat yang lain juga sangat membutuhkannya. Untuk itu,
dianjurkan membuat kotak-kotak dana sosial untuk meringankan beban orang yang menanggung
diyat seperti ini, misalnya karena kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Juga sugesti membuat
kotak-kotak dana sosial keluarga atau profesi untuk menyerasikan sistem aqilah (sanak keluarga
yang ikut menanggung diyat pembunuhan tidak sengaja) sesuai dengan tuntutan zaman.
KRITERIA GHRIMIN PENERIMA ZAKAT
Status ekonomi yang berbeda, merupakan bagian dari realita kehidupan yang tidak bisa
dipungkiri. Kondisi ini mestinya tidak mengganggu keharmonisan hubungan antara individu
masyarakat yang berbeda status ekonominya, asal masing-masing mengerti hak dan
kewajibannya. Karena, mereka sebenarnya saling membutuhkan; si miskin butuh si kaya, begitu
sebaliknya. Disamping juga, tidak ada jaminan bahwa kondisi itu akan berlangsung selamanya.
Terkadang bisa berubah seratus delapan puluh derajat, si miskin menjelma menjadi orang kaya
sementara si kaya terpuruk menjadi si miskin. Ini alasan lain, kenapa si miskin dan si kaya selalu
saling membutuhkan. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang tidak mengerti,

pura-pura tidak tahu atau memang tidak mau tahu masalah ini. Akibatnya berbagai macam
permasalahan bermunculan.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin mengatur hubungan antara yang kaya dan yang
miskin, agar terjalin rasa kasih sayang diantara sesama. Zakat yang Allh Azza wa Jalla wajibkan
atas orang kaya lalu diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, merupakan salah
satu dari cara Islam mengatur hubungan antara si kaya dan si miskin. Dengan ini, si kaya akan
menyadari bahwa dalam harta mereka ada bagian untuk orang-orang miskin atau tidak mampu.
Allh Subhanahu wa Taala berfirman :
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang
tidak mendapat bagian (maksudnya orang miskin yang tidak meminta-minta). [adzDzariyt/51:19]
Diantara yang berhak menerima zakat dari orang kaya adalah al-ghrim (orang yang terlilit
hutang). Namun penerima zakat yang satu ini harus memenuhi beberapa kriteria sehingga zakat
yang dikeluarkan oleh orang-orang kaya tepat sasaran dan tidak berpotensi menyuburkan
ketamakan. Dengan demikian, hikmah zakat akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Yang berhak menerima, merasa terbantu dan tidak berpikir untuk melakukan tindakan negatif..
Sementara si kaya merasa tenang dan nyaman karena sudah melaksanakan syariat dengan benar
dan akan mendapatkan limpahan doa dari si miskin. Disamping juga, dia terlepas dari rencana
negatif sebagian orang yang mungkin dengan dalih terpaksa melakukan kejahatan.
DEFINISI AL-GHARIM (BANGKRUT)
Dalam mendefinisikan al-ghrim, para Ulama berbeda-beda. Ada yang mengatakan, al-ghrim
adalah orang yang terlilit hutang. Ada juga yang menambahkan definisi ini dengan menyertakan
penyebabnya. Mujhid rahimahullah mengatakan al-ghrim adalah orang yang menanggung
hutang karena rumahnya terbakar, atau hartanya terseret banjir, atau untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya [1].
Ibnu Atsr rahimahullah menambahkan, al-ghrim adalah orang yang menjamin pelunasan
hutang orang lain, atau orang yang bangkrut guna mencukupi kebutuhan hidup, tidak untuk
berbuat maksiat atau berlaku boros (tabdzr) [2].
Berdasarkan ini, Ulama fiqh menentukan kriteria tertentu bagi al-ghrim yang berhak menerima
zakat ditinjau dari faktor penyebab pailit atau terlilit hutang.
FAKTOR-FAKTOR PAILIT ATAU TERLILIT HUTANG
Secara garis besar, ada dua jenis penyebab seseorang terlilit hutang atau menjadi al-ghrim:
1. Ghrim limaslahati nafsihi (Terlilit hutang demi kemaslahatan atau kebutuhan dirinya)
2. Ghrim li ishlhi dzatil bain ( Terlilit hutang karena mendamaikan manusia, qabilah atau suku)
Kedua jenis al-ghrim diatas berhak menerima zakat tetapi dengan syarat tambahan pada ghrim
linafsihi yaitu harus dalam keadaan miskin. Sedangkan untuk ghrim li ishlhi dzatil bain maka
boleh diberi zakat meski dia kaya.

I. GHARIM LI MASHLAHATI NAFSIHI


Pada jenis ini ulama mendefinisikan kriteria al-gharm yang berhak menerima zakat, yaitu
mereka yang terjerat hutang untuk maslahat dirinya dan keluarganya, seperti orang yang
berhutang untuk makan, pakaian, tempat tinggal atau berobat dsb.
Al-Bali rahimahullah berkata, Al-ghrim adalah orang yang berhutang untuk menafkahi diri
dan keluarganya atau untuk berpakaian.[3]
Juga termasuk kategori al-ghrim jenis ini adalah orang yang terkena bencana alam atau musibah
lainnya yang mengakibatkan hartanya habis, contohnya : banjir, gempa bumi, tsunami,
kebakaran, pencurian dan sebagainya yang mengakibatkan mereka tidak dapat mencukupi
kebutuhan pokok. Sehingga mereka termasuk fuqara (orang-orang fakir). Inilah yang
disabdakan Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam dalam potongan hadits yang panjang dari
shahabat Qabishah Radhiyallahu anhu :



Dan seorang yang tertimpa bencana sehingga hartanya musnah. Orang ini dihalalkan memintaminta sampai kembali mendapat harta untuk hidup.[4]
Apakah Hutang Karena Kafarat Atau Fidyah (Hutang Yang Menyangkut Hak Allh) Termasuk
Ghrim Yang Berhak Diberi Zakat ?
Ada dua pendapat tentang ghrim yang seperti ini :
Pertama : pendapat Ulama Hanafiyyah dan Mlikiyyah yang menyatakan mereka tidak berhak
mendapat zakat dari baitul mal. Karena hutang yang dibantu adalah hutang yang berkaitan
dengan (hak) manusia, sedangkan hutang kepada Allh Azza wa Jalla seperti pembayaran kafarat
atau zakat yang tertunda maka tidak bisa diambilkan dari uang zakat.
Kedua : Pendapat sebagian Ulama Hanabilah, mereka membolehkan pemberian zakat dari baitul
mal untuk al-ghrim jenis ini, dengan dalil bahwa hutang kepada Allh Azza wa Jalla adalah
hutang yang paling berhak untuk dibayar.
Pendapat yang rjih, wallahu Alam adalah pendapat pertama. Karena sebagian kafarat memiliki
pengganti kafarat lainnya yang tidak mesti dengan harta, misalnya dengan puasa. Apabila
seseorang tidak mampu membayar kafarat, sesungguhnya rahmat Allh Azza wa Jalla sangat
luas. sehingga bagi yang memiliki hutang dan beniat mengembalikannya niscaya Allh Azza wa
Jalla akan menutupinya hari qiamat, maka bagaimana dengan orang yang tidak mampu bayar
kafarat ? Sedangkan ia telah berniat membayar kafarat namun tidak mampu. Oleh karenanya
uang zakat tidak diberikan untuk membayar kafarat-kafarat tersebut.[5]
Bagaimana Jika Seseorang Meninggal Dalam Keadaan Pailit?
Jika seseorang mati meninggalkan hutang yang lebih banyak dari harta warisannya. Apakah
boleh dilunasi dengan uang zakat ?

Dalam masalah ini Ulama berbeda pendapat, ada yang melarangnya dan ada yang
membolehkannya. Pendapat yang melarang adalah pendapat Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah
serta salah satu pendapat Imam Syfii rahimahullah. Sedangkan yang membolehkannya adalah
pendapat Mlikiyyah dan dirjihkan oleh syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah. Inilah
yang rajah berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh imam Bukhri :





} {

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anmhu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Tiada
seorang mukmin pun kecuali aku lebih berhak padanya di dunia dan akhirat, bacalah firman
Allh Azza wa Jalla (yang artinya) Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin
dari diri mereka sendiri [6], maka mukmin manapun yang mati dan meninggalkan harta maka
ahli warisnya yang mewarisi hartanya. Barangsiapa mati meninggalkan hutang atau barang yang
hilang maka hendaklah ia mendatangiku karena aku adalah tuannya.[7]
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa hujah (dasar pijakan) pendapat yang
menyatakan mayit termasuk dalam kategori al-ghrim lebih kuat. Ditambah lagi pendapat yang
menolak memasukkan mayit sebagai al-ghrim tidak memiliki dalil yang jelas.[8]
II. GHARIM LI ISHLAHI DZATIL BAYYIN
Perselisihan antar suku seringkali berujung peperangan dan mengakibatkan korban yang tidak
sedikit. Kondisi ini terkadang menggerakkan hati orang-orang yang berjiwa sosial dan dermawan
untuk berupaya memadamkan api permusuhan dengan menjadi penengah. Terkadang upaya yang
dilakukan memaksanya merogoh kocek dalam-dalam karena membutuhkan dana besar. Hutang
pun terpaksa ditempuh demi menggapai tujuan mulia yaitu menghentikan pertikaian. Orang
seperti inilah yang disebut al-ghrim li ishlahi dztil bayyin.
Ketika memaparkan pengertian al-ghrim li ishlhi dztil bayyin, Imam Nawawi rahimahullah
dalam Kitbul Majm menyatakan, Yaitu seorang yang berhutang untuk mendamaikan
pertikaian, seperti jika dikhawatirkan terjadi peperangan antara dua suku atau dua orang yang
berselisih, lalu hutang tersebut digunakan untuk memadamkan api permusuhan [9].
Diantara al-ghrim jenis yang kedua yaitu orang yang menghabiskan hartanya untuk membantu
saudara seiman yang tertimpa bencana atau musibah. Imam al Murdawai rahimahullah berkata,
Jika seseorang menanggung kerugian orang lain disebabkan harta bendanya musnah atau
korban perampokan maka boleh baginya mendapat uang zakat. [10]
Menurut pandapat jumhur Ulama, ghrim li ishlhi dztil bayyin boleh menerima zakat
walaupun dia kaya atau mampu. Imam Ibnu Abdil Bar t dalam kitab al-Istidkr mengatakan,
Tiga imam yaitu imam Mlik rahimahullah, Syfii rahimahullah, Ahmad bin Hanbal
rahimahullah dan para pengikut mereka menyatakan bahwa ghrim li ishlhi dztil bayyin boleh
mengambil zakat walaupun dia kaya. [11] Berdasarkan sabda Raslullh Shallallahu alaihi wa
sallam:



Harta sedekah (zakat) itu tidak halal buat orang kaya kecuali lima golongan, yaitu orang yang
berperang di jalan Allh Azza wa Jalla, amil zakat, ghrim (pailit) , seseorang yang membeli
barang zakat dengan hartanya, atau seorang yang memiliki tetangga miskin kemudian ia
bersedekah kepadanya, kemudian si miskin tersebut menghadiahkan sedekah tadi kepada orang
kaya. [12]
Syarat-Syarat Ghrim Boleh Menerima Zakat
1. Beragama Islam
Ghrim berhak menerima zakat kalau dia beragama Islam, begitu pula penerima zakat lainnya.
Ibnu Mundzir rahimahullah mengatakan, Para Ulama telah bersepakat bahwa zakat itu tidak
sah bila diberikan kepada seorang ahli dzimmah ( non muslim).[13]
2. al-Faqr (Miskin)
Syarat ini berlaku pada ghrim limaslahati nafsihi (untuk kebutuhan pribadi), sedangkan pada
ghrim li ishlhi dztil bayyin, syarat ini tidak berlaku. Artinya, dia boleh menerima zakat
meskipun dia kaya.
3. Hutang Bukan Karena Untuk Maksiat
Jika hutang tersebut disebabkan maksiat seperti judi, minum khamr, berbuat tabdzr dan boros,
maka ia tidak diberi uang zakat. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, Saya tidak pernah
mendapati satu pendapat ahli ilmu yang membolehkan zakat diberikan kepada orang yang
terbelit hutang dalam rangka berbuat maksiat, sebelum ia bertaubat, kecuali pendapat lemah dari
sebagian kecil Syfiiyyah, seperti al-Hanathi dan ar-Rfiy, yang memandang mereka boleh
diberi karena Ghrim.[14].
Bagaimana Hukum Orang Yang Terbelit Hutang Ribawi?
Riba merupakan dosa besar dan termasuk maksiat yang telah banyak menalan korban. Karena
termasuk maksiat, maka yang terlilit hutang ribawi, ia tidak boleh diberi zakat untuk
melunasinya, kecuali jika bertaubat. Akan tetapi bagi yang terpaksa berhutang dengan system
riba untuk kebutuhan pokok, seperti sandang papan atau pangan, maka baitul mal boleh
memberikannya zakat. Hukum darurat ini diukur sesuai kebutuhan.[15]
4. Tidak Mampu Mencari Penghasilan Lagi
Ulama berselisih dalam masalah ini. Sebagian Ulama syfiiyah dan sebagian hanabilah
memperbolehkan pemberian zakat pada orang yang masih mampu bekerja. Menurut penyusun
kitab Abhtsun fi Qadyz Zakt, hukum yang benar dalam masalah ini yaitu bila hutangnya
banyak dan dia kesulitan sekali untuk melunasinya maka ia boleh menerima zakat walaupun ia
masih mampu bekerja. Akan tetapi sebaliknya, jika hutangnya sedikit atau pihak pemberi
hutangan memberikan tambahan waktu maka hendaknya ia tidak mengambil zakat dan berusaha
untuk melunasinya (sendiri). [16]
5. Bukan Keturunan Bani Hsym (Keturunan Kerabat Raslullh Shallallahu Alaihi Wa Sallam)
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :





Sesungguhnya sedekah ini adalah kotoran manusia [17], dan ia tidak halal untuk Muhammad
Shallallahu alaihi wa sallam dan juga keluarga Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. [18]
6. Waktu Pelunasan Sudah Jatuh Tempo
Jatuh tempo merupakan syarat yang diperselisihkan oleh para Ulama. Ibnu Muflih rahimahullah
berpendapat, Hukum yang nampak dari hadits Qabishah Radhiyallahu anhu, bahwa ghrim
boleh mengambil zakat walaupun belum jatuh tempo.[19]
Namun Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa ghrim tidak boleh diberi zakat kecuali
setelah jatuh Tempo. [20]
Dr. Sulaiman al-Asqar menguatkan pendapat pertama dengan catatan, baitul mal boleh
mengeluarkan zakat untuk ghrim tersebut, apabila jatuh tempo tinggal beberapa bulan atau
sudah masuk dalam tahun jatuh tempo. Jika temponya masih beberapa tahun atau lebih dari satu
tahun maka tidak berhak menerima zakat untuk melunasi hutang, kecuali kondisi orang yang
memberikan hutangan dalam keadaan sakit atau membutuhkan. Wallahu Alam. [21]
7. Ghrim Bukan Termasuk Dalam Tanggungan Muzakki (Orang Yang Berzakat)
Apabila gharm berada dalam tanggungan muzakki seperti istri atau kerabat lain, maka zakat
yang diberikan kepada orang-orang ini tidak sah. Karena seolah-olah dia membelanjakan harta
untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, apa yang dikeluarkan ini tidak bisa dinamakan zakat,
namun dianggap sebagai nafkah yang diberikan oleh kepala rumah tangga untuk keluarganya.
Orang-orang yang termasuk dalam tanggungan muzakki adalah istri, anak dan keturunannya dan
Bapak serta kakek keatas. [22]
KADAR ZAKAT YANG DIBERIKAN KEPADA GHARIM
Harta zakat dari baitul mal yang diberikan kepada ghrim yaitu seukuran hutang yang harus
dilunasi. Karena tujuan penyaluran zakat untuk ghrim hanya sebatas untuk tujuan ini.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, Ghrim diberi zakat untuk menutup hutangnya walaupun
sangat banyak[23]
Ibnu Rusyd rahimahullah, penyusun kitab Bidyatul Mujtahid menyatakan, Ghrim diberi dari
zakat sejumlah hutangnya jika hutangnya bukan karena maksiat [24]
Dalam hal ini, sering terkumpul dua sifat yaitu faqir dan ghrim pada seseorang, maka boleh
baginya menerima zakat untuk kemiskinannya dan melunasi hutangnya sehingga ia mendapat
dua jatah. [25]
Bila kita amati dengan cermat, syariat Islam yang sempurna ini ternyata merupakan solusi
terbaik dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi umat, di samping niat yang utama adalah
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allh Azza wa Jalla dan menjalin ukhuwah Islamiyah di
antara kaum Muslimin.

Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat bagi kita dan menumbuhkan semangat dalam
bersedekah tidak hanya di bulan suci Ramadhan semata. Wallahu alam
AL-GHARIMIN (ORANG YANG MENANGGUNG HUTANG)
Wahai kaum Muslimin yang dirahmati Allah,
MARILAH kita meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu Wataala dengan penuh
keyakinan dan keikhlasan dengan melakukan segala suruhan-Nya dan meninggalkan segala
larangan-Nya. Mudah-mudahan kita menjadi insan yang bertakwa dan beriman serta selamat di
dunia dan selamat di akhirat.
Sesungguhnya agama Islam menyuruh umatnya mencari rezeki supaya dengan rezeki itu nanti
mereka dapat menikmati kehidupan ini dengan selesa dan seterusnya dapat beribadat kepada
Allah Subhanahu Wataala. Selain itu, agama Islam juga mengajar umatnya supaya rezeki yang
diperolehi itu digunakan atau dibelanjakan dengan sebaik-baiknya seperti membelanjakan wang
bagi keperluan diri, keluarga dan orang-orang yang dibawah tanggungannya, bersikap sederhana
dalam berbelanja, bijak mengimbangkan di antara kadar pendapatan dan perbelanjaan dan
sebagainya.
Sememangnya keperluan bagi memenuhi tuntutan kehidupan pada zaman ini memerlukan
perbelanjaan yang bukan sedikit seperti makan minum, tempat tinggal, kenderaan, pakaian,
perbelanjaan anak-anak sekolah dan sebagainya. Apa yang penting kita hendaklah bijak
mentadbir kewangan dengan berbelanja hanya pada keperluan asasi, tidak berlebih-lebihan dan
tidak membazir. Ingatlah larangan Allah Subhanahu Wataala sebagaimana firman-Nya dalam
surah Al- Israa ayat 26-27 tafsirnya :
26. dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.
Dan janganlah engkau membelanjakan hartamu dengan boros yang melampau-lampau.
Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara syaitan, sedang syaitan itu
pula adalah makhluk yang sangat kufur kepada Tuhan-Nya.
Sebagaimana diketahui bahawa di antara lapan golongan asnaf yang berhak menerima zakat
ialah Al-Gharimin iaitu orang yang berhutang. Tetapi perlulah diketahui bahawa tidak semua
orang yang berhutang itu berhak menerima bantuan zakat bagi menyelesaikan hutang-hutang
yang ditanggung. Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Muhzatal Mumin Min Ihya
Ulumuddin, Al-Gharimin itu ialah orang yang dibebani hutang dan ia berhutang kerana bertujuan
ketaatan atau kerana sebab yang mubah (harus) seperti perbelanjaan ke atas anak isteri
sedangkan orang yang berhutang itu dalam keadaan fakir dan miskin, ia tidak lagi sanggup atau
berdaya untuk membayar hutangnya itu. Ketika itu bolehlah ia mengadu nasib kepada penguasa
sehingga hutang itu dapat dibayar dengan zakat. Kiranya ia berhutang dengan tujuan maksiat,
maka tiadalah ia diberikan dari bahagian zakat itu, melainkan jika ia telah bertaubat dengan
sebenar-benar taubat. Kiranya orang yang berhutang itu seorang yang kaya atau mempunyai

harta benda tiadalah boleh ditunaikan hutangnya itu dari bahagian zakat kecuali jika ia berhutang
kerana faedah dan maslahat orang ramai ataupun kerana tujuan memadamkan fitnah atau huruhara.
Dari itu dapatlah difahami bahawa orang yang berhutang disebabkan perbelanjaan yang tidak
perlu maka tiadalah ia berhak menerima zakat. Selain itu juga telah dijelaskan dalam sebuah
hadis berkenaan orang-orang yang berhak meminta wang zakat sebagaimana yang diriwayatkan
dari Imam Muslim yang menceritakan bahawa Qabisah bin Mukariq Al-Hilali pernah
menanggung hutang untuk mendamaikan dua kabilah yang saling bersengketa. Lalu dia datang
kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam meminta bantuan kepada Baginda untuk
membayar hutangnya itu, Baginda bersetuju dan menyuruhnya menunggu sehingga ada orang
datang menghantar zakat dan akan menyerahkan zakat itu kepadanya nanti. Kemudian Baginda
bersabda bahawa sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal) kecuali tiga
golongan :
Pertama : Orang yang menanggung suatu tanggungan atau beban. Maka orang itu boleh meminta
sehingga dia dapat membayar tanggungannya atau bebanannya itu (tanggungan kerana dia
berhutang untuk mendamaikan dua qabilah yang sedang bertikai itu). Maka apabila hutang itu
telah selesai, maka tidak boleh lagi ia meminta-minta.
Kedua : Orang ditimpa bencana sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh memintaminta sehingga dia memperolehi sumber kehidupan yang layak bagi dirinya.
Ketiga : Orang yang ditimpa kemiskinan (disaksikan atau diketahui oleh orang yang dipercayai
bahawa dia memang miskin) Orang itu boleh meminta-minta hingga memperolehi sumber
kehidupan yang layak. Selain tiga golongan tersebut, haram baginya meminta-minta dan haram
pula baginya memakan hasil perbuatan meminta-minta itu.
Muslimin yang dirahmati Allah,
Sememangnya tidak dinafikan bahawa Allah Subhanahu Wataala telah menetapkan rezeki yang
berbeza-beza di antara hamba-hamba-Nya, ada yang hidup dalam kesenangan dan ada pula yang
hidup dalam serba kekurangan. Oleh itu dengan adanya pemberian zakat dapatlah membantu
golongan yang memerlukan bantuan seperti fakir miskin dan Al-Gharimin iaitu orang yang
berhutang. Maka sebagai orang yang menerima agihan zakat hendaklah mensyukuri nikmat
tersebut dan hendaklah mengetahui bahawa Allah Subhanahu Wataala mewajibkan pemberian
zakat itu hanyalah untuk mencukupi keperluannya terutama dalam mengerjakan ketaatan. Wang
zakat yang diterima hendaklah dimanfaatkan dan dibelanjakan dengan bijaksana dan berhemah
seperti perbelanjaan harian dan perbelanjaan sekolah. Jika wang zakat itu digunakannya untuk
maksiat, seolah-olah ia telah mengkufuri nikmat Allah yang diberikan kepadanya, dengan itu
jauhlah ia dari rahmat Allah dan mendapat pula kutukkan dari Allah Subhanahu Wataala.
Selain itu mereka hendaklah bersyukur kepada orang yang memberikan zakat serta mendoakan
baginya kebaikan. Mereka juga hendaklah memelihara diri dari menerima zakat melainkan
dalam kadar yang harus diterimanya iaitu sekadar keperluannya saja. Begitu juga, janganlah ia
menerima melainkan sesudah ia yakin bahawa ia mempunyai salah satu sifat dari sifat-sifat asnaf
yang berhak menerima zakat yang telah ditetapkan oleh agama Islam.
Namun tidak dinafikan terdapat sebilangan orang yang mencari helah ataupun apa jua cara
supaya dirinya dapat menerima zakat seperti orang yang mempunyai wang yang cukup untuk
perbelanjaan dirinya dan nafkah orang yang di bawah tanggungannya, tetapi dia berbelanja
berlebih-lebihan dengan harapan supaya nantinya dia boleh meminta-minta bantuan wang zakat

bagi melangsaikan hutang-hutangnya itu. Niatnya berbuat demikian adalah tidak baik dan
perbuatan demikian merupakan suatu penipuan, sedangkan perbuatan menipu adalah berdosa.
Perbuatan menipu dalam mencari harta merupakan cara haram yang balasannya tidak lain neraka
jahanam.
Muslimin yang berbahagia,
Ingatlah bahawa risiko berhutang itu amat besar. Telah berkali-kali diingatkan dalam hadis-hadis
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam akan risiko orang yang berhutang dimana hutang itu
merupakan kegelisahan di waktu malam dan suatu penghinaan di siang hari. Baginda Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wasallam sendiri selalu berdoa meminta perlindungan Allah Subhanahu
Wataala supaya dijauhkan diri bebanan hutang sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Al-Bukhari, daripada Aisyah Radiallahuanha bahawa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam
selalu berdoa di dalam sembahyang yang maksudnya : Ya Allah sesungguhnya Aku berlindung
denganmu daripada dosa dan hutang.
Oleh itu bagi orang yang berhutang hendaklah ia segera membayar hutangnya itu apabila
berkemampuan atau mengikut perjanjian yang telah disepakati bersama orang yang memberi
hutang. Elakkanlah juga dari melambat-lambatkan membayar hutang sedang ia berkemampuan
kerana hukumnya adalah berdosa.
Akhirnya marilah kita memelihara diri dari banyak berhutang dengan mengamalkan perbelanjaan
secara sederhana, membeli hanya pada yang perlu, berusaha untuk mendapatkan dan
meningkatkan pendapatan serta membanyakkan doa dan selawat. Mudah-mudahan dengan
amalan demikian kehidupan kita bahagia dan selamat di dunia dan di akhirat. Amin Ya
Rabbalalamin.
Firman Allah Subhanahu Wataala dalam surah Al-Baqarah ayat 283 tafsirnya :
Kalau yang memberi hutang percaya kepada yang berhutang, maka hendaklah orang yang
dipercayai itu menyempurnakan amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah.
Fatwa Tentang Masail Asnaf Gharimin Dan Penyelesaiannya
Takrif Al-Gharimin : mengikut ulama Mazhab Syafii dan Hanbali ialah orang yang berhutang
sama ada hutang untuk dirinya sendiri atau hutang untuk orang lain dan sama ada hutang ini
bertujuan untuk melakukan sesuatu kebaikan (taat kepada Allah).
Keputusan:
Takrif Al-Gharimin : mengikut ulama Mazhab Syafii dan Hanbali ialah orang yang berhutang
sama ada hutang untuk dirinya sendiri atau hutang untuk orang lain dan sama ada hutang ini
bertujuan untuk melakukan sesuatu kebaikan (taat kepada Allah).
Syarat-syarat terhadap gharimin yang perlu mendapat bantuan adalah seperti berikut:
(1) Pemohon tidak mempunyai harta atau sumber kewangan yang melebihi keperluan asasinya.
(2) Pinjaman yang dibuat di dalam perkara-perkara yang halal dan harus.
(3) Wujud keperluan menyelesaikan hutang dengan segera.
(4) Wujudnya kemudharatan terhadap diri dan keluarga jika hutang tidak dibayar.
(5) Gharimin yang berhutang untuk menyelesaikan permasalahan asasi seperti kesihatan,
pelajaran diperingkat rendah dan menengah, makanan, tempat perlindungan sementara dan
segala hutang untuk meninggikan martabat agama dibantu terus dari peruntukan asnaf gharimin
tanpa melihat kepada jumlah yang ditanggung.

(6) Gharimin yang berhutang untuk menyelesaikan permasalahan selain dari syarat (5) yang
disebutkan di atas dibantu dari peruntukan asnaf gharimin secara Qardhul Hasan dan wajib
menjalani tempoh pemulihan.
VII. Fisabilillah
Fisabilillah merupakan gelaran dan sejenis perlakuan yang dianggap mulia dalam Islam. Sejak
dahulu lagi Fi sabil Allah yang menjadi polemik di antara ulama. Ada yang menyempitkan
makna fi sabil Allah dan ada yang meluaskan pemahamannya. Perbincangan ini bukanlah hanya
untuk menyenaraikan pendapat-pendapat yang bercanggah di antara ulama tetapi lebih kepada
analisa yang kritis bagi memastikan kebenaran yang tulen yang perlu dipatuhi dan merupakan
perbincangan yang melibatkan keharusan talfiq selagi sesuatu masalah itu masih kabur dan tidak
nyata. Perbincangan juga melibatkan maslahah yang menjadi alasan dan senjata utama bagi
mereka yang mengeluarkan hukum tanpa asas, tanpa memahami dengan mendalam maksud
sebenar maslahah dalam Usul Al-Fiqh. Ramai golongan yang suka bercakap mengenai Fiqh tapi
tidak didasarkan pada asas sebenar Fiqh itu iaitu usul Al-Fiqh. Realitinya amalan peluasan
makna fi sabil Allah memang dipraktikkan di Malaysia tanpa diambil kira asas sebenar syariah.
Pemberian zakat kepada mangsa bencana alam, adakah menepati makna fi sabil Allah atau tidak?
Pendapat-pendapat ulama terhadap saham fi sabil Allah
A.Golongan yang menyempitkan makna fi sabil Allah.
Mazhab Hanafiyy
Imam Abu Yusof berpendapat bahawa makna fi sabil Allah bermaksud tentera-tentera Islam yang
tidak berkeupayaan menyertai perang disebabkan kemiskinan yang dialami, ini merupakan
maksud yang mula terlintas di fikiran (al-Kasani 1997 : jil. 2,472).
Imam Muhammad al-Hassan pula berpendapat fi sabil Allah bermaksud orang yang tidak cukup
kelengkapan menunaikan haji dengan beralaskan kepada satu hadis bahawa seorang lelaki
hendak menyerahkan seekor unta untuk tujuan perang tetapi Rasulullah menyuruh beliau
menyalurkannya untuk tujuan haji (al-Kasani 1997 : jil.2,472).
Al-Kasani dalam Badai al-sanai menjelaskan bahawa maksud fi sabil Allah adalah semua
bentuk amalan mendekatkan diri dan ketaatan kepada Allah (Ibn Abidin 1994 : jil.3,289). Ibn
Nujaym dalam al-Bahr mengatakan bahawa unsur kefakiran mestilah ada pada setiap bahagian
(Ibn Nujaim 1997 : jil.2,422).
Disyaratkan pemilikan harta zakat pada asnaf, maka tidak boleh disalurkan untuk pembinaan
masjid, kafan serta pembayaran hutang mayat, pembinaan jambatan, terusan, pembinaan jalan,
haji dan jihad yang tiada kaitan dengan pemilikan harta (Ibn Abidin 1994 : jil.3,291).
Ringkasnya ulama Mazhab Hanafi mentakrifkan fi sabil Allah sebagai amalan-amalan yang
mendekatkan diri dan ketaatan kepada Allah serta mensyaratkan wujudnya sifat kefakiran bagi
bahagian fi sabil Allah kecuali bahagian amil dan berlakunya pemilikan harta, maka tidak harus
disalurkan zakat pada pembinaan masjid, pembinaan jambatan, tali air, jalan dan sebagainya.
Mazhab Malikiyy
Ibn al-Arabi dalam Ahkam al-Quran meriwayatkan daripada Imam Malik bahawa maksud fi
sabil Allah banyak maknanya, tetapi tiada perselisihan pendapat tentang makna perang pada
jalan Allah (Ibn al-Arabi 1967 : jil.2,957).
Muhammad Ibn al-Hakam mengatakan bahawa zakat boleh disalurkan bagi mendapatkan
binatang dan senjata bagi kegunaan perang, bagi menahan kemaraan musuh kerana semuanya
untuk maslahah perang berhujahkan pada satu hadis yang menerangkan bahawa Rasulullah
S.A.W pernah menyalurkan zakat dalam bentuk seratus ekor unta kepada jajahan kekuasaan
Sahal Ibn Abi Hathmah bagi meredakan penentangan (Ibn al-Arabi 1967 :jil.2,957).

Al-Dardir menjelaskan dalam Syarh ala Matan Khalil bahawa zakat diberikan kepada tenteratentera dan keperluan mereka seperti senjata dan kuda (pengangkutan), walaupun tentera itu kaya
kerana ia menerima zakat melalui bahagian jihad bukan kefakiran. Diberikan juga kepada
pengintip-pengintip walaupun seorang kafir tetapi tidak boleh disalurkan pada pembinaan
benteng negara dan dalam perkara yang mempunyai kaitan sebahagian sahaja dalam perang.
Dalam tafsir al-Qurtubi dinyatakan bahawa maksud fi sabil Allah adalah tentera-tentera serta
kelengkapan yang berkaitan sama ada miskin kaya dan ini adalah mazhab Maliki (al-Qurtubi
1996 : jil.8,172).
Ringkasnya, makna fi sabil Allah dalam Mazhab Maliki bermakna bagi tujuan peperangan, jihad
dan yang berkaitan dengannya, tidak hanya tertakluk pada tentera tetapi lebih meluas
pemahamannya merangkumi perkara-perkara yang berkaitan dengan persediaan perang dan
boleh disalurkan zakat walaupun pada orang kaya.
Mazhab Syafiiyy
Al-Nawawi dalam Minhaj al-Talibin menjelaskan bahawa maksud fi sabil Allah bermakna
tentera-tentera yang tidak menerima gaji daripada kerajaan, iaitu bermakna tentera yang sukarela
menyertai peperangan (al-Nawawi 2000 : jil.2,403).
Al-Syafiiyy menjelaskan dalam al-Umm bahawa bahagian fi sabil Allah disalurkan kepada
tentera yang berada dalam kawasan sesuatu zakat yang disalurkan, sama ada pada yang kaya atau
miskin kecuali diperlukan sebaliknya (al-Syafie 1993 : jil.2,97).
Ringkasnya, Mazhab Syafiiyy memfokuskan makna fi sabil Allah hanyalah untuk jihad, tentera
yang tidak menerima gaji dan yang berkaitan dengannya walaupun ia kaya.
Mazhab Hanbaliyy
Mazhab Hanbaliyy sama dengan Mazhab Syafiiyy dalam mentakrifkan fi sabil Allah iaitu
dengan makna tentera-tentera sukarela yang tidak menerima gaji daripada kerajaan atau yang
menerima gaji tetapi tidak mencukupi keperluan mereka untuk berperang walaupun ia kaya. AlBahuti menjelaskan bahawa tidak harus disalurkan zakat selain daripada yang disebutkan oleh
Allah seperti pembinaan masjid, jambatan, terusan, pembinaan jalan, kafan mayat dan semua
bentuk kebaikan untuk keredaan Allah kerana lafaz dalam ayat zakat tersebut bermakna
hanya (al-Bahuti 1982 : jil.2,283).
Terdapat dua riwayat Imam Ahmad berkaitan dengan haji :
1.Haji termasuk dalam fi sabil Allah berdasarkan pada hadis Umm Miqal al-Asadiyyah bahawa
suaminya menyerahkan seekor unta untuk tujuan jihad tetapi beliau ingin menggunakannya
untuk tujuan haji lantas meminta unta tersebut daripada suaminya tetapi enggan, maka perkara
ini diadukan pada Rasulullah dan baginda memutuskan supaya diberikan pada Umm Miqal
dengan sabda : Haji dan Umrah itu termasuk fi sabil Allah.
2.Haji tidak termasuk fi sabil Allah seperti pendapat majoriti ulama. Ibn Qudamah dalam alSyarh al-Kabir menjelaskan bahawa ini lebih tepat kerana fi sabil Allah bermakna jihad
merupakan maksud yang pertama terlintas di fikiran kerana sebahagian besar ayat al-Quran yang
menggunakan perkataan sabil Allah membawa erti jihad, ini merupakan zahir ayat (Ibn Qudamah
1995 : jil.4,104).
Rumusan
Hasil daripada kajian ringkas ini menunjukkan bahawa keempat-empat mazhab bersepakat
mengatakan bahawa :
1.Jihad atau perang kerana Allah termasuk dalam fi sabil Allah.
2.Penyaluran zakat terhadap tentera-tentera yang terlibat dengan jihad.

3.Ketidakharusan penyaluran zakat bagi tujuan maslahah umum seperti pembinaan empangan,
terusan, masjid, sekolah, jalan, urusan jenazah.
B.Gologan yang memperluaskan makna fi sabil Allah.
Al-Razi menyatakan dalam takfsirnya : Zahir lafaz fi sabil Allah tidak menunjukkan
pengkhususan terhadap tentera sahaja justeru al-Qaffal menyatakan dalam tafsirnya mengikut
sebahagian fuqaha mengharuskan pembahagian zakat kepada semua bentuk kebaikan seperti
mengkafankan mayat, pembinaan benteng dan masjid kerana fi sabil Allah umum bagi semua.
(al-razi 1995 : jil.8,115).
Anas Ibn Malik dan al-Hassan
Ibn Qudamah dalam al-Mughni menyatakan bahawa Anas dan al-Hassan al-Basri pernah
mengatakan bahawa apa yang anda salurkan pada pembinaan jambatan dan jalan ia adalah
sedekah yang diterima (Ibn Qudamah 1995 : jil.4,104).
Al-Imamiyyah al-Jafariyyah
Kitab al-Mukhtasar al-Nafi menjelaskan bahawa fi sabil Allah bermakna setiap perkara kebaikan
dan kepentingan umum seperti haji, jihad dan pembinaan jambatan dan ada pendapat yang
mengatakan bahawa ia khusus untuk jihad sahaja.
Kitab Syarai al-Islam menyebutkan bahawa kepentingan umum seperti pembinaan jambatan,
masjid, haji dan semua bentuk kebaikan termasuk dalam kategori fi sabil Allah (Muhammad
jawwad t.th : jil.1,87).
Al-Zaidiyyah
Pengarang al-Rawd al-Nadir menjelaskan bahawa Imam Zayd mengatakan bahawa zakat tidak
boleh disalurkan pada urusan jenazah atau pembinaan masjid, tetapi beliau sendiri menyalahi
pendapat Imam Zayd dengan mentarjihkan peluasan makna fi sabil Allah (al-Siyaghi t.th ;
jil.2,621). Dalam Syarh al-Azhar dinyatakan bahawa harus disalurkan zakat untuk kepentingan
umum umat Islam dan ini adalah nas atau keterangan Imam al-Hadi.
Al-Sayyid Rasyid Ridha berpendapat bahawa fi sabil Allah bermaksud maslahah-maslahah
umum umat Islam bagi tujuan agama dan negara bukan untuk persendirian, yang paling baik dan
patut diutamakan ialah untuk jihad; pembelian senjata, bekalan makanan askar, pengangkutan
tentera dan sebagainya, tetapi segala peralatan tersebut perlulah dikembalikan balik pada
baitulmal disebabkan sifat fi sabil Allah hanya sah semasa berlakunya peperangan. Termasuk
juga pembinaan hospital tentera, kebajikan umum dan pembinaan jalan-jalan, landasan keretapi
tentera, menara-menara tentera, lapangan terbang tentera, bagi tujuan bekalan pendakwahpendakwah Islam melalui institusi-institusi yang berkaitan (Rasyid Ridho t.th : jil.10,585).
Al-Syaikh Mahmud Syaltut
Beliau berpendapat bahawa makna fi sabil Allah bermaksud kepentingan-kepentingan umum
yang tidak dimiliki oleh sesiapapun hanya untuk jalan Allah dan untuk kepentingan manusia.
Perlu diutamakan persiapan perang bagi mempertahankan kehormatan daripada musuh,
termasuklah peralatan yang canggih, hospital tentera dan awam, pembinaan jalan, bagi tujuan
pendakwah Islam.dibolehkan penyaluran zakat bagi tujuan pembinaan masjid dengan syarat
mengikut keperluan sahaja (Syaltut 1991 : 119).
ANALISA
Hujah-hujah yang dikemukakan oleh setiap golongan menunjukkan bahawa majoriti fuqaha
memiliki hujah yang lebih kukuh dan konkrit berbanding golongan yang memperluaskan makna
fi sabil Allah. Golongan ini hanya berhujahkan dengan hujah berikut :
1.Umum ayat zakat yang menunjukkan maksud yang merangkumi semua kebajikan.

2.Riwayat-riwayat tabiin dan tabi tabiin tanpa alasan yang kukuh.


3.Tafsiran-tafsiran ulama tanpa berdasarkan pada nas atau hujah yang konkrit.
Sebaliknya majoriti fuqaha memiliki hujah dan alasan yang konkrit serta ilmiah dalam
menentukan kehendak ayat zakat tersebut melalui hujah-hujah berikut :
1.Takhsis al-am ; ayat zakat tersebut menunjukkan lafaz yang umum iaitu fi sabil Allah yang
berfungsi mengumumkan makna tersebut iaitu merangkumi semua kebajikan untuk jalan Allah.
Tetapi ayat yang bersifat umum ini telah ditakhsiskan oleh hadis yang menerangkan makna fi
sabil Allah seperti hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, dan al-Hakim; sahih mengikut
syarat Bukhari dan Muslim iaitu sabda Rasulullah : Tidak halal zakat bagi orang yang kaya
kecuali lima golongan iaitu tentera berjihad pada jalan Allah.perkataan tentera berjihad pada
jalan Allah mentakhsiskan umum makna fi sabil Allah dalam ayat zakat. Tidak ada pertentangan
pendapat ulama yang berhujahkan dengan prinsip umum dalam takhsis al-am sama ada dengan
dalil aqli atau sami. (al-Ghazzali 1996 : 245).
2. Apabila berlawanan maksud dalam Quran dan Sunnah antara definisi dari segi bahasa dan
syarak maka hendaklah diutamakan definisi syarak dahulu. Al-Ghazzali telah menyatakan
bahawa pendapat yang terpilih adalah setiap definisi yang berkaitan dengan penyataan atau
suruhan maka perlulah disesuaikan dengan makna syarak (al-Ghazzali 1996 : 190). Ini bermakna
maksud fi sabil Allah dari segi syaraknya adalah jihad atau perang pada jalan Allah kerana
perbahasan zakat merupakan perbahasan syarak bukan perbahasan bahasa.
3. Perkataan fi sabil Allah jika diperluaskan maknanya maka ini menyebabkan berlakunya
fenomena pengulangan terhadap ayat Allah tanpa faedah sedangkan Allah Maha Suci daripada
sifat yang sedemikian. Sekiranya kehendak fi sabil Allah merangkumi semua amal kebaikan
maka tidak perlu lagi Allah menyebutkan asnaf yang tujuh selain fi sabil Allah. Ini bermakna
penetapan kelapan-lapan asnaf tersebut mempunyai tujuan dan hikmah iaitu mengkhususkan fi
sabil Allah untuk tujuan jihad atau perang fi sabil Allah bukan sebaliknya. Ini dikuatkan lagi
dengan penggunaan kalimat yang bermaksud hanya iaitu lapan golongan itu sahajalah yang
berhak menerima zakat. Sekiranya makna umum yang dimaksudkan, maka kalimah Innama itu
juga tidak ada faedahnya disebutkan dan Allah Maha Suci daripada tuduhan-tuduhan seperti ini.
4. Kebanyakan ayat Quran dan hadis Rasulullah apabila membicarakan tentang fi sabil Allah
merujuk kepada jihad atau perang fi sabil Allah sekiranya tidak ada qarinah yang memesongkan
maknanya kecuali beberapa ayat dan hadis yang menunjukkan makna umum fi sabil Allah
disebabkan terdapat qarinah. Perkataan fi sabil Allah dalam ayat zakat tersebut mempunyai
makna yang khusus disebabkan tidak terdapat qarinah yang dapat memesongkan maknanya.
5.Sekiranya pemberian zakat kepada mangsa bencana alam dikategorikan sebagai maslahah,
adakah ia menepati prinsip maslahah yang sepatutnya? Tambahan pula mazhab Syafie
(Syafiiyy) tidak mengiktirafkan penggunaan maslahah dalam penghasilan hukum secara mutlak
dan itulah yang hak (Al-Amidi 2000 : jil.4,919). Kalau dikatakan fenomena talfiq mazhab harus
dipraktikkan maka adalah adil jika dilaksanakan juga pada semua aspek syariah tidak hanya bab
zakat malah dalam bab-bab yang lain juga. Sekiranya dipraktikkan juga prinsip maslahah ini
terhadap penyaluran zakat kepada mangsa-mangsa bencana alam (setelah kajian terperinci
menunjukkan bahawa Imam syafie juga mempraktikkan maslahah dengan nama penghujahan
dengan asas-asas syariah yang umum serta menyeluruh) maka ia termasuk dalam perkara yang
dinyatakan oleh Al-Ghazzali : Setiap maslahah yang tidak menjuruskan kepada tujuan-tujuan
syariat daripada Quran, Hadis dan Ijma tergolong dalam maslahah yang janggal yang tidak
menepati kehendak syarak maka hukumnya batil dan tidak perlu dipratikkan. Sesiapa yang
mempraktikkannya seolah-olah membuat syariat yang baru (Al-Ghazzali 1996 : 179). Setelah

diteliti hujah-hujah majoriti ulama jelaslah bahawa penyaluran zakat kepada mangsa bencana
alam tidak menepati prinsip maslahah yang sebenar.
Kompromi
Pengagihan zakat yang telah, sedang dan akan dilakukan perlulah diteliti dengan penuh
keinsafan. Pemberian zakat kepada mangsa-mangsa bencana alam bukanlah tidak boleh
disalurkan kepada mereka disebabkan mangsa bencana alam ini berbeza situasinya menurut
individu. Contohnya pemberian zakat masih boleh diberikan kepada mereka melalui asnaf yang
lain seperti mangsa yang mengalami kefakiran atau kemiskinan setelah ditimpa bencana alam
tetapi bukan semua mangsa boleh dikategorikan sebagai fakir atau miskin. Begitu juga boleh
disalurkan melalui asnaf gharimin tetapi kalau hanya sekadar penghutang kenapa dikhususkan
kepada mangsa bencana alam sahaja sedangkan boleh dikatakan semua orang berhutang.
Kesimpulan
Rumusannya, majoriti ulama termasuklah mazhab yang empat mengkhususkan makna fi sabil
Allah dengan makna jihad atau perang dan yang berkaitan dengannya. Hanya segelintir sahaja
yang memperluaskan makna tersebut dengan hujah yang rapuh. Pemberian zakat kepada mangsa
bencana alam memang jelas tidak terdapat dalam asnaf yang lapan yang disebutkan dalam
Quran. Sebagai alternatifnya segala bantuan yang hendak disalurkan kepada mangsa-mangsa
berkenaan bolehlah diambil daripada sumber-sumber kewangan yang lain selain zakat ataupun
diteliti dan dibuat analisa sekiranya di antara mangsa-mangsa yang terbabit tergolong dalam
asnaf yang tujuh selain fi sabil Allah
VII. Ibnus Sabil
Orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk
kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih di
lingkungan negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan, maka ia dianggap
sebagai fakir atau miskin.
2. Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, sehingga pemberian zakat itu
tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.
3. Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya, meskipun di negerinya
sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang yang belum jatuh tempo, atau pada orang lain
yang tidak diketahui keberadaannya, atau pada seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau
pada orang yang mengingkari utangnya, maka semua itu tidak menghalanginya berhak menerima
zakat.
Ibnu Sabil iaitu orang asing yang tidak memiliki pembiayaan untuk kembali ke tanah airnya.
Golongan ini bolehIbnu sabil adalah musafir yang terputus bekalnya dalam perjalanan sehingga
dia tidak bisa pulang ke negerinya. Bagaimana dengan calon musafir? Pendapat pertama: dia
tidak termasuk ibnu sabil ini adalah pendapat jumhur, dengan alasan bahwa sabil adalah jalan,
maka ibnu sabil adalah orang jalanan yang ada di jalan bukan orang yang hendak jalan. Kedua:
muqim termasuk ibnu sabil bila dia hendak berangkat dari negerinya, akan tetapi dia tidak
mempunyai harta sebagai bekal dalam safarnya, ini adalah madzhab Syafii, dengan
mengqiyaskannya dengan musafir dalam arti yang sebenarnya.
Fatwa an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Muashirah kesembilan terkait dengan Ibnu Sabil:

1- Ibnu sabil adalah musafir dalam arti yang sebenarnya, sejauh apa pun jarak perjalanannya,
yang membutuhkan bekal karena hilangnya harta atau habisnya bekal, sekalipun dia adalah
orang kaya di negerinya.
2- Syarat memberikan zakat kepada ibnu sabil adalah:
A- Hendaknya perjalanannya bukan perjalanan maksiat.
B- Hendaknya dia tidak bisa mendapatkan hartanya.
3- Ibnu sabil diberi sesuai dengan hajatnya berupa bekal, perhatian dan penginapan, biaya
perjalanan ke tempat yang dituju kemudian pulang ke negerinya.
4- Ibnu sabil tidak dituntut untuk menghadirkan bukti atas lenyapnya harta dan habisnya nafkah,
kecuali bila keadaannya tidak menunjukkan hal itu.
5- Ibnu sabil tidak wajib berhutang sekalipun ada orang yang mau memberinya hutang, dia juga
tidak wajib untuk bekerja sekalipun mampu bekerja.
6- Ibnu sabil tidak wajib mengembalikan sisa bekal di tangannya dari harta zakat saat dia sudah
tiba di negerinya dan hartanya, sekalipun lebih baik baginya bila dia mengembalikan sisa
tersebut bila dia adalah orang yang berkecukupan ke Baituz Zakah atau kepada salah satu pos
penerima zakat.
7- Orang-orang berikut ini termasuk ke dalam ibnu sabil dengan syarat dan ketentuan di atas:
A- Jamaah haji dan umrah.
B- Penuntut ilmu dan pencari kesembuhan (pengobatan).
C- Para dai ke jalan Allah Taala.
D- Orang-orang yang berperang di jalan Allah Taala.
E- Orang-orang yang diusir dan dipindahkan dari negeri mereka atau tempat tinggal mereka.
F- Para perantau yang hendak pulang kampung namun tidak memiliki bekal.
G- Orang-orang yang berhijrah yang berlari menyelamatkan agama mereka yang dihalanghalangi untuk pulang ke negeri mereka atau mengambil harta mereka.
H- Orang-orang yang mengemban tugas dan para wartawan yang berusaha mewujudkan
kemaslahatan informasi syari.
Gelandangan Termasuk Ibnu Sabil?
Pertama: termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr. Yusuf al-Qardhawi. Alasannya orang-orang yang
tidak bertempat tinggal adalah orang-orang jalanan, karena mereka tinggal di jalanan dan
berlindung di jalanan, sehingga hukum mereka adalah sama dengan orang musafir yang terputus
dari hartanya.
Kedua: bukan termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr. Umar al-Asyqar. Alasannya bahwa mereka
adalah orang-orang yang tinggal, mereka tidak berharta, sehingga mereka lebih berhak
dikategorikan miskin.
Orang-orang di Perantauan demi Mencari Ilmu atau Untuk Bekerja

Sebagian kaum muslimin pergi ke negeri lain untuk menuntut ilmu atau untuk mencari pekerjaan
yang lebih baik, dan selama di perantauannya tersebut dia membutuhkan biaya untuk
menamatkan belajarnya atau untuk mencari pekerjaan, apakah disyariatkan memberinya dari pos
ibnu sabil?
Jawaban dari pertanyaan ini terlihat melalui perincian tentang keadaan mereka. Pertama: mereka
mempunyai harta di negeri mereka namun mereka tidak bisa mengambilnya atau
memanfaatkannya:
1- Mereka telah tinggal menetap di negeri perantauan, maka mereka bukan ibnu sabil, karena
ibnu sabil hanya untuk musafir bukan muqim.
2- Mereka belum tinggal menetap di negeri tersebut, keadaan mereka memiliki dua
kemungkinan:
A- Bila diduga mereka akan pulang dalam waktu dekat maka mereka diberi dari pos ibnu sabil
kadar yang cukup untuk mereka pulang ke negeri mereka.
B- Bila mereka akan menetap dalam jangka waktu yang lama untuk belajar atau bekerja, maka
mereka dihukumi muqim, hal ini menghalangi mereka untuk mengambil zakat dari pos ibnu
sabil, bila mereka membutuhkan maka mereka diberi dari pos

Anda mungkin juga menyukai