Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

POST OPERASI SECTIO CAESARIA DENGAN PENYERTA GEMELI


(TWIN-TWIN INTRA SYNDROME / TTIS) DAN PARTUS PREMATURUS
IMMINANSE (PPI)

Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik


Departemen Keperawatan Obstetri dan Gynecologi

Disusun oleh :
CHANDRA YUNI ARSIH P
NIM. 202104088

PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
TAHUN 2022

LAPORAN PENDAHULUAN
POST OPERASI SECTIO CAESARIA DENGAN PENYERTA GEMELI
(TWIN-TWIN INTRA SYNDROME / TTIS) DAN PARTUS PREMATURUS
IMMINANSE (PPI)

POST OPERASI SECTIO CAESARIA


1. PENGERTIAN
Operasi section caesaria (sesar) adalah proses melahirkan bayi yang
dilakukan dengan cara menyayat bagian perut hingga rahim ibu. Sayatan pada
perut tersebut merupakan jalan keluarnya bayi dari dalam rahim.
2. ETIOLOGI
a. Masalah Pada Fetal
1) Kelainan Letak
a) Letak lintang
Bila terjadi kesempitan panggul, maka sectio caesarea adalah
jalan/cara yang terbaik dalam melahirkan janin dengan segala letak
lintang yang janinnya hidup dan besarnya biasa. Semua primigravida
dengan letak lintang harus ditolong dengan sectio caesarea walaupun
tidak ada perkiraan panggul sempit. Multipara dengan letak lintang
dapat lebih dulu ditolong dengan cara lain.
b) Letak belakang
Sectio caesarea disarankan atau dianjurkan pada letak belakang bila
panggul sempit, primigravida, janin besar dan berharga.
2) Gawat janin
3) Janin besar
b. Masalah Pada Maternal
a. Panggul sempit dan dystocia mekanis
b. Pembedahan sebelumnya
c. Perdarahan bisa disebabkan karena plasenta previa atau abruptio plasenta
d. Toxemia gravidarum, mencakup eklamsi dan pre eklamsi
e. Partus lama
f. Partus tidak maju
g. Rupture uteri

3. PATOFISIOLOGI
Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya
plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo
pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-
eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut
menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea
(SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan
menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan
masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan
fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan
diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan,
dan perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien.
Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada
dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan,
pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan
merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan
rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi
akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak dirawat dengan
baik akan menimbulkan masalah resiko infeksi.

4. MANIFESTASI KLINIS
Persalinan dengan Sectio Caesaria, memerlukan perawatan yang lebih
koprehensif yaitu: perawatan post operatif dan perawatan post
partum.Manifestasi klinis sectio caesarea menurut Doenges (2001),antara lain :
a. Nyeri akibat ada luka pembedahan
b. Adanya luka insisi pada bagian abdomen
c. Fundus uterus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus
d. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan (lokhea tidak
banyak)
e. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800ml
f. Emosi labil / perubahan emosional dengan mengekspresikan
ketidakmampuan menghadapi situasi baru
g. Biasanya terpasang kateter urinarius
h. Auskultasi bising usus tidak terdengar atau samar
i. Pengaruh anestesi dapat menimbulkan mual dan muntah
j. Status pulmonary bunyi paru jelas dan vesikuler
k. Pada kelahiran secara SC tidak direncanakan maka bisanya kurang paham
prosedur
l. Bonding dan Attachment pada anak yang baru dilahirkan.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium: darah lengkap, kadar gula darah, albumin, fungsi liver dan
ginjal, serta lama pembekuan darah.
b. Pemeriksaan thorax foto jika indikasi tertentu
c. Pemeriksaan rekam jantung (ECG)

6. KEMUNGKINAN KOMPLIKASI
a. Infeksi Puerpuralis
1) Ringan: dengan kenaikan suhu beberapa hari saja.
2) Sedang: dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi disertai dehidrasi atau
perut sedikit kembung
3) Berat: dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita
jumpai pada partus terlantar dimana sebelumnya telah terjadi infeksi
intrapartum karena ketuban yang telah pecah terlalu lama
b. Pendarahan disebabkan karena:
1) Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
2) Atonia Uteri
3) Pendarahan pada placenta bled
c. Luka pada kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
reperitonalisasi terlalu tinggi.
d. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut
pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi
ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio
caesarea klasik.

7. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar
tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh
lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan
RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar
Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral.
c. Mobilisasi: mobilisasi post operasi dilakukan secara bertahap
d. Pemberian obat-obatan terutama analgesic

8. PROGNOSIS
Prognosis akan baik pada pasien dengan tindakan segera. Perawatan pada
ibu post SC dilakukan secara komprehensif. Perawatan luka perlu dilakukan
demi mencegah terjadinya infeksi.
PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)
1. PENGERTIAN
Partus Prematurus Imminens adalah persalinan yang berlangsung pada
umur kehamilan 20 – 37 minggu dihitung dari hari pertama menstuasi terakhir
(HPMT) (ACOG, 1995). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa
bayi premature adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau
kurang.
Menurut Wibowo (1997), persalinan prematur adalah kontraksi uterus
yang teratur setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum 37 minggu, dengan
interval kontraksi 5 hingga 8 menit atau kurang dan disertai dengan satu atau
lebih tanda berikut: (1) perubahan serviks yang progresif (2) dilatasi serviks 2
sentimeter atau lebih (3) penipisan serviks 80 persen atau lebih. Menurut
Mochtar (1998) partus prematurus yaitu persalinan pada kehamilan 28 sampai 37
minggu, berat badan lahir 1000 sampai 2500 gram.
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005
menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan 22-37 minggu.
2. ETIOLOGI
Faktor resiko PPI menurut Wiknjosastro (2010) yaitu:
a. Janin dan plasenta: perdarahan trimester awal, perdarahan antepartum, KPD,
pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan janin, gemeli, polihidramnion
b. Ibu: DM, pre eklampsia, HT, ISK, infeksi dengan demam, kelainan bentuk
uterus, riwayat partus preterm atau abortus berulang, inkompetensi serviks,
pemakaian obat narkotik, trauma, perokok berat, kelainan imun/resus
Namun menurut Rompas (2004) ada beberapa resiko yang dapat menyebabkan
partus prematurus yaitu:
a. Faktor resiko mayor: Kehamilan multiple, hidramnion, anomali uterus,
serviks terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, serviks
mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, riwayat
abortus pada trimester II lebih dari 1 kali, riwayat persalinan pretem
sebelumnya, operasi abdominal pada kehamilan preterm, riwayat operasi
konisasi, dan iritabilitas uterus.
b. Faktor resiko minor: Penyakit yang disertai demam, perdarahan pervaginam
setelah kehamilan 12 minggu, riwayat pielonefritis, merokok lebih dari 10
batang perhari, riwayat abortus pada trimester II, riwayat abortus pada
trimester I lebih dari 2 kali.
Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas indikasi
ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea; (2) PPI
spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah dini,
terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea.
Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan
dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban pecah dini
(Harry dkk, 2010).
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI pada wanita
kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion utuh,
sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini
sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi
pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15%
terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada
usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia
kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan
angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah
kelahiran preterm atas indikasi (Harry dkk, 2010).

3. PATOFISIOLOGI
Penyebab PPI multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama
lain. Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada PPI:1.Aktivasi aksis
hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu: stresStres akan
mengakibatkan akitivasi prematur hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA)
janin atau ibu.Neuroendokrin, kekebalan tubuh, dan proses perilaku (seperti
depresi) telah dikaitkan dengan PPI terkait stres. Namun, proses yang
paling penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran preterm ialah
neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksis HPA. Proses ini
dimediasi oleh corticotrophinreleasing hormone (CRH) plasenta. Pada
persalinan aterm, aktivasi CRH plasenta sebagian besar didorong oleh aksis
HPA janin dalam suatu feedback positif pada pematangan janin. Pada PPI,
aksis HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH plasenta. Stres pada ibu, tanpa
adanya penyebab PPI lainnya, seperti infeksi akan menyebabkan peningkatan
efektor biologi dari stres termasuk kortisol dan epinefrin, yang mengaktifkan
ekspresi CRH plasenta. CRH plasenta, pada gilirannya, dapat menstimulasi
janin untuk mensekresi kortisol dan dehydroepiandrosterone synthase
(DHEA-S) (melalui aktivasi aksis HPA janin) dan menstimulasi plasenta
untuk mensintesis estriol dan prostaglandin, sehingga mempercepat PPI.
Infeksi dan inflamasi Patogenesis dari PPI masih belum dimengerti dengan
benar. Namun, infeksi tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling
penting dalam PPI. Meskipun demikian, patogenesis infeksi hingga
menyebabkan PPI pun hingga kini belum jelas benar, namun diduga
berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, dan diawali oleh aktivasi
fosfolipase A2 yang dihasilkan oleh banyak mikroorganisme.
Fosfolipase A2 akan memecah asam arakidonat dari selaput amnion janin,
sehingga asam arakidonat bebas meningkat untuk sintesis
prostaglandin. Selain itu, endotoksin (lipopolisakarida) bakteri dalam cairan
amnion akan merangsang sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan
prostaglandin yang dapat menginisiasi proses persalinan. Berbagai sitokin,
termasuk interleukin-1(IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumour necrosis factor
(TNF) adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan PPI. Sementara itu,
platele activating factor (PAF) yang ditemukan dalam cairan amnion
terlibat secara sinergik pada aktivasi jalinan sitokin tadi.Endotoksin mikroba
dan proinflammantori sitokin akan merangsang produksi
prostaglandin, mediator inflammatory lainnya, serta matrix-degrading
enzymes. Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus, dan berperan
dalam mengatur metabolisme matriks ekstraselular yang terkait dengan
pematangan serviks saat dimulainya persalinan, sedangkan degradasi dari
matriks ekstraselular pada membran amnion akan menyebabkan
ketuban pecah dini yang kemudian menyebabkan PPI. Endotoksin
mikroba akanmerangsang produksi progesteron melalui pemecahan
asam arakidonat, dan bersama sitokin akan meningkatkan ekspresi PGHS-2
(prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH
prostaglandin dehydrogenase). Meningkatnya PGHS-2 akan
menstimulasi sintesis prostaglandin, sedangkan down regulation PGDH
akan meningkatkan ratio prostaglandin (PG) terhadap prostaglandin
metabolite (PGM), yang akan meningkatkan aktivitas uterus, pematangan
serviks, dan rupturnya membran amnion. Sumber infeksi yang telah
dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi infeksi intrauterin,
infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria asimptomatik,
dan periodontitis ibu. Mikroorganisme yang umum dilaporkan pada rongga
amnion adalah genital Mycoplasma spp, dan Ureaplasma urealyticum.
Rongga amnion biasanya steril dari bakteri, dan adanya bakteri yang
jumlahnya cukup signifikan pada membran amnion diduga melalui
mekanisme sebagai berikut:1.Secara ascending dari vagina dan
serviks2.Penyebaran secara hematogen melalui plasenta3.Penggunaan alat
saat melakukan prosedur invasif4.Penyebaran secara retrograde melalui tuba
fallopi.33.Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)Lesi
vaskular dari plasenta biasanya dihubungkan dengan PPI dan ketuban
pecah dini. Lesi ini dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari
transformasi fisiologi dari arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu
atau janin. Diperkirakan mekanisme yang menghubungkan lesi vaskular
dengan PPI ialah iskemi uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum
jelas, namum trombin diperkirakan memainkan peran utama. Terlepas dari
peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease multifungsi yang
memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan otot
halus miometrium. Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot
polos longitudinal miometrium, secara in vitro.34.Distensi uterus yang
berlebihan (uterine overdistension)Distensi uterus yang berlebihan
memainkan peranan kunci dalam memulai PPI yang berhubungan
dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan makrosomia.
Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu
oleh tekhnologi (assisted reproduction technologies (ART)), termasuk
induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan merupakan satu dari
penyebab yang paling penting dari PPI di negara-negara maju.
Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan PPI
masih belum jelas. Namun diketahui, peregangan rahim akan
menginduksi ekspresi protein gap junction, seperti connexin-43 (CX-43)
dan CX-26, serta menginduksi protein lainnya yang berhubungan dengan
kontraksi, seperti reseptor oksitosin.35.Insufisiensi serviksInsufisiensi
serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada
trimester kedua. Gangguan pada serviks berhubungan dengan outcomes
kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup luas, termasuk
PPI. Insufisiensi serviks secara tradisi telahdiidentifikasi di antara wanita
dengan riwayat pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa
adanya kontraksi uterus. Terdapat lima penyebab yang diakui atau dapat
diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero diethylstilbestrol
exposure; (3)hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur operasi
seperti Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization;
(4) kerusakan yang bersifat traumatis; dan (5) infeksi.3Selain berhubungan
dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga meningkat pada perokok.
Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita yang merokok sampai
saat ini belum jelas. Terdapat lebih dari 3.000 bahan kimia dalam batang
rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian besar tidak
diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon monoksida merupakan
vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan
plasenta serta menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur
tersebut mengarah pada terhambatnya pertumbuhan janin dan PPI.
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran
darah uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi
aksis hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin, yang ditunjukkan
dengan peningkatan corticotrophin-releasing hormone (CRH) oleh
hipotalamus, yang kemudian memacu sekresi adrenocorticotrophic
hormone (ACTH) oleh hipofisis anterior. ACTH pada gilirannya akan
menyebabkan peningkatan sekresi kortisol dari korteks adrenal. Kortisol
kemudian meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H synthase),
dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase).
Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik
yang juga dianggap dapat meningkatkan risiko PPI, melalui peningkatan
produksi sitokin

4. MANIFESTASI KLINIS

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan
diagnosis PPI :
a. Laboratorium
Pemeriksaan kultur urine
Pemeriksaan gas dan pH darah janin
Pemeriksaan darah tepi ibu
Jumlah lekosit
C-reactive protein . CRP ada pada serum penderita yang menderita infeksi
akut dan dideteksi berdasarkan kemampuannya untuk mempresipitasi
fraksi polisakarida somatik nonspesifik kuman Pneumococcus yang disebut
fraksi C. CRP dibentuk di hepatosit sebagai reaksi terhadap IL-1, IL-6,
TNF.
b. Pemeriksaan ultrasonografi
Penipisan serviks: Iams dkk. (1994) mendapati bila ketebalan seviks < 3
cm (USG) , dapat dipastikan akan terjadi persalinan preterm. Sonografi
serviks transperineal lebih disukai karena dapat menghindari manipulasi
intravagina terutama pada kasus-kasus KPD dan plasenta previa.

6. KEMUNGKINAN KOMPLIKASI
a. Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi
mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Bayi-
bayi preterm memiliki risiko infeksi neonatal lebih tinggi; Morales (1987)
menyatakan bahwa bayi yang lahir dari ibu yang menderita anmionitis
memiliki risiko mortalitas 4 kali lebih besar, dan risiko distres pernafasan,
sepsis neonatal, necrotizing enterocolitis dan perdarahan intraventrikuler 3
kali lebih besar
b. Sindroma gawat pernafasan (penyakit membran hialin).
Paru-paru yang matang sangat penting bagi bayi baru lahir. Agar bisa bernafas
dengan bebas, ketika lahir kantung udara (alveoli) harus dapat terisi oleh
udara dan tetap terbuka. Alveoli bisa membuka lebar karena adanya suatu
bahan yang disebut surfaktan, yang dihasilkan oleh paru-paru dan berfungsi
menurunkan tegangan permukaan. Bayi prematur seringkali tidak
menghasilkan surfaktan dalam jumlah yang memadai, sehingga alveolinya
tidak tetap terbuka.
Diantara saat-saat bernafas, paru-paru benar-benar mengempis, akibatnya
terjadi Sindroma Distres Pernafasan. Sindroma ini bisa menyebabkan kelainan
lainnya dan pada beberapa kasus bisa berakibat fatal. Kepada bayi diberikan
oksigen; jika penyakitnya berat, mungkin mereka perlu ditempatkan dalam
sebuah ventilator dan diberikan obat surfaktan (bisa diteteskan secara
langsung melalui sebuah selang yang dihubungkan dengan trakea bayi).
c. Ketidakmatangan pada sistem saraf pusat bisa menyebabkan gangguan refleks
menghisap atau menelan, rentan terhadap terjadinya perdarahan otak atau
serangan apneu. Selain paru-paru yang belum berkembang, seorang bayi
prematur juga memiliki otak yang belum berkembang. Hal ini bisa
menyebabkan apneu (henti nafas), karena pusat pernafasan di otak mungkin
belum matang. Untuk mengurangi mengurangi frekuensi serangan apneu bisa
digunakan obat-obatan. Jika oksigen maupun aliran darahnya terganggu. otak
yang sangat tidak matang sangat rentan terhadap perdarahan (perdarahan
intraventrikuler) atau cedera.
d. Ketidakmatangan sistem pencernaan menyebabkan intoleransi pemberian
makanan. Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil mungkin akan
membatasi jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga pemberian susu
yang terlalu banyak dapat menyebabkan bayi muntah. Pada awalnya, lambung
yang berukuran kecil mungkin akan membatasi jumlah makanan/cairan yang
diberikan, sehingga pemberian susu yang terlalu banyak dapat menyebabkan
bayi muntah.
e. Retinopati dan gangguan penglihatan atau kebutaan (fibroplasia retrolental)
f. Displasia bronkopulmoner.
g. Penyakit jantung.
h. Jaundice.
Setelah lahir, bayi memerlukan fungsi hati dan fungsi usus yang normal untuk
membuang bilirubin (suatu pigmen kuning hasil pemecahan sel darah merah)
dalam tinjanya. Kebanyakan bayi baru lahir, terutama yang lahir prematur,
memiliki kadar bilirubin darah yang meningkat (yang bersifat sementara),
yang dapat menyebabkan sakit kuning (jaundice). Peningkatan ini terjadi
karena fungsi hatinya masih belum matang dan karena kemampuan makan
dan kemampuan mencernanya masih belum sempurna. Jaundice kebanyakan
bersifat ringan dan akan menghilang sejalan dengan perbaikan fungsi
pencernaan bayi.
i. Infeksi atau septikemia.
j. Sistem kekebalan pada bayi prematur belum berkembang sempurna. Mereka
belum menerima komplemen lengkap antibodi dari ibunya melewati plasenta.
Resiko terjadinya infeksi yang serius (sepsis) pada bayi prematur lebih tinggi.
Bayi prematur juga lebih rentan terhadap enterokolitis nekrotisasi (peradangan
pada usus).
k. Anemia.
l. Bayi prematur cenderung memiliki kadar gula darah yang berubah-ubah, bisa
tinggi (hiperglikemia maupun rendah (hipoglikemia).
m. Perkembangan dan pertumbuhan yang lambat.
n. Keterbelakangan mental dan motorik.

7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
a. Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolitik, yaitu :
1) Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam,
dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan
lagi jika timbul kontaksi berulang. dosis maintenance 3x10 mg.
2) Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan
salbutamol dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek
samping yang lebih kecil. Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50
μg/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau
terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 μg/menit, subkutan: 250 μg
setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam
(maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah:
hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial,
edema paru.
3) Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv,
secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance).
Namun obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat
ditimbulkannya pada ibu ataupun janin. Beberapa efek sampingnya
ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada
ibu dan bayi).
4) Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac,
nimesulide dapat menghambat produksi prostaglandin dengan
menghambat cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk
produksi prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat COX
yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada
janin. Sulindac memiliki efek samping yang lebih kecil daripada
indometasin. Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia dalam
konteks percobaan klinis.
Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu membatasi
aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual. Kontraindikasi
relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine terbukti tidak
baik, seperti:
1) Oligohidramnion
2) Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
3) Preeklamsia berat
4) Hasil nonstrees test tidak reaktif
5) Hasil contraction stress test positif
6) Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien
stabil dan kesejahteraan janin baik
7) Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
8) Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.
b. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan
paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS),
mencegah perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus
arteriosus, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid
perlu diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35 minggu.
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian
steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat.
Pemberian siklus tunggal kortikosteroid ialah:
1) Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
2) Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing
hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang
kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian
suplemen inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid
yang berperan dalam pembentukan surfaktan.
c. Pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik.
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang
tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis
neonatorum. Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung
risiko terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral,
yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan
lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan
antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-
amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.

8. PROGNOSIS
9. PATHWAY
Faktor Internal : Keturunan, Faktor eksternal: radiasi, Faktor Hormonal

Reseptor Estrogen Meningkat

Hiperplasia sel imatur

Myoma Uteri

Myoma Intramural Myoma Submukosum Myoma Subserosum

Perdarahan Pembesaran Uterus

Gangguan pada suplai darah Penekanan pada organ lain,


Gangguan hematologi penekanan pada syaraf

Gangguan Perfusi Kurangnya pengetahuan pasien


Jaringan Risiko Infeksi Gangguan Rasa Nyaman

Defisit Pengetahuan
Ansietas
10. KERANGKA ASUHAN KEPERAWATAN
A. IDENTITAS KLIEN Biodata
a. Nama : ……………………………………………….
b. Umur : ……………………………………………….
c. Jenis Kelamin : ……………………………………………….
d. Alamat : ……………………………………………….
e. Status perkawinan : ……………………………………………….
f. Agama : ……………………………………………….
g. Pendidikan : ……………………………………………….
h. Pekerjaan : ……………………………………………….
i. No. Register : ……………………………………………….
j. Tanggal MRS : ……………………………………………….
k. Tanggal Pengkajian : ……………………………………………….
l. Diagnosa Medis : .........................................................................
Biodata Penanggung jawab
a. Nama : ……………………………………………….
b. Umur : ……………………………………………….
c. Pendidikan : ……………………………………………….
d. Pekerjaan : ……………………………………………….
e. Alamat : ……………………………………………….

B. PENGKAJIAN
1. Keluhan Utama
a. Keluhan saat MRS Alasan utama yang membuat pasien itu dibawa ke RS
b. Keluhan saat Pengkajian : Keluhan utama saat pegkajian
2. Riwayat Penyakit Sekarang Kronologis sebelum masuk rumah sakit sampai
pengkajian, yang meliputi :
1. P = Provoking atau Paliatif : ……………………………………
2. Q = Quality : ……………………………………
3. R = Regio : ……………………………………
4. S = Severity : …………………………………..
5. T = Time : …………………………………..

3. Riwayat Peyakit Dahulu Riwayat penyakit yang diderita sebelumnya, baik


itu penyakit menular, menurun atau penyakit sistem reproduksi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat yg diderita oleh keluarga, baik penyakit menular atau menurun
(penyakit dalam dan organ reproduksi)
b. Genogram (3 generasi ke atas)
5. Riwayat Kebidanan Masa Lalu
a. Riwayat Haid
b. Riwayat Perkawinan
c. Riwayat Kehamilan, Persalinan dan Nifas BBL Riwayat Anak Ke
Kehamilan Persalinan Nifas BBL
d. Riwayat KB
6. Riwayat Psikososial dan Status Spiritual
a. Kondisi emosi / perasaan klien
b. Kebutuhan Spiritual Klien :
c. Tingkat Kecemasan Klien :
7. Pola Pemeliharaan Kesehatan
a. Pola Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi : Pemenuhan No Makan/Minum
Sebelum Sakit Saat Sakit
b. Pola Eliminasi No Pemenuhan Eliminasi BAB /BAK
c. Pola istirahat tidur No Pemenuhan Istirahat Tidur
d. Pola kebersihan diri / Personal Hygiene
e. Aktivitas Lain
f. Pemeriksaan Fisik
1) PEMERIKSAAN TANDA-TANDA VITAL
2) KEADAAN UMUM PEMERIKSAAN INTEGUMENT,
RAMBUT DAN KUKU)
3) PEMERIKSAAN KEPALA, WAJAH DAN LEHER
4) PEMERIKSAAN PAYUDARA DAN KETIAK
5) PEMERIKSAAN TORAK DAN PARU
6) PEMERIKSAAN ABDOMEN
7) PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
g. Penatalaksanaan
…………………………………………………………………………
…………………
h. Harapan Klien/ Keluarga sehubungan dengan Penyakitnya
…………………………………………………………………………
………………………………………………………………………..
11. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan Rasa Nyaman b/d Gejala Penyakit
b. Ansietas b/d krisis situasional
c. Defisit Pengetahuan b/d kurang terpapar informasi
d. Risiko Infeksi b/d Penurunan Hb
e. Perfusi Jaringan Tidak Efektif b/d Penurunan Konsentrasi Hb

12. INTERVENSI KEPERAWATAN


a. Gangguan Rasa Nyaman b/d Gejala Penyakit (D0074)
Intervensi Keperawatan
Terapi Relaksasi (I. 09326)
Definisi
Menggunakan teknik peregangan untuk mengurangi tanda dan gejala
ketidaknyamanan seperti nyeri, ketegangan otot, atau kecemasan
Tindakan
Observasi
 Identifikasi penurunan tingkat energi, ketidakmampuan
berkonsentrasi, atau gejala lain yang mengganggu kemampuan
kognitif
 Identifikasiteknik relaksai yang pernah efektif digunakan
 Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan penggunaan teknik
sebelumnya
 Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah, dan suhu
sebelum dan sesudah latihan
 Monitor respon terhadap terapi relaksai
Terapeutik
 Ciptakan lingkungan yang tenag dan tanpa gangguan dengan
pencahayaan dan suhu ruang nyaman, jika memungkinkan
 Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan prosedur teknik
relaksasi
 Gunakan pakaian longgar
 Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama
 Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan nalgesik atau
tindakan medis lain, jika sesuai
Edukasi
 Jelaskan tujuan manfaat, batasan, dan jenis relaksasi yang tersedia
(mis. musik, meditasi, napas dalam, relaksasi otot progresif)
 Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih
 Anjurkan mengambil posisi nyaman
 Anjurkan rileks dan merasakan sensai relaksasi 
 Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang dipilih
 Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis. napas dalam,
peregangan, atau imajinasi terbimbing)
b. Ansietas b/d
 REDUKSI ANXIETAS (I.09314)
 Observasi
 Identifikasi saat tingkat anxietas berubah (mis. Kondisi, waktu,
stressor)
 Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
 Monitor tanda anxietas (verbal dan non verbal)
Terapeutik
 Ciptakan suasana  terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
 Temani pasien untuk mengurangi kecemasan , jika memungkinkan
 Pahami situasi yang membuat anxietas
 Dengarkan dengan penuh perhatian
 Gunakan pedekatan yang tenang dan meyakinkan
 Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
 Diskusikan perencanaan  realistis tentang peristiwa yang akan datang
Edukasi
 Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
 Informasikan secara factual mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
 Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
 Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai kebutuhan
 Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
 Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi ketegangan
 Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
 Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat anti anxietas, jika perlu

TERAPI RELAKSASI
Observasi
 Identifikasi penurunan tingkat energy, ketidakmampuan
berkonsentrasi, atau gejala lain yang menganggu kemampuan kognitif
 Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan
 Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan penggunaan teknik
sebelumnya
 Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah, dan suhu
sebelum dan sesudah latihan
 Monitor respons terhadap terapi relaksasi
Terapeutik
 Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan pencahayaan
dan suhu ruang nyaman, jika memungkinkan
 Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan prosedur teknik
relaksasi
 Gunakan pakaian longgar
 Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama
 Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan analgetik atau
tindakan medis lain, jika sesuai
Edukasi
 Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis, relaksasi yang tersedia
(mis. music, meditasi, napas dalam, relaksasi otot progresif)
 Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih
 Anjurkan mengambil psosisi nyaman
 Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
 Anjurkan sering mengulang atau melatih teknik yang dipilih’
 Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis. napas dalam,
pereganganm atau imajinasi terbimbing)

c. Defisit Pengetahuan b/d kurang terpapar informasi


Edukasi Perilaku Upaya Kesehatan
Observasi
1) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi Terapeutik
2) Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
3) Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
4) Berikan kesempatan untuk bertanya
5) Gunakan variasi mode pembelajaran
6) Gunakan pendekatan promosi kesehatan dengan memperhatikan
pengaruh dan hambatan dari lingkungan, sosial serta budaya.
7) Berikan pujian dan dukungan terhadap usaha positif dan
pencapaiannya
Edukasi
1) Jelaskan penanganan masalah kesehatan
2) Informasikan sumber yang tepat yang tersedia di masyarakat
3) Anjurkan menggunakan fasilitas kesehatan
4) Anjurkan menentukan perilaku spesifik yang akan diubah (mis.
keinginan mengunjungi fasilitas kesehatan)
5) Ajarkan mengidentifikasi tujuan yang akan dicapai
6) Ajarkan program kesehatan dalam kehidupan sehari hari
d. Perfusi Perifer Tidak Efektif b/d Penurunan Konsentrasi Hb
 PERAWATAN SIRKULASI (I.02079)
Observasi
 Periksa sirkulasi perifer(mis. Nadi perifer, edema, pengisian kalpiler,
warna, suhu, angkle brachial index)
 Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi (mis. Diabetes, perokok,
orang tua, hipertensi dan kadar kolesterol tinggi)
 Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ekstremitas
Terapeutik
 Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area
keterbatasan perfusi
 Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas pada keterbatasan
perfusi
 Hindari penekanan dan pemasangan torniquet pada area yang cidera
 Lakukan pencegahan infeksi
 Lakukan perawatan kaki dan kuku
 Lakukan hidrasi
Edukasi
o Anjurkan berhenti merokok
o Anjurkan berolahraga rutin
o Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar
o Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah, antikoagulan,
dan penurun kolesterol, jika perlu
o Anjurkan minum obat pengontrol tekakan darah secara teratur
o Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta
o Ajurkan melahkukan perawatan kulit yang tepat(mis. Melembabkan
kulit kering pada kaki)
o Anjurkan program rehabilitasi vaskuler
o Anjurkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi( mis. Rendah
lemak jenuh, minyak ikan, omega3)
o Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan( mis.
Rasa sakit yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak sembuh,
hilangnya rasa)

MANAJEMEN SENSASI PERIFER (I. 06195)


Observasi
 Identifikasi penyebab perubahan sensasi
 Identifikasi penggunaan alat pengikat, prostesis, sepatu, dan pakaian
 Periksa perbedaan sensasi tajam atau tumpul
 Periksa perbedaan sensasi panas atau dingin
 Periksa kemampuan mengidentifikasi lokasi dan tekstur benda
 Monitor terjadinya parestesia, jika perlu
 Monitor perubahan kulit
 Monitor adanya tromboflebitis dan tromboemboli vena
Terapeutik
 Hindari pemakaian benda-benda yang berlebihan suhunya (terlalu
panas atau dingin)
Edukasi
 Anjurkan penggunaan termometer untuk menguji suhu air
 Anjurkan penggunaan sarung tangan termal saat memasak
 Anjurkan memakai sepatu lembut dan bertumit rendah
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu
 Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu

DAFTAR PUSTAKA

Dharma, dr. Petrus Lukmanto, Dr gunawan. Penerbit Kedokteran Jakarta, EGC


Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing
Diagnoses: Definitions & classification, 2015-2017.  Oxford: Wiley
Blackwell.
Nugroho, T. (2012). Obstetri dan Ginekologi. Yokyakarta: Nuha Medika
Nurarif, Amin Huda., Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC Edisi Revisi.
Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Sylvia, Prince. 2006. Patofisiologi Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Theodore R. Schrock, M. D (2007), Ilmu Bedah, Edisi 7, Alih Bahasa Drs.
Med Adji

Anda mungkin juga menyukai