Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

SYOK HIPVOLEMIK EC TRAUMA TUMPUL ABDOMEN

TINJAUAN PUSTAKA

1
2.1 ANATOMI ABDOMEN
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara
toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang
terbentuk dari dari otot abdomen, columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk
membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering dipakai adalah
pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal dan dua bidang
bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding anterior abdomen
menjadi sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya berjalan horizontal
melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas
crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari
tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Daerah-
daerah itu adalah:
1) hypocondriaca dextra,
2) epigastrica,
3) hypocondriaca sinistra,
4) lumbalis dextra,
5) umbilical,
6) lumbalis sinistra,
7) inguinalis dextra,
8) pubica/hipogastrica,
9) inguinalis sinistra

2
Gambar Pembagian Anatomi Abdomen (Griffith, 2003)
1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung empedu,
sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan
kelenjar suprarenal kanan.
2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan
sebagian hati.
3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal
pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar
suprarenal kiri.
4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan,
sebagian duodenum dan jejenum.
5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri,
sebagian jejenum dan ileum.
7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan
ureter kanan.
8. Pubica/Hipogastricmeliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada
kehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium
kiri.
Dengan mengetahui proyeksi organ intraabdomen tersebut, dapat memprediksi
organ mana yang kemungkinan mengalami cedera jika dalam pemeriksaan fisik
ditemukan kelainan pada daerah atau regio tersebut( Griffith, 2003)
Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu :
rongga peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. Rongga pelvis
sebenarnya terdiri dari bagian dari intraperitoneal dan sebagian retroperitoneal.
Rongga peritoneal dibagi menjadi dua yaitu bagian atas dan bawah. Rongga
peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang thorax, termasuk diafragma, liver, lien,
gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan sebagai komponen
torakoabdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal bawah berisi usus
halus, sebagian kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ
reproduksi pada wanita(Trauma, 2012)

3
Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta
abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan
ureter, permukaan posterior kolon ascenden dan descenden serta komponen
retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan rongga pelvis dikelilingi oleh tulang pelvis
yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari rongga peritoneal dan retroperitoneal.
Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan organ reproduksi interna
pada wanita(Griffith, 2003)

2.2 TRAUMA
2.2.1 DEFINISI
Trauma adalah cedera fisik maupun psikis, serta kekerasan yang bisa
mengakibatkan cedera (Sjamsuhidayat, 1998). Trauma abdomen merupakan
kerusakan atau cedera yang terjadi pada rongga abdomen sehingga mengakibatkan
perubahan fisiologi yang berdampak pada gangguan metabolisme dan imunologi.
Trauma merupakan penyebab kematian ke Tiga pada pasien usia dibawah 40
tahun.1

2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Kematian akibat cedera menempati peringkat ketiga disability adjusted life
years (dalys) pada tahun 2020 dan meningkat dari 5,1 juta menjadi 8,4 juta (9,2 %
dari kematian secara keseluruhan). Penyebab terbanyak terjadinya cedera di
seluruh dunia adalah kasus kecelakaan lalu lintas. Kecelaaan lalu lintas akan
menempati peringkat ke-3 pada tahun 2020, sedangkan di negara berkembang
kecelakaan lalu lintas menempati urutan ke-2. Di Negara berkembang secara
umum, penyebab utama kematian dan disabilitas disebabkan oleh cedera akibat
kecelakaan lalu lintas (Riyadina, 2010).
Di Negara Indonesia, ditemukan prevalensi secara nasional sebanyak
8,2%, Sulawesi Selatan menempati prevalensi tertinggi yaitu sebesar 12,8% dan
prevalensi terendah di jambi yaitu 4,5%. Penyebab cedera secara umum yang
terbanya yakni jatuh 40,9%, disusul dengan kecelakaan sepeda motor sebanyak
40,6%, terena benda tajam/tumpul 7,3%, transportasi darat lain 7,1%, dan
kejatuhan 2,5% (Riskesdas 2013)

4
2.2.3 ETIOLOGI
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) Trauma atau kecelakaan yang terjadi
pada abdomen yang kebanyakan disebabkan oleh trauma tumpul. Deselerasi yang
tidak terkontrol merupakan kekuatan yang mengakibatkan terjadinya trauma saat
tubuh seseorang terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya. Trauma yang
disebabkan oleh benda tajam biasanya diakibatkan oleh luka tembakan yang
menyebabkan kerusakan besar dalam abdomen. Tidak hanya luka tembak, trauma
abdomen bisa juga disebabkan oleh luka tusuk. Luka tusuk tersebut juga bisa
menyebabkan trauma organ intraabdomen.
Trauma abdomen diakibatkan oleh 2 kekuatan, yaitu :
a) Benda tumpul/paksaan
Trauma tumpul abdomen merupakan trauma yang terjadi pada abdomen tanpa
penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Trauma ini dapat disebabkan karena
pukulan, kekerasan fisik,
jatuh, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi, kecelakaan bermotor serta cedera
dalam olahraga. Lebih dari setengahnya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
b) Trauma tembus
Trauma tembus merupakan trauma pada abdomen dengan penetrasi kedalam
rongga peritoneum. Trauma ini dapat disebabkan oleh luka tembak atau tusukan
benda tajam
Mekanisme Cedera pada trauma tumpul abdomen secara umum dapat dibedakan
sebagai berikut :
1. Trauma Kompresi
Biasanya terjadi oleh karena benturan secara langsung yang mengakibatkan bagian depan
dari badan berhenti bergerak, sedangkan struktur bagian dalam masih tetap bergerak ke
depan. Sehingga menyebabkan kerusakan struktur-struktur baik organ yang padat dan
berongga di tengah-tengahnya. Misalnya pada trauma kena setir pada kecelakaan
kendaraan bermotor.
2. Shearing Injuries
Merupakan bentuk trauma yang terjadi bila komponen alat penahan (sabuk pengaman)
dipakai dengan cara yang salah.
3. Trauma Deselerasi

5
Merupakan bentuk trauma yang terjadi oleh karena gerakan yang berbeda dari bagian
badan yang bergerak dan yang tidak bergerak, misalnya sering terjadi pada hepar dan
lien.

2.2.4 PATOFISIOLOGI TRAUMA TUMPUL ABDOMEN


Patofisiologi cedera intraabdomen pada trauma tumpul abdomen berhubungan
dengan mekanisme trauma yang terjadi. Pasien yang mengalami trauma dengan energi
yang tinggi akan mengalami goncangan fisik yang berat sehingga menyebabkan cedera
organ. (Mehta, Babu and Venugopal, 2014). Ada beberapa mekanisme cedera pada
trauma tumpul abdomen yang dapat
menyebabkan cedera organ intraabdomen, yaitu :
1. Benturan langsung terhadap organ intraabdomen diantara dinding abdomen
anterior dan posterior
2. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan dengan
kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi menjadi deselerasi
horizontal dan deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini terjadi peregangan pada struktur-
struktur organ yang terfiksir seperti pedikel dan ligamen yang dapat menyebabkan
perdarahan atau iskemik (Guillion, 2009).
3. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan cedera organ berongga.
Berat ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang terkena
cedera
4. Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang
(fraktur pelvis, fraktur tulang iga)
5. Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat
menyebabkan cedera diafragma bahkan cedera kardiak. Trauma langsung abdomen atau
deselerasi cepat menyebabkan rusaknya organ intraabdomen yang tidak mempunyai
kelenturan (noncomplient organ)
seperti hati, limpa, ginjal dan pankreas. Pola injuri pada trauma tumpul abdomen
sering disebabkan karena kecelakaan antar kendaraan bermotor, pejalan kaki yang
ditabrak kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan pemukulan dengan benda
tumpul. Trauma tumpul abdomen terjadi karena kompresi langsung abdomen
dengan objek padat yang mengakibatkan robeknya subscapular organ padat seperti
hati atau limpa. Bisa juga karena gaya deselerasi yang menyebabkan robeknya

6
organ dan pembuluh darah pada regio yang terfiksir dari abdomen (hati atau arteri
renalis). Atau bisa karena kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan
intraluminal yang menyebabkan cedera organ berongga (usus halus). Trauma
tumpul abdomen yang mayoritas sering mengenai organ limpa sekitar 40% - 55%,
hati 35% - 45% dan usus halus 5%-10% (Avini et al., 2011)
Cedera Organ Intraabdomen Berdasaran jenis organ yang cedera, organ
intraabdomen dapat dibagi menjadi dua yaitu organ padat dan organ berongga. Yang
termasuk dalam organ
padat yaitu: hati, mesenterium, ginjal, limpa, pankreas, buli buli, organ genetalia
interna pada wanita, dan diafragma, sedangkan yang termasuk organ berongga
yaitu usus (gaster, duodenum, jejunum, ileum, colon, rectum), ureter, dan saluran
empedu. Beberapa cedera organ yang sering terjadi pada pasien yang mengalami
trauma tumpul abdomen antara lain:
1. Cedera Hati/Hepar
Hati adalah organ terbesar pada rongga abdomen yang letaknya terlindung
dengan baik, namun organ tersebut sering mengalami cedera selain organ
limpa.
Cedera organ hati paling utama disebabkan karena ukurannya, lokasinya dan
kapsulnya yang tipis yang disebut Glisson capsule. Cedera organ hati umumnya
cedera akibat trauma tumpul. Hati menempati hampir seluruh regio
hypochondric
dextra, sebagian di epigastrium dan seringkali meluas sampai ke regio
hypochondrica sinistra sejauh linea mammilaria. Hati dapat mengalami cedera
dikarenakan trauma tumpul ataupun trauma tembus. Hati merupakan organ
yang
sering mengalami laserasi, sedangkan kantong empedu sangat jarang
mengalami
trauma dan sulit untuk didiagnosis. Penanganan trauma hati dalam 30 tahun
terakhir telah mengalami banyak perkembangan seiring dengan banyaknya
penelitian dan literatur dalam penanganan trauma hati. Salah satu studi
retrospective yang pernah dilakukan pada tahun 1992-2008 di kota Barcelona,
Spanyol pada 143 pasien dengan diagnosis trauma hati, 87 pasien adalah
konservatif (74%) sedangkan 56 pasien dilakukan tindakan operasi ( 26% )(She

7
et
al., 2016).
Penegakkan diagnosis suatu trauma hati berdasarkan atas anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
Manifestasi klinisnya tergantung dari tipe kerusakannya. Pada ruptur kapsul
Glissoni, tanda dan gejalanya dikaitkan dengan tanda-tanda syok, iritasi
peritoneum dan nyeri pada epigastrium kanan. Adanya tanda-tanda syok
hipovolemik yaitu hipotensi, takikardi, penurunan jumlah urine, tekanan vena
sentral yang rendah, dan adanya distensi abdomen memberikan gambaran suatu
trauma hati. Tanda-tanda iritasi peritoneum akibat peritonitis biliar dari
kebocoran
saluran empedu, selain nyeri dan adanya rigiditas abdomen, juga disertai mual
dan
muntah. Pada trauma tumpul abdomen dengan cedera hati sering ditemukan
adanya fraktur tulang iga kanan bawah yaitu tulang iga VII – IX (Alonso et al.,
1997).
Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hati akan diikuti dengan
penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan leukositosis lebih dari
15.000/ul, biasanya setelah ruptur hati akibat trauma tumpul. Kadar enzim hati
yang meningkat dalam serum darah menunjukkan bahwa terdapat cidera pada
hati,
meskipun juga dapat disebabkan oleh suatu perlemakan hati ataupun penyakit-
penyakit hati lainnya. Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat ditemukan
pada
hari ke-3 sampai hari ke-4 setelah trauma (Garcia et al., 2010).
Nyeri perut kanan atas disertai adanya jejas setelah terjadi trauma
merupakan gejala yang sering terjadi. Nyeri tekan dan defans muskuler tidak
akan
tampak sampai perdarahan pada abdomen dapat menyebabkan iritasi
peritoneum.
Pemeriksaan CT scan akurat dalam menentukan lokasi dan luas trauma hati,
menilai derajat hemoperitoneum, memperlihatkan organ intraabdomen lain
yang
8
mungkin ikut cidera, identifikasi komplikasi yang terjadi setelah trauma hati
yang
memerlukan penanganan segera terutama pada pasien dengan trauma hati berat,
dan digunakan untuk monitor kesembuhan. Penggunaan CT scan terbukti
sangat
bermanfaat dalam diagnosis dan penentuan penanganan trauma hati. Dengan
CT
scan menurunkan jumlah laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan
pergeseran dari penanganan rutin bedah menjadi penanganan non operastif dari
kasus trauma hati (Njile, 2012).
2. Cedera Limpa/Lien
Limpa merupakan suatu organ dari sistem reticulo-endothelial, yang
merupakan jaringan limfe (limfoid) terbesar dari tubuh. Limpa berukuran kira-
kira
sebesar kepalan tangan dan terletak tepat di bawah hemidiafragma kiri.
Proyeksi
letak limpa pada abdomen yaitu berada di hypocondriaca sinistra. Organ ini
terletak di kuadran kiri atas dorsal abdomen, menempel pada permukaan bawah
diafragma dan terlindung oleh lengkung iga. Sumbu panjangnya terletak
sepanjang
iga 10. Sejajar bagian posterior iga 9, 10, 11 dan terpisah dari diaphragma dan
pleura(Sander, 2015).
Limpa atau lien merupakan organ yang sering cedera pada saat terjadi
trauma tumpul abdomen. Cedera limpa merupakan kondisi yang
membahayakan
jiwa karena adanya perdarahan yang hebat. Limpa terletak tepat di bawah
rangka
thorak kiri, tempat yang rentan untuk mengalami perlukaan. Limpa membantu
tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di dalam tubuh dan menyaring
semua
material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah
rusak. Limpa juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel
darah
putih. Robeknya limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga
9
abdomen. Cedera pada limpa biasanya disebabkan hantaman pada abdomen
kiri
atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering meyebabkan cedera
limpa adalah kecelakaan olahraga, perkelahian dan kecelakaan mobil (Alonso
et
al., 1997).
Tanda fisik yang ditemukan pada cedera limpa bergantung pada ada
tidaknya organ lain yang ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan ada
atau
tidaknya kontaminasi rongga peritoneum. Perdarahan hebat akibat cedera limpa
dapat mengakibatkan syok hipovolemik berat. Hipotensi atau takikardi
merupakan
tanda yang menunjukan adanya cedera limpa. Tanda-tanda lain adanya cedera
pada
limpa yaitu : riwayat trauma abdomen yang jelas, diikuti oleh nyeri abdomen
terutama kuadran kiri atas, datang dengan gambaran menyerupai tumor intra
abdomen bagian kiri atas yang nyeri apabila di tekan disertai tanda anemia
sekunder. Elevasi tungkai di tempat tidur atau pada posisi Trendelenberg dapat
menimbulkan nyeri pada puncak bahu kiri yang disebut Kehr sign. Ciri
diagnostik
lain termasuk: peningkatan atau penurunan hematokrit, leukositosis lebih dari
15.000, foto rontgen yang memperlihatkan fraktur tulang iga kiri bawah,
peninggian diafragma, letak lambung bergeser mendesak ke arah garis tengah,
gambaran tepi limpa menghilang pada pemeriksaan CT scan(van der Vlies et
al.,
2011).
Beberapa studi menjelaskan bahwa gejala dan tanda paling umum yang
ditunjukkan oleh pasien trauma limpa adalah nyeri (90%) dan abdominal
tenderness (85%). Kecurigaan terjadinya cedera limpa juga dengan ditemukan
adanya fraktur tulang iga IX dan X kiri, atau nyeri abdomen kuadran kiri atas.
Tanda peritoneal seperti nyeri tekan dan defans muskuler akan muncul setelah
terjadi perdarahan yang mengiritasi peritoneum. Semua pasien dengan gejala
takikardi atau hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas setelah
trauma,
10
harus dicurigai terdapat cedera limpa sampai dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan penunjang. Penegakan diagnosis dengan menggunakan CT scan
rutin
dilakukan pada rumah sakit pusat trauma(Costa et al., 2010).
3. Cedera usus
Peritonitis merupakan tanda yang khas dari cedera usus. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan gejala ‘burning epigastric pain’ yang diikuti dengan nyeri
tekan
dan defans muskuler pada abdomen. Perdarahan pada usus besar dan usus halus
akan diikuti dengan gejala peritonitis secara umum pada jam berikutnya.
Sedangkan perdarahan pada duodenum biasanya bergejala adanya nyeri pada
bagian punggung. Diagnosis cedera usus ditegakkan dengan ditemukannya
udara
bebas dalam pemeriksaan rontgen abdomen konvensional. Sedangkan pada
pasien
dengan perlukaan pada duodenum dan colon sigmoid didapatkan hasil
pemeriksaan
pada rontgen abdomen dengan ditemukannya udara dalam rongga
retroperitoneal
(Mehta, Babu and Venugopal, 2014).

4. Cedera Ginjal
Organ retroperitoneal yang paling sering mengalami cedera adalah ginjal.
Trauma ginjal terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma. Trauma ginjal
dapat
menjadi problem akut yang mengancam nyawa, namun sebagian besar trauma
ginjal bersifat ringan dan dapat dirawat secara konservatif. Perkembangan
dalam
pencitraan dan derajat trauma selama 20 tahun terakhir telah mengurangi angka
intervensi bedah pada kasus-kasus trauma ginjal. Trauma tumpul biasanya
terjadi
pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari ketinggian, cedera saat
olahraga atau berkelahi. Informasi mengenai riwayat trauma sangat penting
11
untuk
diketahui sehingga dapat menilai besarnya proses decelerasi yang terjadi.
Decelerasi yang sangat cepat dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah,
trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh darah vena, atau avulsi pedikel
ginjal(Lynch et al., 2005)
Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul berupa jejas atau
laserasi dan hematoma pada regio flank, lower thorax dan upper abdomen.
Penemuan lain berupa hematuri, nyeri pada pinggang, patah tulang iga bawah,
atau
distensi abdomen setelah trauma dapat dicurigai adanya trauma pada ginjal
(Indradiputra and Hartono, 2016)
Hematuria merupakan poin diagnostik penting untuk trauma ginjal. Namun
tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah suatu trauma
minor
ataukah mayor. Perlu diingat beratnya hematuria tidak berkorelasi lurus dengan
beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang berat, seperti;
robeknya
ureteropelvic junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat tampil
tanpa disertai dengan hematuria(Lynch et al., 2005).
5. Cedera Pankreas
Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis. Kebanyakan kasus
diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan. Cedera pankreas harus dicurigai
setelah terjadinya trauma pada bagian tengah abdomen, contohnya pada
benturan
stang sepeda motor atau benturan setir mobil. Perlukaan pada pankreas
memiliki
tingkat kematian yang tinggi. Pasien dapat memperlihatkan gejala nyeri pada
bagian atas dan pertengahan abdomen yang menjalar sampai ke punggung.
Beberapa jam setelah trauma, dapat terlihat adanya gejala iritasi peritonial.
Diagnosis dengan penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu membantu
dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat menegakan diagnosis yang
lebih
spesifik (Aziz, Bota and Ahmed, 2014).
6. Cedera Ureter
12
Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan
morbiditas dan mortalitas. Trauma ureter sering tidak dikenali pada saat pasien
datang atau pada pasien dengan multipel trauma. Kecurigaan adanya cedera
ureter
bisa ditemukan dengan adanya hematuria paska trauma. Mekanisme trauma
tumpul
pada ureter dapat terjadi karena keadaan tiba-tiba dari deselerasi dan akselerasi
yang berkaitan dengan hiperekstensi, benturan langsung pada daerah lumbal 2
dan
3. Gerakan tiba-tiba dari ginjal menyebabkan terjadinya gerakan naik turun
pada
ureter yang menyebabkan terjadinya tarikan pada ureteropelvic junction. Pada
pasien dengan kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya didapatkan gambaran
nyeri pada flank sampai ke perut bawah. Gambaran syok timbul pada 53%
kasus,
yang menandakan terjadinya perdarahan lebih dari 2000 cc. Diagnosis dari
trauma
tumpul ureter seringkali terlambat diketahui karena seringnya ditemukan gejala
akibat trauma lain, sehingga tingkat kecurigaan tertinggi lebih kepada trauma
dengan gejala yang lebih jelas. Pilihan terapi yang tepat tergantung pada lokasi,
jenis trauma, waktu kejadian, kondisi pasien, dan prognosis pasien. Hal
terpenting
dalam pemilihan tindakan operasi adalah mengetahui dengan pasti fungsi ginjal
yang kontralateral dengan lokasi trauma(Lynch et al., 2005).

2.2.5 DIAGNOSIS
2.2.6 ANAMNESIS
Penegakan diagnosis cedera intraabdomen pada pasien trauma tumpul
abdomen secara umum berdasarkan anamnesis tentang riwayat trauma,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan ini dilakukan saat
secondary survey dalam penilaian awal pasien trauma.
Riwayat trauma Mekanisme terjadinya trauma sangat penting dalam menentukan
kemungkinan cedera organ intraabdomen yang lebih spesifik. Semua informasi
harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk mekanisme cedera,
13
tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan dalam kecelakaan
kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi kecelakaan, tanda vital, kesadaran,
adanya perdarahan eksternal, jenis senjata dan mekanisme lain yang bisa
menunjang diagnostik(Schurink G, 1997).
Informasi tentang kejadian trauma (mekanisme trauma), keterangan saksi
mata, catatan dari paramedik sangat penting untuk diketahui pada setiap pasien
trauma sehingga bisa mendeteksi cedera organ yang mungkin terjadi pada pasien.
Pada kecelakaan lalu lintas, yang perlu diketahui adalah kecepatan dan arah dar
Kecelakaan (kendaraan), kerusakan kendaraan, penggunaan “seat-belts”, atau
terlempar dari kendaraan (Schurink G, 1997). Selain itu, riwayat AMPLE (Alergy,
Medication, Past illness, Last meal, Environment) penting diketahui untuk
mengetahui kondisi penyerta pasien yang mengalami trauma

2.2.7 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan
sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Pada saat
pasien datang ke rumah sakit, mekanisme trauma dan pemeriksaan fisik cukup
akurat dalam menentukan cedera intraabdomen pada pasien dengan kesadaran baik
dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik.
a. Inspeksi
Penderita harus diperiksa secara menyeluruh, mulai dari bagian depan
sampai belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum sesuai anatomi
abdomen. Inspeksi untuk melihat adanya goresan/laserasi, robekan, luka,
benda asing yang tertancap serta status hamil pada perempuan. Adanya
jejas, laserasi di dinding perut, atau perdarahan dibawah kulit
(hematome)setelah trauma dapat memberikan petunjuk adanya
kemungkinan kerusakan organ di bawahnya. Ekimosis pada flank (Grey
Turner Sign) atau umbilicus (Cullen Sign) merupakan indikasi perdarahan
retroperitoneal, tetapi hal ini biasanya lambat dalam beberapa jam sampai
hari. Adanya distensi pada dinding perut merupakan tanda penting karena
kemungkinan adanya pneumoperitonium, dilatasi gaster, atau adanya iritasi
peritoneal. Pergerakan pernafasan perut yang tertinggal merupakan salah
satu tanda kemungkinan adanya peritonitis. Laserasi abdomen yang terlihat
sesuai pola sabuk pengaman mobil (Seat Belt Sign) sering ditemukan
14
sebagai tanda klinis terjadinya cedera organ intraabdomen (Beal et al.,
2016). Sebuah penelitian menyatakan bahwa pada pasien trauma tumpul
abdomen, nyeri perut disertai dengan takikardi, nyeri lepas, distensi
abdomen, defans muscular, adanya laserasi abdomen (seat belt sign),
ekimosis merupakan faktor prediktif dalam mengidentifikasi cedera intra-
abdomen (Poletti PA, et al., 2004).

Gambar 5. Seat belt sign, jejas menyerupai sabuk pengaman pada pasien
trauma tumpul abdomen(Trauma, 2012).
b. Auskultasi
Pada auskultasi dinilai apakah ada bising usus atau tidak. Pada robekan
(perforasi) usus, bising usus selalu menurun, bahkan kebanyakan
menghilang sama sekali. Adanya bunyi usus pada auskultasi toraks
kemungkinan menunjukkan adanya trauma diafragma. Perdarahan
intraperitoneum atau kebocoran (ekstravasasi) usus dapat memberikan
gambaran ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur
yang berdektan seperti cedera tulang iga, tulang belakang, panggul juga
dapat menyebabkan ileus meskipun tidak terdapat cedera di intraabdomen,
sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera
intraabdominal (Hoff et al., 2002).
c. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan
adanya peritonitis tetapi masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan
bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup
bila ada hemiperitoneum. Perkusi redup hati yang menghilang
menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga perut yang berarti
kemungkinan terdapatnya robekan (perforasi) dari organ-organ usus. Nyeri
ketok seluruh dinding perut menunjukkan adanya tanda-tanda peritonitis
umum(Schurink G, 1997).
d. Palpasi
Nyeri abdomen merupakan tanda klinis yang dievaluasi saat palpasi. Nyeri
juga dapat bersifat spontan tanpa dilakukan palpasi. Lokasi nyeri sangat
penting untuk mengetahui kemungkinan organ yang terkena. Nyeri
abdomen secara menyeluruh merupakan tanda yang penting kemungkinan
15
peritonitis akbat iritasi peritoneum, baik oleh darah maupun isi usus.
Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding)
dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular
(involuntary guarding) adalah tanda yang penting dari iritasi peritoneum.
Palpasi menentukan adanya nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam, atau
nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut
dilepaskan tiba - tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang timbul
akibat adanya darah atau isi usus yang mengiritasi peritonium (Rostas et
al., 2015).
Cedera abdomen sering disertai oleh cedera organ lain, terutama pada kasus
trauma multiple. Identifikasi cedera lain ini dapat memprediksi apakah ada organ
intraabdomen yang mengalami cedera setelah terjadinya trauma. Fraktur kosta
kanan, terutama yang dibawah sering disertai cedera organ dibawahnya yaitu hati.
Evaluasi hati sangat diperlukan jika menemukan pasien dengan fraktur kosta kanan
bawah. Fraktur kosta kiri bawah berhubungan dengan cedera limpa, karena limpa
tepat berada di bawah kosta tersebut. Ditemukanya kontusio di midepigastrium
menandakan kemungkinan cedera organ dibawahnya seperti duodenum dan
pancreas. Fraktur pelvis terutama yang tidak stabil sering disertai trauma pada
urogenital seperti buli-buli dan uretra. Sedangkan fraktur pada prosesus
transversalis lumbal sering menyebabkan trauma pada ginjal(van der Vlies et al.,
2011).
Fraktur prlvis merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
cedera intraabdomen. Tile mengklasifikasikan fraktur pelvis berdasarkan stabil dan
tidaknya cincin pelvis. Fraktur pelvis yang tidak stabil biasanya terjadi akibat
cedera dengan energi yang tinggi. Biasanya disertai dengan cedera organ lainya,
seperti : cedera kepala, toraks, dan abdomen. 60-80% pasien dengan fraktur pelvis
berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera abdomen dan
muskuloskeletal, 12% berhubungan dengan cedera urogenital dan 8% berhubungan
dengan cedera pleksus lumbosacralis. Kejadian keseluruhan cedera genitourinaria
yang berhubungan dengan patah tulang pelvis adalah sebesar 12%, yang paling
sering adalah cedera kandung kemih. Pria danwanita sama-sama cenderung
mengalami cedera pada kandung kemih tapikerusakan pada uretra pria lebih sering
terjadi dibandingkan wanita. Patah tulang ekstremitas dan tulang belakang juga
bisa terjadi pada pasien dengan fraktur pelvis.Perdarahan dapat menyertai fraktur
16
pelvis terutama akibat patah tulang terbuka, cedera pada jaringan lunak, dan
perdarahan vena lokal.Gangguan cincin pelvis yang tidak stabil akibat translasi dan
rotasi menyebabkan deformitas, nyeri, dan kecacatan yang signifikan. Perdarahan
merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan
keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi.
Evaluasi pasien secara lengkap sangat penting pada pasien dengan fraktur pelvis
berkekuatan-tinggi karena sering berhubungan dengan cedera yang lain. (Corwin et
al., 2014).
Pemeriksaan fisik abdomen pada ssat awal sering gagal untuk mendeteksi
cedera abdomen yang signifikan pada pasien multitrauma. Penundaan dalam
mendiagnosis menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas, rawat
inap berkepanjangan, dan akhirnya, biaya kesehatan lebih besar. Gejala fisik yang
tidak jelas, kadang ditutupi oleh nyeri akibat trauma ekstraabdominal dan
dikaburkan oleh intokasi atau trauma kepala, merupakan penyebab utama tidak
terdeteksinya cedera intraabdomen. Lebih dari 75% pasien dengan trauma
abdomen yang membutuhkan tindakan bedah segera, pada awalnya mempunyai
gejala klinik yang tidak khas (benign physical examination), sehingga ahli bedah
yang kurang waspada dan menganggap tidak ada cedera intraabdoemen(Hoff et al.,
2002). Suatu penelitian menyatakan bahwa dari 437 pasien-pasien trauma tumpul
abdomen, 47% tidak mempunyai gejala klinik yang khas pada evaluasi awal, 44%
ditemukan dari hasil “diagnostic test” dan 77% dari mereka didapatkan trauma
intra abdominal. Tanda peritonitis merupakan mandatori untuk dilakukan
laparotomi tanpa menunggu hasil-hasil tes-tes diagnostik. Oleh karena itu,
pemeriksaan abdomen yang teliti, sistematik sangat dianjurkan pada setiap kasus-
kasus trauma abdomen(Beal et al., 2016).
Cedera intraabdomen pada trauma tumpul sering disertai dengan trauma
multipel. Trauma thoraks, trauma kepala, dan trauma terhadap ekstremitas sering
menyertai trauma abdomen akibat mekanisme trauma yang kompleks. Terdapat
beberapa scoring system untuk trauma dan secara garis besar dapat diklasifikasikan
menjadi tiga jenis berdasarkan komponen-komponen yang digunakan, yaitu skor
anatomis, skor fisiologis, dan skor kombinasi. Untuk skor fisiologis, Revised
Trauma Score (RTS) merupakan skor yang paling sering digunakan. RTS terdiri
dari tiga komponen yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), systolic blood pressure
(SBP), dan respiratory rate (RR). Komponen skor ini merupakan komponen vital
17
yang harus dinilai pada suatu trauma abdomen yang disertai trauma penyerta yang
lain. Beberapa studi menyebutkan bahwa GCS < 14 sebagai faktor prediktif
terjadinya cedera intraabdomen, tetapi disertai dengan cedera laian seperti cedera
thoraks dan ekstremitas. Penurunan GCS tersendiri tanpa ada cedera yang
menyertai pada studi tersebut tidak mengindikasikan dilakukan CT scan abdomen
untuk evaluasi cedera intraabdomen(Rostas et al., 2015). Penelitian lain juga
menyebutkan bahwa GCS < 14 sebagai salah satu faktor yang memprediksi adanya
cedera intraabdomen pada pasien trauma tumpul abdomen. Penurunan kesadaran
yang diukur melalui GCS disebabkan oleh faktor intrakranial dan ekstrakranial.
Faktor ekstrakranial yang paling sering sebagai penyebab penurunan kesadaran
adalah syok hipovolemik karena perdarahan. Pasien tidak sadar yang disebabkan
oleh trauma kepala yang disertai dengan trauma abdomen harus menjadi perhatian
khusus untuk mencegah mortalitas

2.2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam manajemen pasien
trauma adalah : laboratorium, foto toraks dan abdomen, ultrasonografi, DPL, CT
scan dan laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan dilakukan tergantung pada stabilitas
hemodinamik pasien dan prediksi tingkat keparahan cedera. Pasien trauma tumpul
abdomen dengan hemodinamik stabil dapat dievaluasi dengan Ultrasonografi
(USG) abdomen, atau CT scan. Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan
hemodinamik harus dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi jika tersedia, atau
dengan lavage peritoneum untuk menyingkirkan cedera intraabdomen (Vlies,
2017).
Pemeriksaan laboratorium di awal kejadian trauma hanya sedikit memberi
arti kecuali digunakan sebagai data dasar dalam monitor perkembangan klinik
selanjutnya. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara serial, seperti misalnya
serial haematocrit dan hemoglobin untuk monitor kehilangan darah, amylase untuk
monitor adanya trauma pancreas. Pemeriksaan laboratorium awal yang diperlukan
dalam manajemen trauma abdomen antara lain:
Complete Blood Count (CBC), menilai penurunan hemoglobin (Hb),
hematokrit (Hct) dan platelet (PLT)
 Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan adanya
disfungsi ginjal.
18
 Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
 Analisa gas darah, yang mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.
 Tes koagulasi, yang menunjukkan pemanjangan PT dan APTT, untuk
menilai adanya koagulopati
 Pemeriksaan transaminase untuk menilai kemungkinan cedera hati.
Complete Blood Count (CBC) merupakan pemeriksaan lab sederhana yang
cepat
bisa dilakukan, meliputi komponen hemoglobin, hematokrit dan platelet.
Pemeriksaan Hemoglobin (Hb) diperlukan untuk data dasar bila terjadi perdarahan
terus menerus, demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit (Hct). Hb dan Hct
yang cenderung menurun saat diperiksa lebih dari satu kali, menandakan
kemungkinan adanya proses perdarahan didalam perut yang sedang berlangsung.
Tanda ini sebagai faktor prediktif terjadinya cedera intraabdomen sehingga
diperlukan pemeriksaan penunjang lainya. Pemeriksaan leukosit yang melebihi
20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup
banyak terutama pada cederaa lienalis. Serum amilase yang meninggi
menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus.
Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma terjadi pada hati.
Hematokrit serial merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengevaluasi
pasien trauma. Penurunan hematokrit merupakan tanda kehilangan darah yang
banyak, Respon terhadap resusistasi akan menjadi pertimbangan dalam
pengambilan keputusan.(Vlies, 2017). Penelitian di Amerika mempelajari tentang
beberapa hasil tes laboratorium abnormal pada pasien yang mengalami cedera
intraabdomen. Beberapa studi menunjukkan defisit basa (< -6 mEq/L) adalah
prediktif pada cedera intra-abdomen. Hematuria (25-50 RBC/hpf) diprediksi empat
kali lipat peningkatan risiko cedera intra-abdomen. Tingkat hematokrit kurang dari
30% meningkatkan kemungkinan cedera intraabdomen lebih banyak daripada
hematokrit <36%. Penurunan Hct lebih dari 5% sangat signifikan berhubungan
dengan cedera intraabdomen. Penanda laboratorium lainnya termasuk peningkatan
jumlah WBC dan peningkatan laktat, kurang berguna untuk mengidentifikasi
pasien dengan cedera intraabdomen. Transaminase hati yang meningkat (aspartate
aminotransferase atau alanine aminotransferase) adalah petanda adanya
kerusakan hati (Holmes, Wisner, et al., 2009)

19
Foto polos abdomen berguna untuk melihat adanya udara atau cairan bebas
intraabdomen. Dibutuhkan kurang lebih 800 ml cairan bebas baru bisa terlihat pada
foto polos abdomen. Foto tegak dapat menunjukan udara bebas intraperitoneal
yang disebabkan oleh perforasi organ visera berongga, adanya nasogastric tube
pada rongga thoraks (cedera diaphragma). Pemeriksaaan rontgen servikal lateral,
toraks anteroposterior (AP), dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus dilakukan
pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang hemodinamik stabil,
maka pemeriksaan rontgen abdomen dalam keadaan terlentang dan tegak mungkin
berguna untuk mengetahui adanya uadara ekstraluminal di retroperitoneum atau
udara bebas di bawah diafragma. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow)
juga menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak
dikontraindikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, dapat digunakan
foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas
intraperitoneal(Jansen, Yule and Loudon, 2008).
Pengenalan diagnostic peritoneal lavage (DPL) pada tahun 1965
memberikan metode yang aman dan murah yang dengan cepat dapat
mengidentifikasi adanya cedera intraabdomen. DPL merupakan tes cepat dan
akurat yang digunakan untuk mengidentifikasi cedera intraabdomen setelah trauma
tumpul pada pasien hipotensi paska trauma tanpa indikasi yang jelas untuk
laparotomi eksplorasi abdomen. Indikasi untuk melakukan DPL sebagai berikut :
nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya, Trauma pada bagian bawah
dari dada, hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas, pasien cedera
abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak), pasien cedera
abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang), dan patah tulang
pelvis. Sedangkan kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah : pasien hamil,
pernah operasi abdominal, operator tidak berpengalaman dan bila hasil DPL
nantinya tidak akan merubah penatalaksanaan. Kriteria standar untuk lavage
peritoneal yang positif meliputi aspirasi setidaknya 10 mL darah, lavage berdarah,
sel darah merah hitung lebih besar dari 100.000 / mm3, sel darah putih hitung lebih
besar dari 500/mm3, amilase lebih besar dari 175 IU / dL, atau deteksi empedu,
bakteri, atau serat makanan(Ikegami et al., 2014).
Di Amerika Serikat Ultrasonografi (USG) telah digunakan dalam beberapa
tahun terakhir untuk evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen. Tujuan
evaluasi USG untuk mencari cairan bebas intraperitoneal. Hal ini dapat dilakukan
20
dengan cepat dan tidak invasive, dengan tingkat keakuratan sama dengan DPL
untuk mendeteksi hemoperitoneum. USG juga dapat mengevaluasi hati dan limpa
meskipun tujuan USG adalah untuk mencari cairan bebas di intrapreitoneal. Mesin
portabel dapat digunakan di ruangan resusitasi atau di gawat darurat pada pasien
dengan hemodinamik stabil tanpa menunda tindakan resusitasi pada pasien
tersebut. Keuntungan lain dari USG daripada diagnostik peritoneal lavage adalah
USG merupakan tindakan yang noninvasif. USG dapat mendeteksi adanya laserasi
pada hati dan ginjal, namun tidak mampu secara tepat memastikan seberapa dalam
dan luas laserasi yang terjadi. Tidak diperlukan adanya tindakan lebih lanjut
setelah USG dinyatakan negatif pada pasien yang stabil. Sensitivitas berkisar dari
85% sampai 99%, dan spesifisitas dari 97% sampai 100%. Sebuah studi
mengemukanan bahwa USG pada trauma tembus tidak dapat diandalkan seperti
pada trauma tumpul(Radwan and Abu-Zidan, 2006).
Computed Tomography Abdomen (CT Scan Abdomen) adalah metode yang
paling sering digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma abdomen
tumpul yang stabil. Metode pencitraan CT scan telah membawa perubahan besar
dalam penanganan pasien dengan trauma tumpul abdomen. Manfaat terbesarnya
adalah penurunan jumlah pasien yang memerlukan tindakan pembedahan dan
operasi non terapiutik. Saat ini keakuratan CT scan dalam menilai tingkat beratnya
cedera intraabdomen masih dipertanyakan. Suatu penelitian menyatakan bahwa
grading trauma hati preoperative dengan CT scan dihubungkan dengan penemuan
saat operasi, hanya 16% yang sesuai. Harus ditekankan untuk mengambil tindakan
intervensi operasi didasarkan pada stabilitas hemodinamik pasien tanpa
memperhatiakan grading CT scan (Mariappan and Madhusudhanan, 2016).
CT merupakan prosudur diagnostik dimana kita perlu memindahkan pasien
ke tempat scanner, pemberian kotras intravena, dan pemeriksaan CT harus
mengenai regio abdomen secara keseluruhan termasuk daerah pelvis. Diperlukan
banyak waktu, sehingga dilakukan pada pasien trauma abdomen dengan
hemodinamik stabil dan tanpa tanda peritonitis. Dengan CT scan, dapat
memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan serta tingkat
dari kerusakan organ tersebut. CT juga mendiagnosis kerusakan organ
retroperitoneal maupun daerah pelvis yang kadang kadang sulit diperiksa secara
fisik, FAST maupun DPL. Kontraindikasi relative penggunaan CT scan antara lain
: pasien yang tidak kooperatif, alergi terhadap bahan kontras, dan penundaan
21
sampai alat CT siap digunakan. Pemeriksaan fisik yang akurat dan laboratorium
sederhana bisa memprediksi adanya cedera intraabdomen tanpa segera melakukan
tindakan CT scan, sehingga penggunaanya bisa lebih minimal dan mengurangi
biaya dan paparan radiasi (Mohamed El Wakeel, 2015).
CT scan abdomen memiliki akurasi yang tinggi, sensitivitasnya antara 92%
sampai 97,6% dan spesifisitas setinggi 98,7%, dan memiliki negative predictive
value yang sangat tinggi yaitu hampir 97%. Beberapa studi mengatakan bahwa
pasien dengan kecurigaan trauma tumpul abdomen harus dirawat di rumah sakit
selama paling sedikit 24 jam untuk observasi meskipun hasil CT abdomen negatif.
Walaupun ada studi yang menjelaskan bahwa CT scan negatif dapat menjadi
patokan untuk memulangkan pasien dan selanjutnya rawat jalan (Garber et al.,
2000).
Pemeriksaan CT abdomen juga memiliki batasan yaitu diperlukan petugas
yang ahli untuk melakukannya dan dokter spesialis radiologi untuk membuat
interpretasi hasil. Pemeriksaan CT abdomen walaupun sangat sensitif terhadap
organ padat, tetapi tidak menunjukkan adanya robekan pada mesenterium, cedera
pada usus terutama robekan yang kecil, cedera diafragma bila rekonstruksi sagital
dan coronal tidak dilakukan, dan cedera pankreas bila dilakukan segera setelah
trauma. Adanya cairan bebas intraperitoneal pada keadaan tidak adanya cedera
pada organ padat dapat menyebabkan keraguan dimana terdapat 25% lesi pada
usus tidak terdeteksi. Sehingga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) bila disepakati untuk tatalaksana konservatif.
Kerugian CT abdomen lainya yaitu perlunya mentransfer pasien ke unit CT scan,
bahaya radiasi yang didaptkan, pasien dapat tidak koperatif atau mengambil posisi
yang baik bila kesakitan atau dengan penurunan kesadaran. Gagal ginjal atau
riwayat syok anafilaktik sebelumnya dapat menghalangi penggunaan CT abdomen.
Pemeriksaan tanpa menggunakan kontras dapat menurunkan sensitifitas CT
abdomen dalam mendiagnosis cedera organ padat (Vadodariya, Hathila and Doshi,
2014).
Meski keunggulan CT dibandingkan dengan radiologi konvensional telah
terbukti untuk diagnosis cedera intraabdomen, namun penggunaan CT scan masih
kontroversi. Banyak studi menganalisa apakah CT scan dilakukan secara rutin pada
setiap trauma tumpul atau selektif digunakan sesuai temuan klinis yang signifikan.
CT scan menjadi modalitas utama pemeriksaan penunjang untuk diagnosis cedera
22
intraabdomen pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. Tetapi karena
mahalnya biaya yang diperlukan dan banyaknya hasil CT scan yang negatif serta
paparan radiasi menyebabkan strategi lain dalam diagnostik mulai dikembangkan
(Brenner and Hall, 2007).
Salah satu masalah yang paling menarik tentang evaluasi obyektif trauma
tumpul abdomen dengan CT scan adalah apa yang harus dilakukan ketika
ditemukan adanya cairan bebas tanpa tanda-tanda organ padat atau cedera
mesenterika. Ditambah dengan sensitivitas yang relatif kurang bagi CT scan untuk
mendiagnosa cedera viskus berongga, itu menciptakan dilema bagi dokter bedah.
Pilihan yang baik untuk pasien adalah pembedahan eksplorasi abdomen dan
menerima tingkat resiko yang signifikan pada laparotomi nontherapeutic.
Keakuratan CT berkisar antara 92% sampai 98% dengan tingkat positif palsu dan
negatif palsu yang rendah. Indikasi Computerized tomography (CT) adalah: gejala
cedera intraabdomen muncul lebih dari 24 jam setelah trauma, hasil DPL yang
meragukan, adanya kontraindikasi relative untuk DPL, kecurigaan trauma
retroperitoneal seperti adanya hematuria. Sedangkan kontraindikasi dari CT scan
adalah : adanya indikasi untuk laparotomi, kehamilan, agitasi, dan alergi terhadap
media kontras (Vadodariya, Hathila and Doshi, 2014).
Aplikasi diagnostik dan terapeutik dari laparoskopi digunakan dalam
banyak bidang, termasuk juga trauma tumpul abdomen. Indikasi penggunaan
laparoskopi dalam trauma abdomen masih diperdebatkan, tetapi laparoskopi
diagnostik sudah sering dipergunakan untuk evaluasi cedera intraabdomen,
sehingga dapat menentukan manajemen pasien selanjutnya. Syarat mutlaknya
adalah hemodinamik harus stabil. Kelemahan penggunaan laparoskopi pada trauma
abdomen diantaranya : pasien membutuhkan anestesi umum, resiko pneumothraks
pada cedera diaphragm, resiko emboli gas pada trauma vena besar, peningkatan
TIK pada pasien trauma kepala, masalah waktu dan biaya(Justin, Fingerhut and
Uranues, 2017).

23
DPL USG CT-Scan
Indikasi Menentukan Adanya Menentukan adanya Menentukan organ-
perdarahan, dilakukan cairan, dilakukan bila organ yang cedera,
bila tekanan darah tekanan darah dilakukan bila tekanan
menurun. menurun. darah normal.
Keuntungan Diagnosis cepat dan Diagnosis cepat dan Paling spesifik untuk
sensitif (akurasi 98 tidak invasif dan dapat cedera (akurasi 92 – 98
%). diulang (akurasi 86 – %).
97 %).
Kerugian Invasif, tidak bisa Tergantung operator, Biaya mahal, waktu
mengetahui cedera dapat terdistorsi oleh lama, tidak bisa
pada diafragma atau gas usus dan udara di mengetahui cedera
pada retroperitoneal. bawah kulit, selain itu pada diafragma, usus,
tidak bisa mendeteksi dan pankreas.
jejas diafragma, usus,
dan páncreas.
Tabel Perbandingan DPL, USG, dan CT-Scan

Laparoskopi diagnostik digunakan dibanyak bidang. Indikasi alat ini untuk


penggunaan pasien trauma abdomen masih diperdebatkan. Akan tetapi sudah
sering digunakan untuk evaluasi cedera intraabdomen. Maka dari itu, alat ini
bisa menentukan penatalaksanaan pasien selanjutnya. Kekurangan
penggunaan laparoskopi pada pasien trauma abdomen yaitu: resiko emboli
gas pada vena besar, resiko pneumotoraks pada pasien cedera diafragma, dan
masalah waktu dan biaya (Justin, Fingerhut, and Uraneus, 2017).
Pada kejadian awal trauma, pemeriksaan laboratorium tidak banyak
memberi arti. Pemerisaan ini hanya sebagai patokan dalam memonitoring
perkembangan klinik selanjutnya. Pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin
bisa dilakukan untuk mengetahui adanya kehilangan darah juga amylase
untuk mengetahui adanya trauma pankreas. Pasien dengan cedera abdomen
dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan laboratorium yang ditandai
dengan peningkatan jumlah WBC dan laktat. Adanya kerusakan hati juga

24
ditandai dengan meningkatnya transaminase hati (aspartate aminotransferase
atau alanine aminotransferase)

2.1.10 TERAPI
a. Manajemen Non Operatif
Strategis intervensi nonoperatif berdasarkan pemerikaan CT scan dan
kestabilan hemodinamik pasien yang saat ini digunakan dalam
penatalaksanaan trauma organ padat orang dewasa, hati dan limpa.
Angiografi merupakan keutamaan pada manajemen nonoperatif trauma organ
padat pada orang dewasa dari traum tumpul. Digunakan untuk kontrol
perdarahan. Pada trauma tumpul abdomen, termasuk beberapa trauma organ
padat, manajemen nonoperatif yang selektif menjadi standar perawatan (Dana
et al, 2014.
 Berdasarkan diagnosis CT Scan dan stabilitas hemodinamik untuk
pengobatan cedera organ padat, terutama hati dan limpa.
 Angiography sebagai manajemen nonoperative dari cedera organ
padat trauma tumpulpada organ dewasa untu mengontrol
perdarahan.
 Splenic Artery Embolotherapy (SAE) untuk manajemen
nonoperative cedera limpa.
b. Manajemen Operatif (Laparotomi)
Saat didapatkan indikasi laparotomi, dinjurkan pemberian antibiotik
spektrum luas. Insisi midline biasanya menjadi pilihan. Saat abdomen mulai dibuka,
dilakukan dengan memindahkan darah dan bekuan darah, membalut semua 4 kuadran,
dan mengklem semua struktur vaskuler Kerusakan pada lubang berongga dijahit
untuk menghindari
pendarahan yang terjadi. Setelah kerusakan intra-abdomen teratasi dan
perdarahan terkontrol dengan pembalutan, eksplorasi abdomen dengan
teliti kemudian dilihat untuk evaluasi seluruh isi abdomen.
Berdasarkan evaluasi klinis:
 Trauma tumpul dengan hipotensi terus walaupun dilakukan resusitasi.
 Adanya peritonitis : defance muscular dan nyeri seluruh perut
 Hipotensi, syok atau perdarahan tidak terkontrol

25
 Trauma tumpul dengan DPL positif.
 Eviserasi isi perut.
 Perdarahan gaster, rectum, genitourinaria pada trauma tajam.
 Luka tembak melintasi rongga peritoneum, dan retroperitoneum.
 Klinis memburu selama observasi.
Berdasarkan Pemeriksaan Penunjang:
 CT scan dengan kontras ada rupture organ-organ vaskuler.
 Didapatkan hemoperitoneum pada pemeriksaan CT scan.
 Adanya udara bebas intraperitoneal atau retroperitoneal
dan rupture diafragma.

Retroperitoneum dan pelvis wajib diinspeksi setelah trauma intra abdomen


bisa dikontrol. Jangan memeriksa hematom pelvis. Penggunaan fiksasi eksternal
fraktur pelvis untuk mengurangi atau menghentikan kehilangan darah pada daerah
ini. Selanjutnya
menstabilkan pasien dengan memberikan resusitasi cairan dan pemberian suasana
hangat, ini dilakukan setelah sumber pendarahan dapat dihentikan. Setelah semua
telah dilakukan,
melihat pemeriksaan laparotomy dengan cermat dengan mengatasi segala
kerusakan yang terjadi (Dana et al, 2019)
Follow Up : harus dilakukan observasi terhadap pasien, monitoring tanda-
tanda vital, dan mengulangi pemeriksaan fisik. Peningkatan temperature atau
respirasi menunjukkan adanya perforasi viscus atau pembentukan
abses. Nadi dan tekanan darah dapat berubah dengan adanya sepsis atau
perdarahan intra abdomen. Perkembangan peritonitis berdasar pada pemeriksaan
fisik yang mengindikasikan untuk intervensi bedah
2.1.11 PROGNOSA
Prognosis pasien dengan trauma abdomen tergantung dari kecepatan dan
ketepatan diagnostik. Tingkat keparahan trauma dan organ yang mengalami
trauma bergantung pada anamnesis yang diperoleh dari mekanisme cedera,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang segera dilakukan.
2.1.12 KOMPLIKASI

26
Komplikasi tersering dari trauma tumpul abdomen adalah peritonitis hal
ini dikarenakan adanya ruptur yang terdapat pada organ intra-abdomen.
Terjadinya suatu hubungan ke dalam rongga peritoneal dari organ-organ intra-
abdomen (lambung, duodenum, intestinum, esophagus, colon, rectum, kandung
empedu, apendiks, dan saluran kemih) yang dapat disebabkan karena trauma,
darah, benda asing, pancreatitis, PID, dan obstruksi dari usus dapat
mengakibatkan kondisi serius dari suatu kejadian peritonitis. Peritoneum yang
meradang merupakan komplikasi paling berbahaya akibat penyebaran infeksi dari
organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis), rupture saluran verna,
atau luka tembus abdomen yang paling sering ditemukan. Pada kasus rupture
apendiks yang didalamnya terdaat organisme yang hidup di kolon merupakan
organism yang aling sering menginfeksi. Sedangkan streptokokus dan
stafilokokus sering masuk dari luar. Ada trauma tajam atau trauma tembus seperti
ada luka tembak atau luka tusuk tidak perlu dicari tanda-tanda peritonitis karena
jika ditemukan kasus tersebut langsung diindikasikan untuk segera diberikan
intervensi bedah yaitu laparotomi eksplorasi. Beda hal nya dengan trauma tumpul,
Intake Nutrisi Kurang, Kelemahan Fisik, Trauma, Iritasi, Infeksi, Obstruksi, Operasi
Perforasi Lapisan Abdomen, Nyeri. motilitas usus menurun
dilakukan tindakan invasif disfungsi usus resiko infeksi refluks usus output cairan
berlebih abdomen yang seringkali diperlukan observasi dan pemeriksaan berulang
karena tanda peritonitis biasanya timbul secara perlahanlahan (Molmenti et al, 2009)

2.1.12 TATALAKSANA
1. Bed rest, puasa
2. Pasang cairan IVFD
3. Antibiotik profilaksis
4. Pasang NGT, DK
5. Pasang Lingkar Abdomen
6. Monitoring : KU, Tanda-tanda vital, lingkar abdomen, isi NGT, produksi
urine, Hb serial tiap 1 – 2 jam
7. Bila dalam 2 x 24 jam keadaan baik (stabil) : Bisa dicoba MSS, NGT di klem,
dengan kelanjutan diet halus, dan mobilisasi
8. Bila terdapat tensi turun, nadi meningkat, suhu meningkat, RR meningkat, LA
meningkat, muntah kita harus memikirkan adanya perforasi atau peritonitis
27
9. Bila ada tanda – tanda peritonitis, perforasi, internal bleeding maka harus
dilakukan laparotomi.

ALUR PENANGANAN SECARA UMUM

Trauma Tumpul Abdomen

Tanda peritonitis tidak USG : cairan


Hemodinamik stabil ya generalisata ada bebas jelas

tidak ya ya tidak

Perubahan
USG : Cairan Bebas ya laparotomi konservatif
kesadaran,
Makroskopis
hematuria,
Tidak jelas DPL tidak ya HCt < 35 %

CT-Scan ya tidak

USG ulang (30


menit),
HCt ulang (4
jam),
Observasi (8
jam)

28
Indikasi Laparotomi pada trauma tumpul abdomen:
Berdasarkan Evaluasi Klinik :
1. Trauma tumpul dengan hasil DPL dan USG adanya internal bleeding
2. Trauma tumpul dengan hipotensi terus menerus walaupun dilakukan resusitasi adekuat
3. Adanya tanda-tanda peritonitis dini atau yang lanjut
Berdasarkan Evaluasi Radiologis (rontgen):
1. Adanya udara bebas (air sickle) atau ruptura diafragma
2. CT-Scan dengan contrahaz memperlihatkan adanya ruptur organ – organ berongga
intraabdominal.

29
2.2 SYOK HIPOVOLEMIK
2.2.1 DEFINISI
Syok merupakan keadaan ketika sel mengalami hipoksia sehingga
terjadi ketidakseimbangan antara oksigen yang diedarkan ke seluruh
tubuh dan oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini sering disebabkan
karena penurunan perfusi jaringan dan kegagalan sirkulasi (Simmons and
Ventetuolo, 2017).
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya
volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan
hebat (hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke
ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka
bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang paling sering ditemukan
disebabkan oleh perdarahan
sehingga syok hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat
dapat disebabkan oleh berbagai trauma hebat pada organ-organ tubuh atau fraktur
yang yang disertai dengan luka ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama
(Kolecki and Menckhoff,
2016).
Syok hipovolemik dapat didefinisikan sebagai berkurangnya volume sirkulasi
darah dibandingkan dengan kapasitas pembuluh darah total (Roberts, 2012).

2.2.2 ETIOLOGI
Menurut Standl et al. (2018) penyebab dari syok hipovolemi dibagi dalam 4
bagian, yaitu:
a. Syok hemoragik,
dikarenakan adanya perdarahan akut tanpa terjadi cedera pada jaringan lunak.
b. Syok hemoragik traumatik,
dikarenakan adanya perdarahan akut yang disertai cedera pada jaringan lunak
ditambah dengan adanya pelepasan aktivasi sistem imun.
c. Syok hipovolemik
karena kurangnya sirkulasi plasma darah secara kritis tanpa adanya perdarahan.
d. Syok hipovolemik traumatik,

30
karena kurangnya sirkulasi plasma darah secara kritis tanpa adanya perdarahan,
terjadi cedera pada jaringan lunak serta adanya pelepasan aktivasi sistem imun

2.2.3 FISIOLOGI
Secara klinis, syok hemoragik terjadi karena adanya perdarahan pada
pembuluh darah besar seperti perdarahan gastrointestinal, aneurisma aorta, atonia
uteri, perdarahan pada telinga, hidung, tenggorokan. Syok terjadi karena adanya
penurunan secara drastis
volume darah di sirkulasi darah, kehilangan sel darah merah secara massif sehingga
meningkatkan hipoksia pada jaringan. Syok hemoragik traumatic berbeda dengan
syok hemoragik dikarenakan adanya tambahan cedera pada jaringan lunak yang
memperparah terjadinya syok. Syok ini biasanya terjadi karena ada cedera seperti
kecelakaan dan jatuh dari ketinggian. Perdarahan difus, hipotermia (< 340C) dan
asidosis merupakan tanda yang mengancam jiwa (Gänsslen et al., 2016.).
Cedera pada jaringan lunak menyebabkan peradangan post akut, sehingga
semakin menguatkan proses dari terjadinya syok. Pada tingkat sirkulasi mikro,
interaksi leukosit-endotel
dan penghancuran proteoglikan dan glikosaminoglycan yang terikat dengan
membrane endotel menyebabkan adanya disfungsi mikro vascular dan terjadi sindrom
kebocoran kapiler (Standl et al., 2018). Di intraseluler tingkat ketidakseimbangan
metabolise terjadi karena
kerusakan mitokondria dan pengaruh negatif pada sistem vasomotor (Standl et al.,
2018).
Syok hypovolemia maupun syok hypovolemia traumatik menunjukan tanda
terjadinya kehilangan cairan tanpa adanya perdarahan. Syok hypovolemia dalam arti
yang lebih sempit muncul karena adanya kehilangan cairan baik dari internal maupun
eksternal dengan
ketidakadekuatan intake cairan ke tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh hipertermi,
muntah atau diare persisten, masalah pada ginjal. Penyerapan sejumlah besar cairan
ke dalam abdomen dapat menjadi penyebab utama berkurangnya sirkulasi volume
plasma. Secara patologis peningkatan hematokrit, leukosit dan trombosit dapat
merusak sifat reologi darah dan
dapat merusak organ secara persisten walaupun pasien telah mendapatkan terapi
untuk syok (Standl et al., 2018). Syok hypovolemia traumatic terjadi karena luka
31
bakar yang luas,
luka bakar kimiawi, dan luka pada kulit bagian dalam. Trauma yang
terjadi juga mengaktivasi koagulasi dan sistem imun, dan memungkinkan perburukan
pada makro-mikro sirkulasi. Reaksi peradangan menyebabkan kerusakan pada
endothelium, meningkatkan sindrom kebocoran kapiler, dan beberapa karena
koagulopati (Standl et al., 2018)

2.2.4 GEJALA KLINIS


Menurut (Hardisman, 2013), tanda dan gejala syok hypovolemia ditentukan
berdasar stadium yaitu:
a. Stadium-I
adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah hingga maksimal
15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh mengkompensai dengan
dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi penurunan refiling kapiler. Pada
saat ini pasien juga menjadi sedkit cemas atau gelisah, namun tekanan darah
dan tekanan
nadi rata-rata, frekuensi nadi dan nafas masih dalam kedaan normal.
b. Stadium-II
adalah jika terjadi perdarahan sekitar 15-30%. Pada stadium ini vasokontriksi
arteri tidak lagi mampu menkompensasi fungsi kardiosirkulasi, sehingga
terjadi takikardi, penurunan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi,
refiling kapiler yang
melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi lebih
cemas.
c. Stadium-III
bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-gejala yang muncul pada
stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi terus meningkat hingga
diatas 120 kali permenit, peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali
permenit, tekanan nadi dan
tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang sangat lambat.
d. Stadium-IV
adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari 40%. Pada saat ini
takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian lemah sampai tidak
teraba, dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III terus memburuk.
32
Kehilangan volume sirkulasi lebih
dari 40% menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil
dan disertai dengan penurunan kesadaran ata

2.2.5 DIAGNOSA
Pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis syok
(Kowalak, 2011) yaitu:
a. Nilai hematokrit dapat menurun pada perdarahan atau meninggi pada
jenis syok lain yang disebabkan hypovolemia.
b. Pemeriksaan koagulasi dapat mendeteksi koagulopati akibat DIC
(Diseminata Intravascular Coagulation).
c. Pemeriksaan laboratorium dapat mengungkapkan kenaikan jumlah sel darah
putih dan laju endap darah yang disebabkan cedera dan inflamasi, kenaikan
kadar ureum dan kreatinin akibat penurunan perfusi renal, peningkatan serum
laktat yang terjadi sekunder karena metabolism anaerob, kenaikan kadar
glukosa serum pada stadium
dini syok karena hati melepas cadangan glikogen sebagai respon
terhadap stimulasi saraf simpatik.
d. Analisis gas darah arteri dapat mengungkapkan alkalosis respiratorik pada
syok dalam stadium dini yang berkaitan dengan takipnea, asidosis respiratorik
pada stadium selanjutnya yang berkaitan dengan depresi pernapasan, dan
asidosis metabolik pada stadium selanjutnya yang terjadi sekunder karena
metabolism anaerob

2.2.6 KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi pada syok meliputi (Kowalak,2011) :
a. Sindrom distress pernapasan akut
b. Nekrosis tubuler akut
c. Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC)
d. Hipoksia serebral
e. Koma

2.2.10 TATALAKSANA

33
Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-
tanda vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya kondisi
tersebut dipertahankan dan dijaga agar tetap pada kondisi satabil. Penatalaksanaan
syok hipovolemik tersebut yang utama terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh
atau darah yang hilang
(Kolecki and Menckhoff, 2016).
Standl et al. (2018) menyatakan bahwa penanganan syok hipovolemik terdiri
dari resusitasi cairan menggunakan cairan kristaloid dengan akses vena perifer, dan
pada pasien karena perdarahan, segera kontrol perdarahan (tranfusi). Dalam
mencegah terjadinya hipoksia,
disarankan untuk dilakukan intubasi dengan normal ventilasi. Menurut Kolecki &
Menckhoff (2016) Cairan resusitasi yang digunakan adala cairan isotonik NaCl 0,9%
atau ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB
pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan
bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat
perbaikan hemodinamik, maka pemberian kristaloid terus dilanjutkan. Pemberian
cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan volume darah yang hilang dalam waktu
satu jam, karena distribusi cairan kristaloid
lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial. Jika tidak terjadi
perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan pemberian koloid, dan
dipersiapkan pemberian darah segera.

34
35

Anda mungkin juga menyukai