Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN
Trauma abdomen meningkat dari tahun ketahun. Jejas pada abdomen dapat
disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Mortalitasnya cenderung lebih tinggi pada
trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk sesuai dengan lajunya pembangunan,
penambahan ruas jalan, dan jumlah kendaraan. Secara historis, trauma tumpul abdomen lebih
sering terjadi pada kasus gawat darurat akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh, olah raga,
kecelakaan kerja atau perkelahian. 20 % dari kejadian trauma tumpul abdomen memerlukan
laparotomi Pada trauma tumpul dengan velositas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya
menimbulkan kerusakan satu organ dan kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh dan abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa
perforasi organ padat berupa perdarahan. Syok dan peritonitis. Sedangkan trauma velositas
tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel, seperti organ padat (hepar, lien, ginjal)
dari pada organ-organ berongga (Wim De Jong, Sjamsuhidajat R : 2003).
Sedangkan organ yang paling sering terkena adalah limpa yaitu sekitar 40-55% kasus
karena limpa merupakan organ yang paling rapuh, terutama cedera di region abdomen kiri
atas atau dada kiri bawah. Hati (35-45%), dan usus halus (5-10%) menduduki peringkat
yang selanjutnya akibat trauma, karena hati membutuhkan benturan dengan kekuatan yang
lebih kuat. Sedangkan cedera pada pankreas dan duodenum sangat jarang terjadi akibat
trauma tumpul dan biasanya terjadi akibat benturan yang sangat keras. Kejadian trauma
tumpul pada ginjal sekitar 80-90%, cedera ginjal umumnya disertai trauma berat yang yang
disertai dengan cedera organ lain (Charlotte: 2007, George and Clive : 2008, dan Wim De
Jong, Sjamsuhidajat R : 2003).
Trauma tumpul abdomen merupakan suatu masalah yang serius dan memerlukan
penanganan segera karena cedera organ dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang bisa
mempengaruhi status hemodinamik pasien. Faktor ketepatan dan kecepatan diagnosis
memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan. Hal tersebut masih merupakan
tantangan bagi ahli medis, walaupun teknik diagnostik baru sudah banyak dipakai, seperti
Ultrasonografi (USG), Computed Tomografi, dan laparaskopi.(Charlotte: 2007).

BAB II
5

TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Anatomi Abdomen
Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh, bentuknya lonjong dan meluas dari
diafragma hingga pelvis (Agung, 2010). Rongga ini berisi visera dan dibungkus dinding
(abdominal wall) dari otot-otot, kolumna vertebralis, dan ilia (Dorland, 2002). Pada bagian
superior, dinding abdomen dibentuk oleh diafragma yang memisahkan kavitas abdominalis
dari kavitas thorakalis. Pada bagian inferior, kavitas abdominalis melanjutkan diri menjadi
kavitas pelvis melalui apertura pelvis superior. Di bagian posterior, dinding abdomen di garis
tengah dibentuk oleh kelima vertebra lumbales dan diskus intervertebralisnya, bagian lateral
dibentuk oleh 12 kosta, bagian atas oleh muskulus psoas mayor, muskulus kuadratus
lumborum, dan aponeurosis origo muskulus transverses abdominis. Dinding abdomen
dibatasi oleh selubung fascia dan peritoneum parietale (Snell, 2006).

Gambar 1. Batas rongga abdomen

Ada beberapa cara untuk membagi permukaan dinding perut dalam beberapa region
dengan menarik garis tegak lurus terhadap garis median melalui umbilicus. Dengan cara ini
dinding depan abdomen terbagi atas 4 daerah yaitu:
1) Kuadran kanan atas
2) Kuadran kiri atas
3) Kuadran kiri bawah
4) Kuadran kanan bawah
6

Berdasarkan pembagian yang lebih rinci, abdomen terbagi menjadi sembilan daerah
yang dibatasi oleh empat garis bayangan pada dinding anterior, dua diantaranya berjalan
horizontal mengelilingi badan (yang atas setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah
setinggi bagian atas krista iliaka), dan dua lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari
tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentun inguinale (Dorland, 2002).
Permukaan abdomen terbagi atas 9 regio :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)

Regio epigastrium
Region hipokondrium kanan
Region hipokondrium kiri
Region umbilicus
Region lumbal kanan
Region lumbal kiri
Region hipogastrium atau region suprapubik
Region iliaka kanan
Region iliaka kiri

Gambar 2. Pembagian permukaan abdomen

Berdasarkan letaknya, organ dalam abdomen terbagi menjadi dua, yaitu organ
intraperitoneal dan retroperioneal. Organ-organ intraperitoneal diantaranya lambung, hepar,
duodenum, pankreas, kolon, dan organ-organ saluran pencernaan yang lain. Adapun organ
yang terletak retroperitoneal seperti ginjal, aorta, dan vena kava inferior (Srivathsan, 2009).
Secara garis besar organ-organ dalam abdomen dapat diproyeksikan pada permukaan
abdomen walaupun tidak setepat dada antara lain :
1. Hati atau hepar berada di daerah epigastrium dan di daerah hipokondrium
kanan.
7

2. Lambung berada di daerah epigastrium.


3. Limpa berkedudukan di daerah hipokondrium kiri.
4. Kandung empedu atau vesika felea seringkali berada pada perbatasan daerah
hipokondrium kanan dan epigastrium.
5. Kandung kemih yang penuh dengan uterus pada orang hamil dapat teraba di
daerah hipogastrium.
6. Appendiks berada di daerah antara daerah iliaka kanan dan bagian bawah
daerah umbilikal.
II.2 Trauma
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja sehingga
menyebabkan luka (Amro, 2006). Trauma dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga
terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai organ.
Penderita dengan trauma berat mengalami gangguan faal yang penting, seperti kegagalan
fungsi membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan sistem imunologi, dan dapat pula
terjadi koagulasi intravaskuler menyeluruh (DIC=disseminated intravascular coagulation).
Trauma pada abdomen terbagi berdasarkan kejadian, yaitu trauma tumpul dan trauma
tembus (Srivathsan, 2009). Pada trauma tembus perbedaan antara benda-benda berkecepatan
tinggi dan rendah mempunyai arti penting. Luka kecepatan rendah yang biasa terjadi ialah
pada penikaman dengan senjata tajam. Proses penikaman dapat dibedakan menjadi dua
macam berdasarkan energinya, yaitu tikaman dengan energi kinetik rendah dan energi kinetik
tinggi. Pada tikaman dengan energi kinetik yang rendah, korban sering dapat melihat
datangnya dan mengelak pada saat tikaman tersebut terjadi. Dengan demikian, penetrasi
rongga perut yang dalam jarang terjadi.
Tikaman dengan energi kinetik yang tinggi dipakai dengan maksud terang-terangan
membunuh. Luka-luka tersebut menembus dalam dan sering kompleks. Peluru berkecepatan
tinggi dari pistol atau pecahan-pecahan granat yang meledak dapat menembus dalam dan
mengikuti jalan yang aneh, secara luas merusak segala sesuatu atau apa saja di sekitar
lintasannya (Dudley, 1992).
Trauma tumpul meliputi benturan langsung, pukulan, kompresi, dan deselerasi
(cedera perlambatan). Dapat juga terjadi counter coup, yaitu trauma tumpul yang berat, tidak
ada luka di luar, tapi ada jejas organ di visera akibat desakan luka atau organ viscera. Trauma
intra abdomen karena hantaman sering dikaitkan dengan faktor tumbukan antara orang yang

cedera dan kondisi di luar tubuh individu tersebut, serta kekuatan akselerasi dan deselerasi
yang bekerja terhadap organ dalam abdomen (Rahmawati, 2006).
II.3. Trauma Tumpul Abdomen
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan
imunologi dan gangguan faal berbagai organ. Trauma tumpul abdomen didefinisikan sebagai
kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan
oleh luka tumpul atau yang menusuk. Pada trauma tumpul dengan velositas rendah (misalnya
akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ dan kadang tidak menimbulkan
kelainan yang jelas pada permukaan tubuh dan abdomen dapat menimbulkan cedera pada
organ berongga berupa perforasi organ padat berupa perdarahan. Sedangkan trauma velositas
tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multiple, seperti organ padat (hepar, lien, ginjal)
dari pada organ-organ berongga (Wim De Jong, Sjamsuhidajat R : 2003 dan Charlotte: 2007).
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis:
a. Trauma penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk
b. Trauma non-penetrasi : diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme utama, yaitu tenaga
kompresi (hantaman), tenaga deselerasi dan akseleasi. Tenaga kompresi (compression
or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau kompresi eksternal
terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan/crash, atau sabuk
pengaman yang salah/belt injury. Hal yang sering terjadi hantaman menyebabkan
sobek dan hematom subkapsular pada organ padat visera. Hantaman juga dapat
menyebabkan

peningkatan

tekanan

intralumen

pada

organ

berongga

dan

menyebabkan ruptur (Salomone & Salomone, 2011). Tenaga deselerasi menyebabkan


regangan dan sobekan linier organ-organ yang terfiksasi. Cedera deselerasi klasik
termasuk hepatic tear sepanjang ligamentum teres dan cedera intima pada arteri
renalis (Salomone & Salomone,2011). Cedera akselerasi trauma pada dinding
abdomen terdiri dari kontusio dan laserasi. 1 ) Kontusio dinding abdomen tidak
terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah
dalam jaringan lunak dan masa darah dapatmenyerupai tumor. 2). Laserasi, jika
terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus di
eksplorasi (Sjamsuhidayat, 2003).
II.4. Etiologi dan Faktor Resiko

Trauma tumpul, yaitu trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga


abdomen dapat disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan
lalu lintas (50-75%) yang meliputi tabrakan antar kendaraan bermotor (antara 45-50%) dan
tabrakan antara kendaraan bermotor dengan pejalan kaki. (Sjamsuhidayat, 2003). Cedera
akibat berolahraga, ledakan, benturan, pukulan deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman
(seat belt syndrome). Trauma tumpul abdomen merupakan akibat dari kompresi, crushing,
regangan, atau mekanisme deselerasi (Charlotte, 2007 dan George and Clive, 2008). Trauma
pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu:
1. Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum.
Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan,
kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan,
deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas.(Ignativicus,2006)
2. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum.
Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak. .
(

Ignativicus,2006). Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya

banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor,


kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan
trauma ketika tubuh pasien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya. .
(

Ignativicus,2006). Pengemudi dan penumpang disebelahnya yang tidak memaki

sabuk pengaman dapat mengalami lima fase pergerakan bila terjadi tabrakan dari
depan yang mengakibatkan trauma deselerasi:
1. Korban akan tersungkur ke depan dan lututnya membentur dashboard sehingga
terjadi fraktur patella dan atau luksasi sendi panggul.
2. Kepala membentur bingkai kaca depan yang dapat menyebabkan trauma kepala,
cedera otak, dan fraktur servikal.
3. Dada membentur kemudi sehingga menyebabkan fraktur sternum, iga dan cedera
jantung atau paru.
4. Kepala membentur kaca depan sehingga terjadi trauma wajah
5. Korban terbanting kembali ke tempat duduknya dan kalau tidak ada senderan
kepala, akan terjadi cedera gerak cambuk (whiplash) pada tulang leher.
10

Gambar 3. Trauma Abdomen akibat penggunaan sabuk yang salah

Trauma pada pengendara sepeda motor atau sepeda juga khas. Sekitar 60-75% korban
menderita cedera pada daerah tibia karena bemper mobil tingginya sama dengan tungkai
bawah. Selain itu, korban akan terlempar ke jalan atau ke atas dan kepala membentur bingkai
atas kaca mobil sehingga terjadi terjadi hiperekstensi kepala dengan cedera otak dan cedera
tulang leher. Harus juga diingat kemungkinan terjadinya cedera perut pada pengemudi motor;
dalam hal ini usus terjepit di antara setang setir dan tulang belakang, namun pada
pemeriksaan fisik hanya ada jejas pada baju atau kulit perut. Pembonceng akan mengalami
hal yang sama kecuali cedera kemudi sepeda motor. (Wim De Jong, Sjamsuhidajat R : 2003)
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen
dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma
pada organ internal diabdomen. .(Ignativicus, 2006)
Trauma kompresi terjadi bila orang tertimbun runtuhan atau longsoran yang
menimbulkan tekanan secara tiba-tiba pada rongga dada atau perut. Cedera ledak adalah luka
atau kerusakan jaringan akibat ledakan granat, bom, atau ledakan dalam air. Kerusakan
jaringan dapat disebabkan oleh pecahan logam atau energi yang ditimbulkan oleh ledakan.
( Wim De Jong, Sjamsuhidajat R : 2003)
Trauma merupakan penyebab tertinggi kematian pada orang dewasa yang berusia
dibawah 40 tahun dan menduduki peringkat ke 5 penyebab kematian pada semua orang
dewasa. .(Ignativicus,2006)
II.5. Patofisologi Trauma Tumpul Abdomen
Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh
tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di
bawahnya. B e n t u r a n p a d a t r a u m a t u m p u l a b d o m e n d a p a t m e n i m b u l k a n
11

c e d e r a p a d a o r g a n berongga berupa perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan.


Cedera deselerasi sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena setelah
tabrakan badan masih melaju dan tertahan suatu benda keras sedangkan bagian
tubuh yang relatif tidak terpancang bergerak terus dan mengakibatkan robekan
pada organ tersebut. Pada intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering
mencederai organ limpa (40-55%), hati (35-45%), dan usus halus (5-10%).
Sedangkan pada retroperitoneal,organ yang paling sering cedera adalah ginjal,
dan organ yang paling jarang cedera adalah pankreas dan ureter (Charlotte, 2007 dan
George and Clive, 2008).
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan adanya
deselerasi

cepat

dan

adan ya

organ-organ

yang

tidak

mempunyai

k e l e n t u r a n ( n o n c o m p l i e n t organ) seperti hati, limpa, pankreas, dan ginjal. Kerusakan


intra abdominal sekunder u n t u k k e k u a t a n t u m p u l p a d a a b d o m e n s e c a r a u m u m
d a p a t d i j e l a s k a n d e n g a n 3 mekanisme, yaitu :
1) Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di antara struktur.
Akibatnya, terjadi tenaga potong dan menyebabkan robeknya organ berongga, organ
padat, organ viseral dan pembuluh darah, khususnya pada ujung organ yang
terkena. Contoh pada aorta distal yang mengenai tulang torakal. Akibatnya,
gaya potong pada aorta dapat menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat
terjadi pada pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic junction.
2) Isi intra-abdominal hancur di antara dinding abdomen anterior dan
columna vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan
remuk, biasanya organ padat (limpa, hati, dan ginjal) terancam.
3) Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen
yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan ruptur organ
berongga.
Berat ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang
terkena cedera.
Menurut Anonim (2008), patofisiologi dari trauma tumpul abdomen terdiri dari :
a. Kehilangan darah
o Limpa dan hati memiliki banyak suplai dan simpanan darah sehingga terjadi
kehilangan darah dengan cepat.
12

o Konsistensi jaringan hati dan lien menyebabkan jaringan sulit melakukan


proses homeostasis.
o Perdarahan pada kavum retroperitoneal sulit untuk dievaluasi dan di diagnosis.
b. Nyeri
o Nyeri, kekakuan, tegang pada abdomen merupakan tanda klasik patologi
intraabdomen.
o Nyeri tekan dan defans muscular disebabkan karena pergerakan yang tiba-tiba
dan iritasi membran peritoneal hingga ke dinding abdomen.
o Iritasi disebabkan adanya darah atau isi lambung pada kavum peritoneal.
o Cedera duodenum dan pankreas menyebabkan perdarahan dan berefek
mengaktifkan enzim di sekitar jaringan sehingga memicu peritonitis kimiawi
area retroperitoneal.
o Tanda dan gejalan cedera pankreas dan duodenum adalah :
i. Nyeri tekan abdomen yang difus
ii. Penjalaran nyeri pada area epigastrium sampai ke punggung.
II.6. Komplikasi pada Trauma Tumpul Abdomen
Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada
trauma tumpul dengan velositas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan
kerusakan satu organ. Sedangkan trauma velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan
organ multiple, seperti organ padat (hepar, lien, ginjal) dari pada organ-organ berongga
(Sorensen: 1987).Yang mungkin terjadi pada trauma abdomen (Wim De Jong, Sjamsuhidajat
R : 2003):
1. Perforasi
Gejala perangsangan peretonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia atau
mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung, maka terjadi
perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis
hebat. Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon, mula-mula timbul gejala
karena gejala-gejala akut abdomen karena perangsangan karena perangsangan
peritoneum.
2. Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak) dapat
menimbulkan perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada trauma adalah
alat-alat parenkim, mesenterium, dan ligamen. Sedangkan alat-alat traktus digestivus
13

pada trauma tumpul biasanya terhindar. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul
lebih sulit dibandingkan dengan trauma tajam.
Perdarahan dari aorta atau vena kava dapat menyebabkan kematian dalam 30 detik.
Gejala klinis perdarahn bergantung pada volume darah yang keluar, yaitu berupa
takikardia, hipotensi, pucat, gelisah. Gejala ini dapat segera timbul atau setelah
muncul waktu yang lebih lama.
3. Gangguan koagulasi
Setelah perdarahan dan transfusi massif pada penderita trauma sering dijumpai
gangguan koagulasi. Keadaan ini dapat disebabkan oleh pemakaian darah yang
disimpan lama, hipotermia, gangguan pembekuan akibat habis dipakainya faktor
pembekuan I, II, VIII, serta gangguan fungsi trombosit. Gangguan fungsi trombosit
terjadi karena darah yang disimpan lama trombositnya sesudah dikeluarkan, atau pada
transfuse terjadi dilusi trombosit sehingga terjadi trombositopenia. Hipotermia dapat
menyebabkan sekuesterasi trombosit. Pada perdarahan berlebihan cadangan faktor
pembekuan dalam tubuh akan berkurang atau habis. Keadaan ini disebut sebagai
koagulopati konsumtif.
4. Sepsis
Sepsis merupakan penyebab kematian tersering pada penderita trauma. Infeksi pasca
trauma sangat bergantung pada usia penderita, waktu antara trauma dan
penanggulangannya, kontaminasi luka, jenis, dan sifat luka, kerusakan jaringan, syok,
jenis tindakan, dan pemberian antibiotik. Jenis luka terkontaminasi atau luka kotor
pun hampir selalu diikuti dengan infeksi pasca bedah.
5. Gagal organ
Pascatrauma abdomen dapat terjadi kegagalan fungsi beberapa organ seperti:
a. Gagal hati
Hiperbilirubinemia dengan ikterus pada penderita trauma dapat terjadi
prahepatik,

insufisiensi

hepatoselular,

yaitu

hepatik,

atau

obstruksi

pascahepatik. Perlu diingat bahwa ikterus prahepatik dapat pula terjadi karena
hemolisis akibat transfuse darah inkompatibel atau reabsorpsi hematom.
Insufisiensi hepatoselular dengan ikterus hepatik terjadi pada nekrosis
sel hati karena hipoksia, hipotensi, inflamasi, atau reseksi hati akibat trauma.
Hepatitis pasca transfusi dapat pula menyebabkan insufisiensi ini dan
menimbulkan ikterus hepatik dalam minggu ketiga pasca trauma.
14

b. Gagal ginjal
Gagal ginjal pasca trauma sering berupa gagal ginjal akut yang dapat
timbul terutama pada orang diatas usia 60 tahun, penderita penyakit ginjal,
syok berat yang lebih lama dari setengah jam, sepsis atau penggunaan obat
nefrotoksik. Hipovolemia menurunkan aliran darah ke korteks sehingga ginjal
tidak mampu mengonsentrasi urin dan akhirnya terjadi nekrosis tubuler akut.
Pada nekrosis tubuler akut secara klinis ditemukan anuria atau oliguria yang
harus dibedakan dengan pengaruh hipovolemia. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan ureum dan kreatinin guna memantau fungsi ginjal. Namun
demikian, regenerasi masih mungkin terjadi dalam waktu 6 minggu, uremia
sewaktu itu dapat diatasi dengan restriksi pemasukkan air dan dialysis darah.
6. Syok
Penyebab utama syok pada pasien trauma adalah berkurangnya volume cairan
intra vaskular, suatu keadaan yang sering diakibatkan oleh perdarahan.
II.7. Angka Kejadian Trauma Tumpul pada Abdomen
Organ
Liver
Spleen
Retroperitoneal hematoma
Kidney
Urinary bladder
Intestine
Mesentery
Pancreas
Diaphragm
Urethra
Vascular

Angka kejadian (%)


30
25
13
7
6
5
5
3
2
2
2

Tabel 1. Angka kejadian trauma abdomen berdasarkan organ yang terkenai (Mulholland, dkk : 2006).

a. Trauma Limpa
Limpa merupakan organ yang paling sering cedera pada trauma tumpul abdomen,
Sering terjadi hemoragi atau perdarahan masif yang berasal dari limpa yang ruptur sehingga
semua upaya dilakukan untuk memperbaiki kerusakan di limpa. Organ ini harus
dipertahankan sebisa mungkin karena bahaya dapat terjadi sepsis pasca splenektomi. Dalam
satu studi menyebutkan bahwa ada peningkatan risiko sepsis sebanyak 58 kali lipat, 2,4 %
15

dari semua pasien pasca splenektomi mengalami sepsis dan lebih dari 50% fatal (Sabiston:
2007).

Gambar 4. Trauma limpa (diambil dari http://www.myoptumhealth.com/portal/ADAM/item)

Patofisiologi
Limpa terletak tepat di bawah rangka torak kiri, tempat yang rentan untuk
mengalami perlukaan karena limpa merupakan organ yang paling rapuh. Limpa membantu
tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di dalam tubuh dan menyaring semua material
yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah rusak. Limpa juga
memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel darah putih. Robeknya
limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga abdomen. Ruptur pada
limpa biasanya disebabkan hantaman pada abdomen kiri atas atau
a b d o m e n k i r i bawah.
Pada pemeriksaan fisik, gejala yang khas adanya hipotensi karena
p e r d a r a h a n . Kecurigaan terjadinya ruptur limpa dengan ditemukan adanya fraktur costa
IX dan X k i r i , a t a u s a a t a b d o m e n k u a d r a n k i r i a t a s t e r a s a s a k i t s e r t a
ditemukan adanya takikardi.

16

Tabel 2. Skala cedera limpa (Sabiston: 2007)

Gambar 5. Rupture limpa grade III dan grade V

Penatalaksanaan
CT scan dapat membantu menentukan tata laksana yang akurat dan klasifikasi dari
beratnya cedera. Hematom dan robeknya jaringan kapsular yang tidak dalam dapat ditangani
secara konservatif. Cedera yang lebih parah di tata laksana dengan laparotomi darurat dan
splenorraphy jika memungkinkan. Di dalam studi, termasuk trauma tertutup dan luka tusuk,
splenprraphy dapat dilakukan dari 45% kasus, dan risiko terjadinya perdarahan ulang sangat
kecil. Untuk perbaikannya, limpa di mobilisasi dan perdarahan dikontrol dengan dilakukan
klem pada hilus lienalis, perbaikkan dilakukan dengan jahitan langsung, lem fibrin atau tas
mesh yang dapat diserap. Jika ini insufisient, reseksi segmental atau ligasi arteri lienalis dapat
dilakukan, tetapi setidaknya 50 % dari substansi limpa harus dipertahankan untuk

17

mempertahankan fungsi limpa itu sendiri. Splenektomi diindikasikan hanya untuk kerusakan
limpa yang sangat parah (Mulholland, dkk : 2006).
b. Trauma Hepar dan Saluran Empedu
Trauma jaringan hati baik karena trauma tumpul maupun tajam sering terjadi. Hati
merupakan organ intraabdomen yang paling sering terkena trauma setelah limpa. Perlukaan
pada hati dapat bersifat superficial dan ringan. Tetapi dapat pula bersifat laserasi dalam yang
berat, yang menimbulkan kerusakan pada system saluran empedu intrahepatik (Wim De Jong,
Sjamsuhidajat R : 2003).

Gambar 6. Trauma hepar grade V (Karim: 2006)

Hati merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh
luka tembus dan sering kali kerusakan disebabkan oleh trauma tumpul. Hal utama yang
dilakukan apabila terjadi perlukaan dihati yaitu mengontrol perdarahan dan mendrainase
cairan empedu. Cedera yang relative kecil pada hepar dapat di tata laksana dengan
pembedahan atau reseksi local, tetapi cedera yang berat cara terbaik diobati adalah secara
konservatif.

18

Tabel 3. Derajat cedera hepar (sabiston: 2007)

Sedangkan trauma saluran empedu ekstrahepatik saja sangat jarang ditemukan karena
terlindung oleh jaringan hati dan tulang iga. Perlukaan hepatobilier dapat disebabkan oleh
trauma tumpul atau luka tembus dinding perut yang mungkin berupa trauma tajam.
Mekanisme yang ditimbulkan akibat efek kompresi dan deselerasi. Yang paling sering cedera
bersama dengan hati adalah organ intratoraks, yaitu jantung, paru, atau diafragma, disusul
berurutan oleh lambung, usus halus, ginjal, usus besar, limpa, pankreas, dan pembuluh darah
besar (Wim De Jong, Sjamsuhidajat R : 2003).
Meskipun dapat diduga sebelum operasi, trauma hepatobilier lebih sering baru
diketahui sewaktu laparatomi eksplorasi. Kecurigaan trauma berdasarkan lokasi trauma dan
terdapatnya fraktur iga di bawahnya. Apabila terjadi hemobilia, terdapat trias yaitu tanda
perdarahan saluran pencernaan bagian atas, ikterus, dan nyeri perut kanan atas (Wim De
Jong, Sjamsuhidajat R : 2003).
Tata laksana
Tata laksana trauma hepatobilier meliputi tiga upaya dasar yaitu mengatasi
perdarahan, mencegah infeksi dengan debrideman jaringan hati yang avaskular dan
pengaliran, serta rekonstruksi saluran empedu. Teknik pembedahan untuk menghentikan
perdarahan secara definitive antara lain dengan ligasi a. hepatica atau cabangnya, langkah
selanjutnya untuk mengatasi perdarahan adalah reseksi parsial hati (Wim De Jong,
Sjamsuhidajat R : 2003).
Prognosis
Lebih dari dua pertiga kematian penderita cedera hepatobilier terjadi dalam waktu 24
jam pertama. Kematian akibat trauma hati murni sekitar 5% dan meningkat dengan
bertambahnya jumlah trauma alat yang menyertainya (Wim De Jong, Sjamsuhidajat R :
2003).
Penyulit
Komplikasi lain selain perdarahan adalah infeksi paru, infeksi luka operasi, abses
subfrenik, dan abses hati. Selain itu, dapat terjadi fistel empedu, striktur saluran empedu dan
obstruksi usus (Wim De Jong, Sjamsuhidajat R : 2003).
c. Pankreas
Trauma tumpul pada pankreas terjadi akibat pankreas yang letaknya terfiksasi
sehingga mudah terjepit antara tulang vertebra di bagian belakang sebagai landasannya
dengan benturan yang datang dari arah anterior. Biasanya terjadi kerusakan pada leher
pankreas, disertai kerusakan pembuluh darah mesenterikal. Cedera tumpul pankreas ini sering
19

disertai dengan trauma organ lain, seperti duodenum, limpa dan saluran empedu (Wim De
Jong, Sjamsuhidajat R : 2003).
Gambaran klinis
Sering terdapat jarak waktu antara periode laten antara saat terjadinya trauma sampai
terlihat gejala klinis. Gejala utama dari trauma pankreas adalah nyeri, baik berupa nyeri yang
menembus ke pinggang atau nyeri tekan pada pemeriksaan fisik abdomen. Bila trauma
pengkreas disertai dengan perdarahan intraabdominal, hal ini merupakan indikasi untuk
laparatomi. Dengan laparatomi eksplorasi, kerusakan pankreas lebih mudah dipastikan (Wim
De Jong, Sjamsuhidajat R : 2003).
Keluhan nyeri yang continue dengan perangsangan nyeri peritoneum, demam, disertai
ileus paralitik merupakan petunjuk yang lebih tegas kemungkinan trauma pankreas.
Pemeriksaan Rongten baku dengan atau tanpa kontras tidak banyak menolong diagnosis.
Pemeriksaan ultrasonografi dan CT Scan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis
kelainan pankreas (Wim De Jong, Sjamsuhidajat R : 2003).

Tabel 4. Skala cedera pankreas (Sabiston: 2007)

Pemeriksaan lavase peritoneal diagnostik dapat membantu menegakkan diagnosis bila


ditemukan cairan atau sel darah merah berjumlah 100.000 sel/mm 3 dengan kadar amylase
yang tinggi (Wim De Jong, Sjamsuhidajat R : 2003).
Tata laksana
Angka komplikasi dan mortalitas trauma pankreas tinggi. Terutama bila tindakan
bedah tertunda, biasanya laparatomi eksplorasi dini dianjurkan, baik pada trauma tumpul
maupun trauma tajam. Cara eksplorasi yakni dengan membuka kavun omentale melalui
ligamentum gastrokolikum sehingga dapat dilihat seluruh jaringan korpus dan ekor pankreas.
Kerusakan pada hulu pankreas dan deudonum dapat dilihat melalui mobilisasi duodenum dari
20

kanan menurut Kocher sehingga dapat dilihat keseluruhan duedonum, pankreas, duktus
koledokus (Wim De Jong, Sjamsuhidajat R : 2003).
Prinsip penanggulangan pada trauma pankreas, yaitu 1. Ada atau tidaknya trauma
pada saluran pankreas mayor, dan 2. Lokasi anatomi pankreas mengalami trauma. Jaringan
pankreas yang terluka harus dibersihakan dan dijahit. Bila bagian ekor rusak maka dilakukan
pangkreatektomi (Wim De Jong, Sjamsuhidajat R : 2003).
Prognosa dan penyulit
Angka kematian pada cedera pankreas yaitu sekitar 20%. Komplikasi yang gawat dari
trauma pankreas adalah fistel, pseudokista, infeksi dan perdaraham yang tertunda. Fistel dan
pseudokista terjadi karena terlukanya duktus pangkreatikus, sementara sekresi pankreas tetap
berlangsung sehingga cairan terkumpul di daerah luka. Riwayat anamneses pada pasien
dengan pseudokista, psien mengeluh nyeri perut yang berangsur-angsur membaik, tetapi
perut menjadi lebih besar dalam waktu beberapa minggu atau bulan. Pseudokista terjadi pada
sekitar 30% dari seluruh trauma pankreas (Wim De Jong, Sjamsuhidajat R : 2003).
d. Usus halus
Trauma usus halus adalah organ yang paling sering terkena akibat trauma tumpul
abdomen. Dengan angka insidensinya antara 5% sampai 20% kasus. Trauma tumpul pada
usus kecil yang sering terkena di jejunum proksimal dan ileum distal, kemungkinan karena
usus terfiksasi di dua poin ini. Karena itu sangat rentan untuk trauma karena tarikan atau
regangan. Mekanisme terjadinya trauma tumpul pada usus halus sebagai berikut (Mulholland,
dkk : 2006 dan Sabiston: 2007) :
1. Crushing cedera dari usus di antara corpus vertebra dan benda tumpul, seperti roda
kemudi atau setang
2. Perlambatan geser dari usus kecil pada titik-titik tetap, seperti ligamentum dari Treitz
dan katup ileocecal dan sekitar arteri mesenterika
3. Closed-loop pecah disebabkan oleh peningkatan mendadak dalam tekanan
intraabdomen

21

Gambar 7. Perforasi jejunum dan colon sigmoid

Tabel 4. Derajat dan tipe cedera usus halus

Kerusakan usus halus pada trauma abdomen dapat berupa robekan usus, perforasi,
kontusio memar dengan atau tanpa perforasi, terlepasnya usus dari mesenterium, atau cedera
mesenterium. Juga dapat dijumpai hematoma atau udema pada mesenterium dan hematoma
dinding usus (Wim De Jong, Sjamsuhidajat R : 2003). Hematoma dinding usus akan
menyebabkan terjadinya gangguan vaskularisasi menyebabkan gangguan suplai oksigen dan
nutrisi jaringan, kemudian terjadi iskemik yang selanjutnya akan terjadi nekrosis yang
disertai dengan penipisan dinding mukosa usus. Akhirnya terjadilah perforasi usus sehingga
isi saluran cerna keluar ke lapisan peritoneum viseralis yang akan menyebabkan infeksi
peritoneum atau peritonitis. Fase ini disebut fase inisialisasi atau fase nekrosisasi yang terjadi
antara minggu ke 3-5 pasca trauma tumpul abdomen.
Trauma yang hebat juga akan menyebabkan usus mengalami perforasi atau laserasi
yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga
22

terjadilah peritonitis. Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering


terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen.

Alur patogenesis tersebut dijelaskan pada gambar 6 di bawah :

Gambar 7. Mekanisme peritonitis pada trauma tumpul usus halus

Ruptur Usus Halus Sebagian besar, perlukaan yang merobek dinding usus halus
karena trauma tumpul mencederai usus dua belas jari. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
gejala burning epigastric pain yang diikuti dengan nyeri tekan dan defans muskuler pada
abdomen. Perdarahan pada usus besar dan usus halus akan diikuti dengan gejala peritonitis
secara umum pada jam berikutnya. Sedangkan perdarahan pada usus dua belas jari biasanya
bergejala adanya nyeri pada bagian punggung. Diagnosis ruptur usus ditegakkan dengan
ditemukannya udara bebas dalam pemeriksaan rontgen abdomen.
II.8. Tanda dan gejala pada Trauma Tumpul Abdomen
1. Nyeri
23

Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat timbul di
bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.
2. Darah dan cairan
Adanya penumpukan darah atau cairan di rongga peritonium yang disebabkan oleh
iritasi
3. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) yang disebabkan oleh kehilangan
darah dan tanda-tanda awal syok hemoragik
4. Mual dan muntah (Mulholland, dkk : 2006).

II.9. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Secara umum, jangan menanyakan riwayat lengkap hingga cedera yang mengancam
nyawa teridentifikasi dan mendapatkan penatalaksanaan yang sesuai. AMPLE (Salomone &
Salomone, 2011) sering digunakan untuk mengingat kunci dari anamnesis, yaitu
a. Allergies
b. Medications
c. Past medical history
d. Last meal or other intake
e. Events leading to presentation
Anamnesis riwayat trauma sangat penting untuk menilai cedera yang terjadi.
Terutama mekanisme trauma dan waktu kejadian traumanya karena ini sangat mempengaruhi
prognosis. Pasien dengan penurunan kesadaran dapat dilakukan alloanamnesis terhadap
pengantar yang mengetahui kejadian. Selain itu hal yang penting adalah keterangan mengenai
tanda vital, cedera yang terlihat, dan respon terhadap perawatan pra masuk rumah sakit
apabila pasien mendapatkan perawatan lain setelah kejadian trauma.
Udeani & Seinberg (2011) menyatakan bahwa faktor penting yang berhubungan
dengan pasien trauma tumpul abdomen, khususnya yang berhubungan dengan kecelakaan
kendaraan bermotor perlu digali lebih lanjut, baik itu dari pasien, keluarga, saksi, ataupun
polisi dan paramedis. Hal-hal tersebut mencakup:
a. Proses kecelakaan dan kerusakan kendaraan.
b. Waktu pembebasan (evakuasi) yang dibutuhkan.
c. Apakah pasien meninggal?
24

d. Apakah pasien terlempar dari kendaraan?


e. Bagaimana fungsi peralatan keselamatan seperti sabuk pengaman dan airbags?
f. Apakah pasien dalam pengaruh obat atau alkohol?
g. Apakah ada cedera kepala atau tulang belakang?
h. Apakah ada masalah psikiatri?
Pada pasien anak, perlu digali apakah ada riwayat gangguan koagulasi atau
penggunaan obat-obat anti platelet (seperti pada defek jantung congenital) karena dapat
meningkatkan resiko perdarahan pada cedera intra abdomen (Wegner et al.,2006).

2. Pemeriksaan Fisik
Evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen harus dilakukan dengan semua
cedera merupakan prioritas. Perlu digali apakah ada cedera kepala, sistem respirasi, atau
sistem kardiovaskular diluar cedera abdomen (Salomone & Salomone, 2011 ; Udeani &
Steinberg, 2011).. Pemeriksaan yang diperlukan adalah :
a. Pemeriksaan awal :
i. Setelah survei primer dan resusitasi dilakukan, fokus dilakukan pada survei sekunder
abdomen.
ii. Untuk cedera yang mengancam jiwa yang membutuhkan pembedahan segera, survei
sekunder yang komprehensif dapat ditunda sampai kondisi pasien stabil.
iii. Pada akhir pemeriksaan awal dilihat kembali luka-luka ringan pada penderita. Banyak
cedera yang samar dan baru termanifestasikan kemudian.
b. Inspeksi :
i. Pemeriksaan abdomen untuk menentukan tanda-tanda eksternal dari cedera. Perlu
diperhatikan adanya area yang abrasi dan atau ekimosis.
ii. Catat pola cedera yang potensial untuk trauma intra abdomen (seperti abrasi karena
sabuk pengaman, hantaman dengan papan kemudi-yang membentuk contusio). Pada
banyak penelitian, tanda (bekas) sabuk pengaman dapat dihubungkan dengan ruptur
usus halus dan peningkatan insidensi cedera intra abdomen. Jejas pada dinding
abdomen yang menyiratkan bahwa telah terjadi

kerusakan organ-organ intra

abdomen, Kulit memar segera setelah cedera menunjukkan dampak yang cukup kuat
untuk menyebabkan kerusakan organ dalam, Adanya cetakan pola kain pada kulit,
disebabkan oleh kompresi kulit yang menyiratkan kuatnya benturan yang terjadi
25

iii. Observasi pola pernafasan karena pernafasan perut dapat mengindikasikan cedera
medulla spinalis. Perhatikan distensi abdomen, yang kemungkinan berhubungan
dengan pneumoperitoneum, dilatasi gastrik, atau ileus yang diakibatkan iritasi
peritoneal.
iv. Bradikardi mengindikasikan adanya darah bebas di intra peritoneal pada pasien dengan
cedera trauma tumpul abdomen.
v. Cullen sign (ekimosis periumbilikal) menandakan adanya perdarahan peritoneal,
namun gejala ini biasanya muncul dalam beberapa jam sampai hari. Memar dan
edema panggul meningkatkan kecurigaan adanya cedera retroperitoneal.
vi. Inspeksi genital dan perineum dilakukan untuk melihat cedera jaringan lunak,
perdarahan, dan hematom.
c. Auskultasi :
i. Bising pada abdomen menandakan adanya penyakit vaskular atau fistula arteriovenosa
traumatik.
ii. Suara usus pada rongga thoraks menandakan adanya cedera diafragmatika.
iii. Selama auskultasi, palpasi perlahan dinding abdomen dan perhatikan reaksinya.
Auskultasi ada atau tidaknya bising usus pada ke empat kuadran
a b d o m e n . Jika adanya ekstravasasi darah menyebabkan hilangnya bunyi bising
usus, juga perlu didengarkan adanya bunyi bruits dari arteri renalis, bunyi bruits pada
umbilical merupakan indikasi adanya trauma pada arteri renalis. terjadi penurunan
suara bising usus. Pasiendengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau
menghilang sama sekali, hal inidisebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga
menyebabkan usus ikut lumpuh atau t i d a k b e r g e r a k ( i l e u s p a r a l i t i k ) .
d. Palpasi :
i. Palpasi seluruh dinding abdomen dengan hati-hati sembari menilai respon pasien.
Perhatikan massa abnormal, nyeri tekan, dan deformitas.
ii. Konsistensi yang lunak dan terasa penuh dapat mengindikasikan perdarahan
intraabdomen.
iii. Krepitasi atau ketidakstabilan kavum thoraks bagian bawah dapat menjadi tanda
potensial untuk cedera limpa atau hati yang berhubungan dengan cedera tulang rusuk.
iv. Ketidakstabilan pelvis merupakan tanda potensial untuk cedera traktus urinarius
bagian bawah, seperti hematom pelvis dan retroperitoneal. Fraktur pelvis terbuka
berhubungan tingkat kematian sebesar 50%.
26

v. Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dilakukan untuk menilai perdarahan dan
cedera. Feces semestinya juga diperiksa untuk menilai adakah perdarahan berat atau
tersamar. Tonus rectal juga dinilai untuk mengetahui status neurologis dari pasien.
vi. Pemeriksaan sensori pada thorak dan abdomen dilakukan untuk evaluasi adanya
cedera medulla spinalis. Cedera medulla spinalis bisa berhubungan dengan penurunan
atau bahkan tidak adanya persepsi nyeri abdomen pada pasien.
vii. Distensi abdomen dapat merupakan hasil dari dilatasi gastrik sekunder karena bantuan
ventilasi atau terlalu banyak udara.
viii. Tanda peritonitits (seperti tahanan perut yang involunter, kekakuan) segera setelah
cedera menandakan adanya kebocoran isi usus.
ix. defans muskular (kaku otot) menandakan adanya perdarahan intra peritoneal, defans
muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai
peritoneum parietale (nyeri somatik),
e. Perkusi :
i. Nyeri pada perkusi merupakan tanda peritoneal
ii. Nyeri pada perkusi membutuhkan evaluasi lebih lanjut dan kemungkinan besar
konsultasi pembedahan.
iii. Pipa nasogastrik seharusnya dipasang (jika tidak ada kontraindikasi seperti fraktur
basal kranii) untuk menurunkan tekanan lambung dan menilai apakah ada perdarahan.
iv. adanya bunyi timpani bila dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila
ada hemoperitoneum. (Mulholland, dkk : 2006).
3. Pemeriksaan Laboratorium Klinik
Menurut

Salomone

&

Salomone

(2011),

pemeriksaan

laboratorium

yang

direkomendasikan untuk korban trauma biasanya termasuk glukosa serum, darah lengkap,
kimia serum, amylase serum, urinalisis, pembekuan darah, golongan darah, arterial blood
gas (ABG), ethanol darah, dan tes kehamilan (untuk wanita usia produktif).
a. Pemeriksaan darah lengkap:
Hasil yang normal untuk kadar hemoglobin dan hematokrit tidak bisa
dijadikan acuan bahwa tidak terjadi perdarahan. Pasien pendarahan mengeluarkan
darah lengkap. Hingga volume darah tergantikan dengan cairan kristaloid atau efek
hormonal (seperti adrenocorticotropic hormone [ACTH], aldosteron, antidiuretic
hormone [ADH]) dan muncul pengisian ulang transkapiler, anemia masih dapat
meningkat. Jangan menahan pemberian transfusi pada pasien dengan kadar
27

hematokrit yang relatif normal (>30%) tapi memiliki bukti klinis syok, cedera berat
(seperti fraktur pelvis terbuka), atau kehilangan darah yang signifikan.
Pemberian transfusi trombosit pada pasien dengan trombositopenia berat
(jumlah trombosit<50,000/mL) dan terjadi perdarahan. Beberapa penelitian
menunjukkan hubungan antara rendahnya kadar hematokrit (<30%) dengan cedera
berat. Peningkatan sel darah putih tidak spesifik dan tidak dapat menunjukkan adanya
cedera organ berongga.
b. Kimia serum
Banyak korban trauma kecelakaan lebih muda dari 40 tahun dan jarang
menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi elektrolit (seperti diuretik, pengganti
potassium). Jika pengukuran gas darah tidak dilakukan, kimia serum dapat digunakan
untuk mengukur serum glukosa dan level karbon dioksida. Pemeriksaan cepat glukosa
darah dengan menggunakan alat stik pengukur penting pada pasien dengan perubahan
status mental.
c. Tes fungsi hati
Tes fungsi hati pada pasien dengan trauma tumpul abdomen penting
dilakukan, namun temuan peningkatan hasil bisa dipengaruhi oleh beberapa alasan
(contohnya penggunaan alkohol). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kadar
aspartate aminotransferase (AST) atau alanine aminotransferase (ALT) meningkat
lebih dari 130 U pada koresponden dengan cedera hepar yang signifikan. Kadar
Lactate Dehydrogenase (LDH) dan bilirubin tidak spesifik menjadi indikator trauma
hepar.
d. Pengukuran Amilase
Penentuan amilase awal pada beberapa penelitian menunjukkan tidak sensitif
dan tidak spesifik untuk cedera pankreas. Namun, peningkatan abnormal kadar
amylase 3-6 jam setelah trauma memiliki keakuratan yang cukup besar. Meskipun
beberapa cedera pankreas dapat terlewat dengan pemeriksaan CT scan segera setelah
trauma, semua dapat teridentifikasi jika scan diulang 36-48 jam. Peningkatan
amylase atau lipase dapat terjadi akibat iskemik pancreas akibat hipotensi sistemik
yang menyertai syok.
e. Urinalisis

28

Indikasi untuk urinalisis termasuk trauma signifikan pada abdomen dan atau
panggul, gross hematuria, mikroskopik hematuria dengan hipotensi, dan mekanisme
deselerasi yang signifikan. Gross hematuri merupakan indikasi untuk dilakukannya
cystografi dan IVP atau CT scan abdomen dengan kontras.
f. Penilaian gas darah arteri (AGD)
Kadar AGD dapat menjadi informasi penting pada pasien dengan trauma
mayor. Informasi penting sekitar oksigenasi (PO 2, SaO2) dan ventilasi (PCO2) dapat
digunakan untuk menilai pasien dengan kecurigaan asidosis metabolic hasil dari
asidosis laktat yang menyertai syok. Defisit kadar basa sedang (5 mEq) merupakan
indikasi untuk resusitasi dan penentuan etiologi. Usaha untuk meningkatkan
pengantaran oksigen sistemik dengan memastikan SaO2 yang adekuat (>90%) dan
pemberian volume cairan resusitasi dengan cairan kristaloid, dan jika diindikasikan,
dengan darah.
g. Skrining obat dan alkohol
Pemeriksaan skrining obat dan alkohol pada pasien trauma dengan perubahan
tingkat kesadaran. Nafas dan tes darah dapat mengindentifikasi tingkat penggunaan
alkohol.
4. Pemeriksaan Penunjang Radiologi
Penilaian awal paling penting pada pasien dengan trauma tumpul abdomen adalah
penilaian stabilitas hemodinamik. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil,
evaluasi cepat harus dibuat untuk melihat adanya hemoperitoneum. Hal ini dapat dapat
dilakukan dengan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) atau FAST (Focused Abdominal
Sonogram for Trauma) scan. Pemeriksaan radiografi abdomen perlu dilakukan pada pasien
yang stabil ketika pemeriksaan fisik kurang meyakinkan (Hoff et al., 2001).
a. Foto polos
Udeani & Steinberg (2011) menyatakan bahwa :

Meskipun secara keseluruhan evaluasi pasien trauma tumpul abdomen dengan


rontgen polos terbatas, namun foto polos dapat digunakan untuk menemukan
beberapa hal.

Radiografi dada bisa digunakan untuk diagnosis cedera abdomen seperti


ruptur hemi diafragmatika atau pneumoperitoneum.

Radiografi dada dan pelvis dapat digunakan untuk menilai fraktur vertebra
torakolumbar
29

Udara bebas intraperitoneal atau udara yang terjebak pada retroperitoneal dari
perforasi usus kemungkinan bisa terlihat.

b. Ultrasonografi

Ultrasonografi dengan focused abdominal sonogram for trauma (FAST) sudah


digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma lebih dari 10 tahun di Eropa.
Akurasi diagnostik FAST secara umum sama dengan diagnostic peritoneal
lavage (DPL). Penelitian di Amerika dalam beberapa tahun terakhir
menunjukkan FAST sebagai pendekatan noninvasif untuk evaluasi cepat
hemoperitoneum (Feldman, 2006).

Pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dan cedera multisistem,


ultrasonografi portabel dengan operator yang berpengalaman dapat dengan
cepat mengidentifikasi cairan bebas di intraperitoneal. Cedera organ berongga
jarang teridentifikasi, namun cairan bebas bisa tervisualisasi pada beberapa
kasus (Salomone & Salomone,2011).

Evaluasi FAST abdomen terdiri visualisasi perikardium (dari lapang pandang


subxiphoid), rongga splenorenal dan hepatorenal, serta kavum douglas pada
pelvis. Tampilan pada kantong Morrison lebih sensitive, terlebih jika
etiologinya adalah cairan (Jehangir et al., 2002).

Cairan bebas pada umumnya diasumsikan sebagai darah pada trauma


abdomen. Cairan bebas pada pasien yang tidak stabil mengindikasikan perlu
dilakukan laparotomi emergensi, akan tetapi jika pasien stabil dapat dievaluasi
dengan CT scan (Feldman, 2006).

c. Computed Tomography (CT) Scan

Meskipun mahal dan membutuhkan banyak waktu, namun CT scan banyak


mendukung gambaran detail patologi trauma dan memberi penunjuk dalam
intervensi operatif. Tidak seperti FAST ataupun DPL (Diagnostic Peritoneal
Lavage),

CT

scan

dapat

menentukan

sumber

perdarahan

(Salomone&Salomone,2011).

Merupakan prosedur diagnostik yang hanya dilakukan pada pasien dengan


hemodinamik stabil dan kita tidak perlu segera melakukan laparatomi. Dengan
CT scan kita memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami
kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk mendiagnosis trauma
30

retroperitoneal maupun pelvis yang sulit didiagnosis dengan pemeriksaan


fisik, FAST, maupun DPL.

Cedera diafragma dan perforasi saluran pencernaan masih dapat terlewat


dengan pemeriksaan CT scan, khususnya jika CT scan dilakukan segera
setelah trauma. Cedera pankreas dapat terlewatkan dengan pemeriksaan awal
CT scan, tapi secara umum dapat ditemukan pada pemeriksaan follow up yang
dilakukan pada pasien resiko tinggi. Untuk beberapa pasien, endoscopic
retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dapat ditambahan bersama CT
scan untuk mendukung cedera duktus (Hoff et al., 200l). Keuntungan utama
CT scan adalah tingginya spesifitas dan penggunaan sebagai petunjuk
manajemen nonoperatif pada cedera organ padat (Feldman, 2006).

d. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)


Diagnostic peritoneal lavage (DPL) digunakan sebagai metode cepat untuk
menentukan adanya perdarahan intraabdomen. DPL terutama berguna jika riwayat
dan pemeriksaan abdomen menunjukkan ketidakstabilan dan cedera multisistem atau
tidak jelas. DPL juga berguna untuk pasien dimana pemeriksaan abdomen lebih lanjut
tidak dapat dilakukan (Feldman, 2006).
Indikasi dilakukannya DPL pada trauma tumpul dimana :

Pasien dengan cedera medulla spinalis

Cedera multipel dan syok yang tidak bisa dijelaskan

Pasien dengan cedera abdomen

Pasien intoksikasi dimana ada kecenderungan cedera abdomen

Pasien dengan resiko cedera intra abdomen dimana dibutuhkan anestesi yang
lebih panjang untuk prosedur yang lain.

Kontraindikasi absolut untuk DPL adalah kebutuhan untuk laparotomi yang nyata.
Kontraindikasi relatif termasuk obesitas morbid, riwayat pembedahan abdomen
multipel, dan kehamilan. (Udeani&Steinberg,2011).
Variasi metode kateterisasi ke dalam rongga peritoneal telah dijelaskan, yaitu metode
terbuka, semi terbuka, dan metode tertutup. Metode terbuka membutuhkan insisi kulit
infraumbilikal yang luas dan melalui linea alba. Peritoneum dibuka dan kateter
dimasukkan dibawah visualisasi secara langsung. Metode semi terbuka serupa,
kecuali peritoneum tidak dibukan dan kateter dilewatkan perkutaneus melewati
peritoneum ke dalam kavum peritoneal. Taknik tertutup membutukan kateter uang
31

dimasukkan secara buta melalui kulit, jaringan subkutan, linea alba, dan peritoneum.
Teknik tertutup dan semi terbuka pada infra umbilical lebih banyak dilakukan pada
bagian tengah (Udeani&Steinberg,2011).
DPL bernilai postitif pada pasien trauma tumpul jika 10mL darah segar teraspirasi
sebelum infus cairan cuci atau jika pipa cairan cuci (contohnya 1 L NaCl diinfuskan
ke kavitas peritoneal melalui kateter dan dibiarkan tercampur, dimana akan dialirkan
oleh gravitasi) terdapat lebih dari 100.00 sel darah merah/mL, lebih dari 500 sel darah
putih/mL, peningkatan kadar amilase, empedu, bakteri, serat makanan, atau urin.
Hanya diperlukan kira-kira 30 mL darah pada peritoneum untuk menghasilkan hasil
DPL positif secara mikroskopis (Feldman, 2006 ; Salomone & Salomone, 2011 ;
Udeani & Steinberg,2011).
Hasil lain dari DPL yang menjadi indikasi dilakukan eksplorasi termasuk adanya
empedu atau kadar amylase tinggi yang abnormal (indikasi perforasi usus), serat
makanan, atau bakteri pada pemeriksaan bakteri (King&Bewes,2002).
Komplikasi DPL termasuk perdarahan dari insisi dan tempat masuk kateter, infeksi
(luka peritoneal), dan cedera pada struktur intra abdomen (seperti vesika urinaria, usus
halus, uterus). Infeksi pada insisi, peritonitis dari tempat kateter, laserasi pada vesika
urinaria, atau cedera organ-organ lain intra abdomen dapat muncul dan
mengakibatkan hasil positif palsu. Hasil positif palsu dapat memicu laparotomi yang
tidak diperlukan (King&Bewes,2002).
Indikasi dilakukan laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan atau syok
yang tidak terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi, ditemukannya
hemoperitoneum setelah pemeriksaan FAST atau DPL (Feldman, 2006).
II.10 Diagnosis Trauma Tumpul Abdomen
Beberapa studi menunjukkan inakurasi dari pemeriksaan fisik dalam kasus trauma
tumpul abdomen. Mengarah kepada tidak adekuatnya pemeriksaan fisik, pembedahan trauma
memiliki beberapa alat diagnostik tambahan. Modalitas yang sering digunakan meliputi DPL,
dan CT scan. Meskipun tidak tersedia pada semua pusat kesehatan, FAST kini dimasukkan ke
dalam alat diagnostik. Alur diagnostik yang memasukkan penggunaan setiap modalitas
tersebut telah dibuat. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan dari uji diagnostik
meliputi:
1. Tipe Rumah Sakit (misalnya RS Pusat Trauma atau RS Non-Trauma).
32

2. Akses terhadap suatu teknologi khusus pada suatu Institusi Bedah.


3. Pengalaman seorang ahli bedah secara individual terhadap suatu modalitas
diagnostik yang tersedia.
Pasien trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil perlu dievaluasi dengan
USG atau CT . Sedangkan trauma abdomen yang berat dibutuhkan prioritas utama dan butuh
untuk dilakukan operasi. FAST (focused abdominal sonography for trauma) atau DPL
biasanya dapat diperiksa dalam ruang operasi untuk membantu mengevaluasi adanya
perdarahan intra abdominal sehingga pembedahan eksplorasi dapat berjalan dengan cepat
(Sabiston: 2007).

Alur penatalaksanaan trauma tumpul abdomen dapat dilihat pada gambar di bawah
ini:

Gambar 8. Alur pentalaksanaan trauma tumpul abdomen

Keterangan:
33

DPL : Diagnostic Peritoneal Lavage

FAST : Focused Abdominal Sonography for Trauma

Judgment : operasi atau tidak operasi berdasarkan hasil CT

Pada gambar di atas menunjukkan bahwa apabila pasien dengan trauma tumpul
abdomen dengan klinis yang bisa dinilai, maksudnya tanda-tanda vital baik disertai dengan
nyeri perut di seluruh lapangan maka secepatnya dilakukan laparatomi eksplorasi untuk
mencari penyebabnya. Sedangkan apabila pasien dengan trauma tumpul abdomen tanpa
disertai nyeri perut dengan tanda-tanda vital dalam batas normal, pertama kali yang harus
dilakukan yaitu pemeriksaan FAST, apabila didapatkan adanya kelainan dalam FAST,
dilanjutkan dengan pemeriksaan CT. Apabila CT juga didapatkan kelainan maka pemeriksa
harus menentukan tindakan berdasarkan hasil yang didapatkan. Sedangkan apabila FAST
tidak ditemukan kelainan maka pasien perlu dilakukan observasi dan tidak boleh
dipulangkan. Observasi juga dilakukan terhadap pasien yang menunjukkan hasil FAST
dengan kelainan, namun hasil CT yang normal.
Sedangkan apabila pasien tanpa nyeri abdomen yang menyeluruh dengan
hemodinamik labil, maka langsung dilakukan pemeriksaan FAST. Apabila FAST
menunjukkan adanya kelainan, maka langsung dilakukan laparatomi eksplorasi. Sedangkan
apabila FAST tidak ditemukan suatu kelainan maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk
mencari kemungkinan lain yang menyebabkan hemodinamik pasien terganggu. Apabila
terdapat penyebab lain dari hemodinamik labil tersebut, maka perlu dilakukan evaluasi atau
resusitasi.
Apabila tidak ditemukan penyebabnya maka perlu dilakukan pemeriksaan DPL. Bila
pemeriksaan DPL menunjukkan adanya masalah maka dilakukan laparatomi eksplorasi, dan
apabila DPL tidak ditemukan kelainan maka pasien dievaluasi atau dilakukan resusitasi.
Jika pasien dengan trauma abdomen akan tetapi kinis tidak mampu kita nilai akan
tetapi hemodinamik pasien stabil, artinya tanda-tanda vital pasien dalam batas normal, maka
langsung dilakukan pemeriksaan CT. Apabila CT tidak menunjukkan kelainan, maka pasien
perlu dilakukan observasi. Namun bila pada CT ditemukan kelainan maka perlu pasien perlu
dilakukan tindakan, sesuai dengan penyebabnya.
34

II.11. Penatalaksanaan pada Trauma Tumpul Abdomen


Prinsip umum terapi pada trauma tumpul abdomen adalah mempuasakan pasien untuk
mengistirahatkan saluran cerna,

penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang

dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna
dengan pemasangan NGT, pemasangan kateter untuk diagnostik maupun monitoring, dan
terapi bedah pada peritonitis.
Laparotomi Eksplorasi
Laparotomi adalah prosedur tindakan pembedahan dengan membuka cavum abdomen
dengan tujuan eksplorasi. Pasien harus dalam posisi terlentang saat di meja operasi dan tubuh
seluruh bagian depan dari taju pedang sternal sampai ke bagian paha harus ditutup dengan
kain untuk memungkinkan pambukaan yang maksimal. Midline incision merupakan teknik
insisi yang banyak dipergunakan, namun masih ada beberapa teknik lagi untuk melakukan
insisi. Insisi ini juga memudahkan untuk pembukaan yang lebih luas lagi ke median
sternotomi jika diperlukan control yang lebih proksimal untuk vena cava bila pasien
ditemukan memiliki riwayat trauma thoraks (Mulholland, dkk : 2006).
Setelah abdomen dibuka, darah dan bekuan darah yang ditemukan telah dihilangkan,
dan eksplorasi keempat kuadran telah dilakukan sesuai indikasi bila perdarahan terus
berlanjut. Luka viscus yang terlihat jelas harus segara di klem, di jahit atau di staples untuk
mengontrol perdarahan. Bila perlu dilakukan anastomosis apabila jaringan sudah tidak bagus
atau mengalami nekrotik, apabila jaringan masih vital atau sehat maka hanya dilakukan
penjahitan daerah luka. Penutupan inisial tidak definitive untuk dilakukan dan dilakukan
terutama untuk meminimalisasi terjadinya kontaminasi selama berlangsungnya operasi.
Perdarahan retroperitoneal dapat menjadi sumber perdarahan yang merepotkan jika ruptur
masuk ke dalam rongga bebas di peritoneal telah terjadi. Jika tidak, hematom ini dapat
ditinggalkan sementara untuk investigasi, tergantung dari lokasinya. Hematom di pelvis yang
berhubungan dengan fraktur pelvis tidak boleh diganggu. Hematom yang stabil di daerah
garis tengah di lateral perinefrik juga baiknya dibiarkan tidak terganggu. Hematom sentral
dapat melibatkan, cedera pada struktur vascular utama, pancreas atau duodenum harus di
eksplorasi setelah control cedera yang ada di dalam rongga peritoneal (Mulholland, dkk :
2006).
Setelah berhasil mengontrol perdarahan, saatnya untuk resusitasi cairan untuk
memperbaiki volume darah yang hilang. Resusitasi cairan perlu dilakukan jika telah terjadi
perdarahan dalam jumlah besar. Laparotomi eksplorasi yang komplit dan menyeluruh harus
35

dilakukan untuk melihat apakah ada perdarahan samar yang ada di rongga abdomen
(Mulholland, dkk : 2006).
Terapi post operasi
Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
Pemberian antibiotik
Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk NGT minimal, peristaltik
usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen
- Indikasi untuk melakukan operasi
Penilaian tentang prosedur spesial untuk masalah yang tidak mengancam
nyawa harus ditentukan dengan melihat secara keseluruhan status fisiologik pasien.
indikasi untuk dilakukannya laparotomi adalah (Mulholland, dkk : 2006).:
-

Adanya tanda peritonitis

Pengeluaran isi

Penurunan kondisi saat dilakukan observasi

Adanya tanda instabilitas hemodinamik

Hasil pemeriksaan DPL atau FAST konsisten ditemukan hemoperitoneum

Antibiotik spektrum luas harus segera diberikan setelah keputusan untuk melakukan
laparotomi ditegakkan. Antibiotik spectrum luas harus mencakup bakteri anaerobic,
disamping bakteri aerobic. Menurut penelitian antibiotik tidak perlu diteruskan bila lebih dari
24 jam post operasi, walaupun adanya kontaminasi dari viskus berongga yang terluka telah
terjadi (Mulholland, dkk : 2006)..
Profilaksis untuk tetanus harus diberikan. Jika pasien memiliki riwayat imunisasi
yang lengkap, pasien diberikan booster untuk imunisasinya. Jika riwayat imunisasi tidak
adekuat atau tidak diketahui, maka imunisasi pasif harus dilakukan dengan pemberian
hiperimunoglobin (Mulholland, dkk : 2006).
II.12. Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan trauma tumpul abdomen bervariasi. Tanpa data
statistik yang menggambarkan jumlah kematian di luar rumah sakit, dan jumlah pasien total
dengan trauma tumpul abdomen, gambaran spesifik prognosis untuk pasien trauma intra
36

abdomen sulit. Angka kematian untuk pasien rawat inap berkisar antara 5-10%
(Udeani&Steinberg,2011)

BAB III
ILUSTRASI KASUS
I.

Identitas Pasien
i. Nama

: Tn. SBM

ii. Usia

: 40 tahun

iii. Jenis kelamin

: Laki-laki

iv. Alamat

: Jl. Kp. Ganggaeng Desa Bungurcopong


Pandeglang

v. Pendidikan

II.

: Tamat SLTP

vi. Pekerjaan

: Buruh bangunan

vii. Agama

: Islam

viii. No. RM

: 01167176

Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara auto dan allo anamnesa pada tanggal 05 Agustus
2012
37

1. Keluhan utama :
Nyeri pada seluruh bagian perut setelah kecelakaan lalu lintas 1 jam SMRS.
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri seluruh bagian perut setelah
kecelakaan lalu lintas 1 jam SMRS. Pasien terjatuh dari motor ke selokan.
Awalnya pasien menabrak pohon, lalu motor pasien kehilangan kendali. Motor
pasien melaju tanpa kendali ke arah lajur berlawanan, dan pasien melompat
dari motornya saat berusaha menghindari mobil dari arah berlawanan. Setelah
melompat pasien terjatuh. Saat terjatuh, perut pasien terbentur tepi sudut
trotoar dan motor pasien menindih tubuh pasien. Nyeri perut dirasakan terus
menerus, tidak hilang timbul. Nyeri perut dirasakan memberat pada posisiposisi tertentu. Pasien tidak pingsan. Saat terjatuh, pasien mengenakan helm
half-face, dan diikat pada dagu. Nyeri kepala (-), nyeri pada leher (-), muntah
(-), mengompol (-), BAB tidak bisa ditahan (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat operasi sebelumnya disangkal
b. Riwayat asma, alergi, bersin-bersin bila terpajan udara dingin,pada
pagi hari atau bila terpajan debu disangkal
c. Riwayat perdarahan yang sulit berhenti disangkal
d. Riwayat kencing manis, dan tekanan darah tinggi disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
a. Riwayat kencing manis disangkal
b. Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
c. Riwayat asma, dan alergi disangkal
III.

Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum
i. Kesadaran

: compos mentis

ii. Kesan sakit

: sakit sedang

iii. Gizi

: baik

iv. Sikap pasien

: kooperatif

v. Mobilisasi

: aktif

b. Tanda vital:
38

i. Tekanan darah

: 120/80mmHg

ii. Nadi

: 80 x/menit

iii. Pernafasan

: 28 x/menit

iv. Suhu tubuh

: 36,7 C

c. Kepala: deformitas (-), rambut warna hitam, tebal, distribusi merata


d. Wajah :
i. Terlihat simetris
ii. Warna kulit tidak anemis, tidak sianosis, tidak ikterik
e. Mata

i. Alis mata hitam,tebal,distribusi merata


ii. Konjungtiva pucat -/-, Sklera tidak ikterik
iii. Refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+
f. Telinga :
i. Bentuk telinga simetris dan normotia
ii. Tidak ada nyeri tarik
iii. Tidak ada nyeri tekan pada tragus dan mastoid
iv. Sekret (-)
g. Hidung

i. Hidung simetris
ii. Tidak ada deviasi septum, sekret -/h. Mulut dan tenggorokan :
i. Bibir terlihat simetris
ii. Faring tidak hiperemis, Tonsil T1/T1
i. Leher:
i. Trakea lurus di tengah
ii. Tidak teraba pembesaran KGB
iii. Tidak terlihat pembesaran tiroid
j. Thorax: Jejas (+) pada regio torakal dekstra
k. Paru:
i. Inspeksi

: pergerakan dada simetris saat stastis dan


dinamis.

ii. Palpasi

: vokal fremitus teraba simetris

iii. Perkusi

: sonor di kedua lapang paru


39

iv. Auskultasi

: suara napas vesikuler, ronkhi -/-,


wheezing -/-

l. Jantung :
i. Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat.

ii. Palpasi

: teraba pada sebelah medial garis


midclavicularis kiri di ICS V

iii. Perkusi

1. Batas jantung kanan : garis sternalis dextra.


2. Batas jantung kiri

: ICS V, garis axillaris


anterior.

iv. Auskultasi

: S1 S2 reguler,murmur (-), gallop (-).

m. Abdomen : lihat status lokalis


n. Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai -/-, CRT < 2 detik
Status Lokalis

Inspeksi: abdomen datar, terlihat jejas pada region iliaka kanan

Palpasi : abdomen supel, defans muskulare (+), nyeri tekan pada seluruh lapang
abdomen
a. Hepar: tidak dapat dinilai
b. Lien: tidak dapat dinilai
c. Ginjal: tidak dapat dinilai

Perkusi : tidak dapat dilakukan karena pasien merasakan nyeri yang hebat

Auskultasi : bising usus (+) lemah

Keadaan Saat datang Ke IGD


1. Primary Survey :
A. Clear
B. Dada simeris statis dan dinamis, RR = 28 x/menit
C. Nadi isi cukup, kuat, 80 x/menit, TD = 120/80 mmHg
D. GCS = 15
2. Secondary Survey :
A. Kepala : Deformitas (-)
B. Mata : Konjungtiva pucat -/-, Sklera tidak ikterik
C. Leher : tidak teraba pembesaran KGB
40

D. Thorax Paru: Tampak jejas pada regio torak dekstra, suara napas vesikuler,
ronkhi-/, wheezing -/E. Jantung : S1 S2 reguler,murmur (-), gallop (-).
F. Abdomen: lihat status lokalis
G. Ekstremitas

: akral hangat, CRT < 2, udem (-)

H. Status lokalis :
i. Inspeksi

: abdomen datar, terlihat jejas pada region iliaka kanan

ii. Palpasi : abdomen supel, defence muskular (+), nyeri tekan pada
seluruh lapang abdomen
1. Hepar: tidak dapat dinilai
2. Lien: tidak dapat dinilai
3. Ginjal: tidak dapat dinilai
iii. Perkusi

: tidak dapat dilakukan karena pasien merasakan nyeri

yang hebat
iv. Auskultasi : bising usus (+) lemah
3. Obaservasi IGD
Jam
13.00
14.30
15.00

TD
120/80
110/80
110/80

FN
80
104
110

RR
28
32
30

PEMERIKSAAN PENUNJANG

41

Pemeriksaan
Hematologi
- Hemoglobin

Hasil 5/8/12 Nilai rujukan

Interpretasi

13,3

13.2-17.3 g/dl

Normal

Hematokrit

41

33-45 %

Normal

Leukosit

12,5

5-10 ribu/Ul

Leukositosis

Eritrosit

4,6

4.40-5.90 juta/Ul

Menurun

Trombosit

332

150-440 ribu

Normal

VER/HER/ KHER/RDW
- VER
88,8

80.0-100.0 fl

Normal

HER

28,9

26.0-34.0 pg

Normal

KHER

32,6 12.6

32.0-36 mg/dl

Normal

11.5-14.5 %

Normal

27.4 39.3

Normal

12.7 16,1

Meningkat

RDW
Hemostasis
- APTT
-

25,6

Kontrol APTT

36,0

PT

15,6

Kontrol PT

14,5

- INR
Kimia Klinik

Fungsi Hati
- SGOT
- SGPT
Fungsi Ginjal
- Ureum
-

Darah
Creatinin

1,10

1,87

102

0-34 U/I

Meningkat

108

0-40 U/I

Meningkat

32

20-40 mg/dl

Normal

0,9

0.6-1.5 mg/dl

Normal

133

70-140 mg/dl

Normal

139

135 - 147

Normal

3,33

3.10 -5.10 mmol/L

Normal

109

95 -108 mmol/L

Meningkat

Darah
Diabetes
- Gula darah sewaktu
ELEKTROLIT
Natrium
Kalium
Klorida
Foto Rontgen Thoraks

42

Gambar 9. Foto toraks pasien

Kesan

Cor dan pulmo dalam batas normal

Tidak tampak fraktur pada tulang-tulang yang tervisualisasi

Foto Polos Abdomen

43

Gambar 10. Foto polos abdomen pasien

Kesan:

Tidak tampak kelainan pada foto polos abdomen

Tidak tampak fraktur pada tulang-tulang yang tervisualisasi

Foto Polos Pelvis

Gambar 11. Foto pelvis pasien

Kesan:

Tidak tampak fraktur pada tulang-tulang pelvis

Abdomen 3 Posisi
LLD

Gambar 12. Foto LLD pasien

44

Supine

Gambar 13, Foto supine pasien

Setengah duduk

Gambar 14. Foto setengah duduk pasien

Kesan:
1. Tidak tampak udara bebas pada rongga peritoneum
45

USG Abdomen dan Pelvis:

46

Kesan :
-

Cairan bebas (asites) di hepatorenal, pericolica, dan perivesica.

Hepar, KE, lien, kedua ginjal, dan buli tidak tampak kelainan secara USG.

RESUME
Pasien laki-laki usia 40 tahun, datang dengan keluhan nyeri seluruh bagian perut
setelah kecelakaan lalu lintas 1 jam SMRS. Pasien terjatuh dari motor ke selokan. Awalnya
pasien menabrak pohon, lalu pasien motor pasien kehilangan kendali. Motor pasien melaju
tanpa kendali ke arah lajur berlawanan, dan pasien melompat dari motornya saat berusaha
menghindari mobil dari arah berlawanan. Setelah melompat pasien terjatuh. Saat terjatuh,
perut pasien terbentur tepi sudut trotoar dan motor pasien menindih tubuh pasien. Nyeri perut
dirasakan terus menerus, tidak hilang timbul. Nyeri perut dirasakan memberat pada posisiposisi tertentu. Pasien tidak pingsan. Saat terjatuh, pasien mengenakan helm half-face, dan
diikat pada dagu. Nyeri kepala (-), nyeri pada leher (-), muntah (-), mengompol (-), BAB
tidak bisa ditahan (-).

Pemeriksaan fisik :
Tekanan darah

: 120/80mmHg
47

Nadi

: 80 x/menit

Pernafasan

: 28 x/menit

Suhu tubuh

: 36,7 C

Status generalis :

Thorax: Jejas (+) pada regio torakal dekstra

Lainnya dalam batas normal

Status lokalis abdomen:

Inspeksi: abdomen datar, terlihat jejas pada region iliaka kanan

Palpasi : abdomen supel, defence muskular (+), nyeri tekan pada seluruh lapang
abdomen
a. Hepar: tidak dapat dinilai
b. Lien: tidak dapat dinilai
c. Ginjal: tidak dapat dinilai

Perkusi : tidak dapat dilakukan karena pasien merasakan nyeri yang hebat

Auskultasi : bising usus (+) lemah

Pemeriksaan penunjang didapatkan:

Laboratorium : Leukositosis, peningkatan enzim transaminase.

Foto thorak, foto polos abdomen, foto abdomen 3 posisi dan foto pelvis dalam batas
normal.

USG abdomen dan pelvis menunjukkan gambaran cairan bebas (asites) di


hepatorenal, pericolica, dan perivesica. Hepar, KE, lien, kedua ginjal, dan buli tidak
tampak kelainan secara USG

Diagnosis Sebelum Operasi


Peritonitis umum ec susp. perforasi viscus.
Penatalaksanaan di IGD

Non Medikamentosa
Dekompresi: kateter urin + NGT
Puasa
48

Bed rest

Medikamentosa
Oksigen 2-4 L/menit
Infus loading RL 500 cc, selanjutnya 60 tetes/menit
Ceftriaxone 2 x 1 gr
Ketoprofen 1 amp
Permintaan darah persiapan operasi PRC 1000 cc dan FFP 500 cc
Laparotomi eksplorasi cito
Rawat ICU

LAPORAN OPERASI
Operator: dr. Rofi Yuldi Saunar, Sp.B(K)BD
-

Diagnosis sebelum operasi: Peritonitis umum ec susp. perforasi viscus

Diagnosis sesudah operasi: Post-reseksi anastomosis ileum ai nekrosis dan perforasi


ilem

Laporan operasi:
Pasien di atas meja operasi dalam anastesi umum.
A dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya.
Insisi mediana 3 cm di atas umbilicus sampai 2 cm di atas pubicum menembus
kutis, subkutis, dan fasia.
Ketika peritonium dibuka keluar darah beserta stolsel; perdarahan 1200 cc; suction
Tampak nekrosis ileum dan multiple impending perforasi ileum 95 cm anal dari
ligamentum Treitz sampai dengan 15 cm anal dari valvula Bahoni, tampak juga
laserasi mesoileum pada daerah ileum yang mengalami nekrosis.
Diputuskan untuk reseksi anastomosis ileum end to end, dan dilakukan repair pada
mesoileum yang mengalami laserasi.
Liver dan lien tidak tampak perforasi dan usus-usus lain dalam batas normal.
Rongga abdomen dicuci.
Perdarahan dirawat.
Luka operasi ditutup lapis demi lapis.
Operasi selesai.

49

Intruksi Post Op:


1. Awasi tanda vital
2. Balans cairan seimbang
3. IVFD: Aminofluid 1000 ml : KaEN Mg3 500 ml: RL 500 ml
4. Puasa
5. NGT alirkan
6. Ketorolac 3 x 1 amp i.v
7. Ranitidine 2 x 1 amp i.v
8. Ceftriaxone 1 x 2 gr i.v
9. Metronidazole 3 x 500 mg i.v
10. Vit. C 1 x 400 mg i.v
11. Mobilisasi bertahap
12. Rawat luka 2x/hari

Follow up Pasien
Tanggal 6/8/12
S: nyeri luka operasi
O:
KU/ KS : TSS/CM
TD: 117/76 FN: 102 RR:25 S: 36.5
Mata : CA -/-, SI -/Thorax Paru: Sn vesikuler, rh-/-, wh-/Jantung: S1-S2 reguler, murmur (-) gallop (-)
Abdomen: datar, lemas, NT + daerah operasi,
defans (-), BU + N
LO: rembesan (-), drain produksi 20 cc/ 6 jam post
laparatomi

Tanggal 8/8/12
S: O:
KU/ KS : TSS/CM
TD: 121/62 FN: 110 RR:22 S: 36.5
Mata : CA -/-, SI -/Thorax Paru: Sn vesikuler, rh-/-, wh-/Jantung: S1-S2 reguler, murmur (-) gallop
(-)
Abdomen: datar, lemas, NT + daerah
operasi, defans (-), BU + N
LO: rembesan (-), drain produksi 70 cc/ 24

A:

pasca laparatomi reseksi anastomosis ileum jam post laparatomi


A: : pasca laparatomi reseksi anastomosis
end to end ec Nekrosis ileum dan multiple
ileum end to end ec Nekrosis ileum dan
impending perforasi ileum ec laserasi mesoileum
multiple impending perforasi ileum ec
50

P: IVFD: Aminofluid 1000 ml : KaEN Mg3 500 laserasi mesoileum


ml: RL 500 ml

P: IVFD: Aminofluid 1000 ml : KaEN Mg3

Puasa

500 ml: RL 500 ml

NGT alirkan

Puasa

Ketorolac 3 x 1 amp i.v

NGT alirkan

Ranitidine 2 x 1 amp i.v

Ketorolac 3 x 1 amp i.v

Ceftriaxone 1 x 2 gr i.v

Ranitidine 2 x 1 amp i.v

Metronidazole 3 x 500 mg i.v

Ceftriaxone 1 x 2 gr i.v

Vit. C 1 x 400 mg i.v

Metronidazole 3 x 500 mg i.v


Vit. C 1 x 400 mg i.v
Pindah ruang biasa

PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad functionam

: dubia ad bonam

Ad sanationam

: bonam
BAB IV
DISKUSI KASUS

Trauma pada pengendara sepeda motor harus dipikirkan adanya trauma tumpul pada
abdomen dalam hal ini organ intra abdomen dapat dapat terjepit antara stang motor dan
tulang belakang dimana pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan adanya jejas pada baju atau
kulit perut. Trauma tumpul abdomen terkadang tidak menggambarkan kalainan yang jelas
pada permukaan tubuh, namun dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan
dibawahnya berupa cedera pada organ berongga berupa perforasi atau pada organ padat
berupa perdarahan.
Terjadinya perforasi pada organ berongga dapat mengakibatkan gejala peritonitis
hebat akibat perangsangan pada peritoneum setelah trauma. Pada pasien dengan peritonitis
gejala yang ditimbulkan bisa berupa nyeri perut, muntah dan peningkatan suhu tubuh
sedangkan pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi, nyeri tekan seluruh lapangan perut,
defans muskular, BU menurun karena terjadi penurunan fungsi peristaltik usus

sebab

kelumpuhan usus sementara dan pekak hati menghilang akibat udara bebas di bawah
diafragma. Terapi yang utama pada pasien dengan peritonitis akibat trauma tumpul abdomen
51

adalah laparatomi, selain itu dekompresi, pemberian antibiotik serta rehidrasi.


Perdarahan yang terjadi akibat trauma tumpul abdomen dapat menyebabkan
kematian jika sumber perdarahan berasal dari aorta atau vena cava, sedangkan perdarahan
akibat robekan pada organ lain dapat menimbulkan gejala anemia, takikardi, hipotensi, pucat,
bahkan syok tergantung pada jumlah perdarahan dan lamanya waktu perdarahn tersebut
berlangsung. Jika terjadi perdarahn masif dapat merangsang peritoneum dan dapat
menyebabkan peritonitis.
Pada pasien ini ditemukan riwayat nyeri pada seluruh lapang perut setelah KLL 1
jam SMRS. Pasien terjatuh dari motor ke selokan. Awalnya pasien menabrak pohon, lalu
pasien motor pasien kehilangan kendali. Motor pasien melaju tanpa kendali ke arah lajur
berlawanan, dan pasien melompat dari motornya saat berusaha menghindari mobil dari arah
berlawanan. Setelah melompat pasien terjatuh. Saat terjatuh, perut pasien terbentur tepi sudut
trotoar dan motor pasien menindih tubuh pasien. Nyeri perut dirasakan terus menerus, tidak
hilang timbul. Nyeri perut dirasakan memberat pada posisi-posisi tertentu. Pasien tidak
pingsan. Saat terjatuh, pasien mengenakan helm half-face, dan diikat pada dagu. Nyeri kepala
(-), nyeri pada leher (-), muntah (-), mengompol (-), BAB tidak bisa ditahan (-).
Sesuai dengan hasil teori diatas berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut ditemukan
tanda-tanda peritonitis umum akibat perdarahan intraabdomen pada trauma tumpul abdomen.
Berdasarkan hasil pemeriksaan diatas pasien dicurigai mengalami ruptur pada organ
intraabdomen yang menyebabkan perdarahan intraabdomen. Organ yang paling sering
terkena pada mekanisme kejadian kecelakaan motor dengan perut membentur stang motor
adalah limpa dan usus halus. Hal ini bisa disebabkan adanya mekanisme cedera kompresi,
laserasi ataupun deselerasi pada organ tersebut. Kecurigaan trauma ginjal dapat disingkirkan
dengan tidak adanya masifestasi hematuria.
Menurut alur penatalaksanaan trauma tumpul abdomen, penatalaksanaan yang
dilakukan pada pasien tidak tepat. Karena menurut alur tersebut, pasien trauma tumpul
abdomen dengan nyeri abdomen menyeluruh yang menjadi indikasi adanya peritonitis umum
haruslah dilakukan laparotomi eksplorasi. Namun pasien dalam kasus ini menjalani
pemeriksaan foto polos abdomen, foto abdomen 3 posisi, dan USG FAST terlebih dahulu
sebelum menjalani laparotomi eksplorasi.
Berdasarkan hasil USG FAST yang telah dilakukan yakni tampak cairan bebas
(asites) di hepatorenal, pericolica, dan perivesica. Sementara hepar, KE, lien, kedua ginjal,
dan buli tidak tampak kelainan secara USG. Didapatkannya penampakan asites dan tidak
52

terdapatnya kelainan pada organ-organ lain intraabdomen pada pemeriksaan USG tersebut
dapat mendukung diagnosis terjadinya perforasi pada organ berongga (viscus). Dalam hal ini,
dapat dicurigai terjadinya perforasi usus. Gejala peritonitis yang timbul juga menguatkan
kecurigaan terjadinya perforasi usus. Perforasi usus menyebabkan terjadinya rangsangan pada
peritoneum serta kontaminasi rongga perut oleh isi saluran pencernaan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya peritonitis.
Terapi awal yang diberikan pada pasien dengan trauma tumpul abdomen adalah
oksigen nasal kanul 2-4L/m, balans cairan dengan pemasangan kateter, atasi distensi dengan
pemasangan NGT, rehidrasi untuk mengurangi adanya syok hipovolemik akibat perdarahan
serta pemberian antibiotik dan analgetik, serta puasa untuk menginstirahatkan saluran
pencernaan pasien.
Pada pasien dipasang juga selang NGT dan kateter urin untuk mengurangi distensi
abdomen akibat adanya perdarahan karena perforasi organ-organ abdomen, diberikan juga O 2
2-4 liter/menit dan infus loading RL 500 cc yang dilanjutkan 60 tetes/ menit untuk mencegah
syok hipovolemik pada pasien. Antibiotik dan analgetik diberikan untuk persiapan operasi.
Antibiotik yang diberikan adalah Ceftriaxone 2x1 gr IV, analgetik yang diberikan adalah
Ketoprofen 1 amp.
Pada intra operasi laparotomi eksplorasi didapatkan keluarnya darah beserta stolsel,
dengan perdarahan 1200 cc. Tampak nekrosis ileum dan multiple impending perforasi
ileum 95 cm anal dari ligamentum Treitz sampai dengan 15 cm anal dari valvula Bahoni,
tampak juga laserasi mesoileum pada daerah ileum yang mengalami nekrosis. Sehingga
diputuskan untuk reseksi anastomosis ileum end to end, dan dilakukan repair pada mesoileum
yang mengalami laserasi. Pada eksplorasi, didapatkan liver dan lien tidak tampak perforasi
dan usus-usus lain dalam batas normal. Sehingga setelah operasi, pasien didiagnosis dengan
post-reseksi anastomosis ileum ai nekrosis dan perforasi ilem.
Pada follow up didapatkan hemodinamik pasien stabil selama 2 hari perawatan di
ICU. Pada hari III pasca operasi pasien dipindahkan ke ruang biasa. Prognosis ad vitam pada
pasien dubia ad bonam dengan alasan kemungkinan kondisi pasien memburuk hingga
mengancam nyawa tetap ada dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya sepsis
akibat peritonitis, dan untuk mencegahnya pasien diberikan terapi antibiotik. Untuk ad
functionam pasien dubia ad bonam dengan pertimbangan telah dilakukannya reseksi
anastomosis pada ileum pasien sehingga hal tersebut akan mempengaruhi fungsi pencernaan
pasien. Sementara untuk ad sanationam pasien bonam karena bila pasien tidak mengalami
53

trauma abdomen kembali, maka kemungkinan terjadinya perforasi viscus berulang dapat
disingkirkan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mulholland, Michael W, Lillemoe, et al. 2006. Greenfield's Surgery: SCIENTIFIC
PRINCIPLES AND PRACTICE, 4th Edition. Lippincot Williams & Wilkins.
2. Brunicardi, Charles; et al. 2010. Schwartzs principles of surgery. Edisi 9. USA: The
McGraw-Hill Companies.
3. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim, 2007. Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah.
Jakarta: EGC. Hal. 221-239,
4. Sabiston, et al. 2007. Sabiston texbook of surgery the biological basis of modern
surgical practice. Edisi ke 18. Saunders, An Imprint of Elsevier
5. Zulfan, Dedy. 2011. Peritonitis Generalisata Et Causa Trauma Tumpul Abdomen,
diambil pada tanggal 25-05-12, dari http://www.fkumyecase.net/
6. Karim. 2006. Grade 5 liver injury. Diambil pada tanggal 25-05-2012, dari
http://www.trauma.org/index.php/main/image/154/
7. charlotte; Isenhour, Jennifer and Marx, John. 2007. Advances in abdominal trauma.
USA: emergency medicine clinics of North America.
8. http://www.myoptumhealth.com/portal/ADAM/item/4d9615f059259110VgnVCM100
0005220720a
9. http://www.ebmedicine.net/topics.php?
paction=showTopicSeg&topic_id=60&seg_id=2079
54

10. Agung, I. G. N. 2010 Anatomi Abdomen. Catatan Radiograf. Diakses pada 26 Mei
2012dari http://catatanradiograf.blogspot.com/2010/08/anatomi-abdomen.html
11. Amro, M. 2006 Akut Abdomen. Scribd. Diakses pada tanggal 26 Mei 2012 dari
http://www.scribd.com/
12. Anonim. 2008 Kegawatdaruratan Sistem Pencernaan pada Trauma Abdomen. Diakses
pada 26 Mei 2012 dari http://pustaka.unpad.ac.id/
13. Dorland, W. A . N. 2002 Kamus Kedokteran Dorland Ed.29. Jakarta : EGC.
Dudley, H. A. F. 1992 Hamilton Bailey's Emergency Surgery. Yogyakarta : UGM
Press.
14. Feldman, G. 2006 Blunt Abdominal Trauma : Evaluation. Diakses pada 26 Mei 2012
dari http://www.docstoc.com/
15. Hoff. W S., Holevar M., Nagy K. K., Patterson L., Young .J S., Arrillaga A., Najarian
M. P.,
16. Valenziano C. P. 2001 PRACTICE MANAGEMENT GUIDELINES FOR THE
EVALUATION. Coatesville : Eastern Association for the Surgery of Trauma.
17. Jehangir B., Bhat A. H., Nazir, A. 2002 The Role of Ultrasonography in Blunt
Abdominal Trauma. JK-practitioner.
18. King M., Bewes P. 2002 Bedah Primer Trauma. Jakarta : EGC.
19. Salomone A. J., Salomone, J. P. 2011 Emergency Medicine: Abdominal Blunt
Trauma.Emedicine.

WebMD.

Diakses

pada

26

Mei

2012

dari

http://emedicine.medscape.com/
20. Snell, R S. 2006 Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC.
21. Srivathsan. 2009 Abdominal Trauma. Scribd. Scribd. Diakses pada 26 Mei 2012 dari
http://www.scribd.com/
22. Udeani, J., Steinberg
Trauma.Emedicine.

S.

R.

WebMD.

2011
Diakses

Trauma
pada

Medicine:
26

Blunt

Mei

Abdominal

2012

dari

http://emedicine.medscape.com/
23. Wegner, S., Colleti, J E., Wie, D V. 2006 Pediatric Blunt Abdominal Trauma. Pediatric
clinics. Diakses pada 26 Mei 2012 dari http://hsc.unm.edu/emermed/
24. Hoff,WilliamS,etal.2001.BluntAbdominalTrauma:DiagnosticEvaluation.
Diaksespada10September20120darihttp://www.east.org/

55

Anda mungkin juga menyukai