Anda di halaman 1dari 18

TUGAS

GENDER MENGENAI PENGETAHUAN


KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

DISUSUN OLEH :

MARTRI WULAN

G2U121005

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

perilaku seksual pranikah pada remaja semakin meningkat. Kenaikan ini disebabkan ini

disebabkan lantaran rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman para remaja terhadap risiko

hubungan seksual diluarnikah (BKKBN, 2014). Kenaikan angka ini juga dipengaruhi oleh

besarnya peran media online, social media, media cetak, televisi dan radio, yang saat ini sangat

marak beredar ditengah kehidupan sehari-sehari remaja. Tidak hanya media tersebut yang

berpengaruh terhadap kenaikan angka perilaku seksual pranikah remaja ini, tetapi juga peran

teman sebaya yang kuat pada remaja dan pergaulan sehariharinya juga memiliki andil yang

tinggi.

Karakter remaja yang serba ingin tahu dan ekploratif banyak menjadikan remaja melakukan

perilaku coba-coba untuk segala hal, terutama hal menyangkut seksualitas, karena aktivitas

hormonal terjadi sangat pesat sehingga terjadi pematangan fungsi seksual (Niskala, 2011: 3-9).

Akibat dari perubahan fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual yang terjadi pada masa

remaja ini, maka menimbulkan perilaku seksual aktif pada kalangan remaja, dan banyak diantara

remaja yang tidak bisa mengontrolnya sehingga terjadilah perilaku seksual yang beresiko.

Kasus dari dampak perilaku seksual pranikah umumnya merugikan pihak remaja perempuan

dan jarang menyalahkan pihak remaja laki-laki. Contohnya kasus kehamilan tidak diinginkan

(KTD) pada remaja cenderung memberikan diskriminasi hukuman sosial bagi perempuan

seperti; pihak yang dikeluarkan dari sekolah adalah perempuan, mendapatkan pandangan negatif

serta sinis dari orang-orang sekitar karena dianggap sebagai perempuan murahan.
Faktor penentu dari perilaku seksual beresiko pada remaja adalah pengetahuan, akses

informasi dan media, jenis kelamin, komunikasi dengan orangtua dan juga teman dengan

perilaku beresiko. Variabel yang paling dominan adalah jenis kelamin, yaitu lelaku lebih

berpotensi 5 kali lebih tinggi untuk melakukan seks pranikah dibandingkan dengan perempuan

(Lestari & Sugiharti, 2011). Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ditengarai

menjadi penyebab utama bagi remaja dalam melakukan perilaku seks beresiko (Widyastari,

Shalulihah, & Widjanarko, 2011).

Tingkat pengetahuan yang memadai pada remaja terkait kesehatan reproduksi memiliki

kontribusi untuk mengurangi kasus-kasus kesehatan reproduksi yang menimpa remaja. Respati

(2007) dalam jurnalnya menjelaskan tentang problematika yang dialami remaja akibat kurangnya

informasi kesehatan reproduksi diantaranya adalah kondisi menstruasi pertama kali, tanda-tanda

kehamilan, KTD, aborsi tidak aman, kematian karena melahirkan pada usia muda,

ketidakwaspadaan terhadap penyakit menular seksual, kasus HIV/AIDS yang terus meningkat,

serta diskriminasi gender yang sering kali meminggirkan dalam banyak hal, baik dalam

pendidikan, wawasan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengetahuan Remaja tentang Kesehatan Reproduksi Remaja

Salah satu pengetahuan yang perlu diketahui oleh remaja ialah pengetahuan kesehatan

reproduksi. Menurut suatu organisasi kesehatan internasional, WHO (World Health

Organisation), menyatakan bahwa kesehatan reproduksi itu sendiri 6 memiliki artian keadaan

sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental, dan sosial, dan bukan sekedar tidak adanya

penyakit disegala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya, maupun proses

reproduksi itu sendiri (Lubis, 2013:2). Pengetahuan reproduksi yang dimiliki oleh setiap individu

berperan penting dalam kehidupannya, maka menjaga kesehatan reproduksi tentunya perlu

dilakukan oleh setiap orang mengingat hal itu memiliki fungsi penting dalam hidup. Mengingat

bahwa seorang remaja itu mengalami masa pubertas yang erat kaitannya dengan fungsi kerja

reproduksi, maka seharusnya remaja memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kesehatan

reproduksi tersebut. Setiap individu tentunya memiliki pengetahuannya mengenai kesehatan

reproduksi tersebut, hanya saja porsi, tingkatan, atau keluasan pengetahuannya berbeda satu

sama lainnya.

Permasalahan kesehatan reproduksi ini telah menjadi salah satu topik yang diperhatikan oleh

kementrian kesehatan. Menurut Kementrian Kesehatan RI (2011:53), pengetahuan kesehatan

reproduksi yang perlu diketahui oleh seorang remaja adalah yang terkait hal-hal seperti, organ

reproduksi, konsepsi dan kehamilan, kesehatan reproduksi yang bertanggung jawab, dan perilaku

seksual beresiko. Berikut ini penulis akan memaparkan mengenai hal-hal tersebut secara rinci

satu per satu.


1. Organ Reproduksi Istilah reproduksi mempunyai arti suatu proses kehidupan manusia

dalam menghasilkan keturunan demi kelesetarian hidup. Organ reproduksi sendiri adalah

alat tubuh yang berfungsi untuk reproduksi manusia (Marmi, 2013: 2).

2. Konsepsi (pembuahan) dan Kehamilan

Konsepsi dan kehamilan ini menjadi tahap awal suatu proses reproduksi berlangsung.

Suatu proses konsepsi hanya akan dapat terjadi dengan didahului oleh hubungan

seksual/kopulasi (Nugroho & Setiawan, 2010: 13). Sejak pertama kali memasuki masa

pubertas, remaja perempuan sudah mulai memproduksi sel telur. Ketika sel telur itu telah

matang, maka dia akan dikeluarkan ke tuba fallopi menuju dinding rahim. Proses inilah

yang disebut dengan masa subur pada perempuan dimana pada masa inilah pembuahan

terjadi, yakni ketika sel telur siap bertemu dengan sel sperma, bila ada sel sperma yang

mendekati dan membuahinya, kemungkinan besar akan terjadi kehamilan. Jika sel telur

yang telah melalui tuba fallopi dan berada di dinding rahim, tetapi tidak dibuahi oleh sel

sperma, maka terjadilah menstruasi (Niskala, 2011: 26-30).

3. Kesehatan Reproduksi yang Bertanggung jawab

Menjaga kesehatan reproduksi dengan penuh tanggung jawab berarti memerlukan

pengetahuan yang memadai mengenai seputar kesehatan tersebut. Remaja perlu

mengetahui bahwa akibat dari aktivitas hormon seksual pada masa pubertas, sangat

mengendalikan perubahan fisik dan perilaku remaja. Perubahan psikologis juga terjadi

yaitu menyebabkan adanya ketertarikan pada lawan jenis yang merupakan perintah murni

dari otak kecil (hipotalamus) (Niskala, 2011: 9).

seorang remaja yang sehat dan bertanggung jawab memiliki arti bahwa remaja itu sehat

secara fisik, psikologis, dan sosialnya. Sehat secara fisik artinya dia tidak tertular
penyakit, tidak menyebabkan kehamilan sebelum nikah, tidak menyakiti atau merusak

kesehatan orang lain. Sedangkan sehat secara psikologis berarti dia memiliki rasa percaya

diri untuk tidak mengekspresikan keromantisme yang beresiko kepada pasangannya,

menguasai informasi kesehatan reproduksi sehingga dapat bersikap benar dan melakukan

pacaran yang sehat, mampu berkomunikasi dalam menyampaikan kemauan dan

ketidakmauannya dengan tegas ketika mengalami situasi yang beresiko; misalnya didesak

pacar untuk berhubungan intim, lalu mampu mengambil keputusan dengan

mempertimbangkan resiko dan siap menerima resikonya. Sedangkan sehat secara sosial

artinya dia mampu mempertimbangkan nilai-nilai sosial yang ada disekitarnya dan

mampu menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang ada.

4. Perilaku Seksual Beresiko

Adanya penurunan usia rata-rata pubertas mendorong remaja untuk aktif secara seksual

lebih dini. Lalu adanya persepsi bahwa dirinya memiliki resiko yang lebih rendah atau

tidak beresiko sama sekali yang berhubungan dengan perilaku seksual, semakin

mendorong remaja memenuhi dorongan seksualnya pada saat sebelum menikah. Persepsi

ini disebut youth vulnerability, dan remaja cenderung melakukan underestimate terhadap

vulnerability dirinya. Banyak remaja mengira bahwa kehamilan tidak akan terjadi pada

sexual intercourse (senggama) yang 10 pertama kali atau mereka merasa bahwa dirinya

tidak akan pernah terinfeksi HIV/AIDS karena pertahanan tubuhnya cukup kuat

(Notoatmodjo, 2007: 266-267).

Perilaku seks bebas ini dapat menimbulkan dampak negatif pada remaja, diantaranya

(Lubis, 2013: 76):


a. Dampak psikologis, pada remaja diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi,

rendah diri, bersalah, dan berdosa.

b. Dampak fisiologis, diantaranya dapat menimbulkan kehamilan tidak diinginkan dan

aborsi.

c. Dampak sosial, diantaranya dikucilkan, putus sekolah pada remaja perempuan yang

hamil, dan perubahan peran menjadi ibu, tekanan dari masyarakat yang mencela dan

menolak keadaan tersebut.

d. Dampak fisik, berkembangnya penyakit menular seksual dikalangan remaja, dengan

frekuensi penderita penyakit menular seksual (PMS) yang tertinggi antara usia 15-24

tahun. Infeksi penyakit menular seksual dapat menyebabkan kemandulan dan rasa

sakit kronis serta meningkatkan risiko terkena PMS dan HIV/AIDS

Perilaku seksual beresiko pada remaja memberikan resiko-resiko seperti kehamilan

tidak diinginkan (KTD), dimana hal ini beresiko terhadap alat reproduksinya yang belum

cukup matang, sistem hormonal belum terkoordinasi lancar, mengalami traumatik dalam

proses persalinan, adanya perasaan bersalah dan malu, dan akhirnya rencana masa

depannya terganggu; sekolah yang tak selesai, kemiskinan, perkawinan tak stabil (70%

cerai) dan masalah pengasuhan anak (Nugroho& Setiawan, 2010: 59; Dariyo, 2004: 90-

94).

Resiko berikutnya yakni aborsi, dimana tidak sedikit dari remaja yang mengalami

KTD melakukan aborsi. 11 Aborsi beresiko terhadap kemungkinan terjadinya infeksi

pada alat reproduksi, kemandulan, perdarahan atau robek rahim– hingga kematian,

perasaan (bersalah, depresi, marah), penolakan dari masyarakat, melanggar hukum, dan

traumatis kehamilan/melahirkan (Nugroho & Setiawan, 2010: 62; Lubis, 2013: 85-87;
Dariyo, 2004: 90-94). Selain itu juga beresiko terserang penyakit seksual, seperti infeksi

menular seksual dimana hal ini dapat terjadi pada remaja pria dan perempuan. Pada

remaja perempuan dampaknya adalah terganggunya siklus menstruasi, terjadinya

keputihan patologis, lahirnya anak-anak dengan cacat bawaan, adanya peradangan organ,

dan lebih rentan tertular HIV/AIDS.

Sedangkan bagi remaja pria berdampak pada gangguang nyeri pada saat buang air

kecil, mengganggu produksi sperma sehingga menimbulkan kemandulan, lebih mudah

terinfeksi HIV, pembengkakan ringan disertai rasa gatal di kulit batang kemaluan

(Nugroho & Setiawan, 2010: 81- 101; Dariyo, 2004: 39). Kemudian, momok yang paling

menakutkan sebagai resiko kesehatan reproduksi pada remajanya ini adalah HIV/AIDS.

Bila terkena penyakit ini kondisi tubuh menunjukkan gejala beberapa penyakit karena

menurunnya sistem kekebalan tubuh. Penularan penyakit ini berbeda dengan infeksi

menular seksual lainnya, HIV dapat menular melalui berbagai cara; hubungan intim,

transfuse darah, menyusui, penggunaan bersama jarum suntik (biasanya pada pengguna

narkoba), serta melalui plasenta (jika penderita HIV hamil) (Niskala, 2011: 28-30).

B. Remaja

Remaja “adolescence” berasal dari bahasa Latin “adolescere” dapat diartikan sebagai

tumbuh kearah kematangan, yang memiliki arti yang sangat luas, mencakup kematangan mental,

emosional, sosial, dan fisik (Sarwono, 2012: 11). WHO (World Health Organisation)

memberikan definisi bahwa adolesensia adalah periode perkembangan antara pubertas, peralihan

biologis dan masa dewasa, yang semula diterima (WHO 1965) antara umur 10-20 tahun. Saat ini

istilah “youth” atau “young people” digunakan untuk kelompok umur antara 10-24 tahun (WHO
1971) dan ini cukup beralasan untuk menyusun semacam interval 5 tahun sebagai analisa dan

diskusi, yaitu sebagai berikut (Sarwono, 1981: 1):

10-14 adolesensia awal (early adolescence/pubescence)

15-19 adolesensia pertengahan (mid to late)

20-24 remaja, remaja dewasa (youth, young-adulthood)

Dimasa ini dimana kematangan seksual menjadi ciri utamanya, ikut mempengaruhi juga

karakter pribadi sang remaja. Dirgagunarsa (Sarwono, 1981: 30) menyebutkan karakter pribadi

remaja tersebut adalah eksperimentasi, eksplorasi, belum bertanggung jawab, masih mengikuti

kesenangan sesaat, tidak berpikir dewasa dalam jangka jauh, yang mana hal itu sering

menimbulkan masalah seksualitas. Masalah seksualitas yang sering timbul tetapi tidak terlalu

mencemaskan adalah masturbasi. Sedangkan yang sering timbul juga namun mencemaskan

adalah “penyerahan diri” baik bagi remaja pria maupun perempuan, mungkin sebagai eksplorasi,

mungkin juga “just for fun”. Hal ini meninggalkan akibat bagi perkembangan remaja,

menghambat perkembangan fisik, sosial maupun kepribadiannya. Masalah seksualitas sering

menambah gelora jiwa, insecurity feelings, yang justru merupakan syarat mutlak “security

feelings” demi melancarkan jalannya proses menuju kedewasaannya.

C. Gender

Menurut Santrock (2004: 194), gender adalah dimensi sosiokultural dan psikologis dari laki-

laki dan perempuan. Sedangkan menurut WHO (Siahaan, 2013: 22) gender adalah perbedaan

status dan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan

nilai budaya yang berlaku dalam periode waktu tertentu. Selain itu, bagi Fakih (1996: 9), konsep

gender sebenarnya ialah suatu sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Menurutnya, ciri-ciri sifat itu sendiri merupakan

sifat-sifat yang diperdekatkan. Perubahan ciri sifat-sifat itu terjadi dari waktu ke waktu dan dari

tempat satu ke tempat lainnya, misalnya perempuan itu dikenal: lemah lembut, cantik,

emosional, keibuan, sementara lelaki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Jadi, semua hal

yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke

waktu serta berbeda diberbagai tempat maupun yang berbeda diantara kelas-kelas masyarakat

itulah yang dikenal dengan konsep gender.

Dari beberapa definisi tersebut, maka, gender adalah peran-peran dan atributatribut sosial

yang diberlakukan atau dikenakan kepada individu berdasarkan jenis kelaminnya. Peran dan

atribut tersebut terbentuk atau terkonstruksi secara sosiokultural. Menurut Rudman & Glick

(2010: 19-20) pengkatagorisasian peran-peran dan atribut-atribut tersebut ke dalam dua katagori:

laki-laki dan perempuan, membentuk stereotype-stereotipe gender seperti sifat-sifat feminine

untuk perempuan; sifat-sifat maskulin untuk laki-laki. Gender stereotipe sering kali menjadi

dasar diskriminasi berdasarkan gender (Rudman & Glick, 2010: 22).

D. Gender dan Perilaku Seksual

Perbedaan gender dalam seksualitas manusia telah banyak didokumentasikan. Salah satu

temuan yang konsisten adalah wanita cenderung punya orientasi seksualitas yang lebih relasional

atau ke partner; sedangkan lelaki lebih berorientasi ke rekreasional atau tubuh. Misalnya,

dibandingkan wanita, pria lebih toleran terhadap seks kasual. Lelaki lebih menerima hubungan

pranikah, termasuk hubungan seks pada masa pacaran. Lelaki juga lebih menerima hubungan

seks di luar nikah (Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 442 ).


Pria dan perempuan juga berbeda dalam memberi alasan untuk hubungan seks. Diantara

pasangan kencan heteroseksual, perempuan mengaggap tujuan seks sebagai ekspresi kasih

sayang kepada orang lain dalam suatu komitmen. Sebaliknya pria lebih menekankan pada variasi

seks dan kepuasan fisik sebagai tujuan seks (Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 442).

Dalam soal hubungan seks kasual pria dan perempuan muda memberi jawaban yang sama,

termasuk dalam hal keinginan seksual, eksperimentasi, dan daya tarik partner. Meski demikian,

pria lebih sering menyebutkan peningkatan status, sedangkan perempuan lebih sering

mengatakan bahwa seks mungkin meningkatkan probabilitas komitmen jangka panjang dengan

partner (Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 442).

Riset tentang fantasi seksual menemukan pola serupa. Perempuan cenderung berfantasi

tentang partner yang dikenal dengan bumbu kasih sayang dan komitmen. Fantasi pria lebih

banyak tentang partner asing dan fokus pada tindakan seks spesifik. Dorongan seks adalah

motivasi seksual atau keinginan untuk berhubungan seks, pada pria dorongan seks lebih kuat

daripada perempuan. Pria berpikir dan berfantasi tentang seks lebih sering ketimbang

perempuan. Pria lebih sering melaporkan gairah seksnya bangkit dan lebih sering bermasturbasi

ketimbang perempuan (Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 443).

E. Feminisme dalam Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja

Dalam bukunya mengenai Feminisme Bagi Pemula, Rueda, Rodriguez, & Watkins (2007:

84) memaparkan bagaimana perempuan didiskriminasikan oleh laki-laki terkait fungsi

reproduksinya. Mereka mengatakan, bahwa suami dari kelas yang berkuasa „memiliki‟ istrinya,

sebagaimana dia memiliki budak-budak perempuannya, bukan hanya kekuasaanya atas hidup

matinya istrinya, namum lewat kontrolnya atas „kesuburan‟ istrinya. Pemingitan dan
pengasingan kaum perempuan, pengkultusan keperawanan dan hukuman mati terhadap

perempuan yang berzina (dan tak pernah laki-laki) semua merupakan bukti dari kontrol lakilaki

atas kehidupan, kebebasan bergerak, seksualitas dan kematian perempuan.

Selain itu, mereka juga memaparkan mengenai persamaan antara pria dan perempuan yang

dimulai dari rumah. Mereka menyatakan bahwa meski dengan cara sedemikian rupa sehingga

jika perempuan melaksanakan tugas-tugasnya dalam keluarga, dia menjadi terasingkan dari

produksi dan tak bisa mendapatkan upahnya sendiri; dan jika dia ingin terlibat dalam industri dan

mendapatkan upahnya secara mandiri, dia tak bisa memenuhi tugas-tugasnya dalam keluarga.

Apa yang berlaku buat perempuan dalam pabrik juga berlaku terhadap perempuan di semua

cabang usaha, sampai dengan pengobatan dan hukum. Keluarga modern didasarkan pada

perbudakan domestik yang tersembunyi maupun terbuka terhadap kaum perempuan (Rueda,

Rodriguez, & Watkins, 2007: 85).

Berikut adalah kutipan dari pemimpin komunis salah satunya oleh Adolf Hitler, pada tahun

1930-an mengenai perempuan:

“Tempat perempuan ialah di tempat tidur, dapur, dan gereja.”

“Tinggallah di rumah dan lahirkan tentara – tentara.” (Rueda, Rodriguez, & Watkins,

2007: 95)

Dari cuplikan kutipan tersebut, dimana itu adalah cuplikan puluhan tahun yang lalu, yang

menggambarkan posisi perempuan yang tersubordinasi dan hanya berfungsi sebagai peran

reproduksi, perempuan peran utamanya adalah pada ranah domestik. Sebenarnya hal itu tanpa

kita sadari masih berlangsung hingga sekarang. Di jaman sekarang yang sudah maju dan lebih

modern dimana peran pria dan perempuan dalam ranah kerja dan sosial hampir setara, namun
masih menyimpan dan mempraktekkan prinsip konservatif tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Disekitar kita, masih banyak ditemui perempuan yang masih kurang mampu melawan laki-laki

sehingga kalah dalam mempertahankan dirinya. Misalnya, dari kasus-kasus kehamilan yang

tidak diinginkan pada remaja yang ditemui oleh MCR PKBI, banyak dari remaja yang

menyampaikan bahwa mereka dipaksa dan diancam oleh pacarnya untuk melakukan hubungan

intim. Ucapan umum yang disampaikan oleh pria adalah perempuan harus melakukan hubungan

intim untuk menunjukkan rasa sayang mereka kepada sang pria, dan ancaman umumnya adalah

jika mereka tidak mau melakukannya maka artinya perempuan itu tidak sayang kepada sang pria

dan pria itu akan memutuskan hubungan pacaran mereka. Ancaman seperti itu cukup membuat

perempuan menjadi lemah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arliani (2013: 43-46) yang

berjudul “Fenomena Seksual Pranikah Pada Kalangan Mahasiswa Anak Kost di Gegerkalong

Bandung”, menyebutkan bahwa remaja perempuan yang melakukan hubungan intim selalu

terjadi karena dorongan yang kuat dari pasangan, hingga akhirnya tidak dapat menolak ajakan

dari pasangannya untuk melakukan Intercourse. Aktivitas seksual yang terjadi selalu dimulai

oleh pasangannya, remaja pria. Ada kalanya ketika intercourse itu terjadi saat remaja perempuan

berada pada kondisi terpaksa dan merasa lemah karena dibentak oleh pasangannya, yang terjadi

akibat kecemburuan pria kepada perempuan, dan meminta hubungan intim sebagai bukti cinta

dan sayangnya kepada sang pria, Fenomena seperti ini menunjukkan adanya perlakuan kekerasan

pada perempuan oleh pria.

Mary Wollstonecraft (Rueda, Rodriguez, & Watkins, 2007: 17) pernah berkata bahwa dia

sungguh-sungguh ingin melihat lenyapnya perbedaan antar jenis kelamin, kecuali dalam urusan

cinta. Mary adalah seorang tokoh pejuang feminis yang cukup terkenal. Dalam ucapan Mary

tersebut, tergambar bahwa sekuat apapun perempuan dalam membela keadilan bagi kaum
perempuan lainnya, namun ketika dia bertemu dengan pria dan jatuh cinta maka perempuan kuat

pun akan menjadi lemah dan tidak lagi memandang perbedaan diantaranya.

Hal itu, hingga sekarang masih terasa efeknya pada hubungan pria-wanita, terutama pada

remaja yang dengan usia mereka belum terlalu matang dalam memikirkan dampak baik buruk

dan jangka panjang dari perbuatan mereka. Sehingga, banyak diantara pasangan remaja yang

terbius oleh rasa cinta dan alasan terlanjur sayang kepada pasangannya, dengan mudah dan rela

memberikan keperawanan mereka dalam status diluar nikah.

Dalam pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, terdapat kaitan antara dampak

berhubungan seks dan kehamilan dini bagi remaja, efeknya lebih banyak negatif, baik itu

terhadap kesehatan remaja tersebut maupun masa depan remaja tersebut. Remaja yang hamil dini

akan berubah secara drastis status dari peran seorang anak-anak menjadi peran seorang ibu.

Dimana hal itu sangatlah besar 34 perubahannya dan merupakan tugas yang berat untuk

diembannya dimasa remajanya. Begitu pula terhadap remaja pria, mereka akan berubah status

menjadi peran seorang ayah yang mencari nafkah dan membiayai istri dan anak. Tidak banyak

remaja pria yang sanggup mengemban tanggungjawab peran tersebut, sehingga banyak terjadi

kasus dimana pria itu menghindar dan lari. Namun ada juga yang berlanjut pada pernikahan dini

sebagai bentuk dari reaksi malu atas kejadian yang terjadi, malu dengan komentar-komentar

lingkungan sekitar mereka. Biasanya, pernikahan dini akibat seks bebas tersebut tidak berjalan

lama, dan berakibat pada perceraian muda. Remaja perempuan akan berstatus menjadi janda

muda yang memiliki anak. Sedangkan bagi remaja pria, berstatus duda tidaklah terlalu

bermasalah karena hal itu secara fisik tidak terlihat jelas pada dirinya. Saifuddin & Hidayana

menyebutkan, dalam laporan dari jurnal ESCAP pada tahun 1992 menunjukkan bahwa di

Indonesia satu dari lima perempuan yang statusnya menikah dan berusia 20-24 tahun melahirkan
anak pertama yang merupakan buah dari hubungan seks pranikah (1999, Taufik & Anganthi,

2005).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

 Diperlukannya pengetahuan serta informasi mengenai Perkembangan fisik, kejiwaan, dan

kematangan seksual remaja. Hal ini akan memudahkan remaja untuk memahami serta

mengatasi berbagai keadaan yang membingungkan, Serta dampak berhubungan seks dan

kehamilan dini bagi remaja, efeknya lebih banyak negatif, baik itu terhadap kesehatan

remaja tersebut maupun masa depan remaja tersebut

 Manusia secara biologis mempunyai kebutuhan seksual. Remaja perlu mengendalikan

naluri seksual dan menyalurkannya menjadi kegiatan positif, seperti olahraga dan

mengembangkan hobi yang positif. Penyaluran yang berupa hubungan seksual dilakukan

setelah berkeluarga untuk melanjutkan keturunan.

 Pergaulan yang sehat antar remaja laki-laki dan perempuan serta kewaspadaan terhadap

masalah remaja yang banyak ditemukan. Serta kiat-kiat untuk mempertahankan diri

secara fisik maupun psikis serta mental dalam menghadapi godaan, seperti ajakan untuk

melakukan hubungan seksual dan penggunaan napza.

B. Saran

diharapkan orangtua atau orang dewasa disekitar remaja pria tidak lagi memperlakukan

mereka seolah mereka sudah mengetahui dan mengerti akan informasi tentang dirinya yang

perlu mereka ketahui sejak memasuki masa pubertas. Keluarga seharusnya menjadi media

informasi pertama dan utama untuk pendidikan kespro dan seks dini bagi remaja pria dan juga

remaja perempuan. Agar mereka tidak keliru memahami dan memiliki pengetahuan yang
memadai mengenai dirinya dan mengenai kehidupan seksualnya. Lingkungan keluarga

diharapkan dapat asertif dan bijak dalam memberikan pengetahuan dengan cara yang tepat

kepada remaja, dengan mengurangi persepsi bahwa itu sesuatu yang tabu untuk didiskusikan

kepada anak-anak. Sebab, banyaknya kasus kenakalan remaja yang berkaitan dengan kehidupan

seksual yang marak saat ini, adalah sebagai salah satu akibat kurangnya pemahaman yang baik

oleh remaja tentang kesehatan reproduksinya. Selain itu dapat juga dibentuk kelas khusus oleh

para pekerja di ranah psikologi mengenai kesehatan reproduksi yang berisikan pelatihan

komunikasi bagi para remaja guna mampu menyampaikan haknya dengan jelas dan tegas kepada

pasangannya dalam situasi yang mendesak dan dalam melindungi kesehatan reproduksi dirinya.
DAFTAR PUSTAKA

Ainun, Y. 2013. 28 Persen Pekerja Seks Remaja di Bandung adalah PelajarAktif. [Online]. Tersedia pada:

www.regional.kompas.com. Diakses pada tanggal: 5 September 2013.

Alwasilah, Chaedar, A. 2012. Pokoknya Kualitatif:Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian

Kualitatif. Bandung: Pustaka Jaya.

Andriyani, Iche. 2012. Pengaruh Life Skills Terhadap Perilaku Seks pada Remaja di Wilayah Seberang

Ulu Kota Palembang. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 3 (03).pp. 172-181. ISSN 2086-6380. [Online].

Tersedia pada: http://eprints.unsri.ac.id/3318/ .Diakses pada tanggal: 10 Januari 2014.

Dagun, M, Save. 1992. Maskulin dan Feminin: Perbedaan Pria-Wanita dalam Fisiologi, Psikologi,

Seksual, Karier dan Masa Depan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Fauzi. 2008. Kesehatan Reproduksi Remaja. [Online]. Tersedia pada: http://www.kespro.info?q=remaja.

Diakses pada tanggal: 15 Februari 2015.

Humas. 2014. Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja Meningkat. [Online]. Tersedia pada:

www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=1617 .Diakses pada tanggal: 1 Juli 2014.

Kusumastuti, A, Fadhila. 2010. Hubungan Antara Pengetahuan dengan Sikap Seksual Pranikah Remaja.

Skripsi. Surakarta: Prodi Kebidanan Universitas Sebelas Maret.

Niskala, S. 2011. Agar Seks Tidak Salah Jalan: Pendidikan Seks yang Benar untuk Remaja. Jakarta:

Progressio Publishing.

Anda mungkin juga menyukai