DISUSUN OLEH :
MARTRI WULAN
G2U121005
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
perilaku seksual pranikah pada remaja semakin meningkat. Kenaikan ini disebabkan ini
disebabkan lantaran rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman para remaja terhadap risiko
hubungan seksual diluarnikah (BKKBN, 2014). Kenaikan angka ini juga dipengaruhi oleh
besarnya peran media online, social media, media cetak, televisi dan radio, yang saat ini sangat
marak beredar ditengah kehidupan sehari-sehari remaja. Tidak hanya media tersebut yang
berpengaruh terhadap kenaikan angka perilaku seksual pranikah remaja ini, tetapi juga peran
teman sebaya yang kuat pada remaja dan pergaulan sehariharinya juga memiliki andil yang
tinggi.
Karakter remaja yang serba ingin tahu dan ekploratif banyak menjadikan remaja melakukan
perilaku coba-coba untuk segala hal, terutama hal menyangkut seksualitas, karena aktivitas
hormonal terjadi sangat pesat sehingga terjadi pematangan fungsi seksual (Niskala, 2011: 3-9).
Akibat dari perubahan fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual yang terjadi pada masa
remaja ini, maka menimbulkan perilaku seksual aktif pada kalangan remaja, dan banyak diantara
remaja yang tidak bisa mengontrolnya sehingga terjadilah perilaku seksual yang beresiko.
Kasus dari dampak perilaku seksual pranikah umumnya merugikan pihak remaja perempuan
dan jarang menyalahkan pihak remaja laki-laki. Contohnya kasus kehamilan tidak diinginkan
(KTD) pada remaja cenderung memberikan diskriminasi hukuman sosial bagi perempuan
seperti; pihak yang dikeluarkan dari sekolah adalah perempuan, mendapatkan pandangan negatif
serta sinis dari orang-orang sekitar karena dianggap sebagai perempuan murahan.
Faktor penentu dari perilaku seksual beresiko pada remaja adalah pengetahuan, akses
informasi dan media, jenis kelamin, komunikasi dengan orangtua dan juga teman dengan
perilaku beresiko. Variabel yang paling dominan adalah jenis kelamin, yaitu lelaku lebih
berpotensi 5 kali lebih tinggi untuk melakukan seks pranikah dibandingkan dengan perempuan
(Lestari & Sugiharti, 2011). Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ditengarai
menjadi penyebab utama bagi remaja dalam melakukan perilaku seks beresiko (Widyastari,
Tingkat pengetahuan yang memadai pada remaja terkait kesehatan reproduksi memiliki
kontribusi untuk mengurangi kasus-kasus kesehatan reproduksi yang menimpa remaja. Respati
(2007) dalam jurnalnya menjelaskan tentang problematika yang dialami remaja akibat kurangnya
informasi kesehatan reproduksi diantaranya adalah kondisi menstruasi pertama kali, tanda-tanda
kehamilan, KTD, aborsi tidak aman, kematian karena melahirkan pada usia muda,
ketidakwaspadaan terhadap penyakit menular seksual, kasus HIV/AIDS yang terus meningkat,
serta diskriminasi gender yang sering kali meminggirkan dalam banyak hal, baik dalam
PEMBAHASAN
Salah satu pengetahuan yang perlu diketahui oleh remaja ialah pengetahuan kesehatan
Organisation), menyatakan bahwa kesehatan reproduksi itu sendiri 6 memiliki artian keadaan
sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental, dan sosial, dan bukan sekedar tidak adanya
penyakit disegala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya, maupun proses
reproduksi itu sendiri (Lubis, 2013:2). Pengetahuan reproduksi yang dimiliki oleh setiap individu
berperan penting dalam kehidupannya, maka menjaga kesehatan reproduksi tentunya perlu
dilakukan oleh setiap orang mengingat hal itu memiliki fungsi penting dalam hidup. Mengingat
bahwa seorang remaja itu mengalami masa pubertas yang erat kaitannya dengan fungsi kerja
reproduksi, maka seharusnya remaja memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kesehatan
reproduksi tersebut, hanya saja porsi, tingkatan, atau keluasan pengetahuannya berbeda satu
sama lainnya.
Permasalahan kesehatan reproduksi ini telah menjadi salah satu topik yang diperhatikan oleh
reproduksi yang perlu diketahui oleh seorang remaja adalah yang terkait hal-hal seperti, organ
reproduksi, konsepsi dan kehamilan, kesehatan reproduksi yang bertanggung jawab, dan perilaku
seksual beresiko. Berikut ini penulis akan memaparkan mengenai hal-hal tersebut secara rinci
dalam menghasilkan keturunan demi kelesetarian hidup. Organ reproduksi sendiri adalah
alat tubuh yang berfungsi untuk reproduksi manusia (Marmi, 2013: 2).
Konsepsi dan kehamilan ini menjadi tahap awal suatu proses reproduksi berlangsung.
Suatu proses konsepsi hanya akan dapat terjadi dengan didahului oleh hubungan
seksual/kopulasi (Nugroho & Setiawan, 2010: 13). Sejak pertama kali memasuki masa
pubertas, remaja perempuan sudah mulai memproduksi sel telur. Ketika sel telur itu telah
matang, maka dia akan dikeluarkan ke tuba fallopi menuju dinding rahim. Proses inilah
yang disebut dengan masa subur pada perempuan dimana pada masa inilah pembuahan
terjadi, yakni ketika sel telur siap bertemu dengan sel sperma, bila ada sel sperma yang
mendekati dan membuahinya, kemungkinan besar akan terjadi kehamilan. Jika sel telur
yang telah melalui tuba fallopi dan berada di dinding rahim, tetapi tidak dibuahi oleh sel
mengetahui bahwa akibat dari aktivitas hormon seksual pada masa pubertas, sangat
mengendalikan perubahan fisik dan perilaku remaja. Perubahan psikologis juga terjadi
yaitu menyebabkan adanya ketertarikan pada lawan jenis yang merupakan perintah murni
seorang remaja yang sehat dan bertanggung jawab memiliki arti bahwa remaja itu sehat
secara fisik, psikologis, dan sosialnya. Sehat secara fisik artinya dia tidak tertular
penyakit, tidak menyebabkan kehamilan sebelum nikah, tidak menyakiti atau merusak
kesehatan orang lain. Sedangkan sehat secara psikologis berarti dia memiliki rasa percaya
menguasai informasi kesehatan reproduksi sehingga dapat bersikap benar dan melakukan
ketidakmauannya dengan tegas ketika mengalami situasi yang beresiko; misalnya didesak
mempertimbangkan resiko dan siap menerima resikonya. Sedangkan sehat secara sosial
artinya dia mampu mempertimbangkan nilai-nilai sosial yang ada disekitarnya dan
Adanya penurunan usia rata-rata pubertas mendorong remaja untuk aktif secara seksual
lebih dini. Lalu adanya persepsi bahwa dirinya memiliki resiko yang lebih rendah atau
tidak beresiko sama sekali yang berhubungan dengan perilaku seksual, semakin
mendorong remaja memenuhi dorongan seksualnya pada saat sebelum menikah. Persepsi
ini disebut youth vulnerability, dan remaja cenderung melakukan underestimate terhadap
vulnerability dirinya. Banyak remaja mengira bahwa kehamilan tidak akan terjadi pada
sexual intercourse (senggama) yang 10 pertama kali atau mereka merasa bahwa dirinya
tidak akan pernah terinfeksi HIV/AIDS karena pertahanan tubuhnya cukup kuat
Perilaku seks bebas ini dapat menimbulkan dampak negatif pada remaja, diantaranya
aborsi.
c. Dampak sosial, diantaranya dikucilkan, putus sekolah pada remaja perempuan yang
hamil, dan perubahan peran menjadi ibu, tekanan dari masyarakat yang mencela dan
frekuensi penderita penyakit menular seksual (PMS) yang tertinggi antara usia 15-24
tahun. Infeksi penyakit menular seksual dapat menyebabkan kemandulan dan rasa
tidak diinginkan (KTD), dimana hal ini beresiko terhadap alat reproduksinya yang belum
cukup matang, sistem hormonal belum terkoordinasi lancar, mengalami traumatik dalam
proses persalinan, adanya perasaan bersalah dan malu, dan akhirnya rencana masa
depannya terganggu; sekolah yang tak selesai, kemiskinan, perkawinan tak stabil (70%
cerai) dan masalah pengasuhan anak (Nugroho& Setiawan, 2010: 59; Dariyo, 2004: 90-
94).
Resiko berikutnya yakni aborsi, dimana tidak sedikit dari remaja yang mengalami
pada alat reproduksi, kemandulan, perdarahan atau robek rahim– hingga kematian,
perasaan (bersalah, depresi, marah), penolakan dari masyarakat, melanggar hukum, dan
traumatis kehamilan/melahirkan (Nugroho & Setiawan, 2010: 62; Lubis, 2013: 85-87;
Dariyo, 2004: 90-94). Selain itu juga beresiko terserang penyakit seksual, seperti infeksi
menular seksual dimana hal ini dapat terjadi pada remaja pria dan perempuan. Pada
keputihan patologis, lahirnya anak-anak dengan cacat bawaan, adanya peradangan organ,
Sedangkan bagi remaja pria berdampak pada gangguang nyeri pada saat buang air
terinfeksi HIV, pembengkakan ringan disertai rasa gatal di kulit batang kemaluan
(Nugroho & Setiawan, 2010: 81- 101; Dariyo, 2004: 39). Kemudian, momok yang paling
menakutkan sebagai resiko kesehatan reproduksi pada remajanya ini adalah HIV/AIDS.
Bila terkena penyakit ini kondisi tubuh menunjukkan gejala beberapa penyakit karena
menurunnya sistem kekebalan tubuh. Penularan penyakit ini berbeda dengan infeksi
menular seksual lainnya, HIV dapat menular melalui berbagai cara; hubungan intim,
transfuse darah, menyusui, penggunaan bersama jarum suntik (biasanya pada pengguna
narkoba), serta melalui plasenta (jika penderita HIV hamil) (Niskala, 2011: 28-30).
B. Remaja
Remaja “adolescence” berasal dari bahasa Latin “adolescere” dapat diartikan sebagai
tumbuh kearah kematangan, yang memiliki arti yang sangat luas, mencakup kematangan mental,
emosional, sosial, dan fisik (Sarwono, 2012: 11). WHO (World Health Organisation)
memberikan definisi bahwa adolesensia adalah periode perkembangan antara pubertas, peralihan
biologis dan masa dewasa, yang semula diterima (WHO 1965) antara umur 10-20 tahun. Saat ini
istilah “youth” atau “young people” digunakan untuk kelompok umur antara 10-24 tahun (WHO
1971) dan ini cukup beralasan untuk menyusun semacam interval 5 tahun sebagai analisa dan
Dimasa ini dimana kematangan seksual menjadi ciri utamanya, ikut mempengaruhi juga
karakter pribadi sang remaja. Dirgagunarsa (Sarwono, 1981: 30) menyebutkan karakter pribadi
remaja tersebut adalah eksperimentasi, eksplorasi, belum bertanggung jawab, masih mengikuti
kesenangan sesaat, tidak berpikir dewasa dalam jangka jauh, yang mana hal itu sering
menimbulkan masalah seksualitas. Masalah seksualitas yang sering timbul tetapi tidak terlalu
mencemaskan adalah masturbasi. Sedangkan yang sering timbul juga namun mencemaskan
adalah “penyerahan diri” baik bagi remaja pria maupun perempuan, mungkin sebagai eksplorasi,
mungkin juga “just for fun”. Hal ini meninggalkan akibat bagi perkembangan remaja,
menambah gelora jiwa, insecurity feelings, yang justru merupakan syarat mutlak “security
C. Gender
Menurut Santrock (2004: 194), gender adalah dimensi sosiokultural dan psikologis dari laki-
laki dan perempuan. Sedangkan menurut WHO (Siahaan, 2013: 22) gender adalah perbedaan
status dan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan
nilai budaya yang berlaku dalam periode waktu tertentu. Selain itu, bagi Fakih (1996: 9), konsep
gender sebenarnya ialah suatu sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Menurutnya, ciri-ciri sifat itu sendiri merupakan
sifat-sifat yang diperdekatkan. Perubahan ciri sifat-sifat itu terjadi dari waktu ke waktu dan dari
tempat satu ke tempat lainnya, misalnya perempuan itu dikenal: lemah lembut, cantik,
emosional, keibuan, sementara lelaki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Jadi, semua hal
yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke
waktu serta berbeda diberbagai tempat maupun yang berbeda diantara kelas-kelas masyarakat
Dari beberapa definisi tersebut, maka, gender adalah peran-peran dan atributatribut sosial
yang diberlakukan atau dikenakan kepada individu berdasarkan jenis kelaminnya. Peran dan
atribut tersebut terbentuk atau terkonstruksi secara sosiokultural. Menurut Rudman & Glick
(2010: 19-20) pengkatagorisasian peran-peran dan atribut-atribut tersebut ke dalam dua katagori:
untuk perempuan; sifat-sifat maskulin untuk laki-laki. Gender stereotipe sering kali menjadi
Perbedaan gender dalam seksualitas manusia telah banyak didokumentasikan. Salah satu
temuan yang konsisten adalah wanita cenderung punya orientasi seksualitas yang lebih relasional
atau ke partner; sedangkan lelaki lebih berorientasi ke rekreasional atau tubuh. Misalnya,
dibandingkan wanita, pria lebih toleran terhadap seks kasual. Lelaki lebih menerima hubungan
pranikah, termasuk hubungan seks pada masa pacaran. Lelaki juga lebih menerima hubungan
pasangan kencan heteroseksual, perempuan mengaggap tujuan seks sebagai ekspresi kasih
sayang kepada orang lain dalam suatu komitmen. Sebaliknya pria lebih menekankan pada variasi
seks dan kepuasan fisik sebagai tujuan seks (Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 442).
Dalam soal hubungan seks kasual pria dan perempuan muda memberi jawaban yang sama,
termasuk dalam hal keinginan seksual, eksperimentasi, dan daya tarik partner. Meski demikian,
pria lebih sering menyebutkan peningkatan status, sedangkan perempuan lebih sering
mengatakan bahwa seks mungkin meningkatkan probabilitas komitmen jangka panjang dengan
Riset tentang fantasi seksual menemukan pola serupa. Perempuan cenderung berfantasi
tentang partner yang dikenal dengan bumbu kasih sayang dan komitmen. Fantasi pria lebih
banyak tentang partner asing dan fokus pada tindakan seks spesifik. Dorongan seks adalah
motivasi seksual atau keinginan untuk berhubungan seks, pada pria dorongan seks lebih kuat
daripada perempuan. Pria berpikir dan berfantasi tentang seks lebih sering ketimbang
perempuan. Pria lebih sering melaporkan gairah seksnya bangkit dan lebih sering bermasturbasi
Dalam bukunya mengenai Feminisme Bagi Pemula, Rueda, Rodriguez, & Watkins (2007:
reproduksinya. Mereka mengatakan, bahwa suami dari kelas yang berkuasa „memiliki‟ istrinya,
sebagaimana dia memiliki budak-budak perempuannya, bukan hanya kekuasaanya atas hidup
matinya istrinya, namum lewat kontrolnya atas „kesuburan‟ istrinya. Pemingitan dan
pengasingan kaum perempuan, pengkultusan keperawanan dan hukuman mati terhadap
perempuan yang berzina (dan tak pernah laki-laki) semua merupakan bukti dari kontrol lakilaki
Selain itu, mereka juga memaparkan mengenai persamaan antara pria dan perempuan yang
dimulai dari rumah. Mereka menyatakan bahwa meski dengan cara sedemikian rupa sehingga
jika perempuan melaksanakan tugas-tugasnya dalam keluarga, dia menjadi terasingkan dari
produksi dan tak bisa mendapatkan upahnya sendiri; dan jika dia ingin terlibat dalam industri dan
mendapatkan upahnya secara mandiri, dia tak bisa memenuhi tugas-tugasnya dalam keluarga.
Apa yang berlaku buat perempuan dalam pabrik juga berlaku terhadap perempuan di semua
cabang usaha, sampai dengan pengobatan dan hukum. Keluarga modern didasarkan pada
perbudakan domestik yang tersembunyi maupun terbuka terhadap kaum perempuan (Rueda,
Berikut adalah kutipan dari pemimpin komunis salah satunya oleh Adolf Hitler, pada tahun
“Tinggallah di rumah dan lahirkan tentara – tentara.” (Rueda, Rodriguez, & Watkins,
2007: 95)
Dari cuplikan kutipan tersebut, dimana itu adalah cuplikan puluhan tahun yang lalu, yang
menggambarkan posisi perempuan yang tersubordinasi dan hanya berfungsi sebagai peran
reproduksi, perempuan peran utamanya adalah pada ranah domestik. Sebenarnya hal itu tanpa
kita sadari masih berlangsung hingga sekarang. Di jaman sekarang yang sudah maju dan lebih
modern dimana peran pria dan perempuan dalam ranah kerja dan sosial hampir setara, namun
masih menyimpan dan mempraktekkan prinsip konservatif tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Disekitar kita, masih banyak ditemui perempuan yang masih kurang mampu melawan laki-laki
sehingga kalah dalam mempertahankan dirinya. Misalnya, dari kasus-kasus kehamilan yang
tidak diinginkan pada remaja yang ditemui oleh MCR PKBI, banyak dari remaja yang
menyampaikan bahwa mereka dipaksa dan diancam oleh pacarnya untuk melakukan hubungan
intim. Ucapan umum yang disampaikan oleh pria adalah perempuan harus melakukan hubungan
intim untuk menunjukkan rasa sayang mereka kepada sang pria, dan ancaman umumnya adalah
jika mereka tidak mau melakukannya maka artinya perempuan itu tidak sayang kepada sang pria
dan pria itu akan memutuskan hubungan pacaran mereka. Ancaman seperti itu cukup membuat
perempuan menjadi lemah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arliani (2013: 43-46) yang
berjudul “Fenomena Seksual Pranikah Pada Kalangan Mahasiswa Anak Kost di Gegerkalong
Bandung”, menyebutkan bahwa remaja perempuan yang melakukan hubungan intim selalu
terjadi karena dorongan yang kuat dari pasangan, hingga akhirnya tidak dapat menolak ajakan
dari pasangannya untuk melakukan Intercourse. Aktivitas seksual yang terjadi selalu dimulai
oleh pasangannya, remaja pria. Ada kalanya ketika intercourse itu terjadi saat remaja perempuan
berada pada kondisi terpaksa dan merasa lemah karena dibentak oleh pasangannya, yang terjadi
akibat kecemburuan pria kepada perempuan, dan meminta hubungan intim sebagai bukti cinta
dan sayangnya kepada sang pria, Fenomena seperti ini menunjukkan adanya perlakuan kekerasan
Mary Wollstonecraft (Rueda, Rodriguez, & Watkins, 2007: 17) pernah berkata bahwa dia
sungguh-sungguh ingin melihat lenyapnya perbedaan antar jenis kelamin, kecuali dalam urusan
cinta. Mary adalah seorang tokoh pejuang feminis yang cukup terkenal. Dalam ucapan Mary
tersebut, tergambar bahwa sekuat apapun perempuan dalam membela keadilan bagi kaum
perempuan lainnya, namun ketika dia bertemu dengan pria dan jatuh cinta maka perempuan kuat
pun akan menjadi lemah dan tidak lagi memandang perbedaan diantaranya.
Hal itu, hingga sekarang masih terasa efeknya pada hubungan pria-wanita, terutama pada
remaja yang dengan usia mereka belum terlalu matang dalam memikirkan dampak baik buruk
dan jangka panjang dari perbuatan mereka. Sehingga, banyak diantara pasangan remaja yang
terbius oleh rasa cinta dan alasan terlanjur sayang kepada pasangannya, dengan mudah dan rela
berhubungan seks dan kehamilan dini bagi remaja, efeknya lebih banyak negatif, baik itu
terhadap kesehatan remaja tersebut maupun masa depan remaja tersebut. Remaja yang hamil dini
akan berubah secara drastis status dari peran seorang anak-anak menjadi peran seorang ibu.
Dimana hal itu sangatlah besar 34 perubahannya dan merupakan tugas yang berat untuk
diembannya dimasa remajanya. Begitu pula terhadap remaja pria, mereka akan berubah status
menjadi peran seorang ayah yang mencari nafkah dan membiayai istri dan anak. Tidak banyak
remaja pria yang sanggup mengemban tanggungjawab peran tersebut, sehingga banyak terjadi
kasus dimana pria itu menghindar dan lari. Namun ada juga yang berlanjut pada pernikahan dini
sebagai bentuk dari reaksi malu atas kejadian yang terjadi, malu dengan komentar-komentar
lingkungan sekitar mereka. Biasanya, pernikahan dini akibat seks bebas tersebut tidak berjalan
lama, dan berakibat pada perceraian muda. Remaja perempuan akan berstatus menjadi janda
muda yang memiliki anak. Sedangkan bagi remaja pria, berstatus duda tidaklah terlalu
bermasalah karena hal itu secara fisik tidak terlihat jelas pada dirinya. Saifuddin & Hidayana
menyebutkan, dalam laporan dari jurnal ESCAP pada tahun 1992 menunjukkan bahwa di
Indonesia satu dari lima perempuan yang statusnya menikah dan berusia 20-24 tahun melahirkan
anak pertama yang merupakan buah dari hubungan seks pranikah (1999, Taufik & Anganthi,
2005).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
kematangan seksual remaja. Hal ini akan memudahkan remaja untuk memahami serta
mengatasi berbagai keadaan yang membingungkan, Serta dampak berhubungan seks dan
kehamilan dini bagi remaja, efeknya lebih banyak negatif, baik itu terhadap kesehatan
naluri seksual dan menyalurkannya menjadi kegiatan positif, seperti olahraga dan
mengembangkan hobi yang positif. Penyaluran yang berupa hubungan seksual dilakukan
Pergaulan yang sehat antar remaja laki-laki dan perempuan serta kewaspadaan terhadap
masalah remaja yang banyak ditemukan. Serta kiat-kiat untuk mempertahankan diri
secara fisik maupun psikis serta mental dalam menghadapi godaan, seperti ajakan untuk
B. Saran
diharapkan orangtua atau orang dewasa disekitar remaja pria tidak lagi memperlakukan
mereka seolah mereka sudah mengetahui dan mengerti akan informasi tentang dirinya yang
perlu mereka ketahui sejak memasuki masa pubertas. Keluarga seharusnya menjadi media
informasi pertama dan utama untuk pendidikan kespro dan seks dini bagi remaja pria dan juga
remaja perempuan. Agar mereka tidak keliru memahami dan memiliki pengetahuan yang
memadai mengenai dirinya dan mengenai kehidupan seksualnya. Lingkungan keluarga
diharapkan dapat asertif dan bijak dalam memberikan pengetahuan dengan cara yang tepat
kepada remaja, dengan mengurangi persepsi bahwa itu sesuatu yang tabu untuk didiskusikan
kepada anak-anak. Sebab, banyaknya kasus kenakalan remaja yang berkaitan dengan kehidupan
seksual yang marak saat ini, adalah sebagai salah satu akibat kurangnya pemahaman yang baik
oleh remaja tentang kesehatan reproduksinya. Selain itu dapat juga dibentuk kelas khusus oleh
para pekerja di ranah psikologi mengenai kesehatan reproduksi yang berisikan pelatihan
komunikasi bagi para remaja guna mampu menyampaikan haknya dengan jelas dan tegas kepada
pasangannya dalam situasi yang mendesak dan dalam melindungi kesehatan reproduksi dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ainun, Y. 2013. 28 Persen Pekerja Seks Remaja di Bandung adalah PelajarAktif. [Online]. Tersedia pada:
Andriyani, Iche. 2012. Pengaruh Life Skills Terhadap Perilaku Seks pada Remaja di Wilayah Seberang
Ulu Kota Palembang. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 3 (03).pp. 172-181. ISSN 2086-6380. [Online].
Dagun, M, Save. 1992. Maskulin dan Feminin: Perbedaan Pria-Wanita dalam Fisiologi, Psikologi,
Humas. 2014. Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja Meningkat. [Online]. Tersedia pada:
Kusumastuti, A, Fadhila. 2010. Hubungan Antara Pengetahuan dengan Sikap Seksual Pranikah Remaja.
Niskala, S. 2011. Agar Seks Tidak Salah Jalan: Pendidikan Seks yang Benar untuk Remaja. Jakarta:
Progressio Publishing.