Anda di halaman 1dari 3

Tantangan Membangun Pesantren Kualitas Premium

(Oleh : Sukarno – Guru SMK Al Furqon Demak)

Pesantren premium niscaya dibutuhkan seiring adanya peningkatan kelas ekonomi


masyarakat, termasuk warga NU sendiri. Muslim di Indonesia terus meningkat
kesejahteraannya seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil selama bertahun-
tahun. Banyak di antaranya telah masuk ke kelompok berpendapatan menengah dan
bahkan menengah atas.
Peningkatan kemampuan ekonomi terlihat dari antrean haji kini mengular, ramainya
jamaah umrah atau wisata Muslim, berkembangnya bank dan keuangan syariah,
perkembangan kesadaran akan kosmetik dan makanan halal, media Islam, dan lainnya.
Dengan daya beli yang lebih tinggi ini, konsumen Muslim memiliki daya tawar yang
lebih tinggi. Preferensi terkait dengan kualitas pendidikan untuk anak-anak kelas
menengah Muslim juga mengalami perubahan. Mereka tidak lagi merasa cukup
dengan kualitas standar yang disediakan sekolah negeri, tetapi mengharapkan anak-
anaknya mendapatkan kualitas pendidikan yang maksimal.
Sekolah-sekolah Islam di perkotaan, sekalipun mematok tarif bayaran yang mahal,
tumbuh menjamur dengan pendaftar yang membludak. Semakin tinggi pendapatan
seseorang, maka mereka semakin sensitif terhadap kualitas tetapi tidak sensitif
terhadap harga. Hal ini berbeda dengan kelompok menengah bawah yang mana
mereka sangat sensitif terhadap harga tetapi kurang mementingkan kualitas.
Satu hal yang menjadi ciri khas warga NU dalam memberikan pendidikan agama pada
anak-anaknya adalah memasukkan mereka ke pesantren. Sayangnya, belum banyak
pesantren dengan kualitas premium yang mengambil segmen warga NU yang telah
masuk kategori menengah atas ini sekalipun segmennya terus tumbuh membesar.
Sebagian besar pesantren masih dikelola dengan fasilitas sederhana. Anak-anak dari
kelompok kelas menengah atas sudah terbiasa mendapatkan fasilitas nyaman di
rumahnya seperti adanya AC, mesin cuci, serta berbagai fasilitas hiburan berbasis
elektronik dan fasilitas belajar yang memudahkan mereka menyerap materi-materi

Tantangan membangun pesantren Kualitas Premium 1


pelajaran untuk mendukung masa depan yang mereka inginkan. Mereka cenderung
tidak akan betah jika harus tinggal di tempat yang fasilitasnya minimal. Mereka ingin
menjalani pendidikan dengan cara yang menyenangkan sebagaimana konsep
pendidikan yang dikembangkan saat ini.
Karena itu, dibutuhkan sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai, beragam
fasilitas olahraga, asrama yang nyaman, makanan yang sehat dan lezat, serta fasilitas
pendukung lainnya yang mempengaruhi kondisi perkembangan kognitif, afektif, dan
psikomotoriknya. Akhirnya, anak-anak dari keluarga mapan ini masuk ke sekolah-
sekolah Islam dengan label internasional atau sekolah Islam yang menyediakan fasilitas
baik yang memenuhi kebutuhannya.
Sayangnya, secara ideologi, sejumlah sekolah tersebut tidak barafiliasi dengan NU.
Akibatnya, anak-anak tersebut rawan menjadi target kelompok Islam lain seperti Islam
transnasional atau Islam konservatif yang masif mencari pengikut di kalangan
kelompok elite. Anak-anak dari kelompok berpendapatan menengah atau menengah
atas memiliki peluang besar untuk menduduki posisi strategis di masa depan karena
mereka mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Jika mereka kehilangan akar ke-NU-annya, bahkan kemudian menjadi penentang NU
karena faktor pendidikan yang dijalaninya, maka situasi tersebut sangat disayangkan.
Karena itulah, mau tidak mau, NU harus melayani kebutuhan pendidikan kelompok
ini.
Terdapat beberapa persoalan dalam upaya membangun lembaga pendidikan untuk
kelompok menengah atas ini.
Pertama, sebagian kiai masih merasa canggung untuk membangun lembaga yang
hanya dapat dijangkau oleh kelompok tertentu dengan fasilitas yang baik sementara
kebutuhan layanan untuk masyarakat banyak saja belum mampu dipenuhi. Pandangan
yang diyakininya adalah, berdakwah atau mendidik agama harus dilakukan untuk
semua kelompok masyarakat. Tidak boleh pilih-pilih santri, apalagi hanya melayani
mereka yang kaya saja.
Kedua, sebagian masyarakat juga belum mampu melakukan pemilahan. Jika ada
pesantren yang mengenakan biaya mahal yang memang ditujukan untuk segmen pasar
kelompok berpendapatan menengah atas, kemudian dicaci “Mau belajar agama kok
dimahalin”. Akibatnya, ada keengganan untuk keluar dari norma yang selama ini
berjalan bahwa pendidikan pesantren harus terjangkau bagi semua orang. Akhirnya
pesantren terjebak melayani kelompok masyarakat menengah bawah sementara
kelompok menengah atas Muslim cenderung memilih model pendidikan Islam lainnya
yang menyediakan layanan dan kualitas yang sesusai kebutuhan kelompok menengah
atas. Beberapa kiai telah berupaya mendirikan pesantren dengan segmen kelas
menengah atas. Namun pengelolaannya juga tidak mudah karena hal ini mensyaratkan
standarisasi layanan dan kualitas yang harus terus dijaga. Dan hal tersebut
membutuhkan komitmen dan modal yang besar dalam jangka panjang. Bagaimanapun

Tantangan membangun pesantren Kualitas Premium 2


juga mengelola lembaga pendidikan harus memperhitungkan sumber pemasukan dan
pengeluaran. Untuk mencapai titik impas ini, dibutuhkan waktu bertahun-tahun ketika
pesantren sudah dikenal masyarakat sehingga banyak santri yang mendaftar atau
memiliki sumber pendapat lain yang dapat mendukung pembiayaan pesantren.
Karena membutuhkan banyak kompetensi, pendirian pesantren seperti ini
membutuhkan kolaborasi dari banyak keahlian. Di luar kiai dan para pengasuh
pesantren, harus terdapat orang-orang kaya yang bersedia memberi dukungan
pendanaan operasional pesantren, minimal sampai titik impas ketika pemasukan dan
pengeluaran yang didapat dari wali santri sudah seimbang. Juga harus terdapat orang-
orang yang bertugas mempromosikan pesantren ke kelompok sasaran yang dituju agar
cepat dikenal. Selain itu, diperlukan orang-orang yang membentuk citra atau branding
pesantren sesuai segmen yang dituju. Perlu ada orang yang memiliki keahlian
manajerial dan administrasi, serta perangkat keahlian pendukung lainnya.
Pola ini jelas berbeda dengan pengembangan pesantren yang umumnya berlangsung
secara alamiah, yaitu dimulai dari anak muda yang baru lulus dari pesantren
kemudian mengabdikan dirinya untuk berdakwah di masyarakat. Lalu, ia dipercaya
masyarakat dan selanjutnya ada satu dua santri yang menetap di rumahnya. Kemudian
pelan-pelan santrinya bertambah sehingga perlu dibangun asrama dan masjid. Sampai
akhirnya pesantren tersebut menjadi besar dan terkenal dan kiainya dikenal sebagai
ulama kharismatik.
Untuk mencapai tahapan tersebut dibutuhkan waktu panjang, bahkan lintas generasi.
Tidak mudah untuk mengembangkan pesantren premium, tetapi jika kita ingin
memberi pelayanan pendidikan agama bagi kelompok Islam menengah atas, maka hal
tersebut merupakan suatu kemutlakan. Kalau tidak, maka kelompok tersebut akan
memilih lembaga pendidikan Islam nonpesantren yang mampu memberikan standar
pelayanan yang mereka inginkan. Dari sini terbuka peluang kelompok lain menebar
pengaruhnya. Akibatnya, dalam jangka panjang, NU memiliki peluang ditinggal
beberapa pengikutnya yang potensial.
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/116470/

Tantangan membangun pesantren Kualitas Premium 3

Anda mungkin juga menyukai