Anda di halaman 1dari 3

Nama : Khairunnisa Pertiwi Rahaviana

NIM

: 12510134032

Kelas : C

(Perbedaan) Sekolah Islam dengan Sekolah Umum


Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan,
sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin
hidup. (Zakiah Daradjat 1983:65)
Dari pernyataan di atas bisa dikatakan bagaimanapun sederhananya peradaban
suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Oleh
karena itu sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia.
Sebab pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia dan
merupakan aktifitas manusia terhadap manusia dan untuk manusia.
Islam memandang pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya perjalanan
hidup seseorang, dan oleh karenanya Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan
kegiatan hidup yang wajib hukumnya bagi pria dan wanita (faridotun ala kulli muslimin
wa muslimatin), tiada batasan untuk memperoleh ilmu (sampai pun ke negeri Cina), dan
berlangsung seumur hidup semenjak buaian hingga ajal datang.
Ilmu pengetahuan itu tidak akan pernah habis selama kehidupan ini masih
berjalan. Allah sudah berjanji untuk meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang diberi pengetahuan beberapa derajat seperti yang ada di dalam QS. AlMujadalah, 58: 11




Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan
apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Termuat di dalam berita koran Kedaulatan Rakyat tertanggal 9 Maret 2013 yang
berjudul Mts Tak Bisa Ikut OSN, Diskriminasi, yang isinya adalah siswa dari MTs di
Kebumen tidak bisa ikut Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat kabupaten. Mereka
hanya bisa menjadi penonton saja padahal mereka mempunyai hak yang sama dengan
siswa SMP lainnya. Tahun lalu siswa MTs mendapat undangan untuk mengikuti seleksi
OSN, tetapi tahun ini terganjal oleh peraturan-peraturan yang ada, meskipun tidak ada
perubahan yang signifikan dalam peraturan tersebut. Buktinya, siswa Madrasah
Ibtidaiyah (MI) di Kabupaten Kebumen memiliki kesempatan untuk ikut seleksi OSN.
Mengapa siswa MTs tidak bisa ?

Ironis sekali jika para siswa tersebut sebenarnya mampu tetapi oleh pihak-pihak
tertentu tidak diizinkan. Sedangkan pembiayaan OSN tingkat kabupaten atau kota dan
provinsi bersumber dari APBD dan tingkat nasional bersumber dari APBN. Dengan
begitu, seharusnya siswa madrasah mempunyai kesempatan yang sama karena APBD dan
APBN bukan hanya diperuntukkan untuk siswa SMP. (Kedaulatan Rakyat 2013:15)
Mengapa hal itu bisa terjadi? Kita bisa berdiskusi untuk masalah tersebut.
Kenapa pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren kurang diminati? Apakah
manajemen dalam pengelolaannya salah? Jawabannya adalah masalah manajemen
pendidikan Islam yang menghadapi hambatan atau kendala, seperti hambatan politik,
ekonomi-finansial, dan intelektual. Mungkin karena masalah tersebut, madrasah,
pesantren atau pendidikan Islam lain kurang diminati.
Sebagai contoh hambatan politik yang dialami lembaga pendidikan Islam seperti
nuansa saat menjelang maupun pasca pemilihan rektor, dekan maupun ketua lembaga.
Masing-masing orang memiliki kepentingan sendiri yang akhirnya kepentingan individu
atau kelompok tersebut lebih menonjol daripada kepentingan umum, mereka berusaha
melakukan intervensi terhadap keputusan-keputusan pemimpin. Selain itu mengukur
keberhasilan suatu kinerja pemimpin bagi kalangan aktivis organisasi bukan terletak pada
kesesuaian antara pelaksanaan program dengan perencanaannya. Akan tetapi, lebih pada
seberapa besar pemimpin tersebut dapat memberi keuntungan bagi organisasinya
sehingga profesionalisme tidak dibutuhkan lagi.
Kemudian contoh hambatan ekonomi-finansial seperti ekonomi orang tua siswa
yang rata-rata berada dalam kategori menengah kebawah menyebabkan pendapatan
keuangan pada lembaga pendidikan Islam sangat minim, sebab mayoritas kehidupan
lembaga pendidikan Islam swasta hanya mengandalkan keuangan dari SPP, sumbangan
uang gedung, dan iuran lainnya yang kesemuanya berasal dari orang tua siswa.
Ketergantungan sumber keuangan yang hanya berasal dari siswa atau mahasiswa ini
tergolong sumber keuangan yang lemah. Sebab, semestinya sebuah lembaga pendidikan
didukung sumber dana yang lebih kuat, misalnya donator tetap, pengusaha, pengembang
bisnis,dll.
Hambatan status kelembagaan dan diskriminasi kebijakan pemerintah seperti data
statistik tahun 2005/2006 diperoleh data jumlah sekolah di Indonesia terdapat 21.042
(93.1%) madrasah ibtidaiyah swasta, sedangkan madrasah ibtidaiyah negeri 1.568
(6.9%). (Mujamil Qomar 2007:22) Bagi madrasah ibtidaiyah swasta mengingat
jumlahnya 93.1% selalu dihadapkan dengan masalah keuangan. Minimnya keuangan
tersebut menyebabkan posisi lembaga pendidikan Islam selalu terbelakang dan sulit
maju. Dalam waktu yang bersamaan dengan kondisi tersebut, kebijakan pemerintah tidak
pernah berpihak pada lembaga pendidikan swasta. Kepedulian dan keberpihakan
pemerintah hanya terarah pada lembaga pendidikan negeri dan anggaran untuk lembaga
pendidikan Islam masih tetap jauh di bawah lembaga pendidikan umum. (Mujamil
Qomar 2007:23-24)
Hambatan keadaan potensial intelektual siswa seperti secara ekonomi siswa
dalam lembaga pendidikan Islam berada dalam kategori kelas menengah ke bawah,
secara intelektual, potensi mereka sebagian bisa dibilang lemah. Rata-rata siswa yang
mendaftar diberbagai pendidikan Islam karena merasa tidak mungkin diterima di lembaga
pendidikan umum yang maju dan terutama berstatus negeri. Sebagian dari mereka yang
telah gagal masuk di lembaga pendidikan umum kemudian memilih lembaga pendidikan

Islam. Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam menjadi tempat pelarian siswa yang
gagal masuk lembaga pendidikan umum atau karena menyadari kemampuannya rendah
sehingga sengaja tidak pernah mendaftar di lembaga pendidikan umum. Keadaan ini
menunjukkan adanya unsure keterpaksaan daripada tidak sekolah masih lebih baik
memasuki lembaga pendidikan Islam.
Kondisi ini sangat berbeda dengan lembaga pendidikan umum. Siswa yang
memasuki lembaga tersebut berasal dari kalangan yang mencapai ranking atas di
sekolahnya. Mungkin hingga hari ini belum ada keberanian lembaga pendidikan umum
yang maju untuk menerima siswa yang kemampuannya rendah sebagai kelas percobaan,
hanya satu kelas saja. Kemudian, mereka digembleng dengan guru yang profesional,
sarana prasarana yang lengkap, strategi pembelajaran yang bagus, dan situasi
pembelajaran yang mendukung. Sekolah yang maju cenderung memilih siswa yang
istimewa yang tentu saja kemudian menjadi lulusan yang baik. Inilah model pendidikan
kapitalis yang harus menghadapi pertanyaan yang snagat mendasar: Apakah mutu lulusan
yang dihasilkan dengan baik itu lantaran rekayasa lembaga tersebut, atau justru karena
potensi sebelumnya yang memang sudah pandai?

Daftar pusaka
Daradjat, Zakiah, Agama dan Kesehatan Mental, Jakarta: Bulan Bintang, 1983
Jalaludin, Teologi Pendidikan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001
Kedaulatan Rakyat, Mts Tak Bisa Ikut OSN, Diskriminasi, 9 Maret 2013
Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam, Malang: Erlangga, 2007

Anda mungkin juga menyukai