OLEH:
PERI
NIM 197014029
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia serta ridhoNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang
berjudul “Pengaruh Asuhan Kefarmasian terhadap Drug Related Problems,
Outcome Terapi, dan Kualitas Hidup pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium
V yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Dr. Pirngadi Medan”. Tesis ini diajukan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Farmasi pada
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Prof.
Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan, nasihat, dan bimbingan selama penyelesaian Tesis ini. Pada
kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak dr. Alwi
Thamrin Nasution, Sp.PD-KGH, selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan kepada penulis
selama penyelesaian Tesis ini. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada Ibu Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt. selaku Dekan
Fakultas Farmasi dan Ibu Yuandani, S.Farm., M.Si., Ph.D.,Apt., selaku Kepala
Program Studi Magister Farmasi Universitas Sumatera Utara, atas bantuan dan
fasilitas yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan di Program Studi
Magister Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi. Penulis juga menyampaikan terimakasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada suami terkasih yaitu Abangda
Rusmanto, S.Si., Apt., Ananda Amaliyah RZ & Wiwin Wandoyo yang senantiasa
memberikan doa dan dukungannya, serta keluarga besar RSUD Dr. Pirngadi
Medan yang telah memberikan semangat serta dukungan sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tesis dan pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Farmasi.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih belum sempurna,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
penyempurnaannya. Medan, Desember 2021
Penulis,
Peri
NIM 197014029
iv
PENGARUH ASUHAN KEFARMASIAN TERHADAP
DRUG RELATED PROBLEMs, OUTCOME TERAPI, DAN
KUALITAS HIDUP PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL
KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS
DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN
ABSTRAK
Pasien yang menjalani hemodialisis pada umumnya menerima lebih dari satu
terapi obat memicu risiko terjadinya Drug Related Problems (DRPs) yang
memengaruhi outcome klinis, kualitas hidup dan biaya pelayanan kesehatan.
Peran Apoteker sangat penting untuk menurunkan kejadian DRPs. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh asuhan kefarmasian terhadap DRPs,
outcome terapi, kualitas hidup, dan biaya terapi (Cost of Illness) pada pasien
penyakit ginjal kronik (PGK) stadium V yang menjalani hemodialisis di RSUD
Dr. Pirngadi Medan.
Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimental dengan desain
penelitian kohort-studi prospektif sebelum dan setelah intervensi terhadap 83
pasien PGK yang menjalani hemodialisis pada bulan Februari-Juli 2021.
Identifikasi kejadian DRPs berdasarkan klasifikasi menurut PCNE V9, data
tekanan darah, hemoglobin (Hb), Ureum Reduction Ratio (URR), dan
Intradialytic Weight Gain (IDWG) diperoleh dari pemeriksaan langsung pada
pasien, dan data kualitas hidup pasien diperoleh menggunakan kuesioner
WHOQoL. Data dianalisis menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank dan Uji
Friedman dalam program SPSS V22.0.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 470 kejadian DRPs dengan rata-rata
sebelum asuhan kefarmasian sebesar 5,73 ± 2,20 dan terjadi penurunan secara
signifikan setelah asuhan kefarmasian 1,90 ± 1,04 (p=0,000). Terdapat perbedaan
secara signifikan pada nilai URR dan IDWG setelah asuhan kefarmasian
(p=0,000). Terjadi peningkatan secara signifikan setelah asuhan kefarmasian pada
kualitas hidup yang berpengaruh terhadap penurunan biaya terapi (p=0,000).
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa asuhan kefarmasian
dapat menurunkan kejadian DRPs dan biaya terapi serta meningkatkan kualitas
hidup dan outcome klinis pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisis
berupa nilai URR dan nilai IDWG.
v
IMPACT OF PHARMACEUTICAL CARE ON
DRUG RELATED PROBLEMs, OUTCOME THERAPY, AND
QUALITY OF LIFE IN STAGE V CHRONIC KIDNEY
DISEASE IN PATIENTS UNDERGOING HEMODIALYSIS IN
DR. PIRNGADI HOSPITAL MEDAN
ABSTRACT
vi
DAFTAR ISI
vii
3.4.2 Langkah Kerja Penelitian ....................................................................... 40
3.4.3 Analisis Data .......................................................................................... 41
3.5 Definisi Operasional .............................................................................. 41
viii
DAFTAR TABEL
ix
sebelum dan setelah intervensi .......................................................... 90
Tabel 4.22 Rata-rata transformasi Skor kualitas hidup pasien yang
menjalani hemodialisis. ..................................................................... 91
Tabel 4.23 Hubungan jumlah kejadian DRPs dengan nilai tekanan darah dan
kualitas hidup pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisis
sebelum intervensi ............................................................................ 93
Tabel 4.24 Hubungan jumlah kejadian DRPs dengan nilai tekanan darah dan
kualitas hidup pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisis
setelah intervensi .............................................................................. 94
Tabel 4.25 Cost of Illness pada pasien PGK stadium V yang
menjalani hemodialisis ...................................................................... 95
Tabel 4.26 Analisis cost of illness pada pasien PGK stadium V
berdasarkan healthcare perspective sebelum dan setelah
intervensi ........................................................................................... 96
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
DAFTAR SINGKATAN
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan
berakhir dengan gagal ginjal. PGK merupakan gangguan fungsi ginjal yang
PGK berkontribusi pada beban penyakit dunia dengan angka kematian sebesar
850 ribu jiwa per tahun. Indonesia merupakan negara dengan tingkat pasien PGK
yang cukup tinggi. Berdasarkan data hasil riset kesehatan dasar tahun 2018,
terendah sebesar 1,8% dan tertinggi 6,4%. Di Indonesia belum tersedia data
nasional tentang kejadian PGK, khususnya pada anak. Menurut data RSUP dr.
Kariadi, terdapat 566 pasien gangguan ginjal selama periode 2015-2017, sebesar
37,6% di antaranya anak-anak usia 5-12 tahun, 29,3% anak balita, dan 29%
PGK yang sudah mencapai stadium akhir memerlukan terapi pengganti ginjal.
terbanyak dilakukan di Amerika Serikat yaitu sekitar 350 ribu orang, Jepang 300
ribu orang, dan di Indonesia mendekati 15 ribu orang (Pinem, dkk., 2015).
konsisten dari jumlah pasien baru dan pasien aktif hemodialisis di Indonesia pada
tahun 2018. Pada tahun 2017 jumlah pasien baru sebanyak 30,8 ribu dan pasien
1
aktif sebanyak 77,8 ribu pasien, sedangkan pada tahun 2018 pasien baru sebanyak
66,4 ribu pasien dan pasien aktif sebanyak 132,1 ribu pasien. Berdasarkan data
rekam medis RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan pada tahun 2020, prevalensi pasien
PGK yang melakukan hemodialisis adalah 101 pasien (laki-laki 60,40% dan
perempuan 39,60%) dengan rentang usia 15-24 tahun (5,94%), 25-34 tahun
(7,92%), 35-44 tahun (17,82%), 45-54 tahun (33,66%), 55-64 tahun 22,77%) dan
≥ 65 tahun (9,9%).
et al., 2011). Pasien umumnya menerima lebih dari satu terapi obat sehingga
memicu risiko permasalahan terkait obat atau Drug Related Problems (Hasan et
al., 2009). DRPs adalah suatu peristiwa atau keadaan yang secara nyata (actual)
atau potensial dapat memengaruhi hasil terapi yang diinginkan (Van Mil et al.,
2017). DRPs yang sering terjadi pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis
adalah indikasi tanpa terapi (5,9%), terapi tanpa indikasi (20%), obat tidak tepat
pasien (21,2%) dan interaksi obat (20%) (Diputra et al., 2020). Berdasarkan
penelitian Cokroningrat (2017) telah terjadi DRPs pada pasien PGK di Klinik
Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan ditemukan kasus indikasi tanpa
morbiditas, mortalitas, dan biaya pelayanan kesehatan (Ernst dan Grizzle, 2001;
Ruth et al., 2007; Adumisilli dan Adepu, 2014; Van Mil et al., 2017). Optimalisasi
meningkatkan kualitas hidup, dan menurunkan mortilitas (Blix dan Garbe, 2004).
Hal ini dapat diwujudkan dengan implementasi pelayanan farmasi klinis dalam
2
Hasil penelitian Alkhairi (2020) menyatakan bahwa pemberian terapi disertai
signifikan. Menurut Furqani (2015), peran apoteker klinis di rumah sakit dalam
tim interdisiplin medis diperlukan untuk memantau terapi obat yang diterima
pasien, sehingga hasil terapi yang optimal dengan efek samping minimal dapat
tercapai dan kualitas hidup pasien meningkat. Selain itu, diperlukan komunikasi
yang efektif antar tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan ke pasien agar
dan pada tahap tertentu dibutuhkan hemodialisis dan transplantasi ginjal (Simon
dan Tom, 2016). Pasien PGK membutuhkan waktu 12-15 jam untuk dialisis setiap
minggunya, atau paling sedikit 3-4 jam per kali terapi. Kegiatan ini akan
berlangsung secara terus menerus sepanjang hidupnya (Bare dan Smeltzer, 2002).
biaya yang sangat mahal sehingga menyebabkan beban ekonomi yang tinggi
hampir $90.000 per pasien per tahun pada tahun 2011 (Johnson, 2014; Daugirdas
et al., 2015). Di Indonesia pada tahun 2015 sebanyak 2,68 triliun rupiah
3
dihabiskan untuk PGK, baik rawat inap maupun rawat jalan. Penanganan PGK
kesehatan setelah penyakit jantung (Menkes RI, 2017). Sistem JKN memberikan
No. 52 Tahun 2016. Pada terapi pasien PGK dengan hemodialisis seringkali
terdapat perbedaan perhitungan tarif rumah sakit di mana tarif rumah sakit lebih
Thabrany, 2016). Hasil penelitian Rosiana et al., (2016) diperoleh bahwa tarif dan
biaya ideal untuk tindakan hemodialisis lebih besar dibandingkan tarif yang
dibayarkan BPJS Kesehatan, artinya tarif INA-CBGs masih kurang, dan apabila
dihitung real cost maka tarif INA-CBGs hanya lebih besar 5% dan tidak dapat
menutupi biaya langsung dan fixed cost (Rosiana et al., 2019). Berdasarkan hasil
penelitian Rohenti et al., (2019) diperoleh bahwa biaya riil untuk satu kali
untuk manajemen terapi anemia sebesar Rp 1.056.946. Biaya riil lebih rendah
daripada tarif INA-CBGs. Biaya ideal lebih tinggi daripada tarif INA-CBGs
4
Berkaitan dengan tingginya kejadian DRPs di fasilitas kesehatan dan
tingginya biaya terapi pasien PGK yang menjalani hemodialisis maka penelitian
klinis, dan kualitas hidup pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisis di
ini adalah:
Medan?
1.3 Hipotesis
berikut:
5
b. terdapat peningkatan outcome terapi antara sebelum dengan setelah
pengetahuan penulis terkait DRPs, outcome terapi, kualitas hidup, dan cost
6
b. untuk tenaga PPA (Profesional Pemberi Asuhan), dapat memberi masukan
menjalani hemodialisis.
Variabel terikat berupa Drug Related Problems (DRPs), outcome klinis, kualitas
hidup (QoL), dan cost of illness (COI). Identifikasi jumlah kejadian DRPs
dihitung berdasarkan sistem klasifikasi PCNE V9.0, outcome klinis dinilai dengan
langsung medis pasien. Kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar
1.1.
7
Variabel bebas Variabel terikat Parameter
Setelah asuhan
kefarmasian - tekanan darah
(mmHg)
- hemoglobin
Outcome (gr/dl)
Klinis
- ureum reduction
Pasien hemodialisis:
- usia ratio (URR) (%)
- jenis kelamin - intradialytic
- pendidikan weight gain
- pekerjaan (IDWG) (%)
- hemodialisis reguler
Sebelum
asuhan
kefarmasian
Cost of Illness Rupiah
(COI)
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
kronik adalah kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan,
berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju
kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin atau kelainan
dalam tes pencitraan (imaging tests). Pada pasien PGK, laju filtrasi glomerulus
kerusakan ginjal dan tingkat penurunan fungsi ginjal. Pada stadium 5, PGK
disebut sebagai stadium akhir penyakit ginjal (end stage renal disease / end stage
renal failure). Tahap ini merupakan akhir dari fungsi ginjal. Ginjal bekerja kurang
9
2.1.2 Etiologi
Etiologi dari PGK berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain.
hipertensi (36 %), nefropati diabetika (28 %), dan glomerulopati primer (10%).
Etiologi PGK sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi penyebab PGK
difus yang sering berakhir dengan PGK, disebabkan oleh respon imunologik dan
hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Secara garis
seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi dan komponen berperan
ginjal dan perubahan eksresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah
penyebab utama PGK dan penyakit ginjal tahap akhir (Prince dan Wilson, 2012).
Nefropati diabetik (penyakit ginjal pada pasien diabetes) merupakan salah satu
penyebab kematian terpenting pada diabetes mellitus yang lama. Lebih dari
sepertiga dari semua pasien baru yang masuk dalam program ESRD (End Stage
Renal Disease) menderita gagal ginjal. Diabetes mellitus menyerang struktur dan
fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang
10
mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes mellitus (Price dan
William, 2012).
Nefropati diabetik merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada
penderita DM yang ditandai dengan albuminuria menetap yaitu >300 mg/24 jam
pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan (Putri,
2015). Sebelum timbul gejala klinik dari nefropati diabetik, ginjal penderita DM
awalnya meliputi peningkatan LFG dan ekskresi albumin dalam urine. Kerusakan
lewat urine. LFG pada mulanya meningkat di atas 20–30% dari normal, dan
ekskresi protein yang intermitten makin lama menetap dan bertambah berat. LFG
akhirnya akan turun dan penderita jatuh dalam gagal ginjal tahap akhir. Ginjal
buangan toksik dari darah. Gagal ginjal timbul sekitar lebih dari 5 tahun sejak
faktor lain seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain
(Suwitra, 2009). Hipertensi menjadi salah satu penyebab PGK. Insideni hipertensi
esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik <10% (Prince dan Wilson,
sering di bahas adalah dua penyebab hipertensi yaitu hipertensi primer dan
11
95% hipertensi adalah hipertensi primer yang disebut juga hipertensi esensial, dan
sekunder adalah penyakit ginjal yang biasa dikenal dengan hipertensi renal (Kadir,
2016).
kista yang multipel dengan berbagai ukuran yang dapat menyebabkan pembesaran
ginjal dan kerusakan ginjal yang progresif sebagai akibat dari kompresi nefron
oleh kista yang dapat menyebabkan obstruksi intrarenal yang terlokalisir (Zahra,
dkk, 2019). Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, beliateral,
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi PGK didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat penyakit dan
kreatinin dalam plasma, umur, jenis kelamin, dan etnik. Perhitungan konsentrasi
Gault, yaitu:
Tanda dan gejala pada pasien PGK dapat diklasifikasikan sesuai dengan
12
Tabel 2.1 Klasifikasi PGK menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes
(KDIGO, 2012).
Tabel 2.2 Klasifikasi PGK berdasarkan kriteria albumin dalam urin (KDIGO,
2012).
darah, namun tidak dapat ditemukan di urine ketika ginjal berfungsi dengan
normal. Albumin terdeteksi pada urin ketika terjadi gangguan pada ginjal.
13
Sementara kreatinin adalah produk sisa dari metabolisme otot yang biasanya
ditemukan pada urine dan menggambarkan konsentrasi urine. Tes rasio albumin-
albumin yang ditemukan di dalam urine dapat bervariasi jumlahnya, namun kadar
kreatinin bersifat tetap. Oleh karena itu, tes ini dapat lebih akurat mengukur kadar
albumin di dalam urine. Albumin merupakan jenis protein yang dapat dideteksi
awal pada pasien dengan gangguan ginjal. Protein ini sudah dapat ditemukan pada
urine pasien dengan gangguan ginjal stadium dini. Dengan mengukur rasio
ginjal pada pasien dengan penyakit kronis, seperti diabetes dan hipertensi
(Sudoyo, 2009).
2.1.3 Patofisiologi
Namun, setelah itu proses yang terjadi adalah sama. Pada diabetes melitus, terjadi
juga menyebabkan terjadi gagal ginjal kronik. Tekanan darah yang tinggi
Pada glomerulonefritis, saat antigen dari luar memicu antibodi spesifik dan
membentuk kompleks imun yang terdiri dari antigen, antibodi, dan sistem
14
glomerulus. Endapan kompleks imun akan mengaktivasi jalur klasik dan
yang masih sehat sebagai kompensasi ginjal akibat pengurangan nefron. Namun,
proses kompensasi ini berlangsung singkat, yang akhirnya diikuti oleh proses
maladaptif berupa nekrosis nefron yang tersisa (Harrison, 2012). Proses tersebut
akan menyebabkan penurunan fungsi nefron secara progresif. Selain itu, aktivitas
sklerosis, dan progresivitas dari nefron (Sudoyo, 2009). Hal ini disebabkan karena
Pada pasien PGK, terjadi peningkatan kadar air dan natrium dalam tubuh. Hal
(Harrison, 2012). Reabsorbsi natrium akan menstimulasi osmosis air dari lumen
leukosit, dan protein (Harrison, 2012). Penurunan kadar protein dalam tubuh
15
cairan dapat berpindah dari intravaskular menuju interstitial (Kidney Failure,
aliran darah ke ginjal. Turunnya aliran darah ke ginjal akan mengaktivasi sistem
2011).
biasanya memiliki gejala asimptomatik. Pada stadium ini masih belum ditemukan
ditemukan pada PGK stadium 4 dan 5 (dengan GFR <30 mL/menit/1,73 m2)
bersamaan dengan poliuria, hematuria, dan edema. Selain itu, ditemukan juga
gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa dalam tubuh yang pada
keadaan lanjut akan menyebabkan gangguan fungsi pada semua sistem organ
2.1.5 Pemeriksaan
16
melakukan pemeriksaan laboratorium bisa diketahui adanya kelainan-kelainan
yang muncul. Pasien yang beresiko besar terhadap PGK harus melakukan
pemeriksaan rutin untuk mengetahui penyakit ini. Menurut Suyono (2011), untuk
terdapat obstruksi, batuan ginjal, dan menilai aliran darah ke ginjal. Ultrasonografi
pilihan pertama pada penderita PGK. Pada penyakit ginjal tahap awal ukuran
ginjal masih terbilang normal, sedangkan pada PGK ukuran ginjal pada umumnya
kidney disease, diabetic nephropathy, dan amiloidosis yang tampak membesar dan
mungkin normal. Ultrasonografi dapat digunakan untuk menilai ukuran serta ada
urin yang dilakukan adalah urinalisa dan juga kadar filtrasi glomerulus. Analisis
urin dapat mengetahui kelainan-kelainan yang ada pada ginjal. Yang pertama
dilakukan adalah dipstick test. Tes ini mengguanakan reagen tertentu untuk
mengetahui urin yang normal maupun abnormal termasuk protein dalam urin.
leukosit, dan untuk mengetahui adanya kristal dan silinder. Bisanya dijumpai
17
hanya sedikit protein albumin di dalam urin. Hasil positif pada pemeriksaan
kreatinin dalam urin. Nilai banding atau ratio antara albumin dan kreatinin dalam
urin memberikan gambaran yang bagus mengenai ekskresi albumin per hari.
(chronic renal failure), apabila TKK sama atau kurang dari 25 ml/menit.
Penurunan fungsi dari ginjal tersebut akan terus - menerus dan akhirnya mencapai
tahap gagal ginjal terminal, apabila TKK sama atau kurang dari 5 ml/menit.
Laju filtrasi glomerulus (LFG) adalah penunjuk umum bagi kelainan ginjal.
Bertambah parahnya kerusakan ginjal, LFG akan menurun. Nilai normal LFG
adalah 100-140 ml/min bagi pria dan 85-115 mL/min bagi wanita. Nilai LFG
bahan buangan dalam urin 24 jam atau dengan menggunakan indikator khusus
Pemeriksaan darah yang dianjurkan pada PGK adalah kadar serum kreatinin
dan blood urea nitrogen (BUN). Pemeriksaan ini biasa dilakukan untuk monitor
adanya kelainan pada ginjal. Protein kreatinin adalah hasil degradasi normal otot
dan urea merupakan hasil akhir metabolism protein. Hasil keduanya akan
meningkat dalam darah, jika adanya panyakit pada ginjal. Electrolyte levels and
acid-base balance dapat ditentukan juga karena gagal ginjal akan menyebabkan
Hiperkalemia perlu diberikan perhatian karena keseimbangan asam basa juga akan
terganggu. Blood cell counts dilakukan karena pada dasarnya, kerusakan ginjal
18
menyebabkan gangguan pada produksi eritrosit. Hal ini akan menyebabkan
anemia. Setengah dari penderita juga mungkin mengalami defisiensi zat besi
2.1.6 Penatalaksanaan
homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada penyakit ginjal
tahap akhir dan faktor yang dapat dipulihkan diidentifikasi dan ditangani.
pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan
dialisis yang tidak adekuat, hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta
akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama hemodialisis, penyakit
tulang serta klasifikasi metastatik akibat retensi folat, kadar kalsium serum yang
dapat dicapai oleh ginjal yang terganggu. Diet zat terlarut dan cairan dapat diatur
meliputi:
19
Pengaturan diet protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti
dengan PGK moderate yaitu GFR 25-55 mL/menit dan berat yaitu GFR 13-24
diperbolehkan adalah 0,6 g/kg/hari untuk pasien gagal ginjal kronik berat
pradialisis yang stabil dengan GFR 4 ml/menit. Status nutrisi pasien harus
dipantau untuk memastikan berat badan dan indikator lain seperti albumin serum
Pengaturan diet kalium. Jumlah yang diperbolehkan dalam diet kalium adalah
40-80 mEq/hari. Tindakan yang harus dilakukan adalah dengan tidak memberikan
diperbolehkan adalah 40-90 mEq/hari atau sekita 1-2 g natrium, tetapi asupan
natrium yang optimal harus ditentukan secara individual pada setiap pasien untuk
hati-hati dalam gagal ginjal kronik lanjut, karena rasa haus pada pasien
merupakan paduan yang tidak dapat diyakini mengenai keadaan hidrasi pasien.
Berat badan harian merupakan parameter penting yang harus dipantau mengenai
asupan dan pengeluaran cairan. Aturan umum untuk asupan cairan adalah
keluaran urin 24 jam yang lebih dari 500 ml mencerminkan kehilangan cairan
20
Pencegahan dan pengobatan pada komplikasi hipertensi dapat dikontrol secara
efektif dengan pembatasan natrium dan cairan serta melalui ultrafiltrasi bila
pasien sedang menjalani hemodialisis. Selain itu, komplikasi yang paling serius
saat terjadi uremia adalah hiperkalemia, bila K+ serum mencapai kadar sekitar 7
mEq/l, dapat terjadi disritmia yang serius. Hiperkalemia akut dapat diobati dengan
pemberian glukosa dan insulin intravena yang akan memasukkan K+ ke dalam sel
Anemia merupakan komplikasi paling umum yang terjadi pada pasien PGK.
darah merah (red blood cells/RBC) untuk membawa oksigen menurun, yang
ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb) dibawah 12 g/dl pada orang dewasa.
Angka ini dapat berbeda-beda tergantung dari usia, jenis kelamin, kehamilan.
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah bentuk anemia yang paling umum terjadi
secara global dan termasuk ke dalam jenis anemia mikrositik hipokromik. Anemia
defisiensi besi pada PGK terbagi menjadi dua yaitu, anemia defisiensi besi absolut
dan anemia defisiensi besi fungsional. Dikatakan anemia defisiensi besi absolut
adalah jika Saturasi Transferin (ST) < 20% dan Feritin Serum (FS) < 100 ng/ml
(PGK-nonD, PGK-PD) dan < 200 ng/ml (PGK-HD). Anemia defisiensi besi
fungsional adalah bila ST < 20% dan FS ≥ 100 ng/ml (PGK-nonD, PGK-PD) dan
(Hb) <14 g/dl pada laki-laki atau <12 g/dl pada perempuan. Anemia renal adalah
anemia pada PGK yang terutama disebabkan oleh penurunan kapasitas produk
eritropoietin. Faktor lain yang berkontribusi pada anemia renal adalah defisiensi
21
besi, umur eritrosit yang memendek, hiperparatiroid berat, inflamasi dan infeksi,
Besarab dan Yee (2009) dalam Kandarini (2017) menyatakan bahwa, anemia
merupakan penyulit yang paling sering dijumpai pada PGK yang merupakan
kematian pada PGK. Anemia pada PGK umumnya mulai timbul pada stadium III
dan hampir selalu ditemukan pada stadium V, namun pada beberapa pasien
anemia telah timbul lebih awal di mana penurunan LFG masih relatif ringan.
Berdasarkan NKF (2002) dalam Hidayat, dkk., (2016), pada keadaan normal,
90% EPO dihasilkan di ginjal tepatnya oleh juxtaglomerulus dan hanya 10% yang
anemia terjadi diakibatkan karena defisiensi eritropoietin yang dihasilkan oleh sel
fungsional. Evaluasi anemia renal dilakukan dengan skrining Hb pada pasien PGK
yang dilakukan minimal satu kali setahun. Jika didapatkan anemia, dilanjutkan
dengan pemeriksaan darah lengkap, apusan darah tepi, hitung retikulosit, uji darah
samar feses, lalu evaluasi status besi. Evaluasi penyebab anemia lainnya
indeks eritrosit (MCH, MCV, MCHC), leukosit beserta hitung jenis, dan hitung
trombosit. Evaluasi status besi terdiri dari pengukuran besi serum atau serum iron
(SI), kapasitas ikat besi total atau Total Iron Binding Capacity (TIBC), ST, dan FS
(Pernefri, 2011).
22
Terapi anemia defisiensi besi dapat berupa sediaan oral maupun sediaan
parenteral. Sediaan oral dapat berupa ferrous gluconate, ferrous sluphate, ferrous
iron sucrose dan iron dextran. Terapi besi oral diindikasikan pada pasien PGK-
nonD dan PGK-PD dengan anemia defisiensi besi. Jika setelah tiga bulan ST tidak
dapat dipertahankan pada angka ≥ 20% dan/atau FS pada ≥ 100 ng/ml, dianjurkan
untuk pemberian terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral juga diindikasikan
Terapi besi parenteral sendiri terbagi menjadi dua yaitu, terapi besi fase
koreksi dan terapi besi fase pemeliharaan. Terapi besi fase koreksi dilakukan
untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi absolut sampai dengan status besi
cukup yaitu ST > 20% dan FS mencapai > 100 ng/ml (PGK-nonD dan PGK-PD),
> 200 ng/ml (PGK-HD). Pada terapi besi fase koreksi ini, perlu dilakukan dosis
uji coba atau test dose. Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu pasca terapi besi
fase koreksi. Terapi besi pemeliharaan bertujuan untuk menjaga kecukupan besi
(ESA). Target terapi besi pemeliharaan adalah ST 20-50%, dengan nilai FS 100-
500 ng/ml (PGK-nonD dan PGK-PD), 200-500 ng/ml (PGK-HD). Status besi
diperiksa setiap 1-3 bulan sekali. Efek samping yang perlu diperhatikan dalam
Pada penanganan anemia pasien PGK, transfusi darah sedapat mungkin harus
dihindari kecuali pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah pada pasien PGK
meliputi Hb < 7 g/dl dengan atau tanpa gejala anemia, Hb < 8 g/dl dengan
23
Target pencapaian Hb pada transfusi tidak sama dengan target Hb pada terapi
ESA yaitu, 7-9 g/dl. Tindakan yang dapat meringankan anemia adalah dengan
Multivitamin dan asam folat biasanya diberikan setiap hari karena dialisis
Komplikasi PGK lainnya adalah asidosis metabolik yang ringan pada pasien
uremia biasanya akan menjadi stabil pada kadar bikarbonat plasma 16-20 mEq/l.
Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali jika bikarbonat plasma turun di
dapat memperbaiki keadaan asidosis, tetapi kadar bikarbonat serum kurang dari
15 mEq/l, maka diberikan terapi alkali, baik natrium bikarbonat maupun sitrat
penyakit ginjal lanjut biasanya adalah allupurinol karena dapat mengurangi kadar
2.2 Hemodialisis
darah dan cairan dialisis yang dipisahkan oleh membran semipermeabel. Alat
yang sering digunakan adalah hollow fiber atau capillaty dialyzer terdiri dari
Suatu sistem dialisis terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satunya lagi
untuk cairan dialisis. Bila sistem ini bekerja, darah mengalir dari penderita melalui
tabung plastik (jalur arteri), melalui hollow fiber pada alat dialisis dan kembali ke
penderita melalui jalur vena. Komposisi cairan dialisis diatur sedemikian rupa
24
untuk memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang menyertai gagal ginjal
Urea, kreatinin, asam urat, dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah
ke dalam cairan dialisis karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam cairan
dialisis. Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam cairan dialisis,
mencegah difusi glukosa dalam bak dialisis yang berakibat hilangnya kalori (Price
antara darah dengan cairan dialisis. Perbedaan tekanan hidrostatik dapat dicapai
dialisis yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena atau dengan
dialisis juga meningkatkan kecepatan difusi zat terlarut (Price dan Wilson, 2012).
memberikan terapi obat untuk mencapai outcome klinis yang diinginkan dan
25
meningkatkan kualitas hidup pasien (Council of Europe, 2012). Peraturan Menteri
bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik. Pelayanan farmasi klinik
sediaan steril dan pemantauan kadar obat dalam darah (Permenkes, 2016).
peningkatan pelayanan mutu ini dapat dilakukan melalui proses pelayanan asuhan
Salah satu wujud kegiatan ini adalah dengan melakukan suatu kajian terhadap
masalah terkait obat (Drug Related Problem) dari setiap terapi yang
Europe (PCNE) mendefinisikan DRPs adalah suatu peristiwa atau kejadian yang
melibatkan terapi obat yang benar-benar atau berpotensi mengganggu hasil klinis
kesehatan yang diinginkan (Van Mil et al., 2010). Dengan kejadian DRPs ini
dapat mengakibatkan pencapaian terapi yang diinginkan kepada pasien tidak dapat
DRPs adalah suatu peristiwa atau keadaan yang secara nyata (actual) atau
potensial dapat memengaruhi hasil terapi yang diinginkan (Van Mil et al., 2017).
Masalah potensial terkait obat merupakan suatu kondisi yang dapat menyebabkan
morbiditas atau kematian jika tidak dilakukan tindakan sedangkan masalah actual
26
terkait obat dimanifestasikan dengan adanya tanda dan gejala (Ruths et al., 2007).
DRPs dapat berlangsung pada semua proses tahapan penggunaan obat mulai dari
penilaian ulang terhadap hasil terapi juga dapat memberikan kontribusi terjadinya
menjadi tidak tepat atau membahayakan pasien pada saat obat berada dalam
errors) dan kesalahan penyerahan obat (administration errors), tetapi DRPs juga
dapat terjadi tanpa adanya kesalahan (no error) (Van Mil et al., 2017; Adusumilli
27
mortalitas serta meningkatkan biaya kesehatan. Rasionalitas, keamanan, dan
obat yang diberikan (Parthasarati et al., 2003; Adusumilli dan Adepu, 2014).
pada tahun 1999 oleh para peneliti farmasi praktis ketika konferensi kerja PCNE,
dalam upaya mengembangkan suatu sistem standar klasifikasi yang sesuai dan
kode untuk masalah, penyebab, intervensi dan struktur (PCNE, 2003). Klasifikasi
Europe versi terbaru adalah V9.00, yang telah dikembangkan ketika workshop
pada bulan Februari 2019. PCNE ini kompatibel dengan V8.0 (dengan beberapa
adaptasi), tetapi tidak dengan versi sebelum V8.0 karena sejumlah bagian utama
bidang utama untuk penyebab, dan 5 bidang utama untuk intervensi (Van Mil et
al., 2019). Pengobatan tidak efektif merupakan identifikasi potensi masalah yang
memberikan efek yang tidak optimal dan gejala atau indikasi penyakit yang tidak
diobati.
28
Keamanan pengobatan teridentifikasi apabila pasien mengalami efek buruk
pemberian obat yang tidak perlu dan masalah lain yang belum jelas.
obat, bentuk sediaan obat, pemilihan dosis, durasi pengobatan, dispensing, proses
penggunaan obat, dan berkaitan dengan pasien. Penyebab DRPs berkaitan dengan
kesalahan pemilihan obat terdiri dari pemberian obat yang tidak sesuai dengan
terhadap pasien), pemberian obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit;
obat yang tidak sesuai kelompok duplikasi atau zat aktif obat, indikasi penyakit
yang tidak diobati dan obat yang diresepkan untuk indikasi penyakit tersebut
terlalu banyak.
terdiri dari dosis obat yang diberikan terlalu rendah, dosis obat yang diberikan
teralu tinggi, frekuensi regimen dosis yang diberikan kurang, frekuensi regimen
dosis yang diberikan terlalu banyak dan instruksi waktu pemberian obat yang
salah.
Penyebab DRPs berkaitan dengan ketersediaan obat yang diresepkan dan proses
dispensing obat, klasifikasi terdiri dari: obat yang diresepkan tidak tersedia;
29
anjuran obat, kekuatan atau dosis obat (over the counter) dan kesalahan dalam
Penyebab DRPs berkaitan dengan cara pemberian obat kepada pasien yang
dilakukan oleh profesional kesehatan atau kurir, meskipun intruksi dosis telah
sesuai (pada label), klasifikasi terdiri dari: interval waktu pemberian dan/atau
dosis obat yang tidak sesuai, pemberian dosis obat yang terlalu kecil, pemberian
dosis obat yang terlalu tinggi, obat tidak diberikan sama sekali dan pemberian
tidak disengaja), klasifikasi terdiri dari pasien minum obat lebih sedikit
dibandingkan dengan yang diresepkan, atau tidak minum obat sama sekali, pasien
obat yang tidak perlu, pasien mengkonsumsi makanan yang berinteraksi dengan
obat, pasien menyimpan obat dengan cara yang tidak tepat, interval waktu dan
dosis pemberian obat yang tidak sesuai, pasien menggunakan obat dengan cara
yang salah, pasien tidak dapat menggunakan obat secara langsung, dan terakhir
klasifikasi kelompok lain-lain ini terdiri dari monitoring outcome terapi yang tidak
dilakukan. Intervensi yang dilakukan meliputi pada tingkat penulis resep (penulis
kepada penulis resep), dan pada tingkat pasien (konseling terhadap pasien,
30
memberikan informasi kepada keluarga pasien). Intervensi terhadap obat yang
diberikan, klasifikasi ini terdiri dari penggantian obat, penggantian dosis obat,
intervensi tidak diterima, dan kategori lainnya (tidak ada informasi atas
memasukkan semua masalah dalam terapi obat dari perspektif pasien, diterbitkan
pada tahun 1999. Klasifikasi ini digunakan oleh komunitas farmasi di Amerika
membutuhkan tambahan obat, pasien diberikan obat yang tidak perlu, obat tidak
efektif, dosis obat terlalu rendah, reaksi obat merugikan, dosis obat terlalu tinggi,
dasar klasifikasi yang diusulkan, meski tidak disebutkan namanya. Pada tahun
obat tidak diresepkan, obat yang diresepkan tidak sesuai, dosis, bentuk sediaan,
duplikasi terapi, obat yang diresepkan mengakibatkan alergi pada pasien, efek
31
buruk obat, interaksi obat-obat, obat-penyakit, obat-makanan, dan obat-uji
laboratorium yang secara klinis terjadi secara signifikan, gangguan terapi medis
oleh penggunaan alcohol, terapi yang diberikan gagal memberikan manfaat penuh,
tahun 1998, para ahli di Spanyol menyusun konsensus tentang defenisi dan
analisis DRPs. Dalam sistem ini DRPs merupakan masalah kesehatan, dipahami
sebagai outcome klinis yang negatif, tidak menghasilkan tujuan terapi atau
memberikan efek yang tidak diinginkan. Klasifikasi DRPs meliputi: (1) indikasi,
obat yang keliru. (3) obat, berupa pasien menggunakan obat dengan dosis, interval
dan durasi yang terlalu kecil (sub terapi). (4) keamanan, berupa pasien
2014).
penurunan kualitas hidup, menurut Rahman et al., (2013) pada pasien PGK
terdapat penurunan kualitas hidup pasien baik dari segi fisik, mental, sosial dan
lingkungan. Kualitas hidup pasien PGK yang menjalani hemodialisis menjadi hal
32
Lacson (2010) menjelaskan bahwa pada pasien PGK terjadi penurunan
kualitas hidup yang meliputi kesejahteraan fisik, mental dan sosial. World Health
hidupnya dalam konteks budaya dan sistem nilai untuk menjalankan peran dan
dan lingkungan. Dalam kondisi sehat kualitas hidup manusia akan selalu terjaga di
mana ke empat aspek tersebut dapat dijalankan dengan baik. Hal ini akan berbeda
jika manusia dalam kondisi sakit, di mana faktor yang paling terlihat dalam
penyakit kronis, salah satunya adalah PGK. Pada pasien PGK terjadi penurunan
kondisi fisik seperti berat badan dan kemampuan mobilitasnya. Pasien PGK harus
kali dalam seminggu, hal ini dapat memengaruhi hubungan sosial dan
mengembangkan alat ukur kualitas hidup, atau yang disebut dengan WHOQoL
33
diandalkan, valid, dan responsif yang berlaku di seluruh budaya (WHOQoL
Group, 1995).
Berbagai alat ukur mengenai kualitas hidup telah dipublikasikan oleh para
peneliti, seperti alat ukur SF- 36 (Ware dan Sherbourne, 1992), EQ-5D (EuroQol
WHOQoL-BREF telah terbukti valid dan reliabel untuk mengukur kualitas hidup
yang terdiri 26 item dan 4 domains (kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial,
dikembangkan oleh sejumlah peneliti dari berbagai negara, seperti Iran oleh
Vahedi (2010), Perancis oleh Baumann et al., (2010), India oleh Mudey et al.,
(2011), Tiongkok oleh Xia et al., (2012), dan tidak terkecuali Indonesia oleh
paling awal di sektor pelayanan kesehatan. Tujuan utama COI adalah untuk
seluruh sumber daya pelayanan kesehatan yang dikonsumsi. Studi COI dapat
pengukuran benefit. Selain itu, dalam studi ini dikembangkan berbagai metode,
yang dapat membatasi perbandingan dari hasil studi. Studi dapat bervariasi
berdasarkan sudut pandang, sumber data yang digunakan, kriteria biaya tidak
34
Studi COI yang komprehensif meliputi baik biaya langsung maupun tidak
langsung. Biaya langsung mengukur opportunity cost dari sumber daya yang
mengukur nilai sumber daya yang hilang karena penyakit tertentu. Meskipun
beberapa studi juga memasukkan intangible cost dari nyeri atau sakit, biasanya
pada pengukuran kualitas hidup, kategori biaya tidak dihitung karena kesulitan
sedangkan biaya non-medik langsung adalah sumber daya sumber daya yang tidak
tempat pelayanan kesehatan, pengeluaran untuk keluarga, dan waktu dari anggota
keluarga untuk merawat pasien. Istilah biaya tidak langsung digunakan untuk
menilai produktivitas yang hilang terkait dengan penyakit atau kematian. Istilah
ini tidak sama artinya jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Dalam
akuntasi, biaya tidak langsung mengacu pada aktivitas tambahan atau pendukung
yang dibutuhkan unit pengguna, oleh karena itu disarankan untuk menggunakan
istilah biaya produktivitas yang terkait dengan morbiditas dan mortalitas. Studi
COI dapat dilakukan dari beberapa sudut pandang yang berbeda, di mana masing-
masing sudut pandang biaya yang dihitung berbeda. Berdasarkan sudut pandang
35
Pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisa
- ↓ Kejadian DRPs
- ↑ Outcome Klinis
- ↑ Kualitas hidup
- ↓ Cost of Illness
36
BAB III
METODE PENELITIAN
penelitian studi kohort sebelum dan setelah intervensi. Penelitian dilakukan pada
2021 dan memenuhi kriteria inklusi. Data yang diperoleh berupa jumlah kejadian
diukur berdasarkan nilai tekanan darah, hemoglobin, URR, dan IDWG. Kualitas
statistik menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank dan uji Friedman dalam
Pengumpulan data penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu sebelum dan
3.3.1 Populasi
37
terdiri dari obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
(Sugiyono, 2013). Populasi target adalah seluruh pasien PGK stadium V yang
periode Februari – Juli 2021. Populasi studi adalah populasi target yang
memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi (WHO, 2001).
3.3.2 Sampel
populasi target yang akan di teliti. Kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini
jam) di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan bulan Februari - Juli 2021
b. pasien PGK stadium V dengan atau tanpa komplikasi dan penyakit penyerta
memenuhi kriteria inklusi dari penelitian karena sebab tertentu. Kriteria eksklusi
38
a. pasien yang tidak bersedia untuk dijadikan subyek penelitian
bulan
d. pasien dengan PGK stadium V yang tidak secara rutin menjalani hemodialisis
Pengumpulan dan pencatatan data pasien (outcome klinis, QoL, dan COI)
Asuhan kefarmasian
Pengumpulan dan pencatatan data pasien (outcome klinis, QoL, dan COI)
39
3.4.2 Langkah Kerja Penelitian
Langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. catatan data dari rekam medik dan dari instalasi farmasi meliputi data
b. data dari pasien langsung meliputi: obat yang diberikan, pengisian kuesioner
40
d. data biaya medis langsung pasien yang diperoleh dari Sistem Informasi
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel, kemudian di analisis secara
dan post-test (setelah intervensi) dengan variabel terikat yaitu jumlah kejadian
DRPs, outcome klinis (tekanan darah, kadar Hb, URR, dan IDWG), kualitas hidup
(QoL), dan Cost of illness (COI). Uji Friedman digunakan untuk melihat
ada dalam penelitian. Untuk melihat definisi operasional dari penelitian dapat
41
Tabel 3.1. Definisi Operasional
42
serta lingkungan)
dan terdiri 26
item pertanyaan
5 Cost of Illness Total beban biaya Data biaya Menghitung Rupiah Rasio
(COI) pasien PGK medis total biaya
stadium V yang langsung medis
menjalani pasien langsung
hemodialisis yang (biaya
dilihat dari hemodialisis,
perspektif rumah biaya obat, dan
sakit dan biaya lab)
perspektif BPJS
43
BAB IV
PGK yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia,
yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan disajikan pada
Tabel 4.1.
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 4.1 diketahui pasien
44
PGK yang menjalani hemodialisis terdiri dari 29 orang pasien berjenis kelamin
PGK yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan didominasi
oleh pasien berjenis kelamin laki-laki. Penelitian serupa yang dilakukan oleh
RSUD Cilacap juga didominasi oleh pasien laki-laki. Hal ini disebabkan karena
laki-laki lebih berisiko secara klinik untuk terkena penyakit PGK dibandingkan
perempuan. Hal ini juga disebabkan oleh gaya hidup laki-laki yang cenderung
Pada penelitian ini, hasil juga menunjukkan bahwa jumlah pasien PGK yang
pasien yang berumur 51-60 tahun dengan jumlah 29 orang (34,93%). Jumlah
tertinggi selanjutnya pasien PGK yang menjalani hemodialisis yaitu berumur 41-
berurut hingga ke jumlah yang terkecil yaitu pasien berumur ≤40 sebanyak 18
berumur 71-80 tahun sebanyak 2 orang (2,41%), dan pasien berumur ≥81
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo,
dkk., (2018) yang juga menunjukkan bahwa pasien yang paling banyak menjalani
hemodialisis adalah pasien yang berusia 50-59 tahun. Penelitian lain menunjukkan
bahwa peningkatan umur dapat menurunkan fungsi ginjal. Pasien yang memiliki
usia mulai dari 40 tahun akan mengalami pengurangan jumlah nefron di ginjal
yang memiliki peran penting dalam proses penyaringan zat di tubuh. Setiap 10
45
tahun, manusia akan mengalami penurunan fungsi ginjal sebanyak 10
ml/menit/1,73 m2. Maka pasien yang mulai memasuki umur 40 tahun akan
mengalami kerusakan ginjal ringan dengan nilai GFR 60-89 ml/ menit/ 1,73 m2.
Artinya, selama empat decade ginjal akan mengalami kehilangan fungsi normal
basal glomerulus, dan deposit protein pada matriks ektraseluler yang dapat
RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan yang tidak bekerja ada sebanyak 30 orang
Kota Medan yang bekerja ada sebanyak 53 orang (63,85%). Pekerjaan pasien
yang menjalani hemodialisis ini terdiri dari PNS sebanyak 13 orang, pegawai
orang. Pada penelitian ini diketahui Sebagian besar pasien yang menjalani
Kotabaru Malang jua menunjukkan bahwa pasien paling banyak yang menjalani
Kota Medan yaitu 3 orang lulus SD (3,61%), 5 orang lulus SMP (6,04%), 68
orang lulus SMA (81,92%), 7 orang lulus Perguruan tinggi (8,43%). Pada
Namun penelitian lain yang dilakukan oleh Badariah et al., (2017) menunjukkan
46
hasil bahwa pendidikan terakhir pasien menjalani yang hemodialisis di RSUD
dkk., 2018).
Berdasarkan hasil penelitian ini juga diketahui bahwa pasien terbanyak yang
menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan memiliki durasi 1-5
selama >5 tahun ada sebanyak 26 orang (31,32%). Sedangkan pasien yang
menjalani hemodialisis dengan durasi <1 tahun memiliki jumlah pasien paling
sudah menjalani hemodialisis secara regular selama >8 bulan akan memiliki
Pada penelitian ini, penyakit infeksi virus pasien PGK yang menjalani
47
Tabel 4.2. Gambaran penyakit infeksi virus dan etiologi pada pasien PGK
stadium V yang menjalani hemodialisis
Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa pasien PGK yang menjalani hemodialisis di
RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan terdiri dari 83 total pasien. Terdapat 27 pasien
tidak memiliki penyakit penyerta dan 56 orang pasien memiliki penyakit penyerta
terinfeksi virus. Penyakit penyerta yang terinfeksi virus pada pasien PGK yang
pasien PGK yang juga mengidap hepatitis B dan 50 orang pasien yang mengidap
oleh Blood Borne Virus (BBV) seperti hepatitis B, hepatitis C dan HIV. Hal ini
adanya proses hemodialisis yang dilakukan secara regular oleh pasien (Liana P.,
2015).
Ada 3 faktor utama yang memengaruhi terjadinya penularan virus atau infeksi
48
dari BBV kepada pasien hemodialisis yaitu adanya pelaksanaan transfusi darah,
(Kasih T, 2017).
Pada Tabel 4.2 juga dapat dilihat etilogi PGK pada pasien yang menjalani
hemodialisis di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan. Ada sebanyak 62 pasien yang
pasien yang mengalami PGK karena Penyakit Ginjal Obstruktif Infektif, dan 1
pasien yang mengalami PGK karena Penyakit ginjal polikistik. Serta, ada 3 orang
Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa PGK paling banyak disebabkan oleh
faktor lain seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain
(Suwitra, 2009). Penyakit ginjal hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit
ginjal kronik. Insideni hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal
kronik <10% (Prince dan Wilson, 2012). Penyebab Hipertensi sudah banyak
diperbincangkan, dan yang paling sering di bahas adalah dua penyebab hipertensi
penyebab hipertensi yaitu 95% hipertensi adalah hipertensi primer yang disebut
juga hipertensi esensial, dan sisanya 5% adalah hipertensi sekunder. Salah satu
49
penyebab terjadinya hipertensi sekunder adalah penyakit ginjal yang biasa dikenal
Hipertensi merupakan salah satu faktor yang dapat memperburuk fungsi ginjal
di samping faktor lain seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan
faktor lain (Hidayat, dkk., 2016). Penyakit ginjal hipertensi menjadi salah satu
penyebab PGK. Insideni hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal
hemodialisis sebelum dan setelah intervensi dapat dilihat pada Tabel 4.3.
50
Tabel 4.3 (lanjutan)
Pada kondisi gagal ginjal, terjadi akumulasi obat antihipertensi dalam darah,
sehingga dapat memperburuk fungsi ginjal. Oleh karena itu, diperlukan perhatian
51
dan penanganan yang khusus terutama pada pemilihan obat antihipertensi yang
blocker (CCB) + beta blocker (BB) + angiotensin receptor blocker (ARB) yaitu
pemberian ARB dalam jangka panjang juga tidak memengaruhi lipid dan glukosa
darah. Hal ini sesuai dengan guideline terapi berdasarkan International Society of
Hypertension (ISH) Tahun 2020, pada pasien hipertensi dengan komplikasi gagal
ginjal kronik, terapi antihipertensi yang diberikan sebagai terapi lini pertama
sebanyak 5 orang (5,95%). Hal ini disebabkan pada beberapa pasien PGK stadium
kelebihan natrium dan air serta ultrafiltrasi yang tidak adekuat atau disebut
52
sebagai hipertensi intradialitik. Hipertensi intradialitik merupakan suatu kondisi
dan tekanan darah selama atau saat akhir dari hemodialisis menjadi lebih tinggi
dari tekanan darah awal saat memulai terapi hemodialisis. Tekanan darah
penderita mengalami hipertensi saat dan pada akhir terapi hemodialisis. Hal ini
menyebabkan tekanan darah pasien tidak terkontrol hingga terjadi krisis hipertensi
dengan efek samping minimal. Studi cross sectional yang dilakukan oleh
Kazerani et al., (2009) mengevaluasi efikasi dan onset captopril pada 101 pasien
dapat menurunkan tekanan darah sebesar 25% dari tekanan darah awal dalam
waktu 60 menit dibandingkan dengan captopril yang diberikan secara per oral.
Menurut Chen et al., (2006) obat antihipertensi golongan ACEi akan mudah
pada pasien yang akan menjalani hemodialisis, kadar obat captopril dalam darah
53
Setelah intervensi, antihipertensi kombinasi golongan CCB + ARB masih
golongan CCB menyebabkan relaksasi otot polos arterial, tetapi efek hambatan ini
kurang terhadap pembuluh darah vena, sehingga kurang memengaruhi beban pre-
apabila target tekanan darah tercapai, maka pasien dianjurkan mendapat terapi
tambahan dengan beta bloker dan apabila terapi yang diberikan masih tidak
dialami oleh pasien, sedangkan untuk pasien hipertensi stage II tanpa penyakit
kombinasi golongan ACEi atau ARB dengan CCB. Jika tekanan darah target tidak
(nefroprotektif) dalam penyakit ginjal diabetes dan non-diabetes. Salah satu dari
kedua obat ini harus digunakan sebagai terapi lini pertama untuk mengontrol
tekanan darah dan memelihara fungsi ginjal pada pasien dengan PGK (Dipiro,
2011). Untuk penggunaan kombinasi beta bloker seperti bisoprolol pada pasien
gagal ginjal selain untuk mengontrol tekanan darah adalah untuk mengurangi
54
jantung, serta untuk menstabilkan kontraktilitas miokard. Bisoprolol merupakan
yang panjang. Karena waktu paruh dari obat ini yang lama, maka obat ini dapat
4.4
Tabel 4.4 Profil pengobatan selain antihipertensi pada pasien PGK stadium V
yang menjalani hemodialisis
55
Tabel 4.4 (lanjutan)
56
Berdasarkan Tabel 4.4 diperoleh bahwa obat yang paling banyak digunakan
obat golongan vitamin dan mineral sebesar 45,14%, diikuti dengan penggunaan
obat yang bekerja pada saluran cerna sebesar 21,71%, dan golongan antipiretik
dan mineral menjadi 46,09%, penggunaan obat saluran cerna menjadi 16,71%,
Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan vitamin dan mineral berupa zat besi,
vitamin b kompleks, dan asam folat ditujukan untuk mengatasi anemia pada
pasien gagal ginjal kronik. Anemia merupakan salah satu komplikasi yang hampir
selalu terjadi pada PGK. Anemia terjadi pada 80-90% pasien PGK, terutama bila
yang dihasilkan oleh sel peritubular sebagai respon hipoksia lokal akibat
untuk meningkatkan produksi EPO, di mana EPO dapat meningkat lebih dari 100
kali dari nilai normal bila hematokrit dibawah 20%. Pada pasien PGK, respon ini
mana hal ini dikaitkan dengan defisiensi eritropoietin pada PGK. Faktor lain yang
dapat menyebabkan anemia pada PGK adalah defisiensi besi, defisiensi vitamin,
57
penurunan masa hidup eritrosit yang mengalami hemolisis, dan akibat perdarahan
Penggunaan vitamin dan mineral berupa kalsium pada pasien PGK biasanya
Komplikasi asidosis metabolik dapat terjadi pada pasien gagal ginjal kronik,
khususnya ketika laju filtrasi glomerulus (LFG) turun di bawah 30 ml/menit dan
pelepasan fosfat dari dalam sel karena kondisi asidosis dan uremik yang sering
dalam darah akan tinggi, dan untuk mengatasi ketidakseimbangan mineral ini,
beberapa keluhan di antaranya demam, alergi, batuk, dan mual atau muntah. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tuloli, dkk., (2019) bahwa
demam, mual atau muntah, gatal, dan kram, masing-masing sebesar 10,71%.
58
4.4 Drug Related Problems pada Pasien PGK Stadium V yang Menjalani
Hemodialisis
kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan.
pasien mendapatkan terapi obat yang tepat, efisien, dan aman. Hal ini melibatkan
tiga fungsi umum, yaitu mengidentifikasi drug related problems (DRPs) secara
aktual dan potensial, menyelesaikan DRP aktual, dan mencegah munculnya DRPs
DRPs adalah suatu peristiwa atau keadaan yang melibatkan terapi obat dan
secara nyata (actual) atau potensial dapat mengganggu hasil terapi yang
diinginkan (Van Mil et al., 2019). Masalah potensial terkait obat merupakan suatu
kondisi yang dapat menyebabkan morbiditas atau kematian jika tidak dilakukan
tanda dan gejala (Ruths et al., 2007). Ada beberapa sistem klasifikasi yang
pasien gagal ginjal meningkatkan potensi DRPs. Seiring dengan penurunan fungsi
ginjal maka jenis dan pengobatan untuk pasien bertambah, sehingga akan
59
memperbesar risiko DRPs. DRPs telah diketahui berhubungan dengan morbiditas,
Sebelum Intervensi
Kode Klasifikasi Masalah (Problem/P) Jumlah Persentase
Kejadian (%)
P Masalah 470 100
P.1 Efektivitas Terapi 385 81,91
P1.1 Tidak ada efek terapi obat/terapi 42 8,93
gagal
P1.2 Efek terapi obat tidak optimal 239 50,85
P1.3 Gejala/indikasi tidak terobati 104 22,13
P.2 Keamanan terapi 83 17,65
P2.1 Kejadian efek obat yang merugikan 83 17,65
(adverse drug reaction)
P.3 Lainnya 2 0,44
P3.1 Masalah dengan biaya efektif 2 0,44
pengobatan
mengalami DRPs dan 1 orang (1,21%) tidak mengalami DRPs. Dari 82 orang
yang mengalami DRPs, terdapat 470 kejadian DRPs dengan rata-rata per pasien
sebesar 5,73 ± 2,20 kejadian. Kejadian DRPs yang paling besar terdapat pada
dengan mayoritas klasifikasi efek terapi obat tidak optimal (P1.2) sebanyak 239
sebanyak 104 kejadian (22,13%), dan klasifikasi tidak ada efek terapi obat/ terapi
60
gagal sebanyak 42 kejadian (8,93%). Selain masalah efektivitas terapi, juga
dengan klasifikasi efek obat yang merugikan (adverse drug reaction) (P2.1), dan
(0,44%). Permasalahan terbesar terkait efek terapi obat yang tidak optimal dapat
dilihat dari nilai tekanan darah pasien sebelum intervensi dengan kategori tidak
141 ± 18,48 mmHg. Selain itu, efek terapi obat yang tidak optimal terlihat dari
dibawah kategori normal dengan rata-rata sebesar 9,20 ± 1,89. Hasil ini berbeda
dengan penelitian yang dilakukan Subeesh et al., (2020) di salah satu Rumah Sakit
India Selatan menggunakan klasifikasi DRPs berdasarkan PCNE bahwa dari total
160 pasien terdapat 337 kejadian DRPs dengan permasalahan terbesar terkait
keamanan terapi yaitu terjadi interaksi obat sebesar 59,94%, diikuti dengan
kategori efek terapi obat tidak optimal sebesar 40,06%. Hal ini disebabkan oleh
(rumah sakit), sifat data yang dikumpulkan, dan kurangnya dokumentasi yang
komprehensif dalam studi. Selain itu, jangka waktu penelitian dan perbedaan
teridentifikasi. Terdapat fakta bahwa sebagian besar DRPs yang ditemui di rumah
sakit tidak dicatat atau bahkan terlewatkan oleh apoteker (Garedow et al., 2019;
Setiap masalah terkait obat (DRPs) yang terjadi memiliki penyebab. Data hasil
61
intervensi berdasarkan kelompok penyebab (Cause/C) dapat dilihat pada Tabel
4.6
Sebelum Intervensi
Kode Klasifikasi Penyebab (Causes/C) Jumlah Persentase
kejadian (%)
C Penyebab 470 100
C.1 Pemilihan obat 280 59,57
C1.4 Kombinasi obat-obatan yang tidak 173 36,80
tepat, atau obat dengan herbal, dan
obat dengan suplemen makanan
C1.5 Duplikasi kelompok terapi atau zat 1 0,21
aktif yang tidak tepat
C1.6 Tidak ada terapi obat terlepas dari 106 22,56
indikasi yang ada
C.3 Pemilihan Dosis 25 5,31
C3.1 Dosis obat terlalu rendah 19 4,04
C3.2 Dosis obat terlalu tinggi 6 1,27
C.4 Lama/Durasi Pengobatan 1 0,21
C4.2 Durasi pengobatan terlalu panjang 1 0,21
C.6 Proses Penggunaan Obat 54 11,48
C6.1 Waktu pemberian obat dan/atau 17 3,61
interval dosis yang tidak tepat
C6.2 Penggunaan obat dibawah 37 7,87
anjuran/petunjuk penggunaan obat
C.7 Terkait Pasien 21 4,46
C7.1 Pasien menggunakan obat lebih 6 1,28
sedikit daripada yang diresepkan
atau tidak menggunakan obat sama
sekali
C7.7 Waktu/ interval dosis tidak tepat 1 0,21
C7.8 Pasien menggunakan obat dengan 14 2,97
cara yang salah
C.9 Lainnya 90 19,18
C9.2 Penyebab lain; khusus 90 19,18
kategori pemilihan obat (C.1) sebesar 59,57%, diikuti dengan penyebab lain (C.9)
62
11,48%, penyebab kategori pemilihan dosis (C.3) sebesar 5,31%, dan terakhir
Dari penyebab yang muncul, penyebab kategori pemilihan obat terkait dengan
kombinasi obat-obatan yang tidak tepat, atau obat dengan herbal, dan obat dengan
kejadian sebesar 36,80%. Hal ini dapat dilihat dari adanya kombinasi obat yang
tidak tepat dan menimbulkan interaksi obat pada pasien yang dapat dilihat pada
Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Interaksi obat yang ditemukan pada pasien PGK stadium V yang
menjalani hemodialisis
63
Tabel 4.7 (lanjutan)
64
Tabel 4.7 (lanjutan)
terapi obat tidak optimal pada 81 pasien, dan menyebabkan reaksi obat merugikan
(ROM) pada 43 pasien. Interaksi obat yang terjadi diperoleh berdasarkan beberapa
handbook of clinical drug data (2002). Kegagalan terapi akibat interaksi obat
65
dapat menurunkan outcome klinis dan kualitas hidup pada pasien. Hasil ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bharath et al., (2020) bahwa
penyebab efek terapi obat yang tidak optimal adalah terkait dengan pemilihan
terbesar kedua pada kategori pemilihan obat adalah terkait tidak ada terapi obat
terlepas dari indikasi yang ada (C1.6) sebesar 22,56%. Hal ini terlihat selama
periode penelitian, beberapa pasien yang memiliki kadar albumin rendah, tetapi
tidak diberikan terapi albumin. Selain itu, terdapat pasien yang tekanan darahnya
belum terkontrol, tetapi tidak diberikan obat antihipertensi. Terdapat pasien yang
nilai fosfornya diatas normal tetapi belum diberi terapi kalsium karbonat, dan
pada pasien yang mengalami nyeri (skala nyeri 2) tetapi tidak diberikan obat
pereda nyeri. Di samping hal tersebut, terdapat juga pasien yang mendapatkan
kombinasi obat dengan golongan yang sama (duplikasi golongan CCB). Peran
apoteker dalam memberikan intervensi terkait DRPs yang terjadi sangat dituntut
sebesar 19,18%. Hal ini terjadi pada pasien yang belum dilakukan pemeriksaan
laboratorium seperti hemoglobin, hematokrit, dan kadar sel darah merah yang
terapi mulai dari pemilihan obat, penggunaan obat hingga pemantauan efektivitas
66
penentuan dosis, hingga pemantauan keamanan obat guna mencapai efek terapi
Penyebab DRPs terbesar ketiga yang terjadi yaitu kategori proses penggunaan
atau obat yang diberikan kurang jumlahnya sebesar 7,87%, dan interval dosis
menerima obat antihipertensi seperti klonidin tidak sesuai dengan jumlah yang
tertera pada pedoman terapi. Interval dosis dan jumlah obat yang diberikan pada
pasien terkait dengan penggunaan obat yang rasional. Menurut WHO, penggunaan
obat rasional adalah apabila pasien menerima obat yang tepat untuk kebutuhan
klinis, dalam dosis dan jumlah obat yang memenuhi kebutuhan untuk jangka
waktu yang cukup, dan dengan biaya yang terjangkau baik untuk individu maupun
pelayanan medik oleh dokter dan pelayanan farmasi klinik oleh apoteker. Untuk
itu perlu sekali adanya kolaborasi yang sinergis antara dokter dan apoteker guna
persentase terkait dosis obat terlalu rendah (C3.1) sebesar 4,04% Dosis obat yang
kurang artinya adalah obat yang digunakan dosisnya terlalu rendah untuk efek
yang diinginkan, hal ini dapat disebabkan karena interval pemakaian obat terlalu
67
panjang, durasi obat terlalu pendek, adanya interaksi yang menyebabkan
Pemberian obat dengan dosis kurang dapat menyebabkan obat dalam keadaan sub
terapetik sehingga obat tidak dapat memberikan efek terapi (Pandiangan, 2017).
Dosis obat terlalu rendah dapat dilihat pada pasien yang menerima kalsium
karbonat dan klonidin yang tidak sesuai dengan pedoman terapi. Penggunaan
sejumlah 3 kali dosis, tetapi kenyataannya hanya diberikan 1 kali dosis. Selain itu,
pada terapi anemia terdapat pasien yang seharusnya mendapatkan terapi Epoetin
alfa sebesar 4000 IU, tetapi hanya mendapatkan dosis Epoetin alfa 3000 IU. Hal
Untuk kategori terkait dosis obat terlalu tinggi (C3.2) memiliki persentase sebesar
1,27%. Dosis obat berlebih artinya adalah obat yang digunakan pasien melebihi
Hal ini dapat disebabkan karena pengunaan dosis obat yang terlalu tinggi, jarak
pemakaian yang terlalu dekat, durasi obat yg terlalu panjang, interaksi obat yang
pasien yang menerima obat amlodipine lebih dari 10mg dan bisoprolol yang
mg per hari.
Penyebab DRPs yang kelima adalah kategori terkait pasien, di mana pasien
menggunakan obat sama sekali (C7.1) sebesar 1,28%, waktu/ interval dosis yang
tidak tepat (C7.7) sebesar 0,21%, dan pasien menggunakan obat dengan cara yang
salah (C7.8) sebesar 2,97%. Penyebab DRPs terkait pasien berhubungan erat
68
dengan kepatuhan pengobatan, serta informasi dan edukasi yang diberikan oleh
kurang patuh dalam minum obat, pasien tidak memiliki pengetahuan tentang
terkait kejadian DRPs yang telah teridentifikasi pada saat penilaian awal (pretest).
69
tidak optimal
P1.3 Gejala/indikasi 104 55 47,11
tidak terobati
P.2 Keamanan terapi 83 8 90,36
P2.1 Kejadian efek obat 83 8 90,36
yang merugikan
(adverse drug
reaction)
P.3 Lainnya 2 2 0
P3.1 Masalah dengan 2 2 0
biaya efektif
pengobatan
70
Penggunaan Obat
C6.1 Waktu pemberian 17 2 88,23
obat dan/atau
interval dosis yang
tidak tepat
C6.2 Penggunaan obat 37 0 100
dibawah
anjuran/petunjuk
penggunaan obat
C.7 Terkait Pasien 21 3 85,71
C7.1 Pasien 6 0 100
menggunakan obat
lebih sedikit
daripada yang
diresepkan atau
tidak menggunakan
obat sama sekali
C7.7 Waktu/ interval 1 0 100
dosis tidak tepat
C7.8 Pasien 14 3 78,57
menggunakan obat
dengan cara yang
salah
C.9 Lainnya 90 47 47,78
C9.2 Penyebab lain; 90 47 47,78
khusus
pasien sebesar 1,90 ± 1,04 kejadian. Hasil penelitian ini menunjukkan berdasarkan
signifikansi p<0,05 yang artinya data tidak terdistribusi normal pada kelompok
Signed Ranks dan diperoleh nilai α<0,05 (α=0,000), sehingga disimpulkan bahwa
71
kelompok penyebab sebesar 65,53%. Setelah intervensi, masih ada kelompok
masalah yang terjadi pada kategori efektivitas terapi dengan persentase penurunan
Jumlah DRPs yang terjadi pada pasien berhubungan secara linear dengan
jumlah obat yang dikonsumsi pasien. Pada pasien PGK stadium akhir yang
dari apoteker klinis dalam tim interdisiplin medis diharapkan dapat mencegah
Dalam penelitian ini, hasil pemantauan terapi obat menunjukkan adanya DRPs
yang terjadi dapat menyebabkan hasil terapi pasien tidak maksimal. Berdasarkan
dan persepsi terhadap outcome klinis pasien. Pengetahuan menjadi faktor yang
memberikan terapi terkait pilihan, dosis serta pemilihan bentuk sediaan bagi
pasien. Menurut Churchwell (2007) dan Blix HS (2006), pada pasien PGK
penyesuaian dosis sangat diperlukan, namun hal ini sering diabaikan oleh klinisi.
Berdasarkan penelitian di rumah sakit Penang, pemilihan dosis yang tidak sesuai
menjadi masalah yang paling penting pada pasien dengan gangguan ginjal
(Mahmoud, 2008).
72
Intervensi yang dilakukan apoteker terkait kejadian DRPs yang dialami pasien
Kelompok Jumlah
Kode Klasifikasi %
Intervensi Intervensi
I1.3 Intervensi diusulkan 98 20,85
I.1 Pada Tingkat kepada penulis resep
Penulis Resep I1.4 Intervensi didiskusikan 125 26,59
dengan penulis resep
I.2 Pada Tingkat I2.1 Konseling (obat) pasien 155 32,97
Pasien
I.3 Pada Tingkat I3.2 Dosis obat diubah 40 8,51
Obat
I3.4 Instruksi penggunaan 21 4,46
obat diubah
I.4 Intervensi lain I4.1 Intervensi lain (khusus) 31 6,62
Total 470 100
intervensi pada tingkat pasien (I.2) yaitu konseling (obat) pasien sebanyak 155
pada dosis obat sebanyak 40 pasien (8,51%) dan persentase yang paling kecil
pasien (4,46%).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Song et al., (2021) bahwa
adanya intervensi dari farmasi klinis mampu menurunkan kejadian DRPs secara
signifikan dari rata-rata kejadian DRPs sebesar 3,80 ± 1,80 menjadi 1,96 ± 1,25
73
pemantauan parameter laboratorium, dan penilaian kesesuaian obat yang
diresepkan pada setiap titik perawatan. Hal ini terutama dilakukan oleh apoteker
untuk pasien dalam kelompok intervensi (al Raissi et al., 2019). Sebagai pihak
yang ahli dalam manajemen terapi dan mampu berkomunikasi kepada pasien
dengan penyakit kronis, apoteker berada pada posisi yang baik untuk
oleh apoteker terhadap pasien dalam melakukan terapi pengobatan sehingga dapat
konseling, informasi, dan edukasi (KIE) terkait terapi pengobatan yang dijalani
monitoring hasil terapi pengobatan yang telah dijalankan oleh pasien serta
pasien dan mengubah orientasi kerja apoteker yang semula hanya berorientasi
kepada obat dan berada dibelakang layar menjadi profesi yang berinteraksi
74
Tabel 4.11 Status penerimaan intervensi yang dilakukan apoteker kepada pasien
Jumlah
Status Intervensi Kode Klasifikasi %
Intervensi
A1.1 Intervensi diterima dan 52 11,06
diimplementasikan
1. Intervensi secara menyeluruh
diterima A1.2 Intervensi diterima dan 256 54,46
diimplementasikan
sebagian
A1.3 Intervensi diterima tetapi 155 34,48
tidak diimplementasikan
Total 470 100
pasien terhadap terapi PGK masih jauh dari yang diharapkan. Pasien PGK yang
hidup yang baik, maka perlu perubahan secara fundamental atas cara pandang
pasien tentang hidup sehat yang harus dan bagaimana menjalaninya yang dapat
terlihat pada perubahan sikap. Sedang perubahan sikap ini dipengaruhi beberapa
termasuk dalam pelaksanaan terapi diet yang harus dijalani. Pasien PGK yang
75
mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang dihadapi, mempunyai rasa
percaya diri yang tinggi, berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat
bagaimana mengatasi kejadian serta mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan
oleh petugas kesehatan. Hal ini dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat
Pada penelitian ini, outcome klinis yang dievaluasi pada pasien PGK yang
menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan yaitu berupa tekanan
darah (TD), hemoglobin (Hb), Urea Reduction Ratio (URR), dan Intradialytic
Pada penelitian ini, dilakukan pencatatan tekanan darah sebelum dan setelah
intervensi pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Pirngadi
Kota Medan. Tekanan darah pasien PGK yang menjalani hemodialisis di RSUD
Dr. Pirngadi Kota Medan sebelum dilakukan intervensi disajikan pada Tabel
4.12.
Tabel 4.12 Tekanan darah pasien PGK Stadium V yang menjalani hemodialisis
sebelum dilakukan intervensi
76
Pada penelitian ini, tekanan darah pasien dikelompokkan menjadi terkontrol
dan tidak terkontrol. Jumlah pasien yang memiliki tenakan darah terkontrol
yang memiliki tekanan darah tidak terkontrol yaitu 62 orang (74,7%). Jumlah
pasien yang memiliki tekanan darah tidak terkontrol lebih banyak dibandingkan
(2020), pasien yang berumur <65 tahun target tekanan darahnya adalah <130/80
mmHg. Jadi pasien yang berumur <65 tahun yang nilai tekanan darahnya <130/80
berumur <65 tahun yang nilai tekanan darahnya >130/80 mmHg, dikategorikan
kedalam kelompok tidak terkontrol. Sedangkan untuk pasien yang berumur >65
tahun, target tekanan darah yang harus dicapai adalah <140/90 mmHg. Jadi pasien
yang berumur >65 tahun yang memiliki nilai tekanan darah <140/80 mmHg,
kefarmasin, dilakukan juga pencatatan tekanan darah pada pasien PGK yang
menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Pirngadi tersebut. Pada Tabel 4.13 disajikan
nilai tekanan darah pasien PGK yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr.
77
Tabel 4.13 Tekanan darah pasien PGK yang menjalani hemodialisis setelah
dilakukan intervensi
bahwa tekanan darah pasien yang tidak terkontrol lebih banyak daripada pasien
yang memiliki tekanan darah terkontrol yang diukur pada saat follow up I, follow
up II dan pada saat post test. Nilai rerata tekanan darah pasien pada saat follow up
I yaitu 141 ± 19,10, follow up II yaitu 144 ± 21,89 dan pada saat post test yaitu
143 ± 20,39. Nilai rerata tekanan darah pada follow up I, follow up II dan pada
saat post test menunjukkan bahwa tekanan darah pasien tidak terkontrol.
hemodilisis, diketahui bahwa pasien tidak menjalankan diet nutrisi dan garam
Menurut Peixoto (2011), pada saat pasien menjalani hemodialisis, pasien dapat
adalah dengan cara membatasi peningkatan berat badan pasien pada saat antar sesi
dialisis.
Tekanan darah merupakan salah satu parameter outcome klinis yang harus
78
darah yang tidak terkontrol pasien PGK yang menjalani hemodialisis dapat
juga dapat terjadi resiko penurunan tekanan darah selama menjalani hemodialisis.
sistolik yang menjadi >160 mmHg dan rata-rata tekanan diastolik >100 mmHg
tekanan darah sistolik yang menjadi >100 mmHg dan rata-rata tekanan diastolik
kepala pusing, telinga berdenging, kram otot, dan keluar keringat dingin (Lestari
Pada penelitian ini dilakukan juga analisis menggunakan uji Wilcoxon untuk
mengevaluasi perbedaan tekanan darah pasien PGK pada saat pre test, follow up
I, follow up II, dan post test. Hasil evaluasi perbedaan tekanan darah pada saat pre
test, follow up I, follow up II, dan post test yang dianalisis menggunakan uji
79
Tabel 4.14 Perbedaan tekanan darah pasien PGK stadium V yang menjalani
hemodialisis pada saat pre test, follow up I, follow up II, dan post
test
Berdasarkan hasil Tabel 4.14, tidak ada perbedaan signifikan tekanan darah
pasien pada setiap tahap penilaian. Hasil uji Wilcoxon terkait perbedaan tekanan
darah pada saat pre test dengan follow up I; follow up I dengan follow up II;
follow up II dengan post test; pre test dengan post test menunjukkan nilai
signifikasi (p>0,05). Artinya, tidak ada perbedaan signifikan antara tekanan darah
pasien PGK pada saat pre test dengan follow up I; follow up I dengan follow up
II; follow up II dengan post test; pre test dengan post test. Hasil analisis uji
Friedman juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tekanan darah pasien
secara keseluruhan.
terkait terapi non farmakologi, namun tekanan darah pasien yang tidak terkontrol
hipertensi yang terjadi pada pasien PGK terjadi akibat beberapa mekanisme yang
80
penurunan aliran darah menuju ginjal serta terjadi pengurangan Laju Filtrasi
Angiotensi Aldosteron (RAA). Proses sekresi enzim renin oleh sel aparatus
vasokontriksi pada pembuluh darah yang berakibat pada naiknya tekanan darah
dan air di tubulus ginjal. Hal ini juga berefek pada peningkatan tekanan darah
pasien PGK. Pasien PGK juga mengalami hipervolemia yang terjadi akibat retensi
natrium dan air. Hal ini mengakibatkan peningkatan reabsorbsi natrium di duktus
koligentes. Peningkatan ini terjadi karena adanya resistensi relatif pada hormon
terjadi. Berbagai mekanisme inilah yang menyebabkan tekanan darah pasien PGK
Tidak terkontrolnya tekanan darah pasien juga diakibatkan oleh faktor lain
perawaran diri yang buruk seperti tidak membatasi asupan garam, tidak
patuh dalam minum obat, sesi hemodialisis yang tidak komplit serta pelaksanaan
sesi hemodialisis yang durasinya terlalu singkat. Selain itu, faktor lain yang dapat
81
meningkatkan tekanan darah pasien adalah kecenderungan pasien untuk merasa
darah tidak hanya diupayakan oleh tenaga kesehatan saja, melainkan perlu
pemeliharaan diri dan kontrol personal dari pasien untuk mengontrol tekanan
Hemoglobin adalah salah salah satu outcome klinis yang sangat perlu
dilakukan juga pencatatan kadar hemoglobin pada pasien PGK yang menjalani
hemodialisis di RSUD Dr. Pirngadi pada saat sebelum dan setelah dilakukannya
pada saat sebelum dan setelah dilakukan intervensi disajikan pada Tabel 4.15.
Tabel 4.15 Rata-rata kadar hemoglobin pasien PGK yang menjalani hemodialisis
pada saat sebelum dan setelah intervensi
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 4.13, diketahui rata-
rata hemoglobin pasien PGK pada saat pretest atau sebelum dilakukan intervensi
kefarmasian yaitu 9,20 ± 1,89. Sedangkan rata-rata kadar hemoglobin pasien PGK
yang sudah mendapatkan intervensi yaitu 9,38 ±1,94 pada saat follow up I, 9,14 ±
1,87 pada saat follow up II, dan 9,28 ± 1,60 pada saat post test.
82
Namun berdasarkan hasil penelitian ini diketahui rerata kadar hemoglobin pasien
PGK yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Pirngadi tidak mencapai target.
Hal ini disebabkan karena 90% EPO dihasilkan di ginjal (juxtaglomerulus) dan
produksi EPO yang berefek pada penurunan kadar hemoglobin. Penurunan kadar
hemoglobin pada pasien PGK ini juga tidak terlepas dari komplikasi pelaksanaan
laboratorium, darah yang tertinggal didalam mesin dialiser serta defisiensi zat besi
Berdasarkan penelitian, kadar hemoglobin pasien PGK yang <10 g/dl, harus
mendapatkan terapi EPO untuk meningkatkan kadar hemoglobin pasien. Selain itu
juga dapat diberikan suplemen oral seperti Vitamin B12, Vitamin B6, dan asam
folat (Hidayat, dkk., 2016). Namun pada penelitian ini, didapatkan hasil rerata
kadar hemoglobin yang masih dibawah <10 g/dl meskipun sudah dilakukan
pemberian terapi ini tidak dapat menggantikan fungsi kerja ginjal normal untuk
menghasilkan EPO dalam memproduksi sel darah merah dan mencukupi kadar
hemoglobin pada pasien (Mateti et al., 2021). Penelitian lain memiliki hasil yang
sama dengan penelitian ini yaitu meski pasien sudah mendapatkan asuhan
kefarmasian dan terapi EPO, tetapi kadar hemoglobin pasien PGK tetap memiliki
83
Pada penelitian ini dilakukan juga analisis menggunakan uji Wilcoxon untuk
follow up II, dan posttest. Hasil evaluasi perbedaan kadar Hb pada saat pretest,
follow up I, follow up II, dan posttest yang dianalisis menggunakan uji Wilcoxon
Tabel 4.16 Analisis perbedaan nilai hemoglobin pasien PGK stadium V yang
menjalani hemodialisis sebelum dan setelah intervensi
Berdasarkan hasil Tabel 4.16, tidak ada perbedaan signifikan kadar Hb pasien
antar sesi. Hasil analisis uji Wilcoxon menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
kadar Hb yang signifikan pada saat pretest dengan follow up I; follow up I dengan
follow up II; follow up II dengan post test; pre test dengan post test. Hal ini dapat
terlihat dari nilai signifikansi yang menunjukkan nilai p>0,05. Nilai signifikansi
p>0,05 memberikan arti bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara kadar Hb
pasien PGK pada saat pretest dengan follow up I; follow up I dengan follow up II;
follow up II dengan post test; pre test dengan post test. Hasil analisis uji Friedman
keseluruhan.
84
Penelitian menunjukkan bahwa proses hemodialisis sangat rumit dan butuh
perhatian penuh dari tenaga medis. Namun, keberhasilan mencapai outcome terapi
tidak terlepas dari peran individu pasien. Penelitian menunjukkan bahwa sedikit
saja pasien abai dan memiliki ketidaksesuaian gaya hidup serta pola makan, maka
akan dapat menyebabkan tidak berhasilnya terapi yang dilakukan bahkan dapat
al., 2021).
4.5.3 Urea Reduction Ratio (URR) Pasien PGK Stadium V yang Menjalani
Hemodialisis Sebelum dan Setelah Intervensi
Reduction Ratio (URR). URR adalah rasio pengurangan kadar ureum di dalam
darah setelah dilakukan proses hemodialisis (Zyga dan Sarafis, 2009). Pada
penelitian ini, dilakukan pencatatan nilai URR pada pasien PGK yang menjalani
dan setelah mendapatkan intervensi berupa asuhan kefarmasian. Nilai URR pasien
PGK yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Pirngadi sebelum dan setelah
Tabel 4.17 Rata-rata persentase URR pasien PGK stadium V yang menjalani
hemodialisis pada saat sebelum dan setelah intervensi
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 4.15, diketahui rata-
rata persentase URR pasien PGK pada saat pre test atau sebelum dilakukan
pasien PGK yang telah mendapatkan intervensi yaitu 61,09 ± 14,71 pada saat
85
follow up I dan 67,65 ± 14,70 pada saat post test.
Pada penelitian ini, rerata persentase URR pada pasien PGK yang menjalani
hemodialisis 4 jam setiap prosedur, target bersihan ureum yang ingin dicapai
ureum juga dikategorikan efektif jika nilai URR ≥65 % (Pernefri, 2003).
pasien. Apabila adekuasi hemodialisis belum memenuhi target URR, maka dapat
dilakukan pemeriksaan dalam jangka waktu 1 bulan sekali. Bila URR memenuhi
waktu 6 bulan sekali (Pernefri, 2003). Berdasarkan penelitian dan literatur ini
diketahui bahwa bersihan ureum atau persentase URR yang menunjukkan angka
≥65% memberikan arti bahwa hemodialisis yang dilakukan oleh pasien PGK di
Pada penelitian ini dilakukan juga analisis menggunakan uji Wilcoxon untuk
mengevaluasi perbedaan nilai URR pasien PGK pada saat pre test, follow up I,
dan post test. Hasil evaluasi perbedaan URR pada saat pre test, follow up I, dan
post test yang dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan uji Friedman ditampilkan
86
Tabel 4.18 Analisis perbedaan bersihan ureum/URR pada pasien PGK stadium V
yang menjalani hemodialisis pada saat sebelum dan setelah intervensi
adanya perbedaan yang signifikan antara persentase URR pada saat pre test
dengan persentase URR pada saat follow up 1. Hal ini diketahui dari hasil analisis
adanya perbedaan yang signifikan antara persentase URR pada saat follow up I
dengan persentase URR pada saat post test. Hal ini juga diketahui dari hasil
analisis uji Wilcoxon yang menunjukkan nilai p=0,000 (p<0,05). Hasil analisis ini
juga menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan antara persentase URR pada
saat pre test dengan persentase URR pada saat follow up I dan ada perbedaan
secara signifikan persentase URR pada saat follow up I dengan persentase URR
Namun jika dianalisis perbedaan persentase URR pada saat pre test dengan
persentase URR pada saat post test, memberikan hasil yang tidak signifikan. Hal
menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara persentase URR pada saat pre
test, follow up I dan post test karena memiliki nilai signifikansi p=0,000 (p<0,05).
87
Penelitian lain juga menunjukkan adanya perbedaan secara signifikan persentase
al., 2021).
mengetahui selisih berat badan pasien pada saat pra dialisis dengan berat badan
pasien pada pasca dialisis di sesi sebelumnya (Suwitra, 2009). Pada penelitian ini,
dilakukan pencatatan nilai IDWG pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis
di RSUD Dr. Pirngadi pada saat sebelum dan setelah dilakukannya intervensi
RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan sebelum dan setelah dilakukannya intervensi
Tabel 4.19 Rata-rata nilai IDWG pasien PGK yang menjalani hemodialisis pada
saat sebelum dan setelah intervensi
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 4.19, diketahui rata-
rata nilai IDWG pasien PGK pada saat pre test atau sebelum dilakukan intervensi
yaitu 3,09 ± 1,39. Sedangkan rata-rata nilai IDWG pasien PGK yang sudah
mendapatkan intervensi yaitu 3,17 ± 1,45 pada saat follow up I, 3,42 ± 1,51 pada
saat follow up II, dan 3,27 ± 1,41 pada saat post test.
88
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Lestari
dan Saraswati pada tahun 2020 di RSUP Sanglah Denpasar yang diketahui bahwa
pasien yang menjalani HD rutin sebanyak 2 kali perminggu pada 264 pasien
diketahui juga memiliki rata-rata IDWG 3-4,5% (Lestari dan Saraswati, 2020).
mengalami kenaikan 4-6% dikategori kelompok sedang dan kenaikan berat badan
Pada penelitian ini dilakukan juga analisis uji Wilcoxon untuk mengevaluasi
perbedaan nilai IDWG pasien PGK pada saat pre test, follow up I, follow up II,
dan post test. Hasil evaluasi perbedaan nilai IDWG pada saat pre test, follow up
II, follow up II, dan post test yang dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan uji
Tabel 4.20 Analisis perbedaan nilai IDWG pasien PGK stadium V yang
menjalani hemodialisis pada saat sebelum dan setelah intervensi
89
Berdasarkan hasil Tabel 4.20, tidak ada perbedaan signifikan nilai IDWG
pasien antar sesi, kecuali perbedaan nilai IDWG pada saat follow up I dengan
nilai IDWG pada saat follow up II. Hasil analisis uji Wilcoxon menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan nilai IDWG yang signifikan pada saat pre test dengan
follow up I; follow up II dengan post test; dan pre test dengan post test. Hal ini
dapat terlihat dari nilai signifikansi yang menunjukkan nilai p>0,05. Sedangkan
penelitian ini, seluruh nilai IDWG dianalisis menggunakan uji Friedman yang
memberikan hasil bahwa terdapat perbedaan signifikan antara nilai IDWG secara
keseluruhan.
badan. Oleh karena itu maka nilai IDWG harus terkontrol. Penelitian
menunjukkan kenaikan berat badan yang dapat ditoleransi oleh tubuh antar sesi
hemodialisi adalah 2,5-3,5% dari berat badan kering. Tujuannya adalah untuk
Oleh karena itu, sangat penting pasien dapat melakukan kontrol individu.
Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa pasien yang tidak patuh terhadap
kebiasaan diet, manajemen cairan, dan tidap patuh dalam minum obat
90
Penyakit Ginjal di California ditemukan peningkatan berat badan pasien sebanyak
1 kilogram sama dengan pasien mengkosumsi satu liter air (Lestari dan Saraswati,
2020).
4.6 Kualitas Hidup (Quality of Life) pasien PGK Stadium V yang Menjalani
Hemodialisis Sebelum dan Setelah Intervensi
Pada penelitian ini, dilakukan analisis kualitas hidup pasien PGK stadium V
kuisioner WHOQoL. Tabel 4.21 menunjukkan kategori QoL pada pasien PGK
Tabel 4.21 Gambaran kualitas hidup (QoL) pasien PGK stadium V yang
menjalani hemodialisis sebelum dan setelah intervensi
Sebelum Intervensi
No Kategori QoL
Frekuensi (n) Persentase (%)
1 Buruk (21-40) 44 53
2 Cukup (41-60) 39 47
Total 83 100
Setelah Intervensi
No Kategori QoL
Frekuensi (n) Persentase (%)
1 Buruk (21-40) 17 20,5
2 Cukup (41-60) 48 57,8
3 Sangat baik 18 21,7
(81-100)
Total 83 100
jumlah pasien yang memiliki kualitas hidup buruk ada 44 orang (53%) dan pasien
yang memiliki kualitas hidup cukup ada 39 orang (47%). Pada saat dilakukan
intervensi, terjadi penurunan pasien yang memiliki kualitas hidup buruk menjadi
17 orang (20,5%), sehingga terjadi peningkatan pasien yang kualitas hidup dengan
ada pasien yang memiliki kualitas hidup sangat baik. Namun setelah dilakukan
91
intervensi, terdapat pasien yang memiliki kualitas hidup dengan kategori sangat
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Mateti et al., (2021) yang menunjukkan
(QoL) merupakan kriteria penting untuk mengukur efektivitas terapi dan kondisi
kesehatan yang dirasakan pasien. Penilaian kualitas hidup dapat mengukur dan
Hasil rata-rata transformasi skor kualitas hidup pasien PGK disajikan pada Tabel
4.22.
Tabel 4.22 Rata-rata transformasi skor kualitas hidup pasien PGK Stadium V
yang menjalani hemodialisis sebelum dan setelah intervensi
Pada penelitian ini, transformasi skor kualitas hidup pasien pada saat pre test
adalah 40 ± 9,87 dan transformasi skor kualitas hidup pasien pada saat post test
menunjukkan perbedaan signifikan antara skor kualitas hidup pasien pada saat
92
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kualitas hidup pasien PGK yang
beberapa faktor yang dapat memberikan pengaruh terhadap kualitas hidup pasien
seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status pernikahan,
dan status ekonomi. Faktor lainnya yang memberikan pengaruh terhadap kualitas
hidup pasien yang menjalani hemodialisis yaitu beratnya atau stage penyakit
lamanya menjalani hemodialisis, (IDWG), indeks masa tubuh pasien yang tinggi,
dari tenaga dukungan keluarga, medis, sosial, dan dari kepatuhan pasien sendiri.
(Mailani, 2015).
4.7 Korelasi antara DRPs dengan Tekanan Darah dan Kualitas Hidup Pasien
PGK Stadium V yang Menjalani Hemodialisis
DRPs memiliki korelasi dengan nilai tekanan darah dan kualitas hidup pasien.
Hubungan jumlah kejadian DRPs dengan nilai tekanan darah dan kualitas hidup
93
Tabel 4.23 Hubungan jumlah kejadian DRPs dengan nilai tekanan darah dan
kualitas hidup pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisis
sebelum intervensi
intervensi jumlah kejadian DRPs memiliki korelasi yang signifikan dengan nilai
tekanan darah dan kualitas hidup, di mana nilai signifikansinya (p<0,05). Jumlah
kejadian DRPs dengan nilai tekanan darah memiliki nilai korelasi lemah
(r= 0,405). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah kejadian DRPs
maka semakin tinggi nilai tekanan darah pasien. Jumlah kejadian DRPs dengan
kualitas hidup pasien memiliki nilai korelasi lemah (r= -0,329). Nilai korelasi
semakin buruk tingkat kualitas hidup pasien PGK yang menjalani hemodialisis.
Hubungan jumlah kejadian DRPs dengan nilai tekanan darah dan kualitas
hidup pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisis setelah intervensi dapat
94
Tabel 4.24 Hubungan jumlah kejadian DRPs dengan nilai tekanan darah dan
kualitas hidup pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisis
setelah intervensi
intervensi jumlah kejadian DRPs memiliki korelasi yang signifikan dengan nilai
tekanan darah, dengan nilai signifikansi (p<0,05), tetapi tidak memiliki korelasi
yang signifikan dengan kualitas hidup pasien (p>0,05). Jumlah kejadian DRPs
dengan nilai tekanan darah memiliki nilai korelasi lemah (r= 0,304). Hasil ini
menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah kejadian DRPs maka semakin tinggi
nilai tekanan darah pasien. Jumlah kejadian DRPs dengan kualitas hidup pasien
bahwa semakin banyak jumlah kejadian DRPs, maka semakin buruk tingkat
kualitas hidup pasien PGK yang menjalani hemodialisis. Hasil ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mateti et al., (2017) bahwa asuhan kefarmasian
yang dilakukan apoteker dapat menurunkan jumlah kejadian DRPs dengan nilai
4.8 Cost of Illness (COI) pasien PGK Stadium V yang Menjalani Hemodialisis
Sebelum dan Setelah Intervensi
peningkatan alokasi sumber daya untuk pencegahan atau terapi, tetapi mempunyai
95
keterbatasan dalam menjelaskan bagaimana sumber daya dialokasikan, karena
medis langsung (direct medical cost) dan biaya tidak langung (indirect medical
sedangkan biaya tidak langsung sering tidak dimasukkan dalam penelitian COI
karena sulit untuk didapatkan datanya (Arnold, 2010). Studi COI dapat dilakukan
dari beberapa sudut pandang yang berbeda, di mana masing masing sudut
tersebut dapat diukur biaya masyarakat, sistem pelayanan kesehatan, pihak ketiga,
Biaya yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah biaya medis langung yang
terdiri dari biaya hemodialisis, biaya obat, dan biaya laboratorium. Cost of Illness
pada pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Pirngadi
Kota Medan berdasarkan perspektif RS dan perspektif BPJS dapat dilihat pada
Tabel 4.25.
Tabel 4.25 Cost of Illness pada pasien PGK stadium V yang menjalani
hemodialisis
96
Berdasarkan Tabel 4.25 diperoleh bahwa total biaya medis langsung
pada follow up I total biaya sebesar Rp 437.083.032, pada follow up II total biaya
sebesar Rp 380.516.924, dan pada post test total biaya sebesar Rp 370.229.754.
Berdasarkan perspektif BPJS, total biaya medis langsung rata-rata dari tahap pre
test hingga post test yaitu sebesar Rp 599.891.171. Dilihat dari total biaya medis
payer perspective, maka rumah sakit akan lebih banyak menghemat dibandingkan
BPJS. Hal tersebut akan lebih bermanfaat dan menguntungkan bagi pihak rumah
Perbandingan cost of illness secara analisis statistik pada pasien PGK stadium
Tabel 4.26 Analisis cost of illness pada pasien PGK stadium V berdasarkan
healthcare perspective sebelum dan setelah intervensi
perbedaan nyata pada setiap tahap penilaian (pre test, follow up I, follow up II,
dan post test). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan pada setiap tahap penilaian COI pasien PGK stadium V yang menjalani
97
hemodialisis dengan nilai signifikansi p=0,000 (p<0,05). Berdasarkan hasil
penelitian, terjadi penurunan biaya medis langsung yang didominasi oleh biaya
laboratorium pada tahap follow up II dan post test. Hal ini disebabkan pada follow
up II dan post test hanya dilakukan pemeriksaan kadar Hb, dan tidak dilakukan
dan natrium dilakukan setiap 3 bulan, dan telah dilakukan pada tahap pre test dan
follow up I.
98
BAB V
5.1 Kesimpulan
URR dan IDWG pada pasien PGK stadium V yang menjalani hemodialisis
5.2 Saran
menyeluruh.
99
c. rumah sakit hendaknya rutin mengukur nilai URR, IDWG dan tekanan
telah dilakukan.
100
DAFTAR PUSTAKA
Adibe, M.O., Nneka, U.I., Chinwe, V.U. (2017). Evaluation of drug therapy
problems among renal patients receiving care in some tertiary hospitals
in Nigeria. Trop J Pharm Res. 16(3): 697
Adusumilli, P. K., & Adepu, R. (2014). Drug related problems: an over view of
various classification systems. Asian J harm Clin Res. 7(4): 7-10.
Allemann, S. S., van Mil, J. F., Botermann, L., Berger, K., Griese, N., &
Hersberger, K. E. (2014). Pharmaceutical care: the PCNE definition
2013. International journal of clinical pharmacy. 36(3): 544-555.
Al Hamarneh, Y.N., Tsuyuki, R.T., Jones, C.A., Manns, B., Tonelli, M., Scott-
Douglass, N., Jindal, K., Tink, W., Hemmelgarn, B.R. (2018).
Effectiveness of Pharmacist Interventions on Cardiovascular Risk in
Patients With CKD: A Subgroup Analysis of the Randomized Controlled
Trial. Am. J. Kidney Dis. 71: 42–51.
Alwi, I., Salim, S., Hidayat, R. (2015). Prosedur Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Internal Publishing.
Ashurst, I.B., Olene, E., Kaushik, T., Mccaferty, K., Yaqoob, M.M. (2014).
Acidosis: Progression of chronic kidney disease and quality of life.
Journal Of The International Pediatric Nephrology Association.
30:873-9.
Ayele, Y., Melaku, K., Dechasa, M., Ayalew, M. B., & Horsa, B. A. (2018).
Assesment of drug related problems among type 2 diabetes mellitus
patients with hypertension in Hiwot Fana Specialized University
Hospital, Harar, Eastern Ethiopia. BMC research notes. 11(1), 728.
101
Badariah, Farida Halis Dyah Kusuma, F. H., & Dewi, N. (2017). Karakteristik
Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD
Kabupaten Kotabaru. Nursing News. Volume 2, Nomor 2.
Black, J.M, Hawks, J.H. (2009). Medical surgical nursing clinical management
for positive outcome (8th ed). Elsevier.
Blix, H.S., Viktil, K.K., Moger, T.A., dan Reikvam, A. (2006). Use Of Renal Risk
Drugs in Hospitalised Patients With Impaired Renal Function-an
Underestimated Problem. Nephrol Dial Transplant. 21:3164-3171.
Borg, Walter, R., Meredith, D., and Gall, J.P. (2007). Education Research. New
York: Pearson Education, Inc. Page 176
Chen, J., Gul, A., Sarnak, M.J. (2006). Management of Intradialytic Hypertension:
The Ongoing Challenge. Semin Dial. 19:141–145.
Cianci, R., Lai, S., Fuiano, L., Gigante, A., Martina, P., Barbano, B., et al. (2009).
Hypertension in Hemodialysis. An Overview on Physiopathology and
Therapeutic Approach in Adults and Children. The Open Urology &
Nephrology Journal. 2: 11-19.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., and Morley, P.C. (1998). Pharmaceutical care
practice, New York: McGraw-Hill. p.78-9.
Corrigan, R. M. (2011). ”The experience of the older adult with end stage renal
disease on hemodialysis”. Thesis. Queen’s University. Canada.
Council of Europe. (2012). Pharmaceutical Care: Polices and Practice for a Safer,
More Responsible and Cost-Effective Health System. Avalibale from:
https://www.edqm.eu/medias/fichiers/policies_and_practices_for_a_safe
r_more_responsibl.pdf (Accesse on November 2020).
102
Churchwell, M.D., and Mueller, B.A. (2007). Selected Pharmacokinetic Issues in-
Patient With Chronic Kidney Disease. Blood Purif . 25: 133-138.
Dipiro, J.T., Robert, L.T., Gary, C.Y., Gary, R.M., Barbara, G.W. & L. Michael
Posey. (2011). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Eight
edition. New York: Mc Graw Hill Medical.
Diputra, dkk. (2020). Analisa Drug Related Problem (DRPS) pada Pasien Gagal
Ginjal Kronik Stadium Akhir yang Menjalani Hemodialisis di RSUD 45
Kuningan. Journal Of Pharmacopolium. Vol 3(3): 107-117
Ernst, F. R., and Grizzle A.J. (2001). Drug-related morbidity and mortality:
Updating the cost-of-illness model. J Am Pharm Assoc (Wash);
41(2):192-9.
Evert, A.B., Boucher, J.L., Cypress, M., Dunbar, S.A., Franz, M.J., Mayer-Davis,
E.J., et al. (2014). Nutrition Therapy Recommendations for the
Management of Adults with Diabetes. Diabetes Care. 37(1): S120–S143.
doi: 10.2337/dc14-S120
Faizzah, Nurul. (2012). Identifikasi Drug Related Problem Pada Terapi Gagal
Ginjal Kronik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Periode Januari – Desember 2009.
Garedow, A.W., Eshetu M.B., Amare, D.W., Fantu, K.D., Fanta, G.F., Birtukan
I.T., et al. (2019). Drug-Related Problems and Associated Factors among
Patients Admitted with Chronic Kidney Disease at Jimma University
Medical Center, Jimma Zone, Jimma, Southwest Ethiopia: A Hospital-
103
Based Prospective Observational Study. Hindawi International Journal
of Nephrology. 9.
Gay, L.R., Geoffrey, E., Mills, and Peter, A. (2009). Educational Research,
Competencies for Analysis and Application. New Jersey: Pearson
Education, Inc. Page 133.
Giena, V.P., Dessy, W.D., & Buyung, K. (2018). Hubungan Hipertensi dengan
Stadium Gagal Ginjal kronik pada Pasien Dewasa yang Berobat di Unit
hemodialisa Rsud Dr. M. Yunus Bengkulu Tahun 2017. CHMK Nursing
Scientific Journal. 2(1).
Jenkinson, C., Coulter, A., & Wright, L. (1993). Short form 36 (SF36) health
survey questionnaire: normative data for adults of working age. Bmj.
306(6890), 1437-1440.
KDIGO. (2012). Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management
of Chronic Kidney Disease. Journal of the International Society of
Nephrology. Vol. 3.
104
KDOQI. (2006). Clinical Practisce Guidelines ang Clinical Practice
Recommendations for Anemia in Chronic Kidney Desease. American
Journal of Kidney Desease: The Official Journal of The National
Kidney. Foundation Elsefier.
Kozier. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, & praktik.
Volume: 1. Edisi: 7. Jakarta: EGC.
Kristiyowati, A.D. (2020). Rasionalitas Penggunaan Obat ditinjau dari Indikator
Peresepan World Health Organization (Who) di Rumah Sakit IMC
Periode Januari-Maret 2019. Prosiding Seminar Nasional Hasil
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
Liana, P., Yaa, K., & Maulana, D. (2015). Prevalensi Blood Borne Virus pada
Pasien Hemodialisis Kronik di Instalasi Hemodialisis RSMH
Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya. 47(2), 123-130.
Mahwi, T. O., & Obiet, K. A. (2013). Role of the pharmaceutical care in the
management of patient with type 2 diabetes mellitus. International
Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. 4(4), 1363.
Mailani, F. (2015). Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani
Hemodialisis: Systematic Review. Ners Jurnal Keperawatan. Volume
11, No 1: 1-8
Manju, C. S., Razak, R., Chandni, R., & Athira, B. (2016). Pharmacist
Intervention in Medication Adherence in Patients with Type II Diabetes
Mellitus. International Journal of Pharmaceutical Sciences and
Research. 7(1), 358-362.
105
Mateti, U.V., Nagappa, A.N., Attur, R.P., Nagaraju, S.P., & Rangaswamy, D.
(2021). Impact of Pharmaceutical Care on Clinical Outcomes among
Hemodialysis Patients: A Multicenter Randomized Controlled Study.
Saudi Journal of Kidney Diseases and Transplantation. 29(4):801-808.
Maw, W.M., et al. (2016). The Effect of Pharmaceutical care in the elderly
patients with type 2 Diabetes Mellitus. Asian Journal of Pharmautical
Science II. 93-94.
Monica & Cindy (2017). Kajian Drug Related Problem (DRPs) Pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik Stadium V yang Menjalani Hemodialisis di
Instalasi Hemodialisis RSUP. DR. M. Djamil Padang. Tesis. Pasca
sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Andalas. Padang.
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. (2014). High
Blood Pressure and Kidney Disease.
Parthasarati, G., Ramesh, M., Kumar, J.K., & Madaki, S. (2003). Assessment of
drug related problem and clinical pharmacist interventions in an Indian
teaching hospital. J.Pharm Pract Res. 76 (6), 468-572.
PCNE. (2010). Classification for Drug Related Problems V 9.00. Eropa: halaman
2-7.
106
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72. (2016). Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jurnal Wiyata. Vol.3
No.2. Halaman 163-166.
Price, S.A. & Wilson, L.M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Resmiya, L., dan Ifa, H.M. (2019). Pengembangan Alat Ukur Kualitas Hidup
Indonesia. Jurnal Psikologi Insight. 3(1): 20-31
107
Ruths, S., Viktil, K. K., & Blix, H. S. (2007). Classification of drug-related
problems. Tidsskrift for den Norske laegeforening: tidsskrift forpraktisk
medicin, ny raekke. 127(23), 3073-3076.
Shareef, J., Fernandes, J., Samaga, L., & Bath, M. L. (2016). Evaluating the Effect
of Pharmacist’s Delivered Counseling on Medication Adherence and
Glycemic Control in Patients with Diabetes Mellitus. Journal of
Diabetes & Metabolism, 7(3).
Subeesh, V.K., Rishma, A., Minnikanti V.S.S., & Kranthi S.K. (2020). Evaluation
Of Prescribing Practices and Drug‑Related Problems in Chronic Kidney
Disease Patients: a Cross‑Sectional Study. Perspectives in Clinical
Research. 11(2).
Sudoyo. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Suwitra, K. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam: penyakit ginjal kronis. 1035-
1040. Jakarta: Interna Publishing.
Suyatna, F.D. (2007). Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Gaya Baru
Suyono, S. (2010). Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II. FKUI. Jakarta: Balai.
108
Tortora GJ, Derrickson B. (2011). Principles of Anatomy and Physiology
Maintanance and Continuity of the Human Body. 13th Edition. Amerika
Serikat. John Wiley & Sons, Inc.
Van Mil, F.J.W., Horvat, N, & Zuidlaren, T.W. (2017). Classification for drug
related problems V8.01. Pharmaceutical Care Network Europe
Foundation (PCNE).
Wawan, A., Dewi, M. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan
Perilaku Manusia. Nuha Medika.
WHO. (2016). Medication Errors: Technical Series on Safer Primary Care ISBN
978-92-4-151164-3.
Zahra, Z. Z, N., Setyawati, T., & Sujendra, K. (2019). Chronic Kidney Failure
Stage V ec Policystic Kidney Disease. Jurnal Medical Profession
(MedPro). 3(3). 192-196.
109
Lampiran 1. Surat Persetujuan Kode Etik
110
Lampiran 2. Lembar Penjelasan Menjadi Responden
AsalamualaikumWr. Wb.
Dengan Hormat,
NIM: 197014029
untuk berpartisipasi dengan cara mengisi kuesioner berikut. Jawaban saudara akan
Peneliti,
(Peri)
111
Lampiran 3. Inform Consent Ny. S Sebelum Asuhan Kefarmasian
112
Lampiran 4. Kuisioner Kualias Hidup (WHOQoL) Ny. S Sebelum Asuhan
Kefarmasian
113
114
115
116
117
Lampiran 5. Perhitungan Transformasi skor WHOQOL Ny. S Sebelum Asuhan
Kefarmasian
118
Lampiran 6. Inform Consent Tn. TM Sebelum Asuhan Kefarmasian
119
Lampiran 7. Kuisioner Kualias Hidup (WHOQoL) Tn. TM Sebelum Asuhan
Kefarmasian
120
121
122
123
124
Lampiran 8. Perhitungan Transformasi skor WHOQOL Tn.TM Sebelum Asuhan
Kefarmasian
125
Lampiran 9. Inform Consent Ny. S Sesudah Asuhan Kefarmasian
126
Lampiran 10. Kuisioner Kualias Hidup (WHOQoL) Ny.S Sesudah Asuhan
Kefarmasian
127
128
129
130
131
Lampiran 11. Perhitungan Transformasi skor WHOQOL Ny.S Seudah Asuhan
Kefarmasian
132
Lampiran 12. Inform Consent Tn. TMS Sesudah Asuhan Kefarmasian
133
Lampiran 13. Kuisioner Kualias Hidup (WHOQoL) Ny.S Sesudah Asuhan
Kefarmasian
134
135
136
137
138
Lampiran 14. Perhitungan Transformasi skor WHOQOL Tn.TM Sesudah
Asuhan Kefarmasian
139
Lampiran 15. Surat Pernyataan Telah Selesai Penelitian
140