Anda di halaman 1dari 16

5.

Pencegahan white spot lesions


Selama perawatan ortodontik, metode terbaik adalah mencegah terjadi nya
lesi white spot. Ada dua metode mendasar untuk melakukannya. Yang pertama
adalah menghindari putusnya demineralisasi yang sedang berlangsung atau
memperkuat proses remineralisasi. Yang kedua adalah mencegah demineralisasi
pada permukaan gigi.
Metode untuk meningkatkan remineralisasi dan menurunkan
demineralisasi pada pasien yang menjalani perawatan ortodontik adalah motivasi
kebersihan mulut, kontrol rutin kebersihan mulut, penggunaan agen topikal dan
bahan adhesif ortodontik yang mengandung fluoride. Saliva juga sangat penting
sebagai informasi atau pencegahan kerusakan gigi. Degradasi mineral dalam
enamel setelah terkena asam, derajat demineralisasi, onset atau durasi
remineralisasi berhubungan dengan tingkat pH saliva (Temel & Kaya, 2019).

5.1 Motivasi dalam meningkatkan oral hygiene


Tingkat pH di sekitar kawat gigi dapat dengan mudah menurun pada
pasien yang menerima perawatan ortodontik. Jika pasien memiliki kebersihan
mulut yang baik, tingkat pH tidak akan melebihi tingkat kritis pada tahap awal.
Namun, jika kebersihan mulut pasien buruk, kehilangan mineral secara permanen
dapat diamati di sekitar kawat gigi, karena area ini tetap berada di bawah tingkat
pH kritis untuk waktu yang lama.
Mengurangi jumlah plak pada permukaan gigi merupakan metode yang
efektif untuk mencegah pembentukan karies. Menghilangkan plak gigi dapat
dilakukan dengan metode mekanis dan kimiawi. Menyikat gigi adalah metode
yang umum digunakan untuk mengendalikan plak secara mekanis. Obat kumur
juga merupakan agen efektif yang mengurangi jumlah bakteri hingga 99,9% tanpa
merusak jaringan mulut di sekitarnya. Obat kumur yang mengandung
chlorhexidine adalah yang paling efektif (Temel & Kaya, 2019).
5.2 Menggunakan bahan yang mengandung fluoride
Aplikasi fluoride adalah metode yang umum digunakan untuk mengurangi
kecenderungan enamel untuk demineralisasi. Konsentrasi fluoride dalam saliva
dan plak efektif dalam pencegahan demineralisasi dan pembentukan
remineralisasi. Asam organik yang dibentuk oleh bakteri kariogenik menyebabkan
penurunan tingkat pH plak, yang mengakibatkan difusi fluoride ke enamel dari
plak dan saliva sebagai respons. Pergeseran ion hidroksil pada struktur enamel
dengan fluorida menyebabkan adanya kristal fluorapatit. Bentuk kristal baru ini
lebih tahan terhadap asam. Fluoride juga mempengaruhi aktivitas bakteri
kariogenik dan mencegah pembentukan karies.
Konsentrasi fluoride di permukaan enamel menurun drastis seiring dengan
kedalaman. Fluoride memiliki kelarutan yang rendah dan cenderung terakumulasi
pada permukaan enamel. Fluoride tidak bisa masuk lebih dalam ke lapisan enamel
setelah pori-pori terisi. Dalam sebuah penelitian, fluoride diaplikasikan selama 3
bulan pada lesi white spot dengan kedalaman 100 μm yang dibuat dalam kondisi
eksperimental. Setelah 3 bulan aplikasi, ion fluoride hanya bisa mencapai
kedalaman 50 μm. Oleh karena itu, fluoride dosis rendah direkomendasikan agar
ion fluoride dapat mencapai lapisan lesi yang lebih dalam dengan mudah. Obat
kumur yang mengandung 50 ppm fluoride lebih efektif dalam remineralisasi
daripada yang mengandung 250 ppm fluoride. Di sisi lain, penelitian lain
menyatkaan tidak ada efek remineralisasi tambahan dari obat kumur dan pasta
gigi dengan fluoride dosis rendah dibandingkan dengan yang bebas fluoride.
Selain itu, dilaporkan bahwa kemampuan ion fluoride untuk remineralisasi kurang
dari kemampuannya untuk mencegah demineralisasi (Temel & Kaya, 2019)
Perubahan warna karena fluorosis disebabkan oleh penggunaan fluoride
yang berlebihan selama perkembangan enamel. Kadar fluoride yang tinggi dalam
air minum, pasta gigi, suplemen nutrisi dan bahan gigi merupakan faktor risiko
fluorosis, terutama pada anak di bawah usia 8 tahun. Telah dilaporkan bahwa hasil
terbaik dalam pemberian fluoride dapat diambil dari penggunaan agen konsentrasi
rendah setiap hari. Meskipun enamel dapat larut dalam tingkat pH rendah,
keberadaan fluoride konsentrasi rendah menyediakan mineral terlarut untuk ikut
dalam siklus remineralisasi dan mencegah hilangnya mineral. Ada tingkat pH
kritis agar fluoride efektif dalam pembentukan fluorapatit. Tingkat pH di mana
fluoride bekerja lebih efektif dilaporkan sebagai 4,5-6. Mekanisme kerja fluoride
sesuai dengan tingkat pH dapat dijelaskan dengan Kurva Stephan (Gambar 1)
(Temel & Kaya, 2019).

Gambar 1. Kurva Stephan menunjukan mekanisme kerja dari fluoride menurut level pH

5.3 Penggunaan casein phosphopeptide-amorf calcium phosphate (CPP-


ACP)
Scupbach, dkk. menunjukkan bahwa kemampuan perlekatan bakteri
seperti Streptococcus sobrinus dan Streptococcus mutans menurun drastis setelah
pemberian CPP. Reynolds, dkk. menunjukkan bahwa penggunaan CPP-ACP
antara konsentrasi 0,5-1,0% setara dengan 500 ppm fluoride dalam mengurangi
aktivitas kariogenik. Keuntungan CPP-ACP dibandingkan fluoride adalah tidak
menyebabkan fluorosis pada dosis tinggi (Temel & Kaya, 2019).
5.4 Penggunaan bahan antimikrobial
Agen kemoterapi tidak dapat mencegah pembentukan plak gigi, tetapi
dapat digunakan untuk menghilangkan mikroorganisme, yang merupakan salah
satu faktor utama penyebab demineralisasi enamel. Chlorhexidine dan
benzalkonium chloride adalah bahan antimikroba yang paling sering digunakan.
Ada sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa bahan ini secara signifikan
mengurangi tingkat Streptococcus mutans, yang bertanggung jawab untuk
demineralisasi dan pembentukan karies. Penggunaan rutin agen ini dua kali
sehari menyebabkan perubahan warna pada gigi. Oleh karena itu telah dilaporkan
bahwa obat kumur chlorhexidine 0,2% dapat digunakan pada interval tertentu
sebagai tambahan metode perlindungan lainnya selama perawatan ortodontik,
untuk mengurangi efek sampingnya (Temel & Kaya, 2019).

5.5 Sealants, primers, adhesives dan material ortodontik lain nya yang
mengandung fluoride
Perawatan ortodontik yang berkepanjangan meningkatkan resiko lesi white
spot dan pembentukan karies. Oleh karena itu, pelepasan fluoride dari bonding
system di sekitar bracket dapat berguna. Sealant adalah pelindung permukaan
yang membentuk pelindung terhadap asam. Ada dua jenis sealant sebagai bahan
kimia dan light curing. Chemical-curing sealants mempunyai kerugian seperti
tidak semua lapisan bisa terkena sealent. Studi menunjukkan bahwa light-curing
sealants lebih terpolimerisasi dengan baik dan memiliki sifat barrier yang lebih
baik untuk demineralisasi karena menutupi permukaan sepenuhnya.
Glass ionomer cement adalah bahan yang memiliki sifat yang diinginkan
seperti pelepasan fluoride dan adanya ikatan kimia. Namun, ikatan dengan glass
ionomer meningkatkan akumulasi plak di sekitar braket, selain itu mempunyai
kemampuan yang rendah sebagai bahan bonding bracket. Resin-modified glass
ionomer cements dikembangkan untuk mengatasi efek samping tersebut dengan
menambahkan partikel resin ke dalam semen. Sistem perekat ini melepaskan
fluoride seperti glass ionomer cement konvensional dan memiliki gaya adhesi
yang lebih tinggi.
Fluoride harus ditambahkan ke dalam bahan untuk pelepasan fluoride
secara terus menerus, untuk mencegah pembentukan lesi white spot selama
perawatan ortodontik. Dilaporkan bahwa fluoride releasing adhesives
memberikan perlindungan untuk area seluas 1 mm di sekitar bracket (Temel &
Kaya, 2019).

6. Tatalaksana White Spot Lesions


6.1 Fluoride topical
Aplikasi fluoride topikal merupakan sebagai langkah pertama perawatan
lesi white spot. Aplikasi fluoride dalam konsentrasi tinggi setelah perawatan
ortodontik selesai, memberikan remineralisasi pada permukaan lesi. Namun pada
lesi yang dalam, bagian yang paling dalam tidak dapat dirawat dengan fluoride
topikal dan tetap menimbulkan masalah estetik. Oleh karena itu, penetrasi kalsium
dan fluorida dosis rendah dari saliva diperbolehkan setelah perawatan ortodontik
untuk mendapatkan hasil estetik yang lebih baik. Pengetsaan diikuti dengan
aplikasi fluoride memfasilitasi proses remineralisasi (Temel & Kaya, 2019).

6.2 Dental bleaching


Bleaching dapat diaplikasikan untuk menyamarkan lesi white spot yang
tersisa, mengikuti remineralisasi alami yang terjadi dengan sendirinya tanpa
intervensi apa pun. Metode ini dapat dilakukan di rumah (at-home bleaching) atau
oleh dokter gigi dengan menggunakan gel bleaching systems (in-office bleaching)
yang melibatkan dosis hidrogen peroksida yang berbeda pada pasien yang
menderita perubahan warna pada gigi.
Knösel, dkk. meneliti efek bleaching pada lesi white spot yang tidak aktif
dan enamel sehat yang mengelilinginya setelah perawatan ortodontik. Mereka
mengamati perubahan warna yang berbeda pada area lesi white spot dan enamel
yang sehat. Dilaporkan bahwa area dengan lesi white spot tersamarkan karena
jumlah pemutih yang lebih banyak terjadi di area enamel yang sehat (Temel &
Kaya, 2019).

6.3 Casein phosphopeptide-amorf calcium phosphate (CPP-ACP)


Reynolds dan Black, menemukan bahwa CPP-ACP yang diperoleh dari
susu mempengaruhi perkembangan karies. Ion kalsium dan fosfat bebas dalam
CPP-ACP dapat dengan mudah transfer ke permukaan enamel. Agen CPP-ACP
diproduksi dengan berbagai cara seperti busa, obat kumur, pasta topikal, permen
karet dan permen tanpa pemanis untuk mengangkut kalsium dan fosfat.
CPP-ACP meningkatkan jumlah ion kalsium dan fosfat di atas tingkat
kritis yang diperlukan untuk remineralisasi. Hal ini menunjukkan efek
antikariogenik [38]. Peningkatan kadar kalsium dan fosfat dalam plak
meningkatkan tingkat pH lingkungan rongga mulut. Dengan demikian,
demineralisasi berkurang dan remineralisasi meningkat. Dalam sebuah penelitian,
larutan yang mengandung 1% CPP-ACP terbukti dapat mengobati lesi white spot
55% lebih banyak dibandingkan dengan larutan yang hanya mengandung air
(Temel & Kaya, 2019).

6.5 Mikroabrasi
Mikroabrasi adalah metode yang didasarkan pada pengambilan enamel.
Karena permukaan luar enamel kaya akan fluoride dan lebih tahan terhadap faktor
eksternal, sedikit enamel yang dapat dihilangkan pada langkah pertama
mikroabrasi.
Metode mikroabrasi yang paling umum untuk menghilangkan lesi white
spot adalah permukaan labial / bukal gigi yang terdapat lesi dipoles dengan
rotating device dengan menggunakan campuran berbentuk gel dari hydrochloric
acid 18% (HCl) dan medium grained pumice.
Proses mikroabrasi menghilangkan sejumlah kecil enamel dari permukaan
gigi dan membentuk tekstur enamel yang lebih halus. Mineral kalsium dan fosfat
menutup ruang interprismatik akibat mikroabrasi dan permukaan email menjadi
lebih tahan terhadap faktor eksternal (Temel & Kaya, 2019).

6.6 Resin infiltration technique


Studi menunjukkan bahwa aplikasi fissure sealant pada permukaan oklusal
mencegah pembentukan karies. Fakta ini mengarahkan dokter untuk
menggunakan resin flowable untuk perawatan early enamel lesions.
Mikroporositas meningkat di berbagai lapisan pada early enamel lesions.
Diketahui bahwa ruang berpori ini dapat menyerap cairan seperti spons. Selain
itu, pori-pori kecil dan ruang antar kristal yang membesar ini bertindak seperti
jalur difusi untuk asam dan mineral yang terlarut. Mengisi ruang berpori ini
dengan resin viskositas rendah, alih-alih menghilangkan lesi yang baru muncul,
juga mengurangi struktur mikroporus enamel dan mendukung jaringan gigi secara
mekanis.
Tidak seperti teknik fissure sealant, resin yang digunakan dalam teknik
pengisian karies tidak menutupi karies enamel awal, resin tersebut menciptakan
barrier pada lesi dengan gerakan kapiler. Dengan demikian, jaringan gigi
disangga secara mekanis, sedangkan fraktur dan kavitasi permukaan enamel dapat
dicegah. Nilai penetrasi yang tinggi dari pengisi resin memungkinkan lesi enamel
bertindak seperti spons dengan menyerap resin dan mengisi pori-pori. Mencegah
penyebaran asam organik dalam lesi enamel mencegah progres kerusakan.
Infiltran adalah bahan light-curing resin yang dikembangkan dalam
struktur yang dapat dengan mudah menembus ke dalam konfigurasi kapiler lesi
enamel. Viskositas bahan ini rendah, sudut kontaknya dengan enamel sempit dan
tegangan permukaannya tinggi.
Prinsip dasar dari teknik infiltrasi resin adalah penghambatan
perkembangan lesi dengan menyumbat mikropori yang menyediakan jalur difusi
untuk asam dengan menggunakan resin. Bakteri yang menempel di lapisan paling
atas dapat memicu proses kerusakan kembali meskipun sudah disumbat oleh resin.
Namun beberapa penulis mengatakan bahwa bakteri ini tidak berbahaya jika
lubang berpori ditutup dengan benar.
Berdasarkan hasil studi in-vivo dan in-vitro yang meneliti khasiat resin
dengan viskositas rendah yang digunakan untuk mengisi lesi karies dengan
infiltrasi, terdapat bahan bernama ICON (DMG Chemisch-Pharmazeutische,
Hamburg, Jerman). ICON efektif dalam perawatan lesi white spot.
Terapi invasif jarang dilakukan pada early enamel lesions yang tidak
terlalu tampak. Di sisi lain, infiltran resin hanya dapat mengisi rongga mikro.
Oleh karena itu, mereka tidak sesuai untuk perawatan lesi yang melebihi 1/3 dari
dentin dan yang memiliki kavitasi yang terlihat. Perkembangan lesi enamel
dianjurkan untuk dihentikan pada tahap awal dan teknik infiltrasi resin merupakan
metode yang efektif karena memperlambat atau mencegah perkembangan lesi
(Temel & Kaya, 2019).

6.7 Laser
Penerapan laser untuk mencegah karies dimulai pada tahun 1972. Sinar
laser meningkatkan kekerasan mikro enamel dan ketahanan terhadap asam. Laser
utama yang digunakan dalam kedokteran gigi pencegahan termasuk laser argon,
CO2, Nd-YAG, dan erbium YAG (Khoroushi, M. & Kachuie, M., 2017).
Iradiasi enamel dengan sinar laser argon menurunkan jumlah
demineralisasi hingga 30% ‒50%. Fox melaporkan bahwa, selain menurunkan
demineralisasi enamel, sinar laser menurunkan nilai pH ambang disolusi. Sinar
laser mengakibatkan perubahan morfologi permukaan tetapi mempertahankan
permukaan email yang utuh. Beberapa mekanisme telah disarankan untuk
menjelaskan peningkatan resistensi enamel terhadap karies setelah iradiasi laser,
tetapi mekanisme pastinya belum dijelaskan. Mekanisme yang paling mungkin
muncul adalah melalui pembentukan ruang mikro di dalam enamel setelah
terpapar sinar laser. Ruang mikro ini menjebak ion yang dilepaskan dan berfungsi
sebagai tempat untuk remineralisasi di dalam permukaan email. Penerapan sinar
laser argon (488 nm) secara signifikan menurunkan kedalaman lesi rata-rata
dibandingkan dengan kontrol cahaya tampak, mendukung fakta bahwa iradiasi
dengan sinar laser argon dapat mencegah perkembangan WSL selama perawatan
(Khoroushi, M. & Kachuie, M., 2017).

Temel SS, Kaya B (2019) Diagnosis, Prevention and Treatment of White Spot
Lesions Related to Orthodontics. Int J Oral Dent Health 5:085.
doi.org/10.23937/2469-5734/1510085

Khoroushi, M. & Kachuie, M. (2017). Prevention and Treatment of White Spot


Lesions in Orthodontic Patients. Contemp Clin Dent. 8 (1), 11-19.
3.1 Komposit

Kedokteran gigi estetik dan restoratif bertujuan untuk mengganti struktur


gigi yang hilang atau rusak dengan bahan buatan yang memiliki sifat biologis,
fisik, dan fungsional yang mirip dengan gigi asli. Di antara bahan-bahan ini, resin
komposit menempati posisi terpenting karena menawarkan estetik yang sangat
baik, tahan lama, dan dapat dilakukan dengan preparasi minimal invasif. Banyak
sistem komposit telah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir dengan
banyak shades, translusensi, opacities, dan teknik penempatan inovatif, yang
membuat fabrikasi komposit meniru karakteristik optik yang ada pada gigi asli.
Evolusi konseptual dalam bahan dan teknik ini memberi dokter pilihan untuk
menangani berbagai macam masalah yang dihadapi dalam praktik sehari-hari
dengan cara yang andal, dapat diprediksi, dan konservatif. Untuk memberikan
perawatan pasien yang lebih baik, dokter gigi harus memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang sifat, indikasi penggunaan, dan kinerja klinis dari bahan-bahan
ini. (Sensi, et. al. 2007)
Resin komposit adalah bahan restorasi yang terbuat dari resin sintetis.
Resin sintetis tidak dapat larut, memiliki estetik yang baik, tidak sensitif terhadap
dehidrasi, mudah dimanipulasi dan cukup murah. Resin komposit terdiri dari Bis-
GMA dan monomer dimetakrilat lainnya (TEGMA, UDMA, HDDMA), bahan
pengisi seperti silika dan fotoinisiator. Dimethylglyoxime juga biasa ditambahkan
untuk mencapai sifat fisik tertentu seperti kemampuan untuk mengalir (flow-
ability) (Craig, et. al. 2006).

3.1.1 Komposisi Komposit

Resin komposit terdiri dari tiga komponen yaitu matriks resin (kandungan
organik), fillers (kandungan inorganik), dan coupling agent. Resin-based oligomer
matrix yang menyusun komposit seperti bisphenol A-glycidyl methacrylate
(BISGMA), urethane dimethacrylate (UDMA) atau semi-crystalline polyceram
(PEX). Resin matrix sebagian besar terdiri dari Bis-GMA (bisphenol-
Aglycidyldimethacrylate). Karena Bis-GMA sendiri sangat kental, dicampur
dalam kombinasi yang berbeda dengan monomer rantai pendek seperti TEGDMA
(triethylenglycol-dimethacrylate). Semakin rendah kandungan Bis-GMA dan
semakin tinggi proporsi TEGDMA, semakin tinggi polymerisation shrinkage.
Mengganti Bis-GMA dengan TEGDMA meningkatkan tensile tetapi mengurangi
flexural strength material. Monomer dapat terlepas dari bahan restoratif.
Polimerisasi dengan cahaya yang lebih lama meningkatkan laju konversi
(penghubung rantai monomer individu) dan dengan demikian menyebabkan
pelepasan monomer yang lebih sedikit (Zimmerli, et. al. 2010).
Kandungan filler komposit terbuat dari kuarsa, keramik dan atau silika.
Dengan meningkatnya kandungan filler pada komposit maka polymerisation
shrinkage, koefisien ekspansi linier, penyerapan air dapat berkurang, serta
memberikan sifat translusensi, dan fluoresensi yang lebih baik. Di sisi lain,
dengan meningkatnya kandungan filler, compressive dan tensile strength,
modulus elastisitas dan wear resistance meningkat. Sifat komposit terkadang
ditentukan oleh bentuk pengisi. Dalam studi dengan berbagai jenis komposit,
material dengan filler komposit prapolimerisasi terbukti memiliki kandungan
filler terendah dan dengan demikian juga memiliki flexural strength dan
kekerasan terendah. Komposit dengan filler berbentuk bulat memiliki kandungan
filler tinggi, sehingga kekerasan yang lebih tinggi dan flexural strength yang
tinggi. Untuk partikel filler campuran (komposit hybrid) tidak ada hubungan linier
antara konten filler dan flexural strength. Volume filler pada komposit memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap sifat mekanik (Zimmerli, et. al. 2010).
Ikatan stabil antara filler dan matriks selanjutnya mempengaruhi sifat
material. Kualitas ikatan mempengaruhi ketahanan abrasi dari bahan restorasi.
Coupling agent seperti silane digunakan untuk meningkatkan ikatan dari dua
komponen ini. Molekul fase senyawa memiliki gugus silane di satu ujung dan
gugus metakrilat di ujung lain dan dapat terikat dengan filler dan matriks resin.
Silanisasi pengisi penting untuk kekuatan material (Zimmerli, et. al. 2010).
Inisiator (seperti: camphorquinone (CQ), phenylpropanedione (PPD) atau lucirin
(TPO)) memulai reaksi polimerisasi resin saat cahaya biru dipaparkan ke resin
komposit. Berbagai bahan tambahan dapat mengontrol laju reaksi (Bonsor, 2012).
Matriks seperti Bis HPPP dan BBP, yang terdapat dalam perekat universal
BiSGMA, telah terbukti meningkatkan kariogenisitas bakteri yang menyebabkan
terjadinya karies sekunder pada composite-dentin interface. BisHPPP dan BBP
menyebabkan meningkatnya glikosiltransferase pada S. mutans, yang
menghasilkan peningkatan produksi glukan yang lengket sehingga S. mutans
dapat menempel pada gigi. Hal ini menghasilkan biofilm kariogenik pada
composite-dentin interface. Aktivitas kariogenik bakteri meningkat dengan
konsentrasi bahan matriks. BisHPPP selanjutnya telah terbukti mengatur gen
bakteri, membuat bakteri lebih kariogenik, sehingga membahayakan keawetan
restorasi komposit. Para peneliti menyoroti kebutuhan untuk bahan komposit baru
yang akan dikembangkan yang menghilangkan produk kariogenik yang saat ini
terkandung dalam resin komposit dan bahan adhesif (Sadeghinejad, et. al. 2017).
Ada upaya untuk meningkatkan sifat antimikroba dan penghambat karies
dari bahan pengisi menggunakan modifikasi khusus. Efek proteksi karies dari
fluoride telah diketahui selama beberapa waktu dalam kedokteran gigi. Garam
fluoride seperti NaF, KF, SrF2, dan SnF2 ditambahkan ke matriks. Garam-garam
ini melepaskan fluoride pada awalnya, kemudian efek ini berkurang dengan cepat.
Di samping itu, fluoride berpengaruh buruk pada sifat mekanik bahan restoratif.
Kemudian bahan filler yang mengandung fluoride digunakan (kaca
fluoroaluminiumsilikat, YbF3). Saat ini hampir semua komposit dan kompomer
yang mengandung fluoride menggunakan jenis filler ini. Penggunaan filler yang
mengandung fluoride dengan bahan tetrabutylammonium fluoride (TBAF) dalam
matriks monomer telah menyebabkan peningkatan pelepasan dan penyimpanan
fluoride dalam bahan pengisi dalam uji in-vitro. Penambahan TBAF pada matriks
mengakibatkan kerusakan sifat mekanik dan fisik bahan restorasi. Juga telah
dicoba untuk memasukkan zat antimikroba ke dalam bahan pengisi. Penambahan
klorheksidin memiliki efek negatif pada sifat mekanik material (Zimmerli, et. al.
2010).

3.1.2 Klasifikasi Komposit Berdasarkan Tipe Filler dan Ukuran Partikel

Filler resin bisa terbuat dari gelas atau keramik. Filler kaca biasanya
terbuat dari kristal silika, silikon dioksida, kaca litium / barium-aluminium, dan
kaca borosilikat yang mengandung seng / strontium / litium. Filler keramik terbuat
dari zirkonia-silika, atau zirkonium oksida (Bonsor, 2012). Pengisi dapat dibagi
lagi berdasarkan ukuran dan bentuk partikelnya seperti:

1. Macrofilled filler
Macrofilled filler mempunyai ukuran partikel 5 - 10 µm. Filler ini
mempunyai kekuatan mekanik yang baik tetapi wear resistance yang
kurang baik. Pada tahap akhir restorasi akan sulit untuk di poles dan
meninggalkan permukaan yang kasar. Sehingga jenis resin ini dapat
menyebabkan retensi plak (Bonsor, 2012).

2. Microfilled filler
Microfilled fillers terbuat dari silica koloid dengan ukuran partikel
0.4 µm. Resin dengan filler ini lebih mudah dipoles dibandingkan dengan
macrofilled. Namun, sifat mekaniknya kurang karena beban pengisi lebih
rendah daripada konvensional (hanya 40-45% berat), sehingga mempunyai
sifat wear resistance yang kurang baik. Oleh karena itu, kontra indikasi
untuk bagian gigi yang digunakan untuk menahan beban (Bonsor, 2012).

3. Hybrid filler
Hybrid filler mengandung ukuran partikel yang bervariasi dengan
beban filler 75-85% dari berat nya. Dirancang untuk mendapatkan sifat
yang baik dari macrofilled and microfilled. Resin dengan hybrid filler
mengurangi ekspansi termal dan kekuatan mekanik yang lebih tinggi.
Tetapi, memiliki polymerisation shrinkage yang tinggi karena volume
monomer pengencer yang tinggi yang mengontrol viskositas resin
(Bonsor, 2012).
Microhybrid telah berhasil digunakan untuk menggantikan struktur
gigi yang hilang, memiliki sifat mekanik yang sangat baik, mudah
diaplikasikan dan menghasilkan permukaan lebih halus setelah dipoles.
Microhybrid telah banyak digunakan sebagai bahan restoratif untuk gigi
posterior (Enone, et. al. 2017).
Partikel pengisi nano digabungkan dalam komposit resin untuk
lebih meningkatkan kekuatan, estetika dan karakteristik kerja. Komposit
resin nanohybrid mengambil pendekatan menggabungkan partikel pengisi
nanomer dengan pengisi konvensional. Komposit resin yang mengandung
partikel nano memiliki sifat estetika yang sangat bagus dan sifat fisik dan
mekanik yang baik (Enone, et. al. 2017).
Beberapa penulis telah mencatat keberhasilan dengan penggunaan
komposit resin microhybrid dan nanohybrid dalam restorasi oklusal dan
proximo-oklusal. Celik et. al., setelah evaluasi kinerja klinis dari
nanohybrid dan komposit mikrohybrid dalam restorasi permukaan oklusal
dan proximo-oklusal melaporkan bahwa kedua komposit masih berfungsi
secara klinis dan menunjukkan kinerja yang dapat diterima selama periode
penelitian tiga tahun (Enone, et. al. 2017).

4. Nanofilled filler
Komposit nanofilled mempunya ukuran partikel filler 20-70 nm.
Nanopartikel membentuk unit nanocluster dan bertindak sebagai satu
kesatuan. Nanofilled memiliki kekuatan mekanik yang tinggi mirip dengan
material hybrid, wear resistance yang tinggi, dan mudah dipoles. Namun,
resin nanofilled sulit untuk beradaptasi dengan margin rongga karena
volume filler yang tinggi (Bonsor, 2012).

5. Bulk filler
Bulk filler terdiri dari partikel silika dan zirkonia yang tidak
diaglomerasi. Filler ini memiliki partikel nanohibrid dan beban pengisi
77% berat. Dirancang untuk mengurangi langkah-langkah klinis dengan
kemungkinan perawatan ringan melalui kedalaman lapisan 4-5mm, dan
mengurangi stres di dalam jaringan gigi yang tersisa. Sayangnya, bahan ini
tidak sekuat kompresi dan wear resistance yang lebih rendah
dibandingkan dengan material konvensional (Chesterman, et. al. 2017).
3.1.3 Klasifikasi komposit resin menurut karakteristik penanganannya

Klasifikasi ini membagi komposit resin menjadi dua berdasarkan


karakteristik penanganannya yaitu:

1. Flowable
Komposit flowable memiliki kandungan filler yang lebih sedikit (37-53%)
sehingga konsistensi nya cair yang menunjukkan kemudahan penanganan,
viskositas yang lebih rendah, compressive strength yang rendah, wear resistance
yang rendah, dan polymerisation shrinkage yang lebih besar. Karena sifat
mekanik yang lebih buruk, komposit flowable harus digunakan dengan hati-hati di
area yang menahan tegangan tinggi. Namun, karena sifat pembasahannya yang
menguntungkan, ia dapat beradaptasi erat dengan permukaan enamel dan dentin.
Indikasi penggunaan komposit flowable adalah untuk restorasi yang sangat kecil
meliputi restorasi rongga kelas I yang kecil, restorasi resin preventif (PRR),
fissure sealant, pelapis kevitas, dan lesi kelas V yang disebabkan oleh abfraksi.
Kontraindikasi penggunaan komposit ini adalah penggunaan di area yang
menahan tekanan tinggi, dan restorasi kavitas dengan melibatkan permukaan yang
luas.

2. Packable
Komposit packable mempunyai viskositas yang lebih tinggi sehingga
membutuhkan gaya yang lebih besar pada aplikasi untuk menempatkan material
ke dalam kavitas yang dipreparasi dibandingkan komposit flowable. Karakteristik
penanganannya lebih mirip dengan amalgam gigi, di mana gaya yang lebih besar
dibutuhkan untuk memadatkan material ke dalam kavitas.. Viskositas yang
meningkat dicapai dengan kandungan filler yang lebih tinggi (> 60% volume)
sehingga membuat bahan lebih kaku dan lebih tahan terhadap patah. Kerugian
dari peningkatan filler adalah potensi risiko adanya ruang kavitas yang tidak terisi
di sepanjang dinding kavitas dan di antara lapisan komposit. Untuk menutup
kekurangan ini, penggunaan selapis komposit flowable di dasar kavitas
dianjurkan, terutama saat melakukan restorasi komposit posterior kelas II.
3.1.4 Aplikasi Resin Komposit

Resin komposit saat ini memiliki penyusutan polimerisasi yang rendah dan
koefisien penyusutan termal yang rendah, yang memungkinkannya untuk
diaplikasikan dalam jumlah besar dengan tetap mempertahankan adaptasi yang
baik terhadap dinding rongga. Pada penempatan komposit membutuhkan prosedur
yang harus diperhatikan sehingga tidak terjadi kegagalan restorasi. Gigi harus
dijaga tetap kering sempurna selama penempatan atau kemungkinan resin gagal
menempel pada gigi. Komposit ditempatkan saat masih dalam keadaan lunak,
seperti adonan (dough-like). Ketika terkena cahaya dengan panjang gelombang
biru tertentu (light cured memiliki panjang gelombang 470 nm) komposit akan
berpolimerisasi dan mengeras menjadi padat (Kubo, 2011).
Cahaya dari light cured tidak dapat menembus lebih dari 2-3 mm ke dalam
komposit konvensional. Jika lapisan komposit terlalu tebal, bagian komposit
paling dalam akan tetap lunak sebagian. Komposit yang tidak berpolimerisasi ini
dapat menyebabkan monomer terlepas dengan potensi toksisitas dan kebocoran
yang menyebabkan terjadinya karies berulang. Operator disarankan menempatkan
komposit pada kavitas dengan teknik layering, light cured setiap lapisan setebal 2
mm sebelum memasukan tumpatan berikutnya. Operator juga harus
memperhatikan oklusi, terutama restorasi oklusal. Jika restorasi terlalu tinggi
dapat menyebabkan trauma oklusi (Kubo, 2011).

Bonsor, S. (2013). A clinical guide to applied dental materials. Pearson, Gavin J.


Amsterdam: Elsevier/Churchill Livingstone. pp. 71, 73–75.
Chesterman, J., Jowett, A., Gallacher, A., & Nixon, P. (2017). Bulk-fill resin-
based composite restorative materials: a review. BDJ. 222 (5): 337–344.
Craig,R.G., et. al. (2006). Dental Materials. Ullmann's Encyclopedia of Industrial
Chemistry. Weinheim: Wiley-VCH.
Kubo, S. (2011). Longevity of resin composite restorations. Japanese Dental
Science Review. 47 (1): 43–55.
Sadeghinejad, L., Cvitkovitch, D.G., Siqueira, W.L., Merritt, J., Santerre, J.P.,
Finer, Yoav (2017). Mechanistic, Genomic and Proteomic Study on the Effects of
BisGMA-derived Biodegradation Product on Cariogenic Bacteria. Dental
Materials. 33 (2): 175–190.
Sensi, L.G. ,Strassler, H.E. & Webley, W.. (2007). Direct Composite Resins.
Inside Dentistry. 3 (7).
Zimmerli, B., el. al.. (2010). Composite materials: Composition, properties and
clinical applications. Schweiz Monatsschr Zahnmed. 120 (11).

Anda mungkin juga menyukai