Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“Mata Kuliah Hukum Antar Tata Hukum”

Di Susun Oleh :
Difti Dorrotu Ahabba
191010200497

PRODI HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
Desember 2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. penulis
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiran-Nya, yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Hukum Antar
Agama”. Adapun tujuan penulis membuat makalah ini untuk memenuhi tugas dari mata
kuliah “Hukum Antar Tata Hukum”.

Penulis menyadari, dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Hal ini
disebabkan terbatasnya kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh
karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan.

Akhir kata semoga makalah tentang “Hukum Antar Agama” ini dapat bermanfaat bagi
penulis maupun pembaca serta siapa pun yang terlibat di dalamnya.

Tanggerang, Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... I

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ II

BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

a. Latar Belakang ........................................................................................................... 1


b. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
c. Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 1

BAB II : PEMBAHASAN .................................................................................................... 2

a. Perkawinan Beda Agama ........................................................................................... 2


1. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Islam .......................................... 2
2. Perkawinan Beda Agama dalam Fatwa MUI dan Majelis Tarjih
Muhammadiyah .............................................................................................. 3
3. Perkawinan Beda Agama Menurut UU Perkawinan ...................................... 4
b. Tindak Pidana dan Hukuman dalam Perspektif Islam ............................................... 6
1. Meminum Khamr (Minuman yang memabukkan) ......................................... 6
2. Perampokan/Pengacau Keamanan (al-Hirabah) ............................................. 7
3. Murtad (al-Riddah) ......................................................................................... 7

BAB III : PENUTUPAN ...................................................................................................... 9

Kesimpulan ............................................................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 10


BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Hukum Antar tata Hukum( HATAH) mempunyai makna berarti. sebab hukum di Indonesia
bertabiat plural. Kasus hukum banyak diakibatkan oleh ke tidak cermatan pembentuk serta
pelaksana hukum dalam memahami_ pluralisme hukum= Indonesia. Pengabaian terhadap
pluralisme hukum hendak menyebabkan ke tidak pastian hukum serta/ ataupun ketidakadilan,
sehingga hendak membatasi pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, dalam artikel
ini Penulis hendak mangulas makna berarti HATAH dikala ini dengan pendekatan historis.
Tidak hanya itu dibahas pula kalau perjanjian- perjanjian internasional yang jadi bagian dari
HATAH Indonesia, sangat pengaruhi pengembangan ekonomi nasional Indonesia serta
berpotensi terdapatnya benturan kepentingan antara kepentingan nasional serta tuntutan
internasional. Dengan memakai pendekatan historis dalam mangulas kasus di atas, bisa
disimpulkan bahwa_ kunci menuntaskan kasus hukum nasional terdapat pada uraian yang
benar tentang pluralisme hukum serta ilmu hukum antar tata hukum.

Hukum Antar Agama meliputi kejadian hukum yang terjalin antara orang- orang yang
menganut agama yang berlainan misalnya pernikahan antara Abdul yang beragama Islam
serta Renita yang beragama Kristen

b. Rumusan Masalah

1. Apakah hukum Antar Agama Itu?

2. Hukum manakah yang berlaku bila suatu kejadian hukum tersangkut 2 hukum/ lebih yang
berlainan yang disebabkan sebab agama berlakunya yang berbeda dari masyarakat negeri
dalam sesuatu Negeri.

c. Tujuan Penulisan

1. Buat penuhi tugas yang diberikan oleh dosen Hukum Antar Tata Hukum

2. Supaya menguasai hukum antar agama


3. Memahami pembagian- pembagian uraian tentang hukum pidana Islam

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pernikahan Beda Agama


1. Pernikahan Beda Agama Bagi Hukum Islam

Dalam literatur klasik tidak diketahui kata Pernikahan Beda Agama secara literatur serta tidak
ditemui pembatasan penafsiran secara jelas, tetapi ulasan yang terpaut dengan permasalahan
tersebut dimasukkan pada bagian ulasan menimpa perempuan yang haram dinikahi ataupun
perkawinan yang diharamkan, yang antara lain diucap selaku az- zawaj bi al- kitabiyat, az-
zawaj bi al- musyrikat ataupun az- zawaj bi ghair al- muslimah( pernikahan dengan wanita-
wanita pakar Kitab ialah pernikahan dengan wanita- wanita Yahudi serta Nasrani),
pernikahan dengan wanita- wanita musyrik( orang- orang musyrik) serta pernikahan dengan
non muslim.

Majlis Tarjih serta Tajdid PP Muhammadiyah membuat keputusan yang mengatakan kalau
Pernikahan Beda Agama ialah perkawinan antar agama, ialah perkawinan antara orang
muslim/ muslimah dengan non muslim/ muslimah ataupun dengan orang- orang musyrik
serta pakar kitab( Muhammadiyah, 1989: 302). Pernikahan beda agama merupakan
pernikahan antara orang yang berlainan agama, ialah orang Islam baik laki- laki ataupun
perempuan dengan laki- laki ataupun perempuan yang bukan Islam( Syarifuddin, 2007: 102).
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan kalau pernikahan beda agama merupakan jalinan
lahir serta batin antara seseorang laki- laki dengan seseorang perempuan yang sebab berbeda
agama menimbulkan tersangkutnya 2 peraturan yang menimpa syarat- syarat serta tata
metode penerapan pernikahan cocok dengan hukum agamanya tiap- tiap dengan tujuan
membentuk keluarga yang senang serta kekal bersumber pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Iktikad dari lafaz musyrik pada ayat“ serta janganlah kalian nikahi wanita musyrik, saat
sebelum mereka beriman” merupakan seluruh orang kafir yang tidak beragama Islam, ialah
watsani( penyembah berhala), majusi, Yahudi, Nasrani serta orang yang murtad dari Islam.
Seluruh yang disebutkan tadi haram untuk mereka menikahi wanita- wanita Muslimah.
Seseorang suami memiliki kekuasaan atas istri, terdapat mungkin si suami memforsir istrinya
buat meninggalkan agamanya serta membawanya kepada Yahudi ataupun Nasrani. Pada
biasanya, anak hendak menjajaki agama bapaknya, bila bapaknya Yahudi ataupun Nasrani
hingga mereka hendak mengikutinya. Sebaliknya seseorang laki- laki muslim, dia hendak
mengagungkan Nabi Musa serta Isa As. yakin dengan risalah mereka serta turunnya Taurat
serta Injil. Seseorang muslim tidak hendak menyakiti istrinya yang ialah seseorang Yahudi
ataupun Nasrani dengan alibi keimanan mereka yang berbeda. Berbeda bila suami yang tidak
mempercayai Al- Quran serta Nabi Muhammad Saw., dengan tiada keimanannya terhadap
Islam menyebabkannya menyakiti perempuan Muslimah serta menyepelehkan agamanya( as-
Shabuni, 1980: 289- 290).

Tidak hanya menyebut Yahudi serta Nasrani, Al- Quran pula sebagian kali mengatakan
penganut agama Shabi’ ah( al- Baqarah, 2: 62; Al- Maidah, 5: 69; al- Hajj, 22: 17); Majusi
dan orang- orang yang berpegang pada shuhuf( lembaran kitab suci) Nabi Ibrahim- yang
bernama Syit serta shuhuf Nabi Musa yang bernama Taurat( al- A’ la, 87: 19), serta kitab
Zabur yang diwahyukan kepada Nabi Dawud. Penyebutan agama- agama ini bisa jadi sangat
terpaut dengan agama- agama yang sempat tumbuh serta diketahui warga Arab pada dikala
itu. Sedangkan mengawini perempuan yang berkitab di luar Yahudi, Nasrani, Majusi, serta
Shabi’ ah pula terdapat 2 komentar. Ulama madzhab Hanafi melaporkan: benda siapa
memeluk agama samawi, serta menurutnya sesuatu kitab suci semacam shuhuf Ibrahim serta
Dawud hingga merupakan legal mengawini mereka selagi tidak syirik. Sebab mereka
berpegang pada seluruh kitab Allah hingga dipersamakan dengan orang Yahudi serta Nasrani.
Sebaliknya ulama madzhab Syafi’ i serta Hambali tidak membolehkan. Sebabnya sebab
kitab- kitab tersebut cuma berisi nasehat- nasehat serta perumpamaan- perumpamaan, dan
sama sekali tidak muat hukum.

Menimpa perempuan shabi’ ah, para fuqaha madzhab Hanafi berkomentar kalau mereka
sesungguhnya tercantum Ahli- kitab, cuma saja kitabnya telah disimpangkan serta palsu.
Mereka disamakan dengan penganut Yahudi serta Nasrani, sehingga laki- laki mukmin boleh
mengawininya. Sebaliknya para fuqaha’ Syafi’ iyah serta Hanabilah membedakan antara
Pakar Kitab serta pemeluk agama Shabi’ ah. Bagi mereka, orang- orang Yahudi serta Nasrani
sependapat dengan Islam dalam hal- hal pokok agama( ushul ad- din) membetulkan rasul-
rasul serta mengimani kitab- kitab. Benda siapa yang berbeda darinya dalam perihal pokok-
pokok agama( tercantum shabi’ ah) hingga dia tidaklah tercantum golongannya. Oleh sebab
itu, hukum mengawininya pula semacam mengawini penyembah berhala, ialah haram.
2. Pernikahan Beda Agama dalam Fatwa MUI serta Majelis Tarjih
Muhammadiyah

Musyawarah Nasional MUI ke- VII pada bertepatan pada 26- 29 Juli 2005 di Jakarta
memutuskan serta menetapkan kalau: 1) Pernikahan beda agama merupakan haram serta
tidak legal; 2) Pernikahan laki- laki muslim dengan perempuan pakar kitab bagi qaul mu’
tamad merupakan haram serta tidak legal. Keputusan fatwa tersebut didasarkan pada
pertimbangan:

a) kalau belum lama ini disinyalir banyak terjalin pernikahan beda agama;

b) kalau pernikahan beda agama ini bukan saja memiliki perdebatan di antara sesama umat
Islam, hendak namun pula memiliki keresahan di tengah- tengah warga;

c) kalau di tengah- tengah warga sudah timbul pemikiran yang membetulkan pernikahan beda
agama dengan dalih hak asasi manusia serta kemaslahatan, serta;

d) kalau buat mewujudkan serta memelihara ketenteraman kehidupan berumahtangga, MUI


memandang butuh menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama buat dijadikan
pedoman( MUI, 2011: 477- 481).

Sedangkan Muktamar Majelis Tarjih serta Tajdid PP Muhammadiyah ke XXII, bertepatan


pada 12- 16 Februari 1989 di Malang Jawa Timur, menetapkan sebagian keputusan, antara
lain tentang Tuntunan Keluarga Sakinah serta Nikah Antar Agama. Bagi keputusan
Muktamar tersebut, nikah antar agama hukumnya haram. Hingga pernikahan antara
seseorang laki- laki muslim dengan perempuan ahlu kitab ataupun perempuan musyrik serta
pernikahan perempuan muslim dengan laki- laki ahlu kitab ataupun laki- laki musyrik serta
kafir merupakan haram( Keputusan Muktamar Tarjih: 301- 308). Kedua Institusi keagamaan
di atas baik MUI ataupun Majelis tarjih dalam menetapkan status hukum pernikahan beda
agama memakai landasan hukum yang nyaris sama, ialah bersumber pada pada Al- Quran,
As- Sunah serta Qawaid Fiqhiyah.

3. Pernikahan Beda Agama Bagi UU Perkawinan

Bagi Pasal 1 UU Nomor. 1 Tahun 1974, pernikahan merupakan jalinan lahir batin antara
seseorang laki- laki serta seseorang perempuan selaku suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga ataupun rumah tangga yang senang serta kekal bersumber pada Ketuhanan Yang
Maha Esa. Kata“ jalinan lahir batin” dalam penafsiran tersebut dimaksudkan kalau
pernikahan itu tidak lumayan cuma dengan terdapatnya jalinan lahir saja, ataupun cuma
dengan jalinan batin saja, tetapi wajib keduanya terdapat dalam pernikahan. Jalinan lahir bisa
dimaknai kalau pernikahan merupakan jalinan yang bisa dilihat, maksudnya: terdapatnya
sesuatu ikatan hukum antara seseorang laki- laki dengan seseorang perempuan buat hidup
bersama, selaku suami istri. Jalinan ini bisa pula diucap selaku“ jalinan resmi” ialah ikatan
resmi yang mengikat dirinya, orang lain serta warga. Sebaliknya“ Jalinan batin” bisa
dimaknai selaku ikatan yang tidak resmi, maksudnya sesuatu jalinan yang tidak bisa dilihat,
tetapi wajib terdapat sebab dengan tidak terdapatnya jalinan batin dalam pernikahan hingga
jalinan lahir hendak rapuh( Saleh, 1992: 14- 15).

Penafsiran pernikahan di atas memiliki sebagian aspek. awal: aspek yuridis, sebab di
dalamnya ada jalinan lahir ataupun resmi yang melahirkan ikatan hukum antara suami istri;
kedua: aspek sosial, Di mana pernikahan ialah ikatan yang mengikat dirinya, orang lain serta
warga; ketiga: aspek religius, ialah dengan terdapatnya tujuan bersumber pada Ketuhanan
Yang Maha Esa selaku bawah dalam pembuatan keluarga yang kekal serta senang.

Pernikahan selaku salah satu perjanjian yang ialah perbuatan hukum, memiliki akibat hukum.
Terdapatnya akibat hukum berarti sekali hubungannya dengan legal tidaknya perbuatan
hukum itu. Dalam Pasal 2 UUP disebutkan ketentuan sahnya pernikahan, ialah:

(1) Pernikahan merupakan legal, apabila dicoba bagi hukum tiap- tiap agama ialah
kepercayaannya itu;

(2) Masing- masing pernikahan dicatat bagi peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Dalam Pasal ini ada penegasan kalau pernikahan, baru bisa dikategorikan selaku perbuatan
hukum yang legal apabila dicoba bagi syarat agama serta keyakinan tiap- tiap, sebagaimana
dalam uraian Pasal 2 UUP kalau tidak terdapat pernikahan di luar hukum tiap- tiap agama
serta keyakinan itu. Perihal ini, cocok dengan Pasal 29 UUD 1945:

( 1) Negeri bersumber pada Ketuhanan Yang Maha Esa;

( 2) Negeri menjamin kemerdekaan masing- masing penduduk buat memeluk agamanya tiap-
tiap serta buat beribadah bagi agamanya serta kepercayaannya itu.

Di Indonesia, Pernikahan Beda Agama, saat sebelum lahirnya UUP Nomor. 1 Tahun 1974
diketahui dengan istilah“ Pernikahan Campur”, sebagaimana diatur awal kali dalam Regeling
op de gemengde Huwelijken, Staatblad 1898 Nomor. 158, yang ialah Peraturan Pernikahan
Campur/ PPC). Dalam PPC tersebut ada sebagian syarat tentang pernikahan
campur( perkawinan beda agama):

Pasal 1: Perlangsungan pernikahan antara orang- orang yang di Hindia Belanda tunduk
kepada hukum yang berbeda, diucap Pernikahan Campur.

Pasal 6 ayat( 1): Pernikahan campur dilangsungkan bagi hukum yang berlaku atas suaminya,
kecuali izin para calon pendamping kawin yang senantiasa disyaratkan.

Pasal 7 ayat( 2): perbandingan agama, kalangan, penduduk ataupun asal usul tidak bisa ialah
halangan perlangsungan pernikahan.

Pasal- pasal tersebut di atas menegaskan tentang pengaturan pernikahan beda agama, apalagi
disebutkan, perbandingan agama tidak bisa dijadikan alibi buat menghindari terbentuknya
pernikahan.

PPC tersebut dikeluarkan secara spesial oleh Pemerintah Kolonial Belanda guna
mengestimasi perbandingan kalangan yang tertuang dalam Indische Staats Religing( ISR)
yang ialah Peraturan Ketatanegaraan Hindia. Pada Pasal 163 kalangan penduduk dibedakan
jadi 3 kalangan ialah: kalangan Eropa( tercantum di dalamnya Jepang); kalangan
pribumi( Indonesia) serta kalangan Timur Asing kecuali yang beragama Kristen.( Mudiarti
Trisnaningsih, 2007: 57) Pernikahan Campur sebagaimana diartikan pada PPC S. 1898
Nomor. 158 di atas, tidak diketahui dalam UU Nomor. 1 Tahun 1974. Pasal yang dijadikan
landasan pernikahan beda agama pada UUP merupakan Pasal 2 ayat( 1):

Pernikahan merupakan legal, apabila dicoba bagi hukum tiap- tiap agamanya serta
kepercayaannya itu; serta Pasal 8 huruf( f): pernikahan dilarang( f): memiliki ikatan yang
oleh agamanya ataupun peraturan lain yang berlaku dilarang kawin; dan Pasal 57: yang
diartikan dengan pernikahan campur dalam Undang- undang ini yakni pernikahan antara 2
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, sebab perbandingan ke warga-
negaraan serta salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

B. Tindak Pidana dan Hukuman dalam Perspektif Islam

1. Meminum Khamr (Minuman yang memabukkan)


Pelarangan terhadap minum khamr didasarkan pada ayat Al- Quran; Surah Al- Maidah: 90:“
Hai orang- orang yang beriman, sebetulnya( meminum) khamr, berjudi,( berkorban) buat
berhala, mengundi nasib dengan anak panah merupakan perbuatan keji tercantum perbuatan
setan. Hingga jauhilah perbuatan- perbuatan itu supaya kalian menemukan keberuntungan”.
Sebaliknya hadis nabi yang mendasari merupakan:“ Suatu yang memabukkan merupakan
khamr serta tiap khamr merupakan haram( HR. Ahmad). Mengenai hukuman untuk pelakon
minum khamr ada dalam sunah fi’ liyyah kalau hukuman atas jarimah ini merupakan 40 kali
dera. Abu Bakar menjajaki jejak ini, tetapi Umar bin Khattab menjatuhkan 80 kali dera. 10
Bagi Imam Abu Hanifah serta Imam Malik, hukuman minum khamr merupakan 80 kali dera,
sebaliknya bagi Imam Syafi’ i merupakan 40 kali dera, namun dia meningkatkan kalau imam
boleh menaikkan jadi 80 kali. Jadi 40 kali selaku hukuman had, serta 40 kali selaku ta’ zir.

2. Perampokan/ Pengacau Keamanan( al- Hirabah)

Sanksi hukum untuk jarimah ini ditegaskan dalam Al- Qur’ an, Surah Al- Maidah: 33:“
Sebetulnya pembalasan terhadap orang- orang yang memerangi Allah serta Rasul- Nya,
membuat kehancuran di muka bumi, cumalah mereka dibunuh ataupun disalib ataupun
dipotong tangan serta kaki mereka secara bersilang ataupun dibuang dari
negara( kediamannya). Yang demikian itu selaku sesuatu penghinaan untuk mereka di dunia
serta di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar”. Jarimah hirabah bisa terjalin dalam
kasus- kasus:

(1) seorang berangkat dengan hasrat buat mengambil harta secara terang- terangan serta
melaksanakan intimidasi, tetapi dia tidak jadi mengambil harta serta menewaskan;

(2) seorang menewaskan dengan hasrat buat mengambil harta dengan terang- terangan,
setelah itu mengambil harta diartikan, namun dia tidak menewaskan;

(3) seorang berangkat dengan hasrat merampok, setelah itu menewaskan, tetapi tidak
mengambil harta sang korban;

(4) seorang berangkat buat merampok setelah itu dia mengambil harta serta menewaskan
pemiliknya.

Sanksi hukum untuk perampok bagi Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’ i, serta Imam Ahmad
berbeda- beda cocok dengan wujud perbuatannya. Bila cuma mengambil harta dengan paksa
serta tidak menewaskan, sanksinya merupakan potong tangan serta kaki secara bersilang. Bila
cuma menewaskan serta tidak mengambil hartanya, sanksinya merupakan hukuman mati.
Bila mengambil harta serta menewaskan, bagi Imam Syafi’ i, Imam Ahmad, serta Imam
Zaidiyyah, hingga sanksinya merupakan hukuman mati kemudian disalib.

3. Murtad( al- Riddah)

Murtad ditatap oleh Islam selaku jarimah yang diancam dengan hukuman yang berat. Nas Al-
Qur’ an yang mengendalikan permasalahan ini merupakan Surah Al- Baqarah: 217:“ Benda
siapa murtad diantara kalian dari agamanya, kemudian ia mati dalam kekafiran, hingga
mereka seperti itu orang yang percuma amalannya di dunia serta di akhirat, serta mereka
seperti itu penunggu neraka, mereka kekal di dalamnya”. Dalam suatu hadis diriwayatkan
kalau Rasulullah bersabda:“ Benda siapa mengubah agamanya, hingga bunuhlah dia”.( HR.
Bukhari dari Ibnu Abbas). Yang diartikan dengan keluar dari Islam, bagi para ulama, dapat
dicoba dengan perbuatan( ataupun meninggalkan perbuatan), dapat dengan perkataan, dapat
pula dengan i’ tikad. Nyaris ialah konsensus di antara para ulama pakar hukum Islam, kalau
tindak pidana ini diancam dengan hukuman mati, tetapi pelakunya tidak dan merta dijatuhi
hukuman. Wajib terdapat upaya buat menyadarkan sang pelakon supaya dia kembali kepada
ketentuan Islam.
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Hukum Pidana Islam( Jinayat) ialah ketentuan yang bertabiat Ilahiyah serta terbuka untuk
upaya pembinaan/ ijtihad buat kemaslahatan serta keselarasan dengan kepentingan
kemanusiaan, hukum ini idealnya bisa membumi di negeri yang berpenduduk kebanyakan
muslim semacam Indonesia, tetapi dalam kenyataannya perihal itu belum terjalin, sehingga
butuh upaya secara terpadu oleh segenap pakar hukum, lembaga legislatif, eksekutif,
yudikatif, organisasi Massa Islam, serta lain- lain buat mewujudkannya. Ada bermacam opsi
buat membumikan Hukum Pidana Islam di Indonesia, antara lain: merubah konstitusi,
mengganti sistem hukum Nasional jadi Hukum Islam, Islamisasi Hukum Nasional,
memperluas kompetensi Peradilan Agama, memasukkan faktor/ konsep hukum Islam bidang
jinayah dalam Hukum Nasional, serta optimalisasi Peraturan Wilayah yang bernuansa Syari’
ah. Sebaliknya kendalanya antara lain: terdapatnya resistensi terhadap sanksi hukum pidana
Islam, masih kuatnya pengaruh hukum pidana peninggalan Belanda, hambatan kultural,
hambatan struktural, hambatan yuridis, hambatan sosiologi, hambatan ilmiah, hambatan
politis, serta hambatan konsolidasi.
DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin, Amir, 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh


Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Bogor: Kencana. , 2007. Garis-
garis besar Fiqh, Bogor: Kencana.

Trisnaningsih, Mudiarti, 2007. Relevansi Kepastian Hukum dalam Mengatur


Perkawinan Beda Agama di Indonesia, Bandung: Penerbit Utomo.

Zuhdi, Masjfuk, 1994. Masail Fiqhiyah, Jakarta: Gunung Agung.

Anda mungkin juga menyukai