Anda di halaman 1dari 23

FILSAFAT YANG BERTENTANGAN DENGAN PANCASILA

DOSEN PEMBIMBING:

ABDUL MALIK RITONGA, SH

DISUSUN OLEH:

1. ADE SAHPUTRA ZAI


2. ALDINA NURIYATI
3. ANUGRAH FEBRIYANTO TELAUMBANUA
4. CHRISTIN AULIA
5. DWINTA PUTRI AYU DAELI
6. HABIB MAULANA HARAHAP
7. YOLA CINDY SIANTURI

UNIVERSITAS IMELDA MEDAN

D-III PEREKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN

TINGKAT 1-E

T.A. 2019/2020

MEDAN
Pengertian Filsafat Pancasila

               Untuk memahami filsafat Pancasila, terlebih dahulu perlu diajukan pertanyaan apa
yang dimaksud filsafat ? secara etimologi Filsafat adalah satu bidang ilmu yang senantiasa ada
dan menyertai kehidupan manusia. Secara etimologis istilah “filsafat” berasal dari bahasa Yunani
“philein” yang artinya “cinta” dan “sophos” yang artinya “ hikmah” atau “kebijaksanaan” atau
“wisdom” (Nasotion, 1973). Jadi secara harfiah istilah filsafat adalah mengandung makna cinta
kebijaksanaan.

               Filsafat menurut J. Greet adalah ilmu pengetahuan yang timbul dari prinsip-prinsip


mencari sebaab-mushababnya yang terdalam atau hekaket terdalam. Secara sederhana filsafat
dapat diartikan sebagai kebenaran yang sejati. 

  Ada dua pengertian filsafat, yaitu :


1.      Filsafat dalam arti proses dan filsafat dalam arti produk.
2.      Filsafat sebagai ilmu atau metode dan filsafat sebagai pandangan hidup

Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk, sebagai pandangan hidup,


dan dalam arti praktis. Ini berarti  Filsafat Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai
pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari,
dalam tataran kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia

          Jika demikian apa Pengertian Filsafat Pancasila ? menurut Ruslan Abdulgani,


Pancasila adalah filsafat negara yang lahir sebagai ideologi kolektif (cita-cita bersama) seluruh
bangsa Indonesia. Mengapa pancasila dikatakan sebagai filsafat, hal itu karena pancasila
merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh para pendahulu kita,
yang kemudian dituangkan dalam suatu sistem yang tepat. Menurut Notonagoro, Filsafat
Pancasila ini memberikan pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat pancasila.
           Secara ontologi, kajian pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengetahui hakikat dasar sila-sila pancasila. Menurut Notonagoro, hakikat dasar antologi
pancasila adalah manusia, karena manusia ini yang merupakan subjek hukum pokok sila-sila
pancasila.

           Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan lima sila
yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang
mutlak, yang berupa sifat kodrat monodualis yaitu sebagai makhluk individu sekaligus juga
sebagai makhluk sosial, serta kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri dan
sekaligus juga sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensi pancasila dijadikan dasar negara
Indonesia adalah segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai-nilai pancasila
yang merupakan kodrat manusia yang monodualis tersebut.

            Kajian epistemologi filsafat pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari


hakikat pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan adanya karena
epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang
ilmu). Kajian epistemologi pancasila ini tidak bisa dipisahkan dengan dasar antologinya. Oleh
karena itu, dasar epistemologis pancasila sangat berkaitan dengan konsep dasarnya tentang
hakikat manusia.

             Sebagai suatu paham epistemologi, pancasila mendasarkan pandangannya bahwa imu
pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas
kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan
pengetahuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu pancasila secara epistemologis harus
menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun perkembangan sains dan teknologi pada saat
ini.
              Kajian Aksiologi filsafat pancasila pada hakikatnya membahas tentang nilai praksis
atau manfaat suatu pengetahuan mengenai pancasila. Hal ini disebabkan karena sila-sila
pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologi, nilai-nilai dasar
yang terkandung di dalam pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Aksiologi pancasila ini mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai pancasila.
        Secara aksiologi, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai pancasila. Sebagai
pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang mengakui, menghargai, menerima pancasila
sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penerimaan dan penghargaan pancasila sebagai
sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam dalam sikap, tingkah laku dan
perbuatan bangsa Indonesia.

              Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna
bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan harus didasarkan
pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, pesatuan, kerakyatan dan yang terakhir keadilan.
Pemikiran filsafat kenegaraan ini bertolak dari pandangan bahwa negara merupakan suatu
persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, di mana merupakan masyarakat
hukum.

B.Karakteristik Pancasila

           Pertanyaan secara ilmiah adalah bagaimana karakteristik Pancasila sebagai filsafat?
Sebagai filsafat, Pancasila memiliki karakteristik sistem filsafat tersendiri yang berbeda dengan
filsafat lainnya, yaitu :

(1) Karakteristik filsafat pancasila yang pertama yaitu sila-sila dalam pancasila merupakan satu
kesatuan sistem yang bulat dan utuh (sebagai suatu totalitas). Dalam hal ini, apabila tidak bulat
dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah, maka itu bukan merupakan pancasila.
(2) Karakteristik filsafat pancasila yang kedua ialah dalam susunan pancasila dengan suatu
sistem yang bulat dan utuh sebagai berikut.
- Sila 1 mendasari, meliputi dan menjiwai sila 2, 3, 4 dan 5.
- Sila 2 didasari, diliputi, dijiwai sila 1 dan mendasari serta menjiwai sila 3, 4 dan 5.
- Sila 3 didasari, diliputi, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari serta menjiwai sila 4 dan 5.
- Sila 4 didasari, diliputi, dijiwai sila 1, 2, 3, serta mendasari dan menjiwai sila 5.
- Sila 5 didasari, diliputi, dijiwai sila 1, 2, 3 dan 4.
(3) Karakteristik filsafat pancasila yang berikutnya, pancasila sebagai suatu substansi artinya
unsur asli atau permanen atau primer pancasila sebagai suatu yang mandiri, dimana unsur-
unsurnya berasal dari dirinya sendiri.
(4) Karakteriktik filsafat pancasila yang terakhir yaitu pancasila sebagai suatu realita artinya ada
dalam diri manusia Indonesia dan masyarakatnya sebagai suatu kenyataan hidup bangsa, yang
tumbuh, hidup dan berkembang di dalam kehidupan sehari-hari.

C.Prinsip Prinsip Filsafat Pancasila

           Jika ditinjau dari kausa Aristoteles, Prinsip-prinsip pancasila dapat dijelaskan sebagai
berikut.

(1) Kausa Material yaitu sebab yang berhubungan dengan materi atau bahan. Dalam hal ini
Pancasila digali dari nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam bangsa Indonesia sendiri.
(2) Kausa Formalis ialah sebab yang berhubungan dengan bentuknya. Pancasila di dalam
pembukaan UUD 1945 memenuhi syarat formal (kebenaran formal).
(3) Kausa Efisiensi yaitu kegiatan BPUPKI dan PPKI dalam menyusun dan merumuskan
pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
(4) Kausa Finalis Ialah berhubungan dengan tujuannya, dimana tujuan yang diusulkannya
pancasila menjadi dasar negara Indonesia merdeka.

       Inti atau esensi sila-sila Pancasila meliputi :

(1)   Tuhan yang berarti bahwa sebagai kausa prima.


(2)   Manusia berarti bahwa makhluk individu dan makhluk sosial.
(3)   Satu berarti bahwa kesatuan memiliki kepribadian sendiri.
(4)   Rakyat yang berarti bahwa unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong.
(5)   Adil yang berarti bahwa memberikan keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang
menjadi haknya.
Sumber : Buku dalam Penulisan Pengertian Filsafat Pancasila, Karakteristik Filsafat
Pancasila dan Prinsip-prinsip Filsafat Pancasila : Heri Herdiawanto dan Jumanta
Hamdayama, 2010. Judul Buku : Cerdas, Kritis, Dan Aktif Berwarganegara (Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi). Erlangga : Jakarta.

C.Membaca Filsafat Pancasila Berdasarkan Perisai Pancasila Dalam Lambang Negara

            Pertanyaan adalah apa hakekat Pancasila dilihat dari filsafat hukum ?  Jawaban atas
pertanyaan ini adalah hakekatnya mempertanyakan saat ini bagaimana kedudukan Pancasila
secara hukum, karena dalam Pembukaan UUD Neg RI 1945 tidak dinyatakan dengan tegas
nomenklatur Pancasila secara yuridis normatif. Jika kita baca alinea keempat pernyataan adalah
sebagai berikut:

        “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah  Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah  darah  Indonesia  dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang  berdasarkan kemerdekaan, perdamaian  abadi  dan  keadilan sosial,
maka  disusunlah Kemerdekaan  Kebangsaan  Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan  Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan  rakyat  dengan  berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang  adil  dan  beradab, Persatuan  Indonesia  dan  Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan  dalam Permusyawaratan/Perwakilan,  serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

           Secara teks hukum negara dalam alinea keempat Pembukaan UUD Neg RI 1945 diatas
hanya dinyatakan “dengan berdasar  kepada”, selanjutnya lima pernyataaan selanjutnya
kemudian oleh Presiden Soekarno secara historis diberi nama PANCASILA. Namun apa
kedudukan Pancasila dalam alinea keempat pembukaan tersebut,karena dalam kajian Pancasila
berkembang nomenklatur yang dilekatkan dengan Pancasila, seperti Pancasila sebagai jiwa
bangsa, Pancasila sebagai jatidiri bangsa, Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa, Pancasila
sebagai perjanjian luhur bangsa.

           Untuk memahami kedudukan hukum Pancasila yang terdapat pada alinea keempat
Pembukaan UUD Neg RI 1945 kita menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terpaparkan dengan jelas pada pasal 2 yang
menyatakan Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara.

      Kemudian penjelasan pasal 2 tersebut menyatakan, bahwa penempatan Pancasila


sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta
sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-
undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

             Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 12 tahun 2011 secara tegas menyatakan bahwa dalam
tataran hukum Pancasila ditempatkan sebagai sumber segala sumber hukum negara.
Pertanyaannya apa konsekuensi hukumnya dalam kehidupan kenegaraan atau dalam tataran
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? Konsekuensi hukumnya adalh semua
materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila.

            Pertanyaannya adalah kedudukan Pancasila dalam pembukaan UUD Neg RI 1945
sebagai apa? Jika kita membaca secara cermat penjelasan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011
jelas ada tiga pemaknaan dengan pernyataan berikut ini “Menempatkan Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara “ Jadi terjawab sudaj bahwa
Pancasila yang terdapat pada alinea keempat Pembukaan UUD Neg RI 1945 ada tiga
konsepsional tentang Pancasila, yaitu (1) sebagai dasar negara, (2) sebagai Ideologi Negara
dan (3) sebagai Filosofis Negara. Oleh karena itu menurut penulis pendidikan Pancasila di
perguruan tinggi harus mengkaji secara ilmiah tiga konsepsional berkaitan tentang Pancasila.

           Bagi kalangan mahasiswa fakultas hukum tentunya ada pertanyaan kritis untuk
mengetahui bagaimana memahami bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila?. Untuk itu penulis
mengajukan pembacaan Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila dalam lambang negara, karena
menurut Presiden Soekarno dalam Pidato tentang dikursus Pancasila di hadapan mahasiswa
seluruh Indonesia  2 Juli 1958 di istanan negara menyatakan secara tegas sebagai berikut:

          “Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut
pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan
terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan
mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat,
seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia. Lambang yang telah dicintai oleh
rakyat kita sehingga jikalau kita masuk ke desa-desa sampai kepelosok-pelosok yang paling
jauh dari dunian ramai, lambang ini sering dicoretkan orang di gardu-gardu, di tembok-tembok,
di gerbang-gerbang, yang orang dirikan dikalau hendak menyatakan suatu ucapan selamat
datang kepada seorang tamu.
Lambang yang demikian telah terpaku di dalamnya kalbu Rakyat Indonesia, sehingga
lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada Republik,
sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu dirobah, jikalau Dasar
Negara itu tidak ditetapkan dan dilangengkan: Pancasila. Sebab lambang negara sekarang
yang telah dicintai oleh Rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang
yang bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa
perobahan dari pada lambang negara.”

Berdasarkan pernyataan Presiden Soekarno jelas bahwa lambang negara saat ini adalah
lambang negara yang bersendikan Pancasila, yakni secara semiotika hukum terdapat pada
perisai Pancasila dan secara yuridis normatif ditegaskan pula didalam UU Nomor 24 Tahun
2009Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Pasal 48  ayat (1) Di
tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal
yang melukiskan katulistiwa. Ayat (2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 
terdapat lima buah ruang yang mewujudkandasar Pancasila

Jelaslah berdasarkan pasal 48 ayat (2) bahwa perisai yang terdapat dalam lambang
negara yang didalamnya terdapat lima buah ruang yang mewujudkandasar Pancasila.
Dengan demikian secara ilmiah dan secara yuridis normatif, bahwa lambang negara kita Garuda
Pancasila yang bersemoyan bhinneka Tunggal Ika (pasal 37 A UUD Neg RI 1945) adalah
lambang yang mewujudkan dasar Pancasila, pertanyaannya adalah bagaimana membaca
Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila sebagaimana dimaksud Pasal 48 UU Nomor 24 taun
2009 ? berikut ini kita paparkan secara komprehensif pembacaan Pancasila dengan
menggunakan perisai Pancasila, kemudian dikaitkan dengan menjawab pertanyaan bagaimana
materi muatan peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila ? Kaitannya yang benar dan tepat adalah dengan mengkaitkan Pembacaan Pancasila
berdasarkan perisai Pancasila dalam lambang negara dengan asas-asas materi muatan
pembentukan peraturan perundang-undangan berikut ini.

D.Membaca Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila Dalam Lambang Negara

    Yang patut direnungkan dan diajukan pertanyaan kritis adalah bagaimana Semiotika Hukum
Membaca Pancasila Berdasarkan Perisai Pancasila dan Makna Filosofis Pancasila Dalam
Lambang Negara Elang Rajawali –Garuda Pancasila bagi Bangsa Indonesia saat ini dan
kedepan ? Pasal 48  UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan ayat (1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa. Ayat (2) Pada perisai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46  terdapat lima buah ruang yang mewujudkandasar
Pancasila sebagai berikut: dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di
bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah
perisai; c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas
perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas
perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas
dan padi di bagian kanan bawah perisai. Rumusan teks hukum pasal 48 diatas jika dibaca perisai
Pancasila sebagai visualisasi ide Pancaila, maka  alurnya adalah melingkar berlawanan dengan
arah jarum jam atau dalam bahasa Islam “berthawaf” atau  dalam bahasa Kalimantan “gilir
balik”.

      Rumusan Pasal  48 di atas selaras dengan pernyataan  Sultan Hamid II  yang menyatakan: 
"... patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang
"berthawaf"/berlawanan arah djarum djam/"gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila
ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa
menelusuri/ menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah bangsa Indonesia
ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "djatidiri"-nja ketika
mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja,
seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja
membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir balik
kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan
perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini. Selanjutnya pada bagian lain Sultan Hamid
menjelaskan tentang konsep thawaf pada perisai Pancasila : " ... Falsafah "thawaf"
mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun
negara, karena ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat
kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat
adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah  menurut Paduka Jang
Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni  membangun
negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama
jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki
karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja pembangunan "nation
character building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja.
(transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967) 
       Adapun konsepnya secara epistemologis adalah sebagai berikut, bahwa nilai Sila ke I dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilambangkan dengan Nur Cahaya dibagian tengah perisai
Pancasila berbentuk bintang yang bersudut lima. Pada tataran kenegaraan atau hukum tata
Negara atau kehidupan hukum dan kenegaraan, yaitu ilmu perundang-undangan saat ini realitas
semiotika hukumnya adalah diwujudkan/dijabarkan sebagai “asas keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan”(Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf  j Undang-Undang  Nomor 12 Tahun
2011), yaitu, bahwa setiap materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara. Asas ini secara semiotika hukum tetap menjadi basis sentral,
oleh karena itu secara semiotika sila ke I diletakan ditengah perisai merah putih dan
ditempatkan pada perisai tersendiri berwarna hitam sebagai warna alam dan Sila I yang
dilambangkan dengan cahaya dibagian tengah berbentuk bintang bersudut lima ini
menyinari semua nilai-nilai ke empat sila lainnya atau menjadi cahaya, yakni kepada sila
II, III, IV dan V atau menjadi “bintang pemandu” bagi keempat sila lainnya.

             Secara teoritik atau konsepsional dapat dijelaskan konstruksi model semiotika


hukumnya, yakni sila I menjadi cahaya sila II dasar Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang
dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persagi dibagian kiri bawah perisai
Pancasila.  Maknanya bahwa hukum yang bersifat progresif mencerminkan HAM atau taat
pada asas kemanusian (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf b Undang-Undang  Nomor 12 Tahun
2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat martabat setiap warga
negara dan penduduk Indonesia secara proporsional dan taat pula pada asas Bhinneka Tunggal
Ika (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf f  Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya
bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain; agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial serta setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan
masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara serta taat pula pada asas Kesamaan
Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf h 
Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinyasetiap materi muatan Peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

     Kemudian sila I menjadi cahaya Sila ke III dasar Persatuan Indonesia yang dilambangkan
dengan pohon beringin dibagian kiri atas perisai Pancasila, maknanya hukum yang bersifat
progresif taat kepada asas KebangsaanPenjelasan (Pasal 6 Ayat (1) huruf c Undang -Undang
Nomor 12 Tahun 2011), artinya  bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan
tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

      Kemudian Sila I menjadi cahaya sila IV dasar Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng
dibagian kanan atas perisai Pancasila, karena produk hukum dalam hal ini peraturan perundang-
undangan adalah hasil dari sebuah hikmah kebijaksanaan sebagai perwujudan esensi semangat
demokrasi untuk menterjemahkan suara rakyat tanpa mengenyampingkan suara kepentingan
pemerintah (negara), maknanya, bahwa hukum yang bersifat Progresif  haruslahtaat kepada
asas kekeluargaan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf d Undang-Undang  Nomor 12 Tahun
2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan dan taat kepada asas
Pengayoman(Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011),
artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
           Kemudian Sila I menjadi  cahaya sila ke V dasar Keadilan Bagi seluruh rakyat Indonesia
dilambangkan dengan kapas dan padi dibagian kanan bawah perisai Pancasila. Maknanya
bahwa hukum yang bersifat progresif harus mewujudkan rasa keadilan masyarakat, atau taat
pada asas Keadilan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf g Undang-Undang  Nomor  12 Tahun
2011), artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali dan taat pula pada asas
Kenusantaraan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf e Undang –Undang  Nomor 12 Tahun
2011), artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang
dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasilaserta
taat pula pada asas Ketertiban dan Kepastian Hukum (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf i 
Undang- Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinyabahwa setiap materi Muatan Peraturan
Perundang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
adanya kepastian hukum. Oleh karena itu simbolisasi Pancasila dalam perisai Pancasila dalam
lambang negara adalah mewakili sinergisitas lima kecerdasan manusia Indonesia, dan harus
diselaraskan dengan asas-asas pembentukan materi muatan peraturan perundang-undangan yang
mengacu pada nilai-nilai Pancasila.
             Konsep Paradigma Pancasila “Berthawaf” di atas dapat dijelaskan secara epistemologi,
bahwa Sila Ke satu menjadi Nur Cahaya yang menyinari keempat sila lainnya, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai  simbol yang mewakili "God Spot" titik
Tuhan/kecerdasan Spiritual/Spiritual Quentient (SQ) menerangi kepada manusia yang
berprikemanusian yang adil dan beradab sebagai yang mewakili kecerdasan
pancaindra/Artificial Quentient (EQ) dengan rumus 213 (melihat dahulu, berpikir baru berkata
atau bertindak) bagi manusia-manusia yang menempati negara yang dinamakan negara
kebangsaan Republik Indonesia yang menjunjung persatuan, yaitu Persatuan Indonesia,
sebagai yang mewakili Kecerdasan Intelektual/Intelectual Quentient IQ dalam bingkai
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan sebagai yang mewakili kecerdasan emosional/Emotional Quentinet EQ serta dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai kecerdasan
keratifitas/Creatifitas Quentient CQ, sehingga ketika menjabarkan materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, yakni nilai
Ketuhanan, nilai Kemanusian, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan. Kesemua itu
adalah sinergisitas antara SQ,AQ,EQ,IQ,EQ dan CQ diwujudkan dalam membentuk peraturan
perundang-undangan yang  bersifat progresif, yakni yang baik dan taat asas dalam pembentukan
materi  muatan peraturan perundang-undangan yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
             Berdasarkan konsep itu maka secara aksiologis (pilihan analisisnya) melalui sinergisitas
antara SQ,AQ,EQ,IQ,EQ dan CQ diwujudkan dalam membentuk peraturan perundang-
undangan, sehingga asas peraturan perundang-undangan memenuhi konsep hukum yang bersifat
progresif yang taat pada asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
yang meliputi : (1) Kejelasan tujuan (Pasal 5 dan penjelasan huruf a Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011), bahwa setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang hendak dicapai .(2) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
(Pasal 5 dan penjelasan huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), bahwa setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/Pejabat Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan
atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang  (3) Kesuaian
antara jenis dan materi muatan (Pasal 5 dan penjelasan huruf c Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011), artinya bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus benar-
benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan Perundang-undangannya.
(4) Dapat dilaksanakan (Pasal 5 dan penjelasan huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011), artinya bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut didalam masyarakat baik
filosofis, Yuridis, maupun sosiologis. (5) Kedayaangunaan atau kehasilgunaan (Pasal 5 dan
penjelasan huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap Peraturan
Perundang-Undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. (6) Kejelasan rumusan (Pasal 5 dan
penjelasan huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-
undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya. 
(7) Keterbukaan (Pasal 5 dan penjelasan huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011),
artinya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,
persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tetapi bagaimana cara
bekerjanya atau mensinergikan SQ,AQ,IQ, EQ, CQ tersebut berikut ilustrasinya pola pikirnya.
          Secara konsepsional aksiologis dapat dipaparkan, bahwa para penstudi hukum maupun
para penyelenggara negara dimungkinkan dengan paradigma  Pancasila berthawaf menggunakan
dua alur pemikiran dalam membentuk hukum yang bersifat progresif yang pertama adalah
pola pikir induksi yaitu  dengan menggunakan kecerdasan spiritualnya (SQ 1) manusia melihat
nomos atau fenomena yang ada di dalam masyarakat (fenomena sosial) melalui kecerdasan
panca inderanya (AQ 2) rumusnya 213 (melihat dahulu, berpikir baru berbicara), kemudian ia
berpikir dan melakukan analisis kajian hukum dengan kecerdasan intelektualnya. (IQ 3)
Selanjutnya melakukan kotemplasi/perenungan dengan kecerdasan emosionalnya terhadap
penomena yang terjadi, peristiwa hukum dan sosial dimasyarakat, misalnya (EQ 4) dengan
memohon petunjuk kepada Tuhan Sang Pencipta  Manusia dan sunatullah Alam Semesta,
kemudian ia mengacu kepada aturan-aturan yang dibuat oleh manusia (baca peraturan
perundang-undangan).
    Selanjutnya dengan rasionalitas relegiositasnya mendapatkan pencerahan, karena mampu
mensinergikan kecerdasan spiritual, intelektual dan emosional (SQ,IQ,EQ), akhirnya melakukan
perwujudan dalam tindakan yang adil dan berkesadaran hukum serta memunculkan
kreatifivitasnya dengan kecerdasan kretifivitasnya (CQ 5) sebagai amal ibadahnya kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan kemanfaan sesama manusia dan menjaga alam semesta (lingkungannya).
Kesemua itu adalah sinergisitas antara SQ,AQ,EQ,IQ,EQ dan CQ dalam membentuk peraturan
perundang-undangan yang  bersifat progresif. (yang baik dan taat asas untuk kebahagian
manusia).
   Pada alur pola pikir yang kedua deduksi dengan menggunakan kecerdasan spiritualnya (SQ
A) melihat fenomena yang ada di alam semesta (fenomena alam) dengan kecerdasan
pancaindranya (AQ B), kemudian melakukan perenungan terhadap sunatullah yang bekerja
(kerangka hukum sebab akibat) dengan kecerdasaan emosionalnya (EQ C), kemudian berpikir
dan melakukan analisis kajian hukum dengan kekuatan intelektualnya (IQ D) serta memohon
petunjuk kepada Tuhan Sang Pencipta sunatullah pada Alam Semesta dan Manusia, kemudian ia
mendapatkan pencerahan karena mampu mensinergikan kecerdasan spiritual, emosional dan
intelektual (SQ, EQ.IQ) dan pada akhirnya melakukan perwujudan dalam tindakan yang adil
dan berkesadaran hukum serta memunculkan kreatifivitasnya dengan kecerdasan kretifivitasnya
(CQ E) sebagai amal ibadahnya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kemanfaan sesama manusia
dan menjaga alam semesta (lingkungannya). Kesemua itu adalah sinergisitas antara
SQ,AQ,EQ,IQ,EQ dan CQ  dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang  bersifat
progresif. (yang baik dan taat asas untuk kebahagian manusia). 

E.Makna Sebenarnya “Bhinneka Tunggal Ika” dalam konsep kenegaraan


      Pentingnya keberagaman dalam  pembangunan selanjutnya diperkukuh dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 36A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Lambang Negara ialah
Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan kemudian dijabarkan dalam
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, lambang negara serta lagu
kebangsaan, khususnya tentang lambang negara pasal 46 s/d pasal 50 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
      Saat ini, semangat Bhinneka Tunggal Ika terasa luntur, banyak generasi muda yang tidak
mengenal semboyan ini, bahkan banyak kalangan melupakan kata-kata ini, sehingga ikrar yang
ditanamkan jauh sebelum Indonesia merdeka memudar, seperti pelita kehabisan minyak. Selain
karena lunturnya semangat tersebut, adanya disparitas sosial ekonomi sebagai dampak dari
pengaruh demokrasi. Akibat dari keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan fanatisme asal
daerah. Bahkan yang memprihatinkan tak memahami makna filosofis perisai Pancasila dalam
lambang negara dan juga tak kenal siapa perancang lambang negaranya ?
    Dengan kembali menggelorakan semangat ke-bhinneka-an, keberagaman dipandang sebagai
suatu kekuatan yang bisa mempersatukan bangsa dan negara dalam upaya mewujudkan cita-cita
negara. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menunjukan bahwa bangsa Indonesia sangat
heterogen, dan karenanya toleransi menjadi kebutuhan mutlak. Di era modern ini, di ruang-ruang
publik yang manakah homogenitas absolut dapat kita temukan? Tidak ada. Sebab, heterogenitas
sudah merupakan keniscayaan hidup modern. Karena itulah, tak bisa tidak, kita harus belajar
menerima dan menghargai pelbagai keberagaman, yakni pluralistik dan multikultural. Kalimat 
itu hanya ada dipita yang dicengkram Elang Rajawali Garuda Pancasila, yakni Bhinneka
Tunggal Ika. Tetapi apakah makna terdalam dari Bhinneka Tunggal Ika didalam lambang
negara itu ?
    Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya.
Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa,
masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang
merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah
tersebut. Dengan jumlah penduduk lebih dari 237.000.000 (dua ratus tiga puluh juta) jiwa yang
tinggal tersebar di pulau-pulau di Indonesia (Badan Pusat Statistik tahun 2010).  Dapat dikatakan
bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat
heterogenitas yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok suku bangsa tetapi juga
keaneka ragaman budaya dalam konteks peradaban, tradisional hingga ke modern, dan
kewilayahan.
   Bangsa Indonesia memiliki lebih dari 1.128 (seribu seratus dua puluh delapan) suku bangsa.
Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai kebiasaan hidup yang beranekaragam. Demi
persatuan dan kesatuan, keanekaragaman ini merupakan suatu kekuatan yang tangguh dan
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, keragaman suku bangsa dan budaya merupakan salah satu modal dasar dalam
pembangunan.
   Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan “negara persatuan” dalam arti sebagai negara
yang warga negaranya erat bersatu, yang mengatasi segala paham perseorangan ataupun
golongan yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan
pemerintahan dengan tanpa kecuali. Dalam negara persatuan itu, otonomi individu diakui
kepentingannya secara seimbang dengan kepentingan kolektivitas rakyat. Kehidupan orang
perorang ataupun golongan-golongan dalam masyarakat diakui sebagai individu dan kolektivitas
warga negara, terlepas dari ciri-ciri khusus yang dimiliki seseorang atau segolongan orang atas
dasar kesukuan dan keagamaan dan lain-lain, yang membuat seseorang atau segolongan orang
berbeda dari orang atau golongan lain dalam masyarakat (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
  Negara persatuan mengakui keberadaan masyarakat warga negara karena kewargaannya.
Dengan demikian, negara persatuan itu mempersatukan seluruh bangsa Indonesia dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia karena prinsip kewargaan yang berkesamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan. Negara Persatuan tidak boleh dipahami sebagai konsepsi atau
cita negara yang bersifat totalitarian ataupun otoritarian yang mengabaikan pluralisme dan
menafikan otonomi individu rakyat yang dijamin hak-hak dan kewajiban asasinya dalam
Undang-Undang Dasar (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
  Dengan perkataan lain, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan
jaminan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk berkembang sesuai dengan
potensi dan kekayaan yang dimilikinya masing-masing, tentunya dengan dorongan, dukungan,
dan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah pusat (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
 Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan
yang berasal dari keanekaragaman. Walaupun terdiri atas berbagai suku yang beranekaragam
budaya daerah, tetap satu bangsa Indonesia, memiliki bahasa dan tanah air yang sama, yaitu
bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Begitu juga bendera kebangsaan merah putih sebagai
lambang identitas bangsa dan bersatu padu di bawah falsafah serta dasar negara Pancasila.
Bangsa Indonesia harus bersatu padu agar manjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Untuk
dapat bersatu harus memiliki pedoman yang dapat menyeragamkan pandangan dan tingkah laku
dalam kehidupan sehari-hari.
   Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir dari pengorbanan jutaan jiwa dan raga para pejuang
bangsa yang bertekad mempertahankan keutuhan bangsa. Negara Indonesia yang majemuk
diikat oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diartikan walapun bangsa
Indonesia mempunyai latar belakang yang beragam baik dari suku, agama, dan bangsa
tetapi satu adalah bangsa Indonesia.
  Paparan kajian  legal Hermenuetik (Hermanuetik Hukum) diatas jelas selaras ketika membaca
secara hermenuetika hukum tentang Bhinneka Tunggal Ika, karena didalam Lambang Negara
Indonesia, menurut  Soediman Kartohadiprojo dalam salah satu tulisan "Pancasila dan
Hukum" menyatakan:
1.             "Lambang Negara adalah lambang dan lambang itu adalah sesuatu yang
melambangkan sifat dari sesuatu; sedang negara adalah manusia. Jadi Lambang Negara kita tadi
melambangkan sifat bangsa yang bernegara didalam negara itu Bangsa Indonesia.
2.             Didalam Lambang Negara ini kita jumpai Pancasila.      
          Lambang negara kita ini terdiri dari tiga bagian:
1.      Cendra sengkala
2.      Perisai Pan casila
3.      Seloka
          Candra sengkala, ini terdapat dalam "Burung Sakti Elang Rajawali yang bulu sayapnya 17
helai jumlahnya, bulu sayap kemudinya 8 helai, sedangkan bulu sayap sisiknya pada batang
tubuh 45 helai jumlahnya" ini melukiskan diproklamisikan Republik Indonesia.
          Perisai Pancasila Burung Elang Rajawali atau garuda ini dikalungi dengan perisai yang
memuat didalamnya Pancasila. Ini berarti bahwa Republik Indonesia kita dijiwai oleh Pancasila.
          Burung Elang Rajawali atau Garuda dengan kalungnya ini menggemgam dalam cakarnya
sebilah "papan" yang tak terpisahkan dari padanya yang memuat seloka "Bhinneka Tunggal
Ika"Bhinneka Tunggal Ika, ini digengggam oleh sang burung, dan terdapat dibawahnya.
Ibaratkan sebatang tumbuh-tumbuhan, yang terdapat dibawah adalah akarnya.
           Akar adalah urat nadinya tmbuh-tumbuhan. Dari akar tumbuh-tumbuhan memperoleh
sumber kehidupannya. Selain dari itu, akar adalah alat untuk menegakkan berdirinya tumbuh-
tumbuhan. Demikian Bhinneka Tunggal Ika merupakan:
a.    sumber kehidupan Revolusi/Republik kita dengan Pancasila itu; jadi sumber kehidupan
Pancasila pula.
b.    alat penegak Revolusi/Republik dan Pancasila
               Berdasarkan pandangan Soediman Kartohadiprojo, menurut penulis ada dua hal,
yaitu Pertama, (1) bahwa membahas Lambang Negara secara hermenutika hukum sebenarnya
tiga bagian semiotika, yaitu Burung Elang Rajawali berdasarkan jumlah sayapnya
melambangkan identitas negara atau candra sengkala tentang berdiri negara republik Indonesia
(2) tentang semiotika Pancasila yang disimbolisasikan pada perisai Pancasila (3) tentang seloka
Bhinneka Tunggal Ika, dan ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan walaupun
terbedakan secara semiotika hukum. Kedua, Istilah yang digunakan untuk menyebut lambang
negara adalah Burung Sakti Elang Rajawali ini memberikan bukti sekali lagi, bahwa lambang
negara kita bukan figur garuda dalam mitologi tetapi  sudah terjadi pergeseran semiotika, yaitu
figur burung Elang Rajawali Pancasila.
    Pertanyaan secara hermenuetika hukum apakah artinya Bhinneka Tunggal Ika itu ? Jika
menyitir kembali pandangan Muhammad Yamin yang menyatakan, bahwa Bhinneka Tunggal
Ika" artinya hampir sama dengan seloka bahasa latin: " Ex pluribus umum= Bersatu walaupun
berbeda –beda.
     Secara hermenuetika dengan arti  yang dilontarkan Muhammad Yamin diatas secara
gramatikal mengingat akan salah satu arti dari awal kata be- ialah menunjukkan sesuatu yang
aktif, maka bersatu mengandung arti, bahwa yang kemudian bersatu itu sebelumnya adalah
terpisah satu sama lain. Kalau manusia, maka menurut pengertian ini manusia dilahirkan dan
hidup terpisah satu sama lain, kemudian "bersatu" menjadi (hidup ber-) satu.
  Menelaah apa yang menjadi arti "Bhinneka Tunggal Ika" ini, patut memperhatikan,
bahwa tiap-tiap kata yang kita pergunakan itu adalah untuk menunjukkan suatu maksud.
Kadang-kadang dalam bahasa yang kita pergunakan itu tidak kata yang tepat untuk menunjukkan
maksud kita.  Dalam tataran ini, maka kita mempergunakan suatu kata atau rangkaian kata-kata
yang artinya menurut tata bahasa mendekati apa yang kita maksudkan. Untuk keperluan itu,
maka kata atau rangkaian kata-kata itu harus diberi arti sesuai dengan tujuannya, dan tidak
menurut tata bahasa.
   Dengan demikian dengan memberikan tempat pada seloka Bhinneka Tunggal Ika dalam
lambang negara Indonesia sudah tentu dengan maksud dan tujuan yang tertentu, suatu maksud
dan tujuan kira dapat dipisahkan dari makna umum, bahkan untuk menambah atau melengkapi
maksud dan tujuan dari Lambang  keseluruhan, karena semiotika hukum, bahwa lambang itu
adalah sesuatu untuk menunjukkan sifat sesuatu.
    Berkaitan dengan itu, berarti Lambang Negara Republik Indonesia tentunya untuk
menunjukan sifat, isi jiwa negara Republik Indonesia, dan dengan begitu sifat, isi jiwa bangsa
Indonesia, lebih mendalam, bahwa bagian lambang negara itu karena ditujukan pada manusia
yang merupakan bangsa Indonesia, maka dengan demikian seloka Bhinneka Tunggal Ika yang
ditempatkan pada Lambang Negara juga dimaksudkan untuk menunjukkan/mempresentasikan
bagi isi jiwa bangsa Indonesia.
  Pertanyaanya adalah isi jiwa apakah dari Bangsa Indonesia yang hendak dipresentasikan
dengan Bhinneka Tunggal Ika ? Melihat coraknya Pancasila, yang Bhinneka Tunggal Ika
merupakan sumbernya, maka kiranya tidak jauh dari kebenaran kalau diambil kesimpulan,
bahwa isi jiwa tentang tempatnya manusia, individu dalam pergaulan hidup manusia.
Proposisi yang selaras dengan paparan diatas berdasarkan paradigma pospostivisme yang
berbasis spiritual, yaitu proposisi Ilahiah, sebagai berikut:
    "Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu, dan daripadanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah mengembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah
yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah
hubungan silahaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu".
                Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadi kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal., Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.
    Proposisi ilahiah diatas adalah selaras dengan makna hermenuetika hukum, dari seloka
Bhinneka Tunggal Ika, bahwa walaupun bangsa Indonesia itu penuh keanekaragaman secara
multi agama, multi suku, multi budaya dst tetapi sesungguhnya berasal dari satu diri, yaitu
bangsa Indonesia, dan basis  terkecil dari suatu bangsa adalah keluarga, yaitu kesatuan,
kelompok, pergaulan hidup manusia yang terdiri dari manusia yang berbeda-beda; ayah , ibu,
anak-anak, ayah dan ibu berbeda dari anak dalam umurnya, ayah dan ibu berbeda satu sama lain
dalam kelamin; pria dan wanita:pun anak-anak terdiri dari pria dan wanita; dan last but not least,
diantar sekian banyak manusia yang hidup bersatu merupakan keluarga itu, bahkan andaikata
terdapat diantaranya anak kembar, tidak ada yang sama kepribadianya. Katakanlah: "Tiap-tiap
orang berbuat menurut keadaannya masing-masing" Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa
yang lebih benar jalannya
     Secara hermenuetika hukum hal itu dapat dikemukakan, bahwa makna Bhinneka
Tunggal Ika dalam hubungannya manusia Indonesia, yaitu Persatuan dalam keragaman;
Keragaman Dalam persatuan yang disimpulkan dalam pengertian "kekeluargaan", Jadi jika benar
bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah sumber dari Pancasila, maka menurut pandangan bangsa
Indonesia atau menurut pandangan bangsa Barat yang dilukiskan dengan "Men are created free
and equal" , -Manusia dilahirkan bebas dan merdeka, yang satu terpisah dari lainnya sumber ini
ditemukan kembali dalam seluruh lembaga kehidupan ketatanegaraan, hukum , dan sebagainya,
maka kebenaran Bhinneka Tunggal Ika itu harus diketemukan kembali dalam pembacaan
Pancasila secara hermenuetika hukum.
    Menurut penulis pembacaan hermenuetika hukum  Bhinneka Tunggal Ika dalam
Perspektif Pancasila  "Berthawaf" yaitu :
   "Sila Pertama dari Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa", yang berarti bangsa Indonesia
percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa, Mengandung arti juga, seluruh alam  ciptaan-Nya ini
adalah penuh dengan keanekaragaman, melainkan merupakan satu kesatuan, terdapat hubungan
satu sama lainnya mewujudkan satu kesatuan Jadi Persatuan dalam keragaman; Keragaman
dalam persatuan dan sila ini menyinari keempat sila lainnya dari  Pancasila, oleh itu  secara
semiotika hukum Pancasila disimbolkan dengan dua perisai besar yang berisi simbolisasi  sila ke
II,III,IV,dan V dan perisai kecil berisi simbolisasi sila ke I, maka perisai kecil ditengah
merupakan inti bagi perisai besar Pancasila, artinya jika sila ke 1  hancur, maka akan berdampak
besar terhadap perisai besar yang berisi prinsip ke Indonesiaan, oleh karena itu disimbolkan
dengan warna merah putih.
    Sila Kedua dari Pancasila Kemanusian yang adil dan beradab, maknanya adalah bahwa
kemanusian yang beraraskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan yang sesungguhnya adalah manusia-manusia Indonesia yang mewujudkan sifat-
sifat  Tuhan atau dalam tataran Islam mewujudkan As Ma'ul Husna dan salah satunya adalah
Yang Maha Adil. Jadi Persatuan dalam keragaman; Keragaman dalam persatuan, artinya
walaupun manusia berbeda agamanya, kebudayaannya dan adat istiadatnya, maka sifat-sifat
Tuhan yang hendak diwujudkan adalah bersifat universal  (Logosentrime) yaitu: sifat-sifat Tuhan
Yang Maha Esa, dan menjadi tugas manusialah  mewujudkan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa
itu dalam kehidupan antar manusia Indonesia, seperti kasih sayang, keadilan, kebenaran.
     Sila Ketiga Persatuan Indonesia, adalah  negara yang  bangsanya terdiri dari Bhinneka
Tunggal Ika yang sesungguhnya adalah satu, yaitu Bangsa dan Negara Indonesia yang
berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa- negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa (pasal 29 ayat 1 UUD 1945) dan kemerdekaan negara Indonesia adalah  atas berkat rahmat  
Allah  Yang Maha Kuasa dan didorong keinginan luhur  supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas (alinea 3 Pembukaan UUD 1945), itulah Negara Indonesia yang diharapkan anak-anak
bangsanya bersatu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
 Sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/Perwakilan, maknanya, bahwa musyawarah itu memerlukan sekurang-kurang
dua orang, ialah dua orang yang berlainan pendapat, Kalau tidak berlainan pendapat maka tidak
mungkin terdapat musyawarah. Walaupun ada perbedaan tetapi  muaranya mencari kebulatan,
kesatuan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perwakilan; Jadi  Persatuan  dalam
keragaman; Keragaman dalam persatuan. Prinsip inipun dicahayai oleh  sifat-sifat Tuhan Yang
Maha Esa dalam mewujudkan sistem kerakyatan itulah Demokrasi Indonesia yang berbasiskan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Demokrasi  di negara hukum yang Teokrasi).
  Sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maknanya, bahwa apa yang
dimusyawarahkan atau yang diputuskan dalam kesepakatan oleh perwakilan rakyat Indonesia
semuanya itu adalah dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
             Dengan demikian Sila Kesatu menyinari keempat sila lainnya arti Ketuhanan Yang
Maha Esa menjadi nur bagi manusia - manusia Indonesia yang relegius, kemudian manusia –
manusia Indonesia bersatu membentuk persatuan Indonesia, dalam bentuk Negara Bangsa
Indonesia yang berbentuk Republik Indonesia dengan menjalankan Kerakyatan atau demokrasi
dalam negara hukum  versi Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan yang mewakili rakyat Indonesia, dan hasil musyawarah tersebut 
diwakili oleh elemen rakyat Indonesia itu semua ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial
bagi sekuruh rakyat Indonesia, artinya secara hermenuetika hukum  dapat  dipaparkan sebagai
berikut manusia-manusia Indonesia membentuk persatuan Indonesia dalam bentuk Negara
Republik Indonesia yang berdemokrasi Indonesia untuk menyepakati kesepakatan-kesepakatan
hukum dalam berbagai bidang kehidupan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia yang disinari dan dibentengi serta berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa 
yang secara semiotika hukum Pancasila dibaca secara berthawaf  mulai dari Sila Kesatu ke sila
Kedua, ke sila Ketiga, ke sila Keempat, ke sila Kelima dan bergilir balik sila Kesatu  ke sila
Keempat, ke sila Ketiga , ke sila Kedua, Ke sila Kelima

Anda mungkin juga menyukai