Anda di halaman 1dari 90

MAKNA DAN TATA CARA UPACARA HARI RAYA

KUNINGAN DALAM AGAMA HINDU


(Studi Kasus di Pura Agung Tirta Bhuana Bekasi)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Theologi Islam
(S. Th. I)

Oleh :

Desy Susanti
103032127685

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008
Lembar Pengesahan

Skripsi yang berjudul "Makna dan Tata Cara Upacara Kuningan Dalam
Agama Hindu" telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
18 November 2008. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S1) pada Jurusan Perbandingan
Agama.

Jakarta, 22 Desember 2008

SIDANG MUNAQASYAH

Ketua merangkap anggota Sekretaris merangkap


anggota

Dra. Hermawati. MA Maulana. MA


Nip 150227408 Nip 150293221

Anggota

Drs. Roswen Dja'far Syaiful Azmi, S.Ag


Nip 150022782 Nip 150282397

Pembimbing

Dra. Hj. Siti Nadroh, MA


Nip 150282310
MAKNA DAN TATA CARA UPACARA KUNINGAN

DALAM AGAMA HINDU

( Studi Kasus di Pura Agung Tirta Bhuana Bekasi )

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat


Untuk memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Theologi Islam

Oleh :

Desi Susanti
NIM : 103032127685

Di Bawah Bimbingan

Hj. Siti Nadroh, M.Ag


NIP : 150282310

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2008
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah demikian kata yang pertama kali terucap sebagai

tanda rasa sykur kehadirat Allah S.W.T, yang berkat rahmat-nya yang maha

luas tak kenal batas, penulis ahirnya dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Theologi Islam (S.Thi)

dalam bidang studi Perbandingan Agama Fakltas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sholawat serta salam semoga selalu terlimpahkan terhadap sayyidina

Muhammad S.A.W, beserta keluarga, para sahabaat dan para pengikutnya

yang setia dan taat hingga akhir zaman.

Skripsi ini membahas ttentang makna dan tata cara upacara haari

raya kuningan dalam agama Hindu sebagai hasil dari studi lapangan (Field

Risearch) dan pustaka pada Pura Agung Tirta Bhuana Bekasi.

Selesainya skripsi ini tentu tidak lepas dari peranan orang-orag di

sekitar penulis dan juga bimbingan serta serta bantuan banyak pihak yang

dengan penuh ketulusan memberikan kritik, saran dan inspirasi hingga

selesai dalam menulis skripsi ini. Semoga allah memberinya balasan pahla

yang setimpal kepada yang bersangkutan dan menjadikannya sebagai amal

sholeh.
Penulis ingin berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah

banyak memberi bantuan terhadap penulis baik secara moril maupun

materil dam penyelesaian skripsi ini.

Selanjutnya perkenankan penulis menghaturkanutaian terima kasih

dan penghargaan kepada:

1. Kedua orang tuaku ibunda Asnani dan ayahanda Dedy Sagita yang

tiada henti memberikan yang terbaik buat penulis, semoga Allah

senantiasa menyayangi kalilan berdua di Dunia dan Akhirat.

2. Adikku Alfian Ramadhani dan Lia Nurhayati, yang telah menjadi

penyemangat dalam penulisan skripsi ini.

3. Teruntuk calon suamiku tersayang Mahmud yang telah memberikan

penulis suport dan banyak membantu serta mendampingi penulis

wawancara dan penyemangat dalam mengerjakan skripsi.

4. Keluarga besar H. Mandor Bomin dan Hj. Salbiah beserta sanak

keluarga yang lain.

5. Tidak lupa pula untuk teman seperjuangan angkatan 2003 Jurusan

Perbandingan Agama dan Filsafat yang penulis tidak bisa sebutkan

namanya satu persatu.

6. Ibu Siti Nadroh, M.Ag., selaku pembimbing yang telah banyak

memberikan saran, kritik dan motivasi yang membangun dalam

menyusun skripsi ini.


7. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat UIN Syarif Hidayaatullah Jakarta.

8. bu Dra. Hj. Ida Rosydah, M.A., dan Bapak Maulana, M.A., Sebagai

Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayaatullah Jakarta.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yan gtelah

mendampingi, mengajar dan mendidik penulis dari awal hingga

sampai akhir studi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Bapak I Yoman Astawa sebagai Dosen STHI ( Sekolah Tinggi Agama

Hindu), Bapak I Wayan Sudarma sebagai Pemangku dan I Ketut

Astawa sebagai Pengurus Banjar yang telah memberikan izin kepada

penulis untuk melakukan penelitian di Pura Agung Tirta Bhuana

Bekasi, terima kasih untuk seluruh informasinya tentang Makna dan

Tata Cara Hari Raya Kuningan Dalam Agama Hindu.

11. Sobat-sobat terbaikku dimanapun kalian berada, baik pada tingkat

jurusan maupun berbeda jurusan tanpa keterbatasan sedikitpun.

Penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Hal yang

terpenting kalian bagiku adalah sebuah perlengkapan hidup. Kalian

adalah yang terbaik dan terindah yang aku punya.

12. Seluruh pihak yang karena kealpaan saya belum tercantum namanya

diatas, namun tak mengurangi sedikitpun rasa terima kasih dan


penghargaan saya serta yang telah banyak membantu dengan do’a,

senyuman serta dukungannya yang sangat berarti.

Penulis menyadari akan kapasitas, pengetahuan pengalaman dan

kemampuan akademik serta kemampuan teknik penulisan, maka penulis

menyadari bahwa hasil skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun,

penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan sebaik-baiknya dan mohon kritik dan sarannya

membangun dari pembaca.

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pembaca, dan semua pihak yang senantiasa haus akan ilmu pengetahuan.

Terima kasih.

Billahittaufiq Wal Hidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 18 November 2008

Desy Susanti
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................ 1

B. Pembahasan dan Perumusan Masalah ....................... 7

C. Tujuan Penulisan ....................................................... 7

D. Metode dan Pedoman Penulisan ................................ 8

E. Sistematika Penulisan ............................................... 9

BAB II PURA AGUNG TIRTA BHUANA BEKASI

A. Pengertian Pura, Fungsi dan Manfaatnya .................. 12

B. Sejarah Pura Agung Tirta Bhuana Bekasi ................. 25

C. Peran dan Fungsi Pura Agung Tirta Bhuana .............. 30

D. Tata Krama dan Tata Tertib Pura Agung Tirta

Bhuana....................................................................... 33

BAB III UPACARA KUNINGAN DALAM AGAMA HINDU

A. Pengertian Upacara Kuningan dan Hari Raya (suci) ...35

B. Sejarah Hari Raya Kuningan …....................................45

C Peran Pandita dalam Upacara ........................................50

D Tata Cara Upacara Kuningan ........................................55


BAB IV MAKNA DAN TATA CARA UPACARA HARI RAYA

KUNINGAN DI PURA AGUNG TIRTA BHUANA

BEKASI

A. Simbol dan Makna Upacara........................................ 59

B. Simbol dan Makna Upakara ...................................... 62

C. Makna dan Tujuan Upacara Hari Raya Kuningan ...... 66

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................... 70

B. Saran ......................................................................... 72

Daftar Pustaka...................................................................................... 74
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sesungguhnya, setiap agama yang ada dan berkembang di muka bumi

ini, percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Banyak hal yang mendorong

umat Hindu harus percaya terhadap adanya Tuhan itu dan berlaku secara

alami. Adanya gejala atau kejadian dan keajaiban di dunia ini, menyebabkan

kepercayaan umat Hindu semakin mantap, bahwa semuanya itu pasti ada

sebab-musababnya. Sebab yang terakhir adalah Tuhan Maha Kuasa. Tuhanlah

yang mengatur semua ini, Tuhan pula sebagai penyebab pertama segala yang

ada.1

Karena agama itu adalah kepercayaan, maka dengan agama pula umat

Hindu akan merasa mempunyai suatu pegangan iman yang menambatkan

umat Hindu untuk mendekatkan diri. Mendekatkan diri itu tiada lain adalah

Tuhan, yang merupakan sumber dari semua yang ada dan terjadi. Kepada-

Nyalah umat Hindu memasrahkan diri, karena tidak ada tempat lain dari pada-

Nya tempat umat Hindu kembali. Keimanan kepada Tuhan ini merupakan

dasar kepercayaan agama Hindu. Inilah yang menjadi pokok-pokok keimanan

agama Hindu.

Yajna, asal katanya dari Sansekerta yaitu “Yaj” (dibaca yad) yang

artinya adalah memuja, persembahan menjadikan suci atau memberikan

korban. Kata ini juga dihubungkan pula dengan konsepsi penciptaan alam

1
Drs. Anak Agung Gde Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, (Jakarta: Hanoman
Sakti, 1994), h. 19.
semesta1. Yajna adalah simbol bahasa yang mengandung pengertian sebagai

suatu proses kejadian. Didalam Rg. Weda X. 92 dikemukakan bahwa

penciptaan ini terjadi dari Yajna.3

Setiap penyelenggaraan Yajna dilakukan untuk tujuan tertentu dan

untuk memperoleh suasana kesucian lahir dan batin. Karena itu, yajna

merupakan jalan yang paling popular dan yang paling banyak dapat dilakukan

oleh orang-orang awam dalam lingkungan masyarakat Hindu. Upacara di

kalangan masyarakat Hindu dalam wujud yajna dibagi menjadi lima yang

disebut Panca Yajna, yaitu:

1. Dewa Yajna yaitu: salah satu dari ajaran Tri Rna yang disebut Dewa Rna,

artinya adalah hutang budhi kepada Ida Sang Hyang Widhi yang telah

menciptakan dunia ini serta isinya sehingga manusia biasa hidup

selayaknya. Melalui ajaran agama maka manusia bias dapat meningkatkan

kesadaran dirinya untuk mengurangi sifat awidya (kegelapan pikiran)

karena sastra agama adalah cermin dalam bertingkah laku. Dalam

Bhagawad Gita bab III Sloka 12-13 adalah:4

“ Istan bhogan hivodeva


Dasyante yajna-bhavitah,
Tair dattan apradayaibhyo
Yo bhunkte stena eva sah.”

Artinya: “Pemeliharaan dengan pengorbanan itu Dewa-dewa akan


memberikan kesenangan yang engkau inginkan, orang yang mengecap
kenikmatan pemberian ini dengan tidak membalas memberikan kepada
mereka, adalah pencuri, dengan tidak melakukan Panca Yajna.”

1
Ida Pandita Mpu Wijayananda, Makna Filosofis Upacara dan Upakara (Surabaya:
Paramita, 2004), h. 7.
3
G. Putja MA. SH, Pengantar Agama Hindu II Sraddha ( Jakarta: Mayasari, 1984), h. 76.
4
I. B Bangli, Mutiara dalam Budaya Hindu Bali (Surabaya: Paramita, 2005), h. 77-78.
“ Yajna-sistasinah santo
Mucyante sarva-ki’bisaih,
Bhunjate tetu agham papa
Ye pacanty atman-karanat.”

Artinya: “Orang-orang yang makan apa-apa yang tinggal setelah


melakukan yajna terlepas dari dosa-dosa, tetapi orang jahat yang
menyediakan makan untuk kepentingan diri sendiri, memakan dosa.”

2. Pita Yajna adalah suatu korban suci yang dilakukan oleh umat Hindu yang

ditujukan ke hadapan pitra yang berarti bapak atau ibu leluhur yang

terhormat dan sebagai pernyataan rasa terima kasih atas jasa-jasanya

melahirkan, membesarkan dan memelihara kehidupan di dunia ini,

sehingga menjadi orang yang dapat hidup mandiri. Terhadap leluhur yang

telah meninggal dilakukan upacara penyucian roh seperti: Upacara

Ngaben, adalah prosesi upacara pembakaran jenazah, Sebagaimana dalam

konsep Hindu mengenai pembakaran jenazah, upacara ini sebagai upaya

untuk mempercepat pengembalian unsur-unsur atau zat pembentuk dari

raga (wadag) atau badan kasar manusia.

3. Rsi Yajna adalah menghaturkan dunia kepada para Pandita yang telah

memimpin upacara pada waktu melakukan Yajna.

4. Bhuta Yajna adalah suatu persembahan atau tawur yang ditujukan kepada

para Bhuta Kala yaitu suatu kekuatan negatif yang timbul sebagai akibat

terjadinya hubungan yang tidak harmonis antara Bhuwana Agung

(mokrokosmos) dengan Bhuwana Alit (mikrokosmos). Dalam Bhuta

Yajna ini tercakup pula pengertian berkorban untuk memelihara alam,

tumbuh-tumbuhan dan binatang atau melestarikan lingkungan hidup.


5. Manusa Yajna adalah suatu korban suci yang ditujukan kepada manusia

sebagai bentuk pemeliharaan, pendidikan serta pensucian secara spritual

sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir hidup. Dan

dalam terjemahan Agastya Parwa dapat juga dikatakan memberikan

makanan kepada masyarakat. Dalam pengertiannya lebih luas adalah

memberikan dana dunia untuk meringankan beban penderitaan orang lain

sebagai bentuk perwujudan yajna yang dilandasi ajaran Tattwam Asi5.

Sementara, pelaksanaannya oleh masyarakat adalah melakukan upacara

siklus hidup (Dharma Kahuripan). Yaitu upacara keagamaan dalam proses

perkembangan dan peningkatan hidup secara fisik maupun mental.6

Selain yajna sebagai dasar keimanan maupun ritus dalam pembentukan

kepribadian manusia, yajna juga bisa membawa seorang penyembah lebih

dekat kepada Tuhan, karena ia akan lebih memahami kekuatan Dewa yang

dipujanya melalui pelaksanaan ritual harian.7 Contoh dari Manusa Yajna

adalah:

a. Otonan atau Wetonan, adalah upacara yang dilakukan pada hari lahir,

seperti perayaan hari ulang tahun, dilakukan 210 hari.

b. Upacara Potong Gigi, adalah upacara keagamaan yang wajib

dilaksanakan bagi pemeluknya. Upacara ini dilakukan pada pemeluk

5
Tattwam Asi adalah kata-kata dalam filsafat Hindu yang mengajarkan kesosialan yang
tanpa batas, karena diketahui bahwa “Ia adalah kamu”, saya adalah kamu dan segala makhluk
adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain
berarti pula menyakiti diri sendiri.
6
I Made Titib, Pedoman Upacara Suddhi Wadani (Denpasar: PT. Upada Sastra, 1994), h.
11.
7
Ed. Visvanathar, Tanya Jawab Hindu Bagi Pemula (Surabaya: Paramita, 2001), h. 279
yang telah beranjak remaja atau dewasa. Bagi wanita yang telah

mengalami menstruasi, dan bagi pria yang telah memasuki akil balik.

Dari lima Panca Yajna upacara Kuningan termasuk golongan yang

pertama yaitu persembahan kepada Dewa Yajna. Upacara hari raya Kuningan

selain sebagai wujud bentuk manifestasi keimanan dan ketaqwaan (sraddha

dan dharma), juga merupakan perwujudan dari tiga kerangka dasar ajaran

Hindu yang meliputi Tatwa, Susila dan Acara.

Dalam skripsi ini, penulis hanya akan membahas mengenai Makna dan

Tatwa cara Upacara Hari Raya Kuningan dalam Agama Hindu (Studi Kasus

Pura Agung Tirta Bhuana Bekasi), maka penulis dapat merumuskan

permasalahannya sebagai berikut:

B. Pembahasan dan Perumusan Masalah

Masalah ini dirumuskan dalam suatu pertanyaan utama:

1. Apa makna hari raya upacara Kuningan?

2. Bagaimana tata cara pelaksanaan upacara hari raya Kuningan?

3. Apa tujuan dari upacara yang diadakan di Pura Agung Tirta Bhuana

Bekasi?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian skripsi ini memiliki dua bagian, tujuan umum dan tujuan

khusus.

1. Tujuan Umum

a. Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam upacara Kuningan

dan prosesi upacara Kuningan yang dianggap sakral serta dilaksanakan


sesuai dengan sastra agama Hindu. Dalam Bhagawad Gita Bab VII

(tujuh) Sloka 10-13.8

b. Untuk mengetahui, mempelajari dan menggali serta mengungkapkan

nilai-nilai suci ajaran agama Hindu dalam pelaksanaan prosesi acara

dan upacara Kuningan.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk memenuhi tugas proses pembelajaran di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Jurusan Perbandingan

Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat berupa penulisan karya

ilmiah (skripsi).

b. Dapat dimanfaatkan sebagai dokumentasi almamater dan referensi

kepada semua pihak khususnya para peneliti dan pemerhati yang

sesuai dengan topik penelitian ini.

D. Metode dan pedoman Penulisan

Untuk menyajikan permasalahan ini, penulis menjelaskanya dengan

melakukan berbagai macam langkah, antara lain dengan melakukan penelitian ke

perpustakaan ( Library Research ) yaitu dengan mengumpulkan buku-buku dan

data-data tertulis yang berhubungan dengan judul skripsi ini, serta Penulis juga

mencari sumber-sumber lain, seperti internet, artikel dan makalah-makalah lainya

yang ada hubunganya dengan penulisan skripsi ini. Dan penulis juga

8
G. Pudja MA. SH. Bhagawad Gita ( Pancama Weda ) (Jakarta: Departemen Agama R.I,
1993/1994), h.174-176.
menggunakan ( Field Research) penelitian lapangan, supaya Penulis mngetahui

cara pelaksanaan atau prosesei Upacara Hari Raya Kuningan.

Selanjutnya untuk mendapatkan hasil-hasil yang obyektif Penulis

mengambil langkah-langakah penyusuan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Langkah pertama dengan mendeskripsikan gagasan yang menjadi pokok

pembahasan. Gagasan ini didapatkan dari buku-buku primer atau pun sekunder.

Langkah kedua adalah dengan menganalisa gagasan dari permasalahan tersebut.

Adapun pendekatan yang Penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dengan

metode deskriptif analisis. Metode deskriptif yaitu merupakan metode yang

dipergunakan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan atau

melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang

tampak atau apa adanya.

Sedangkan teknik analisis merupakan salah satu teknik dalam penelitian dengan

melakukan analisis-analisis dari data-data yang didapat10 dan wawancara dengan

pemuka Agama Hindu, bersama Bapak I Wayan Sudarma, Penganut agama Hindu

dan pemangku. Adapun teknik penulisan skripsi ini, Penulis mengacu pada buku

PEDOMAN PENULISAN KARYA ILMIAH ( skripsi, tesis dan disertasi ) yang

diterbitkan oleh CeQDA ( Center For Quality development and Assurance ), tahun

2007.

E. Sistematika Penulisan

Untuk dapat mewujudkan dan menghadirkan penulisan yang

sistematis. Penulis menyusun skripsi ini berdasarkan urutan-urutan tertentu

10
Alimuddin Tuwu (ed), Pengantar Metode Penelitian, ( Jakarta: UI Press, 1993), h. 85.
secara garis besar tentang hal-hal yang akan disajikan. Adapun sistematika

penulisan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan, yang berisikan : Latar belakang masalah,

batasan masalah dan perumusan masalah.

BAB II : Pura Agung Tirta Bhuana Bekasi: Pengertian pura, fungsi dan

manfaatnya, kemudian bagaimana sejarah berdirinya Pura

Agung Tirta Bhuana Bekasi,bagaimana peran dan fungsi Pura

Agung Tirta Bhuana yang ada di Bekasi ini sebagai tempat

beribadah umat agama Hindu, lalu kemudian juga bagaimana

cara Tata Krama dan Tata Tertibnya saat memasuki Pura

Agung Tirta Bhuana Bekasi .

BAB III : Upacara Kuningan dalam Agama Hindu: Pengertian Upacara

Kuningan dan Hari Raya (suci), kemudian dijelaskan

bagaimana Sejarah Hari Raya Kuningan, bagaimana Peran

Pandita dalam proses Upacara, dan terakhir bagaimana Tata

Cara Upacara Kuningan itu berlangsung.

BAB IV : Makna dan Tata Cara Upacara Hari Raya Kuningan Di

Pura Agung Tirta Bhuana Bekasi terdiri dari: Simbol dan

Makna Upacara, kemudian Simbol dan Makna Upakara lalu

terakhir bagaimana Makna dan Tujuan Upacara Hari Raya

Kuningan itu sendiri.


BAB V : Penutup yang diakhiri dengan kesimpulan dan saran-

saran.Kemudian juga penulis tidak lupa mencantumkan daftar

pustaka yang gunakan sebagai rujukkan dan beserta

lampiran-lampiran.
BAB II

PURA AGUNG TIRTA BHUANA BEKASI

A. Pengertian Pura, Fungsi Pura dan Manfaat Pura

1. Pengertian Pura

Kata “Pura” sesungguhnya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu:

kubu, istana, kerajaan, kota, puri.1 Dalam perkembangan pemakaiannya di

pulau Bali, istilah “pura” menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja

dan bangsawan.2

Tempat suci adalah tempat yang dibangun secara khusus menurut

peraturan-peraturan yang telah ditentukan secara khusus pula. Tempat suci

adalah tempat untuk melakukan persembahyangan atau tempat ibadah

agama, tempat untuk sujud dan menyembah. Tempat untuk sujud secara

lahir batin, sujud jiwa raga ke hadapan Sang Hyang Widhi ( Tuhan Yang

Maha Esa). Sujud dalam arti patuh, taat dan bakti secara tulus ikhlas. Siap

setia menjunjung serta menjalankan ajaran dan perintah-perintah-Nya serta

menjauhi semua larangan-larangan-Nya.3

Tempat suci adalah tempat untuk sembahyang, tempat untuk

menghambakan dan mendekatkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi

(Tuhan Yang Maha Pencipta). Sembahyang di Pura merupakan peringatan

kepatuhan dan ketaatan umat manusia kepada Tuhannya. Karena itu

tempat suci sebagai tempat sembahyang dan beribadat, hendaklah


1
Prof. Drs. S. wojowasito, Kamus Kawi Indonesia, (Malang: c.v 1977), h. 213.
2
http//id. Wikipedia.org/wiki/pura, di akses tanggal 7 Juni 2008.
3
Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, h. 83.
disucikan dan dipelihara serta dilestarikan kesuciannya. Penganut maupun

yang datang tidak boleh uang kotoran ke dalam tempat suci, tidak boleh

masuk ke tempat suci ketika dalam keadaan cuntaka atau sebel, tidak

boleh berbuat dan berkata-kata yang tidak baik di tempat suci dan

hendaknya mensucikan diri secara lahir batin sebelum dating ke tempat

suci untuk beribadah.

Tempat suci bagi umat Hindu dari sekian banyak untuk beribadah

adalah Pura, sebenarnya istilah Pura berasal dari kata “Pur” yang artinya

Kota, benteng, atau kota yang berbenteng, dan juga berarti pada suatu hari,

pada waktu yang lalu, dan juga bisa berarti puas dan terisi4. Pura berarti

suatu tempat khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi oleh

tembok atau pagar untuk memisahkan dengan dunia sekitarnya yang

dianggap tidak suci.

Dalam istilah lain, Pura adalah tempat suci Hindu, tempat

melaksanakan persembahyangan. Pura berarti pula tempat Ayodhya Pura,

Astina Pura. Pura disebut juga dengan istilah kahyangan, tempat pemujaan

Hyang Widhi.5

Sebagaimana disebutkan dalam Satra Agama, maka fungsi tempat

suci (Pura) itu adalah sebagai berikut :

a. Pura adalah tempat beribadat, tempat manusia mendekatkan dirinya

kepada Sang Hyang Widhi. Pura adalah tempat manusia mengabdi dan

4
Kamus Sansekerta Indonesia, Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Pemerintahan
Daerah Tingkat Bali, h. 249-251.
5
Panitia Tujuh Belas, Pedoman Sederhana Pembangunan (Jakarta: Metra Sari, 1986), h.
164.
berbakti kepada Sang Hyang Widhi, tempat memohon dan bersujud

kehadapan Tuhan Yang Maha Pencipta. Sebagaimana dijelaskan pada

kutipan Isana Sivagurudeva paddhati, lll.12.16.

Pra Sadam yacchiva sakiyamakan


Tacchakiyataih Sya dvisudhadyaistu tatvaih
Salui murtih khalu devalayakhyetyasmad
Dhyega parathamam cabhipujya.

Artinya :
Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Siva, sakti,
kekuatan atau prinsip dasar dan segala manifestasi atau wujudnya
dari elemen hakekat yang pokok, Parthivi sampai kepada Sakti-Nya,
wujud konkrit (materi) Sang Hyang Siva merupakan Sthana Sang
Hyang Widhi. Hendaknya seseorang melakukan perenungan dan
memujan-Nya.6

Di Puralah tempat manusia mempersatukan dirinya kepada

Tuhannya, tempat memohon pertolongan dan tuntunan dalam

hidupnya ke arah jalan yang benar serta tempat memohon ampun atas

segala dosa yang pernah dilakukan selama hidupnya. Di kala manusia

suka ria, dia datang ke Pura untuk mengucapkan rasa syukur atas

segala anugerah yang dilimpahkan oleh Sang Hyang Widhi. Demikian

pula pada saat dia kecewa, mengalami penderitaan dan kepanikan

hidup, manusia pun datang ke Pura untuk menenangkan jiwanya

mohon petunjuk kehadapan Sang Hyang Widhi agar diberikan

kesabaran dan menerima segala cobaan hidup yang ia hadapi. Pura

adalah tempat untuk memuja dan mengagungkan kesabaran Sang

6
I. Made Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita,
2003), h. 89-90
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) dengan berbagai manifestasi-

Nya untuk mendapatkan anugerah-Nya.

b. Pura juga merupakan tempat mempelai mengikrarkan sumpahnya di

atas persaksian Sang Hyang Widhi untuk memasuki hidup baru,

mereka berjanji tetap setia sehidup-semati bersama dalam suka

maupun duka untuk membawa rumah tangga yang bahagia sesuai

dengan tuntunan agama.

c. Tempat untuk memuja roh-roh suci (yang dipandang suci), baik roh

suci leluhur atau roh para Rsi maupun Raja-raja yang dianggap telah

menjadi Dewa-Dewi.

d. Pura adalah tempat para pejuang untuk memohon restu ke hadapan

Hyang Widhi dalam memperjuangkan dan membela tanah airnya dari

para penjajah sehingga membawa kemenangan yang gilang-gemilang.

e. Di samping itu Pura merupakan tempat mengadakan kegiatan-kegiatan

social dan pendidikan dalam hubungan keagamaan, baik pendidikan

watak, pendidikan kearah rasa persaudaraan, pendidikan kearah jiwa

demokrasi dan pendidikan kearah prikemanusiaan.7

Syarat-syarat Pembuatan Tempat Suci (Pura)

Pura sebagai tempat suci yang dikramatkan oleh umat Hindu, pada

waktu permulaan pendiriannya diperlukan mengikuti proses ketentuan-

ketentuan, sebagai berikut:

7
Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, h. 85-86.
a. Masyarakat setempat telah mengadakan pemufakatan untuk

mendirikan sebuah Pura, maka maksud itu disampaikan kepada

Pendeta (Pandita), agar beliau memilihkan tanah (tempat) yang cocok

untuk bisa dibangun sebuah Pura oleh pendeta (pandita) didasarkan

oleh yoga.

b. Setelah tempat diketemukan, maka mulailah pekerjaan mengukur

tanah dengan mempergunakan pedoman lontar-lontar seperti Asta

Kosala Kosali, yaitu lontar yang memuat perihal seni bangunan.

Setelah tanah didapatkan dan diukur, selanjutnya diadakan upacara

Pamarisudha Tanah (pembersihan tanah). Dalam hal ini disertakan

dengan sesajen-sesajen antara lain daksina dan sodaan, yang ditujukan

kepada Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewi Pertiwi

untuk merelakan keping tanah di bawah kekuasaan-Nya. Uraian

mengenai hal ini lebih rinci diuraikan dalam lontar Wiswakarma

artinya salah satu pustaka suci yang tertua setelah kitab suci Weda

diwahyukan. Isi kitab suci lontar berisi petikan-petikan (inti sari) dari

kitab suci Weda yang ditulis oleh para Rsi-rsi zaman dahulu khususnya

yang ada dibumi Nusantara. Untuk mempermudah menterjemahkan isi

kitab suci Weda kepada penganutnya dan umumnya isi suci lontar

kebanyakan tentang Upakara dan Upacara, serta nyanyian suci atau

lagu suci yang bersifat untuk mengagungkan nama Tuhan. Karena

keterbatasan untuk bahasa Sansekerta, maka kitab lontar umumnya

menggunakan huruf Jawa kuno dan huruf Bali. Sedangkan


Bhamukrtih artinya salah satu manifestasi Tuhan yaitu Dewa Brahman

yang diyakini oleh umat Hindu sebagai Dewa pencipta alam semesta

berserta isinya Kerti artinya tulisan yang bisa bermanfaat bagi umat

manusia.

c. Setelah upacara Pamarisudha Tanah selesai, dilanjutkan dengan

upacara “Nasarin” (peletakkan batu pertama). Upacara ini

sebagaimana disebutkan dalam lontar Catur Winasasari, maka

pelaksanaannya disertai dengan mantram Pertiwi Astawa, yang

bertujuannya memohon kerelaan Ibu Pertiwi. Upacara Nasarin ini

biasanya dilakukan pada hari Purnama (bulan penuh) atau pada hari

Tilem (bulan mati). Hal ini disebabkan karena pada hari Purnama dan

Tilem itu merupakan hari pensucian para Dewa. Upacara ini disertai

dengan upakara (banten) burat wangi dan lenga wangi (sejenis canang

sari) yang ditanam pada dasar dari pelinggih-pelinggih tersebut

disertakan rerajahan “Bedawang Nala” artinya umat Hindu

mempergunakan sebagai simbol penguat Padmasana yang tempatnya

diatas pondasi yang melambangkan seekor kura-kura sebagai

penyeimbang, dan dua ekor naga sebagai pengikat yaitu Naga Taksaka

dan Naga Basuki.pada sebuah batu bata.

d. Setelah upacara Nasarin (perletakan batu pertama) selesai, maka

dilanjutkan dengan penentuan bahan-bahan bangunan yang akan

dipergunakan untuk membangun atau mendirikan pelinggih-pelinggih

pada tempat suci tersebut. Misalnya penentuan dan pemilihan kayu


dibedakan atas beberapa macam menurut kualitas dan keadaan masing-

masing, yaitu ada kayu prabhu, kayu arya dan kayu patih. Yang

disebut kayu prabhu, misalnya kayu ketewel dan kayu cendana. Kayu

arya, misalnya kayu sentul dan kayu jati, sedangkan kayu cempaka

disebut kayu patih. Demikian pula mengenai penggunaan atap dari

tempat suci itu, sehingga cukup tebal. penggunaan ijuk ini

dimaksudkan, disamping untuk mendapat rasa keangkeran, juga dari

segi kekuatan, ijuk itu lebih tahan terhadap pengaruh-pengaruh iklim.

e. Selanjutnya, apabila bangunan-bangunan atau pelinggih seluruhnya

telah selesai dibangun, maka menyusulah fase penyucian. Fase

pertama disebut dengan “Pamelaspas Alit”, yang maksudnya

penyucian bangunan-bangunan itu dari bekas-bekas keletehan

(kekotoran) yang mungkin dibawa atau disebabkan oleh para pekerja

pada saat membuat bangunan itu. Kemudian fase selanjutnya,

dilakukan pensucian ini disebut dengan “Pamelaspas Agung” (Upacara

Pura atau proses pensaktalan suci).

Jenis-jenis Tempat Suci

Jenis-jenis tempat suci berdasarkan atas karakternya, dapat dibagi

menjadi 4 (empat) bagian besar yaitu;

a. Pura Keluarga

Pura Keluarga ini juga disebutkan Sanggah, Pura Dadya, Pura

Kawitan, Pura Pedharman, Paibon, Panti dan lain sebagainya.

Kelompok Pura ini didukung oleh segolongan orang-orang yang


mempunyai hubungan darah (genealogis). Oleh karena itu pura-pura

ini ada di lingkungan rumah tangga. Jika pendukungnya ada di dalam

lingkup yang lebih kecil disebut dengan Sanggah atau pamerajan, dan

apabila keluarga bersangkutan telah bertambah besar dan meluas,

maka didirikanlah pamerajan atau sejenisnya. Yang dipuja (disembah)

di dalam Pura Keluarga ini adalah Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha

Esa) beserta segala manifestasinya termasuk Dewa dan Pitara (roh)

yang dianggap telah suci. Pelinggih-pelinggih pokok yang ada di Pura

Keluarga ini, antara lain adalah Kemulan, yaitu pelinggih yang

beruang tiga merupakan tempat pemujaan Tri Murti dan Dewa Pitara,

Padmasana, Meru, Gedong-gedong Pesimpangan, Bale Penyimpangan,

Bale Piyasan dan Bale Panggung.

b. Pura Desa

Pura Desa ini disebut pula Pura Khayangan Tiga atau Kahyangan

Desa, yaitu Pura tempat pemuja Hyang Widhi dalam manifestasinya

sebagai Tri Wisesa dan Tri Murti. Pura ini terdiri Pura Desa (Balai

Agung) ialah tempat pemujaan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa)

dalam manifestasinya sebagai Brahman yaitu pencipta.Pura Puseh atau

Pura Segar ialah tempat pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-

Nya sebagaui Wisnu yaitu Pemelihara, dan Pura Dalem ialah tempat

pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa yang berfungsi

sebagai pemralina. Khayangan Tiga atau Khayangan Desa ini


didukung dan disungsung oleh tiap-tiap desa di tempat mana pura (

khayangan ) itu didirikan.

c. Pura (Khayangan Jagat)


Khayangan Jagat ini juga disebut dengan Pura Umum, artinya adalah suatu Pura yang didukung dan

disungsung oleh umat Hindu yang ada di seluruh Indonesia pada khususnya dan seluruh Umat Hindu

umumnya. Di Indonesia, Pura yang paling besar yang tergolong Khayangan Jagat ini adalah Pura Besakih.

Di samping Pura Besakih, tempat suci yang juga tergolong Khayngan Jagat, sebagaimana disebutkan

dalam lontar-lontar Bali adalah Pura Batur atau Ulun Danu sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam

manifestasinya sebagai Wisnu, Pura Andakasa adalah tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasinya

sebagai Brahman, Pura Lempuyang adalah tempat memuja Hyang Widhi daalm manifestasinya sebagai

Iswara, Pura Goa Lawah tempat memuja Maheswara, Pura Uluwatu adalah tempat memuja Rudra, Pura

Watukaru tempat Mahadewa dan Pura Bukit Pangelengan atau Gunung Mangu adalah tempat Sangkara.

Sedangkan Pura Besakih adalah tempat memuja Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) dalam

manifestasinya sebagai Siwa dan sambhu. Semua Pura Khayangan Jagat ini terletak di seluruh pemjuru

mata angin pulau Bali, yang berfungsi sebagai pelambang untuk menjaga keseimbangan alam semesta.

Semua Dewa yang beristana di tiap-tiap Pura Khayangan Tiga ini adalah personifikasi atau perwujudan

Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai Dewa Nawasangha.

d. Pura yang bersifat Fungsional

Yang dimaksud dengna Pura Fungsional di sini adalah di mana pemuja, pendukung atau penyungsung dari

Pura atau tempat suci tersebut mempunyai suatu kepentingan yang sama dalam hal-hal tertentu. Tempat

suci yang termasuk golongan Pura Fungsional ini adalah Pura Subak (Ulun Suwi atau Ulun Carik) dan lain

sebagainya. Pura Subak disungsung dan didukung oleh para petani sebagai anggota dari suatu subak,

mereka mempunyai kepentingan yang sama terutama dalam mendapatkan air untuk sawh-sawah mereka,

maka bersama-samalah mereka mendirikan Pura. Yang dipuja di Pura Subak ini adalah Hyang Widhi

dalam manifestasinya sebagai Wisnu dengan saktinya Dewi Sri memberikan dan yang menjadi sebab dari

kesuburan itu.

2. Fungsi Pura

Di tinjau dari perkembangannya serta status dan fungsinya, secara

garis besar Pura dapat di bagi dua bagian, yaitu:


a. Pura sebagai penyungsung umum, yaitu tempat sembahyang untuk

memuliakan dan memuja ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang

Maha Esa).

b. Pura sebagai penyungsung khusus, yaitu sebagai tempat suci untuk

memuliakan dan memuja arwah suci.8

Berikut ini pengelompokkan Pura di Bali, berdasarkan Sraddha atau Tatwa agama Hindu yang

berpokok pangkal pada konsepsi ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifetasi atau prabhawa-Nya

dan konsepsi Atman Manunggal dengan Brahman (Atmasiddhadevata) menyebabkan timbulnya pemujaan pada

roh suci leluhur.

1. Berdasarkan fungsinya pura itu di golongkan menjadi 2 kelompok:

a. Pura Jagat; Tempat memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala

Prabhawa/ manifestasi-Nya.

b. Pura Kawitan; Tempat memuja atma sidha dwata atau roh suci

leluhur.9

2. Berdasarkan atas Karakterisasi terbagi 4 kelompok:

a. Pura Kahyangan Jagat, yaitu pura tempat memuja Sang Hyang

Widhi dalam aneka prabhawa-Nya misalnya pura Sad Kahyangan

dan pura Kahyangan Jagat.

b. Pura Kahyangan Desa (teritorial) yaitu pura yang disunggung

(dipuja dan dipelihara) oleh desa pakraman atau desa Adat.

c. Pura Swagina (pura fungsional) yaitu pura yang penyungsungnya

terikat oleh ikatan swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi

8
Ketut Soebandi, Sejarah Perkembangan Pura-pura di Bali, (Departemen Cv. Kayumas,
1983), Sebuah Pengantar.
9
Ngurah, Buku Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, h. 178.
sama dalam mata pencarian seperti: pura subak, melanting dan

sebagainya.

d. Pura Kawitan yaitu pura yang penyungsungnya ditentukan oleh

ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis)

seperti:sanggah, pamarajan, ibu, dadya, batur, panataran,

padharman, dan yang sejenisnya.10

Selain pura yang mempunyai fungsi seperti diatas, bukan tidak

mungkin terdapat pula pura yang berfungsi gandha yaitu memuja Hyang

Widhi atau dewa juga untuk memuja bhattara. Hal itu dimungkinkan

mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah melalui upacara penyucian,

roh tersebut telah mencapai tingkatan Siddhadevata (telah memasuki alam

devata) dan disebut bhattara (roh suci leluhur).

Fungsi Pura dapat dirinci berdasarkan ciri (kekhasan) antara lain

dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai

jenis ikatan seperti: ikatan sosial, politik, ekonomis, geneologis (garis

kelahiran). Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat

tinggal (teritorial), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang

Guru). Ikatan politik antara lain berdasarkan kepentingan penguasa dalam

usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan

ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata

pencaharian hidup seperti bertani, nelayan, berdagang, dan lain-lainnya.

10
Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 100.
Ikatan geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan

lebih lanjut.

3. Manfaat Pura

Sedangkan manfaat pura bagi umat Hindu adalah manfaatnya sangat

besar untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti

melaksanakan upacara-upacara besar misalnya Upacara Kuningan,

Galungan, Siwaratri, Saraswati dan sebagainya. Juga untuk tempat

perkumpulan umat agam Hindu untuk mengadakan rapat dan makan

bersama.

B. Sejarah Pura Agung Tirta Bhuana Bekasi

Berdasarkan penjelasan tentang makna dan kegunaan Pura di atas,

selanjutnya Penulis akan menguraikan tentang Sejarah Pura Agung Tirta

Bhuana Bekasi berdasarkan arsip atau diktat Bapak I Made, ketua Banjar. Pura

ini dibangun melalui beberapa tahapan, yaitu:

1. Latar Belakang Pura Agung Tirta Bhuana


Kehadiran Umat Hindu di Bekasi mulai terorganisasi pada tahun 1984, dengan dibentuknya Banjar

serta dibarengi pembentukkan Parisadha Hindu Dharma Indonesia di Kabupaten Bekasi. Sampai saat ini Umat

Hindu di Bekasi berjumlah sekitar 533 kepala keluarga yang dikelompokan menjadi 3 (tiga) Banjar yaitu Banjar

Seroja, Banjar Kodya Bekasi dan Banjar Hita Karma Pondok Gede terdiri dari 19 (sembilan belas) Sub Banjar. 11

Banjar suka duka Hindu Bekasi itu ada Tiga (3) Banjar yaitu:

a. Banjar Proja.

b. Banjar Bekasi.

c. Hita Karma Pondok Gede.

11
Panitia Pembangunan Pura Agung Tirta Bhuana, Sejarah Pendiri Tempat Ibadah,
(Yayasan Tirta Bhuana Bekasi, 1988), h. 23.
Terbagi lagi menjadi 19 sub Banjar yaitu:

1. Pekayon.

2. Bintara.

3. Sub Banjar Cibening.

4. Harapan Jaya.

5. Pondok Ungu Permai.

6. Narogong.

7. Marga Hayu.

8. Duren Jaya.

9. Tambu.

10. Cikarang Baru.

11. Cikarang.

12. Pondok Gede.

13. Seroja.

14. Jaya Permai.

15. Perumnas.

16. Pekayon Jaya.

17. Mustika Jaya.

18. Pondok Melati.

19. Jati Asih.

Banyak kendala yang dihadapi oleh umat Hindu di Bekasi untuk

melakukan persembahyangan ke pura yang ada di Jakarta terutama sekali

transportasinya bagi keluarga yang ekonominya masih pas-pasan.

Kegiatan pembinaan Umat Hindu Bekasi dilakukan melalui usaha-usaha

sederhana seperti arisan dibarengi dengan ceramah-ceramah agama dan

dharma santi. Dari kegiatan dan pertemuan tersebut makin terasa

pentingnya bagi Umat Hindu di kabupaten Bekasi untuk memiliki Pura

sebagai tempat persembahyangan bersama dan sekaligus sebagai tempat

pembinaan Umat. Dengan kehadiran Pura di Bekasi akan memudahkan

melakukan mobilisasi diri dalam melakukan Yadnya yang dibutuhkan


dalam mengisi kehidupan. Usaha yang dilakukan untuk mewujudkan Pura

ini antara lain dengan melakukan permohonan tanah kepada Pemda

Kabupaten Bekasi, kepada developer perumahan dan bahkan juga telah

diusahakan dengan membeli tanah, namun tidak terwujud karena saat itu

ada kendala lingkungan.

Pura Agung Tirta Bhuana secara administratif masuk ke dalam

wilayah Kota Madya Bekasi propinsi Jawa Barat. Pura dengan luas +/-

2512 meter persegi disucikan (Ngenteg Linggih) pada hari Saniscara

(Sabtu), Kliwon wuku Landep, tanggal 23 Maret 1991, yang dipuput oleh

Ida Pedanda Gde Putu Singarsa dan diresmikan oleh Bupati Tk. II

Kabupaten Bekasi, Bapak H. Suko Martono. Sehingga Pujawalinya

diperingati pada setiap Tumpek Landep (210 hari sekali) Pura Agung Tirta

Bhuana terletak di Jl. Jati Luhur raya No. 1, Kelurahan Jaka Sampurna,

Kecamatan Bekasi Barat, telpon: 021-8840965. Sejak berdiri dan ngenteg

linggih (diresmikan) tahun 1991, sapai saat ini diempon oleh tiga Banjar

yaitu: banjar Suka Duka Kota Bekasi, banjar Pondok Gede dan banjar

Seroja. Banjar Suka Duka Kota Bekasi terdiri dari duabelas tempek

meliputi: Cibening, Jaka Permai, Pekayon, Bintara, Harapan Jaya, Pondok

Ungu, Duren Jaya, Perumnas, Narogong, Tambun, Cikarang, dan Banjar

Seroja. Sampai saat ini jumlah umat Hindu yang berdomisili di wilayah

Kota Bekasi berjumlah 50.000 jiwa (Sumber: Data statistik Penyuluh

Agama Hindu, Departemen Agama Kantor Kota Bekasi, bulan September

2008), Namun yang terdafatar sebagai anggota tempek dan Banjar Suka
Duka Kota bekasi sebanyak 700 KK dan 200 KK terdaftar di banjar

Pondok Gede ( sumber : data statistik banjar Suka Duka Kota bekasi

periode 2008). Dan sampai saat ini memiliki siswa Pasraman sebanyak

900 siswa dari SD hingga SMU.

Pura Agung Tirta Bhuana termasuk Pura yang tergolong Kahyangan

Jagat, karena hampir semua umat Hindu menggunakannya sebagai tempat

untuk melaksanakan kegiatan sosial keagamaan. Pura yang terbagi

menjadi tiga mandala memungkinkan umat untuk melaksanakan kegiatan

keagamaan dengan leluasa, ditambah akses untuk mencapainya relatif

cukup mudah.

Sejak Ngenteg Linggih untuk pertama kalinya, hingga saat ini setiap

pelaksanaan upacara Pujawali selalu menggunakan Daksina Linggih

sebagai sarana yang paling pokok, karena Daksina Linggihlah yang

menjadi sentral dalam setiap upacara Pujawali, karena ada keyakinan

bahwa Daksina Linggih itulah perwujudan tuhan dengan Ista DevataNya.

2. Proses Bangunan

Pada awal tahun 1988 berdasarkan informasi dan pendekatan yang

dilakukan oleh beberapa umat yang saat itu bekerja di Departemen PU,

Ketua PHDI Kabupaten Bekasi mengajukan surat permohonan Kepada

Bapak Direktur Jendral Pengairan Dep. Pekerjaan Umum dengan surat

Nomor 006/ PHDI/ II/ 1988, tanggal 25 Februari 1988, permohonan umat

Hindu Bekasi, diperkenankan untuk menggunakan tanah milik proyek

Serba Guna Jatiluhur yang terletak di jalan Jatiluhur Raya no.1 Kelurahan
Jakasempurna, Bekasi Selatan sebagai lokasi Pura. Permohonan ini juga

didukung oleh Kepala Proyek Serbaguna Jatiluhur dengan surat Nomor.

UM.02.01.01-A1.01.10 / 159, tanggal 6 April 1988. direktur Jendral

Pengairan Dep. PU menyetujui permohonan tersebut dengan surat

persetujuan Nomor. 04.04. Da / 508 tanggal 9 Mei 1988 dan dengan surat

keputusan Nomor HK. 04.04.Da / 973 tanggal 7 Oktober 1988. Tanah

tersebut diberikan dengan hak pinjam pakai (Surat Perjanjian ditanda

tangani hari Selasa, Tanggal 1 Agustus 1989). Penghibahan tanah dengan

status yang lebih kuat untuk menjamin kepastian hukum telah selesai

dengan ditertibkan SK Sekjen. Dep. PU No. 71 / KPTS / SJ-2000, tanggal

28 Maret 2000 dan BA serah terima tanah No. 002 / BA / AS-2000,

tanggal 31 Maret 2000. saat ini perolehan sertifikat Hak Milik sedang

dalam proses.

3. Perjanjian

Sebagai persyaratan untuk membangun telah diperoleh ijin

rekomendasi dari Pemda Bekasi dengan surat Nomor. 454.2 / 1465 /

Kesra, tanggal 1 Agustus 1989, dan ijin mendirikan bangunan Nomor. 946

/ 503 / I-B / DPUK.

a. Untuk melaksanakan pembangunan fisik maka dibentuk panitia

pembangunan sesuai SK.PHDI Kab. Bekasi No. 001 / PHDI-BKS /

KEP / V / 88, tanggal 1 Mei 1988.

b. Dana pembangunan Pura berasal dari Dana Punia Umat dan usaha-

usaha lain yang dulakukan oleh panitia pembangunan.


c. Gambar atau tata bangunan utama disesuaikan dengan luas dan letak

tanah serta telah mengikuti ukuran atau sikut bangunan ritual yang

diberikan oleh Pedanda. Luas tanah Pura Bekasi keseluruhan 2.500m2.

d. Peletakan batu pertama (pependeman atau pedagingan dasar

Padmasana) dilakukan pada tanggal 22 Maret 1989 oleh Ida Pedanda

Istri Kania Rawamangun.

e. Pemelaspas Padmasana tanggal 23 Maret 1991 oleh Ida Pedanda Gede

Putu Singarsa Cimahi Jawa Barat, dihadiri oleh Bupati Tk. II Bekasi

(Bapak H. Suko Martono).

f. Pemelaspas Candi Agung dan Balai Pewedan tanggal 10 Juni 1992

oleh Pedanda Gede Putra Sidemen.

g. Pembangunan Wantilan di jaba luar tanggal 6 Januari 1998 sampai saat

ini masih berlangsung.

h. Pembangunan Anglurah mulai pada tanggal 8 Juni 1989 dan selesai

pada tanggal 8 Juli 1990.

4. Nama Pura

Pemilihan nama Pura yaitu “Pura Agung Tirta Bhuana”

berdasarkan pertimbangan untuk menghormati Kabupaten Bekasi sebagai

lokasi adalah bumi atau daerah yang banyak air sedangkan Ditjen

Pengairan sebagai pemberi. Sertifikat Tanah Sertifikat Hak Milik tanah

seluas 2.512m2.
Pura Agung adalah tempat suci yang besar secara spiritual. Tirta

yang artinys air kehidupan mengandung kesucian, sedangkan Bhuana

yang artinya dunia yang luas (jagat raya).

C. Peran dan Fungsi Pura Agung Tirta Bhuana

Ada banyak kegiatan yang dilakukan oleh Pura Agung Tirta Bhuana,

baik yang dilakukan secara rutin maupun non-rutin atau berkala atau

insidental.

1. Kegiatan Rutin

a. Kegiatan ritual atau upacara pada setiap hari suci Hindu, seperti

Saraswati, Galungan, Kuningan, Purnama Tilem, Tumpek, dan lainnya

oleh otorita, Banjar dan Tumpek yang menggunakan seluruh bangunan

yang ada.

b. Pendidikan Sekolah Agama Hindu oleh Pasraman Tirta Bhuana pada

setiap hari Minggu pagi.

c. Kegiatan arisan umat Hindu di pengempon pura untuk hari Minggu

d. Kegiatan pertemuan atau arisan oleh Paguyuban Umat Hindu, seperti

PWSHD (Persatuan Wanita Suka Duka Hindu Dharma) dan WHDI

(Wanita Hindu Dharma Indonesia) pada hari Minggu ketiga.

e. Kegiatan Karawitan atau gamelan dari Umat Hindu atau PWSHD

(Persatuan Wanita Suka Duka Hindu Dharma) untuk setiap hari Sabtu.

f. Kegiatan seni dan budaya, seperti sanggar tari Saraswati setiap hari

Rabu, Sabtu dan Minggu.


g. Kegiatan Pesanthian berupa nyanyian Suci Hindu oleh kelompok

pesanthian di Bale Gong, di Madya Mandala.

2. Kegiatan Non-rutin atau berkala atau insidental

Jadwal kegiatan non-rutin dapat dilaksanakan di bangunan tertentu,

misalnya ruang sekretariat Parisada, Sekretariat Pemuda Bekasi Bagasasi

Pura Agung Tirta Bhuana, kantin, sekretariat pasraman, dan lain

sebagainya, yaitu pada setiap hari Minggu (waktu dan ruang tertentu) dan

hari Minggu pertama sampai Minggu terakhir. Jenis aktivitas yang telah

dilaksanakan oleh berbagai unsur organisasi atau paguyuban atau lembaga

Hindu dan non-Hindu (formal Ditjen Bimas Hindu, dan Departemen

Agama: Kanwil Departemen Agama, Pembimas Hindu DKI Jakarta, PHDI

(Persatuan Hindu Dharma Indonesia) Pusat, DKI dan wilayah, STHD

(Sekolah Tinggi Hindu Dharma) atau Banjar DKI (PWSHD (Persatuan

Wanita Suka Duka Hindu Dharma) atau KPSHD (Kumpulan Suka Duka

Hindu Dharma) dan wilayah MABES ABRI, PLN, TELKOM, dan

lembaga lainnya dan non-formal: Paguyuban Umat Hindu) yang

seluruhnya terkait dengan acara-acara umat dan agama Hindu, seperti :

a. Ceramah atau diskusi atau sarasehan (dharma wacana atau dharma

tula) yang bersifat lokal, nasional bahkan internasional.

b. Tirta Yajna (Kunjungan ke Pura-pura lainnya).

c. Kegiatan seni dan budaya Hindu atau Bali dari DKI Jakarta, Bali dan

daerah lainnya.

d. Kegiatan untuk shooting yang hanya boleh di area Kanista Mandala.


e. Kegiatan yang mendukung pariwisata Kabupaten Bekasi.

f. Kegiatan upacara manusia yadnya sejak dalam kandungan sampai

akhir hidup.

g. Kegiatan Upacara Butha Yadnya

h. Kegiatan-kegiatan Sosial seperti; pengobatan geratis, donor darah cek

kesehatan, dan lain-lainnya.

D. TATA KRAMA DAN TATA TERTIB

Tata krama dalam upacara Kuningan adalah ada beberapa tata krama

dalam melaksanakan upacara Hari Raya Kuningan:

a. Mempersiapkan diri dengan kesucian lahir dan batin.

b. Mempersiapkan tempat upacara dimana dilaksanakan persembahyangan.

c. Menata sesaji yang akan dipersembahkan kepada Tuhan atau Brahman

sesuai pada tempatnya.

d. Pelaksanaan upacara yang dilakukan sesuai aturan yang berlaku seperti,

melaksanakan upacara Hari Raya Kuningan harus dilaksanakan sebelum

jam 12.00 WIB siang.

Sedangkan tata tertib pelaksanaan upacara Hari Raya Kuningan

adalah:

1. Umat Hindu yang akan melaksanakan upacara persembahyangan

diwajibkan memakai pakaian rapi dan bersih.

2. Umat Hindu yang mempunyai halangan (cantaka) terutama kepada

wanitanya tidak diperkenankan mengikuti upacara persembahyangan

di Pura dimana diadakan persembahyangan.


3. Bagi Umat Hindu waktu persembahyangan Hari Raya Kuningan jika

mempunyai kedukaan atau kematian pada keluarganya dianggap

Cantaka. Tidak boleh mengikuti Upacara Hari Raya Kuningan.

4. Bagi keluarga yang mempunyai Pcatsa (bayi) yang belum berumur 3

bulan (42 hari) bayi tersebut belum boleh dibawa untuk melaksanakan

persembahyangan Upacara Hari Raya Kuningan bersama Ibunya,

tetapi Bapaknya boleh mengikuti persembahyangan.

Susila merupakan kerangka kedua dari Ajaran Agama Hindu.

Perkataan susila berasal dari kata “su” yang berarti baik, indah dan bagus.

Sedangkan “sila” berarti tingkah laku atau laksana. Jadi, susila berarti tingkah

laku atau tata laksana yang baik atau bagus. Secara garis besar susila dibagi

menjadi dua bagian, yaitu swadharma dan paradharma. Swadharma berarti

sadar dengan tugas dan kewajiban sendiri, tugas dan kewajiban yang dipilih

sendiri sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Disebutkan pula dalam

Bhagavadgita III. 35 sebagai berikut:

“Sreyan sva-dharmo vigunah para-dharmat sv-anusthitat, sva-


dharme nidhanam sreyah para-dharmo bhayavahah”.

Artinya:
Lebih baik mengajarkan kewajiban sendiri walaupun tidak sempurna
dari pada dharmanya orang lain yang dilakukan dengan baik lebih baik mati
dalam tugas sendiri dari pada dalam tugas orang lain yang sangat
berbahaya.

Selanjutnya, paradharma berarti tugas kewajiban orang lain, kita harus

sadar dan mengerti tentang tugas orang lain, kita harus sadar mengapa

seseorang memilih pekerjaan itu. Oleh karenanya kita harus dapat menghargai

sewajarnya tugas sesama kita, sehingga tidak menimbulkan iri hati bila orang
lain sukses dalam bidangnya, dan sebaliknya kita pun harus bahagia atas

kesuksesan orang lain tersebut.


BAB III

UPACARA KUNINGAN DALAM AGAMA HINDU

Pengertian Upacara dan Hari Raya (suci)

1. Pengertian Upacara

Kata “Upacara” sesungguhnya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu:

perhiasan, hadiah, cara berkata upacara adalah umupacara yang artinya

berbicara dengan hormat, inupacara yang artinya dihiasi, sopacara yang

artinya dengan segala upacara, dan dengan segala hormat.1

Upacara adalah proses untuk mendekatkan diri dengan Brahman

agama selalu disertai dengan Upakara (sarana yang dipakai sebagai

media pemujaan Brahman), baik dalam wujud kecil (sederhana atau

kanistama), menengah (madhyama) maupun besar (mewah atau uttama),

hendaknya dibarengi dengan memahami akan tujuan upacara tersebut

dan memahami makna upakaranya. Oleh karena itu upacara dan upakara

harus mengacu kepada sastra-sastra agama, bukan hanya dilandasi

dengan ”Gugon Tuwon (upacara yang diwarisi secara turun-temurun),

Anak Mula Keto(memang demikian adanya)”.

Upacara yang artinya simbol perasaan seseorang dalam

memanifestasikan dirinya untuk mendekatkan kepada yang dipuja dengan

jalan yajna merupakan sebuah bentuk metode ritual yang selalu dilakukan

oleh umat Hindu (dan semua umat beragama secara umumnya), dengan

1
S. wojowasito, Kamus Kawi Indonesia ( Jakarta: Bali Pustaka, 1988), h. 286.
mantap dalam beragama. Yajna, asal katnya dari Sansekerta yaitu “Yaj”

(dibaca yad) yang artinya adalah memuja, persembahan2 menjadikan suci

atau memberikan korban. Kata ini juga dihubungkan pula dengan konsepsi

penciptaan alam semesta. Yajna adalah simbol bahasa yang mengandung

pengertian sebagai suatu proses kejadian. Didalam Rg. Weda X. 92

dikemukakan bahwa penciptaan ini terjadi dari Yajna.3

Dari sudut Filsafatnya Upacara ialah cara-cara melakukan

hubungan antara atman dengan parama atman, antara manusia dengan

Hyang Widhi Wasa serta semua manifestasiNya. Dengan jalan yajna untuk

mencapai kesucian jiwa. Untuk upacara-upacara ini dipakailah upakara,

sebgai alat penolong untuk memudahkan manusia menghubungkan dirinya

dengan Hyang Widhi Wasa dalam bentuk yang nyata.

Bahwa dasar dari segala kekotoran pikiran adalah karena kegelapan

akan keadaan jiwa yang sebenarnya ( awidya) yaitu tidak tahu akan

keadaan dasar kesucian dari Atman. Tiap-tiap usaha untuk mengurangi

kegelapan ini tentunya mensucikan pikiran. Pemusatan bhakti kepada

Hyang Widhi dan kesadaran akan dasar kesucianya Atman dapat

mengurangi kegelapan itu.

Oleh karena itulah upakara ini merupakan alat penyucian jiwa.

Simbol-simbol, pratima-pratima yang menyimbolkan manifestasi-

manifestasi Hyang Widhi dalam wujud yang umat Hindu bayangkan

sendiri membawa pikiran umat Hindu pada persatuan dengan Hyang


2
Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, Makna Filosofis Upacara Dan Upakara, h. 7.
3
G. Putja, Pengantar Agama Hindu II Sraddha, h. 76.
Widhi adalah merupakan penyucian yang utama; oleh karena itu memang

sewajarnyalah simbol-simbol itu dikeramatakan. Bahwa simbol-simbol itu

adalah penolong yang besar ke arah penyatuan pikiran kepada Hyang

Widhi, dapat diumpamakan sebagai berikut: misalnya sebuah peta

Indonesia. Peta itu sendiri bukanlah Indonesia, tetapi peta Indonesia itu

menolong kita mengetahui keadaan Indonesia. Demikanlah pula simbol-

simbol atau pratima-pratima itu bukanlah Hyang Widhi, tetapi ia dapat

menolong menciptakan persatuan jiwa denga Hyang Widhi dalam suasana

kesucian.

Disamping simbol-simbol ada juga tirtha ( air suci ) adalah alat

untuk menyucikan jiwa. Sedangkan api perdupaan merukan saksi serta

pengantar persembahan umat Hindu. Dan bunga atau canang sari serta

banten-banten lainya adalah simbol dari sarinya bumi (perwujudan dari

gandha) yang umat Hindu persembahkan kepada Hyang Widhi untuk

menyampaikan rasa kecintaan dan kebahagiaan hati serta terima kasih

yang tulus dan suci.

Upakara ini adalah alat penolong untuk menyucikan badan dan

pikiran dalam menyelaraskan hubungan dengan Hyang Widhi. Segala

upakara-upakara ini dipakai pada waktu diadakan upacara disamping alat-

alat lain yang fungsinya kadang-kadang sebagai hiasan atau cetusan rasa

seni.

Adapun upacara keagamaaan yang terbesar dalam Agama Hindu

berjumlah lima golongan yang disebutkan dengan Panca-yajna.


Dari lima Panca Yajna upacara Kuningan termasuk golongan yang

pertama yaitu persembahan kepada Dewa Yajna. Upacara hari raya

Kuningan selain sebagai wujud bentuk manifestasi keimanan dan

ketaqwaan (sraddha dan dharma), juga merupakan Tattwam, Susila dan

Acara.

• Tattwam adalah merupakan percikan-percikan kecil dari Parama-Atma

yaitu Sang Hyang Widhi Waasa yang berada dalam makhluk hidup.

• Susila adalah tingkah laku yang baik dan mulia yang selaras dengan

ketentuan-ketentuan Dharma dan Yadnya.4

• Acara adalah adat istiadat atau prilaku yang benar secara individu

maupun berkelompok yang diturnkan oleh orang-orang suci baik

secara tertulis maupun secara lisan yang didalamnya berisi peraturan

atau norma kepatutan yang bersumber kepada Weda yang diwarisi

secara turun-temurun sebagai suatu kebiasaan atau adat istiadat

termasuk ritual upacara atau ritual agama atau kebiasaan.

Sedangkan pengertian Hari Raya (suci) bagi umat Hindu adalah hari-

hari yang dianggap suci dan kramat untuk melaksanakan yajna yaitu

mengadakan pemujaan kehadapan Hyang Widhi Wase dengan segala

manifestasinya dan para leluhur, dalam hal ini akan ada beberapa jenis hari

raya seperti:

a) Hari Raya Nyepi.

b) Hari Raya Siwaratri.

4
I Ketut Jingga, Upadeca tentang ajaran-ajaran agama hindu ( Singaraja: Parisada
yayasan hindu Dharma Sarathi, 19), h. 61.
c) Hari Raya Saraswati.

d) Hari Raya Galungan.

e) Hari Raya Kuningan.

f) Hari Raya Purnama.

g) Hari raya Tilem.

h) Hari Raya Pagarwesi.

i) Hari Raya Kliwon.

j) Hari Raya Pumpek dan lain sebagainya.

2. Pengertian Hari Suci (raya), Penentuan Hari Raya Kuningan dan

Hari-hari Suci Kaitannya Dengan Pelaksanaan Yajna.

a. Pengertian Hari Suci (raya)

Hari suci bagi umat Hindu adalah: bermakna untuk

melaksanakan Tapa Brata (meditasi) atau bersemedi. Brata yang

artinya kuasa dan menyucikan diri melalui pembersihan rohani dengan

cara upacara prascita (pembersihan rohani).

b. Penentuan Hari Raya Kuningan


Upacara hari raya Kuningan jatuh pada hari Sabtu Kliwon

Wuku Kuningan yaitu, setiap 6 bulan sekali atau 210 hari sekali

sepuluh hari setelah hari raya Galungan. Yaitu hari kembalinya Sang

Hyang Widhi diiringkan para Dewa dan Pitara, dimana umat

menghaturkan bakti memohon kesentosaan dan kedirghayusaan

(panjang umur), serta perlindungan tuntunan lahir batin selalu.

Upacara hari raya Kuningan harus sudah selesai sebelum tengah hari.
Pada hari Kuningan ini membawa sesajen (banten) yang dihaturkan

harus dilengkapi dengan nasi yang berwarna kuning. Tujuannya adalah

sebagai tanda terima kasih atas kesejahteraan dan kemakmuran yang

dilimpahkan oleh Hyang Widhi Wase. Pada hari itu umat Hindu

membuat tamiang, endogan dan kolem yang dipasang pada

padmasana, Sanggah (merajan) dan penjor Tamiang ini adalah simbol

alat penangkal dari serangan, Endogan adalah simbol tempat makan5

dan Kolem adalah merupakan simbol tempat istirahat atau tidur.

Upacara persembahan hari raya Kuningan jangan sampai lewat dari

tengah hari kalau sampai lewat tengah hari sudak tidak ada maknanya

lagi.

Ada juga yang mengatakan, Upacara Kuningan adalah sebuah

rangkaian upacara Kuningan bukan saja dilaksanakan di Bali dan di

Jawa tetapi sumbernya di India yang dikenal dengan Hari Raya Wijaya

Dasami, Wijaya artinya menang atau sangat unggul, sedangkan kata

Dasami berasal dari kata dasa yang artinya pengabdian dan mi artinya

saya. Jadi, kata Wijaya Dasami artinya saya memenangkan diri dengan

pengabdian. Untuk pelaksanaannya di Indonesia, di Bali dan Jawa

sama hanya terdapat sedikit perbedaan yaitu, di Bali hanya bentuk

upakaranya saja yang di Jawa memakai Tumpeng.

Karena manusia hanya dapat melakukan satu hal untuk

kebajikan, yakni tanpa pamrih, jiwa dan ini rohnya hanya boleh

5
Endogan adalah symbol tempat makan karena itu Endogan berisikan buah-buahan, tebu,
tumpeng serta lauk-pauk yang biasa umat Hindu makan sehari-hari.
melakukan sesuatu kebaikan yaitu pengabdian, artinya memberi dia

wajib melakukan itu tanpa harus meminta atau ingin diberi, ini adalah

proses dari Wijaya Dasami. Dalam rangkaian Wijaya Dasami ada 10

hari rangkaian pelaksanaan upacara yang kemudian diadopsi di

Indonesia menjadi Galungan dan Kuningan. Jadi, Wijaya Dasami

adalah 2 hari raya dalam satu rangkaian di mulai dari Wuku Galungan

(Dunggulan), yang berasal dari bahasa Jawa, artinya unggul atau

menang, hari raya Wijaya Dasami di mulai dari hari raya Galungan

puncaknya pada hari Rabu. Pelaksanaan Wijaya Dasami di India itu

dengan melakukan penyucian diri di sungai Gangga dan sebagiannya

selama 10 hari dalam upacara Kumbamela. Kata kumba artinya priuk,

mela atau maila artinya menghilangkan semua kotoran dalam satu

priuk, sedangkan arti priuk yang dimaksud adalah sungai Gangga.

Orang-orang berdatangan dari pegunungan dan dari semua penjuru

untuk melakukan kegiatan mandi di sungai Gangga sebagai penghilang

kotoran atau penyucian diri yang dilakukan selama 10 hari, dan proses

ini merupakan proses puncaknya dari upacara tersebut.

Dasarnya Kalender Padewasa Hindu pertama ada 30 Wuku,

kedua Saptawara, dan ketiga Pancawara.

Wuku adalah nama sebuah kesatuan waktu yang terdiri dari 30

pekan. Satu pekan atau minggu terdiri dari 7 hari. Maka satu tahun

wuku terdiri dari 210 hari. Perhitungan tahun secara wuku terutama

digunakan di Bali dan di Jawa. Sebenarnya ide dasar dari pada


perhitungan menurut wuku ini adalah bertemu dua hari dalam sistem

pancawara (pasar) dan saptawara (pekan) menjadi satu. Sistem

pancawara atau pasaran terdiri dari lima hari, sedangkan sistem

saptawara terdiri dari tujuh hari. Dalam satu wuku, pertemuan antara

hari pasaran dan hari pekan sudah pasti. Misalnya hari Sabtu-Pon

terjadi dalam wuku Wugu. Menurut kepercayaan tradisional orang Bali

dan Jawa, semua hari-hari ini memiliki makna khusus.

Penentuan Hari Raya Kuningan Menurut Daftar Wuku adalah:

Kuningan

Kuningan adalah wuku yang kedua belas. Menurut kaum

tradisional di Bali dan Jawa, minggu ini dilindungi oleh Batara

Indra. Pada minggu ini jatuh hari Raya Kuningan pada hari Sabtu

– Kliwon.

Minggu – Wage

Senin – Kliwon

Selasa – Legi/Umanis

Rabu – Paing

Kamis – Pon

Jumat – Wage

Sabtu – Kliwon, Hari Raya Kuningan

Dasarnya Kalender Padewasa Hindu ada Tiga (3) cara yaitu:

a. 30 Wuku yaitu: Sinta, Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg,

Wariga Alit, Wariga Agung, Julangwangi, Sungsang, Galungan,


Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julung pujut, Pahang, Kuru welut,

Marakeh, Tambir, Medangkungan, Maktal, Wuye, Manahil,

Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dukut, Watu gunung,

b. Sapta Wara yaitu: redite (pembagian hari dalam satu minggu) dari

hari Minggu , Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu.

c. Panca Wara yaitu: adalah lima (5) sifat dalam menentukan baik

dan buruknya hari yang terdiri dari: Humanis, Paing, Pon, Wage

dan Kliwon

Jadi Wuku ada 30 Wuku, satu Wuku umurnya 7 hari, satu bulan

menurut Kalender Bali umurnya 35 hari. Upacara Kuningan jatuhnya

pada hari Sabtu Kliwon Wukunya Kuningan yaitu, tanggal 28 Maret

2009.

c. Hari-hari Suci Kaitannya Dengan Pelaksanaan Yajna

Hari-hari suci kaitannya dengan pelaksaan yajna adalah: umat

Hindu melaksanakan yajna atau persembahan kepada Tuhan Yang

Maha Esa berupa sesaji-sesaji atau pebanten (banten) yang berasal dari

hasil-hasil bumi seperti: buah-buahan, bunga dan lain-lain sebagainya

lalu dibikin sedemikian rupa sesuai dengan katakteristik umat Hindu

yang ada di seluruh dunia masing-masing berbeda-beda khususnya

umat Hindu yang ada di Indonesia umumnya bersembahyang sujud

kepada Tuhan Yang Maha Esa memakai upacara yaitu sesajen sesuai

dengan amanah Bhagawan Gita Bab.


B. Sejarah Hari Raya Kuningan
Hari raya Kuningan berasal dari kata “kuning” yang dapat diberikan arti

selain warna adalah “Amertha” (air suci). Satu sudut pandangan yang lain

bahwa, kata Kuningan berasal dari kata Keuningan” yang mengandung arti

“Kepradnyanan” (kebijaksanaan atau kepintaran). Dengan demikian makna

dan tujuan dari pelaksanaan hari suci Kuningan adalah pada hari itu segenap

umat Hindu memohon Amertha, berupa kepradnyanan (kebijaksanaan atau

kepintaran) kehadapan Sang Hyang Widhi, dengan manifestasinya sebagai

Sang Hyang Mahadewa, yang disertai para leluhur (dewata-dewati).

Di dalam “Lontar Sundharigama” menyebutkan antara lain:

“saniscara keliwon wara kuningan payoganira Bethara Mahadewa Tumurana


pepareng para Dewata Muang Sang Dewa Pitara, Inanggapa Bhakti Manusa,
Amaweha Waranugeraga Amertha Kahuripan Rijanapada, Asuci Laksana,
Neher Memukti, Bebanten Sege Selangi Saha Gegantungan Tamiang, Kulem,
Endongsara, maka pralingga. Aja Sira Ngarcana Lepasing Dauh,
prewateking Dewata Mantuk Maring Sunia Taya, Hana Muah Pengaci Ning
Janma Manusa, Sesayut Pryascita, penek kuning Iwak Itik Putih Maukem-
ukem”.

Artinya: “Sabtu wuku kliwon kuningan itu bataranya maha dewa, maha dewa
itu sama dengan siwa turun, beliau para dewa dengan pitara-pitaranya untuk
menengok keluarganya untuk memberikan restu, makanan suci dan kehidupan
sebagai mana mestinya laksana suci membuat sesajen makanan selangi (nasi
kuning) nasi kuning yang lengkap”.

Melihat dari sisi petikan Sastra diatas, memberikan tuntunan kepada

umat mengenai Tattwa, Etika, dan Upacara atau Upakara hari suci Kuningan,

hanya kebanyakan umat Hindu melaksanakannya masih secara Desa Dresta

atau Loka Dresta. Oleh karena itulah umat Hindu perlu meningkatkan diri

dalam hal meningkatkan pemahamannya tentang nilai-nilai luhur ajaran

Agama yang terkandung didalam pelaksanaan upacara hari suci Kuningan.


Mengenai waktu pelaksanaan upacaranya telah disinggung tadi diatas

bahwa, waktu pelaksanaan upacara hari suci Kuningan, jangan sampai lewat

dari pukul. 12.00 sing, karena kalau lewat dari waktu tersebut, para Dewata

telah kembali ke Kahyangan.

Landasan umat Hindu menyembah Tuhan secara teologis itu ada 2

(dua) cara yaitu:

1. Menyembah Tuhan dengan cara transenden yaitu dengan cara Jnana

Marga yang artinya menyembah Tuhan dengan ilmu pengetahuan atau

filsafat agama yang paling tinggi tidak perlu lagi menyembah Tuhan

memakai simbol-simbol seperti: Pura.

2. Menyembah Tuhan dengan cara imanen yaitu dengan cara Bhakti Marga

atau Karma Marga yang artinya orang menyembah Tuhan akan

membutuhkan simbol-simbol seperti: Pura, Arca-arca yang sudah

disucikan atau Pratima (arca kecil lalu disembah) karena keterbatasan ilmu

pengetahuan atau filsafat agama.

Sedangkan. landasan dari kitab Wedanya adalah Bhagawad Gita bab III

Sloka 10-11 yaitu 6

“Shayajnah Prajah Sristwa


Puro waca Prajapatih,
Anena prasawisya dhiwan
Esa wo ‘stwista kamadhuk,”

Artinya: “Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan Tuhan telah


menciptakan manusia melaui Yajna dengan (cara) ini engkau akan
berkembang, sebagaimana lembu perahan yang memerah susunya
karena keinginanmu (sendiri)”.

6
G. Pudja, Bhagawad Gita (Pancama Weda), h. 76-77.
“Dewan bhawayat ‘nena
Te dewa bhawayantuwah,
Paraparam bhawayantah
Sreyah paramawapsyatha.

Artinya: “Adanya Dewa-dewa adalah karena ini, semoga Dewa-dewa


menjadikan engkau demikian dengan saling memberi, engkau akan
memperoleh keasrian yang paling utama”.

Sedangkan berdasarkan landasan sosiologis adalah sebelum merayakan

Upacara Kuningan terlebih dahulu dilaksanakan Upacara Galungan selama 10

hari lamanya. pada hari raya Galungan leluhur turun kebumi dari Pitraloka

(surganya untuk roh-roh) mendapatkan tugas selama 10 hari untuk menengok

sanak keluarganya dibumi ini, maka umat Hindu selama 10 hari itu

mempersembahkan kepada leluhurnya berupa sesajen selama 10 hari. Pada

hari raya Kuningan itulah melaksanakan tugasnya sebagaimana kewajiban

biasanya seperti: menghadap dewa-dewa Bharma karena umat Hindu sangat

percaya moksa artinya menyatu dengan Tuhan. Maka itulah umat Hindu

melaksanakan upacara persembahan-persembahan hari raya Kuningan

tepatnya sebelum jam 12 siang jika lewat dari jam 12 siang itu tidak ada

maknanya lagi (tidak diterima upacaranya).

Kaitan upacara Kuningan dengan ritual agama karena ritualnya ini

memakai persembahan, simbol-simbol yaitu:

1. Daksina yaitu; ada unsur-unsur yang dipakai dari janur (serembeng)

bentuknya lonjong bulat dibawahnya tertutup diatasnyaterbuka, dalam

serembeng itu ada isinya; ada yang disebut tapak dari yang artinya

lambang keseimbangan setelah itu diisi beras yang artinya lambang


Amertha atau kesuburan lalu baru dimasukkan kelapa yang sudah

dibersihkan setelah kelapa dilengkapi dengan telur itik (karena telur itik

melambangkan kehidupan) dan bersifat satwam (kesucian) dipakai buah

keluwek (maknanya lambang paradana yaitu lambang wanita), setelah itu

satu buah kemiri (lambang purusa atau laki-laki), setelah itu dilengkapi

dengan canang sari.

2. Prisay (tameng atau senjata) yaitu; melambangkan kewaspadaan atau

benteng diri.

3. Kompek (tas) yaitu; melambangkan untuk bekal keberangkatan pitra.

Setelah itu umat Hindu melaksanakan persembahyangan bersama

pendeta atau pindanita. Pendeta (guru suci yang sudah melaksanakan Dwi Jati

yaitu (guru suci itu melaksanakan proses upacara kematian untuk menjadi

pendeta (pedande), sedangkan pandanita prosesnya hanya memaki Eka Jati

(kowitenan).

Sedangkan perbedaan upacara Galungan dengan Kuningan hanya

sedikit yaitu; tentang tata cara upacaranya hanya yang membedakan pada

waktu persembahyangan memakai unsur-unsur yang berwarna kuning

misalnya: menggunakai nasi kuning dan semua perlengkapan upacara

warnanya serba kuning.

C. Peran Pandita dalam Upacara


Setiap Agama di dunia ini pasti memiliki “orang suci” dengan berbagai

macam sebutan, misalnya: Kyai dalam agama Islam atau, Paulus dalam agama
Kristen, Bikhu atau Bikhuni dalam agama Budha. Begitu juga dalam agama

Hindu, orang suci disebut dengan istilah Pandita atau Sulinggih.

Sebutan bagi “orang suci” umumnya dikenal karena tugasnya,

pengabdiannya dan mungkin juga karena kepemimpinannya di bidang agama,

sehingga mereka menjadi terkenal.

Karena sifatnya yang khas atau khusus, dapat disebutkan sifat-sifat itu

adalah panjang umur, mampu melaksanakan keinginan, sempurna sejak dalam

kandungan, berpegang teguh pada kesusilaan, gemar dalam tugas rumah

tangga dan tidak takut pada makanan sederhana, kesucian perbuatan serta

idealismenya yang sedemikian patuh pada fungsinya di bidang agama

sehingga menjadikan mereka disebut sebagai orang suci.7

Orang Suci adalah yang karena sifat, tugas dan kewajibannya dalam

hidup dan kehidupannya ini sepenuhnya diabdikan untuk kepentingan agama

yang dianutnya. Diterangkan dalam kitab suci Sarascamuscay, yaitu:

“ika tang punggung, yatika klabakenanta, makasadhanang kaprajnan,


prajnangaraning tutur tan pahingan, si wruh ta ring wastu tattwa, apan sang
pandita, wenang sira mangentasaken wwang len tuwi, sangkeng bhawarnawa.
Maka sadhanangparahu, winangun dening kaprajnanan, kunang ikang
apunggung, tan hanang kaprajnanan iriya, awaknya tuwi, tan kantas denya.”

Artinya:

“Kebodohan yang harus engkau lenyapkan dengan kebijaksanaan


(pengetahuan), prajna adalah kesadaran yang tiada hingganya, pengetahuan
tentang hakikat barang sesuatu, karena sang pandita sanggup
menyeberangkan orang lain dari samudra kelahiran dengan perahu yang
terbuat dari kepandaiannya, akan tetapi si bodoh tidak ada kepandaiannya,
dirinya sendiri tidak akan terseberangkan olehnya.”

7
Ketut Subagiasta, Acara Agama Hindu, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1993), h. 391.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang suci, yakni:

Menjadi seorang Pemangku (Pinandita) harus memenuhi persyaratan

tertentu dalam sastra suci meliputi fisik, susila atau moral, mental spiritual,

pengetahuan (Dasar, Inti, Penunjang). Secara terinci syarat-syarat itu dapat

diuraikan sebagai berikut:

a. Syarat Fisik.

Menurut naskah Siwa Sasana, sebagai Pemangku (Pinandita) telah

ditentukan syarat-syarat yang menyangkut fisik seperti : tidak cedangga

(cacat), pincang, bongkok, bisu, tuli, sakit-sakitan dan lain-lain. Demikian

pula Parisada Hindu Dharma Pusat dalam Keputusan Mahasabha ke II

Tahun 1968 menetapkan pula syarat-syarat kesehatan lahir-bathin bagi

mereka yang akan menjadi Pemangku (Pinandita). Dengan terpenuhi

syarat fisik diharapkan para Pemangku (Pinandita) akan dapat menunaikan

tugasnya di masyarakat dengan baik. Hal ini dipandang cukup penting,

mengingat bahwa Pemangku (Pinandita) mengemban tugas “Loka

palasraya”, yaitu tugas untuk melayani umat dalam pelaksanaan ibadah

agamanya, yang memerlukan ketangguhan fisik yang prima. Dan tidak

jarang seorang Pemangku (Pinandita), harus memuja ditempat yang jauh

dan bahkan juga sampai larut malam. Untuk itu diperlukan kondisi fisik

yang mendukung.

b. Syarat Kesusilaan.

Dharma adalah merupakan pegangan hidup bagi Pemangku

(Pinandita), sebagai landasan terpenting dalam mengamalkan ajaran Yama


dan Niyama Brata dengan baik dan sempurna. Disamping itu syarat

kesusilaan merupakan syarat yang paling mendasar yang harus dipenuhi

sebelum mempelajari Weda. Naskah Siwa Sasana menegaskan syarat

kesusilaan selalu berpegang teguh pada pedoman dasar kebijaksanaan,

bersih dan bersusila. Syarat kesusilaan ini dikukuhkan pula oleh Parisada

Hindu Dharma Indonesia Pusat dalam Keputusan Mahasabha ke II Tahun

1968 yaitu menetapkan adanya syarat berkelakukan baik serta tidak pernah

tersangkut perkara bagi setiap calon Pemangku (Pinandita).

c. Syarat Mental Spiritual.

Dikaitkan dengan tugas kewajiban seorang Pemangku atau Pinandita

(Loka palasraya) cukup berat yaitu melayani umat dalam hidupnya untuk

mencapai kebahagiaan hidup lahir dan bathin, maka bobot mental spiritual

harus menjadi syarat yang sangat penting. Seseorang Pemangku

(Pinandita) adalah abdi Sanghyang Widhi Wasa yang harus dekat secara

bathin dengan Sang penciptanya. Oleh karena itu dia harus memiliki sifat-

sifat yang penuh bakti seperti dinyatakan dalam kitab Pancamaweda

Bhagawad Gita XII.13-14 yang menyebutkan antara lain :


“Mempunyai itikad kebajikan, sikap bersahabat dan ramah tamah, bebas dari rasa egoisme dan keangkuhan,
sama dalam suka dan duka, rela memaafkan selalu prihatin, menguasai diri, bertekad teguh, mendedikasikan
pikiran dan pengertian kepada Tuhan”.

d. Syarat Pengetahuan (Dasar, Inti, Penunjang).

Syarat pengetahuan bagi Pemangku (Pinandita) dikelompokkan atas

kelompok yaitu Kelompok dasar, kelompok inti dan kelompok penunjang.

1) Kelompok dasar meliputi :

a) Pancasila.
b) Bahasa Indonesia.

c) Ilmu pengetahuan agama.

2) Kelompok inti meliputi :

a) Weda.

b) Upanisad.

c) Dharsana.

d) Itihasa.

e) Bhagawad Gita.

f) Purana.

g) Tantrayana.

h) Siwasidhanta.

i) Pujastuti.

j) Sasana (Lokapalasraya).

k) Acara agama.

3) Kelompok penunjang meliputi :

a) Bahasa Jawa Kuno.

b) Bahasa Sansekerta.

c) Bahasa Inggris.

d) Hukum Hindu/adat.

e) Hukum Nasional

f) Sosiologi agama.

g) Psikologi agama.

h) Dharma Wacana.
i) Dharma Gita.

j) Yoga/Dharma Sadhana.

D. Tata Cara Upacara Kuningan


1. Peran Pemangku dalam upacara:

a. Pemangku adalah rohaniawan yang masih tergolong pada tingkat Eka

Jati.

b. Keadaan diri, upakara pewintenan, dan agem-ageman seorang

pemangku supaya disesuaikan dengan tingkat pura yang diemongnya,

sebagaimana dimaksud dalam sesananya.

c. Kekhususan-kekhususan setempat dalam ngadegang Pemangku dan

sebagainya (Kebayan, Jro Gede, Juru Bahu).

2. Persiapan

Persiapan-persiapan yang dilakukan oleh seorang Pemangku

(Pinandita) sebelum akan berangkat ke tempat suci (Pura) dan setibanya di

tempat suci (Pura) perlu untuk diketahui secara seksama. Hal ini adalah

menyangkut hidup keseharian dari seorang Pemangku (Pinandita) dengan

selalu menjaga kebersihan dan kesucian dirinya baik lahir maupun bathin

(Wahya) dan (Adhiyatmika). Persiapan-persiapan yang dilakukan bagi

seorang Pemangku (Pinandita) adalah mulai dari asuci laksana,

berbusana, nata perangkat upakara atau upacara di Pura dan lain

sebagainya. Kegiatan dimaksud telah tertuang dalam kitab Kusuma Dewa

dan Gagelaran Pemangku, langkah persiapan dimaksud antara lain :

a. Persiapan di rumah, sebelum berangkat ke Pura:


1) Mandi besar Mantra : Om Gangga Amrta Sarira Sudhamam

swaha.

2) Gosok gigi. Mantra : Om Sri Dewi Bhatrismsa Yogini namah.

3) Membersihkan mulut. Mantra : Om Um Phat astraya namah.

4) Mencuci muka. Mantra : Om Om Waktra Parisudha mam swaha.

5) Berpakaian. Mantra : Om Kaupina Brahma Samyuktah, makhala

Wisnu samsmrtah Antarwaseswaro dewah bandham astu Sadasiwa.

6) Memakai kampuh. Mantra : Om Um Wisnu Sadasiwaya namah.

7) Nyaluk kawaca. Mantra : Om Hrung Kawaca ya namah swaha.

b. Sampai di Pura.

1) Sampai di Candi Bentar/Gelung Agung, dengan angungkab Dwara.

Mantra : Om Dwara menga, Om Hyang Dewa, Bhūta masiha

Prayojana Angecetana ya namah swaha. Om Hyang ning Hyang

Tiwikrama Dewa suka ya namah swaha.

2) Menuju Padmasana menghaturkan sembah tanpa bunga.

Mantra : Om Hyang Para Hyang Gamburangelayang,

Manganjalya huluning sapta sunya, Dewa Wirya nugraha sidha

sudha prayojana, mijil sanghyang Dewa Siksa, warahing suksma

singlarapadang ya namah.
Lanjutkan dengan mohon pengasih kepada Tuhan yang berstana

di Padmasana : Om Sri asih, dewa asih, sami asih sinalih tunggil

arep pada asih, narta asih, teke asih (3X).

3) Nyampat. Mantra : Om Shri sudha bumi, mijil jiwa amrta ya

namah swaha.

4) Nginsahin jun taneg. Mantra : Om angurahi weci sudha ya

namah swaha.

5) Ngisinin jun taneg. Mantra : Om, Gangga sukla suci nirmala ya

namah swaha.

6) Ngalap lawa. Mantra : Om Shrimeh ya namah swaha.

7) Makena ceniga. Mantra : Om, hening puspa dewi, utama

parama hening dewaning puspa, sidhir astu ya namah swaha.

8) Menaruh bebanten/sesaji dipelinggih-pelinggih. Mantra : Om

Tamolah Pancopakara guru paduka ya namah swaha.

9) Menaruh toya anyar pada palinggih. Mantra : Om Pakulun

Paduka Bhatara, ngulun angaturaken toya. Aweda wangsuh

tangan mwang wangsuh pada. Om Siwa Sadasiwa Paramasiwa.

10) Menaruh dupa pada Pelinggih dan Banten. Mantra : Om, Ang

Brahma dipataye namah, Om, Dupa amrta ya namah, Om Lingga

purusha ya namah swaha.

11) Mekebat tiker (menggelar tiker). Mantra : Om, klasa gumelar ya

namah swaha.
Bila semuanya telah dipersiapkan dengan baik, barulah Pemangku

(Pinandita) melaksanakan kegiatan Surya Sewana maupun menyelesaikan

upacara lainnya.
BAB IV

MAKNA DAN TATA CARA UPACARA HARI RAYA KUNINGAN DI PURA

AGUNG TIRTA BHUANA

A. Simbol1 dan Makna Upacara

Simbol artinya dalam Agama Hindu sebagai alat yan gdipergunakan untuk

melaksanakan persembahyangan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

Agama Hindu menganut 2 (dua) keyakianan yaitu: Transenden dan Imanen.

Keyakina transenden artinya orang yang menyembah Tuhan tanpa perantara,

keyakinan imanen artinya menyembah Tuhan memakai simbol karena

kemampuan rohaninya berbeda maka dipakailah lambang atau simbol untuk

memuja Tuhan. Contohnya Padmasana itu adalah salah satu simbol yang

dipakai untuk sarana persembahyangan kepada Tuhan.

Sedangkan simbol Upacara adalah Agama Hindu memakai simbol upacara

adalah berupa sesajen yang maknanya bermacam-macam seperti: Daksina

melambangkan permohonan kepada Tuhan (Brahman) agar Brahman hadir

pada waktu pelaksanaan upacara. Karena dengan sujud bhaktinya bagi Umat

Hindu yang menganut filsafat Imanen, bagi yang menganut filsafat

Transenden pada pelaksanaannya tidak menggunakan sarana.

Alat-alat Upacara

1
Simbol adalah lambang, sedangkan lambang yaitu suatu tanda yang menunjukkan suatu
hal atau maksud tertentu seperti gambar, lukisan dan lain-lain.
Persiapan perayaan hari raya Galungan dimulai sejak Tumpek

Wariga disebut juga Tumpek Bubuh, pada hari ini umat memohon

kehadapan Sanghyang Sangkara, Dewanya tumbuh-tumbuhan agar beliau

menganugerahkan supaya hasil pertanian meningkat. Setelah itu Wrespati

Sungsang adalah hari raya Sugihan Jawa merupakan pensucian bhuwana

agung dilaksanakan dengan menghaturkan penyucian mererebu di

Merajan, pekarangan, rumah serta mensucikan alat-alat untuk hari raya

Galungan. Besoknya Sukra Kliwon Sungsang disebut hari Sugihan Bali,

pada hari ini kita melaksanakan penyucian bhuwana alit, mengheningkan

pikiran agar hening, heneng dan metirta gocara. Selanjutnya, Redite Paing

Dungulan disebut penyekeban. Pada hari ini adalah hari turunnya Sang

Kala Tiga Wisena, maka pada hari ini para wiku dan widnyana

meningkatkan pengendalian diri (anyekung adnyana). Besoknya Soma

Pon Dungulan disebut penyajaan pada hari ini tetap menguji keteguhan

sebagai bukti kesungguhan melakukan peningkatan kesucian diri seperti

yoga semadi. Selanjutnya Anggara Wage Dungulan disebut penampahan

melakukan bhuta yadnya ring catur pate atau lebuh di halaman rumah,

agar tidak diganggu Sang Kala Tiga Wisena. Besoknya Buda Kliwon

Dungulan disebut Hari Raya Galungan umat Hindu melakukan pemujaan

kepada Tuhan dengan segala manifestasi-Nya. Wrespati Umanis Dungulan

disebut Manis Galungan, umat saling kunjung-mengunjungi dan maaf-

memaafkan. Selanjutnya Saniscara Pon Dungulan disebut pemaridan guru


pada hari ini umat melaksanakan tirta gocara, Redite Wage Kuningan

disebut ulihan kembalinya Dewa dan Pitara ke Kahyangan.

Selanjutnya Soma Kliwon Kuningan disebut Pemacekan Agung

Dewa beserta pengiringnya kembali dan sampai ke tempat masing-masing.

Sukra Wage Kuningan disebut Penampahan Kuningan adalah persiapan

untuk menyambut hari Raya Kuningan. Besoknya Saniscara Kliwon

Kuningan hari Raya Kuningan, pada hari ini umat Hindu memuja Tuhan

dengan segala manifestasinya. Upacara menghaturkan saji hendaknya

dilaksanakan jangan sampai lewat tengah hari. Karena pada tengah hari

para Dewata diceritakan kembali ke swarga. Kemudian yang paling akhir

dari rangkaian hari raya Galungan, yaitu Budha Kliwon Pahang disebut

pegat uwakan akhir dari pada melakukan peberatan Galungan sebagai

pewarah Dewi Durga kepada Sri Jaya Kasunu ditandai dengan mencabut

penjor kemudian dibakar, abunya dimasukan ke dalam bungkak gading

ditanam di pekarangan.

a. Penjor adalah hiasan yang terbuat dari janur yang pada bagian

pangkalnya berisi buah-buahan yang digantung sebagai simbol upacara

syukur, berterima kasih kepada Sang Hyang Widhi Wasa yang telah

menghaturkan ke bumi.

b. Pengawin-awin untuk upacara keagamaan tangkainya menurut ukuran

asta kosala kosali, bila dipergunakan harus diberi sasap, serta

diprayascita. Pengawin jenis senjata Nawasanga, payung pagut,

lelontek, umbul-umbul dengan lukisan naga, kober dengan lukisan


Hanoman, Garuda dan naga dan lukisan-lukisan yang mengandung

simbol keagamaan serta segala jenis umbul-umbul yang memakai

uncal hanya boleh dipergunakan untuk keperluan upacara keagamaan.

c. Canang Sari yang lengkap hanya dapat dipergunakan untuk

kepentingan upacara keagamaan (yang dengan porosan, tebu dan lain-

lannya).

d. Urassar Urassari, yakni hiasan bunga-bunga saja yang terdapat pada

bagian atas dari canang sari dapat dipergunakan untuk keperluan lain,

dengan sebutan puspawarsa. Puspa sama dengan bunga dan warsa

sama dengan hujan, puspa warsa berarti hujan bunga.

e. Gebogan atau Pajegan Bila dipergunakan untuk lain-lain maksud di

luar upacara keagamaan hendaknya tidak memakai sampian lebih-lebih

porosan.

f. Lamak untuk upacara keagamaan, adalah lamak yang memakai

simbol-simbol keagamaan yang lengkap, misalnya: simbol gunungan,

kekayonan, cili-cilian, bulan, bintang, matahari dan sebagainya, dan

pemasangannya dilengkapi dengan gantungan-gantungan dan pelawa.

Untuk keperluan lain tidak dipergunakan simbol-simbol yang lengkap,

serta pemasangannya tidak disertai gantungan-gantungan pelawa.

g. Pelinggih adalah tempat stana Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala

manifestasinya yang dibuat sesuai dengan Asta Dewa dan Asta Kosali

serta telah disangaskara.

B. Simbol Dan Makna Upakara


Makna Upakara adalah pembuatan sesaji atau alat-alat persembahan yang

akan dipersembahkan kepada Tuhan atau Brahman yang dikerjakan dengan

tulus dan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. Maka inilah yang disebut

upakara dan jika sudah selesai pembuatan sesaji itu lalu dipersembahkan

barulah menjadi upacara.

Simbol Upakara adalah simbol-simbol upakara sangat banyak ragamnya

tidak mungkin disebutkan semuanya ada beberapa contoh seperti: membuat

Pratima, membuat alat suci yang dipergunakan dalam upacara yadnya Sanggar

Surya, Sanggar Tawang dan lain-lain sebagainya.

1. Upakara-upakaranya :

Adapun simbol-simbol Upakara yaitu;

a. Air suci yaitu gunanya untuk membersihkan rohani.

b. Bunga yaitu; gunanya untuk lambang kecintaan, untuk wewangian.

c. Hio atau api yaitu; gunanya untuk lambang dari Dewa Brahma (Dewa

api) tujuannya untuk memusatkan pikiran dan sekaligus saksi.

d. Banten yaitu; gunanya untuk persembahan oleh manusia kepada Tuhan

karena rasa bersyukur memperoleh kenikmatan dari Tuhan (Sang

Hyang Widhi) itu sendiri.

2. Pelaksanaan Upacaranya

Pada dasarnya, urutan pelaksanaan upacara Kuningan sama dengan

hari Galungan, hanya sarana dan jenis upakaranya lebih banyak dan ada

beberapa penambahan dan pengurangan. Urutan-urutannya sebagai

berikut:
a. Langakah awal melaksanakan pembersihan pada tempat-tempat

pelaksanaan upacara baik secara sekala, yaitu dengan menyapu dan

niskala, yaitu menghaturkan upakara pengeresikan (pembersihan).

b. Dilanjutkan dengan pemasangan sarana-sarana perlengkapan berupa

“Raja Pangangge (Busana Palinggih)”, kemudian diisi candiga,

gantung-gantungan, tamiang, kolem, ter, endogan, dan pelawa (daun

kayu), ratna, plipid dan sejenisnya.

c. Mengatur persembahan berupa sesajen pada masing-masing tempat

pelaksanaan upacara Kuningan. Pengaturannya hampir sama dengan

pada hari Galungan, hanya saja jenis bebantenannya agak berbeda.

Persembahan berupa banten Pekoleman (pengadangan) pada hari

Kuningan tidak ada, karena demikian selesai dipuja yaitu sebelum

tengah hari, setelah itu Umat Hindu selesai amukti sesajen (menikmati

sesajen yang telah dipersembahkan kepada-Nya), Beliau segera

kembali ke Kahyangan masing-masing dengan memberkahi

kesejahteraan, kedamaian dan kedigayusaan.

d. Mengatur semua sesajen kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa

dengan segala manifestasi-Nya (Prabhawanya) masing-masing pada

semua tempat pelaksanaan upacara tersebut. Khusus terhadap sesajen

yang dihaturkan pada Sang Dumadi (yang menjelma kepada kita

sekalian), selesai dihaturkan lalu ditatab, dengan tujuan mohon berkah

perlindungan keselamatan. Kemudian dilanjutkan dengan sembahyang

bersama, nunas wangsuh pada (tirtha dan bija). Acara sembahyangan


ditutup dengan menebar sesajen yang dihaturkan pada Sang Dumadi,

yaitu setelah diayab dan ditatab, dilanjutkan dengan makan bersama

dengan semua anggota keluarga untuk memohon berkahnya, agar

dikaruniai keselamatan berupa kesehatan jasmani, ketahanan mental

dan kekuatan batin dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

3. Rangkaian Upacara Kuningan

Persiapan perayaan hari raya Kuningan dimulai sejak Tumpek

Wariga disebut juga Tumpek Bubuh, pada hari ini umat memohon

kehadapan Sanghyang Sangkara, Dewanya tumbuh-tumbuhan agar beliau

menganugerahkan supaya hasil pertanian meningkat. Setelah itu Wrespati

Sungsang adalah hari raya Sugihan Jawa merupakan pensucian bhuwana

agung dilaksanakan dengan menghaturkan penyucian mererebu di

Merajan, pekarangan, rumah serta mensucikan alat-alat untuk hari raya

Galungan. Besoknya Sukra Kliwon Sungsang disebut hari Sugihan Bali,

pada hari ini umat Hindu melaksanakan penyucian bhuwana alit,

mengheningkan pikiran agar hening, heneng dan metirta gocara.

Selanjutnya, Redite Paing Dungulan disebut penyekeban. Pada hari ini

adalah hari turunnya Sang Kala Tiga Wisena, maka pada hari ini para

wiku dan widnyana meningkatkan pengendalian diri (anyekung adnyana).

Besoknya Soma Pon Dungulan disebut penyajaan pada hari ini tetap

menguji keteguhan sebagai bukti kesungguhan melakukan peningkatan

kesucian diri seperti yoga semadi. Selanjutnya Anggara Wage Dungulan

disebut penampahan melakukan bhuta yadnya ring catur pate atau lebuh
di halaman rumah, agar tidak diganggu Sang Kala Tiga Wisena. Besoknya

Buda Kliwon Dungulan disebut Hari Raya Galungan umat Hindu

melakukan pemujaan kepada Tuhan dengan segala manifestasi-Nya.

Wrespati Umanis Dungulan disebut Manis Galungan, umat saling

kunjung-mengunjungi dan maaf-memaafkan. Selanjutnya Saniscara Pon

Dungulan disebut pemaridan guru pada hari ini umat melaksanakan tirta

gocara, Redite Wage Kuningan disebut ulihan kembalinya Dewa dan

Pitara ke Kahyangan.

C. Makna dan Tujuan Upacara

1. Makna

Makna upacara Kuningan bagi kehidupan masyarakat Hindu

yaitu untuk memupuk kasih sayang kepada keluarga serta seluruh

ciptaannya agar terjadi keharmonisan atau hari kasih sayang.

Terutama hari kasih sayang kepada leluhur dan diaplikasihkanlah

kepada keluarga. Juga merupakan perayaan kemenangan dharma

melawan adharma atau yang disebut dengan kebaikan melawan

kejahatan.

“Dharma” berasal dari bahasa sansekerta, urutan kata dari “dhr” artinya

memelihara, mengatur, memangku. Dharma berarti aturan, kewajiban,

ataupun pekerjaan-pekerjaan yang baik. Bagi umat Hindu kewajiban dan

pekerjaan yang baik adalah yadnya, sebab yadnya adalah perbuatan Ida

Sang Hyang Widhi atau Tuhan yang dapat diikuti oleh manusia. Oleh
karena itu, dalam merayakan kemenangan dharma atau Kuningan

pelaksanaan yadnya merupakan tujuan utama.

2. Tujuan

Tujuan hidup bagi umat Hindu adalah untuk memperoleh

kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat, dan tujuan

hidup itu dalam ajaran agama Hindu direalisasikan melalui ajaran Catur

Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia yang terdiri dari Dharma

(kebenaran), Artha (harta benda) untuk mensejahterakan kehidupannya,

Kama (keinginan atau nafsu) dan moksa yang merupakan tujuan akhir dari

hidup manusia. Dengan demikian, tujuan hidup dalam ajaran agama Hindu

dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tujuan secara duniawi dan tujuan

secara rohani. Dalam hal ini keempat tujuan itu merupakan satu kesatuan

dan selalu ditunjang oleh Dharma. Harta yang diperlukan untuk

menunjang kehidupan, jika diperoleh tanpa berdasarkan dharma, maka

harta itu tidak akan berarti, demikian juga halnya dengan kama, dan

dharma pula lah yang menjadi landasan hidupp untuk mencapai moksa

yang merupakan kemerdekaan atau kelepasan atau terbebasnya manusia

dari ikatan duniawi dan kelahiran kembali.

Terkai dengan tujuan hidup manusia dalam ajaran agama Hindu,

yaitu untuk mencapai kebebasan/kemerdekaan, yaitu merdekanya roh dari


samsara, maka dalam pelaksanaan Kuningan yang mengandung makna

kemerdekaan atau kelepasan. Sedangkan untuk mencapai kemerdekaan,

pada umumnya didahului oleh suatu pertempuran atau peperangan dan

pertarungan. Ada dua mitologi yang dihubungkan dengan perayaan

Galungan dan Kuningan sekaligus dengan peperangannya untuk mencapai

kemenangan atau kemerdekaan. Kedua mitologi itu adalah peperangan

antara Raja Mayadanawa melawan Bharata Indra dan pewarah-warah

Bhatari Durga kepada Sri Jaya Kasunu.

Tujuan Hidup bagi masyarakat Hindu yaitu untuk membina

keharmonisan rumah tangga dan keluarga serta mencintai para

leluhur, para guru suci (resi-resi) agar mendapatkan berkah dan

perlindungansnya serta taat menjalankan dan mengamalkan isi

ajaran-ajaran agama yang diwariskan oleh leluhur dan para umat

Hindu atau resi-resi.

Dalam Lontar Jaya Kasunu diceritakan bahwa sebelum pemerintahan

raja Sri Jaya Kasunu, perayaan Kuningan pernah tidak dilaksanakan, oleh

raja-raja pada zaman itu kurang memperhatikan upacara keagamaan. Hal

tersebut dapat mengakibatkan kehidupan rakyat sangat menderita dan

umur raja-raja sangat pendek-pendek. Kemudian setelah Sri Jaya Kasunu

naik tahta dan juga setelah mendapatkan pewarah-warah dari Bhatari

Durga atas permohonannya, maka Kuningan kembali dirayakan dengan

satu ketetapan “tidak ada Galungan buwung” atau tidak ada Galungan

batal. Sejak itu mulailah kehidupan rakyat menjadi bahagia dan sejahtera

serta mendapat umur panjang. Sedangkan pada versi cerita lainnya,


Galungan dihubungkan dengan kekalahan Raja Mayadanawa oleh Bharata

Indra.

Secara umum tujuan diadakanya upacara menyangkut empat hal, yaitu:

a. Yang bersifat umum dan kepercayaan adalah: untuk melenyapkan

pengaruh yang kurang baik; mengundang atau menambahkan

pengaruh-pengaruh yang baik dan memberikan kekuatan; untuk

memperoleh tujuan hidup sekala-niskala; sebagai pernyataan umum

yang dimaksud menurut tujuan upacara itu sendiri.

b. Sebagai pembinaan moral (budhi) sehingga memungkinkan

berkembangnya sifat-sifat: welas asih dan pengampunan; tahan uji;

bebas dari iri hati; meningkatnya kesucian rohani; wajar dan tenang

dalam menghadapi segala cobaan hidup; suka berderma dan tidak

rakus atau lobha.

c. Untuk pengembangan kepribadian dari Avidya (kegelapan batin)

menuju Vidya (memiliki pengetahuan) menuju Vijnana (bijaksana)

menuju Kstrajna (kesadaran ilahi).

d. Untuk pengembangan spiritual sehingga terbebasnya Atma dari

belenggu samsara atau manunggaling kawulo lan gusti.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Setelah Penulis memaparkan dan menguraikan tentang sejarah

Kuningan, peran-peran pemangku sampai pelaksanaan Kuningan itu sendiri,

yang mana ini merupakan suatu bentuk upacara yang dirayakan setiap 210 hari

sekali sebagai lambang kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma

(kejahatan), maka Penulis dalam hal ini dapat mengambil kesimpulan, bahwa

upacara perayaan Kuningan ini merupakan momentum yang kemudian hari

akan menjadi tonggak agar terpeliharanya sikap dharma dan juga sebagai

wujud perayaan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam memohon

keberkahan umat Hindu, memohon kesentosaan, kedirgayusan serta

perlindungan dan tuntunan lahir batin. Menghilangkan sifat yang buruk,

misalnya: sifat iri hati, congkak dan berbagai sifat yang tidak terpuji lainnya

untuk menggantikan dengan sikap penuh welas asih, tidak congkak, tidak iri

hati, sehingga kehidupan ini menjadi damai dan aman. Sudah seharusnya lah

umat Hindu mengamalkan ajaran-ajaran Weda dan memerangi Bhuta Kala

yang tidak akan pernah berhenti untuk menghasut manusia sehingga bebar-

benar terperangkap.

Salah satu jenis perlengkapan sembahyang adalah: air suci, tirtha, yang

disucikan dengan do’a yang digunakan untuk mencipratkan pada bagian

muka, dicipratkan ke kepala, diminum dan diusapkan ke muka adalah salah


satu bentuk pensucian secara jasmani yang diharapkan dapat diiringi dengan

pensucian batin, dan diwujudkan dalam bentuk perbuatan.

Mengikatkan senteng pada bagian pinggang dimaksudkan sebagai

simbol pengendalian diri dari perbuatan yang tidak bermoral yang dating

dalam diri sendiri maupun dari luar, dan sebagai tanda hormat dan bakti yang

ditunjukan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa. Senteng ditaruh pada areal

bangunan Madya dan setiap kita akan memasuki Bangunan Utama akan

dipersilakan untuk menggunakan senteng.

Pada waktu upacara Kuningan dilakukan, umat Hindu mengucapkan

do’a-do’a dan permohonannya. Pada waktu upacara berlangsung diyakini

do’a-do’a umat Hindu akan dikabulkan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, karena

sebelum hari raya Kuningan dilaksanakan terlebih dahulu dilaksanakan

upacara Tumpek Wariga. Tumpek Wariga jatuh setiap 210 hari sekali

dianggap sebagai Dewa Sangkara (Dewa Tumbuh-tumbuhan) yang

menjadikan tumbuhan itu hidup dan berbuah sehingga bermanfaat bagi

kehidupan manusia.

Tujuan pelaksanaan upacara perayaan Kuningan selain sebagai

persembahan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa, juga hari kemenangan

kebaikan melawan kejahatan berhasil atau tidak perayaan Kuningan dapat

terlihat dari hari-hari berikutnya setelah pelaksanaan. Bagi mereka yang

berhasil akan dapat mengambil hikmahnya, maka ia akan menjadi lebih baik

perilakunya. Sedangkan bagi mereka yang tidak ada perubahan dalam

perilakunya, maka ia dapat dikatakan belum berhasil memanifestasikan makna


Kuningan. Kuningan memiliki makna demi tegaknya eksitensi purusa dalam

diri manusia (umat Hindu), sehingga dapat mengamalkan ajaran-ajaran

agamanya.

B. SARAN

Saran-saran ini ditujukan selain bagi Penulis, juga bagi para pembaca

semua, khususnya kepada umat Hindu, dengan maksud agar terciptanya

kerukunan hidup antar umat beragama maupun seagama sehingga dapat

tercipta kerukunan hidup bermasyarakat, diantaranya:

1. Dalam menjalani hidup ini hendaknya selalu mempunyai sifat yang terpuji

agar dharma kebaikan agar terwujud

2. Setelah pelaksanaan Kuningan hendaknya perilaku keseharian umat Hindu

menjadi lebih baik dan menjaga keharmonisan dalam beragama, dan

memiliki moralitas yang tinggi, menjauhi dari sifat buruk (asubha karma

dan memiliki sifat yang baik (subha karma) ).

3. Selalu menjaga kerukunan hidup beragama akan tercipta jika antar

pemeluk agama saling menghargai dan tidak saling menjelekan agama dan

ajaran masing-masing agama, sehingga terciptalah keharmonisan dan

toleransi kehidupan beragama yang tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Adiputra, I Gede Rudia,. Dasar-dasar Agama Hindu. Surabaya: Lestari Karya

Megah, 2004.

A. Partanto, Pius, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.

Bungli, I.B. Putu, Mutiara dalam Hindu Bali., Surabaya: Paramita, 2004.

Guratna, C, Upacara atau Ritual dalam Agama Budha, Jakarta: UKI, 1985

Jingga I ketut, Upadeca Tenteng Ajaran-ajaran Agama Hindu, Singaraja:

Parisada Yayasan Hindu dharma Sarathi.

Kajeng, I Nyoman, Sarasamuccaya (sloka 49), Surabaya: Paramita, 2003.

Kamus Sansekerta Indonesia, Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Pemerintah

Daerah Tingkat Bali.

Mudera, I. Wayan, Bidang Studi Pendidikan Agama Hindu, Bandung excat, 1986.

M. Dagun, Save, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga

Pengkajian Kebudayaan Nusantara/LPKN, 2002.

Netra, Anak Agung, Tuntunan Dasar Agama Hindu, Jakarta: Hanoman Sakti,

1994.

Ngurah, I Gusti Made, Drs. Buku Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan

Tinggi. Surabaya: Paramita, 1999.

Panitia Pembangunan Pura Agung tirta Bhuana, Sejarah Pendiri Tempat Ibadah,

Yayasan tirta Bhuana Bekasi, 1988

Panitia Tujuh Belas, Pedoman Sederhana Pembangunan, Jakarta: Metra Sari,

1986
Putja. G, Pengantar Agama Hindu II Sraddha, Jakarta: Mayasari, 1984.

----------, Bagawad Gita Pancama Weda, Jakarta: Departemen agama R.I,

1993/1994.

Rifa’i, Mohammad., Perbandingan Agama, Jakarta: Penerbit Wicaksana, 1980.

Setie, Putu, Mendekati Bali. Denpasar: Pustaka Manikgeni, 2002.

Sivananda, Sri Swami, Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita, 1997.

Sobagiasta Ketut, Acara Agama Hindu. Jakarta: Universitas Terbuka, 1993.

Soebandi Ketut, Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali, Denpasar: Cv.

Kayumas, 1983.

Sri Arwati, Ni Made,. Hari Raya Galungan, Denpasar: Upada Sastra, 1995.

Subagiasta Ketut, Acara Agama Hindu, Jakarta: Universitas Terbuka, 1993.

Tim Penyusun, Buku Pelajaran Agama Hindu Untuk SLTA ke-II, Surabaya:

Paramita, 2004.

Tim Penyusun, Peneliti Naskah dan Buku Direktorat Jendral Bimbingan

Masyarakat Hindu dan Budha, Denpasar: Acara III, 1985.

Titieb, I Made, Teologi dan Simbol-simbol Dalam Agama Hindu, Surabaya:

Paramita, 2003.

-------------------, Pedoman Upacara Suddhi Wadani, Denpasar : PT. Upada sastra,

1994.

Tuwu (ed) Alimuddin, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta : UI Press. 1993

Visvanathar. Ed, Tanya Jawab Hindu bagi Pemula, Surabaya: Paramita, 2001

Wiana, Ketut, Yama dan Bhakti dari Sudut Pandang Hindu. Jakarta: Pustaka

Manikgeni, 1995.
Wijayananda Mpu Jaya Ida Pandita, Makna Filosofis Upacara dan Upakara,

Surabaya: Paramita, 2004.

Wojowasito, Kamus Kawi Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Selayang Pandang Umat Hindu di DKI Jakarta dan Sekitarnya dan Profile Pura

“Aditya Jaya” Rawa Mangun, Jakarta Timur.

Http/id.Wikipedia.org/wki/Pura, diakses tanggal 7 juli 2008.


Hasil Wawancara Tentang Makna Dan Tata Cara Upacara Hari Raya

Kuningan Dalam Agama Hindu Di Pura Agumg Tirta Bhuana Bekasi

Responden : I Wayan Sudarma

Jabatan : Pemangku

Hari/Tanggal : Sabtu, 12 Juli 2008

Jam : 10.00-14.00 WIB

Tempat : Pura Agung Tirta Bhuana Bekasi

Pertanyaan dan Jawaban :

Tanya : Mohom Bapak jelaskan secara singkat tentang latar belakang

berdirinya Pura Agung Tirta Bhuana Belasi?

Jawab : Kehadiran Umat Hindu di Bekasi mulai terorganisasi pada tahun

1984, dengan dibentuknya Banjar serta dibarengi pembentukkan

Parisadha Hindu Dharma Indonesia di Kabupaten Bekasi. Sampai

saat ini Umat Hindu di Bekasi berjumlah sekitar 533 kepala

keluarga yang dikelompokan menjadi 3 (tiga) Banjar yaitu Banjar

Seroja, Banjar Kodya Bekasi dan Banjar Hita Karma Pondok

Gede terdiri dari 19 (sembilan belas) Sub Banjar.


Banyak kendala yang dihadapi oleh umat Hindu di Bekasi untuk

melakukan persembahyangan ke pura yang ada di Jakarta

terutama sekali transportasinya bagi keluarga yang ekonominya

masih pas-pasan. Kegiatan pembinaan Umat Hindu Bekasi

dilakukan melalui usaha-usaha sederhana seperti arisan dibarengi

dengan ceramah-ceramah agama dan dharma santi. Dari kegiatan

dan pertemuan tersebut makin terasa pentingnya bagi Umat

Hindu di kabupaten Bekasi untuk memiliki Pura sebagai tempat

persembahyangan bersama dan sekaligus sebagai tempat

pembinaan Umat. Dengan kehadiran Pura di Bekasi akan

memudahkan melakukan mobilisasi diri dalam melakukan

Yadnya yang dibutuhkan dalam mengisi kehidupan. Usaha yang

dilakukan untuk mewujudkan Pura ini antara lain dengan

melakukan permohonan tanah kepada Pemda Kab. Bekasi,

kepada developer perumahan dan bahkan juga telah diusahakan

dengan membeli tanah, namun tidak terwujud karena saat itu ada

kendala lingkungan.

Pura Agung Tirta Bhuana secara administratif masuk ke dalam

wilayah Kota Madya Bekasi propinsi Jawa Barat. Pura dengan

luas +/- 2512 meter persegi disucikan (Ngenteg Linggih) pada

hari Saniscara (Sabtu), Kliwon wuku Landep, tanggal 23 Maret

1991, yang dipuput oleh Ida Pedanda Gde Putu Singarsa dan
diresmikan oleh Bupati Tk. II Kabupaten Bekasi, Bapak H. Suko

Martono. Sehingga Pujawalinya diperingati pada setiap Tumpek

Landep (210 hari sekali) Pura Agung Tirta Bhuana terletak di Jl.

Jati Luhur raya No. 1, Kelurahan Jaka Sampurna, Kecamatan

Bekasi Barat, telpon: 021-8840965. Sejak berdiri dan ngenteg

linggih (diresmikan) tahun 1991, sapai saat ini diempon oleh tiga

Banjar yaitu: banjar Suka Duka Kota Bekasi, banjar Pondok

Gede dan banjar Seroja. Banjar Suka Duka Kota Bekasi terdiri

dari duabelas tempek meliputi: Cibening, Jaka Permai, Pekayon,

Bintara, Harapan Jaya, Pondok Ungu, Duren Jaya, Perumnas,

Narogong, Tambun, Cikarang, dan Banjar Seroja. Sampai saat ini

jumlah umat Hindu yang berdomisili di wilayah Kota Bekasi

berjumlah 50.000 jiwa (Sumber: Data statistik Penyuluh Agama

Hindu, Departemen Agama Kantor Kota Bekasi, bulan

September 2008), Namun yang terdafatar sebagai anggota

tempek dan Banjar Suka Duka Kota bekasi sebanyak 700 KK

dan 200 KK terdaftar di banjar Pondok Gede ( sumber : data

statistik banjar Suka Duka Kota bekasi periode 2008). Dan

sampai saat ini memiliki siswa Pasraman sebanyak 900 siswa

dari SD hingga SMU.

Pura Agung Tirta Bhuana termasuk Pura yang tergolong

Kahyangan Jagat, karena hampir semua umat Hindu


menggunakannya sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan

sosial keagamaan. Pura yang terbagi menjadi tiga mandala

memungkinkan umat untuk melaksanakan kegiatan keagamaan

dengan leluasa, ditambah akses untuk mencapainya relatif cukup

mudah.

Sejak Ngenteg Linggih untuk pertama kalinya, hingga saat ini

setiap pelaksanaan upacara Pujawali selalu menggunakan

Daksina Linggih sebagai sarana yang paling pokok, karena

Daksina Linggihlah yang menjadi sentral dalam setiap upacara

Pujawali, karena ada keyakinan bahwa Daksina Linggih itulah

perwujudan tuhan dengan Ista DevataNya.

Tanya : Sejauh mana pemahaman Bapak tentang Simbol dan Makna

Upakara?

Jawab : Pertama, Air suci yaitu gunanya untuk membersihkan rohani,

keduaBunga yaitu; gunanya untuk lambing kecintaan, untuk

mewangian dan ketiga Hio atau api yaitu; gunanya untuk lambing

dari De2wa Brahma (Dewa api) tujuannya untuk memusatkan

pikiran dan sekaligus saksi.

Tanya : Menurut Bapak, apakah fungsi pura?

Jawab : Pertama, Pura sebagai penyungsung umum, yaitu tempat

sembahyang untuk memuliakan dan memuja ida Sang Hyang

Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan Pura sebagai


penyungsung khusus, yaitu sebagai tempat suci untuk

memuliakan dan memuja arwah suci.

Tanya : Menurut Bapak, apakah manfaat pura?

Jawab : Manfaat pura bagi umat Hindu adalah manfaatnya sangat besar

untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti

melaksanakan upacara-upacara besar misalnya Upacara

Kuningan, Galungan, Siwaratri, Saraswati dan sebagainya. Juga

untuk tempat perkumpulan umat agam Hindu untuk mengadakan

rapat dan makan bersama.

Tanya : Apa maknadan tujuannya bagi kehidupan masyarakat umat

Hindu?

Jawab : Makna upacara Kuningan bagi kehidupan masyarakat Hindu

yaitu untuk memupuk kasih sayang kepada keluarga serta

seluruh ciptaannya agar terjadi keharmonisan atau hari

kasih sayang. Terutama hari kasih sayang kepada leluhur

dan diaplikasihkanlah kepada keluarga. Juga merupakan

perayaan kemenangan dharma melawan adharma atau yang

disebut dengan kebaikan melawan kejahatan.

Tujuan hidup bagi umat Hindu adalah untuk memperoleh

kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat,


dan tujuan hidup itu dalam ajaran agama Hindu direalisasikan

melalui ajaran Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup

manusia yang terdiri dari Dharma (kebenaran), Artha (harta

benda) untuk mensejahterakan kehidupannya, Kama (keinginan

atau nafsu) dan moksa yang merupakan tujuan akhir dari hidup

manusia. Dengan demikian, tujuan hidup dalam ajaran agama

Hindu dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tujuan secara

duniawi dan tujuan secara rohani. Dalam hal ini keempat tujuan

itu merupakan satu kesatuan dan selalu ditunjang oleh Dharma.

Harta yang diperlukan untuk menunjang kehidupan, jika

diperoleh tanpa berdasarkan dharma, maka harta itu tidak akan

berarti, demikian juga halnya dengan kama, dan dharma pula lah

yang menjadi landasan hidupp untuk mencapai moksa yang

merupakan kemerdekaan atau kelepasan/terbebasnya manusia

dari ikatan duniawi dan kelahiran kembali.

Tanya : Apa peran pemangku dalam Upacara?

Jawab : Pertama, Pemangku adalah rohaniawan yang masih tergolong

pada tingkat Eka Jati. Kedua keadaan diri, upakara pewintenan,

dan agem-ageman seorang pemangku supaya disesuaikan dengan

tingkat pura yang diemongnya, sebagaimana dimaksud dalam

sesananya. Ketiga kkhususan-kekhususan setempat dalam


ngadegang Pemangku dan sebagainya (Kebayan, Jro Gede, Juru

Bahu).

Tanya : Seperti apakah Tata Krama dan Tata Tertib Pura Agung Tirta

Bhuana Bekasi?

Jawab : Susila merupakan kerangka kedua dari Ajaran Agama Hindu.

Perkataan susila berasal dari kata “su” yang berarti baik, indah

dan bagus. Sedangkan “sila” berarti tingkah laku atau laksana.

Jadi, susila berarti tingkah laku atau tata laksana yang baik atau

bagus. Secara garis besar susila dibagi menjadi dua bagian, yaitu

swadharma dan paradharma. Swadharma berarti sadar dengan

tugas dan kewajiban sendiri, tugas dan kewajiban yang dipilih

sendiri sesuai dengan bakat dan kemampuannya.


Candi Agung Candi Angrurah

Balai Pewedaan Balai Pesanggrahan


Altar persembahyangan Balai Kulkul

Pengapit Lawang Pengempon Taman Sari


Candi Bentar Lapit Lawang

Padmasana Panca Tirta


Penulis bersama dengan Bapak I wayan

Penulis bersama dengan Bapak I Yoman Astawa

Anda mungkin juga menyukai