Anda di halaman 1dari 53

KARAKTERISTIK NOVEL

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Apresiasi Prosa
yang Diampu oleh Muyassaroh, S.S., M.Pd

Disusun Oleh:
Anggie Vila Rahmawati (126210202048)
Alvin Zakiatun Naksikhah (126210202045)
Binti Nur Fitria (126210202052)
Fitriatul Lailiyah (126210203109)
Riska Ayu Oktavia (126210203105)

PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INDONESIA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
MEI 2022
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas selesainya makalah berjudul
Karakteristik Novelini tepat waktu. Selawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Saw. beserta keluarga, para sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman.
Beberapa pihak telah membantu dan mendukung dalam menyusun makalah ini. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini. Rasa terima kasih disampaikan pada pihak-pihak berikut ini:
1. Bapak Prof. Dr. Hj. Maftukhin, M.Ag, selaku Rektor UIN SATU Tulungagung,
2. Ibu Dr.Hj. Binti Maunah, selaku Dekan FTIK UIN SATU Tulungagung,
3. Muyassaroh, S.S., M.Pd, selaku dosen pengampu Apresiasi Prosa, dan
4. Rekan kelompok kami yang sudah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk dapat memahami karakteristik novel. Penulis berharap agar
makalah ini dapat bermanfaat. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi makalah ini masih belum
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari sejawat atau para
pembaca mengenai isi makalah ini.

Tulungagung, 8 Mei 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
PENDAHULUAN 7
1. Latar Belakang 7
2. Rumusan Masalah 7
3. Tujuan Pembahasan 7
HAKIKAT NOVEL 8
1. Pengertian Novel 8
KARAKTERISTIK NOVEL 9
1. Karakteristik Novel Secara Umum 9
2. Karakteristik Novel Menurut Jenisnya 9
UNSUR NOVEL 11
1. Unsur Intrinsik 11
2. Unsur Ekstrinsik 11
TEMA 12
1. Hakikat Tema 12
2. Tema : Mengangkat Masalah Kehidupan 12
3. Tema Dan Unsur Cerita Yang Lain 13
4. Penggolongan Tema 13
a. Tema Tradisional dan Nontradisional 13
b. Tingkatan Tema Menurut Shipley 14
c. Tema Utama dan Tema Tambahan 15
5. Penafsiran Tema 16
CERITA 18
1. Hakikat Cerita 18
2. Cerita dan Plot 19
3. Cerita dan Pokok Permasalahan 20
4. Cerita dan Fakta 21

3
PLOT 23
1. Hakikat Plot 23
2. Tahapan Plot 23
a. Tahapan Plot : Awal-Tengah_akhir.. 23
b. Tahapan Plot : Rincian Lain 24
c. Diagranm Struktur Plot 24
3. Pembedaan Plot 24
a. Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu 24
b. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah 25
c. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan 25
d. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi 25
PENOKOHAN 27
1. Unsur Penokohan Dalam Fiksi 27
a. Pengertian Dan Hakikat Penokohan 27
b. Penokohan dan Pemplotan. 28
c. Relevansi Tokoh 28
2. Pembedaan Tokoh 29
a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan 29
b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis 29
c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat 29
d. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang 30
e. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral 30
3. Teknik Pelukisan Tokoh 30
a. Teknik Ekspositori 30
b. Teknik Dramatik 31
c. Catatan Tentang Identifikasi Tokoh 32
LATAR 33
1. Latar Sebagai Unsur Fiksi 33
a. Pengertian dan Hakekat Latar 33
b. Latar Fisik dan Spiritual 33

4
c. Latar Netral dan Latar Tipikal 33
d. Penekanan Unsur Latar 34
e. Latar dan Unsur Fiksi yang lain 34
2. Unsur Latar 35
a. Latar Tempat 35
b. Latar Waktu 35
c. Latar Sosial 35
3. Hal Lain Tentang Latar 36
a. Latar Sebagai Metaforik 36
b. Latar sebagai atmosfer 36
SUDUT PANDANG 37
1. Sudut Pandang Sebagai Unsur Fiksi 37
a. Hakikat Sudut Pandang 37
b. Sudut Pandang sebagai Penonjolan 38
2. Macam-macam Sudut Pandang 38
a. Sudut Pandang Persona Ketiga : ”Dia” 38
b. Sudut Pandang Persona Pertama : Aku 40
c. Sudut Pandang Campuran 41
BAHASA 43
1. Bahasa Sebagai Unsur Fiksi 43
a. Bahasa Sastra: Sebuah Fenomena 43
b. Stile dan Stilistika 43
c. Nada dan Stile 45
2. Unsur Stile 45
a. Unsur Leksikal 45
b. Unsur Gramatikal 45
c. Retorika 46
d. Kohesi 47
3. Percakapan Dalam Novel 47
a. Narasi dan Dialog 47

5
b. Unsur Pragmatik dalam Percakapan 47
c. Tindak Ujar 47
MORAL 49
1. Unsur Moral Dalam Fiksi 49
a. Pengertian' dan Hakikat Moral 49
b. Jenis dan Wujud Pesan Moral 49
2. Pesan Religius Dan Kritik Sosial 50
a. Pesan Religius dan Keagamaan 50
b. Pesan Kritik Sosial 51
3. Bentuk Penyampaian Pesan Moral 52
a. Bentuk Penyampaian Langsung 53
b. Bentuk Penyampaian Tidak Langsung 54
PENUTUP 56
1. Kesimpulan 56
2. Saran 56
DAFTAR RUJUKAN 57

6
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hadirnya suatu karya sastra tentunya agar dinikmati oleh para pembaca. Untuk dapat
menikmati sebuah karya sastra secara baik diperlukan seperangkat pengetahuan akan karya
sastra. Tanpa pengetahuan yang cukup penikmatan akan sebuah karya sastra hanya bersifat
dangkal dan sepintas karena kurangnya pemahaman yang tepat.
Dalam dunia fiksi kadang ada sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat, karena
seorang pengarang menggunakan imajinasinya untuk diwujudkan dalam karya sastra. Dari
sinilah dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan sebuah bentukan dari proses imajinatif
pengarang dalam mengapresiasi untuk menjadi sesuatu yang estetik. 
Dikalangan remaja karya satra yang paling diminati biasanya karya sastra berbentuk
prosa terutama novel. Novel merupakan karya prosa fiksi yang ditulis secara naratif (dalam
bentuk cerita). Kata novel berasal dari bahasa Italia “novella” yang berarti sebuah kisah atau
sepotong berita. Selain dari bahasa Italia novel juga berasal dari bahasa Latin yaitu “novellus”
yang diturunkandari kata “novies” yang berarti baru.
Novel mempunyai karakteristik khusus yang harus diketahui sebelum merangkai cerita.
Cerita dalam novel ditulis dengan penjelasan atau narasi dengan bahasa yang mudah dipahami
oleh pembaca. Narasi tersebut didukung dengan gambaran suasana kejadian dalam cerita yang
membentuk alur cerita yang kompleks yang jelas
2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan novel ?
b. Apa saja ciri-ciri novel ?
c. Apa saja unsur instrinsik novel?
3. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan novel ?
2. Mengetahui apa saja ciri-ciri novel ?
3. Mengetahui apa saja unsur instrinsik novel?

7
BAB II
HAKIKAT NOVEL
1. Pengertian Novel
Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang
berarti baru. Dikatakan baru karena jika dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti
puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis novel ini kemudian muncul. Menurut Robert Liddell (dalam
Tarigan, 1984: 164),
Novel merupakan salah satu jenis karangan prosa. Hal tersebut sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Jassin (1977: 64), yaitu novel merupakan karangan prosa yang bersifat cerita
yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh), luar biasa
karena kejadian ini terlahir dari suatu konfliik, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib
tokoh tersebut. Menurut Suroto (1990:4), karangan prosa adalah karangan yang
menerangjelaskan secara terurai mengenai suatu masalah atau hal atau peristiwa dan lain-lain.
Novel tergolong ke dalam jenis karagan prosa baru. Lebih lanjut dijelaskan beberapa ciri
dari prosa baru antara lain: (1) prosa baru bersifat dinamis yang senantiasa berubah sesuai
dengan perkembangan masyarakatnya; (2) masyarakatnya sentris, yaitu cerita mengambil bahan
dari kehidupan masyarakat sehari-hari; (3) bentuknya roman, novel, cerpen, kisah, drama; (4)
terutama dipengaruhi kesusastraan barat;
Tarigan, (1984: 164) menjelaskan mengenai pengertian novel yang merupakan suatu
cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak, serta
adegan kehidupan nyata yang representative dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak
kacau dan kusut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa novel merupakan karangan yang
melukiskan perbuatan pelakunya menurut isi dan jiwanya masing-masing yang diolah menjadi
sebuah kisah sesuai dengan tujuan pengarang.

8
BAB III
KARAKTERISTIK NOVEL
1. Karakteristik Novel Secara Umum
Karakteristik Novel Jumlah kata yang terdapat dalam novel berkisar 35.000 sampai
jumlah tak terbatas kira-kira 100 halaman dan dapat dibaca lebih kurang 2 jam. Novel
merupakan sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang
diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsuknya seperti peristiwa,
plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja juga
bersifat imajinatif (Nurgiyantoro, 2007:4)
Novel mempunyai cerita yang panjang, oleh karena itu novel dapat mengemukakan
sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih
banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks (Nurgiyantoro, 2007:11). Ciri
khas dari sebuah novel adalah kemampuannya menyampaikan permasalahan yang kompleks
secara penuh, mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi”.
2. Karakteristik Novel Menurut Jenisnya
Menurut Sumardjo (1983: 10-11), ada dua jenis novel, yaitu novel pop dan novel serius.
Penjelasannya sebagai berikut:
a. Novel Pop
Ada beberapa ciri dari novel pop, yaitu: (1) temanya selalu menceritakan kisah
asmara belaka tanpa masalah lain yang lebih serius; (2) terlalu menekankan plot cerita
sehingga mengabaikan karakterisasi, problematika kehidupan dan unsur novel lainnya; (3)
biasanya cerita disampaikan dengan gaya emosional; (4) cerita yang dibahas kadang tidak
nyata dalam kehidupan; (5) karena cerita ditulis untuk konsumsi massa, maka pengarang
rata-rata tunduk pada hukum cerita konvensional; (6) bahasa yang dipakai adalah bahasa
aktual, yang hidup di kalangan muda-mudi kontemporer.
b. Novel Serius
Ada beberapa ciri dari novel serius, yaitu: (1) tema tidak hanya berputar pada
masalah cinta tetapi juga membuka diri terhadap semua masalah yang penting untuk
menyempurnakan hidup manusia; (2) cerita diimbangi dengan bobot lain selain alur cerita,
seperti karakterisasi, setting cerita, tema, dan sebagainya; (3) selalu membahas masalah

9
secara mendalam dan mendasar; (4) peristiwa yang ada dalam cerita bias dialami atau
sudah dialami oleh manusia pada saat kapan saj; (5) selalu bergerak, segar, baru dan inovatif;
(6) bahasa yang dipakai adalah bahasa standar, bukan mode sesaat.
Selain jenis-jenis novel tersebut, Goldmann juga mengklasifikasikan novel menjadi tiga
macam, yaitu:
a. Novel Idealisme Abstrak
Jenis novel ini menampilkan tokoh yang ingin bersatu dengan dunia, karena itulah
novel ini masih memperlihatkan suatu idealisme. Akan tetapi, karena persepsi tokoh itu
tentang dunia bersifat subjektif, didasarkan pada kesadaran yang sempit, idealismenya
menjadi abstrak.
b. Novel Romantisme Keputusasaan
Jenis novel ini menampilkan kesadaran hero yang terlampau luas. Kesadarannya
lebih luas daripada dunia sehingga menjadi berdiri sendiri dan terpisah dari dunia. Itulah
sebabnya, sang hero cenderung pasif dan cerita berkembang menjadi analisis psikologis
semata-mata.
c. Novel Pendidikan
Pada jenis novel ini, sang hero di satu pihak mempunyai interioritas, tetapi di lain
pihak juga ingin bersatu dengan dunia. Karena ada interaksi antara dirinya dengan dunia,
hero itu mengalami kegagalan namun dia menyadari penyebab dari kegagalan tersebut.
Oleh karena bentuknya yang panjang, novel tidak dapat mewarisi kesatuan padat
yang dipunyai cerpen. Novel juga tidak mampu menjadikan topiknya menonjol seperti prinsip
mikrokosmis cerpen. Sebaliknya, novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter,
situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan
berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil.

10
BAB IV
UNSUR NOVEL
Sarana Cerita Stanton (1965:11-36) membedakan unsur pembangunan sebuah novel ke
dalam bagian: fakta, tema, dan sarana pengucapan (sastra). Tema adalah sesuatu yang menjadi
dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih,
rindu, takut, maut, religius.Sarana pengucapan sastra, sarana kesastraan adalah teknik yang
dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa kejadian)
menjadi pola yang bermakna. Macam sarana kesastraan yang dimaksud antara lain berupa sudut
pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme, dan ironi. Cerita dan Wacana Cerita
merupakan isi dari ekspresif naratif, sedang wacana merupakan bentuk dari suatu (baca; cerita; isi)
yang diekspresikan (Chatman, 1980:23).
1. Unsur Intrinsik
Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.Unsur
instrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun
cerita.
2. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalh unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara
tidak langsung mempengaruhi bangunan atau system organism karya sastra.. Unsur-unsur yang
mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut bagian di dalmnya.
Fakta, Tema,

11
BAB V
TEMA
1. Hakikat Tema
Mempertanyakan makna sebuah sebuah karya sastra, sebenarnya juga berarti
mempertanyakan tema. Setiap karya fiksi tentulah mengandung dan atau menawarkan tema,
namun apa isi tema itu sendiri tak mudah ditunjukkan. Ia haruslah dipahami dan ditafsirkan
melalui cerita dan data-data (baca unsur-unsur pembangun cerita) yang lain, dan itu merupakan
kegiatan yang sering tidak mudah dilakukan. Pengertian tema sebagai salah satu unsur karya
sastra, maupun untuk mendeskripsikan pernyataan tema yang dikandung dan ditawarkan oleh
sebuah cerita novel. Kedua hal itu memang berkaitan. Kejelasan pengertian tema akan
membantu usaha penafsiran dan pendeskripsian pernyataan tema sebuah karya fiksi.
Tema (theme), menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966: 88), adalh makna yang
dikandung oleh sebuah cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah
karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai stuktur semantis dan yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 142). Tema
menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian
cerita itu.
Pengertian tema menurut Staton (1965: 21), yaitu yang mengartikan tema sebagai
makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara
yang sederhana. Tema menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (central
idea) dan tujuan utama (central purpose).
2. Tema : Mengangkat Masalah Kehidupan
Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi
tema dan atau sub-sub tema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan
aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna
(pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu
kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna (pengalaman)
kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya.
Pemilihan tema-tema tertentu ke dalam sebuah karya, sekali lagi, bersifat subjektif : masalah
kehidupan manakah yang paling menarik perhatian pengarang sehingga merasa terdorong

12
untuk mengungkapkannya ke dalam bentuk karya. Atau pengarang menganggap masalah itu
penting, mengharukan, sehingga ia merasa perlu untuk mendialogkannya ke dalam karya
sebagai sarana mengajak pembaca untuk ikut merenungkannya.
3. Tema Dan Unsur Cerita Yang Lain
Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah
unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan.
Tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung, melainkan hanya secara
implisit melalui cerita. Unsur-unsur ceria yang lain, khususnya yang oleh Stanton dikelompokkan
sebagai fakta cerita-tokoh, plot, latar-yang bertugas mendukung dan menyampaikan tema
tersebut. Di pihak lain, unsur-unsur tokoh (dan penokohan), plot (dan pemplotan), latar (dan
pelataran), dan cerita, dimungkinkan menjadi padu dan bermakna jika di ikat oleh sebuah tema.
Tema bersifat memberi koherensi dan makna terhadap ke empat unsur tersebut dan juga
berbagai unsur fiksi yang lain. Plot dipihak lain, berkaitan erat dengan tokoh cerita. Plot pada
hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan peristiwa apa yang terjadi dan dialami
tokoh (Kenny, 1966: 95). Plot merupakan penyajian secara linear tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan tokoh, maka pemahaman kita terhadap cerita amatditentukan oleh plot.
Latar merupakan tempat, saat, dan keadaan sosial yang menjadi wadah tempat tokoh
melakukan dan dikenai sesuatu kejadian. Latar bersifat memberikan aturan permainan terhadap
tokoh. Latar akan mempengaruhi tingkah laku dan cara berpikir tokoh, dan karenanya akan
mempengaruhi pemilihan tema. Atau sebaliknya, tema yang (sudah) dipilih akan menuntut
pemilihan latar (dan tokoh)yang sesuai dan mampu mendukung.
4. Penggolongan Tema
a. Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya
itu-itu saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita,
termasuk cerita lama. Tema-tema tradisional walau banyak variasinya, boleh dikatakan selalu
ad kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan (Meredth & Fitzgerald, 1972: 66).
Pada umumnya tema-tema tradisional merupakan tema yang digemari orang dengan status
sosial apa pun, di manapun, dan kapanpun. Hal itu disebabkan pada dasarnya setiap orang
cinta akan kebenaran dan membenci sesuatu yang sebaliknya, (bahkan mungkin) termasuk

13
orang yang sebenarnya tak tergolong baik sekalipun. Selain hal-hal yang bersifat tradisional,
tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu yang tidal lazim, katakan sasuatu
yang bersifat nontradisional. Karena sifatnya yang nontradisional, tema yang demikian,
mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengajutkan,
bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.
b. Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley dalam Dictionary of World literature (1962: 417), mengartikan tema sebagai
subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley
membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima
tingkatan berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan yang paling
sederhana, tingkat tumbuhan dan makhluk hidup, ke tinggkat yang paling tinggi yang hanya
dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema tersebut sebagai berikut.
Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as
molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan
oleh banyaknya aktifitas fisik dari pada kejiwaan.Ia lebih menekankan mobilitas fisik dari pada
konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. Unsur latar dalam novel dengan penonjolan
tema tingkat ini pendapat penekanan.
Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai ( atau dalam tingkat kejiwaan) protoplasma,
man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau
mempersoalkan masalah seksualitas- suatu aktifitas yang hanya dapat dilakukan oleh
makhluk hidup. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan dalam
novel yang bersifat menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan penghianatan suami
istri, atau skandal-skandak seksual yang lain.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Kehidupan
bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan
dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang
menjadi objek pencarian tema.masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah
ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan
atasan-bawahan dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul
dalam karya yang berisi kritik sosial.

14
Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Disamping
sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa
“menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk
individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang
berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah
individu itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri atau sifat dan sikap
tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang
bersangkutan. Masalah individualitas biasanya menunjukkan jati diri, citra diri, atau sosok
kepribadian sesearang.
c. Tema Utama dan Tema Tambahan
Tema pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau secara singkat
: makna cerita. Makna cerita dalam sebuah fiksi-novel, mungkin saja lebih dari satu, atau
lebih tepatnya lebih dari satu interpretasi. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya kita
untuk menentukan tema pokok cerita, atautema mayor (artinya : makna pokok cerita yang
menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu). Menentukan tema pokok sebuah cerita
pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan, dan menilai, diantara
sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan. Makna
pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam kesekuruhan, cerita,
bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita saja. Makna yang
hanya terdapat pada bagian –bagian tertentu cerita dapat diidentifikasi sebagai makna
bagian, makna tambahan. Makna-makna tambahan inilah yang dapat disebut sebagai tema-
tema tambahan, atau tema minor. Dengan demikian, banyak sedikitnya tema minor
tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan yang dapat ditafsirkan dari sebuah
cerita novel. Penafsiran makna itu pun haruslah dibatasi pada makna-makna yang terlihat
menonjol, disamping mempunyai bukti-bukti konkrit yang terdapat pada karya itu yang dapat
dijadikan dasar untuk mempertanggungjawabkannya. Artinya, penunjuk kan dan atau
penafsiran sebuah makna tertentu pada sebuah karya itu bukannya dilakukan secara ngawur
saja.
5. Penafsiran Tema
Penafsiran tema sebuah novel memang bukan pekerjaan yang mudah. Walau betul

15
penulisan sebuah novel didasarkan pada tema atau ide tertentu, pernyataan tema itu sendiri
pada umumnya tidak dikemukakan secara eksplisit. Tema hadir dan berpadu dengan unsur-
unsur struktural yang lain sehingga yang kita jumpai dalam sebuah novel adalah (hanya) cerita.
Tema tersembunyi dibalik cerita itu. Jika pekerjaan menafsirkan itu sudah sitemukan, artinya kita
sudah menentukan tema karya novel yang bersangkutan, hasil penafsiran itu pun belum tentu
diterima orang lain. Berhubung tema tersembunyi di balik cerita, penafsiran terhadapnya haruslah
dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Kita
haruslah mulai dengan memahami cerita itu, mencari kejelasan ide-ide perwatakan,
peristiwaperistiwa-konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya dibebani tugas membawakan
tema, maka kita perlu memahami keadaan itu. Dalam usaha menentukan dan menafsirkan tema
sebuah novel, secara lebih khusus dan rinci, Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya
sejumlah kriteria yang dapat di ikuti seperti ditunjukkan berikut.
Pertama, penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita
yang menonjol. Kriteria ini merupakan hal yang paling penting. Hal itu disebabkan pada detil-detil
yang menonjol (atau ditonjolkan) itulah yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh masalahkonflik
utama- pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan ditempatkan.
Kedua, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil
cerita. Novel, sebagai salah satu genre sastra, merupakan suatu sarana pengungkapan
keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang
tergolong unsur isi dan sebagai sesuatu yang ingin disampaikan.
Ketiga, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang
tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan.
Keempat, penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang
secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita.

16
BAB VI
CERITA
1. Hakikat Cerita
Membaca sebuah karya fiksi, novel ataupun cerpen pada umunya yang menarik
perhatian orang adalah ceritanya. Faktor cerita yang utama memepengaruhi sikap dan selera
orang terhadap buku yang akan, sedang atau sudah dibacanya. Berdasarkan keadaan cerita itu
pulalah biasanya memandang bahwa buku tersebut menarik, menyenangkan, mengesankan
atau sebaliknya bertele – tele. Tentu saja sikap pembaca terhadap karya tersebut bersifat nisbi
artinya selera pembaca yang satu belum tentu sama dengan pembaca yang lain. Membaca
sebuah buku cerita akan memberikan semacam kenikmatan dan kepuasan tersendiri di hati
pembaca, baik pembaca awam maupun pembaca yang dapat dikategorikan sebagai kritikus.
Pembaca golongan pertama biasanya terhenti pada rasa kekaguman terhadap kehebatan cerita
dan tidak memikirkan lebih lanjsut tentang kualitas pemahamannya terhadap apa yang ingin
disampaikan pengarang terhadap lewat cerita itu. Pembaca golongan kedua dipihak lain
biasanya tak akan berhenti pada kekaguman terhadap kehebatan cerita dan keindahan cara
pengungkapannya. Mereka memiliki semacam kepekaan reaktif untuk memberikan tangapan –
tanggapan. Aspek cerita (story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang sangat
esensial. Ia mememiliki peranan sentral dari awal hingga akhirnya ditemui adalah cerita. Forster
(1970 : 33-34) jauh-jauh telah menegaskan bahwa cerita merupakan hal yang fundamental
dalam karya fiksi. Tanpa unsur cerita, eksistensi sebuah fiksi tak mungin berwujud, sebab cerita
merupakan inti sebuah karya fiksi yang sendiri adalah karya rekaan. Bagus tidaknya cerita yang
disajikan, di samping akan memotivasi seseorang untuk membacanya juga akan mempengaruhi
unsur – unsur pembangun yang lainnya.
Foster (1970 : 35) mengartikan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang
sengaja disususun berdasarkan urutan waktu. Misalnya (kejadian) mengantuk kemudian tertidur,
begitu melihat wanita cantik lansung jatuh cinta, marah – marah karena disinggung perasaannya
dan sebagainya. Abrams (1981 : 61) juga memberikan pengertian cerita sebagai sebuah urutan
kejadian yang sederhana dalam urutan waktu. Kenny (1966 : 12) mengartikan sebuah peristiwa
yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi. Dalam cerita,
peristiwa yang satu berlangsung sesudah terjadinya peristiwa yang lain. Kaitan waktu dan urutan

17
antar peristiwa yang dikisahkan haruslah jelas, yang sesuai dengan pengertian di atas, bersifat
kronologis di samping sebagaimana dikemukakan Aristoteles, ia harus bersebab – akibat
sehingga jelas urutan awal, tengah dan akhirnya. Urutan waktu linier – kronologis adalah urutan
waktu yang sederhana, mudah dipahami bagaimana hubungan antar peristiwa yang dikisahkan.
Di samping aspek bentuk, cerita juga memiliki aspek subtansi yaitu yang berwujud keseluruhan
semesta, baik yang nyata maupun yang imajinatif, yang diimitasikan ke dalam karya dan telah
disaring oleh kode sosial – budaya pengarang. Dengan demikian pembicaraan tentang hakikat
cerita mau tak mau akan melibatkan kedua unsur (bentuk dan subtansi) cerita tersebut.
2. Cerita dan Plot
Cerita dan plot merupakan dua unsur fiksi yang erat berkaitam sehingga keduanya tak
mungin dipisahkan. Objek pembicaraan cerita dan plot boleh dikatakan sama. Peristiwa baik
cerita maupun plot sama – sama mendasarkan diri pada rangkaian peristiwa sebagaimana yang
disajikan dalam sebuah karya.Dengan demikian terdapat perbedaan inti permasalahan antara
cerita dengan plot. Keduanya memang sama – sama mendasarkan diri pada rangkaian peristiwa
namun “tuntutan” plot bersifat lebih kompleks daripada cerita. Cerita sekedar mempertanyakan
apa dan atau bagaimana kelanjutan peristiwa sedang plot lebih menekankan permasalahannya
pada hubungan kualitas, kelogisan hubungan antara peristiwa yang dikisahkan dalam karya
naratif yang disangkutan. Kedua hal ini lah yang menurut Forster (1970 : 94).
Forster mencotohkan bahwa pernyataan yang berbunyi : sang raja meninggal, kemudian
yang permaisuri menyusulnya merupakan cerita, sedang pernyataan : sang raja meninggal
kemudian sang permasuri menyusulnya karena sedih merupakan plot. Chatman (1980 : 45-46)
sebenarnya pernyataan pertama dan kedua itu hampir sama artinya pembaca dapat merasakan
dan atau memahami adanya hubungan antara kejadian sang raja meninggal dan sang
permaisuri meninggal kemudian, yaitu yang berupa hubungan kelogisan, tepatnya hubungan
kualitas. Hal yang membedakan keduanya sebenarnya hanya kadar keeksplisitannya. Hubungan
kualitas pada pernyataan pertama hanya dikemukakan secara implisit sedang yang kedua
secara eksplisit. Tuntutan untuk plot dalam sebuah karya fiksi lebih daripada sekedar cerita. Plot,
seperti dikatakan forster (1970 : 34, 94) merupakan sesuatu yang lebih tinggi dan kompleks
daripada cerita. Plot mengandung unsur misteri di samping untuk memahaminya dan juga
mengembangkan, menuntut adanya unsur intelegensia. Plot menuntut adanya kejelasan

18
peristiwa yang dikisahkan dan tidak sekedar urutan temporal saja. Jika kita sekedar ingin tahu isi
dan kehebatan cerita, hal ini dapat dipenuhi hanya dengan membaca ringkasan cerita atau
sinopsis saja. Sinopsis yang baik dari hal itu dapat ditentukan oleh bentuknya yang panjang atau
pendek sudah dapat mencerminkan garis besar cerita aslinya. Sinopsis hanya mengemukakan
peristiwa yang penting saja, peristiwa yang menentukan jalannya plot jadi terbatas pada
peristiwa yang tergolong fungsional saja dan karenanya ia dapat dibaca secara cepat.
3. Cerita dan Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan (subject matter) merupakan suatu hal yang diangkat kedalam
cerita sebuah fiksi. Dalam kenyataan kehidupan terdapat berbagai permasalahn yang sering
dihadapi manusia, misalnya permasalahan antar manusia, sosial, hubungan manusia dengan
Tuhan, lingkungan , diri sendiri dsb. Permasalahan itu mungkin bersifat universal, tetapi mungkin
juga khusus dan bahkan pribadi. Ada permasalahan yang bersifat biasa, menarik, menegangkan,
sensasional, dramatik dsb. Pengarang fiksi adalah seorang pelaku sekaligus pengamat berbagai
permasalahan hidup dan kehidupan yang berusaha mengungkapkan dan mengangkatnya ke
dalam sebuah karya. Permasalahan yang telah dipilih dan kemudian diolah untuk dijadikan cerita
dalam sebuah karya fiksi dapat disebut sebagai isi cerita, dengan demikian menurut Kenny
(1966 : 10) terdapat perbedaan antara pokok permasalahan dengan isi cerita. Isi cerita adalah
sesuatu yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi. Ia telah menjadi bagian yang integral dengan
karya yang bersangkutan dan berkaitan erat dengan aspek bentuknya.
Pokok permasalahan di pihak lain bukan merupakan sesuatau yang dikandung bahkan
belum menjadi karya itu, melainkan merupakan sesuatu yang diacu atau berkaitan dengan isi
cerita. Pilihan pokok permasalahan ke dalam sebuah karya fiksi biasanya ada kaitannya dengan
pemilihan tema. Paling tidak terdapat kesesuaian antar pemilihan keduanya dan hal yang
demikian akan mempermudah pembaca untuk memahaminya. Tema, mungkin sekali disarikan
dari pokok permasalahn (yang telah menjadi isi cerita) yang diungkapkan atau sebaliknya, pokok
permasalahan mencerminkan tema.
4. Cerita dan Fakta
Dalam sebuah karya fiksi sering dijumpai peristiwa – peristiwa dan permasalahan yang
diceritakan, karena keahlian dan kemampuan imajinasi pengarang, tampak konkret dan seperti
benar – benar ada dan terjadi. Sebuah karya mungkin saja ditulis berdasarkan data – data

19
faktual, peristiwa – peristiwa dan sesuatu yang lain benar - bernar ada dan terjadi. Namun, ia
dapat pula ditulis hanya berdasarkan peristiwa dan sesuatu yang dibayangkan (imajinasi)
mungkin ada dan terjadi, walau secara faktual hal – hal ini tak pernah ditemui di dunia nyata.
Karya yang pertama menyaran pada tulisan yang memuat hal – hal yang nyata ada terjadi (fact),
sedang yang kedua menyaran pada karangan yang berisi hal – hal yang dikhayalkan (fiction)
Kartahadimaja, (1978 : 9-10). Namun pemilihan suatu karya berdasarkan kadar kefaktualan
sesuatu yang diungkapkan di dalamnya, tidaklah sederhana itu. Sebab, pada kenyataan nya
adanya unsur saling “intervensi” di antara keduanya sangat dimungkinkan terjadi. Tulisan dengan
data faktual.
Tulisan yang dibuat berdasarkan kata dan atau informasi faktual. Dialog fakta dengan fiksi.
Permasalahan kini pada karya jenis fiksi, karya cerita rekaan. Masalah ketegangan hubungan
antara yang nyata dengan yang rekaan dalam karya sastra sudah dipersoalkan oleh Aristoteles,
yaitu dengan teori mimetic dan creationya. Yang pertama menyarankan pada peniruan model
kehidupan nyata, sedang yang kedua pada penciptaan model kehidupan nyata, sedang yang
kedua pada penciptaan model kehidupan sesuai dengan kremampuan kreativitas pengarang.
Antara peniruan dan kreativitas, realitas dan rekaan, telah menyatu dalam sebuah karya dan tak
mungkin dipisahkan tanpa kehilangan hakikat dan makna karya itu sebagai suatu karya sastra
yang padu dan koherensif. Sebuah karya yang hanya mengemukakan hal – hal yang benar –
benar terjadi secara apa adanya akan ditolak untuk disebut sebagai sebuah novel, melainkan
sebuah laporang. Sebaliknya sebuah karya (fiksi) yang secara mutlak berisi peristiwa – peristiwa
imajinatif yang sama sekali tak mencerminkan realitas kehidupan, ia akan sulit atau bahkan tak
akan dapat dipahami. Namun, haruslah disadari bahwa dalam karya fiksi adanya kemiripan
dengan kenyataan bukan merupakaan tujuan, melainkan hanya sarana untuk menyampaikan
sesuatu kepada pembaca yang lebih dari kenyataan itu sendiri ( Teeuw, 1984 :232).
Luxemburg, dkk, (1984 : 20). Kreadibilitas sebuah novel sebagai karya seni, tidak
ditentukan oleh adanya kesesuaiannya dengan dunia realitas, melainkan lebih ditentukan oleh
koherensi unsure – unsur intriksiknya. Kebenaran dalam sastra bukan menunjuk pada
kebenaran sehari – hari, melainkan lebih merupakan kebenaran situasional. Penulisan sejarah
terikat pada fakta yang benar – benar ada dan terjadi, data fakta memiliki validitas empiris yang
dapat dipertanggungjawabkab.

20
Secara teoretis, ia tak dapat dimanipulasikan dalam pengertian menambah,
menyembunyikan, mengkreasikan atau mengimajinasikan sesuai dengan sikap subjektivitas
penulisnya walau secara faktual hal itu mungkin saja terjadi tergantung sikap penulis buku
sejarah itu sendiri. Dengan kebebasan yang dimilikinya itu, fiksi tidak saja mampu merekam
sejarah dalam arti bersifat dokumentasi – sosioligi namun juga mampu menciptakan sejarah
dirinya sendiri sehingga bersifat monumental inilah antara lain yang menandai keberhasilan
sebuah karya fiksi sebagai karya seni kesastraan. Ada jenis karya tertentu yang tampaknya sulit
untuk dikategorikan kedalam fiksi atau nonfiksi yaitu karya yang bersifat biografis. Penulis biografi
itu tentunya menulis fakta yang pernah terjadi dan dialami pelaku yang ditulis biografinya itu.
Namun, mungkin sekali ia juga menulis sesuatuyang dibayangkan, ditafsirkan, disikapi atau dinilai
yang sebenarnya lain dari yang sesungguhnya terjadi. Junus (1983 : 5) menunjukkan adanya
lima kemungkinan keterikatan, mulai yang paling langsung ke yang sebaliknya. Semakin
langsungpengaruh realitas misalnya novel yang bersifat pantulan kenyataan, semakin rendah
kadar imajinasinya. Sebaliknya, semakin intens penghayatan pengarang terhadap realitas
kehidupan sehingga ia hanya akan berupa interpretasi terhadapnya semakin menjauhkan sifat
keterikatan novel dari realitas. Dan hal itu berarti semakin tinggi kadar imajinasinya. Kesadaran
yang tinggi terhadap penciptaan yang disertai dengan kekuatan imajinasi yang tinggi pula akan
menghjasilkan karya yang semakin jauh dari realitas.

21
BAB VII
PLOT
1. Hakikat Plot
Plot biasanya dalam suatu cerita langsung ditampilkan dengan adegan-adegan yang
tergolong menegangkan. Pembaca langsung dihadapkan pada peristiwa cerita yang berkadar
konflik dan dramatic tinggi yang barangkali, justru konflik yang amat menentukan plot karya yang
bersangkutan. Padahal pembaca belum lagi masuk kedalam suasana cerita, belum tahu
mulamula terjadinya konflik. Secara teoritis plot dapat diurutkan kedalam tahapan-tahapan
tertentu secara kronologis.
2. Tahapan Plot
Secara teoritis kronologis tahap-tahap pengembangan atau kelengkapannya : struktur
plot, dikemukakan sebagai berikut.
a. Tahapan Plot : Awal-Tengah_akhir. Plot sebuah cerita yang bersifat padu, antara peristiwa
yang satu dengan yang lain , antara peristiwa yang diceritakan lebih dahulu dengan yang
kemudian, ada hubungan, ada sifat yang saling berkaitan. Untuk memperoleh keutuhan
sebuah plot cerita, aristoteles mengemukakan bahwa sebuah plot haruslah terdiri dari tahap
awal, tahap tengah dan tahap akhir (Abram,1981:18). Ketiga tahap tersebut penting untuk
dikenali, terutama jika kita bermaksud menelaah plot karya fiksi yang bersangkutan.
Tahap Awal. Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut tahap perkenalan. Tahap awal
biasanya berisi sebuah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan
dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya.
Tahap Tengah. Tahap tengah cerita yang dapat juga disebut dengan tahap pertikaian,
menampilkan pertentangan dan konflik yang sudah dimunculkan pada tahap sebelumnya,
menjadi semakin meningkat dan semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan terjadi
dalam diri tokoh konflik eksternal terhadap tokoh-tokoh antagonis. Dalam tahap tengah inilah
klimaks ditampilkan, yaitu ketika konflik telah mencapai titik intensitas tertinggi.
Tahap Akhir. Tahap akhir pada sebuah cerita dikatakan sebagai tahap peleraian,
menampilkan adegan tertentu sebgai akhir klimaks. Dalam bagian ini biasanya menampilkan
kesudahan cerita, atau biasanya menampilkan bagaimana akhir dari sebuah cerita. Dalam
teori klasik Aristoteles, penyelesaian cerita dibedakan kedalam dua macam kemungkinan :

22
kebahagiaan dan kesedihan.
b. Tahapan Plot : Rincian Lain
Tahapan Plot Plot menurut Tasrif (dalam Mohtar Lubis, 1978 :10) dibedakan menjadi
lima tahapan. Diantaranya adalah sebagai berikut Tahapan Situation biasanya berisi pelukisan
dan pengenalan situasi, latar, dan tokoh.
Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik. Peristiwa yang menyulut
terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi tahap ini merupakan tahap awal pemunculan
konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan dikembangkan menjadi konflik-konflik
pada tahap beriutnya.
Tahap Rising Action : tahap peningkatan konflik, konflikyang dimunculkan pada tahap
sebelumnya semakin berkembang kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa semakin
mencengkam, dan tokoh mencapai ke klimaks yang tak dapa dihindari Tahap Climax : Tahap
kilimaks, konflik yang terjadi dan dilakui ditimpakan kepada para tokoh untuk mencapai
intensitas puncak.
Tahap Denoument : Tahap penyelesaian, konfik yang telah mencapai klimaks diberi
penyelesaian, ketegangan dikendorkan
c. Diagranm Struktur Plot
Tahapan pemplotan biasanya digambarkan dengan bentuk diagram. Diagram yang
dimaksud biasanya didasarkan pad kejadian secara kronologis. Jadi diagram tersebut
menggambarkan plot jenis progresif-konvensional-teoritis.
3. Pembedaan Plot
Setiap plot merupakan kesatuan tindak yang disebut dengan an artistic whole. Namun
tidak akan pernah menemukan dua unsure arya fiksi yang memiliki struktur plot yang sama
persis. Plot dapat dikategorikan kedalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut
tinjauan. Diantaranya plot dibagi menjadi tiga criteria. Pembedaan
a. Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu
Urutan waktu adalah waktunya terjadi peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi
yang bersangkutan. Secara teoritis kita dapat membedakan plot kedalam dua kategori.
Plot Lurus, Progresif, dikatakan jika peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis yang diikuti
penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa yang ada dalam suatu cerita.

23
Plot sorot Balik, Flas-back. Urutan kejadian yang dikisahkan kedalam karya fiksi yang berplot
regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari
tahap tengah bahkan tahap akhir kemudian tahap awal cerita yang dikisahka.
b. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah
Dengan kroteria jumlah dimaksudkan sebgai banyaknya cerita yang terdapat dalam
sebuah karya fiksi. Didalam karya fiksi ada dua criteria.
Plot Tunggal. Karya fiksi biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita dengan
menampilkan seorang tokoh utama protagonist sebagai hero.
Plot Sub-subpot. Karya fiksi biasanya memiliki lebi dari satu alur cerita yang dikisahkan
dalam perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya.
c. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Dengan criteria pemadatan dimaksudkan tidak ada pengembangan dalam cerita
pada sebuah karya fiksi. Plot disini dibedakan menjadi dua yaitu plot padat dan plot longgar.
Plot Padat. Biasanya cerita disampaikan secara cepat, peristiwa fungsional terjadi secara
susul-menyusul dengan cepat, hubungannya terjalin secara erat, dan pembaca seolaholah
dipaksa untuk selalu mengikutinya.
Plot longgar. Dalam novel yang berplot longgar, pergantian peristiwa demi peristiwa
berlangsung lambat disamping hubungannya antar peristiwa tersebut tidaklah erat benar.
d. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi
Dengan isi dimaksudkan sebagai sesuatu masalah dalam cerita dan juda
pengungkapan sebuah kejadian yang ada didalamnya. Friedman (dalam Stevick, 1967: 157-
65) membedakan plot jenis ini kedalam tiga golongan besar : Plot Peruntungan.
Plot peruntungan hubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib, peruntungan, yang
menimpa tokoh utama cerita yang yang bersangkutan. Plot peruntungan dibedakan menjadi :
plot gerak, pot sedih, plot tragis,plot penghukuman, plot sentimental dan plot kekaguman.
Plot Tokohan.
Plot tokohan menyaran pada adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang menjadi focus
perhatian. Plot pertokohan lebih menyoroti keadaan tokoh daripada kejadian yang
berhubungan dengan pemplotan. Plot Pemikiran.
mengungkapkan kejadian yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, berbagai

24
macam obsesi, dan lain-lain yang menjadi masalah hidup dan kehidupan manusia. Akhirnya
perlu juga kita kemukakan bahwa pembagian diatas tidak popular, dalam arti tidak banyak
diikuti orang. Orang tampaknya lebih banyak mendiskripsikan plot suatu karya kedalam
kategori-kategori yang dibicarakan sebelumnya

25
BAB VIII
PENOKOHAN
1. Unsur Penokohan Dalam Fiksi
a. Pengertian Dan Hakikat Penokohan
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan dan karakter
menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca lebih
menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi-karakterisasi
sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan
tokohtokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Tokoh cerita
(character), menurut Abrams (1981: 20), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan yang dilakukan
dengan tindakan. Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan
sebab is mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana
penempatan dan pelukisan dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran
yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan
pengembangan tokoh dalam suatu cerita. KewajaranFiksi adalah suatu karya kreatif, maka
bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak
lepas dari kebebasan kreativitasnya. Walaupun tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan
pengarang, ia haruslah merupakan tokoh yang hidup secara wajar sesuai dengn kehidupan
manusia yang terdiri dari darah daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan.
Tokoh cerita menempati posisi yang strategis sebagai pembawa pesan,amanat,
moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.
Kesepertihidupan.Masalah kewajaran tokoh cerita sering dikaitkan dengan kenyataan
kehidupan manusia sehari-hari. Seorang tokoh cerita dikatakan wajar , relavan jika
mencerminkan dan mempunyai kemiripan dengan kehidupan manusia sesungguhnya
(lifelike). Tokoh cerita hendaknya mempunyai sifat alami, memiliki sifat (lifelikeness), paling
tidak itulah harapan pembaca. Pengertian lifelikeness itu sendiri merupakan suatu bentuk
penyederhanaan yang berlebihan (oversimplification). Tokoh cerita haruslah mempunyai
dimensi yang lain disamping kesepertihidupan. Kriteria kesepertihidupan itu sendiri tidak

26
terlalu menolong untuk memahami tokoh fiksi, bahkan ia dapat menyesatkan kea rah
pemahaman literer (Kenny, 1996:24-5).
Tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dalam fiksi, sesuai dengan namanya, adalah
tokoh rekaan, tokoh yang tidak akan pernah ada di dunia nyata. Pengangkatan tokoh nyata,
atau hanya berupa bentuk personifikasinya, dapat mengesani pembaca seolah-olah
peristiwa yang diceritakan bukan peristiwa imajinatif, melainkan peristiwa factual.
b. Penokohan dan Pemplotan.
Plot merupakan sesuatu yang bersifat artificial. Penokohan dan pemplotan merupakan
dua fakta cerita yang saling mempengaruhi dan menggantungkan satu dengan yang lain. Plot
adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan apa yang menimpanya. Adanya kejadian demi
kejadian, ketegangan konflik, dan sampai klimaks yang notabene kesemuanya merupakan hal
yang esensial dalam plot hanya mungkin terjadi jika ada pelakunya. Penokohan dan Tema. Tema
merupakan dasar cerita, gagasan sentral atau makna cerita. Dengan demikian dalam sebuah
fiksi tema bersifat mengikat dan menyatukan keseluruhan unsure fiksi tersebut. Sebagai unsure
utama fiksi, penokohan erat hubungannya dengan tema. Dalam kebanyakan fiksi, tema
umumnya tidak dinyatakan secara eksplisit. Hal itu berarti pembacalah yang bertugas
menafsirkannya.
c. Relevansi Tokoh
Berhadapan dengan tokoh fiksi, pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu
seperti merasa akrap, simpati, empati, benci, antipati, atau berbagai reaksi afektif lainnya. Ada
beberapa bentuk relevansi seorang tokoh cerita seseorang tokoh cerita. Seorang tokoh cerita,
yang diciptakan pengarang itu,jika disukai banyak orang dalam kehidupan nyata, apalagi sampai
dipuja dan digandrungi, berarti merupakan tokoh fiksi yang mempunyai relevansi (Kenny,
1966:27). Salah satu bentuk kerelevansian tokoh sering dihubungkan dengan kesepertihidupan,
lifelikeness.Seorang tokoh cerita dianggap relevan bagi pembaca, kita, dan atau relevan dengan
pengalaman kehidupan kita, jika ia seperti kita, atau orang lain yang kita ketahui.
2. Pembedaan Tokoh
a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada
tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga merasa

27
mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh-tokoh yang hanya
dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itupun mungkin dalam porsi
penceritaan yang relative pendek. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama paling banyak diceritakan dan
selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot
secara keseluruhan. Di pihak lain pemunculan tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita
lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan
tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung.
b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan
tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya
secara popular disebut hero tokoh yang merupakan pengejawantahan norna-norma, nilai-
nilai yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis, 1966: 59). Tokoh protagonis menampilkan
sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita pembaca. Sedangkan
tokoh antagonis adalah tokoh yang dibenci pembaca.
c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh
sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau
round character). Tokoh sederhana. Tokoh sederhana dalam bentuknya yang asli adalah
tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja.
Tokoh sederhana dapat saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu
akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulakan itu.
Tokoh Bulat. Tokoh bulat, kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai
kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Dengan demikian tokoh
kompleks lebih sulit dipahami, terasa kurang familiar karena yang ditampilkan adalah tokoh-
tokoh yang kurang akrap dan kurang dikenal sebelumnya.
d. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Berdasarkan criteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh cerita dalam
sebuah novel, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis, tidak berkembang (static
character) dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh statis adalah tokoh cerita

28
yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai
akibat adanya peristiwaperistiwa yang terjadi (Altenbernd &Lewis, 1966: 58). Sedangkan
tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan
perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang
dikisahkan.
e. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok manusia
dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal (typical character)
dan tokoh netral (netral character). Tokoh tipical adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan
keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau
kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia
benar-benar tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi.
3. Teknik Pelukisan Tokoh
a. Teknik Ekspositori
Teknik ini sering disebut sebagai teknik analitis, pelukisan tokoh cerita dilakukan
dengan memberikan deskropsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir
dan dihadirkan oleh pengarang tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung
disertai deskripsi kediriannya yang mungkin berupa sikap, watak, tingkah laku, atau bahkan
juga cirri fisiknya. Kelemahan teknik analitik antara lain adalah penuturannya yang bersifat
mekanis dan kurang alami. Artinya, dalam realitas kehidupan tidak akan ditemui deskripsi
kedirian seseorang yang sedemikian lengkap dan pasti.
b. Teknik Dramatik
Teknik dramati adalah teknik penampilan tokoh cerita, mirip dengan yang ditampilkan
pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Artinya pengarang tidak mendeskripsikan
secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.ceritauntuk menunjukkan
kemandiriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat
kata maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang
terjadi. Kelebihan teknik dramatic adalah sifatnya yang lebih sesuai dengan kehidupan nyata.
Sedangkan kelemahannya adalah sifatnya yang tidak ekonomis. Wujud Penggambaran
Teknik Dramatik. Penampilan tokoh secara dramatic dapat dilakukan dengan beberapa

29
teknik,
Teknik Cakapan. Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga
dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Tidak semua
percakapan, memang mencerminkan kemandirian tokoh, atau paling tidak, tidak mudah
untuk menafsirkan sebagai demikian. Namun percakapan yang baik,efektif, yang lebih
fungsional, adalah yang menunjukkan perkembangan plot dan sekaligus mencerminkan sifat
kemandirian tokoh pelakunya.
Teknik Tingkah Laku. Teknik ini dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang
berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat
non verbal, fisik.
Teknik Pikiran dan Perasaan. Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang
melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikir dan dirasakan oleh
tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya jua.
Teknik Arus Kesadara. Teknik arus kesadaran (stream of consciousness) berkaitan erat
dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tidak dapat dibedakan secara pilah bahkan
mungkin dianggap samasama menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Arus kesadaran
merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses
mental tokoh, di mana tanggapan indera bercampur dengan kasadaran dan ketaksadaran
pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak.
Teknik Reaksi Tokoh. Teknik reksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu
kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap tingkahlaku orang lain dan sebagainya yang
berupa rangsang dari luar tokoh yang bersangkutan.
Teknik Reaksi Tokoh. Lain Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan
oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa
pandangan, pendapat, sikap, komentar dan lain-lain.
Teknik Penulisan latar. Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian
tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain.
Teknik Pelukisan Fisik. Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan
kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya
keterkaitan itu.

30
c. Catatan Tentang Identifikasi Tokoh
Usaha pengidentifikasian tokoh melalui beberapa prinsip antara lain:
o Prinsip Pengulangan
Prinsip pengulangan ini digunakan untuk menekankan dan mengintensifkan sifat sifat
yang menonjol sehingga pembaca dapat memahami dengan jelas.
o Prinsip Pengumpulan
Seluruh kedirian tokoh diungkapkan sedikit demi sedikit dalam seluruh cerita. Usaha
pengidentifikasian tokoh, dengan demikian, dapat dilakukan dengan mengumpulkan data-
data kedirian yang tercecer diseluruh cerita tersebut, sehingga akhirnya diperoleh data
yang lengkap.
o Prinsip Kemiripan dan Pertentangan
Identifikasi tokoh yang mempergunakan prinsip kemiripan dan pertentangan dilakukan
dengan memperbandingkan antara seorang tokoh dengan tokoh lain dari cerita fiksi yang
bersangkutan

31
BAB IX
LATAR
1. Latar Sebagai Unsur Fiksi
a. Pengertian dan Hakekat Latar
Latar atau seting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa –
peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:175). Stanton (1965) mengelompokkan latar,
bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang secara
konkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian
–kejadian yang bersebab akibat, dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan.
b. Latar Fisik dan Spiritual
Latar tempat, terhubung secara jelas menyaran pada lokasi tertentu, dapat disebut
sebagai latar fisik (Physical Setting). Latar yang berhubungan dengan waktu, walau orang
mungkin berkeberatan, tampaknya juga dapat dikategorikan sebagai latar fisik sebab ia juga
dapat menyaran pada saat tertentu secara jelas. Latar dalam karya fisik tidak terbatas pada
penempatan lokasi – lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga
yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai – nilai yang berlaku di tempat
yang bersangkutan. Hal – hal yang disebut terakhir inilah yang disebut sebagai latar spiritual
(Spiritual Setting). Jadi, latar Spiritual adalah nilai – nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar
fisik (Kenny, 1966: 39). Latar Spiritual dalam fiksi, khususnya karya – karya fiksi Indonesia
yang ditulis belakangan, [ada umumya hadir dan dihadirkan bersama dengan latar fisik. Hal ini
akan memperkuat kehadiran, kejelasan, dan kekhususan latar fisik yang bersangkutan latar
tempat tertentu, Jawa misalnya, dapat dibedakan dengan tempat – tempat yang lain.
c. Latar Netral dan Latar Tipikal
Latar sebuah karya yang hanya bersifat demikian disebut sebagai latar netral (neutral
setting). Latar netral tak memilikidan tak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol
yang terdapat dalam sebuah latar , sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan latar
– latar lain. Sifat yang ditunjukkan latar tersebut lebih merupakan sifat umum terhadap hal
yang sejenis, misalnya desa, kota, hutan, pasar, sehingga sebenarnya hal itu dapat berlaku
dimana saja.

32
Latar tipikal dipihak lain, memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang
menyangkut unsur tempat, waktu maupun sosial. Latar tipikal biasanya digarap secara teliti
dan hati – hati oleh pengarang, yang antar lain dimaksudkan untuk mengesani pembaca
agar karya itu tampak realistis, terlihat sungguh – sungguh diangkat dari latar faktual. Latar
tipikal secara langsung ataupun tak langsung akan berpengaruh terhadap pengaluran dan
penokohan. Eksistensinya dalam sebuah karya fiksi tak mungkin digantikan dengan latar lain
tanpa mempengaruhi perkembangan dan logika cerita. Kehadiran latar tipikal dalam sebuah
karya fiksi, dibanding dengan latar netral, lebih meyakinkan, memberikan kesan secara lebih
mendalam kepada pembaca. Pembedaan antara latar netral dengan latar tipikal tidaklah
bersifat pilah. Ia juga lebih merupakan sesuatu yang bersifat gradasi, walau tak dapat
dipungkiri bahwa ada karya fiksi tertentu yang benar – benar berlatar netral, atau sebaiknya
berlatar tipikal.
d. Penekanan Unsur Latar
Pembedaan antara latar dengan tipikal sebenarnya juga berarti mempersoalkan
penekanan masalah latar. Latar netral menyaran pada kurangnya penekanan unsur latar,
sebaliknya latar tipikal pada adanya penekanan unsur latar. Unsur latar yang ditekankan
perannya dalam sebuah novel, langsung ataupun tak langsung, akan berpengaruh terhadap
elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh. Peran latar yang menonjol, atau penekanan
unsure latar, dalam sebuah novel, sebagaimana halnya dengan unsur ketipikalannya,
mungkin mencakup semua unsur, mungkin hanya satu – dua unsur saja. Namun, perlu juga
ditambahkan, bahwa kadar penekanan latar, walau sama – sama mendapat penekanan,
tentu saja ada perbedaan.
e. Latar dan Unsur Fiksi yang lain
Antara latar dengan penokohan mempunyai hubungan yang erat dan bersifat timbal
balik. Sifat – sifat latar, dalam banyak hal, akan mempengaruhi sifat – sifat tokoh. Masalah
status sosial juga berpengaruh dalam penoohan. Pengangkatan tokoh dari kelas sosial
rendah tentu saja menuntut perbedaan dengan tokoh dari kelas sosial tinggi. Penokohan dan
pengaluran memang tak hanya ditentukan oleh latar, namun setidaknya peranan latar harus
diperhitungkan. Jika terjadi ketidakseimbangan antara latar dengan penokohan, cerita
menjadi kurang wajar, kurang meyakinkan. Jika ternyata terjadi tidak adanya kesesuaian,

33
cerita menjadi tidak masuk akal, dan terjadilah apa yang disebutanakronisme.
2. Unsur Latar
a. Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat – tempat
dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat –
tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata. Penggunaan latar
tempat dengan nama – nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak
bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Untuk dapat
mendeskripsikan suatu tempat secara meyakinkan pengarang perlu menguasai medan.
Pengarang haruslah menguasai situasi geografis lokasi yang bersangkutan lengkap dengan
karakteristik dan sifat khasnya. Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang
mencerminkan unsur local color, akan menyebabkan latar tempat menjadi unsure yang
dominan dalam karya yang bersangkutan.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa – peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan
dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa
sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang
diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fngsional, sehingga tak
dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar
waktu menjadi amat koheren dengan unsur cerita yang lain. Ketipikalan unsur waktu dapat
menyebabkan unsur tempat menjadi kurang penting, khususnya waktu sejarah yang
berskala nasional.
c. Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal – hal yang berhubungan dengan perilaku sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat
berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap, dan lain – lain yang tergolong latar spiritual.seperti dikemukakan sebelumnya.

34
3. Hal Lain Tentang Latar
a. Latar Sebagai Metaforik
Secara prinsip metafora merupakan cara memandang (menerima) ssuatu melalui
sesuatu yang lain. Fungsi pertama metafora adalah menyampaiakan pengertian, pemahaman
(Lakoff & Johnson, 1980: 36). Metafora erat berkaiatan dengan pengalamankehidupan
manusia baik bersifat fisik maupun budaya (Lakoff & Johnson, 1980: 18), dan tentu saja
antara budaya bangsa yang satu dengan bangsa yang lain tak sama, sehingga bentuk –
bentuk ungkapan akan berbeda walau untuk mengekspresikan hal – hal yang hamper sama
sekalipun.
b. Latar sebagai atmosfer
Atmosfer dalam cerita merupakan “udara yang dihirup pembaca sewaktu memasuki
dunia rekanan”. Ia berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu,
misalnya suasana ceria, romantic, sedih, muram, maut, misteri, dan sebagainya. Suasana
tertentu yang tercipta itu sendiri tak dideskripsikan secara langsung, eksplisit, melainkan
merupakan sesuatu yang tersarankan. Akhirnya perlu dikemukakan bahwa atmosfer cerita
adalah emosi yang dominan yang merasukinya, yang berfungsi mendukung elemen –
elemen cerita yang lain untuk memperoleh efek yang mempersatukan (Alterberd & Lewis,
1966: 72)

35
BAB X
SUDUT PANDANG
1. Sudut Pandang Sebagai Unsur Fiksi
a. Hakikat Sudut Pandang
Sudut pandang, pointof view, merupakan pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, 181: 142). Dengan
demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara
sengaja diplih pengarang utuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Genette (1981 : 89)
menawarkan istilah fokalisasi, focalisaion, yang lebih dekat berhubungan dengan pengisahan.
Istilah fokalisasi tersebut oleh Gennte dimaksudkan untuk merangkum sekaligus menghindari
adanya konotasi-konotasi spesifik istilah-istilah visi, vission, (seperti dipergunakan Pouillon
dan Todorov), field, (Blin), dan sudut pandang, point of view (Lubbock). Visi atau aspek itu
sendiri oleh Pouillon dan Todorov dibedakan ke dalam tiga kategori : vision from behind,
vission with, dan vission from whitout, yang masing-masing menyaran pada pengertian
narator lebih tahu dari pada tokoh, narator sama tahunya dengan tokoh, dan narator kurang
tahu dibanding tokoh. Sudut pandang (Lubbock) dan ”field” (Blin) sama artinya dengan
vission whit. Fokalisasi itu sendiri menyaran pada pengertian adanya hubungan antara unsur-
unsur peristiwa dengan visi yang disajikan kepada pembaca (Luxemburg dkk, 1992:131)
Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam :
persona pertama, first-person, gaya “aku”, dan persona ketiga, third-person, gaya ”dia”. Jadi,
dari sudut pandang ”aku” atau ”dia”, dengan berbagai variasinya, sebuah cerita dikisahkan.
Sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan.
Teknik penyajian sudut pandang tertentu akan lebih efektif jika diikuti oleh pemilihan bentuk
gramatika dan retorika yang sesuai. Sudut pandang, kata Lubbock (Friedman, dalam Stevick,
1967 : 86). sudut pandang tak hanya dianggap cara pembatasan dramatik saja, melainkan
secara lebih khusus sebagai penyajian definisi tematik. Ia dapat berupa ide, gagasan, nilainilai,
sikap dan pandangan hidup, kritik, pelukisan, penjelasan, dan penginformasian, namun juga
demi kebagusan cerita, yang kesemuanya dipertimbangkan dapat mencapai tujuan artistik.
b. Sudut Pandang sebagai Penonjolan

36
Penyimpangan sudut pandang bukan hanya menyangkut masalah persona pertama
atau ketiga, melainkan lebih berupa pemilihan siapa tokoh ”dia” atau ”aku” itu, siapa yang
menceritakan itu, anak-anak, dewasa, orang desa yang tak tahu apa-apa, orang modern,
politikus, pelajar, atau yang lain. Demikianlah misalnya, untuk melukiskan dan mengemukakan
pandangan hidup dan jagad kehidupan masyarakatJawa, dalam Pengakuan Pariyem,Linus
Suryadi justru memilihnya dari sudut pandang seorang babu, bukan tokoh ”atasan”.
2. Macam-macam Sudut Pandang
Friedman (dalam stevick, 1967 : 118) mengemukakan adanya sejumlah pemertanyaan
yang jawabnya dipergunakan untuk membedakan sudut pandang. Pemertanyaan yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
Siapa yang berbicara kepada pembaca dari posisi mana cerita itu dikisahkan Saluran
informasi apa yang digunaka operator untuk menyampaikan ceritanya kepada pembaca. Sejauh
mana narator menempatkan pembaca dari ceritanya
a. Sudut Pandang Persona Ketiga : ”Dia”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya ”dia”,
narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita
dengan menyebut nama, atau kata gantiya; ia, dia, mereka. Sudut pandang ”dia” dapat
dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan
pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas
menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh dia” tadi bersifat mahatahu.
 ”Dia” Mahatahu
Dia melihat segala betapa Maria sekuat tenaga menjaga dirinya jangan menangis trisak-
isak kareena ada ibunya, dan karena ibunya telah mengatakan padanya, bahwa semua ini
akan terjadi, dan Maria mengatakan pada ibunya dia akan kuat menahannya. Apa yang
dilakukan Maria kini? Tanya Sadeli pada dirinya sendiri. Dan sadeli tak tahu, bahwa saat
itu Maria sedang terbaring di bantalnya, air mata mengalir membasahi pipinya,
membasahi bantalnya, dan dia mencoba menghidupkan kemabli dalam ingatannya,
dalam seluruh badannya apa yang pernah terjadi di tempat tidur dia dengan Sadeli. (Maut
dan Cinta, 1977: 254-6) Kita melihat dalam teknik mahatahu tersebut bahwa narator
mampu menceritakan sesuatu baik yang bersifat fisik, dapat diindera, maupun sesuatu

37
yang hanya terjadi dalam hati da pikiran tokoh, bahkan lebih dari seorang tokoh. Lebih
dari itu, ia tak hanya mampu melapor dan menceritakan kisah tentang tokoh-tokoh saja,
melainkan juga dapat mengomentari dan menilai secara bebas dengan penuh otoritas,
seolah-olah tak ada satu rahasia pun tentang tokoh yang tidak diketahuinya. Ia dapat
memasukkan berbagai informasi tanpa haris menerangkan cara memperolehnya. Ia
dapat bergerak ke seluruh “arena” untuk memberikan kepada pembaca detil-deil cerita
secara lengkap seperti tak ubahnya gambar tiga dimensi (Altenberd & Lewis: 1966: 62)
 Dia Terbatas, Dia sebagai Pengamat
Dalam sudut pandang “dia” terbatas, seperti halnya dalam “dia” mahatahu, pengarang
melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita,
namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja (Stanton, 1965: 26). Dalam teknik “dia”
terbatas sering juga dipergunakan teknik narasi aliran kesadaran, stream of
consciousness, yang menyajikan kepada pembaca pengamatan-pengamatan luar yang
berpengaruh terhadap pikiran, ingatan, dan perasaan yang membentuk kesadaran total
pengamatan. Sudut pandang cerita,dengan demikian, menjadi bersifat objektif, objektive
point of view, atau narasi objektif, objektivenarration. Pengarang tidak mengganggu”
dengan memberikan komentar dan penilaian yang bersifat subjektiveterhadap peristiwa,
tindakan, ataupun tokoh-tokoh yang diceritakanny. Ia hanya berlaku sebagai pengamat,
obsever, melaporkan sesuatu yang dialami dan dijalani oleh seorang tokoh yang sebagai
pusat kesadaran. Ia sama halnya dengan pembaca, adalah seorang yeng berdiri diluar
cerita. Novel Indonesia yang secara mutlak bersudut pandang “dia” terbatas dan atau
sebagai pengamat saja, barangkali amat jarang untuk tak dikatakan tidak ada. Namun,
dalam bagianbagian tertentu, sering dijumpai adanya deskripsi dan cerita yang lebih
merupakan “laporan” pengamat. Novel Ronggeng Dukuh Paruk pun tampak diawali,
pada bagian pertama, dengan sudut pandang “dia” sebagai pengamat, walau pada
bagian-bagian (dan serial) berikutnya bersifat campuran antara “dia” dan “aku” Di tepi
kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singking.
b. Sudut Pandang Persona Pertama : Aku
Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama,
first-person point of view,”aku”’ jadi : gaya ”aku”, narator adalah seseorang ikut terlibatdalam

38
cerita . ia adalah si ”aku”tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiiri,
selfconsciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat,
didengar,dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca.
Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan
peran dan kedudukan si ”aku” dalam cerita. Si ”aku” mungkin menduduki peran utama, jadi
tokoh utama protagonis, mungkin hanya menduduki peran tambahan, jadi tokoh tambahan
protagonis, atau berlaku sebagai saksi.
 Aku Tokoh Utama
Si ”aku” yang menjadi tokoh utama cerita praktis menjadi tokoh protagonis. Hal itu amat
memungkinka pembaca menjadi merasa benar-benar terlibat. Pembaca akan
mengidentifikasikan diri terhadap tokoh ”aku”, dan karenanya akan memberikan empati
secara penuh. Kita, walau hanya imajinatif, akan ikut mengalami dan merasakan semua
petualangan dan pengalaman si ”aku”. Pegangan moral si ”aku” adalah ideal bagi kita.
Efek terhadap pembaca yang demikian, memang, dapat juga dicapai dengan sudut
pandang lain, namun ia tidak akan sedemikian meyakinkan seperti yang dilakukan oleh si
”aku” protagonis (Altenbernd & Lewis, 1966: 63-4).
 Aku Tokoh Tambahan
Tokoh ceritayang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama,
sebab dialah yang lebih banyaktampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan
berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama habis, si ”aku”
tambahan tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah.
c. Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam sebuah novel,
mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik ”dia” mahatahu
dan ”dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik ”aku” sebagai tokoh utama dan
”aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran abtara persona
pertama dan ketiga, antara ”aku” dan ”dia” sekaligus. Campuran ”aku” dan ”dia”. Dewasa ini
dapat kita jumpai beberapa novel Indonesia yang mempergunakan dua sudut pandang ”aku”
dan ”dia” secara bergantian. Mula-mula cerita dikisahkan dari sudut “aku”, namun kemudian
terjadi pergantian ke “dia”, dan kembali lagi ke “aku”. Hal ini misalnya, kita jumpai pada

39
Burung-burung Manyar, Dan Senja pun Turun, dan Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang
Kemukus Dini hari, dan Jantera Bianglala jika ketiganya dianggap sebagai satu kesatuan.
Teknik “Kau”. Penggunaan teknik “kau” untuk menyebut dan melihat dirinya sendiri, baik oleh
tokoh yang disudutpandangi “aku” maupun “dia”, seperti sedikit terlihat dalam Burungburung
Manyar di atas, ternyata belakangan dipergunakan secara lebih intensif dalam novel Suami-
nya Eddy Suhendro yang mula-mula muncul secara bersambung di Kompaspada awal 1989.
Ternyata untuk jenis sastra fiksi, teknik penyudut pandangan tersebut terasa
memberikan efek kebaruan, angin segar yang tak membosankan bagi pencerrapan indera
kita –suatu bentuk pengucapan yang oleh kaum formalis disebut sebagai sifat
deotomatisasi sastra. Namun, apakah dengan demikian hal itu dapat dipandang sebagai
adanya (baca: mulai munculnya) jenis sudut pandang bergaya “kau”?. Hal itu disebabkan di
samping contoh karya-karya konkret yang “bersudut pandang kau” masih jarang ditemui,
juga pada hakikatnya teknik “kau” tersebut hanya merupakan variasi teknik “aku” atau “dia”
untuk mengungangap atau mengemukakan sesuatu secara lain. Si “kau” tak lain adalah si
“aku” atau si “dia” yang sengaja dibuat “mahatahu” secara dramatik, artinya dalam bentuk
dialog seperti halnya dalam drama. Namun, bagaimanapun, hal itu merupakan sbuah
fenomena menarik dalam perkembangan teori sudut pandang karya fiksi.

40
BAB X
BAHASA
1. Bahasa Sebagai Unsur Fiksi
Bahasa adalah seni sastra yang dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya
merupakan unsure bahan, alat, sara, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang
mengandung “nilai lebih” daripada sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa merupakan sarana
pengungkapan sastra. Sastra, khususnya fiksi, di samping sering disebut dunia dalam
kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam kata.
a. Bahasa Sastra: Sebuah Fenomena
Pada umumnya orang beranggapan bahwa bahasa satra berbeda dengan bahasa
nonsatra, bahasa yang dipergunakan bukan dalam pengucapan sastra. Namun, “perbedaan”-
nya itu sendiri tidaklah bersifat mutlak, atau bahkan sulit diidentifikasikan. Bahasa sastra,
bagaimanapun, perlu diakui eksistensinya, keberadaannya. Sebab, tidak dapat disangkal lagi,
ia menawarkan sebuah fenomena yang lain. Keberadaannya paling tidak perlu disejajarkan
dengan ragam-ragam bahasa, seperti dalam konteks sosiolinguistik yang lain (Nurgiyantoro,
1993: 2) pengarang melakukan penyimpangan kebahasaan, tentunya bukan semata-mata
bertujuan ingin aneh, lain daripada yang lain, melainkan dimaksudkan untuk memperoleh efek
keindahan yang lain di samping juga ingin mengedepankan, mengaktualkan (foreground)
sesuatu yang dituturkan. Penuturan kesastraan pun pada hakikatnya dapat dipandang
sebagai proses (usaha) komunikasi.
b. Stile dan Stilistika
Stile dan Hakikat Stile Stile (style,gaya bahasa) adalah cara pengucapan bahasa
dalam proses, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan
dikemukakan (Abrams, 1981: 190-1). Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti
pilihan kata, strutur kalimat, bentukbentuk bahasa figurative, penggunaan kohesi dan lain-lain.
Masalah struktur lahir merupakan pernyataan lahiriah dari sesuatu yang bersifat batiniah. Jika
itu dikaitkan dengan teori kebahasaan-nya Saussure, yang membedakan antara langue
dengan parole, stile merupakan suatu bentukparole. Langue merupakan system kaidah yang
berlaku dalam suatu bahasa, sedangkan parole merupakan penggunaan dan perwujudan
system, seleksi terhadap system, yang dipergunakan oleh penutur (pengarang) sesuai

41
dengan konteks dan atau situasi. Parole adalah bentuk performansi kebahasaan yang telah
melewati proses seleksi dari keseluruhan bentuk kebahasaan. Untuk melakukan pilihan
terhadap suatu bentuk performansi kebahasaan, pengarang, tentu saja, memiliki kompetensi
terhadap bahasa yang bersangkutan, dan itulah langue. Langue dan parole-nya Saussure
berkesesuaian dengan struktur batin (deep structure) dan struktur lahir (surface structure)-
nya Chomsky, yang dapat pula identik dengan pembedaan antara unsure isi dan bentuk
dalam stile.
Stilistika dan Hakikat Stilistika. Stilistika (stylistics) menyaran pada pengertian studi
tentang stile (Lecch & Short, 1981: 13), kajian tehadap wujud performansi kebahasaan,
khususnya yang terdapat di dalam karya sastra. Stilistika kesastraan, dengan demikian,
merupakan sebuah metode analisis karya sastra (Abrams, 1981: 192). Ia dimaksudkan untuk
menggantikan kritik yang bersifat subjektif dan impresif dengan analisis stile teks kesastraan
yang lebih bersifat objektif dan ilmiah. Tandatanda stilistika dapat berupa: fonologi, sintaksis,
leksikal, penggunaan bahasa figurative. Kajian stilistika juga dimaksudkan untuk
menunjukkan hubungan antara apresiasi estetis di satu pihak dengan deskripsi linguistic di
pihak lain.Kelompok yang berpandangan bahwa stile merupakan cara menulis,
caraberekspresi, dan membedakannya dengan unsur isi disebut aliran dualis. Sebaliknay,
kelompok yang tidak membedakan unsure bentuk dan isi serta memandang keduanya
sebagai satu kesatuan, misalnya seperti dikatakan Flaubert bahwa stile itu sebagai tak
berbeda halnya dengan tubuh dan jiwa: bentuk dan isi adalah satu disebut aliran monisme
(Lecch & Short, 1981: 15). Pendekatan pluralisme mendasarkan diri pada fungsi-fungsi
bahasa. Analisis stilistika menuntut penggunaan metode kuantitatif, khususnya untuk
mengurangi kadar subjektivitas kritikus. Untuk mengetahui pembeda stile sebuah teks dari
teks-teks yang lain haruslah menghitung frekuensi pemunculan tanda-tanda linguistic yang
terdapat di dalamnya. Analisis kuantitatif dapat memberikan bukti-bukti konkret, maka ia
dapat menopang deskripsi stilistika yang dilakukan terhadap sebuah karya secara lebih
dapat dipertanggungjawabkan.
c. Nada dan Stile
Stile dan Nada Nada pengarang adalah sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang
terhadap pembaca dan terhadap masalah yang dikemukakan (Leech & Short, 1981: 280).

42
Kenny mengemukakan bahwa stile adalah sarana, sedangkan nada adalah tujuan dan
konstribusi dari stile adalah untuk membangkitkan nada.
2. Unsur Stile
Abrams (1981: 193) mengemukakan bahwa unsure stile, ia menyebutnya dengan istilah
stylistics features yang terdiri dari unsure fonologi, sintaksis, leksikal, retorika (berupa
katrakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagainya). Analisis unsur stile,
misalnya dilakukan dengan mengidentifikasi masing-masing unsure dengan tanpa mengabaikan
konteks, menghitung frekuensi kemunculannya, menjumlahkan, dan kemudian menafsirkan dan
mendeskripsikankontribusinya bagi stile karya fiksi secara keseluruhan.
a. Unsur Leksikal
Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi, yaitu mengacu pada
pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Mengingat
dari segi makna, ayitu apakah diksi mampu mengkomunikasikan makna, pesan, dan mampu
mengungkapkan gagasan seperti dimaksudkan oleh pengarang.
b. Unsur Gramatikal
Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat. Dalam
kegiatan komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan
bermakna daripada sekedar kata walaukegayaan kalimat dalam banyak hal juga banyak
dipengaruhi oleh pilihan katanya. Sebuah gagasan, pesan dapat diungkapkan ke dalam
berbagai bentuk kalimat yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Penggunaan bentuk
struktur kalimat tertentu apakah mempunayai efek tertentu bagi karya yang bersangkutan,
baik efek yang bersifat estetis maupun dalam hal pemyampaian pesan. Apakah struktur
kalimat itu lebih memperjelas makna yang ingin disampaikan, adakah penekanan terhadap
makna tertentu, dan sebagainya.
c. Retorika
Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis.
Ia dapat diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang
menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan
bahasa dalam sastra mencerminkan sikap dan perasaan pengarang, namun sekaligus
dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca yang tercermin dalam

43
nada. Pembacaan unsure retorika berikut akan meliputi bentuk-bentuk yang berupa
pemajasan, penyiasatan struktur, dan pencitraan, dengan memasukkan contoh-contoh
antara lain Keraf.
Pemajasan. Pemajasan (figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa,
penggayabahasaan, yang ,maknanya tidaka menunjuk pada makna harfiah kta-kata yag
mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Bentuk-
bentuk pemajasan yang sering digunakan pengarang adalah bentuik perbandingan, yaitu
membandingkan sesuatu dengan yang lain melalui cirri-ciri kesamaan antara keduanya,
misalnya berupa cirri fisik, sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah laku, dan sebagainya.
Bentuk-bentuk perbandingan tersebut dapat dilihat dari sikap kelangsungan pembandingan
persamaannya dapat dibedakan ke dalam bentuk simile, metafora, dan personifikasi.
Penyiasatan Struktur. Ada bermacam gaya bahasa yang terlahir dari penyiasatan struktur
kalimat. Salah satu gaya yang banyak dipergunakan orang adalah yang berangkat dari bentuk
pengulangan, baik yang berupa pengulangan kata, bentukan kata, frase, kalimat, maupun
bentuk-bentuk yang lain, misalnya gaya repitisi, paralelisme, anaphora, polisidenton, dn
asindenton, sedangkan bentukbentuk yang lain misalnya alitrasi, antitesis, klimaks, antiklimaks,
dan pertanyaan retoris.
Pencitraan. Pencitraan merupakan suatu gaya penuturan yang banyak dimanfaatkan dalam
penulisan sastra. Ia dapat dipergunakan untuk mengkonkretkan pengungkapan gagasan-
gagasan yang sebenarnya abstrak melalui kata-kata dan ungkapan yang mudah
mambangkitkan tanggapan imajinasi. Dengan daya tanggapan indera imajinasinya, pembaca
akan dapat dengan mudah membayangkan, merasakan, dan mengkap pesan yang ingin
disampaikan pengarang.
d. Kohesi
Antara bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain, yang satu dengan yang lain,
terdapat hubungan yang bersifat mangaitkan antarbagian kalimat atau kalimat itu. Penanda
kohesi yang berupa sambungan dalam bahasa Indonesia ada banyak sekali dan berbeda-
beda fungsinya. Ia dapat berupa kata-kata seperti: “dan, kemudian, sedang, tetapi, namun,
melainkan, bahwa, sebab, jika, maka”, dan sebagainya yang menghubungkan antarbagian
kalimat, sebagai preposisi ataupun konjungsi. Penanda kohesi yang menghubungkan

44
antarkalimat biasanya berupa kata atau kelompok kata seperti: jadi, dengan demikian, akan
tetapi, oleh karena itu, di samping itu”, dan sebagainya.
3. Percakapan Dalam Novel
a. Narasi dan Dialog
Sebuah karya fiksi umumnya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan: narasi dan
dialog. Keduanya ditampilkan tidak bersifat monoton, terasa variatif, dan segar. Sebuah novel
yang hanya dituturkan dalam narasi saja, atau dengan dialog yang amat sedikit, misalnya
disamping terasa monoton juga akan membosankan. Apalagi stilenya kurang menarik.
b. Unsur Pragmatik dalam Percakapan
Percakapan yang hidup dan wajar, walau itu terdapat dalam sebuah novel, adalah
percakapan yang sesuai dengan konteks pemakaiannya, percakapan yang mirip dengan
situasi nyata penggunaan bahasa. Bentuk percakapan yang demikian bersifat pragmatik.
Pemahaman terhadap percakan seperti konteks pragmatic disebut implikatur (implicature,
yang sebenarnya merupakan kepekaan dari conversational implicature, ‘implikatur
percakapan’) (Levinson, 1984: 94-100).
c. Tindak Ujar
Bentuk-bentuk penampilan yang berupa perintah, tanya, pernyataan inilah, antara lain,
yang disebut tindak ujar. Pengungkapan kalimat secara berbeda dengan makna yang kurang
lebih sama, seperti telah dikemukakan, merupakan salah satu cara pemilihan stile. Austin
membedakan penampilan tindak ujar ke dalam tiga macam tindak, yaitu lokusi, ilokusi, dan
perlokusi.

45
BAB XI
MORAL
1. Unsur Moral Dalam Fiksi
a. Pengertian' dan Hakikat Moral
Moral, seperti halnya tema, dilihat dan segi dikhotomi bentuk isi karya sastra
merupakan unsur isi. Ia merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada
pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan
lewat cerita. Moral, kadang-kadang, diidentikkan pengertiannya dengan tema walau
sebenamya tidak selalu menyaran pada maksud yang sarna. Moral dan tema, karen a
keduanya merupakan sesuatu yang terkandung, dapat ditafsirkan, diambi! dari cerita, dapat
dipandang sebagai memiliki kemiripan. Namun, tema bersifat lebih kompleks daripada moral
di samping tidak memiliki nilai langsung sebagai saran yang ditujukan kepada pembaca.
Moral, dengan demikian, dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk
yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral (Kenny, 1966: 89). Secara
umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (KBBI,
1994). Istilah "bermoral", misalnya: tokoh bermoral tinggi, berarti mempunyai pertimbangan
baik dan buruk. Namun, tidak jarang pengertian baik buruk itu sendiri dalam hal-hal teltentu
bersifat relatif. Artinya, suatu hal yang dipandang baik oleh orang yang satu atau bangsa
umumnya, belum tentu sama bagi orang yang lain, atau bangsa yang Pandangan seseorang
tentang moral, nilai-nilai, dan kecenderungan-kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh
pandangan hidup, way oflife, bangsanya.
b. Jenis dan Wujud Pesan Moral
Jika tiap karya fiksi masing-masing mengandung dan menawarkan pesan moral,
tentunya ban yak sekali jenls dan wujud ajaran moral yang dipesankan. Dalam sebuah karya
fiksi pun, khususnya novel-novel yang relatif panjang, sering terdapat lebih dari satu pesan
moral-untuk tidak mengatakan terdapat banyak pesan moral yang berbeda. Hal itu belum
Jagi berdasarkan pertimbangan dan atau penafsiran dari pihak pembaca yang juga dapat
berbeda-beda baik dari segi jumlah maupun jenisnya. Jenis dan atau wujud pesan moral
yang terdapat dalam karya sastra akan bergantung pada keyakinan, keinginan, dan interes

46
pengarang yang bersangkutan. Jenis ajaran moral itu sendiri dapat mancakup masalah, yang
boleh dikatakan, bersifat tak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan
kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia.
Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke
dalam persoaian hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia
lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan hubungan
manusia dengan Tuhannya. Jenis hubungan-hubungan terse but masing-masing dapat
dirinei ke dalam detil-detil wujud yang lebih khusus.· Sebuah novel tentu saja dapat
mengandung dan menawarkan pesan moral itu salah satu, dua, at au ketiganya sekaligus,
masingmasing dengan wujud detil khususnya. Namun demikian, sarna halnya dengan
adanya beberapa tema dalam sebuah novel yang terdiri dan tema utama (mayor) dan tema-
tema tambahan (minor), pesan moral pun dapat digolongkan ke dalam yang utama dan yang
sampingan itu. Persoalan yang dihadapi pembaca kemudian adalah: mampukah ia
menemukan dan mengenali pesan-pesan moral itu, dan kalau mungkin mengambil
hikmahnya.
2. Pesan Religius Dan Kritik Sosial
Pesan moral yang berwujud moral religius, termasuk {Ii dalamnya yang bersifat
keagamaan, dan kritik sosial banyak ditemukan dalam karya flksi atau dalam genre sastra yang
lain. Kedua hal tersebut merupakan "lahan" yang banyak memberikan inspirasi bagi para penulis,
khususnya penulis sastra Indonesia modem. Hal itu mungkin disebabkan banyaknya masalah
kehidupan yang tidak sesuai dengan , harapannya, kemudian mert;ka mencoba menawarkan
sesuatu yang diidealkan. a.
a. Pesan Religius dan Keagamaan
Kehadiran unsur· religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan
sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula
segala sastra adalah religius (Mangunwijaya, 1982: 11). Istilah "religius" membawa konotasi
pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdam¬ 327 pingan.
bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan. namun sebenamya keduanya menyaran pada
makna yang berbeda. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada
Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiositas, di pihak lain, melihat aspek yang di

47
lubuk hati. riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian,
religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan
resmi (Mangunwijaya, 1982: 11-2).
Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan
kehidupan ini lebih dad sekedar yang lahiriah saja. Dia tidak terikat pada agama tertentu yang
ada di dunia ini. Seorang penganut agama tertentu, Islam misalnya, idealnya'sekaJigus
religius, namun tidak demikian kenyatannya. Banyak penganut agama tertentu, misalnya
seperti yang terlihat dalam KIP, namun sikap dan tingkah lakunya tidak religius. Moral religius
menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat dan martabat serta
kebebasan pribadi yang dimiliki oleh manusia. Tindakan yang memaksakan kehendak, apalagi
dari pihak yang lebih berkuasa, apa pun wujud kehendak itu, adalah perbuatan yang tidak
manusiawi. tidak religius. Kehendak yang dipaksakan itu yang jelas tidak sejalan dengan
kehendak pihak yang dipaksa, menghi: langkan kebebasan pribadi. menurunkan harkat
kemanusiaan. Hal semacam ini sudah tampak dalam novel-novel Indonesia pada awal
pertumbuhannya dalam wujud pemilihan jodoh. Gejala itu, walau oleh pengarang mungkin
lebih ditekankan sebagai pes an kritik sosial, terkandung perjuangan menegakkan kebebasan
manusiawi, pesan moral religious
b. Pesan Kritik Sosial
Semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga dewasa inL boleh
dikatakan, mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan tingkat intensitas yang
berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik dapat bermacam-macam seluas lingkup
kehidupan sosial itu sendiri. Banyak karya sastra yang bernilai tinggi yang di dalamnF
menampilkan pesan-pesan kritik sosial. Namun, perlu ditegaskan bahwa karya-karya
tersebut menjadi bemilai bukan lantaran pesan itu, melainkan lebih ditentukan oleh koherensi
semua unsur intrinsiknya. Pesan moral hanya merupakan salah satu unsur pembangun
karya fiksi saja, yang sebenarnya justru tidak mungkin terlihat dipaksakan dalam karya yang
baik, walau hal itu mungkin sekali 331 sebagai salah satu pendorong ditulisnya sebuah karya.
Selain itu, pesan moral pun, khususnya yang berupa kritik sosial, dapat mempengaruhi
aktualisasi karya yang bersangkutan. Wujud kritik sosial novel-novel masa Balai Pustaka
misalnya, lebih banyak berkaitan dengan adat-istiadat dan dominasi golongan tua yang

48
tampak "tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan", khususnya dalam hal mengatur dan
menentukan jodoh bagi anak-anak muda. Masalah tersebut memang aktual pada waktu itu,
namun tentunya tidak untuk masa sekarang. Ada berbagai aspek kehidupan sosial yang
Iebih menarik, aktual, relevan untuk diceritakan dan diamanatkan sesuai dengan derap
kehidupan modern.
Pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadiIan, ataupun sifat-
sifat hihur kemanusiaan yang lain. la tid.ak akan diam dan lewat karangannya itu akan
memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannya. Hal-hal yang memang salah dan
bertentangan dengan, sifat-sifat kemanusiaan tidak akan ditutuptutupinya sebab terhadap
nilai seni ia hanya bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Sebaliknya, jika pengarang
menerima paksaan dari Iuar (baca: mau menulis tidak sesuai dengan keyakinan dan kata
hatinya sendiri), padahal itu diketahuinya tidak benar, misalnya sastra yang dipakai sebagai
ajang main politik-politikan seperti pada masa Lekra, ia akan menghasilkan karya seni yang
rendah. Menulis sebentuk karya yang tidak didukung oIeh unsur isi yang sesuai dengan
keyakinan sendiri, atau yang diketahuinya paIsu, adalah kosong, Hal itu juga berarti
pengarang telah membohongi dirinya sendiri
3. Bentuk Penyampaian Pesan Moral
Dari sisi tertentu karya sastra, fiksi, dapat dipandang sebagai bentuk manifestasi
keinginan pengarang untuk mendialog, menawar, dan menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu
mungkin berupa pandangan tentang suatu hal, gagasan, moral atau ama~at. Dalam pengertian
ini, karya sastra pun dapat dipandang sebagai sarana komunikasi. dibandingkan dengan sarana
komunikasi yang lain, tertulis ataupun lisan, karya sastra yang merupakan salah satu wujud karya
seni yang notabene mengemban tujuan estetik. tentunya mempunyai kekhususan sendiri dalam
hal menyampaikan pesan-pesan moralnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk
penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung.
Namun, sebenarnya pemilahan itu hanya demi praktisnya saja sebab mungkin saja ada pesan
yang bersifat agak langsung. Dalam sebuah novel sendiri mungkin sekali ditemukan adanya
pesan yang benar-benar tersembunyi sehingga tak banyak orang yang dapat merasakannya,
namun mungkin pula ada yang agak langsung dan seperti ditonjolkan.
a. Bentuk Penyampaian Langsung

49
Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung. boleh dikatakan, identik
dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifal uraian, telling. atau 'penjelasan, expository.
Jika dalam teknik uraian pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh (-
tokoh) cerita yang bersifat "memberi tahu" atau memudahkan pembaca untuk
memahaminya, hal yang demikian juga terjadi dalam penyampaian pesan moral. Artinya,
moral yang ingin disampaikan. atau diajarkan, kepada pembaca itu dilakukan secara lang
sung dan eksplisit. Pengarang, dalam hal ini, tampak bersifat menggurui pembaca. secara
langsung memberikan nasihat dan petuahnya. Dilihat dari segi kebutuhan pengarang yang
ingin menyampaikan sesuatu kepada pembaca, teknik penyampaian langsung tersebut
komunikatif. Artinya, pembaca memang secara mudah daDal memahamiapa yang
dimaksudkan. Pembaca tidak usah sulit-sulit menafsirkan sendiri dengan jaminan belum
tentu pas. Namun, perlu ditegaskan bahwa hanya pembaca yang kurang berkualitas, atau
lebih ekstrem: pembaca yang bodoh, saja yang mau digurui secara demikian lewat bacaan
"sastra".
Pembaca yang kritis akan menolak earn itu. Pengarang bukanlah "guru" bagi
pembaca, di samping karya sastra bukan merupakan buku pelajaran tentang etika yang
memungkinkan pengarang dapat leluasa menyampaikan ajarannya. Adanya pesan mornl
yang bersifat langsung dalam sebuah karya sebenarnya justru dapat dipandang sebagai
membodohkan pembaca. Karya sastra adalah karya estetis yang memiliki fungsi untuk
menghibur, memberi kenikmatan emosional dan intelektual. Untuk mampu berperan seperti
itu, karya sastra haruslah memiliki kepaduan yang utuh di antara semua unsurnya. Pesan
moral yang bersifat langsung biasanya terasa dipaksakan dan kurang koherensif dengan
unsur-unsur yang lain. Hal itu tentu saja justru akan merendahkan nilai literer karya yang
bersangkutan. Hubungan komunikasi yang terjadi antara pengarang (addresser) dengan
pembaca (addresse) pada penyampaian pesan dengan cara ini adqlah hubungan langsung.

b. Bentuk Penyampaian Tidak Langsung


Jika dibandingkan dengan bentuk sebelumnya, bentuk pen yampaian pes an moral di
sini bersifat tidak langsung. Pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara keherensif
dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau betul pengarang ingin menawarkan dan

50
menyampaikan sesuatu, ia tidak melakukannya secara serta-merta dan vulgar karena ia
sadar telah memilih jaJur eerita. Karya yang berbentuk eerita bagaimanapun hadir kepada
pembaca pertama-tama haruslah sebagai cerita, sebagai sarana hiburan untuk memperoleh
berbagai kenikmatan. Kalaupun ada yang ingin dipesankan-dan yang sebenarnya justru hal
inilah yang mendorong ditulisnya cerita itu-hal itl! hanyalah lewat siratan saja dan terserah
kepada penafsiran pembaca. Bukankah eara penyampaian yang demikian justru memaksa
pembaca untukmerenungkannya. menghayatinya secara lebib intensif? lika dibandingkan
dengan teknik pelukisan watak tokob, cara ini sejaJan dengan teknik ragaan, showing. Yang
dilampilkan dalam cerita adalah peristiwa-perlstiwa, konflik, sikup dan tingkah laku para rokoh
dalam menghadapi peristiwa dan konflik itu, baik yang terlibal dalam tingkah laku verbal, fisik,
maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya.
Melalui berbagai hal tersebut, messages. pesan moral disalurkan. Sebaliknya, dilihat
dad pembaea. jika ingin memahami dan atau menafsirkan pesan itu, haruslah ia
melakukannya berdasarkan cerita, sikap dan tingkah laku para tokoh tersebut. Dilihat dari
kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan pesan dan pandangannya itu, eara
inimungkin kurang komun Artinya, pembaea belum lentu dapat menangkap apa
sesunggubnya yang dimaksudkan pengarang, paling tidak kemungkinan terjadinya kesalahan
tafsir berpeluang besar. Namun, ,hal yang demikian adalah amat wajar, bahkan merupakan
hal yang esensial dalam karya sastra. Bukankah salah satu sifat khas karya sastra adalah
berusaha mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung? Berangkat dari sifat esensi inilah
sastra tampil dengan komplesitas makna yang dikandungnya. Hal itu justru dapat dipandang
sebagai kelebihan karya sastra, kelebihan dalam hal banyaknya kemungkinan penafsiran, dari
orang seorang, dari waktu ke waktu. Hal ini pulalah yang menyebabkan karya sastra sering
tidak ketinggalan, sanggup melewati batas waktu dan kebangsaan. Kalau kita baca Hamlet
karya Shakespeare misalnya, sebuah karya yang ditulis sekian abad yang lalu, kita tetap
merasakan adanya kebaruannya. Selain mungkin pula kita akan menemukan tafsiran yang
berbeda dengan penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh orang-orang sebelumnya,
terrnasuk dalam hal penafsiran unsur pesan.

51
BAB XII
PENUTUP

1. Kesimpulan
Novel merupakan karya prosa fiksi yang ditulis secara naratif (dalam bentuk cerita)
yang memiliki unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik yang dapat mendukung sebuah novel.
Unsur instrinsik itu meliputi tema, tokoh, alur, setting, sudut pandang, dan amanat.
Sedangkan unsur ekstrinsiknya meliputi biografi pengarang, sosial budaya pengarang, politik
dan ekonomi.
Karakteristik dan unsur novel sangat penting untuk menciptakan cerita yang menarik
dan diterima oleh pembaca. Poin penting dalam menulis novel adalah bagaimana tulisan
Anda bisa diterima dan dibaca oleh orang lain. Oleh karena itu, pahami dan kuasai terlebih
dahulu unsur yang terkandung dalam novel.

2. Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat semoga bermanfaat bagi kami dan
pembaca, apabila ada saran yang ingin disampaikan, silahkan sampaikan kepada saya,
apabila terdapat kesalahan saya mohon maaf yang setutus-tulusnya.

52
DAFTAR RUJUKAN

Nurgiyantoro, Burhan. 2007.Teori Pengkajian Fiksi (Cet. Ke-8) . Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.

53

Anda mungkin juga menyukai