DISUSUN OLEH
KELOMPOK 3A:
I Nyoman Bayusenja Nugraha (1905521021)
DOSEN PENGAMPU:
Ni Made Swanendri, S.T., M.T.
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
i
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu. Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat rahmat-Nya kepada kita semua dan pada penulis khususnya, sehingga kami
dapat mengerjakan dan menyelesaikan makalah ini, Adapun, makalah ini disusun dalam
rangka memenuhi penugasan mata kuliah arsitektur dan perilaku pada Program Studi
Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana.
Makalah ini dapat terlaksana akibat adanya dukungan baik material maupun spiritual
dari semua pihak yang telah membantu kelancaran tugas ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dosen pengampu mata kuliah Arsitektur dan Perilaku Program Studi Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Udayana
2. Orang tua, yang telah memberikan bantuan material dan moral
3. Segenap pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung membantu
penulis dalam menyelesaikan tugas ini.
Semoga, makalah yang berhasil disusun ini dapat dimengerti pembacanya dan materi
yang tertuang di dalamnya dapat menjadi sumber informasi yang berguna bagi pembacanya
terutama dalam pengaruh pendekatan preferensi dan kognisi pada karya arsitektur. Namun,
kami juga menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun
memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata maupun apabila ada informasi yang tidak
sesuai dengan fakta-fakta yang ada.
Para penyusun juga mengharapkan adanya masukan serta kritikan dari pembaca agar
dapat mengoreksi diri dan dapat memperbaiki hasil kerja agar terciptanya makalah-makalah
yang lebih baik lagi. Om Santih Santih Santih Om.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
iii
BAB IV
STUDI KASUS & PEMBAHASAN 19
4.1 Identitas Objek 19
4.2 Kasus Preferensi dan Pembahasan 19
4.2 Kasus Kognisi dan Pembahasan 22
BAB V
PENUTUP 23
5.1 Kesimpulan 23
5.2 Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 24
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam menghasilkan sebuah karya, seorang arsitek haruslah mendasari sebuah karyanya
dengan suatu ide pemikiran tertentu. Tentu dalam proses penggalian ide tersebut seorang
arsitek tidak lepas dari hasrat untuk mencari inspirasi baik yang bisa didapatkan dari studi
literatur ataupun mengobservasi berdasarkan sebuah project/pekerjaan yang sedang
dikerjakan. Metode dalam mengembangkan ide tersebut tentunya berbeda-beda, didasari
dengan kemampuan arsitek itu sendiri untuk menggunakan sebuah metode pendekatan
perancangan. Hal ini menjadi penting karena, cara arsitek memahami dan mempelajari
sebuah kasus akan menentukan bagaimana keberhasilan dari proses kerja dari project yang
dia pegang. Melalui makalah ini kami coba mengangkat topik preferensi dan kognisi sebagai
sebuah pendekatan dalam menghasilkan karya arsitektur.
1.3 Tujuan
1
1.3.2 Tujuan Khusus
1.4 Manfaat
2
1.6 Sistematika Pembahasan
3
BAB II
METODE PENELITIAN
2. Survei Lapangan
Pengumpulan data dan dokumentasi berupa foto-foto yang
dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lapangan untuk
memperoleh data secara nyata serta menghayati bagaimana preferensi
dan kognisi dapat mempengaruhi perilaku dalam sebuah karya
arsitektur
3. Pengisian Kuesioner
Pengumpulan data dari pandangan dan pendapat seseorang
untuk mengetahui dan memperkaya referensi dalam keterkaitannya
dengan studi kasus yang dibahas.
4
2.2 Metodologi Analisis
1. Analisis Faktor
Teknik analisis yang tujuannya untuk dapat menyimpulkan suatu data-
data yang mampu menjelaskan hubungan berbagai indikator
independen yang diobservasi
2. Analisis Naratif
Teknik analisis dengan cara penjabaran peristiwa melalui penyusunan
kata-kata yang membentuk cerita/narasi untuk menjelaskan hasil
uraian data yang didapatkan sebagai output.
5
BAB III
KAJIAN PUSTAKA
6
3.2. Preferensi
3.2.1. Definisi Preferensi
Preferensi adalah hak (untuk) didahulukan dan diutamakan, diprioritaskan,
pilihan kecenderungan atau kesukaan dalam menggunakan atau memanfaatkan suatu barang
atau jasa. Preferensi adalah suatu bentuk pernyataan yang menyatakan perasaan lebih suka
dari yang lainnya yang bersifat individual (subyektif). Dalam kamus Bahasa Indonesia kata
preferensi memiliki arti sebagai berikut:
a. (hak untuk) didahulukan dan diutamakan daripada yang lain; prioritas
b. pilihan; kecenderungan; kesukaan.
Scott (1974) mengatakan, arsitektur hendaknya mempunyai tujuan yang humanis.
Bagi Norberg Schulz (1986), tugas para perancang adalah menyediakan suatu pegangan
eksistensial bagi pemakainya agar dapat mewujudkan cita-cita dan mimpinya. Sementara itu,
Charles Jencks (1971) menambahkan bahwa dalam masyarakat pluralis, arsitek dituntut
untuk mengenali berbagai konflik dan mampu mengartikulasikan bidang sosial setiap
manusia pada setiap situasi tertentu. Atau dengan kata lain, membuat desain yang tanggap
sosial. Salah satu cara untuk mewujudkan suatu desain yang tanggap sosial adalah
mempelajari dengan baik preferensi pengguna, karena jika dalam proses perancangan
arsitek hanya memperhitungkan ketentuan maupun standar secara fisik, akan memungkinkan
terjadinya banyak kegagalan dalam desain.
Menurut abdul rahman shaleh dan munhib abud wahab mengartikan preferensi dapat
diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk memberikan perhatian kepada orang dan
bertindak terhadap orang, aktivitas atau situasi yang menjadi objek dari minat tersebut
dengan disertai dengan perasaan senang dan puas. menurut Andi Mappiare definisi preferensi
adalah suatu perangkat mental yang terdiri dari suatu campuran dari perasaan, harapan,
pendirian, prasangka, rasa takut atau kecenderungan lain yang mengarahkan individu kepada
suatu pilihan.
7
housing attributes) dan faktor individu (atribut rumah tangga atau household attributes)
(Tharziansyah, 2002).
b. Atribut Rumah Tangga (household attributes) - Aspek Sosial yang mencakup agama,
bahasa, usia, jumlah anggota keluarga, serta tingkatan keluarga. - Aspek Ekonomi: Pekerjaan,
pendapatan/ pengeluaran - Aspek Budaya: Kesukuan dan kekerabatan.
Preferensi lingkungan merupakan hasil dari persepsi dan sikap manusia terhadap
lingkungannya. Merupakan respon manusia terhadap lingkungan yang bergantung pada
bagaimana individu tersebut memersepsi serta mendeskripsi lingkungan. Salah satu hal yang
dipersepsi manusia terhadap lingkungannya adalah ruang (space) di sekitarnya. Dapat
diungkapkan dengan proses membandingkan, kondisi ini menyebabkan pengguna
membandingkan satu stimulan dengan stimulan yang lain. Dari hasil perbandingan
tersebut pengguna menetapkan mana yang lebih nyaman, indah dan lain sebagainya. Berlyne
(1960) menyebutkan empat kriteria preferensi lingkungan, yaitu kompleksitas (complexity),
kebaruan (novelty), keganjilan (incongruity) dan keterkejutan (surprisingness):
8
berjalan di ruangan sempit secara tidak disadari ruang tersebut mengarah ke
ruang yang bersifat sebaliknya sehingga menimbulkan keterkejutan.
9
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan faktor faktor yang mempengaruhi
preferensi seseorang antara lain:
a. Pengalaman individual
b. Kondisi fisik individu
c. Latar belakang budaya
d. Faktor psikologi individu
e. Faktor lingkungan
f. Waktu
Pengamatan suatu behaviour setting dapat membantu arsitek untuk mengerti preferensi
pengguna karena preferensi terekspresikan dalam perilaku. Apabila kompetensi
pengguna meningkat maka penggunaan penggunaan lingkungan pun akan menjadi
semakin luas. Sebaliknya menurunnya tingkat kompetensi pengguna, misalnya karena faktor
usia atau cacat fisik, akan menyebabkan penggunaan lingkungan lebih terbatas. Kontribusi
studi perilaku-lingkungan pada desain arsitektur adalah memberi masukan mengenai masalah
masalah yang sesungguhnya harus diselesaikan. Tanpa mengetahui ini, desain arsitektur akan
membuat solusi yang tidak bermanfaat. Dengan pendekatan studi perilaku-lingkungan yang
memerlukan penelitian, pengamatan, atau teknik untuk dapat menentukan preferensi
pengguna diharapkan lingkungan fisik yang dirancang mampu memaksimalkan kebebasan
bagi penggunanya untuk memilih cara mereka hidup dan membuka peluang perilaku dan
perseptual untuk mengakomodasikan sebanyak mungkin kebutuhan pengguna.
3.3. Kognisi
10
Kognisi juga merupakan suatu proses mental yang dengannya seorang individu
menyadari dan mempertahankan hubungan dengan lingkungannya baik lingkungan dalam
maupun lingkungan luarnya (fungsi mengenal). Bagian-bagian dari proses kognisi bukan
merupakan kekuatan yang terpisah-pisah, tetapi sebenarnya ia merupakan cara dari seorang
individu untuk berfungsi dalam hubungannya dengan lingkungannya. Proses kognisi meliputi
sensasi, persepsi, perhatian ingatan Asosiasi, pertimbangan, pikiran dan kesadaran.
(Yosep,2007) Kognisi mempunyai istilah ilmiah untuk proses berpikir (process of thought).
Secara etimologis berasal dari bahasa latin cognoscere yang artinya mengetahui, to how
recognize.
Istilah kognisi berasal dari Bahasa latin cognoscere yang artinya mengetahui. Kognisi
dapat pula diartikan sebagai pemahaman terhadap pengetahuan atau kemampuan untuk
memperoleh pengetahuan. Istilah ini digunakan oleh filsuf untuk mencari pemahaman
terhadap cara manusia berfikir. Karya Plato dan Aristoteles telah memuat topik tentang
kognisi karena salah satu tujuan filsafat adalah memahami segala gejala melalui pemahaman
ari manusia itu sendiri.
Kognisi dipakai sebagai proses mental karena kognisi mencerminkan pemikiran dan
tidak dapat diamati secara langsung. Oleh karena itu kognisi tidak dapat diukur secara 7
langsung, namun melalui perilaku yang ditampilkan dapat dipahami dan dapat diamati.
Misalnya kemampuan anak untuk mengingat angka 1-10 atau kemampuan untuk
menyelesaikan teka-teki, kemampuan menilai perilaku yang patut dan tidak untuk diamati.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kognisi maka berkembanglah psikologi kognitif
yang menyelidiki tentang proses berpikir manusia. Proses kognitif menggabungkan antara
informasi yang diterima melalui indera tubuh manusia dengan informasi yang telah disimpan
di ingatan jangka panjang. Kedua informasi tersebut diolah di ingatan kerja yang berfungsi
sebagai tempat proses informasi. Kapabilitas pengelolaan ini dibatasi oleh kapasitas ingatan
kerja dan faktor waktu. Proses selanjutnya adalah pelaksanaan tindakan yang telah dipilih.
Tindakan dilakukan mencangkup proses kognitif dan proses fisik dengan anggota tubuh
manusia (jari, tangan, kaki dan suara) . Tindakan dapat juga berupa tindakan pasif , yaitu
melanjutkan pekerjaan yang telah dilakukan sebelumnya.
Faktor yang mempengaruhi kesulitan dan kecepatan pemilihan dan pelaksanaan
respon adalah kompleksitas keputusan , perkiraan terhadap respon trade-off kecepatan dan
akulturasi dan feedback yang diperoleh ( Groover, 2007. ). Kompleksitas keputusan
dipengaruhi oleh jumlah tindakan yang mungkin dipilih, yang juga berpengaruh terhadap
lamanya waktu pengambilan keputusan. Perkiraan terhadap respon dipengaruhi oleh
11
informasi yang diterima jika informasi yang diterima telah diperkirakan sebelumnya,
pemrosesan informasi akan lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak diperkirakan. Trade-
off antara kecepatan dan akurasi merupakan korelasi negatif antara keduanya pada pemilihan
dan pelaksanaan respon. Dalam beberapa situasi, semakin cepat seorang memilih respon,
kemungkinan kesalahan terjadi meningkat. Feedback merupakan efek yang diketahui oleh
seorang sebagai verifikasi atas tindakan yang dilakukannya. Rentang waktu antara tindakan
dengan feedback harus diminimalisir.
12
Upaya ini melibatkan proses kreativitas yang menghasilkan suatu jalan
penyelesaian masalah yang orisinil dan berguna.
f. Pengambilan keputusan dan penalaran Dalam melakukan pengambilan keputusan
manusia selalu mempertimbangkan penilaian yang dimilikinya. Misalnya
seseorang membeli motor berwarna merah karena kepentingan mobilitasnya, dan
kesenangannya terhadap warna merah. Proses dari pengambilan keputusan ini
melibatkan banyak pilihan. Untuk itu manusia menggunakan penalaran untuk
mengambil keputusan. penalaran adalah proses evaluasi dengan menggunakan
pembayangan dari prinsip-prinsip yang ada dan fakta-fakta yang tersedia.
Penalaran dibagi menjadi dua jenis yaitu penalaran deduktif dan penalaran
induktif.
13
Gambar 2 : Kerangka Teori Kognisi
sumber : www.slideshare.net
Kognisi Lingkungan yang sifatnya abstrak ini , dapat diproyeksikan secara spasial.
Kognisi spasial berkaitan dengan cara kita memperoleh , mengorganisasi , menyimpan dan
membuka kembali informasi mengenai lokasi , jarak dan tatanan di lingkungan fisik.
Termasuk di dalamnya ada perihal penyelesaian masalah navigasi , mengatasi kekacauan ,
mencari jalan keluar atau menolak informasi tentang jalan keluar yang 10 semuanya
berkaitan dengan lingkungan fisik sehari-hari. Termasuk juga rambu-rambu pictorial image ,
dan semantic di dalam benak seseorang.
14
gambaran spasial yang spesifik terhadap suatu lingkungan, dan berpengaruh terhadap pola
perilaku seseorang. David Stea ( 1975 ) mendefinisikan peta mental sebagai suatu proses
yang memungkinkan kita mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan,
memanggil, serta menguraikan kembali informasi tentang lokasi relatif, dan tanda tentang
lingkungan geografis. Semua informasi yang diperoleh disimpan dalam suatu sistem struktur
yang selalu dibawa dalam benak seseorang, dan sampai batas tertentu struktur ini berkaitan
dengan lingkungan yang diwakilinya. Dalam proses ini yang berfungsi bukan hanya indra
penglihatan saja, seorang tunanetra pun bisa membuat peta mental tanpa memakai indra
penglihatan sama sekali. Hasil rekaman dari indra-indra lainnya, seperti bau sampah,
harumnya masakan di restoran atau suara bising, kemudian dihubungkan satu sama lain
sehingga menghasilkan sebuah gambar peta dalam ingatan mereka. Semakin banyak masukan
dan semakin lama kita mengenal suatu daerah maka semakin terinci dan baik peta mental
kita. Kadang terjadi perbedaan peta mental dengan kenyataan, hal ini menunjukkan bahwa
peta mental itu sangat subjektif, apa yang dirasakan penting oleh seseorang akan
digambarkan dengan jelas, berukuran besar, dan sebaliknya sesuatu yang dianggapnya kurang
penting digambarkan kecil, karena peta mental ini peta pengalaman, bukan peta berdasarkan
ukuran yang presisi.
15
2. Sebagai mediasi persepsi Selain sebagai mental setting untuk antisipasi bertindak,
peta mental memungkinkan orang menandai, menstrukturisasikan, dan
menyimpan informasi visual dan spasial, dan mengatur responnya terhadap objek
yang dilihatnya. Melalui pengalamannya, peta mental ini menjadi pengukur
signifikansi lingkungan bagi hidup seseorang.
3. Sebagai tujuan komunikasi dan menunjukkan identitas diri Fungsi peta mental
juga untuk tujuan komunikasi, bahkan untuk menunjukkan identitas diri, misalnya
Bali dengan Pura, Surabaya dengan Tugu Pahlawan, Paris dengan Menara Eiffel
dan sebagainya. Agar peta mental tersebut berguna maka ia harus mampu
memprediksikan sesuatu, artinya tidak cukup dengan jaringan image. Image
tentang lingkungan saat ini harus diasosiasikan dengan image mengenai objek dan
peristiwa yang mungkin akan ada. Demikian pula penelitian peta mental akan
bermanfaat bagi perencana dan arsitek apabila mampu memprediksikan perilaku
atau respon pengguna lingkungan baru di waktu yang akan mendatang
16
c. Faktor Pengaruh Individual Dalam Peta Mental
Peta mental suatu kota dapat dapat dikategorikan menjadi, yakni peta mental
penduduk kota tersebut, serta peta mental pengunjung. Keduanya dapat mirip tetapi
cenderung berbeda, terutama Karena tingkat interaksi antara keduanya berbeda. Pengunjung
terutama, hanya mempunyai kesempatan untuk mengunjungi pusat kota, atau beberapa lokasi
yang menarik untuk dikunjungi, sehingga peta mentalnya cenderung terbatas pada bagian-
bagian yang mereka pernah lihat. Proses kognisi seseorang atau proses pembentukan peta
mental atau image terhadap suatu lingkungan bukan lagi suatu proses yang independen.
Dengan kata lain, kemajuan teknologi komunikasi dan media massa, proses pembentukan
mental seseorang cenderung dipengaruhi atau dimanipulasi oleh pihak lain.Penelitian
mengenai peta mental ini memberi penelitian bagaimana menciptakan bangunan atau
lingkungan yang mudah dilihat dan diingat, sekaligus membangkitkan kekayaan pengalaman
seseorang yang memakainya terutama pada fasilitas publik. Seberapa jelas sebuah lingkungan
harus dibuat, seberapa jauh diharapkan orang mengeksplorasi lingkungan dengan rasa ingin
tahu, itu adalah desain. Pengalaman akan peta mental inilah yang diharapkan dapat
membekali perancang lingkungan untuk berkarya.
1. Conclusion
Arsitektur perilaku merupakan arsitektur yang menerapkan dan menyertakan
pertimbangan-pertimbangan ke dalam suatu perancangan. Pertimbangan-pertimbangan ini
merupakan dasar awal yang dibutuhkan untuk merancang suatu objek-objek dalam arsitektur.
Objek-objek tersebut dirancang dengan melalui pendekatan-pendekatan perilaku yang
dianalisa dengan diamati terlebih dahulu.
Pertimbangan dalam memutuskan sesuatu didorong oleh kognisi atau kepercayaan
seseorang yang didapat dari proses berpikir untuk mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan
tersebut kemudian dimanipulasi melalui aktivitas-aktivitas seperti mengingat, memahami,
menganalisis, menilai, membayangkan, merasakan serta berbahasa. Kognisi juga merupakan
usaha menggali sesuatu melalui pengalaman pribadi sehingga dari pengetahuan yang ada dan
pengalaman yang dimiliki jika dihubungkan dengan bidang arsitektur saat merancang suatu
objek, ruang-ruang yang diciptakan berdasarkan norma, nila-nilai budaya dan nilai-nilai
psikologis manusia yang selanjutnya ruang-ruang tersebut akan membentuk setting tersendiri
dalam hidup manusia.
17
2. Suggestion
Sebaiknya sebagai seorang arsitek dalam merancang suatu objek dilakukan dengan
pertimbangan-pertimbangan yang didasari oleh kognisi baik melalui Analisa, pendekatan,
serta pengalaman pribadi sehingga mampu menciptakan ruang-ruang maupun wadah hidup
manusia berdasarkan norma, nilai-nilai budaya dan nilai psikologis manusia.
18
BAB IV
STUDI KASUS & PEMBAHASAN
a. Preferensi
Nama Bangunan : Gedung Belajar Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik,
Universitas Udayana, Jimbaran.
Tipologi Bangunan : Gedung Belajar yang berisikan ruang-ruang kelas dan studio.
b. Kognisi
Nama Bangunan : Patung Catur Muka, Dangin Puri Kauh, Kec. Denpasar Utara,
Kota Denpasar, Bali.
Tipologi Bangunan : Patung.
Pada kasus ini, kami mengambil studi Ruangan Studio Program Studi Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Udayana Bukit Jimbaran. Membahas tentang preferensi tentu
erat kaitannya dengan pendapat/pandangan dari berbagai pihak. Maka dari itu, kasus ini coba
19
kami bahas menggunakan cara penyebaran kuesioner. Tentu penyebaran ini tidak bisa
dibagikan begitu saja pada khalayak ramai, ada spesifikasi minimal pengisi kuesioner yaitu
paling tidak mereka harus mengetahui jenis ruangan apa yang menjadi objek studinya.
Pengisi kuesioner ini akhirnya kami ambil dari 10 mahasiswa arsitektur itu sendiri yang
sudah tahu bagaimana kondisi ruangan nyatanya. Berikut beberapa tanggapan dari mereka
terkait pertanyaan yang saya ajukan:
Responses 1: Ruang kerja yang ideal memiliki luasan ruangan yang lega untuk bersirkulasi.
Ruangan terkesan luas dan tinggi. Terdapat pencahayaan maksimal. Dapat
menggunakan penghawaan alami. Mendapat View untuk menyegarkan mata.
Dekat dengan toilet. Terdapat sedikit ruang bersantai melihat view.
Dilengkapi dengan peralatan studio yang lengkap. Sumber listrik. Sebisa
mungkin ruangan studio bisa dikerjakan 4-8 orang
Responses 2: Nyaman, aman (materialnya aman untuk digunakan di ruang belajar), kondisi
ruangan sehat dan ruangan cukup luas untuk digunakan banyak mahasiswa
agar lebih mudah dalam beraktivitas/ bekerja dengan menggambar
Responses 3: Desain yang simple dan efisien sekaligus menarik dan enak dipandang
Responses 4: Ruangan yang memiliki sirkulasi gerak yang cukup (tidak sempit), adanya
meja kerja yang cukup besar, ada cahaya alami yang tidak berlebihan, bersih,
sirkulasi udara baik, bertemakan monokrom dan minimalis, terdapat tanaman
penyerap co2 dalam ruangan
Responses 6: Yang nyaman,sejuk, indah dipandang, ada kasur - sofa, wifi dengan koneksi
jaringan yang bagus, mau ngambil makan - minum gampang, desain ruangan
yang enak di mata, tidak monoton, terkesan asri, banyak bukaan tapi sinar
20
matahari tidak terlalu menyengat masuk ke dalam ruangan. Warna ruangan
menyatu dan cocok dengan furniture, ada beberapa tanaman hias dalam
ruangan, elemen atas yang list/tepinya ada sedikit ornamen/ukiran, lampu
menggunakan lampu gantung dengan variasi (untuk tengahnya) sisanya
menggunakan downlight, ada tv, ruangan luas nyaman empuk yg paling
penting.
Responses 7: Studio yang ideal menurut saya adalah studio yang nyaman dan cukup luas
dengan warna ruang didominasi dengan warna warm tone atau monokrom.
Studio dilengkapi furniture yang mendukung kerja dalam studio.
Responses 8: Fasilitas kerja meja kursi nyaman/custom, sirkulasi udara matahari sangat
cukup, luasan ruang bebas, kenyamanan material yang sesuai, fasilitas
elektronik dan terkait lengkap.
Responses 9: Studio yang minimalis, sedikit barang, rapi, memiliki sirkulasi yang baik,
pencahayaan yang baik, bersifat privat, dapat membuat mood naik saat
berada disana dan betah berada didalamnya.
Responses 10: Terdapat perangkat yang memadai sehingga dapat menunjang pekerjaan
dengan maksimal, selain itu ruangan yang nyaman dan aman juga sangat
penting.
Merujuk pada kuesioner tersebut kita dapat merangkum sebuah standar ruangan studio
berdasarkan respon yang diberikan oleh beberapa responden. Didapatkan standar yang wajib
adalah nyaman, sirkulasi baik, ruangan lega, sejuk, pencahayaan baik. Hal lainnya adalah
bagaimana ruangan ini juga wajib berisikan hal-hal yang menunjang dari kegiatan yang
diharapkan terjadi di ruangan ini misal meja, kursi, lampu, d.l.l.
Dibandingkan dengan ruangan studio arsitektur objek studi, tentu ada hal yang sudah
tercapai seperti, ada sarana penunjang, pencahayaan baik. Namun, masih terdapat hal-hal
yang menjadi kekurangan dari ruangan ini seperti, kelegaan, kesejukan, sirkulasi, dan
kenyamanan.
21
4.3. Kasus Kognisi dan Pembahasan
Foto diatas merupakan area sekitar Patung Catur Muka, Kota Denpasar. Menjadi
sebuah titik temu perempatan yang terbentuk sebagai penghubung dan juga pembatas
wilayah-wilayah bangunan di sekitarnya. Berikut penjabaran mengenai unsur-unsur peta
mental pada objek tersebut.
Pada foto diatas dapat dilihat terdapatnya Patung Catur Muka, patung ini sendiri dapat
dikatakan sebagai landmark pada titik ini, karena patung ini sangat mencolok dan dapat
dilihat dari kejauhan.
Kedua yaitu nodes, nodes sendiri merupakan titik temu pada suatu tempat. Nah nodes
atau titik temu pada foto tersebut dapat dilihat pada tanda ‘+’ yang berwarna merah. Disana
dapat dikatakan titik temu ketika orang yang datang dari jalan gajah mada ingin ke jalan-jalan
lainnya begitu pun sebaliknya.
Selanjutnya yaitu terdapatnya path, atau jalur – jalur penghubung dimana jalur ini
menghubungkan satu tempat dengan tempat lain. Pada foto dapat dilihat adanya jalur – jalur
yang menjadi penghubung baik itu menuju Jalan Veteran dengan Jalan Gajah Mada maupun
Jalan Surapati. Disana juga terdapat bangunan seperti Bank Mandiri, Lapangan Puputan,
Pertokoan Gajah Mada dll.
Dan yang terakhir yaitu batas – batas wilayah atau edges. Nah pada foto dapat dilihat
adanya taman dan trotoar jalan, taman dan trotoar jalan inilah yang menjadi pembatas
wilayah. Baik antara bangunan dengan jalan penghubung, maupun antara bangunan dengan
bangunan lainnya.
22
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Preferensi merupakan suatu bentuk pernyataan yang menyatakan perasaan lebih suka
dari yang lainnya yang bersifat individual (subyektif). Kognisi adalah kepercayaan seseorang
tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau serius. Kognisi
dipakai sebagai proses mental karena kognisi mencerminkan pemikiran dan tidak dapat
diamati secara langsung. Oleh karena itu kognisi tidak dapat diukur secara langsung, namun
melalui perilaku yang ditampilkan dapat dipahami dan dapat diamati. Kaitannya dengan
desain adalah, seorang arsitek nantinya harus dapat memenuhi keinginan dari owner dan
menerapkannya pada desain yang akan dibuat. Selain itu bangunan harus jelas dan memiliki
ciri khusus, agar seseorang mudah menemukannya. Disinilah peranan dari kognisi karena
kognisi mencerminkan pemikiran dan tidak dapat diamati secara langsung. Itulah mengapa
pentingnya memperhatikan preferensi dan kognisi dalam mendesain.
5.2 Saran
Dalam proses merancang suatu desain bangunan diperlukan tahapan dari arsitek
seperti proses pola pikir yang matang (kognisi) dan melakukan pertemuan dengan owner atau
client guna membahas rancangan desain agar mendapatkan gambaran mengenai bangunan
yang diinginkan oleh si owner ataupun client. Dari sesi inilah penerapan dari preferensi itu
sendiri. Karena itulah pentingnya preferensi dan kognisi, sehingga nantinya dapat
mewujudkan suatu desain yang baik dan nyaman bagi penggunanya
23
DAFTAR PUSTAKA
Nur’aini, R. D., & Ikaputra, I. (2019). Teritorialitas dalam tinjauan ilmu arsitektur. INERSIA:
lNformasi dan Ekspose hasil Riset teknik SIpil dan Arsitektur, 15(1), 12-22.
Dikutip Dari Rifa’atul Machmudah, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Nasabah Non
Muslim Menjadi Nasabah Di Bank Syariah, h. 24. 35 Andi Mappiare, Psikologi Orang
Dewasa Bagi Penyesuaian Dan Pendidikan, Surabaya, Usana Offsetprinting, 1994, h . 62.
Tutuko, P. (2016, april 30). Kognisi Lingkungan Sebagai Kearifan untuk Pencapaian
Perencanaan dan Perancangan Area Publik.
24