Om Swastiastu,
Terima kasih kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas dari mata kuliah Arsitektur Perilaku, yang
berjudul Pengaruh Lingkungan Terhadap Perilaku Manusia. Penyusunan makalah ini
juga tidak lepas dari pihak-pihak lainnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang
terlibat dalam penyusunan makalah ini serta kepada tim dosen mata kuliah Arsitektur
Perilaku, yaitu;
1. Ni Made Swanendri, ST, MT.
2. Dr. Ir. Ida Bagus Gde Wirawibawa M, MT
Mohon maaf jika dalam penulisan makalah ini hasilnya masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu kami berharap mendapat saran dan masukkan atas kekurangan dari
makalah yang kami buat. Semoga makalah ini dapat memberi informasi dan wawasan
kepada masyarakat untuk membantu meningkatkan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Kelompok 4b
DAFTAR ISI
.......................................................................................................
ii
2.2.
13
3.1. Kesimpulan..................................................................................................
13
14
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.2.2
1.2.3
1.3.2
1.3.3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 AMBIENT ENVIRONMENT
Ambient environtment banyak mengandung pengertian, Menurut Holahan (1982)
kebisingan dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistematis yang secara khusus
diasosiasikan dengan stress. Sementara menuruk Crook dan Langdon mengatakan terdapat
hubungan antara kebisingan dengan aspek-aspek fisik, dan kesehatan mental.
Menurut Rahardjani (1987) dan Ancok (1989) kualitas fisik dari keadaan yang
mengelilingi individu dan mempengaruhi perilaku. Kualitas fisik yang dimaksud yaitu:
kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna.Menurut Ancok (1989),
keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Emosi
yang sernakin tidak terkontrol akan mempengaruhi hubungan sosial di dalam maupun di luar
rumah. Sementara
menurunnya kemampuan untuk mendengar dan turunnya konsentrasi belajar pada anak.
Sedangkan menurut Ancok (1988) sampah, polusi, dan debu adalah sumber penyakit fisik
dan ketegangan jiwa.
Sedangkan menurut Sarwono (1992) terdapat tiga kategori stimulus yang dijadi kan acuan
dalam hubungan lingkungan dengan tingkah laku, yaitu: stimulus fisik yang merangsang
indra, stimulus sosial, dan ,gerakan . Stimulus fisik inilah yang dapat disebut sebagai ambient
environment.
2.1.1 Faktor-faktor Lingkungan
1. Suhu dan Polusi Udara
Suhu menunjukkan derajat panas dari suatu benda atau keadaan. Suhu udara
misalnya, menunjukkan seberapa panas kondisi udara tersebut. Suhu udara sendiri
berbeda-beda di tiap wilayah. Di daerah pegunungan atau daerah yang tinggi
misalnya, relatif lebih dingin dibanding daerah pantai atau daerah lain yang letaknya
di dataran rendah. Begitu pula suhu udara di musim dingin yang tentunya lebih rendah
dibanding suhu udara pada musim panas.
Menurut Holahan (1982) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat
menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku. Beberapa studi
korelasional di beberapa kota di Amerika Serikat menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara musim panas dengan tingkat mortalitas. Bahkan pada tahun
3
Pada penelitian
1982) rupa-
karena adanya
perasaan senasib dalam keadaan stres justru meniadakan efek negatif dari dari
panas. Begitu pula suatu rangkaian studi yang dilakukan oleh Robert Baron dan
kawan-kawan
tinggi justru mengurangi tingkat agresi seseorang terhadap orang lain pada seting
yang sama, yang diduga perasaan senasib yang menjadi faktor penyebabnya.
Hal itu dapat dijelaskan dari proses biologis yang terjadi. Ketika suhu meningkat,
maka suhu tubuh juga akan meningkat aliran darah membesar sehingga darah menjadi
4
lebih dingin dan mengalir ke permukaan kulit, kulit menjadi berwarna merah muda
dan berkeringat serta detak jantung meningkat. Ini menyebabkan manusia menjadi
lebih mudah emosi, meledak-ledak, dan membabi buta (Veitch & Arkkelin, 1995).
Perilaku semacam ini dipercaya memperpendek usia individu. Pada musim-musim
tertentu seperti musim panas atau musim kemarau emosi seseorang akan lebih mudah
meledak-ledak dan kecenderungan agresivitas semakin tinggi. Banyak kebangkitan
politik, pemberontakan, dan revolusi terjadi pada bulan-bulan yang panas
(Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970). Reformasi 1998 juga misalnya terjadi pada
bulan Mei dimana udara sedang berada dalam suhu yang tinggi sehingga menciptakan
kecenderungan untuk meluapkan emosi. Pendekatan ini juga berlaku sebaliknya.
Dalam konser-konser atau demonstrasi misalnya, kita sering melihat polisi
menyemprotkan air kepada kerumunan massa. Tujuannya adalah mendinginkan suhu
udara dengan harapan dapat meredam perilaku agresivitas massa. Ketika bekerja di
perkantoran juga merupakan contoh yang sama di mana individu yang bekerja di
kantor dengan AC sebagai pengkondisian udara maka kualitas kerja dari individu
tesebut akan lebih baik daripada individu yang bekerja pada suhu yang lebih tinggi.
Rahardjani
dipengaruhi
(1987)
melihat
bahwa
rumah sangat
oleh beberapa faktor antara lain: warna dinding dalam dan luar
Suhu yang
paling nyaman adalah kurang lebih 25 derajat Celcius. Apabila suhu menjadi tidak
nyaman (di atas 25 derajat
sehingga akan berakibat gangguan tidur pada malam harinya. Oleh karena itu, aliran
udara menurut Mom dan Wielsebrom (dalam Siswanto, 1986) menjadi hal yang
penting karena secara fisiologi aliran udara berfungsi sebagai pasokan oksigen
untuk pernapasan; mengalirkan uap air yang berlebihan dan asap; mengurangi
konsentrasi gas, bakteri, dan bau; mendinginkan suhu; dan membantu penguapan
keringat manusia.
2. Kebisingan
Menurut Sarwono ( 1992) terdapat tiga faktor yang menyebabkan suara secara
psikologis dianggap bising, yaitu: volume, perkiraan, dan pengendalian.
Dari faktor volume dikatakan bahwa suara yang makin kerasakan dirasakan
mengganggu. Suara kendaraan di jalan raya dari jarak 17 meter (70dB) sudah
mulai mengganggu pembicaraan melalui telepon dan suara truk pengaduk semen,
sementara dari jarak yang sama (90dB) tentunya akan lebih mengganggu.
Jikalau kebisingan dapat diperkirakan datangnya atau berbunyi secara teratur,
kesan gangguan yang ditimbulkan akan lebih kecil dibandingkan jika suara tersebut
datangnya tiba- tiba atau tidak teratur. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No.51/Men/1999 tentang kebisingan adalah sebagai berikut;
kebisingan tersebut sudah semakin menurun (mereda), seseorang boleh jadi menjadi
teradaptasi dan terbiasa untuk melanjutkan kebisingan, walaupun tidak pada setiap
orang. Holahan membedakan pengaruh kebisingan terhadap kinerja manusia menjadi
empat efek, tiga di antaranya adalah efek fisiologis, efek kesehatan, dan efek perilaku.
Pada efek kesehatan Holahan ( 1982) melihat bahwa kebisingan yang dibiarkan
saja kita terima dalam intensitas tinggi dan dalam jangka waktu yang panjang ternyata
dapat menjadi penyebab kehilangan pendengaran yang berarti. Pendapat ini diperkuat
oleh basil studi Cameron dkk. (dalam Holahan, 1982)di beberapa keluarga di Detroit
dan Los Angeles, yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara laporan
mengenai kebisingan dengan laporan mengenai penyakit fisik yang amat akut dan
kronis. Sementara studi lain oleh Crook dan Langdon (dalam Holahan, 1982)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kebisingan dengan aspek-aspek fisik
dan kesehatan mental, seperti sakit kepala, kegelisahan, dan insomnia.
Efek kebisingan yang ketiga yang akan dibahas adalah efek perilaku. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kebisingan yang tidak disukai telah mempengaruhi
hilangnya beberapa aspek perilaku sosial. Penelitian Lawrence Ward dan Peter
Snedfeld pada tahun 1973(dalam Holahan, 1982) yang dilakukan dengan cara
membunyikan kebisingan lalu-Iintas dengan menggunakan tape recorder yang
ditambah dengan loud speaker menunujukkan terjadinya penurunan partisipasi dan
perhatian siswa-siswa di dalam kelas, para profesor juga kurang banyak menanyakan
pendapat dari mahasiswanya.
3. Angin
Udara sendiri tersusun oleh berbagai macam unsur. Mulai dari seberapa banyak
uap air yang terkandung dalam udara yang biasa kita sebut sebagai kelembaban,
hingga kandungan ion-ion dalam udara. Selain itu ada juga tekanan udara. Semua ini
memiliki pengaruh masing-masing terhadap perilaku kita.
Komposisi dan keadaan udara ini sendiri tentunya memiliki pengaruh terhadap
perilaku kerja (Gifford, 1987). Angin misalnya memiliki pengaruh langsung dalam
kehidupan kita. Teknologi kita banyak menggunakan angin dalam aktivitasnya
misalnya untuk melaut, pembangkit listrik, penerbangan, dsb. Efek yang secara
langsung dapat kita lihat adalah manusia cenderung enggan melaut atau terbang
apabila kondisi angin sedang tidak bersahabat.
Angin yang kencang dapat menurunkan kondisi afektif seseorang dan performa
kerja (Veitch & Arkkelin, 1995). Misalnya dalam olahraga voli atau tenis. Tentu
orang akan cenderung enggan melakukan aktivitas tersebut dalam kondisi cuaca yang
berangin karena angin dapat berpengaruh dalam permainan mereka.
Selain angin, tekanan udara juga memiliki pengaruh tersendiri terhadap diri kita.
Sebuah penelitian di Jepang menyebutkan bahwa individu cenderung lebih mudah
lupa pada hari yang memiliki tekanan udara yang rendah (Proshansky, Ittelson, &
Rivlin, 1970).
Kelembaban juga memiliki pengaruh yang berbeda terhadap psikologis manusia
dalam hal ini justifikasi. Angin kering (kelambaban udara yang rendah) berpengaruh
pada rational judgement yang negatif terhadap seseorang (Veitch & Arkkelin, 1995).
Sehingga jika seseorang berkenalan dengan orang asing pada kondisi tersebut, orang
tersebut akan cenderung dinilai negatif dibanding ketika berkenalan dalam kondisi
kelembaban yang tinggi.
Komposisi udara lain yang turut berpengaruh pada perilaku manusia adalah
konsentrasi ion. Konsetrasi ion positif dapat meningkatkan depresi, insomnia, dan
migraine. Orang yang berada dalam kondisi ion positif cenderung memiliki mood
yang buruk dan berperilaku aneh (Veitch & Arkkelin, 1995).
Lain halnya dengan individu yang banyak menghirup ion negatif cenderung
dapat meningkatkan fungsi kognitif, kapasitas kerja, dan efisiensi dalam bekerja.
Konsep yang sama yang diadopsi dalam minuman-minuman isotonik yang
mengandung banyak ion negatif. Tujuannya adalah meningkatkan konsentrasi dan
semangat dalam beraktivitas.
dan Wedford dalam Arend dkk, 1997). Maka, stres dapat diartikan di mana individu
tertekan dalam lingkungan yang sulit dan tidak dapat diatasi oleh individu itu sendiri.
Stres bisa positif dan bisa negatif. Para peneliti berpendapat bahwa stres
tantangan, atau stres yang menyertai tantangan di lingkungan kerja, sangat berbeda
dengan stres hambatan, atau stres yang menghalangi dalam mencapai tujuan.
Meskipun riset mengenai stres tantangan dan stres hambatan baru tahap permulaan,
bukti awal menunjukan bahwa stres tantangan memiliki banyak implikasi yang lebih
sedikit negatifnya dibanding stres hambatan.
Menurut Hendro Prabowo 1998 terdapat 3 faktor yang menyebabkan manusia
atau individu menjadi stress, yaitu:
1.
Faktor lingkungan
Ketidakpastian lingkungan memengaruhi tingkat stres para karyawan dan
organisasi selain memengaruhi desain struktur sebuah organisasi. Perubahan dalam
siklus bisnis menciptakan ketidakpastian ekonomi, misalnya, ketika ekonomi
memburuk orang merasa cemas terhadap kelangsungan pekerjaannya.
2.
Faktor organisasi
Banyak faktor di dalam organisasi yang dapat menyebabkan stres. Tekanan
untuk menghindari kesalahaan atau menyelesaikan tugas dalam waktu yang mepet,
beban kerja yang berlebihan, atasan yang selalu menuntut dan tidak peka, dan rekan
kerja yang tidak menyenangkan adalah beberapa di antaranya. Hal ini dapat
mengelompokkan faktor-faktor ini menjadi tuntutan tugas, peran, dan antar pribadi.
Tuntutan tugas adalah faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang.
Tuntutan tersebut meliputi desain pekerjaan individual, kondisi kerja, dan tata letak
fisik pekerjaan. Sebagai contoh, bekerja di ruangan yang terlalu sesak atau di lokasi
yang selalu terganggu oleh suara bising dapat meningkatkan kecemasan dan stres.
Dengan semakin pentingnya layanan pelanggan, pekerjaan yang menuntut faktor
emosional bisa menjadi sumber stres.
Tuntutan peran berkaitan dengan tekanan yang diberikan kepada seseorang
sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkannya dalam organisasi. Konflik peran
menciptakan ekspektasi yang mungkin sulit untuk diselesaikan atau dipenuhi.
Tuntutan antarpribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh karyawan. Tidak
adanya dukungan dari kolega dan hubungan antarpribadi yang buruk dapat
meyebabkan stres, terutama di antara para karyawan yang memiliki kebutuhan sosial
yang tinggi.
9
3.
Faktor pribadi
Faktor-faktor pribadi terdiri dari masalah keluarga, masalah ekonomi pribadi,
serta kepribadian dan karakter yang melekat dalam diri seseorang.
Survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa orang sangat
mementingkan hubungan keluarga dan pribadi. Berbagai kesulitan dalam hidup
perkawinan, retaknya hubungan, dan kesulitan masalah disiplin dengan anak-anak
adalah beberapa contoh masalah hubungan yang menciptakan stres.
Masalah ekonomi karena pola hidup yang lebih besar pasak daripada tiang
adalah kendala pribadi lain yang menciptakan stres bagi karyawan dan mengganggu
konsentrasi kerja karyawan. Studi terhadap tiga organisasi yang berbeda menunjukkan
bahwa gejala-gejala stres yang dilaporkan sebelum memulai pekerjaan sebagian besar
merupakan varians dari berbagai gejala stres yang dilaporkan sembilan bulan
kemudian. Hal ini membawa para peneliti pada kesimpulan bahwa sebagian orang
memiliki kecenderungan kecenderungan inheren untuk mengaksentuasi aspek-aspek
negatif dunia secara umum. Jika kesimpulan ini benar, faktor individual yang secara
signifikan memengaruhi stres adalah sifat dasar seseorang. Artinya, gejala stres yang
diekspresikan pada pekerjaan bisa jadi sebenarnya berasal dari kepribadian orang itu.
11
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengaruh Lingkungan (Ambient Environment) merupakan suatu keadaan
penyebab reaksi fisiologis yang dapat mempengaruhi keadaan perilaku manusia.
Dimana terdapat beberapa faktor pengaruh lingkungan yang dapat mempengaruhi
perilaku, yaitu : suhu, polusi udara, angin, dan kebisingan.
Suhu dan polusi udara dapat mempengaruhi perilaku dimana suhu yang
paling nyaman pada sebuah ruang adalah kurang lebih 25 derajat Celcius. Namun
jika suhu berubah menjadi di atas 25 derajat Celcius maka suhu tubuh juga akan
meningkat dan aliran darah membesar sehingga darah menjadi lebih dingin dan
mengalir ke permukaan kulit, kulit menjadi berwarna merah muda dan berkeringat
serta detak jantung meningkat. Dalam keadaan seperti ini menyebabkan manusia
lebih mudah emosi dan meledak-ledak sehingga dapat menurunkan kualitas kerja
individu.
Faktor kebisingan dapat menjadi penyebab yang dapat mempengaruhi
perilaku dikarenakan oleh kebisingan yang diterima dengan intensitas yang tinggi
dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan tekanan darah, emosi,
mengganggu konsentarsi, dan merusak pendengaran sehingga dapat menimbulkan
terjadinya gangguan psikologi dan stress.
Angin dan keadaan udara memiliki pengaruh terhadap perilaku kerja dimana
dalam komposisi udara terdapat konsetrasi ion positif yang dapat meningkatkan
depresi, insomnia, dan migraine. Orang yang berada dalam kondisi ion positif
cenderung memiliki mood yang buruk dan berperilaku aneh. Sedangkan individu
yang banyak menghirup ion negatif cenderung dapat meningkatkan fungsi kognitif,
kapasitas kerja, dan efisiensi dalam bekerja.
Dari faktor-faktor teresebut dapat disimpulkan bahwa lingkungan merupakan
salah satu aspek yang penting yang dapat mempengaruhi perilaku dan kualitas kerja
individu
13
3.2 Saran
Sebagai seorang arsitek, dalam merancang sebuah bangunan perlu memahami
dan memperhatikan faktor-faktor penting seperti pengaruh dari lingkungan dan
pengaruh stresss terhadap perilaku sehingga mampu untuk menganalisis dengan tepat
output yang terjadi dari faktor-faktor tersebut. Ketidaktepatan dalam menganalisis
output dapat mempengaruhi perilaku yang tidak nyaman, sehingga faktor-faktor dari
ambient environment sangat penting untuk dipertimbangkan dalam merancang.
14
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER INTERNET
1. http://www.kompasiana.com/hadi_santa/pengaruh-kebisingan-temperatur-danpencahayaan-terhadap-performa-kerja_550081c7813311791bfa78ae (diakses tanggal
6 Oktober 2016 pukul 18.00)
2. http://aditindi.blogspot.co.id/2011/02/kebisingan-mempengaruhi-perilaku.html
(diakses tanggal 6 Oktober 2016 pukul 18.00)
3. http://berpikirberbeda.blogspot.co.id/2011/03/cuaca-iklim-dan-perubahanperilaku.html (diakses tanggal 6 Oktober 2016 pukul 18.00)
4. Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas
Gunadarma. (diakses melalui
https://devianggraeni90.wordpress.com/2011/05/10/definisi-stres-keterkaitan-antarastres-dengan-lingkungan-dan-pengaruh-stres-terhadap-perilaku-individu-dalamlingkungan/ diakses tanggal 6 Oktober 2016 pukul 18.00)
5. Gifford, R. 1987. Environnmental Psychology: Principle and Practice. Boston: Allyn
& Beacon. . (diakses melalui http://berpikirberbeda.blogspot.co.id/2011/03/cuacaiklim-dan-perubahan-perilaku.html diakses tanggal 10 Oktober 2016 pukul 18.00)
6. Mustaqim, Khusni. 2011. Cuaca, Iklim, dan Perubahan Perilaku. (Tersedia di
http://berpikirberbeda.blogspot.co.id/2011/03/cuaca-iklim-dan-perubahan-perilaku.html
diakses tanggal 6 Oktober 2016 pukul 18.00)
15
AMBIENT ENVIRONMENT
Mahasiswa:
Ida Bagus Gede Sugiantara
(1404205027)
(1404205042)
(1404205048)
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
2016