ﷲﻤﺪ
tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat mengundurkan (Nya).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kematian,
Dari kedua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa kematian adalah sesuatu yang mutlak yang telah di
tentukan oleh Allah SWT dan tidak ada seorang manusiapun yang dapat mengelak jika memang sudah
tiba waktunya.
Namun apakah setelah mati itu semuanya telah berakhir????? Tidak, setelah itu akan ada lagi
kehidupan yang menuggu kita seperti kehidupan alam kubur, peniupan sangkakala, kiamat, hari
perhitungan amal buku catatan amal, surga dan neraka. Semua kehidupan ini tidaklah seperti kehidupan
manusia pada saat di dunia, semuanya merupakan kehidupan sebelum kita menghadap Allah SWT
untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita selam hidup di dunia. Orang yang di dunianya
banyak melakukan perbuatan baik dan saleh maka akan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa,
namun sebaliknya orang yang di dunia hanya berbuat kejahatan akan mendapatkan sisksaan yang amat
pedih
Oleh sebab itu, kita yang masih diberikan oleh Allah kesempatan untuk menikmati kehidupan yang
penuh tipu daya ini, mari kita banyak-banyak mengingat kematian.
Rasulullah SAW bersabda:
“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!” (HR.
Tirmidzi)
Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti guru
yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur
kehidupan agar tak lagi menyimpang dari rel-rel yang telah ditetapkan.
Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan
menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam
Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk
kelalaian lagi “Ya
mengatakan, berpaling
Allah,(daripadanya).”
mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan
mengejar ketinggalan.” Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap
datang tanpa ada perundingan.
Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44,
Padahal Allah sudah jauh-jauh memperingatkan manusia melalui firmannya dalam Q.S Al-
munafiquun:
2. dari apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan. “Kematian mengingatkan bahwa
kita bukan siapa-siapa”
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir
segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’,
usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.
Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi
tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah berakhir.?
Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silahkan kita bangga
ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silahkan kita bangga berperan sebagai orang berkedudukan
tinggi, silahkan kita bangga kita berperan sebagai orang yang memiliki mobil 4, motor 5, dan rumah-
rumah mewah. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi,
bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan
dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.
Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya
dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita
selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.
3. dari apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.”Kematian mengingatkan bahwa
kita tak memiliki apa-apa”
Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat
kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan
masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu. Itu pun masih bagus.
Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang.
Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan? Masih
patutkah kita membangga-banggakan harta, jabatan, kekuasaan? Kita datang dengan tidak membawa
apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.
Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan
pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita
bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah?. Setelah itu, kehidupan pun
berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.
̀ ̋
̋
̚ ̇
̪ܩ ˍ ̝˒ ȇ ۮ Ǫ˲ ̋Ǫȇ ǮԹԳ̴̬ ̙ ˅ ߜ ԹǪȇ ܩ ̭ȇ ۮ Ǫ ̾ȅǪ˲Ǫ ߄ ߝ ȇ ࠃ ߷ ȂǵԴ
̣ ̤ ̤
ǵǤ˅˸ ȇ ߝ̢ ȇ ࠃ̠ ̇ۮ Ǫ ˲̪̏̚˕ ̑˷Ǫȇ Ǫ˱̵ ࠃ̸̜ ȃ̸Ǫ ̋ۮ ̈Ǫ ̝̤ ̫ ˸ Ǫ̸̵̴̭Ǫ̴˒ȇҠ˒ ߝ ̲̪ ȇ
̤ ̤ ̤ ̜ ̧̤ ̤
. ˧˲Ǫ ̸ǵ̤̏̚Ǫ̸̵̴̭Ǫ̳ȇ˲˕
̏
̚ ̑˷ ˅̙ .Ǯ˅̲̪ ʼ Ǫȇ ̲̪ ʼ Ǫȇ Ǯࠇ ˸ Ǫȇ ۸̫ ˸ Ǫ
̤ ̧ ̧