Anda di halaman 1dari 70

i

Buku Ini Adalah Dhammadāna

Anda dipersilakan untuk menyalin, menerjemahkan, dan


menyimpan buku ini dalam format apa pun tanpa izin dari
penulis. Namun, anda dianjurkan untuk tidak merubah dan
menyalahartikan penyampaian dari penulis. Juga merupakan
harapan dari penulis agar tidak menyertakan biografi atau foto
dari penulis. Pertanyaan apa pun mengenai buku ini harap
dapat ditujukan ke penulis. Sebagai Dhammadāna, maka buku
ini dan segala bentuk publikasi ulang darinya tidak boleh
diperjualbelikan.

Buku Dhamma dalam bentuk digital (ebook) dapat dibaca dan


diunduh di website Pusdiklat Dhammarakkhita:
www.pusdiklatdhammarakkhita.com

Untuk pemesanan buku dalam bentuk hard copy hanya melalui


Yayasan Dhammika Kalyāṇasahāya (DKS)

Admin: 0812 8220 0218

Judul Buku : Yoniso Manasikāra

Penulis : Bhikkhu Ñāṇukkaṁsa

Ilustrasi Sampul Buku : Pelita merupakan lambang dari


kebijaksanaan yang menerangi dan membantu untuk melihat
kebenaran hakiki
ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Penulis iv


DAFTAR SINGKATAN vii
Pendahuluan 1
De nisi kata Yoni? 1
Bagaimana dengan Yoniso Manasik ra? 2
Jenis-Jenis Makhluk Berdasarkan Akar Batinnya 3
Keadaan Batin Saat Meninggal Menentukan untuk Menjadi Makhluk
Tanpa Akar (Ahetuka) 4
Penyebab Terlahir sebagai Makhluk Dua Akar (Dvihetuka) 6
Penyebab Terlahir sebagai Makhluk Tiga Akar (Tihetuka) 8
Ciri-Ciri Makhluk yang Memiliki Tiga Akar 9
Apakah Makhluk di Neraka Dapat Ber-yoniso Manasikāra? 10
Apakah Hewan Dapat Ber-yoniso Manasikāra? 11
Manusia Dapat Menjadi Sangat Baik atau Menjadi Sangat Jahat 11
Bahaya dari Terlahir sebagai Dewa di Alam Surga 12
Alam Brahma, Tempat yang Mudah untuk Ber-yoniso Manasikāra 14
Mengapa Yoniso Manasik ra Penting? 14
Yoniso Manasikāra Adalah Salah Satu Faktor untuk Mencapai
Pencerahan 17
Dampak Buruk dari Tidak Ber-yoniso Manasikāra 19
Yoniso Manasikāra sebagai Bekal dalam Sisa Saṁsāra 20
Kotoran Batin Adalah Sumber Kon ik di Dunia Ini 21
Apakah Kebijaksanaan (Paññā) Itu? 22
fi



fl

iii

Tingkatan-Tingkatan Kebijaksanaan 23
Menjadi Bijak karena Aspirasi Masa Lampau 25
Mengapa Makhluk Brahma Bijaksana? 26
Jangan Menunggu Sudah Tua Baru Meditasi! 29
Orang yang Sedikit Kilesa Adalah Orang yang Bijaksana 31
Apakah Anda Makhluk Berakar Tiga? 33
Aspek-Aspek Lain Munculnya Kebijaksanaan 33
Cara-Cara Mempraktekkan Yoniso Manasikāra 36
Perumpamaan Kadal yang Masuk ke Gundukan Sarang Rayap 37

SESI TANYA JAWAB

1. Apakah Kebahagiaan dari Hiburan-Hiburan Membantu


atau Malah Mengganggu Meditasi? 45

2. Apa Perbedaan antara Yoniso Manasikāra, Sati, dan Paññā? 53

3. Apa Hubungan antara Yoniso Manasikāra dengan


yathābhūta-ñāṇadassana; atau Misalnya Virāga Vimuccati? 55

4. Mengapa Banyak Brahma yang Mencapai Pencerahan? 58





iv

KATA PENGANTAR PENULIS

Buku ini awalnya merupakan ceramah yang penulis


sampaikan di sebuah retret meditasi yang diselenggarakan via zoom
oleh panitia Vihāra Dhammadāyāda, Medan, pada tanggal 1 Mei
2021, sedangkan penulis sendiri di waktu yang sama sedang
berdomisili di Pusat Meditasi Pa-Auk Tawya Vipassanā Dhura
Hermitage, Taman Sari - Bogor. Keinginan penulis muncul untuk
membahas perihal yoniso manasikāra karena selain konteksnya sangat
sesuai dengan pelatihan yang dilakukan di retret meditasi, topik ini
juga sangat praktikal bagi praktisi atau mereka yang telah memiliki
saṁvega. Setelah anda membaca buku ini anda akan menyadari
pentingnya memunculkan yoniso manasikāra di sepanjang usaha anda
untuk terbebas dari saṁsāra.

Yoniso manasikāra sering dihubungkan dengan fungsi dari


manodvārāvajjanacitta (kesadaran pengarah ke pintu batin). Menurut
anggapan ini, maka impuls batin (javana) akan menjadi bajik atau tidak
bajik semua bergantung pada perhatian (manasikāra) di momen
manodvārāvajjana ini. Namun di beberapa referensi yang penulis
cantumkan di dalam buku ini menunjukkan bahwa yoniso manasikāra
mengacu pada paññā (kebijaksanaan). Jika mengacu pada makna
kebijaksanaan, kebijaksanaan tidak dapat berasosiasi dengan
manodvārāvajjanacitta. Dalam bentuk aktifnya, kebijaksanaan hanya
berasosiasi dengan momen javana. Oleh sebab itu, beberapa guru
menganggap ini pastilah terjadi di momen javana-javana yang terjadi di
proses pintu batin (manodvāravīthi). Dan pembahasan di buku ini akan
mengikuti pandangan yang belakangan.

Selain itu, di dalam buku ini penulis juga menyinggung


beberapa aspek dari kebijaksanaan yang sering dipertanyakan para
praktisi dan umat Buddhis yang sekiranya penting untuk diklari kasi

fi
v

dan diketahui. Karena penting untuk diketahui, penulis juga


mencantumkan referensi-referensi agar mudah dicari bagi mereka
yang serius untuk mendalami topik-topik terkait.

Akhir nya, penulis ingin mengucapkan ungkapan


kebahagiaannya karena buku ini bisa akhirnya rampung karena
dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin memberikan
penghargaan tertinggi kepada para guru yang telah membimbing
penulis di sepanjang perjalanan duniawi dan spiritualnya. Kepada
para murid dan keluarga atas dukungan dan toleransi mereka yang
besar. Kepada para teman dalam kehidupan suci yang telah
memberikan waktu dan tenaga mereka; khususnya kepada Bhikkhu
Ariya yang pertama kali mentranskripsikan ceramah, kepada Bhikkhu
Ariyamagga, Bhikkhu Uttama, Sāmaṇera Paññādhika, Sāmaṇera
Visuddhapañña, dan Sāmaṇera Āraddhavipassaka karena sumbangsih
mereka dalam bentuk moril, teknis, dan dalam hal lainnya.

Penulis juga beranumodana atas dukungan dari Yayasan Satta


Ariya Dhana dan Yayasan Dhammika Kalyāṇasahāya di sepanjang
pengerjaan buku ini. Kepada Pak Equarry atas kepeduliannya. Dan
kepada masih banyak lagi kalyāṇamitta baik dari kalangan monastik
maupun awam yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Dan
akhirnya juga penulis ingin mengucapkan anumodana kepada
segenap donatur yang telah mendukung terealisasinya buku ini.

Penulis berharap agar karya ini memberikan sedikit


bantuannya kepada Buddhasāsana khususnya di Indonesia. Semoga
Buddhasāsana berlangsung lama. Semoga jasa kebajikan dari
pembuatan buku ini melimpah kepada semua makhluk, semua semua
makhluk senantiasa damai dan bahagia. Sādhu…sādhu…sādhu…

vi

Bhikkhu Ñāṇukkaṁsa

Pusat Meditasi Satta Ariya Dhana, Saribu Dolok


Sumatra Utara, Indonesia
Juli 2022

vii

DAFTAR SINGKATAN

A Aṅguttara Nikāya
Abhi Abhidhamma
AbhiA Abhidhamma Aṭṭhakathā
Ads Abhidhammattha Saṅgaha
D Dīgha Nikāya
DA Dīgha Nikāya Aṭṭhakathā
DhpA Dhammapada Aṭṭhakathā
Kh Khuddakapāṭha
M Majjhima Nikāya
MA Majjhima Nikāya Aṭṭhakathā
MiP Milindapañha
Paṭi Paṭisambhidāmagga
PaṭiA Paṭisambhidāmagga Aṭṭhakathā
Peṭa Peṭakopadesa
S Saṁyutta Nikāya
SA Saṁyutta Nikāya Aṭṭhakathā
Thera Theragāthā
TheraA Theragāthā Aṭṭhakathā
TherīA Therīgāthā Aṭṭhakathā
V Vinaya
VA Vinaya Aṭṭhakathā
Vsm Visuddhimagga
VsmṬ Visuddhimagga Mahāṭīkā

viii

Semua referensi berdasarkan versi Chaṭṭhasaṅgīti Piṭaka yang


diterbitkan oleh Ministry of Religious Affair and Culture, Union of
M y a n m a r. U n t u k p e n u l i s a n S A . I h l m . 8 1 ‘ A c c h a r ā -
suttavaṇṇanā’ (Penjelasan Sutta Bidadari), berarti Saṁyutta Nikāya
Aṭṭhakathā, kitab pertama, halaman 81, dan diikuti dengan nama
sutta tersebut. Sedangkan untuk Kitab Abhidhammattha-saṅgaha,
penulisan referensinya misalkan tertulis Ads.III Ālambaṇasaṅgaha
(pengelompokan objek) para. 53, maka seharusnya dibaca sebagai
Kitab Abhidhammatthasaṅgaha, bab 3, bagian pengelompokan objek,
paragraf 53.

Namo Tassa Bhagavato Arahato


Sammāsambuddhassa

PENDAHULUAN

Hari ini hari Sabtu, tanggal 1 Mei 2021. Dalam rangka retret
tiga hari yang diadakan di Vih ra Dhammad y da, Medan, salah satu
cabang Vih ra Pa Auk. Di sela-sela retret ini, Bhante1 ingin
menyampaikan ceramah Dhamma yang mengangkat topik tentang
Yoniso Manasik ra.

De nisi Kata Yoni?

Yoniso Manasik ra berasal dari kata yoniso dan manasik ra.


Yoniso berasal dari kata yoni, apa maknanya? ada bermacam-macam
makna dari yoni. Yang pertama yoni berarti Pa isandhi (kesadaran
kelahiran kembali)2. Pa isandhi adalah sejenis kesadaran yang pertama
kali muncul di suatu kehidupan3. Sebagai seorang manusia, pa isandhi
kita muncul saat kita sedang berada di dalam rahim ibu, pada saat
terjadi pembuahan. Yang kedua, arti kata yoni adalah sebab atau
penyebab4. Yang ketiga adalah kelompok agregat5. Apa yang

1 Bhante di sini digunakan sebagai pengganti kata saya. Tetapi ‘Bhante’ terkadang
juga digunakan sebagai panggilan seorang umat buddhis kepada seorang bhikkhu
Theravāda atau seorang bhikkhu junior kepada bhikkhu yang lebih senior.
2 D.III hlm. 192.
3 Kesadaran Paṭisandhi muncul tepat setelah lenyapnya kesadaran kematian (cuti citta).
Kesadaran kematian merupakan kesadaran terakhir dari sebuah kehidupan, dalam
hal ini kehidupan lampau. Sedangkan paṭisandhi merupakan kesadaran yang
mengawali sebuah kehidupan, dalam hal ini kehidupan sekarang. Demikian
seterusnya.
4 M.III hlm. 182.
5 D.III hlm. 192 dan DA.III hlm. 206.
fi










2

dimaksud dengan kelompok agregat di sini? Agregat fenomena materi,


agregat perasaan, agregat persepsi, agregat bentuk-bentuk batin, dan
agregat kesadaran. Untuk makna yang keempat, yoni artinya metode
atau cara6. Yang kelima, yoni berarti rahim7, jadi rahim ibu juga bisa
disebut sebagai yoni. Kalau diperhatikan, makna yang kelima ini
sangat dekat kaitannya dengan arti kata sebab, bukan? Biasanya untuk
makhluk yang lahir dari rahim seperti manusia di awal kehidupan
dimulai dari rahim, oleh karena itu rahim diumpamakan seperti asal
mula atau sebab. Jadi yoni kadang diartikan sebagai rahim. Oleh sebab
itu, yoni kadang-kadang bisa artinya penyebab. Yang keenam artinya
adalah paññ , kebijaksanaan8.

Bagaimana dengan Yoniso Manasik ra?

Manasmiṁ kāro manasikāro. Manasik ra artinya membuat di


pikiran. Kalau secara har ah manasi artinya di pikiran, sedangkan kāra
artinya adalah membuat. Jadi membuat di pikiran. Apa maksudnya?
Bagaimana jika kita ingin membuat sesuatu muncul di pikiran itu? Ya,
tentunya ia muncul dalam bentuk berpikir atau pemikiran atau
perenungan atau kontemplasi. Waktu kita merenung atau saat kita
berpikir, artinya kita sedang membuat sesuatu muncul di pikiran; apa
yang dibuat muncul? Yoni, suatu cara atau kebijaksanaan. Jadi yoniso
manasik ra bisa kita artikan sebagai merenung dengan bijaksana atau
membuat kebijaksanaan itu muncul di pikiran, itulah
yoniso manasik ra. Jadi yoniso manasik ra itu sinonim atau identik
dengan paññ , yoniso manasik ra identik dengan kebijaksanaan. Siapa
yang seharusnya melakukan yoniso manasik ra, atau siapa yang dapat

6 D.II hlm. 173.


7 MiP hlm. 213.
8 Thera hlm. 252 dan TheraA.I hlm. 354.





fi





melakukan yoniso manasik ra? Jawabannya adalah semua makhluk;


semua makhluk bisa memunculkan yoniso manasik ra, artinya apa?
Semua makhluk dapat memunculkan pikiran yang bijaksana, semua
makhluk dapat merenung dengan bijaksana. Semua makhluk di sini
termasuk makhluk suci, baik seseorang yang telah mencapai tingkat
kesucian Sot panna, Sakad g mī, An g mī, ataupun Arahat. Arahat adalah
makhluk yang paling suci, semua kotoran batinnya telah disingkirkan
tanpa sisa. Meskipun seorang Arahat sudah suci, mereka tetap
senantiasa memunculkan yoniso manasik ra. Maka bukan berarti kalau
sudah tidak ada kotoran batin lalu seseorang tidak perlu berusaha
bijak; tetapi justru perenungannya kebanyakan bijaksana. Sehingga
pola pikir dan kecenderungannya adalah bijak.

Jenis-Jenis Makhluk Berdasarkan Akar Batinnya

Bhante ingin menjelaskan yoniso manasikāra ini berdasarkan


potensi kemunculannya pada makhluk-makhluk. Dijelaskan di dalam
Abhidhamma bahwa, menurut akarnya makhluk itu dibagi menjadi
tiga jenis:
1. Makhluk yang tidak memiliki akar (ahetuka puggala);
2. Makhluk yang berakar dua (dvihetuka puggala);
3. Makhluk yang berakar tiga (tihetuka puggala).

Sejauh yang telah disebutkan di atas, tidak ada makhluk yang


berakar satu. Mengapa tidak ada yang berakar satu? Sebelumnya
Bhante akan menjelaskan terlebih dahulu apa akar itu. Akar di sini
adalah akar batin. Kitab Paṭṭhāna9 menjelaskan bahwa terdapat enam
akar batin. Anda mungkin sering mendengar resitasi, “Hetupaccayo,

9 Kitab terakhir dari seluruh Kitab Abhidhamma. Lihat catatan kaki no. 25.









ārammaṇapaccayo, dst.” Hetu di sini mengacu pada akar batin. Enam


akar batin ini adalah:
1. Lobha (nafsu keserakahan);
2. Dosa (kebencian);
3. Moha (delusi atau kebodohan batin);
4. Alobha (tanpa nafsu keserakahan);
5. Adosa (tanpa kebencian);
6. Amoha (tanpa delusi atau kebijaksanaan).

Kemudian enam akar dikelompokkan kembali menjadi dua


grup; grup pertama disebut grup akar kebajikan dan yang berikutnya
disebut grup akar ketidakbajikan. Yang termasuk dalam grup akar
kebajikan yaitu: alobha (tanpa nafsu keserakahan), adosa (tanpa
kebencian), dan amoha (tanpa delusi atau kebijaksanaan). Ketiganya
disebut akar kebajikan. Tiga yang lainnya disebut akar ketidakbajikan
yang terdiri dari lobha (nafsu keserakahan), dosa (kebencian), dan moha
(delusi).

Keadaan Batin Saat Meninggal Menentukan untuk


Menjadi Makhluk Tanpa Akar (Ahetuka)

Lalu apa yang dimaksud dengan makhluk yang tidak memiliki


akar? Pada saat kita melakukan akusala kamma (ketidakbajikan) di
dalam hidup kita, perbuatan tidak bajik ini cukup kuat sehingga bisa
menghasilkan kamma vip ka (buah kamma). Buah kamma tersebut
dapat membuahkan pa isandhi (kesadaran kelahiran kembali).

Kitab Abhidhamma menjelaskan bahwa objek batin dari


impuls batin terakhir (maraṇāsanna-javana) di dalam suatu kehidupan
sama dengan objek batin di momen paṭisandhi10. Di momen terakhir

10 Ads.III Ālambaṇasaṅgaha (pengelompokan objek) para. 53.



sebelum kita meninggal, impuls batin terakhir akan muncul, yang


mana terjadinya di luar kendali kita. Tetapi kesadaran-kesadaran ini
bukanlah jenis kesadaran buah (vip ka citta)11, sehingga pengalamannya
seperti mengingat, kita mengingat dulu pernah melakukan kamma
tertentu. Waktu itu seolah-olah seperti kita sedang melakukan kamma
tersebut. Misalkan, sebelum meninggal seseorang mengingat sebuah
akusala kamma yang pernah dilakukannya dalam sebuah kehidupan,
dengan kata lain, objek akusala kamma ini menjadi objek dari impuls
batinnya yang terakhir, maka kesadaran paṭisandhi di kehidupan
berikutnya juga akan mengambil objek yang sama. Dijelaskan bahwa
kesadaran paṭisandhi tersebut tidak memiliki akar. Tidak memiliki akar
apa? Tidak memiliki akar Alobha (tanpa nafsu keserakahan), adosa
(tanpa kebencian), dan amoha (kebijaksanaan). Kebanyakan makhluk
yang kesadaran paṭisandhi-nya tidak berakar demikian akan terlahir di
antara empat alam penderitaan12 (sebagai makhluk di neraka (niraya),
sebagai hewan (tiracchānayoni), sebagai hantu (peta), atau sebagai
makhluk asūrakāya).

Apakah makhluk tanpa akar dapat terlahir di alam manusia?


Ya, bisa. Biasanya manusia yang lahir tanpa akar terlahir cacat,
apakah indranya tidak sempurna seperti buta, tuli, atau memiliki jenis-
jenis gangguan jiwa seperti idiot, dll. Oleh sebab itu, cacat yang
disebabkan karena kecelakaan tidak termasuk di sini. Cacatnya juga
bukanlah dikarenakan saat berada di dalam kandungan, bayi
terserang virus yang membuat kegagalan indranya atau misalnya pada
saat bayinya di operasi lalu tertusuk matanya hingga menjadi buta

11 Kesadaran buah pada umumnya muncul dan lenyap di sepanjang kehidupan


terlepas kita menginginkannya atau tidak. Seperti yang terjadi pada saat terdengar
suara dentuman yang keras maka kesadaran pendengaran secara alami akan muncul
mengambil objek yang sangat jelas tersebut. Demikian juga yang terjadi saat
penciuman yang sehat kontak dengan bau yang tajam yang sangat jelas, maka secara
alami akan muncul kesadaran penciuman, dsb. Kesadaran pendengaran (sota-viññāṇa)
dan kesadaran penciuman (ghāna-viññāṇa) ini merupakan jenis-jenis kesadaran buah
(vipākacitta).
12 A.III hlm. 184 atau PaṭiA.I hlm. 280.


6

atau karena satu dan lain hal yang menyebabkan indranya cacat. Jadi
kecacatan ini terjadi karena memang dari awalnya sudah cacat, dari
pa isandhi-nya sudah cacat (tidak sempurna). Contoh lainnya seperti
manusia terlahir tidak memiliki kelamin atau berkelamin ganda atau
buta sedari lahir. Ini adalah ciri-ciri manusia yang tidak memiliki akar.
Bagaimana dengan hewan? Semua hewan tidak memiliki akar
semenjak lahir, begitu juga dengan hantu. Apakah hantu juga
dilahirkan? Hantu tidak lahir melalui rahim tetapi ia lahir atau
muncul secara spontan, ada yang wujudnya langsung dewasa. Begitu
juga dengan makhluk neraka, saat makhluk muncul di neraka mereka
disebut sebagai makhluk neraka. Para makhluk neraka juga tidak
memiliki akar.

Penyebab Terlahir sebagai Makhluk Dua Akar


(Dvihetuka)

Makhluk jenis kedua yaitu makhluk dengan dua akar


(dvihetuka). Apakah yang termasuk dalam dua akar tersebut? Akar
alobha (tanpa nafsu keserakahan) dan akar adosa (tanpa kebencian).
Bagaimana seseorang dapat terlahir sebagai makhluk dua akar?
Misalkan di dalam kehidupan kita, kita melakukan kebajikan (karena
hanya kebajikanlah yang dapat membuahkan akar alobha dan adosa),
tetapi sewaktu kita melakukan kebajikan tersebut, ia tidak diikuti oleh
kebijaksanaan atau tidak diikuti oleh suatu pemahaman. Contohnya
kebajikan yang sering terjadi pada anak-anak. Ketika anak-anak
diminta berdana (memberikan persembahan) umumnya mereka hanya
mengikuti instruksi orang tuanya saja. Misalnya karena diiming-
imingi, “Kalau kamu berdana ke Bhante, nanti mama kasih hadiah”,
kemudian ia berdana. Kebajikan berdana seperti ini merupakan
sebuah kebajikan tetapi tidak diikuti oleh sebuah pemahaman tentang
apa manfaat berdana. Jadi ia hanya sekedar mengikuti omongan atau

instruksi. Tetapi saat ia berdana batinnya tidak serakah, batinnya juga


tidak membenci. Oleh sebab itu, kusala kamma (kebajikan) ini disebut
sebagai hanya memiliki dua akar.

Jika kusala kamma (kebajikan) ini muncul kembali di momen


sebelum meninggal, kesadaran pa isandhi di kelahiran berikutnya akan
menjadi dua akar. Atau pada saat melakukan kebajikan di kehidupan
ini didasari oleh banyak akusala. Misalkan pada saat mempersiapkan
dana seseorang menjadi kesal, “Orang tua tukang jual buah ini lelet,
aku mau cepat-cepat ke Vih ra, dia potongnya lelet!” Pada saat
mempersiapkan barang yang hendak didanakan, banyak pikiran-
pikiran akusala (ketidakbajikan) muncul di batinnya. Kemudian pada
saat berdana ke seorang bhikkhu ia berpikir, “Ini banyak sekali orang,
tempatnya juga panas, orang ini juga tidak terampil, orang itu
berdana dengan serampangan!” Banyak komplain atau pikiran tidak
bajik muncul di batinnya. Atau ia berpikir, “Aduh, saya dananya kok
cuma sedikit, padahal Bhantenya ada banyak”. Ia menjadi menyesal
dan tidak puas. Dalam kasus-kasus ini seseorang berdana (melakukan
kebajikan) tetapi banyak kotoran batin muncul mengitari kebajikan
yang dilakukan. Kotoran batin ini dapat muncul berupa iri hati,
kekikiran (pelit), dapat juga muncul seperti persaingan atau ia hanya
sekedar kesal karena kondisi yang tidak nyaman baginya. Juga setelah
berdana ia bisa menyesal berpikir, “Aduh, tadi seharusnya aku
berdana yang lain bukan yang itu!” atau “Aduh, dana saya kayaknya
kurang, atau malah kebanyakan”. Meskipun seseorang berdana
(melakukan kebajikan) dan meskipun ia mengetahui makna dari
berdana, dana merupakan perbuatan kusala, kemudian dia juga
merenungkan kamma dan akibatnya lalu beraspirasi, “Semoga
dengan kekuatan kamma dari dana ini saya mendapatkan kehidupan
yang lebih baik”. Jika seseorang merenungkan kamma dengan
demikian maka waktu itu muncul kebijaksanaan pada saat berdana.
Batinnya saat itu tidak serakah, tidak juga membenci serta diikuti oleh
pemahaman akan hukum kamma. Bukankah seharusnya ia memiliki


8

tiga akar kebajikan? Lalu bagaimana dia malah menjadi makhluk dua
akar? Sebetulnya akarnya tiga tetapi karena dikelilingi oleh kotoran
batin (kilesa), sebelum, pada saat, dan setelah berdana, oleh sebab itu
pada saat hasilnya berbuah tidaklah murni hasilnya menjadi tiga akar,
turun menjadi dua akar. Inilah kasusnya bagaimana sebuah kebajikan
tiga akar dapat menghasilkan kehidupan sebagai makhluk dua akar.

Dewa juga sama, misalkan dewa rendah (yang bukan di alam


tinggi), dewa rendah ini juga dapat memiliki dua akar, biasanya tidak
cantik, tidak tampan, tidak banyak pengikut, apalagi punya cahaya
yang terang, biasanya hanya dewa dengan status yang rendah.
Biasanya dewa ini tinggal di sekitar manusia (dewa penjaga hutan,
dewa penjaga sungai, penjaga danau, penjaga pintu, dll.).

Penyebab Terlahir sebagai Makhluk Tiga Akar


(Tihetuka)

Seseorang disebut memiliki tiga akar, yaitu pada saat


melakukan kusala kamma, kebajikan tersebut berasosiasi dengan
kebijaksanaan. Pada saat berdana ia melakukannya dengan bijaksana.
Saat mempersiapkan dana, saat sedang berdana, dan setelah berdana
tidak banyak muncul kotoran batin (kilesa). Kusala kamma ini menjadi
superior dan kuat. Pada saat membuahkan hasilnya kamma ini
membuahkan pa isandhi yang memiliki tiga akar.

Jika seseorang hanya merenungkan kamma, bergantung


kedalaman pemahamannya akan hukum kamma tersebut, level
kebijaksanaannya menjadi berbeda. Ada kebijaksanaan yang biasa-
biasa saja misalnya pada saat berdana sembari merenungkan anicca
(tidak kekal), dukkha (tidak memuaskan), anatta (tanpa diri), atau
kebijaksanaan yang lebih unggul seperti merenungkannya sembari


melatih vipassan 13. Sembari ber-vipassan pada saat berdana, dengan


mencermati seluruh tubuh hanyalah berupa fenomena-fenomena
materi (rūpadhamma) yang muncul lenyap dengan cepat ia
merenungkan, “Pendonor anicca, dukkha, anatta. Penerima juga anicca,
dukkha, anatta”. Dana ini menjadi superior sekali, diikuti dengan
kebijaksanaan yang tajam. Ini akan menjadi kebajikan yang memiliki
tiga akar.

Siapakah yang dapat memiliki tiga akar? Hanya manusia,


dewa dan brahma yang dapat terlahir sebagai makhluk tiga akar.
Hewan tidak dapat terlahir sebagai dua akar apalagi tiga akar.

Ciri-Ciri Makhluk yang Memiliki Tiga Akar

Sekarang, Bhante akan menjelaskan ciri-ciri makhluk yang


memiliki tiga akar. Dijelaskan bahwa seseorang yang lahir dengan tiga
akar, yaitu akar tanpa nafsu keserakahan, tanpa kebencian, dan tanpa
delusi atau kebijaksanaan dapat merealisasi yang mendalam seperti
jh na, magga dan phala14 di kehidupan tersebut. Sedangkan orang yang
memiliki dua akar, mereka juga dapat mengembangkan konsentrasi
tetapi tidak bisa mencapai konsentrasi yang terserap seperti jh na.
Mereka juga dapat merenungkan dan melatih vipassanā, tetapi
disepanjang kehidupan ini meskipun ia berusaha ia tidak bisa

13 Di sini yang dimaksudkan penulis dengan merenungkan anicca, dukkha, anatta adalah
hanya sebatas perenungan di permukaan secara umum tanpa melihat kemunculan
dan kelenyapan aktual dari fenomena materi dan fenomena batin (nāmarūpa)
sedangkan melatih vipassanā mengacu pada Perenungan vipassanā menurut Tipiṭaka
yang direnungkan setelah meditator mengembangkan konsentrasi benar
(sammāsamādhi) atau pemurnian batin (cittavisuddhi), dll. seperti di M.I hlm. 199
‘Rathavinītasuttaṁ’ (Sutta tentang Kereta Kuda yang Terlatih).
14 Pencapaian meditatif ini disebut uttarimanussadhamma dalam Pāḷi yang artinya adalah
jenis-jenis kebajikan superior yang melampaui kebajikan dari 10 dasar perbuatan bajik
(dasapuññakiriyavatthu) yang kebanyakan manusia pada umumnya dapat lakukan seperti
kedermawanan, menjaga moralitas, dll.




10

merealisasi tingkat-tingkat kesucian magga dan phala. Ia hanya sebatas


mengumpulkan p ram 15, hanya mengumpulkan kualitas batin sebagai
bekal latihan spiritual di kehidupan-kehidupan berikutnya. Oleh sebab
itu, adalah sangat penting untuk memiliki kebijaksanaan di kehidupan
ini.

Apakah Makhluk di Neraka Dapat Ber-yoniso


Manasikāra?

Menurut kategori alam kehidupan, semakin rendah alamnya


maka akan semakin sulit untuk memiliki yoniso manasik ra, mengapa
sulit? Semakin rendah alam kehidupannya, maka makhluk-makhluk
yang tinggal di sana akan semakin menderita. Misalnya seperti neraka
(niraya) sebagai alam yang terendah di dalam kosmologi Buddhis.
Niraya berasal dari kata ni+aya, ni artinya tidak ada, sedangkan
aya artinya kebajikan (puññā)16; maka niraya artinya tidak ada
kebajikan. Oleh sebab itu, sulit sekali bagi mereka untuk
memunculkan kebajikan di sana. Jarang sekali. Bahkan hampir tidak
muncul, tetapi bukannya tidak bisa muncul sama sekali. Contohnya
pada saat Bhante Mah moggall na pergi ke neraka dan bertanya ke
makhluk di sana, “Mengapa kamu menjadi makhluk neraka?” Lalu
mereka menjawab, “Karena saya melakukan kamma buruk tertentu di
kehidupan lampau”. Pada saat mereka mengetahui mengapa mereka
terlahir di alam neraka yaitu karena di kehidupan lampaunya telah
melakukan kamma buruk, sehingga pada saat itu mereka mengetahui
sebab-akibat. Misalkan pada saat ada seorang Arahat yang datang ke
neraka, pada saat itu mereka bisa muncul kusalacitta.

15Pāramī adalah jenis kebajikan yang dilakukan makhluk dengan aspirasi untuk
menghentikan siklus kelahiran dan kematian.
16VA.I hlm. 135 ‘Dibbacakkhuñāṇakathā’ (Diskusi tentang Pengetahuan Mata Dewa). Aya
juga bisa artinya kebahagiaan (AbhiA.I hlm. 417).






11

Apakah Hewan Dapat Ber-yoniso Manasikāra?

Hewan atau binatang juga dapat melakukan kebajikan,


khususnya hewan-hewan yang dulunya manusia, atau dulunya sering
berbuat kusala, tetapi karena satu dan lain hal di momen sebelum
meninggalnya ada muncul ayoniso-manasik ra (perhatian tidak
bijaksana)17, sehingga ada kesempatan bagi akusala kamma untuk
membuahkan pa isandhi di alam hewan. Tetapi hewan ini
kecenderungannya akan mirip seperti manusia, sebagai contoh, ada
salah satu yogi yang mampu melihat masa lampaunya, dulunya ia
sering berdana tetapi karena satu dan lain hal ia terlahir menjadi
seekor sapi. Sebagai seekor sapi ia memiliki seorang majikan. Saat
majikannya hendak pergi berdana ia menaruh barang-barang yang
ingin didanakan tersebut di atas punggungnya dan kemudian
menungganginya. Oleh karena dulunya si sapi sering berdana, ia
merasa bahagia sewaktu melihat dan memikul barang-barang dana
tersebut. Ia tidak merasa terbebani. Di momen saat ia meninggal, ia
mengingat momen membahagiakan saat membawa barang-barang
dana tersebut, ia terlahir kembali lagi di alam yang baik. Oleh sebab
itu, hewan juga dapat memunculkan yoniso manasik ra meskipun secara
umum ini jarang terjadi. Umumnya, ini disebabkan karena
kecenderungan makhluk tersebut di kehidupan lampaunya.

Manusia Dapat Menjadi Sangat Baik atau Menjadi


Sangat Jahat

Begitu juga dengan alam manusia, manusia tentu dapat ber-


yoniso manasik ra. Alam manusia ini spesial, jika mendapat kondisi yang
tepat manusia bahkan mampu menjadi lebih sakti daripada dewa,

17 Ayoniso manasikāra adalah kebalikan dari yoniso manasikāra. Jika yoniso manasikāra dapat
membuat batin yang bajik berasosiasi dengan kebijaksanaan, maka ayoniso manasikāra
justru membuat batin berasosiasi kotoran batin.




12

lebih sakti daripada brahma. Contohnya siapa? Sang Buddha. Di


alam manusia, manusia mampu mengembangkan apa saja. Manusia
memiliki potensi yang luar biasa, dimulai dari batin yang sama sekali
tidak terlatih dapat dilatih hingga menjadi seorang pemimpin. Atau
bahkan dapat menjadi orang yang paling dihormati di segenap alam,
seperti Sang Buddha. Kemudian para Arahat yang sakti, mereka dapat
mengunjungi alam-alam brahma. Berdiskusi dengan brahma, dan
lain-lain. Tetapi di alam manusia juga ada orang-orang yang sangat
jahat. Bahkan kamma-kamma tersebut dapat membuat mereka
terlahir di alam yang paling rendah. Oleh sebab itu, alam manusia ini
ekstrim, bisa menjadi sangat jahat, bisa juga menjadi sangat baik.
Manusia juga dapat merasakan kebahagiaan, mereka juga dapat
mengalami penderitaan.

Bahaya dari Terlahir sebagai Dewa di Alam Surga

Di alam dewa, para dewa juga dapat mengembangkan yoniso


manasik ra. Tetapi dikarenakan kesenangan indra di alam dewa sangat
intens, kecuali dipengaruhi kecenderungannya di kehidupan
lampaunya, umumnya para dewa melakukan yoniso manasik ra tidak
berdasarkan perenungan yang mendalam. Bhante ingin
menggambarkan situasi di alam dewa menurut penjelasan di
Dhammapada A hakath 18 bahwa di alam Surga Tāvati sa terdapat aula
pertemuan para dewa, tempat berdiskusi Dhamma yang bernama
Aula Sudhamm . Di sana kadang-kadang Raja Sakka19 memberikan
ceramah. Dijelaskan juga bahwa ceramah Raja Sakka itu tidak bisa
mengenai hal yang mendalam sekali. Lalu ceramah seperti apa?

18 DhpA.I hlm. 174 ‘Maghavatthu’ (Cerita tentang Magha).


19 Seorang raja dewa di Surga T vati sa. Ia telah mencapai tingkat kesucian pann
saat mengajukan pertanyaan kepada Buddha di Gua Indas la. (D.II hlm. 211
‘Sakkapañhasuttaṁ’ (Sutta Pertanyaan Sakka).












13

Ceramah yang disampaikan hanya sekedar agar para dewa


pendengarnya dapat mempertahankan keyakinannya untuk
melakukan kebajikan, jadi bukan kebajikan seperti meditasi samatha
maupun vipassan . Di antara para dewa, hanya sedikit saja dewa-dewa
yang di kehidupan lampaunya sudah pernah berlatih samatha atau
vipassan , misalkan kemunculannya sebagai dewa dikarenakan
kebajikannya yang dilakukan di alam manusia yang dulunya pertapa
lalu kemudian membuahkan kelahiran di alam dewa.

Terkadang mereka tidak sadar bahwa mereka telah terlahir


sebagai dewa. Ada sebuah cerita yang menceritakan bagaimana
seorang bhikkhu di jaman Buddha yang sedang bermeditasi yang
kemudian meninggal dan terlahir di alam dewa20. Di momen tersebut,
ia tidak sadar sudah terlahir sebagai dewa, ia melanjutkan meditasinya
sebagai seorang dewa. Sudah menjadi dewa tetapi kecenderungan
batinnya masih seperti seorang pertapa.

Ada dewa-dewa seperti itu tetapi tidak banyak, hanya


sebagian kecil. Lalu apa yang dilakukan oleh kebanyakan dewa?
Kebanyakan dari mereka bersikap lengah. Setelah menjadi dewa lupa
semuanya21. Di alam dewa juga bisa ber-yoniso manasik ra, bisa
melakukan perenungan dengan bijaksana. Tetapi pada umumnya
mereka cenderung suka bersenang-senang. Itu juga sebabnya mereka
disebut dewa22.

20 SA.I hlm. 81 ‘Accharāsuttavaṇṇanā’ (Penjelasan Sutta Bidadari).


21Lihat di M.I hlm. 318 ‘Cūḷataṇhāsaṅkhayasutta’ (Sutta Singkat tentang Penghancuran
Total dari Taṇhā) tentang bagaimana Sakka Raja Dewa lengah bahkan setelah
mendengar penjelasan Dhamma dari Sang Bhagava.
22 MA.I hlm. 35 ‘Bhūtavārādivaṇṇanā’ (Penjelasan Bagian Penunjukan Makhluk) . Tattha
dibbanti pañcahi kāmaguṇehi attano vā iddhiyāti devā. Mereka dapat bersenang-senang
dengan lima kesenangan indra atau dengan kesaktian mereka sendiri oleh sebab itu
mereka disebut dewa.



14

Alam Brahma, Tempat yang Mudah untuk Ber-yoniso


Manasikāra

Bagaimana dengan alam brahma? Di alam brahma justru


lebih sering yoniso manasik ra. Apa penyebabnya? Di alam brahma
hampir tidak memiliki kesenangan indra. Pada umumnya mereka
hanya menikmati kebahagiaan jhāna dan pencapaian phala bagi
brahma yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian. Terlepas usia
mereka yang sangat panjang mereka tidak memerlukan makanan
untuk mempertahankan tubuh siknya. Kebahagiaan pencapaian
meditatifnyalah yang menjadi penyambung kehidupan mereka.
Mereka dapat melihat, mereka dapat mendengar, tetapi mereka tidak
dapat mencium bau, tidak dapat merasakan dengan lidah, dan tidak
dapat merasakan sentuhan. Oleh sebab itu, kesenangan indra di alam
brahma sangat terbatas. Lebih tepatnya mereka tidak merasa
membutuhan objek-objek indra tersebut. Semata-mata dikarenakan
oleh kekuatan pencapai meditatifnya. Dijelaskan bahwa para brahma
menggunakan indra penglihatan dan pendengarannya untuk bertemu
Buddha, bertemu para Arahat (orang-orang suci), untuk berdiskusi
Dhamma, untuk mendeng arkan Dhamma. Dikarenakan
kecenderungan batin dan kemampuan meditatif yang demikian,
mereka menjadi makhluk-makhluk yang memiliki sedikit kotoran
batin saja. Dengan kotoran batin yang sedikit, alam brahma menjadi
tempat yang paling di mudah untuk ber-yoniso manasik ra.

Mengapa Yoniso Manasik ra Penting?

Dengan menyimak penjelasan di atas anda mungkin sudah


paham bahwa bergantung pada perbuatan bajik yang diikuti oleh
kebijaksanaan, maka di kehidupan berikutnya kita bisa mendapatkan
kehidupan dengan pa isandhi yang memiliki tiga akar. Dengan pa isandhi
berakar tiga ini, kita memiliki potensi untuk merealisasi Dhamma




fi



15

yang mendalam. Sebaliknya kalau kita memiliki pa isandhi yang


berakar dua atau yang tanpa akar maka justru di kehidupan ini kita
harus lebih berusaha, karena usaha kita di kehidupan ini akan
mengkondisikan kehidupan yang berikutnya. Buddha berkata
“Yoniso, bhikkhave, manasi karoto anuppann ceva kusal
dhamm uppajjanti uppann ca kusal dhamm
bh van p ripūriṁ gacchanti” 23 . Dengan ini Buddha
menjelaskan bahwa jika seseorang memiliki perenungan yang
bijaksana, apa yang akan terjadi? Kusaladhamma. Kebajikan akan
muncul. Kebajikan yang belum muncul akan muncul dan kebajikan
yang sudah muncul akan menjadi sempurna, menjadi terkembangkan
sempurna. Ini juga yang membuat yoniso manasik ra ini menjadi sangat
penting karena bergantung pada perhatian yang bijaksana di batin
kita, maka akan muncul kusala.

Berlawanan dengan yang namanya, ayoniso manasik ra yaitu


perhatian yang tidak bijaksana, kalau perhatian yang tidak bijaksana
muncul di batin kita, pikiran kita menjadi akusala dan ketidak-bajikan
muncul. Dengan kata lain alih-alih kebajikan yang muncul malah
kotoran batin yang muncul. Sewaktu manasik ra ini muncul bisa kusala,
bisa juga akusala. Misalnya saat kita dipuji orang, kalau kita ayoniso
manasik ra berpikir bahwa, “Wah, enak ya di puji”. Kemudian menjadi
senang atau menjadi bangga24. Inilah akibat dari ayoniso manasik ra.
Atau misalnya waktu kita dicela orang, lalu apa yang kita pikirkan?
“Ah, orang ini, dia tahu apa? Kenapa dia mencela saya? Dia mencela
saya karena dia tidak tahu siapa saya.” Jadi waktu itu apa yang terjadi?
Ayoniso manasik ra. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Kamma
buruk berbuah. Dipuji dan dicela itu adalah buah dari kamma. Dipuji
merupakan buah dari kamma baik. Sedangkan dicela merupakan

23 A.I Ekanipāta ‘Kalyāṇamittādivaggo’ hlm. 12 (Bab tentang Teman Baik, dll.).


24Bangga atau besar hati merupakan sejenis kotoran batin yaitu Māna yang berakar
pada nafsu keserakahan (Lobha).
















16

buah dari kamma buruk. Kalau kita merenungkan, “Oh, ini adalah
kamma saya, kamma buruk saya sedang berbuah. Itu sebabnya saya
dicela orang, di tnah orang”. Jika ia merenung demikian, apa yang
muncul dalam pikirannya? Pikiran bajik. Karena pikiran bajik ini ia
menjadi bijaksana. Karena pikiran bajik itu sendiri diikuti oleh
kebijaksanaan. Kalau ia berpikir bahwa, “Dia tahu apa? Dia tidak
tahu saya siapa.” Waktu itu kesombongan muncul atau pandangan
salah muncul. “Saya! Saya ini siapa, dia tidak tahu!”Dengan demikian
pikiran akusala muncul, kotoran batin muncul.

Oleh sebab itu di sepanjang kehidupan kita, setiap kali indra


kita kontak dengan objek, saat mata kita kontak dengan warna,
hidung kita kontak dengan bau, objeknya bisa saja baik, bisa saja
buruk, bisa saja yang kita mau, bisa juga yang kita tidak mau, bisa
yang kita suka, bisa juga yang kita tidak suka, apa pun objeknya,
semuanya itu terjadi karena buah dari kamma. Di pagi hari kita
bangun tiba-tiba mencium aroma kopi, enak atau tidak? Enak dan
wangi bukan? Biasanya pengalaman itu adalah kusala vip ka (buah dari
kamma bajik) dari kesadaran penciuman.

Kemudian pada saat bangun pagi lalu mendengar suara


kicauan burung yang tidak begitu berisik. Kalau menurut kita indah
maka umumnya itu kusalavipāka. Atau pada saat bangun pagi merasa
terlalu dingin atau terlalu panas maka umumnya ini merupakan akibat
akusalavipāka. Oleh sebab itu, dari bangun pagi sampai kita tidur
malam hari, semua pengalaman kontak dengan enam indra tersebut,
semuanya adalah vip ka (buah dari kamma). Kita dapat simpulkan
bahwa baik atau buruk sebuah pengalaman, semuanya adalah vip ka.
Kalau kita dapat merenungkan, “Oh, ini adalah vip ka, ini adalah
kamma”. Maka batin kita menjadi kusala, kebijaksanaan muncul.
Tetapi kalau kita merenungkan, “Siapa sih ini berisik sekali pagi-pagi
begini? Dia tidak tahu kah saya sedang tidur?” atau “Ini ranjang
kenapa bunyinya ngeot…ngeot…ngeot…ngeot?” Semuanya
fi




17

dikomplain, jadi pikirannya banyak kebencian banyak ketidakpuasan


muncul sepanjang hari. Atau iri hati muncul. Atau terkadang
kesombongan muncul. Itu semua adalah perhatian yang tidak
bijaksana, ayoniso manasikāra, selalu menyalahkan apakah diri sendiri
atau orang lain.

Yoniso Manasikāra Adalah Salah Satu Faktor untuk


Mencapai Pencerahan

Jika kita merujuk pada Mah vagga Pāḷi (Sa yutta), Sang Buddha
ada menjelaskan sutta-sutta 25 seperti Sot pattiphala Sutta,
Sakad g miphala Sutta, An g miphala Sutta, Arahattaphala Sutta26; di sutta-
sutta tersebut Buddha menjelaskan bagaimana kita bisa mencapai
Sot panna, Sakad g mi, An g mi, dan Arahat27. Untuk mencapai tingkat-
tingkat kesucian, di sutta-sutta tersebut dijelaskan ada empat hal yang
kita kembangkan:

1. Yang pertama sappurisasaṁsevo yaitu berasosiasi atau


berteman dengan orang bijaksana. Orang bijaksana adalah orang
yang mampu mempertahankan dan mengembangkan kualitas-
kualitas batin yang baik. Untuk dirinya sendiri atau bahkan
mampu membimbing makhluk lain untuk mengembangkannya;

25Sutta sering diterjemahkan sebagai diskursus. Istilah sutta khususnya mengacu pada
semua ajaran Sang Buddha kecuali perihal Vinaya (disiplin monastik) atau
Abhidhamma (ajaran yang menjelaskan dan mengelompokan fenomena materi dan
fenomena batin beserta sebab dan akibatnya).
26 S.V hlm. 359.
27 Maknanya secara berurutan adalah Pemasuk Arus, Yang Sekali Kembali, Yang
Tidak Kembali, dan Arahat. Empat ini adalah jenis makhluk-makhluk suci yang
masing-masing telah mencapai tingkat-tingkat kesucian, dengan tingkat kesucian
Arahat sebagai yang tertinggi. Di dalam keberlangsungan batin seorang Arahat sudah
tidak mungkin lagi muncul kotoran batin.












18

2. Saddhammassavana yaitu mendengar Dhamma yang sejati


dari orang bijaksana. Orang bijaksana menyampaikan atau
mengajarkan kita, “Ini kusala, ini akusala, ini harus dilakukan, ini
seharusnya dihindari.” Kemudian mereka juga menjelaskan, “Ini
c a r a ny a m e n j a l a n k a n s ī l a ( m o r a l i t a s ) , i n i c a r a ny a
m e n g e m b a n g k a n s a m ā d h i ( k o n s e n t r a s i ) , i n i c a r a nya
mengembangkan vipassan (latihan pengembangan
kebijaksanaan). Maka dengan berteman dengan orang yang
bijaksana kita bisa mendapatkan dan melatih Dhamma yang
sejati (ajaran asli Sang Buddha yang dapat menuntun pada
pembebasan hakiki);
3. Yoniso manasik ra yaitu berperhatian bijak. Dari orang bijak
kita bisa mendapatkan bagaimana mengambangkan yoniso
manasik ra. Mereka mengajarkan, “Ini caranya mengembangkan
kusala”. Pada saat kontak dengan objek yang tidak indah atau
pada saat anda dicela atau dipuji, dan sebagainya, “Seharusnya
anda merenungkan demikian”. Dikarenakan bimbingan dari
orang bijak, kita dapat memunculkan perhatian yang bijaksana
(yoniso manasik ra). Dengan sering kali memunculkan yoniso
manasikāra, lambat laun pandangan dan perspektif kita terhadap
dunia dan pengalamannya akan berubah. Dari yang
berpandangan salah akan berubah menjadi berpandangan benar
sesuai Dhamma;
4. Karena berasosiasi dengan orang bijaksana, kita juga bisa berlatih
sesuai Dhamma. Dhammānudhamma-ppaṭipatti yaitu
latihan setahap demi setahap sesuai Dhamma. Latihan bertahap
ini memiliki satu tujuan, yaitu untuk merealisasi sembilan
lokuttaradhamma28. Secara singkat latihan bertahap ini mengacu
pada latihan sīla, samādhi, dan paññā (vipassanā) —

28 Paṭi hlm. 211. Sembilan lokuttaradhamma (fenomena adiduniawi) ini adalah empat
magga, empat phala, dan Nibbāna. Fenomena ini direalisasi saat seseorang merealisasi
tingkat-tingkat kesucian.




19

Berdasarkan sutta-sutta ini, jika kita memiliki empat hal di


atas, kita dapat mencapai tingkat-tingkat kesucian karena jalannya
benar, caranya benar, latihannya benar. Kita tidak hanya dapat
menjadi seorang Sot panna, tetapi juga dapat menjadi Sakad g mi,
An g mi, atau bahkan menjadi Arahat, dengan yoniso manasikāra sebagai
salah satu faktor yang penting. Oleh sebab itu yoniso manasik ra menjadi
penting, khususnya bagi mereka yang ingin terbebas dari semua
kotoran batin, terbebas dari segenap penderitaan.

Dampak Buruk dari Tidak Ber-yoniso Manasikāra

Mungkin ada orang yang pesimis berpikir, “Ah, di kehidupan


ini saya sepertinya tidak bisa menjadi orang suci!” Mungkin saja ada
yang masih belum memiliki keinginan untuk mencapai pembebasan
kemudian berpikir, “Nanti saja di kehidupan berikutnya, kehidupan
ini saya masih ingin menikmati hidup berumah tangga dan bersenang-
senang dengan teman-teman!” Bagi mereka yang belum memiliki
keinginan untuk mencapai pembebasan, mereka juga tetap perlu
mengembangkan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengapa? Karena kalau kita tidak bijaksana maka banyak kotoran
batin akan muncul. Batin kita akan sering bergejolak. Setiap kali batin
bergejolak akan menimbulkan kegelisahan. Kegelisahan ini akan
menjadi pengkondisi untuk memunculkan lebih banyak kotoran batin.
Setiap kali kita bertindak dengan kotoran batin baik melalui
perbuatan, ucapan, maupun pikiran, kita akan mengakumulasi
kamma-kamma tidak bajik. Jika kondisinya tepat, cepat atau lambat
kita akan memetik buah dari kamma-kamma buruk yang telah kita
lakukan tersebut. Apakah anda ingin memiliki kehidupan yang
dipenuhi oleh pengalaman-pengalaman yang menyakitkan?







20

Yoniso Manasikāra sebagai Bekal dalam Sisa Saṁsāra

Selain itu, mungkin saja ada orang-orang yang karena satu


dan lain hal kemudian tidak ingin mengusahakan pembebasan di
kehidupan ini juga, tetapi mereka beraspirasi untuk mencapai
pembebasan di kehidupan setelah ini atau dalam waktu dekat lainnya.
Bagi mereka tentu saja yoniso manasikāra juga tetap sangat perlu
dilakukan. Tentunya jika anda sudah menyiapkan tabungan, maka
perjalanan anda akan menjadi lebih nyaman dan lebih cepat sampai.
Sama halnya dengan pengembangan kualitas-kualitas batin ini, jika
anda sudah membiasakan diri anda untuk mengembangkan yoniso
manasikāra, maka ini akan menjadi sebuah kebiasaan dan
kecenderungan yang baik tidak hanya dalam kehidupan ini, tetapi ia
juga dapat menjadi kebiasaan yang baik di sepanjang sisa saṁsāra
(siklus keberlanjutan kelahiran dan kematian).

Namun, kita juga harus waspada. Kita tidak boleh lengah.


Karena kebijaksanaan juga merupakan fenomena yang tidak kekal?
Kita harus bersyukur bahwa kebijaksanaan juga anicca (tidak kekal).
Mungkin saja anda akan bingung bertanya, “Loh? Bhante, bukannya
kita itu mau mengembangkan kebijaksanaan? Kenapa Bhante malah
bersyukur pañña itu anicca?” Misalkan kebijaksanaan adalah permanen,
maka sudah pasti kita tidak bisa mengembangkan kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang lebih tinggi. Mengapa? Karena kebijaksanaan kita
akan selalu seperti itu. Misalkan kita hanya sekedar tahu hukum
kamma saja, maka kebijaksanaan kita akan sampai di sana saja. Tetapi
untungnya kebijaksanaan adalah anicca (tidak kekal). Kebijaksanaan
dapat menurun atau bahkan hilang. Jika kebijaksanaan anda menurun
atau hilang kita tidak ber-anumodana (kita tidak ikut berbahagia). Jika
kebijaksanaan anda berkembang, tentunya kita ingin ber-anumodana.
Oleh sebab itu, kita harus usahakan agar kebijaksanaan kita dapat
terus berkembang.

21

Kotoran Batin Adalah Sumber Kon ik di Dunia Ini

Lebih dari 2500 tahun yang lampau Sang Buddha sudah


menunjukkan dunia bahwa kotoran batin adalah akar dari semua
kon ik, baik kon ik internal maupun kon ik eksternal. Di dunia ini
semua kon ik muncul akibat dari perbedaan kepentingan. Ada yang
berusaha mempertahankan kepentingannya berdasarkan lobha (nafsu
keserakahan) lalu memulai kon ik, menyuap, memecah belah, dan
lain-lain. Ada yang memulai kon ik karena khawatir, takut atau hanya
semata-mata karena tidak puas, benci, iri, dll. Ada yang memulai
kon ik karena termakan hasutan orang, karena pandangan salah,
karena ego, atau semata-mata karena ketidakpedulian, dll.

Begitu juga dengan kon ik internal. Orang menjadi emosi,


menjadi depresi, menjadi narsistik, menjadi kecanduan, menjadi
gelisah, dll. semuanya disebabkan karena ketidakmampuan mereka
untuk ber-yoniso manasikāra. Singkatnya, kita dapat menyimpulkan
bahwa sumber kon ik di dunia ini baik yang internal maupun
eksternal berakar pada kotoran batin.

Jika kita tidak memiliki kotoran batin, batin kita akan


senantiasa sejuk dan damai. Jika batin kita damai, maka dunia ini pun
akan menjadi damai. Kita akan hidup berdampingan dengan
harmonis. Manusia tidak memerlukan pagar di rumah mereka.
Mereka tidak memerlukan asuransi. Tanpa kotoran batin dunia ini
tidak memerlukan banyak peraturan untuk menghukum yang
bersalah. Seperti yang terjadi di jaman dulu saat dunia ini dipimpin
oleh Raja Sejagat (Cakkavatti). Di mana semua manusia menjalankan
lima moralitas mendasar (pañcasīla)29. Oleh sebab itu, kotoran batin
adalah biang kerok dari semua kon ik di segenap alam. Tidak hanya

29Tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan hubungan seks yang salah, tidak
berbohong, dan tidak mengkonsumsi minuman atau obat-obatan terlarang yang dapat
melemahkan kesadaran.
fl
fl
fl
fl
fl
fl
fl
fl
fl

fl
fl

22

kon ik di alam manusia, tetapi juga kon ik di alam dewa, dll. Jadi
usaha untuk mengembangkan yoniso manasikāra atau kebijaksanaan
menjadi penting guna mendapatkan kehidupan yang damai dan
harmonis.

Apakah Kebijaksanaan (Paññā) Itu?

Mungkin anda telah paham tentang pentingnya


mengembangkan yoniso manasikāra, pentingnya mengembangkan
kebijaksanaan. Sekarang waktunya kita membahas apa itu
kebijaksanaan. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan
kebijaksanaan, kita perlu mengacu pada penjelasan di Kitab
Abhidhamma yaitu metode lakkhaṇādicatukka30:
1. a. Yathāsabhāvapaṭivedhalakkhaṇā paññā
b. Akkhalitapaṭivedhalakkhaṇā vā kusalissāsakhittausupaṭivedho viya
2. Visayobhāsarasā padīpo viya
3. Asammohapaccupaṭṭhānā araññagatasudesako viya31
4. “Samāhito yathābhūtaṁ jānāti passatī”ti32 vacanato pana samādhi tassā
padaṭṭhānaṁ33—

1. a. Ciri yang pertama adalah memiliki sifat yaitu mengetahui dan


menembus ciri spesi k (sabhāvalakkhaṇa) dan ciri umum
(sāmaññalakkhaṇa) dari fenomena-fenomena kebenaran hakiki
(paramatthadhamma) dengan sebagaimana adanya;
b. Ciri yang kedua adalah mengetahui dan menembus objek

30Sebuah cara yang diterapkan di dalam Kitab Abhidhamma untuk memilah-milah


dan menjelaskan setiap fenomena batin dan fenomena materi, berdasarkan CFMP
(Ciri, Fungsi, Manifestasi, dan Penyebab Terdekat) dari setiap fenomena tersebut.
31 AbhiA.I hlm. 166 ‘Indriyarāsivaṇṇanā’ (Penjelasan Kelompok Indra).
32 A.X.2 hlm. 259 ‘Cetanākaraṇiyasuttaṁ’ (Sutta tentang yang Tidak Perlu Diniatkan).
33Vsm.II hlm. 68 ‘Paññākathā’ (Diskusi tentang Kebijaksanaan). Ini khususnya
merupakan penyebab terdekat bagi pemahaman vipassanā.
fl

fi


fl

23

paramatthadhamma tanpa salah seperti penembusan panah yang


dilepas oleh seorang pemanah yang terampil;
2. Fungsi lakunya adalah menerangi atau membuat agar sifat sejati
dari objek paramatthadhamma menjadi tampak jelas seperti lampu
minyak;
3. Manifestasinya adalah fenomena yang berlawanan dengan delusi
(samoha) seperti penunjuk jalan yang terampil dalam perjalanan di
hutan;
4. Penyebab terdekatnya adalah konsentrasi, karena Sang Buddha
menjelaskan: “Seorang yang memiliki konsentrasi mengetahui
dan melihat fenomena dengan sebagaimana adanya”—

Dari penjelasan di atas, kita telah memahami bahwa sifat


kebijaksanaan adalah mengetahui objek dengan menyeluruh,
menembus, dan jelas. Itu sebabnya sering kali paññā (kebijaksanaan)
disebut sebagai paññindriya, karena sifatnya yang mengetahui objek
secara jelas sehingga pada saat kemunculannya ia mendominasi semua
fenomena bentukan batin lain yang muncul bersamaan dengannya
dan mengambil objek yang sama. Kita juga memahami bahwa pada
saat kemunculannya, kebijaksanaan menyingkirkan delusi seperti
cahaya yang menyingkirkan kegelapan sehingga objek menjadi
tampak jelas.

Tingkatan-Tingkatan Kebijaksanaan

Sebagaimana cahaya yang memiliki kekuatan yang berbeda-


beda seperti cahaya lilin, cahaya bulan, cahaya matahari, dll. Cahaya
lilin tentunya tidak lebih terang dari cahaya matahari sehingga objek
tidak tampak sejelas jika dibandingkan objek yang diterangi cahaya
matahari. Sama halnya dengan kebijaksanaan juga memiliki tingkatan

24

yang berbeda. Oleh sebab itu, berikutnya Bhante ingin membahas


tentang tingkatan-tingkatan kebijaksanaan. Mereka dibagi menjadi34:
1. Sutamayapaññā, yaitu kebijaksanaan yang didapatkan dari
mendengar sebuah ajaran dari seorang guru, teman, dll. atau
kalau di jaman sekarang bisa juga didapatkan dengan membaca
buku atau dari menonton;
2. Cintāmayapaññā, yaitu kebijaksanaan yang didapatkan setelah
merenungkan sebuah ajaran atau gagasan dan memikirkannya
berulang kali hingga sampai pada sebuah kesimpulan yang
disetujui dan diyakini. Kebijaksanaan dari hasil perenungan ini
bisa dari merenungkan gagasan orang lain atau dari gagasannya
sendiri;
3. Bhāvanāmayapaññā, yaitu kebijaksanaan yang didapatkan setelah
merealisasi atau melihat dengan batinnya sendiri sebagai hasil
dari pengembangan batin khususnya dengan batin yang
terkonsentrasi —

Kita dapat simpulkan bahwa kebijaksanaan level pertama


adalah kebijaksanaan teoritis biasanya yang didapatkan dari orang
lain apakah dari membaca atau mendengarnya sendiri. Ini pada
umumnya terjadi pada umat Buddha yang mendengar ceramah atau
sebuah penjelasan Dhamma, kemudian dengan pengetahuan yang
baru tersebut mereka dapat menggunakannya saat ber-yoniso
manasikāra. Kebijaksanaan level berikutnya adalah kebijaksanaan yang
diperoleh sebagai hasil dari perenungan atau pemikiran mendalam
sebagai lanjutan atas sesuatu yang telah didengar atau semata-mata
berupa gagasan pribadinya. Kebijaksanaan jenis ini biasanya terjadi
pada umat Buddha yang mendalami ajaran Buddha dengan
menginvestigasi atau menerapkannya dalam kegiatan sehari-hari
hingga pada sebuah kesimpulan yang dapat diterima akal sehatnya

34Peṭa hlm. 218 atau Vsm.II hlm. 69 ‘Paññābhedakathā’ (Diskusi Pengelompokan


Kebijaksanaan).

25

kemudian meyakininya sebagai sesuatu yang benar dan bermanfaat.


Sedangkan kebijaksanaan yang terakhir adalah kebijaksanaan yang
diperoleh setelah membuktikannya sendiri melalui pencapaian
meditatif. Kebijaksanaan jenis ini biasa terjadi pada umat Buddha
yang telah mencapai tingkat-tingkat meditasi seperti jhāna atau melalui
pengembangan vipassanā atau hingga bahkan perealisasian tingkat-
tingkat kesucian.

Dari sini kita juga telah paham bahwa level kebijaksanaan saat
ber-yoniso manasikāra bisa berbeda-beda. Tentunya semakin kuat
kebijaksanaannya, maka semakin kuat pula yoniso manasikāra meredam
kotoran batin atau bahkan dapat memicu munculnya yoniso manasikāra
atau kebijaksanaan yang baru.

Menjadi Bijak karena Aspirasi Masa Lampau

Sekarang Bhante ingin menjelaskan beberapa hal yang dapat


mengkondisikan seseorang agar memiliki kebijaksanaan atau
penyebab kondusif untuk memunculkan yoniso manasikāra. Apa
p e n y e b a b m u n c u l n y a p a ñ ñ ā ? Ya n g p e r t a m a a d a l a h
paññāsaṁvattaniya-kamma 35 yaitu kamma yang bisa
menyebabkan munculnya paññ . Kamma apa yang bisa menghasilkan
kebijaksanaan? Biasanya ini berhubungan dengan kamma masa
lampau, contohnya di atas Bhante sudah sampaikan. Misalnya pada
saat seseorang berbuat kebajikan dan merenungkan hukum kamma,
maka pikiran bajik itu akan berasosiasi dengan kebijaksanaan. Contoh
lainnya, ada seseorang yang setelah berbuat kebajikan beraspirasi,
“Semoga kebijaksanaan saya semakin kuat, dan satu hari nanti saya
bisa merealisasi Dhamma sehingga bisa menyingkirkan semua kotoran

35TherīA hlm. 131 ‘Khemātherīgāthāvaṇṇanā’ (Penjelasan Syair Theri Khemā) atau


VsmṬ.II hlm. 116.


26

batin”. Di sini, aspirasinya adalah untuk menjadi bijaksana.


Dikarenakan kekuatan kamma dan aspirasinya tersebut, dia bisa
menjadi bijaksana. Dia memiliki benih untuk menjadi bijaksana. Atau
misalnya di kehidupan sebelumnya dia banyak mendukung orang-
orang untuk belajar agar orang-orang menjadi bijaksana. Contohnya
seperti pengurus Vih ra Dhammad y da yang membantu dan
memfasilitasi ceramah Dhamma, agar orang-orang memahami
Dhamma, agar banyak orang menjadi bijaksana. Kamma-kamma
seperti ini membantu agar orang-orang bisa belajar Dhamma atau
berlatih Dhamma dapat menghasilkan sebuah kehidupan sebagai
orang yang memiliki kebijaksanaan yang kuat. Atau juga seperti
Bhante, ini juga kusala kamma. Bhante memberikan ceramah
Dhamma, berbagi Dhamma, mengajar dan belajar Dhamma. Itu juga
adalah kamma bajik yang bisa membuahkan kebijaksanaan (penyebab
munculnya paññ ) yang kuat di kehidupan mendatang. Mengapa di
kehidupan ini ada orang yang paññ -nya kuat, ada yang paññ -nya
tidak kuat? Ini karena salah satu faktornya adalah kamma kehidupan
lampau.

Mengapa Makhluk Brahma Bijaksana?

Yang kedua, aby pajjalok papatti, aby pajja adalah tanpa


kebencian. Kadang juga diterjemahkan sebagai tanpa penderitaan
batin atau mengacu langsung ke alam rūpabrahma36. Upapatti adalah
kemunculan, loka adalah alam. Untuk itu maknanya menjadi muncul
di alam yang tidak ada dosa, tidak ada kemarahan atau kebencian.
Atau bisa juga berarti muncul di alam rūpabrahma. Di alam brahma
tidak bisa muncul dosa citta (batin yang berasosiasi dengan kebencian).

36 AbhiA.I hlm. 118. Rūpabrahma adalah sejenis makhluk yang lebih superior
dibandingkan makhluk dewa. Makhluk brahma terlahir di alam brahma dikarenakan
kekuatan kebajikan konsentrasi rūpajhāna (salah satu pencapaian meditatif yang
terserap ke objek meditasi).










27

Mengapa? Karena telah tertekan oleh kekuatan jh na kusala kamma di


kehidupan sebelumnya. Kebajikan jhāna ini pada saat membuahkan
kehidupan, dia akan menjadi seorang makhluk brahma. Karena
kekuatan jh na-nya tersebut mereka mendapatkan kehidupan ber-
kappa-kappa (jangka waktu yang sangat panjang). Begitu panjangnya
usia mereka sampai bumi ini hancur berapa kali pun mereka belum
mati. Di sepanjang kehidupannya tersebut pikiran dosa tidak bisa
muncul, tetapi bukan berarti sudah disingkirkan secara permanen,
hanya teredam saja.

Di alam brahma juga makhluk brahma tidak perlu makan. Di


sana juga mereka tidak membutuhkan beragam kesenangan indra.
Makhluk brahma memiliki tubuh tetapi tidak sensitif terhadap
sentuhan. Mereka memiliki lidah tetapi tidak dapat merasakan rasa.
Mereka memiliki hidung tetapi tidak dapat mencium bau. Mereka
juga tidak membutuhkan objek-objek kesenangan indra. Oleh sebab
itu, di alam brahma, mereka tidak banyak merasakan penderitaan.
Karena semua ini juga aby pajjalok pappati merupakan salah satu
kondisi untuk memunculkan kebijaksanaan karena mereka juga tidak
banyak memiliki kotoran batin. Kotoran batin mereka teredam oleh
kekuatan jhāna. Maka yang sering muncul adalah yoniso manasik ra.
Kecenderungannya adalah lebih bijak.

Selain itu, jika dilihat dari pa isandhi, mereka memiliki tiga


akar, oleh sebab itu di alam brahma ini makhluk-makhluknya
bijaksana. Sehingga salah satu penyebab munculnya paññā adalah
karena faktor alam kelahiran.

Sang Buddha menjelaskan Mah satipa h na Sutta di negara


Kuru. Negara Kuru memiliki tanah yang sangat subur, iklimnya juga
sangat bagus, sangat kondusif sehingga tanahnya bisa menghasilkan
makanan yang bernutrisi. Makhluk-makhluk yang hidup di sana
kecenderungannya adalah bijaksana. Selain bijaksana, indra dan










28

kemampuan spiritualnya juga kuat. Kemampuan spiritual yang seperti


apa? Keyakinan (saddhābala), konsentrasi (samādhibala), kebijaksanaan
(paññābala), perhatian penuh (satibala), dan usaha (vīriyabala). Lima
kekuatan spiritual (pañcabala) dari makhluk-makhluk di sana cenderung
kuat. Jadi terlahir di tempat yang nutrisi makannya itu bagus, cuaca
bagus, tanahnya subur, di tempat-tempat seperti itu juga kondusif
untuk mengkondisikan paññā (kebijaksanaan) itu lebih sering muncul.

Sedikit penjelasan bagaimana akti tas yang mereka lakukan di


sana. Dijelaskan di Mahāsatipaṭṭhāna Sutta Aṭṭhakathā bahwa Sang
Buddha menjelaskan sutta ini ke penduduk di Kuru bukan karena
tidak ada alasan. Faktanya, Sang Buddha mengajarkan sutta-sutta
yang memiliki makna mendalam kepada mereka, seperti Mahānidāna
Sutta37, Raṭṭhapāla Sutta, Māgaṇḍiya Sutta, Āneñjasappāya Sutta38. Mengapa
sutta-sutta yang memiliki makna mendalam ini diajarkan di sana?
Dijelaskan bahwa mereka memiliki kebiasaan untuk bermeditasi
menurut Satipaṭṭhāna (Landasan Perhatian Penuh). Bahkan ibu-ibu
yang sedang menimba air atau bekerja bersama di sana, mereka
membicarakan subjek-subjek meditasi saat sedang berkumpul,
“Saudari, Satipaṭṭhāna mana yang sedang engkau kembangkan
sekarang?” Jika saat ditanya demikian lalu menjawab, “Tidak ada,”
yang lain akan menegurnya berkata, “Oh, hidupmu itu sungguh
tercela. Meski hidup engkau seperti mati!” Oleh sebab itu, tempat
seorang manusia dilahirkan juga kadang-kadang menjadi faktor untuk
memunculkan yoniso manasikāra atau kebijaksanaan.

37 D.II hlm. 47 ‘Mahānidānasutta’ (Sutta Besar tentang Awal).


38 M.II hlm. 244 (Raṭṭhapāla), M.II hlm. 169 (Māgaṇḍiya), M.III hlm. 48 (Āneñjasappāya).
fi

29

Jangan Menunggu Sudah Tua Baru Meditasi!

Yang ketiga adalah indriyaparip ka. Indranya matang. Di sini


indra mengacu pada Paññindriya. Kalau di Abhidhamma, terkadang
mereka menyebutnya sebagai paññindriya yaitu indra kebijaksanaan39.
Jadi parip ka artinya adalah matang; jadi kematangan dari indra
kebijaksanaan.

Saat kita lahir sebagai manusia, saat kita masih kecil, apakah
kita langsung bijaksana? Tidak. Kita terkadang nakal, lari sana, lari
sini, meski diberitahu pun kita tidak bisa paham, “Ngapain sih orang-
orang tua ini bermeditasi?” “Ngapain mereka ke Vih ra? Mendingan
kita main game!” Mereka berpikir demikian. Jika dijelaskan pun,
pemahaman mereka belum sampai. Bukan karena pikirannya tidak
pintar tetapi kebijaksanaannya masih belum matang, masih hijau.
Oleh sebab itu, mereka belum bisa memahami hal-hal yang
mendalam.

Apakah anda pernah menyadari? Sewaktu kita sudah mulai


dewasa, waktu kita sudah bisa berpikir sendiri atau merenung, kita
tiba-tiba merasa bisa lebih bijak jika dibandingkan dulu. Mungkin kita
pernah pergi ‘dugem’40 dan lain-lain, terus belakangan apa yang
terjadi dengan kita? Seperti menjadi sadar, “Loh, kok tiba-tiba kita
bisa tersadarkan?” Ini sebenarnya telah dijelaskan di A hakath 41.
Dijelaskan bahwa umur empat puluh hingga lima puluh tahun adalah
momen kebijaksanaan berada dalam keadaan paling prima.
Berbahagialah kalian yang sekarang usianya sedang mencapai usia
empat puluh sampai lima puluh tahun. Berarti anda sekarang sedang

39Penjelasan mengapa kebijaksanaan disebut indra lihat di bagian ‘Apakah


Kebijaksanaan Itu?’.
40Istilah modern dari dunia gemerlap atau clubbing. Ini merupakan akti tas di malam
hari yang umumnya dilakukan oleh kalangan dewasa. Akti tas ini mencakup
bersosialisasi, mendengar musik, berjoget, dan menikmati kesenangan indra lainnya.
41 AbhiA.I hlm. 118.



fi

fi



30

dalam momen puncak kebijaksanaan kalian. Oleh sebab itu kalian


harus lebih rajin bermeditasi. Jangan sampai dalam kurun waktu
sepuluh tahun ini anda belum merealisasi apa-apa. Nanti jika usia
lima puluh tahun sudah berlalu, apa yang akan terjadi?
Kebijaksanaannya sudah tidak setajam sebelumnya.

Mengapa umur empat puluh sampai lima puluh merupakan


momen di mana kebijaksanaan dalam keadaan? Dijelaskan bahwa
waktu kita kecil, kita biasanya menyukai kesenangan indra dan
pengendalian diri kita kurang. Kita tidak disiplin, kita juga belum tahu
banyak hal. Kita tidak peduli akan perihal kesehatan. Apalagi perihal
spiritual, perihal adiduniawi seperti mengumpulkan p ramī, atau
seperti harus berusaha menjadi bijaksana. Boro-boro ingin mencapai
samādhi. Boro-boro ingin ber-vipassan . Itu sebabnya waktu kita kecil,
hal-hal seperti itu tidak terpikirkan oleh kita. Kita tidak tertarik akan
hal-hal demikian. Kita juga tidak berusaha mencari. Di Myanmar
sendiri ada istilah bagi mereka yang masih suka bermain-main, bagi
mereka yang masih suka menikmati kesenangan indra, mereka disebut
sebagai ‘kale:’ yang artinya ‘anak-anak’. ‘Anak-anak’ di sini tentu saja
hanya berupa sebutan, tetapi secara makna sebutan ini juga bisa
mengacu pada orang-orang tua yang masih bertindak seperti anak-
anak yang suka bermain dan mengejar kesenangan indra.

Tetapi kalau kita sudah dewasa, kita mulai banyak tahu.


Setelah banyak tahu, kita mulai banyak merenung. Kita juga mulai
banyak merasakan dukkha, naik-turunnya kehidupan. Untuk itu,
sejalan semakin banyaknya pengalaman kita, kita jadi makin banyak
berpikir atau merenung. Oleh sebab itu, secara umum usia empat
puluh sampai lima puluh tahun adalah momen di mana kebijaksanaan
berada di kondisi puncaknya. A hakath menjelaskan seperti demikian.
Kalau di zaman Buddha, rata-rata usia manusia adalah seratus tahun.
Di seratus tahun itu rentangnya menjadi di usia empat puluh sampai
lima puluh tahun, sedangkan rata-rata usia manusia sekarang adalah





31

kurang lebih tujuh puluh lima tahun, jadi rentangnya tentu saja
berubah. Bukan empat puluh sampai lima puluh lagi ya, bisa lebih
cepat. Tetapi tentu saja ada juga kasus di mana sedari kecil sudah
bijaksana. Itu sebabnya kita harus memahami ini sebagai kasus pada
umumnya.

Orang yang Sedikit Kilesa Adalah Orang yang


Bijaksana

Yang keempat adalah kilesad r bh va. D ra artinya jauh,


bh va artinya kondisi. Kondisi yang jauh dari kilesa. Mengapa bisa jauh
dari kilesa? Misalnya karena kecenderungan masa lampau,
dikarenakan latihan masa lampaunya maka sedari kecil pun ia sudah
melihat dukkha. Sedari kecil ia sudah berpikir “Orang-orang lahir,
kemudian pergi sekolah. Selesai sekolah mereka harus bekerja,
kemudian menikah. Setelah menikah punya anak. Setelah punya
anak, mengasuh anak sampai besar. Setelah anaknya besar dan punya
cucu, nanti momong cucu. Karena sudah tua badan sakit-sakitan
kemudian mati. Setelah mati lahir lagi, begitu lagi, sekolah lagi, punya
anak lagi, mati lagi. Berputar terus-menerus. Kapan selesainya?
Adakah pilihan lain?” Kadang ada anak yang seperti itu. Mereka bisa
melihat sa s ra semenjak kanak-kanak atau usia remaja. Tentunya
yang seperti ini sedikit sekali. Bahkan ada anak yang bisa berpikir
“Saya ini dikendalikan oleh kotoran batin. Kok saya mau? Bagaimana
agar kotoran batin ini hilang?” Ada juga yang seperti ini, tetapi sangat
jarang.

Semua itu terjadi karena kekuatan latihannya di masa


lampau. Meskipun di rumah tidak ada yang mengajarkan hidup itu
dukkha namun dia bisa memahaminya. Meskipun semua orang
menyuruhnya untuk melihat bahwa kehidupan itu adalah hal yang
membahagiakan, “Kamu itu harus sekolah, kamu itu harus menikah,







32

kamu itu harus …” Tetapi dia tidak berpikir demikian. Tidak ada
yang mengajarkannya. Tetapi ia bisa punya perenungan seperti itu. Ini
dikarenakan latihannya di kehidupan lampaunya. Jadi karena
kekuatan kebijaksanaannya di masa lampau, di kehidupan ini dia
cenderung menjadi lebih bijaksana dari orang-orang seumurnya.
Karena lebih cenderung bijaksana, dia jauh dari kilesa.

Atau bisa juga karena dari kecil orang tuanya juga suka
meditasi, anaknya juga selalu diarahkan untuk meditasi, berdana,
mengumpulkan p ram . Jadi kecenderungan dari kecilnya dia terbiasa
mengumpulkan kebajikan. Atau misal dari kecil pun jarang berasosiasi
dengan kotoran batin, oleh sebab itu jauh dari kotoran batin. Atau
juga misalnya orang terpelajar. Kalau di zaman dulu, di Tipiṭaka
menjelaskan ekspektasi (pengharapan) terhadap orang yang bijaksana,
terhadap orang yang banyak tahu, terhadap orang yang
berpendidikan adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang
bertutur kata halus, tindak tanduknya terampil, ramah, santun,
berbudaya. Jadi kalau orang yang dikenal terpelajar lalu ketahuan
melakukan pelanggaran sīla, maka akan banyak dicela orang, “Kamu
orang yang terpelajar tidak sepantasnya seperti itu!”

Oleh sebab itu, ekspektasi atau pengharapan terhadap orang-


orang terpelajar seperti dokter, insinyur, guru, pejabat, dll. adalah
lebih tinggi daripada orang yang tidak terpelajar. Jadi contoh
kilesad r bh va adalah orang yang banyak tahu, tahu bahwa ini tidak
baik, tahu bahwa ini harus dihindari, karena mereka bisa
mengendalikan dirinya, mereka jadi jauh dari kilesa sehingga kilesa
jarang muncul.





33

Apakah Anda Makhluk Berakar Tiga?

Yang kelima adalah tihetukapa isandhikat . Di awal Bhante


sudah menjelaskan bahwa jika dari awal sebuah kehidupan kesadaran
kelahiran (paṭisandhi) kita memiliki tiga akar, berarti kecenderungannya
adalah bijaksana. Misalkan ada orang bertanya, “Apakah kita bisa
membedakan antara orang yang tiga akar dengan orang yang dua
akar?” Makhluk yang tiga akar dikatakan lebih bisa mengendalikan
kotoran batin. Jadi pengendalian dirinya lebih baik daripada yang dua
akar. Oleh sebab itu yang memiliki dua akar tidak bisa menembus
Dhamma yang mendalam. Ia bisa punya samādhi, tetapi karena tidak
begitu kuat kemampuan spiritualnya atau kualitas batinnya, maka ia
tidak bisa fokus secara mendalam ke satu objek. Kadang-kadang kilesa
masih muncul. Sedangkan orang yang tihetuka (tiga akar) cenderung
lebih mudah dalam menyingkirkan kotoran batin. Lebih mudah
dalam ber-yoniso manasik ra. Dan saat setelah ber-yoniso manasik ra,
karena kebijaksanaannya cenderung lebih kuat, maka teredamnya
kotoran batin pun berlangsung lebih lama. Semakin kuat
kebijaksanaan seseorang, maka momentum dari kebijaksanaan
tersebut dalam meredam kotoran batin dapat bertahan lebih lama.
Oleh sebab itu, orang yang memiliki tihetuka pa isandhi, karena dari
awalnya sudah memiliki akar kebijaksanaan sehingga cenderung lebih
bisa mengendalikan diri kalau kilesa muncul, mudah terkendali, dan
lebih sering bijaksana atau ber-yoniso manasik ra.

Aspek-Aspek Lain Munculnya Kebijaksanaan

Ada juga aspek-aspek lain mengapa ada orang yang


kecenderungannya mudah dalam memunculkan paññā? Lagi-lagi salah
satunya adalah karena melakukan kebajikan di kehidupan lampaunya
(pubbe ca katapuññat ). Mungkin anda sering mendengar di Ma gala








34

Sutta42, “Pubbe ca katapuññat , etaṁ ma galamuttamaṁ”. Juga karena di


kehidupan sebelumnya melakukan banyak kusala kamma, di
kehidupan yang sekarang ia tinggal di lingkungan yang baik
(patir padesav so). Yang baik itu yang seperti apa? Tempat di mana bisa
bertemu dan berdiskusi dengan orang-orang bijaksana. Tempat di
mana seseorang dapat berasosiasi dengan banyak kalyāṇamitta (teman
baik). Inilah yang disebut sebagai tempat yang baik. Jadi tempat yang
baik bukanlah selalu berarti negar yang maju atau di negara yang
modern. Tempat ini mungkin saja secara materi melimpah ruah,
tetapi jika di tempat tersebut banyak orang yang jahat, banyak orang
yang berpandangan salah, banyak hal-hal yang mudah memunculkan
kilesa, banyak pertikaian, maka itu bukanlah tempat yang baik. Tetapi
meskipun tempat tersebut terletak di desa, jika di sana ada banyak
orang bijaksana, banyak orang yang terbiasa berbuat bajik, maka itu
adalah tempat yang baik. Contoh tempat yang baik itu di mana? Di
Vih ra misalnya. Di vih ra banyak orang baik. Di vihāra banyak
orang melakukan kebajikan. Vihāra adalah tempatnya orang berusaha
berbuat baik, dari berdana, menjaga moralitas, memberikan
pelayanan, belajar dan mengajar Dhamma, bermeditasi, dll. Jadi anda
sebaiknya tinggallah di lingkungan yang baik agar anda lebih banyak
melakukan kebajikan dan mendapat kondisi dalam mengembangkan
paññā (kebijaksanaan).

Oleh sebab itu, jika di masa lampaunya banyak melakukan


kebajikan, ia akan terlahir di lingkungan yang baik. Setelah terlahir di
tempat yang baik, ia akan memiliki banyak kesempatan bertemu
dengan orang-orang bijaksana. Ia akan sering bergaul dengan orang-
o r a n g b i j a k s a n a ( s a p p u r i s p a n i s s a ya ) . U p a n i s s a ya a d a l a h
menggantungkan dirinya, hidupnya. Misalnya, ia memiliki ayah yang
bijaksana, memiliki ibu yang bijaksana, orang tua yang banyak
melakukan kebajikan. Ia akan memiliki keluarga, adik, kakak yang

42 Kh hlm. 3 ‘Maṅgalasutta’ (Sutta tentang Berkah).









35

baik. Ia akan bertemu dengan guru yang baik, guru spiritual yang
baik, guru duniawi yang baik, yang berakhlak baik. Kemudian ia akan
bertemu dengan teman-teman yang baik yang banyak melakukan
kebajikan.

Jika kita berasosiasi dengan orang-orang bijak seperti ini, apa


yang akan terjadi? Saddhammassavana, kita bisa belajar Dhamma yang
sejati, tahu ini kusala, tahu ini akusala, tahu ini yang tidak seharusnya
dilakukan, yang harus dihindari. Setelah mendengar dan belajar
Dhamma yang sejati, apa yang kita lakukan? Attasamm pa idhi,
menaruh diri di tempat yang baik. Apa maksudnya menaruh diri di
tempat yang baik? Misalnya yang semula tidak menjaga moralitasnya,
sekarang ia bisa mengendalikan diri untuk tidak melanggar sīla. Jika
sebelumnya tidak memiiki saddhā (keyakinan), sekarang sudah
memiliki keyakinan. Jika sebelumnya pelit, ia sudah mulai menjadi
dermawan, dst. Artinya sebelumnya tidak baik, sekarang sudah
berhasil menaruh atau menempatkan perilaku, ucapan, dan
pikirannya ke hal yang lebih baik. Orang yang bisa mengendalikan
diri adalah orang yang bisa merenung dengan bijaksana, di batinnya
akan muncul pikiran kusala.

Jadi awalnya adalah dari kehidupan lampau (Pubbe ca


katapuññat ). Karena banyak melakukan kebajikan, kemudian terlahir
di tempat di mana orang- orang bijak tinggal. Setelah itu, karena
sudah terlahir atau tinggal di lingkungan demikian, kita bergaul
dengan mereka. Karena bergaul dengan mereka, kita dapat
mempelajari Dhamma yang sejati. Karena mempelajari Dhamma
yang sejati, kita mampu mengendalikan diri. Rentetan ini jika alurnya
mundur: Mengapa kita bisa mengendalikan diri? Karena kita
mendengarkan Dhamma yang sejati. Mengapa kita mendengarkan
Dhamma yang sejati? Karena bergaul dengan orang yang bijaksana.
Mengapa kita bergaul dengan orang yang bijaksana? Karena kita
terlahir atau tinggal di tempat yang baik (yang banyak orang



36

bijaksana). Mengapa kita bisa tinggal di tempat yang seperti itu?


Karena kamma masa lampau. Masa sekarang akan menjadi masa
lampau untuk kehidupan mendatang, untuk alasan inilah di
kehidupan ini juga kita perlu ber-yoniso manasik ra.

Kita sekarang sudah paham apa yoniso manasik ra itu, mengapa


yoniso manasik ra penting, kemudian bagaimana orang terkadang bisa
menjadi lebih bijaksana daripada yang lain, apa penyebabnya, semua
Bhante sudah jelaskan di atas.

Cara-Cara Mempraktekkan Yoniso Manasikāra

Sekarang kita akan menjelaskan bagaimana cara menerapkan


yoniso manasikāra dalam keseharian kita? Misalnya dengan
menerapkan indriyasaṁvara. Indriyasaṁvara adalah pengendalian
indra yaitu usaha batin dalam menjaga pintu indra (terkadang disebut
juga sebagai indriyaguttadvāra). Manusia memiliki enam indra; indra
penglihatan, indra pendengaran, indra penciuman, indra pengecap,
indra perasa sentuhan, dan indra batin. Indra-indra ini terkadang
diibaratkan seperti pintu karena melaluinya muncullah proses batin
lanjutan. Perumpamaannya seperti sebagai pintu masuknya objek ke
batin.

Bagaimana kita bisa menjaga pintu-pintu indra ini? Misalnya


dengan bermeditasi. Saat kita bermeditasi kita selalu
mengarahkan batin kita ke sebuah objek. Alih-alih membiarkan indra-
indra ini liar mengambil objek-objek yang dapat memicu munculnya
kotoran batin, kita senantiasa mengarahkan batin ke sebuah objek
meditasi. Dengan terus melakukan itu, batin tidak hanya menjadi
semakin manunggal, indra-indra juga semakin terkendali.




37

Seperti yang sekarang sedang dilakukan di Vih ra


Dhammad y da. Mereka sedang berusaha bermeditasi. Setiap hari,
sepanjang hari, di setiap momen anda berusaha untuk menyadari
objek meditasi anda masing-masing. Pada saat itu apa yang terjadi
dengan indra kalian? Indra kalian menjadi terjaga dengan baik. Saat
mencium bau tidak harum, saat mendengar suara yang berisik, anda
tidak komplain, anda tidak mengeluh. Apa yang terjadi? Setiap kali
pikiran anda menangkap objek lain selain objek meditasi anda, anda
kembali mengingat objek meditasi anda. Anda tidak meninggalkan
tugas anda yaitu usaha untuk terus mengamati atau menyadari objek
meditasi anda, berpikir, “Oh, itu bukan objek meditasi saya, objek
meditasi saya adalah napas!” Setiap kali anda bisa menyadari napas
atau setiap kali anda ngerem dan menarik kembali batin anda untuk
melanjutkan pengamatan terhadap objek meditasi, waktu itu anda
melakukan indriyasaṁvara sekaligus mengembangkan bhāvanā
(pengembangan batin).

Perumpamaan Kadal yang Masuk ke Gundukan


Sarang Rayap

Sesungguhnya, mustahil untuk menutup atau menjaga semua


indra secara sekaligus. Yang sesungguhnya terjadi adalah anda
menutup pintu indra yang lainnya kemudian hanya membuka pintu
batin untuk mengetahui objek, dan objek ini adalah objek yang netral.
Netral maksudnya bukan merupakan objek-objek yang mudah
memicu munculnya kotoran batin. Contoh objek yang netral adalah
nafas, dll. Perumpamaan yang diberikan adalah seperti saat kita ingin
menangkap kadal yang masuk ke gundukan sarang rayap. Gundukan
ini memiliki enam pintu. Kita ingin menangkap kadal bertepatan saat
ia keluar dari salah satu lubang tersebut. Oleh sebab itu apa yang
perlu kita lakukan? Kita tutup kelima lubang lainnya, dan hanya



38

menunggu dan menjaga satu lubang saja. Cepat atau lambat kadal
akan keluar dari satu-satunya lubang tersebut, dan kita akan berhasil
menangkap si kadal.

Gundukan sarang rayap adalah perumpamaan tubuh kita ini.


Sarang rayap ini memiliki enam lubang. Enam lubang ini adalah
enam indra kita. Menutup lima lubang dan membuka satu lubang dan
menjaganya adalah seperti pada saat kita bermeditasi. Saat kita
bermeditasi, kita menutup mata kita. Kemudian kita tidak
membiarkan batin kita menangkap objek suara, bau, sentuhan, dll.,
kita hanya berusaha menyadari objek meditasi kita. Dengan selalu
menyadari obejk meditasi, seolah-olah kita hanya membiarkan satu
lubang terbuka dan jika batin sedang tidak lagi menyadari atau
mengamati objek meditasi, kesadaran kita akan mengetahuinya dan
seolah menangkap batin yang mengembara tersebut dan
menempatkannya kembali ke objek meditasi.

Di sisi lain, pada saat anda berusaha menjaga kesadaran anda


agar dapat terus menyadari objek seperti ini, anda mengembangkan
batin yang bajik, yang kusala. Jadi setiap momen, setiap kali anda
menyadari napas, apa yang terjadi? Kusala... kusala... kusala…. Banyak
kebajikan yang akan anda kumpulkan di sepanjang hari. Ini yang akan
terjadi jika kita melihatnya dari aspek meditasi.

Apa yang terjadi dengan moralitas anda di sepanjang hari itu?


Anda menjalankan sīla, kan? Setiap kali anda menarik diri; ada
kesempatan untuk membunuh tetapi anda ingat, “Saya harus menjaga
sīla” jadi anda menarik diri untuk tidak membunuh. Pada saat itu
muncul yoniso manasik ra, pada saat itu muncul kusala (kebajikan). Lalu
jika ada kesempatan untuk mencuri, dengan cara yang sama anda
akan menarik diri untuk tidak mencuri. Oleh sebab itu, yoniso
manasik ra juga dapat muncul dengan menjaga sīla yaitu
pengendalian diri agar tidak terjadi pelanggaran moralitas.


39

Kemudian misalnya pada saat anda mengembangkan kualitas


batin seperti mett 43, atau saat anda melihat pengemis atau teman-
teman yang sedang menderita, anda mengembangkan kualitas karu 44
(belas kasih). Atau pada saat berusaha untuk membantu mereka. Pada
umumnya yang muncul pertama kali mungkin rasa sedih melihat
kondisi yang menyedihkan tersebut. Kesedihan ini bukanlah karu .
Lalu apa itu? Itu adalah dosa, kesedihan adalah dosa45. Tetapi
berikutnya, saat anda mengusahakan untuk membantunya, saat
berusaha mengeluarkannya dari penderitaan, anda menjadi semangat
dan melakukannya dengan bahagia atau netral, pada saat itu biasanya
karu baru mulai bermunculan dalam batin anda. Untuk itu karu
tidak pernah berasosiasi dengan kesedihan. Sebaliknya, karuṇā justru
sering berasosiasi dengan perasaan bahagia atau netral.

43 Mettā adalah fenomena batin bajik yang secara tulus mengharapkan kebahagiaan
makhluk hidup. ‘Semoga orang ini sehat dan bahagia’, ‘Semoga mereka bebas dari
segala jenis mara bahaya’, dll. Objek dari mettā adalah makhluk hidup.
44 Karuṇā adalah fenomena batin bajik yang mengharapkan agar makhluk dapat
terbebas dari penderitaan mereka. ‘Semoga mereka terbebas dari semua penderitaan’,
‘Semoga ia terbebas dari penyakitnya’. Objek dari karuṇā adalah makhluk yang sedang
merasakan penderitaan.
45 Dosa adalah salah satu jenis kotoran batin yang menolak objek, tidak puas dengan
objek, tidak menyukai objek. Maka dari itu dosa sering diterjemahkan sebagai
kebencian. Kesedihan juga terjadi karena penolakan terhadap kondisi yang sedang
terjadi pada objek yang biasanya muncul karena kemelekatan terhadap objek. Oleh
sebab itu, kesedihan juga merupakan manifestasi dari dosa.









40

Setiap kali anda mengembangkan kualitas batin


seperti metta, karu , mudit 46, atau upekkh 47, setiap kali
anda menyaksikan teman-teman anda berdana, anda ikut ber-
anumodana48, anda melakukan yoniso manasik ra. Dengan mengucapkan,
’Sādhu…sādhu anumodāmi’49 juga merupakan yoniso manasik ra.

Kalau anda tidak ber-yoniso manasik ra apa yang akan terjadi?


Kita bisa menjadi iri, “Saya juga bisa melakukan itu, bukan cuma
dia”. Kita menjadi dengki. Itulah bahayanya kalau kita tidak ber-yoniso
manasik ra.

Contoh lainnya yaitu dengan berusaha untuk berpuas


hati. Kita sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi karena satu
dan lain hal, mungkin hasilnya terjadi di luar ekspektasi kita. Lalu apa
yang perlu kita kembangkan? Kembangkanlah kepuasan hati. Pada
saat berusaha, berusahalah dengan maksimal. Pada saat menerima
hasilnya, kita harus puas. Kepuasan hati adalah penyebab dari
kebahagiaan. Bukan karena serakah kita menjadi bahagia, tetapi
karena kita merasa puas.

46 Muditā adalah fenomena batin bajik yang mengharapkan agar kebahagiaan atau
kesuksesan yang telah diperoleh suatu makhluk, tidak hilang. ‘Semoga ia tidak
kehilanngan kesejahteraan yang telah diperoleh’. Objek dari muditā adalah makhluk
yang sedang berbahagia.
47 Upekkhā adalah fenomena batin bajik yang seimbang atau netral, yang merenungkan
bahwa segala sesuatu yang terjadi pada suatu makhluk dikarenakan oleh kamma
mereka sendiri. Upekkhā muncul setelah merenungkan bahwa meskipun seseorang
mengharapkan kebahagiaan makhluk lain atau mengharapkan agar mereka dapat
terbebas dari penderitaan atau berharap bahwa kebahagiaan makhluk tersebut tidak
hilang, tetapi segala sesuatu tidak selalu terjadi sesuai dengan yang dikehendaki.
Dengan merenungkan bahwa segala sesuatu akan terjadi sesuai dengan kamma
makhluk itu sendiri. ‘Makhluk adalah pemilik dari kamma mereka sendiri’. Batinnya
menjadi netral dan seimbang.
48 Ikut berbahagia atas kebajikan yang telah dilakukan oleh orang lain.
49 Ini adalah kalimat yang sering diucapkan oleh umat Buddha khususnya saat
mendengar atau menyaksikan seseorang melakukan kebajikan. Artinya adalah
‘Bagus…bagus…saya ikut berbahagia!’.








41

Atau dengan mengembangkan khanti (kesabaran). Di


zaman sekarang ini orang-orang jarang sekali memprioritaskan
kualitas batin yang satu ini. Bagaimana contohnya? Saat panas kita
nyalakan AC. Saat bosan kita main HP, lalu kita buka WA. Kita buka
Youtube untuk mencari hiburan. Bahkan di zaman Covid, kita tidak
berhenti pencet-pencet handphone. Apa yang kita lakukan jika sedang
bosan? Kita keluar rumah atau pergi tamasya. Lapar sedikit saja, kita
langsung cari makan. Semua berbeda dengan orang zaman dulu.
Orang zaman dulu lebih mudah mengembangkan khanti.

Di zaman dulu, saat semuanya masih ‘organik’, saat tidak ada


HP, pacu akti tas kehidupan berjalan dengan santai. Setelah
menitipkan kabar ke teman yang akan melakukan perjalanan untuk
anggota keluarga di luar kota, mereka sabar menunggu pesan
baliknya. Saat tanaman sudah siap dan hanya waktunya menunggu
panen, mereka sabar menunggu sembari menyiapkan hal lain. Saat
cuaca tidak bersahabat, mereka sabar menunggu waktu yang tepat
hingga bisa berakti tas lagi. Saat mati listrik, mereka menghabiskan
waktu berkumpul dan berbicang-bincang dengan keluarga. Pacu
kehidupan berlangsung dengan lebih alami. Di zaman dulu, seperti
semua orang bisa dan bersedia menunggu. Semakin modern, kita
seperti terus dikejar dan dirongrong oleh rentetan urusan kerja,
urusan kantor, dan rumah tangga. Tidak ada lagi yang bersedia
menunggu. Semua seperti sedang berlari. Yang tidak berlari akan
tertinggal dan terlindas. Terkadang kecepatan adalah solusi. Tetapi
sering kali di balik solusi ini mengintai dilema-dilema baru.

Khanti merupakan prioritas, khususnya bagi para petapa.


Buddha memberikan nasihat (ov da) yang berbunyi “Khantī
paramaṁ tapo tittikhā” Buddha berkata khanti adalah latihan
yang sulit, di antara semua latihan tapa, khanti adalah yang utama. Tapa
adalah semua latihan yang sifatnya dapat membakar kotoran batin. Di
kehidupan kita sekarang ini jarang sekali orang-orang melatih
fi
fi

42

kesabaran. Kebanyakan orang berpikir bahwa kesabaran merupakan


pilihan terakhir. Jika kita sudah tidak bisa melakukan apa pun, kita
baru berusaha sabar. Itu yang kebanyakan orang zaman sekarang
lakukan. Tetapi kalau orang zaman dulu tidak begitu. Alih-alih
mengusahakan hal lainnya, pertama-tama ia berusaha untuk sabar
dulu. Jadi saat dicela, sabar. Saat dipuji juga sabar. Mendapatkan apa
yang disukai sabar, tidak mendapatkan apa yang disukai juga sabar.
Jadi sabar adalah prioritas bagi mereka untuk mengembangkan
kualitas batin, yang mampu untuk menghadapi semua hal, semua
fenomena dunia.

Cara lainnya adalah dengan mengembangkan samādhi.


Setiap kali anda memiliki konsentrasi, pada saat itu batin selalu
berasosiasi dengan yoniso manasik ra. Anda bisa mengamati napas yang
masuk dan keluar di depan lubang hidung anda. Anda bisa
mengambil objek tulang. Anda bisa merenungkan sifat menjijikkan
dari organ-organ tubuh atau sifat menjijikkan dari makanan. Anda
juga bisa merenungkan kualitas Buddha khusunya pada saat anda
takut. Atau pada saat kebencian terhadap orang lain muncul, anda
dapat merenungkan, “Semoga dia berbahagia. Akusala vip ka (buah
kamma buruk) saya sedang membuahkan akibatnya, oleh sebab itu
saya dihina orang”.

Dengan melakukan perenungan-perenungan juga


dapat mengambangkan yoniso manasikāra. Banyak sekali jenis-jenis
perenungan yang dapat dilakukan. Misalnya merenungkan tentang
hukum kamma bahwa semua yang terjadi pada kita dan hidup kita
hanyalah merupakan rangkaian sebab-akibat. Orang sukses karena
kammanya sendiri. Orang gagal karena kamma mereka sendiri.
Orang menjadi miskin karena kamma. Orang menjadi kaya karena
kamma. Orang menjadi terkenal juga karena kammanya. Orang
dipuji juga karena kamma.



43

Terkadang orang tidak mau mendengarkan omongan,


nasihat, instruksi kita. Betul tidak? Buddha menjelaskan bahwa jika
seorang suami tidak didengar instruksinya oleh istri, anak, atau
pekerja-pekerjanya, ini juga karena kammanya yang tidak suka
memuji kebajikan yang telah dilakukan orang lain. Sebaliknya, jika
orang lain mau mendengarkan ucapannya, berarti itu juga karena
kamma. Karena ia suka memuji kebajikan orang lain. Oleh sebab itu,
tidaklah pantas jika kita menyalahkan orang lain atas kesalahan kita
sendiri.

Atau kita juga bisa merenungkan sifat alami dari segala


fenomena yang terkondisi50 sebagai anicca (sifat ketidakkekalan), dukkha
(sifat yang tidak memuaskan atau tidak membahagiakan), anatta (sifat
tanpa inti yang kekal atau tanpa aku). Mereka adalah cacat dari semua
hal terkondisi di dunia ini. Selain Nibbāna semua fenomena memiliki
cacat, yaitu tidak kekal. Semua yang tidak kekal akan membawa
penderitaan. Semua yang tidak permanen adalah di luar kendali kita.
Jika kita bisa merenungkan ini apa yang akan terjadi? Sa vega
(desakan spiritual) akan muncul; bahwa tidak ada yang bisa kita lekati
di dunia ini, tidak ada yang bisa kita jadikan tumpuan atau pegangan.
Kita harus bertumpu pada kebajikan dan kualitas batin bajik kita
sendiri.

Kebahagian kita tidak bisa diberikan oleh orang lain, orang


lain juga tidak bisa mengambil kebahagiaan dari kita. Begitu juga
sebaliknya kesedihan kita bukan diberikan oleh orang lain, juga bisa

50 Terkondisi di sini maksudnya mencakup semua fenomena yang kemunculannya


bergantung pada sebab-sebab. Kemunculan dari semua fenomena yang terkondisi ini
sangat bergantung pada sebab-sebab mereka. Jika sebabnya berubah, maka ia pun
berubah. Jika sebabnya hilang, maka ia pun hilang. Karena semua fenomena ini selalu
muncul dan lenyap, maka mereka tidak kekal (anicca). Karena segala sesuatu yang
tidak kekal tidak pernah mampu memberikan kepuasan atau kebahagiaan, maka
mereka dukkha. Karena sifat ketidakkekalan dan membawa ketidakpuasan tersebut di
luar kendali kita, oleh sebab itu semua fenomena ini bukanlah aku atau milikku
(anatta).


44

diambil oleh orang lain. Semuanya bergantung pada yoniso manasik ra


atau ayoniso manasik ra. Keduanya berlangsung di dalam batin kita.
Lalu yang mana yang akan kita ijinkan muncul?

Singkatnya, yoniso manasik ra ini akan membuat batin kita


kembali ke keadaan sehat. Batin yang sehat adalah batin yang bebas
dari kotoran batin. Yoniso manasik ra juga dapat membuat batin kita
menjadi seimbang. Saat batin tenang seimbang, batin mudah
diarahkan. Ketika batin tenang seimbang tanpa terpengaruh oleh
emosi-emosi negatif, pikiran menjadi jernih. Pikiran yang jernih dapat
melakukan tugasnya dengan jauh lebih efektif. Kita akan jauh dari
perspektif yang salah dan semakin mudah untuk bisa memandang
sesuatu secara objektif. Dan semua ini akan sangat membantu dalam
menjalankan kegiatan sehari-hari. Apakah kita seorang pelajar, kita
akan belajar dengan lebih e sien. Apakah kita seorang pekerja kantor,
kita akan jauh dari stress yang tidak perlu. Apakah kita adalah pekerja
sosial, kita akan mudah toleransi dan empati kepada semua makhluk.

Dengan yoniso manasikāra semoga semua makhluk hidup


dengan harmonis. Dengan yoniso manasikāra semoga batin mereka
senantiasa damai. Dengan batin yang damai semoga mereka dapat
melatih pengembangan batin yang lebih tinggi. Dengan
pengembangan batin yang bertahap sesuai ajaran Buddha, semoga
muncul kebijaksanaan-kebijaksanaan yang lebih kuat dalam batin
mereka. Dengan pengembangan kebijaksanaan yang bertahap,
semoga mereka merealisasi tingkat-tingkat pencerahan di kehidupan
ini juga. Semoga semua makhluk sehat dan bahagia. Sādhu…Sādhu…
Sādhu…


fi



45

SESI TANYA JAWAB

Pertanyaan:

Kita perlu bahagia untuk meditasi, kadang sebagai umat,


kebahagian itu dari gadget, dari hiburan, oleh sebab itu boleh tidak di
awali dengan kebahagian-kebahagian seperti itu? setelah itu, kalau
sudah bahagia baru bermeditasi?

Jawaban:

Bhante juga tahu bahwa ada yogi yang curi-curi waktu.


Mereka sembari bermeditasi sembari juga mencari-cari hiburan di
luar. Apa yang terjadi dengan meditasi mereka? Biasanya kacau.
Kecuali mereka mencari yang sejalan dengan Dhamma. Misalnya
pada saat meditasi, ia menemukan hambatan secara sik. Kemudian
ia mencari tentang kesehatan; bagaimana ia bisa menjaga tubuhnya
agar siknya menjadi sehat. Kita bisa bilang, ini sesuatu yang masih
sejalan dengan Dhamma. Jika kasusnya seperti ini, maka ini bisa
membantu dalam mengembangkan meditasinya. Jadi topik yang dapat
membantu meditasinya biasanya tidak mengganggu saat ia
bermeditasi. Tetapi jika ia melihat objek-objek kesenangan indra, ini
adalah hal yang berlawanan dengan apa yang mau kita kembangkan.
Karena saat menikmati objek-objek indra, pikiran akan menjadi
gelisah. Yang bermunculan saat menikmati kesenangan indra adalah
akusala citta (pikiran yang berasosiasi dengan ketidakbajikan atau
pikiran yang berasosiasi dengan kotoran batin).

Jadi pada saat bermeditasi, kita tidak bisa langsung berhenti di


sana. Akan masih ada momentumnya. Momentumnya ini yang akan
mengganggu. Jadi saṅkhāra-saṅkhāra (bentuk-bentuk pikiran) yang
muncul awalnya hanya sedikit, hanya akan berupa kegelisahan saja.
Misalkan saat anda berusaha berkonsentrasi, sebentar-sebentar
fi

fi
46

kesadaran anda akan melepas objek meditasi dan batin mengambil


objek yang lain secara acak. Atau terkadang bentuknya seperti
celoteh-celoteh halus saat anda berusaha mengamati objek meditasi.
Ini akan membuat batin tidak bisa fokus secara hening dan
mendalam.

Lama-kelamaan kalau dilanjutkan akan semakin


menimbulkan kemelekatan yang lebih kuat seperti lobha; menjadi
nafsu. Terkadang menjadi dosa; menjadi mudah marah. Atau malah
menjadi moha; suka berhalusinasi dan berfantasi. Misalkan kalau kita
mendengarkan musik-musik, apa yang akan terjadi? Musik tersebut
masih terngiang-ngiang meskipun kita sudah berhenti mendengarkan.
Apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Moha atau halusinasi. Jadi
pada saat anda bermeditasi pun anda akan terganggu dengan
momentum dari hiburan yang anda cari di luar. Dalam kasus yang
parah, ia akan menyebabkan kecanduan. Apa yang sesungguhnya
terjadi saat kita kecanduan? Untuk lebih jelasnya anda bisa cari tahu
tentang istilah ‘dopamine detox’. Kecanduan dan trauma-trauma
batin sungguh merupakan dilema yang besar untuk bermeditasi.

Bagi mereka yang sudah kecanduan dengan objek-objek


kesenangan indra. Tergantung seberapa berat kasusnya. Bhante
sarankan anda perlahan-lahan membiasakan diri untuk hidup
tanpanya. Ini juga yang akan anda pelajari saat anda menginvestigasi
perihal ‘dopamine detox’. Ini semacam detox. Sejenis rehabilitasi
internal. Misal dengan mengurangi dosis exposure terhadap objek
karena sebagian orang tidak bisa berhenti secara tiba-tiba. Belakangan
Bhante dengar bahwa kecanduan sesungguhnya juga merupakan
gangguan sik, yaitu kondisi yang tidak seimbang pada level biokimia
di dalam otak51. Oleh sebab itu harus diperlakukan dan dipantau

51 https://www.yalemedicine.org/news/how-an-addicted-brain-works.
fi

47

dengan sensitif dan perlahan, dan jika memungkinkan oleh mereka


yang ahli dalam bidang ini, dan Bhante bukan ahlinya.

Itu sebabnya, di tempat-tempat meditasi, panitia mengajukan


pertanyaan-pertanyaan ke calon peserta retret seperti apakah anda
sedang mengkonsumsi obat-obat tertentu, apakah anda dalam
pengawasan seorang psikiater, apakah anda sedang mengkonsumsi
obat penenang? Jika memang demikian, mungkin retret tersebut tidak
akan cocok untuk anda. Mengapa? Karena di kebanyakan retret
Buddhis, anda diwajibkan untuk menjalankan delapan sīla. Selain itu
anda juga dibimbing untuk fokus ke objek meditasi untuk jangka
waktu yang lama. Biasanya di dalam retret selain anda dilarang untuk
berbicara satu sama lain, waktu tidur anda pun dibatasi. Untuk kasus
yang normal, biasanya di awal meditator akan merasakan kesulitan
tidur ringan. Semua ini akan berjalan lancar jika anda tidak memiliki
kecanduan-kecanduan atau masalah psikologis. Maksud Bhante
menyampaikan ini di sini adalah anda harus sensitif terhadap
kebutuhan anda. Anda mungkin pernah mendengar beberapa kasus
meditator menjadi ‘tidak normal’ atau mungkin kasus-kasus yang lebih
buruk dari itu. Ini semua bisa dihindari kalau anda sensitif dengan
kebutuhan dan kapasitas anda sendiri. Sering kali bukan karena
metodenya yang salah, tetapi penerapan instruksi meditasi yang tidak
seimbang dan jalur komunikasi yang tidak terbuka, hingga
penanganan dini tidak bisa dilakukan lebih awal.

Jalan duniawi berlawanan dengan jalan Dhamma. Oleh sebab


itu Buddha berkata bahwa Sot pann adalah pemasuk arus. Masuk arus
apa? Ia seperti terdorong dan mengikuti arus dan akan sampai pada
tujuan akhir dari aliran arus tersebut yaitu Nibbāna. Oleh sebab itu
setelah seorang menjadi Sotāpannā maka cepat atau lambat ia pasti
akan terbebas dari saṁsāra.



48

Sebelum menjadi seorang Sotāpannā, seperti makhluk pada


umumnya ia adalah makhluk duniawi, yang melekat dengan
kesenangan indra. Jika ia ingin menjadi seorang Sotāpannā ia harus
berusaha melawan arus duniawi di mana makhluk-makhluk di
dalamnya saling mengkondisikan untuk saling tarik-menarik, saling
mengikat, agar tidak terbebas dari saṁsāra. Setelah menyadari cacat
dari kehidupan ia berusaha mencari jalan keluarnya. Untuk bisa
terbebas, menurut ajaran Buddha, ia harus mempraktikkan Jalan
Mulia Berunsur Delapan (Magga Sacca) yang mana merupakan Jalan
Menuju Lenyapnya Penderitaan (dukkha-nirodha-gāmini-paṭipada). Jika
kemelekatan terhadap kesenangan indra sebelumnya kuat atau
dengan kata lain jika ia memiliki banyak kotoran batin, maka
prosesnya akan semakin sulit. Ini disebut sebagai dukkhapaṭipada. Maka
ia harus berusaha lebih keras untuk meredam kotoran batinnya dari
waktu ke waktu. Ia seperti berenang untuk melawan arus yang datang
dari arah yang berlawanan. Tetapi jika ia sudah menjadi pemasuk
arus (Sotāpannā), seolah-olah seperti ia hanya mengijinkan dirinya
terdorong terbawa arus air. Dengan demikian, meskipun ia tidak
memberikan usaha ekstra ia akan sampai ke tujuan arus tersebut,
apalagi kalau ia mengusahakannya.

Oleh sebab itu, kesenangan-kesenangan indra ini adalah salah


satu bentuk arus yang akan menghambat kita dalam pelatihan.
Karena itu juga, bahkan di dalam penjelasan jhāna pertama pun
Buddha berkata bahwa batin menjadi jauh atau terasing dari kāma
(dari objek dan pikiran akan kesenangan indra) dan terasing dari
kotoran batin lainnya52, disertai oleh aplikasi pikiran (vitakka) dan
pikiran penerus (vic ra). Inilah yang disebut sebagai jhāna pertama, dst.
Jadi kalau kita ingin mencapai jh na, pertama kalau bukan
menyingkirkan secara total setidaknya kita harus bisa meredamnya

52 D.I hlm. 33 ‘Brahmajālasutta’ (Sutta tentang Jala Brahma) dan DA.I hlm. 112.


49

untuk waktu yang cukup lama, misal satu atau dua jam. Makin lama
tentu makin baik.

Tergantung kebijaksanaannya, kadang orang yang bijaksana


pun juga masih bisa menikmati kesenangan indra. Seperti murid-
murid Buddha yang umat awam juga ada yang bijaksana, meskipun
mereka sudah mencapai tingkat-tingkat kesucian tetapi mereka masih
ingin menikmati kesenangan indra. Mereka merupakan golongan
makhluk suci tetapi belum sempurna, belum Arahat. Ini biasanya
karena kecenderungan di dalam saṁsāra yang cukup kuat sehingga
memilih untuk tidak menjalankan kehidupan suci seperti para bhikkhu
atau bhikkhuni, dll. Jadi mereka masih ingin menikmati kesenangan-
kesenangan indra tetapi momentum dari pikiran akan kesenangan
indra atau pikiran tidak bajik apa pun tidak berlangsung lama di arus
kesadaran mereka, karena sebetulnya waktu menikmati pun mereka
tidak begitu melekat. Ini disebabkan oleh level kebijaksanaan mereka,
karena pandangan benarnya (sammādiṭṭhi). Jadi meskipun ia menikmati
kesenangan indra tidak begitu melekat. Kamma buruk dari
munculnya kotoran batin tersebut tidak cukup kuat sehingga mampu
membuat mereka terlahir di alam penderitaan. Itu sebabnya
disebutkan di atas bahwa bagi mereka yang bijaksana, kotoran batin
mereka (kilesa) sedikit.

Oleh sebab itu bagi mereka yang merasa tidak begitu


bijaksana, akan semakin berbahaya kalau mereka menikmati
kesenangan indra. Karena momentumnya akan berlangsung lama.
Saat orang yang bijaksana bermeditasi, semakin bijaksana mereka
maka momentum dari pikiran yang disertai kotoran batin akan
semakin singkat. Contoh ekstremnya adalah Buddha, di mana selain
tidak memiliki kotoran batin, Buddha juga sangat bijaksana. Kita juga
tahu bahwa Buddha memiliki kemampuan untuk mengetahui semua
hal. Meskipun Sang Buddha mengetahui banyak hal, batin Buddha
tidak gelisah. Tidak sama seperti kita, kalau kita tahu banyak hal batin

50

kita menjadi penuh, menjadi gelisah. Karena apa? Buddha


mengetahui sifat alaminya. Meskipun Buddha mampu mengetahui
pikiran semua makhluk, tetapi Buddha memahami bahwa watak
mereka masing-masing akhirnya dikarenakan kamma mereka masing-
masing. Mengapa ia seperti ini? Karena p ramī-nya seperti ini.
Mengapa ia seperti itu? Karena dulu kammanya seperti itu. Jadi
Buddha tidak hanya mengetahui sebab tetapi Buddha juga
mengetahui akibat, sehingga Buddha memahami bahwa semuanya
hanya sebab akibat.

Suatu hari terjadi keributan besar di dalam Saṁgha


komunitas bhikkhu. Masing-masing bhikkhu saling menunjuk
kesalahan. Meskipun Buddha berusaha menasehati mereka, mereka
tidak berhenti berseteru. Akhirnya Buddha pun pergi meninggalkan
mereka dan bervassa sendirian dengan bahagia di Hutan Pālileyya53.
Buddha tidak memusingkan pertengkaran yang tidak dapat
diselesaikan. Jika anda memiliki saddhā (keyakinan) terhadap Buddha,
Beliau akan berusaha membantu anda. Jika anda tidak memiliki
saddhā terhadap Beliau, Buddha tidak akan memaksa.

Begitu juga saat Buddha di tnah di depan banyak orang


“Kamu sudah menghamili saya, hanya kamu dan saya yang tahu
perihal ini”, tetapi batin Buddha tidak goyah. Momentum setelah
di tnah pun tidak berbekas di batin Buddha. Ini adalah ciri orang
bijaksana. Oleh sebab itu jika anda ingin mengecek apakah anda
cukup bijaksana atau tidak, di saat setelah anda dihina seseorang,
kemudian anda coba bermeditasi. Apakah anda kepikiran atau tidak?
Apakah momentum dari hinaan orang tersebut berbekas di batin
anda? Jika berbekas satu jam, satu hari, tiga hari, empat hari, satu
minggu, satu bulan, anda tidak bisa bermeditasi, itu berarti
kebijaksanaan anda masih sangat kurang.

53 V.III hlm. 457, M.III hlm. 236, atau DhpA.I hlm. 36.
fi

fi


51

Sedangkan jika seorang bijak dihina, kemudian apa yang


direnungkannya? “Benar tidak saya begini? Kalau benar saya harus
berubah, kalau tidak benar berarti ini cuma kamma buruk sedang
berbuah saja. Ini adalah buah dari kamma saya. Baiklah, sekarang
waktunya meditasi”. Alangkah indahnya dunia kalau kita bisa selalu
bijaksana! Oleh sebab itu kita perlu mengembangkan kebijaksanaan.

Jadi kita bukannya menambah minyak tanah sewaktu ingin


memadamkan api, justru kita harus menyingkirkan bahan bakarnya.
Setidaknya kita tidak menambahkan bahan bakarnya. Jika kita terus
menambahkan bahan bakarnya, api tidak akan padam. Api hanya
akan menjadi bertambah besar jika kita terus memberikan kayu bakar
dan minyak. Jika kita ingin memadamkan api, apa yang dapat kita
lakukan? Kita bisa menyingkirkan kayu bakarnya. Atau kalau kita
tidak bisa menyingkirkan kayu bakarnya setidaknya kita tidak terus
memasok kayu bakarnya. Lama kelamaan media yang dibakar akan
habis, api akan menjadi kecil, yang tersisa hanyalah bara yang tidak
berbahaya. Bara ini akan jauh lebih mudah dipadamkan dengan air
yang sedikit saja.

Ini adalah manfaat dari mengembangkan samādhi. Pada saat


kita berusaha mengembangkan konsentrasi terhadap satu objek, kita
tidak mengijinkan batin mengambil objek-objek yang mampu
menimbulkan kotoran batin. Kemudian kita bahkan tidak
mengijinkan batin kita mengambil kualitas-kualitas bajik selain objek
meditasi kita. Perlahan-lahan batin akan semakin manunggal dengan
mengambil satu objek batin saja. Pada saat itu batin akan jauh lebih
hening dan damai. Akti tas batin juga menjadi sangat sederhana. Jika
seseorang mencapai momen samādhi, kita bilang ia telah berhasil
meredam jauh semua akti tas batin lainnya, termasuk kotoran-
kotoran batin juga semakin jarang atau tidak muncul. Waktu itu, batin
menjadi murni. Tetapi bukan berarti kotoran batin tidak bisa muncul.
Kita bisa bilang kotoran batin seperti sudah mengendap di dasar.

fi
fi

52

Oleh sebab itu, dengan kekuatan samādhi ini jika seseorang dapat
melihat dan merenungkan kebenaran hakiki, maka batin dapat lebih
mudah menerima kebenaran tersebut dan kotoran batin akan dapat
lebih mudah disingkirkan.

Pada saat awal mengembangkan samādhi, untuk beberapa


orang, khususnya bagi mereka yang banyak terpapar oleh objek-objek
kesenangan indra seperti dari berbagai jenis sosial media dan
tekonologi, mereka merasa tidak nyaman. Ini seharusnya tidak perlu
diartikan sebagai ketidaknyamanan. Ini disebabkan karena selama ini
batin mereka terbiasa dengan kecepatan teknologi, kecepatan
perubahan-perubahan tampilan dan cara pengambilan gambar yang
serba cepat dari sosial media dan kehebohan dunia hiburan. Oleh
sebab itu pada awal saat mereka berusaha bermeditasi mereka akan
merasa bosan. Biasanya mereka sulit fokus karena mereka terbiasa
sesuatu yg heboh, cepat, dan atraktif. Mungkin bagi mereka yang baru
mulai bisa mengembangkan sedikit samādhi mereka merasa bahwa
batinnya menjadi tumpul, tidak seperti biasa yang tangkas dan
tanggap.

Biasanya di awal meditasi perlu banyak penyesuaian. Lama-


kelamaan batin akan menjadi semakin jernih dan hening. Dalam
kejernihan itu justru seseorang dapat berpikir dengan efektif, objektif,
dan e sien. Kebahagiaan dari batin yang terkembangkan dengan baik
tentunya akan berbeda dengan kehebohan kenikmatan kesenangan
indra. Kebahagiaannya muncul berasosiasi dengan keheningan,
kedamaian, dan kejernihan batin. Kebahagiaan yang dapat diperoleh
tanpa stimulus dari luar. Jika terkembangkan dengan baik ini
merupakan kebahagiaan yang dapat anda akses kapan pun
diinginkan. Pada saat itu, anda akan memahami apa yang dimaksud
dengan ‘Kebahagiaan dan kesedihan bukanlah sesuatu yang orang
lain bisa berikan atau ambil dari anda!’
fi

53

Tetapi yang umumnya terjadi adalah sebaliknya. Apa yang


terjadi? Umat-umat Buddha yang setelah mendengarkan Dhamma
yang sejati menjadi dilema. Kenapa? Karena mereka tahu ‘Harusnya
begini’, harusnya mereka berusaha menyingkirkan kotoran batin
tetapi kenyataannya mereka masih sangat melekat dan mereka tidak
bisa melepaskannya. Jika mereka bersikeras, mereka harus mengambil
keputusan apakah mereka meninggalkan keduniawian mereka atau
mereka berusaha seadanya saja sembari mengembangkan kebajikan
semampunya. Itu juga tidak salah, masing-masing orang memiliki
kecenderungan mereka masing-masing. Orang memiliki prioritas
dalam hidupnya masing-masing. Jika dia memang masih melekat,
setidaknya dia tidak begitu menyerah dengan kemelekatannya.
Karena dia tahu “Kalau saya melekat, kehidupan saya akan makin
tidak baik; di kehidupan mendatang bukannya saya makin spiritual,
malah makin melekat, oleh sebab itu disela-sela kemelekatan saya
setidaknya saya mengumpulkan banyak deposito, tabungan untuk di
kehidupan mendatang agar lebih spiritual.” Jadi bagaimana? Yang
mana yang anda pilih?

Pertanyaan:

Apa perbedaan antara yoniso manasik ra, sati54, dan paññā?


apakah bisa dikembangkan secara bersamaan? Kalau bisa, bagaimana
caranya?

Jawaban:

Sati merupakan awalnya, penting sekali untuk memiliki sati. Di


kehidupan sehari-hari sati kita biasanya lemah khususnya umat awam.

Perhatian penuh, memiliki aspek yaitu pengamatan yang tidak melepas objek dan
54

mengingat apa yang seharusnya dilakukan.


54

Oleh karenanya mereka bahkan tidak sadar apa yang sudah


berlangsung di pikiran mereka. Kebenarannya adalah saat pikiran
akusala muncul, semuanya karena moha (delusi). Jadi pada saat kita
sedang dikuasai kilesa, pada saat kotoran batin muncul, pada saat kita
sedang serakah, pada saat kita sedang benci, apakah kita sadar kita
sedang marah, benci, dan bernafsu? Biasanya kita tidak sadar. Oleh
sebab itulah kita semakin marah. Orang bilang bahwa kita sedang
kalap atau kita sedang lupa diri. Jika seandainya kita sadar kita sedang
marah apa yang terjadi dengan kemarahan? Ia akan teredam, betul?
Ada rem di sana.

Berikutnya kita memiliki yoniso manasik ra karena kita memiliki


sati; kita sadar akan apa yang sedang terjadi. Saat itu kita akan
berpikir “Apakah saya harus meneruskan kemarahan ini atau saya
akan memunculkan pikiran-pikiran yang bijaksana?” Itu sebabnya,
setidaknya harus ada sati, sadar apa yang sedang terjadi. Karena ciri
dari semua akusala adalah selalu bersekutu dengan moha, berasosiasi
dengan moha (delusi). Inilah biang kerok mengapa kita kalap ketika kita
dikuasai oleh nafsu, pada saat kita benci, pada saat iri hati, dll.; kita
tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan tiba-tiba sīla sudah terlanggar.
Berikutnya baru seperti tersadarkan “Ya ampun! Apa yang telah saya
lakukan?”

Oleh sebab itu, kilesa tidak dapat menguasai kita jika kita
memiliki sati. Misalnya pada saat anda meditasi dan fokus ke napas, itu
berarti anda menyadari napas. Karena anda berusaha terus
menyadari objek ini, “Sati... sati... sati...” (perhatian penuh terhadap
objek terkembangkan). Jadi, pada saat pikiran anda mengembara, jika
anda memiliki sati, anda akan menyadari bahwa pikiran sedang
mengembara. Pikiran mengembara ini kira-kira kusala atau akusala?
Akusala ya. Ini merupakan bentuk-bentuk kegelisahan. Tergantung apa
jenis pikirannya. Jika diikuti nafsu-keserakahan artinya lobha muncul.
Jika diikuti oleh kebencian berarti dosa muncul. Singkatnya, setiap kali


55

kita berusaha sati kita akan sadar “Oh, sekarang pikiran sudah
mengembara, tidak di jalurnya, tidak mengambil objek yang
seharusnya.” Oleh sebab itu, sati ini seperti satpam. Sati dan satpam,
sifatnya seperti penjaga pintu, ia akan terus menjaga agar objek tidak
lepas dari perhatiannya. Jadi ia mengetahui apa yang masuk dan
keluar dari pintu. Jika ada orang melewati pintu, ia mengetahuinya.
Maka, jika tidak ada sati kita tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Biasanya yang sering muncul adalah akusala. Kusala selalu berasosiasi
dengan sati. Yoniso manasik ra sering diasosiasikan dengan paññā, jadi sati
dan paññā merupakan pasangan yang sempurna (satisampajañña).
Terkadang kita punya sati tetapi tidak muncul paññā. Tetapi kalau bisa
sati saja itu sudah bagus.

Pertanyaan:

A p a h u bu n g a n a n t a r a yo n i s o m a n a s i k r a d e n g a n
yathābhūtañāṇadassana; atau misalnya virāga vimuccati?

Jawaban:

Jika kita memiliki yoniso manasik ra di dalam kehidupan sehari-


hari. Jika kita sering yoniso manasik ra, maka kita bisa melihat sifat
kehidupan. Kita akan menyadari bahwa semua perenungan kita
sejalan dengan Dhamma. Maka kadang orang berpikir “Apakah yoniso
manasikāra merupakan cara ber kir positif (positive thinking)?” Tidak
selalu positive thinking adalah yoniso manasik ra. Apa ciri dari yoniso
manasik ra? Buddha berkata “Kusala yang belum muncul, muncul;
kusala yang sudah muncul menjadi sempurna”. Oleh karena itu, apa
sifat dari yoniso manasik ra? Setelah yoniso manasik ra yang muncul
adalah kusala.



fi





56

Terkadang positive thinking belum tentu kusala. Jika kita sering


merenungkan dari sisi Dhamma, lama-kelamaan kita bisa semakin
jelas tentang kebenaran dunia. Kita seolah-olah menerapkan apa yang
telah kita ketahui. Misalnya di antara Jalan Mulia Berunsur Delapan,
yang pertama disebutkan adalah pandangan benar (sammādiṭṭhi).
Memiliki pandangan yang benar adalah hal yang sangat penting. Dari
pandangan benar, kita berpikir dan merenungkan dengan benar.
Kemudian dari pikiran yang benar kita berucap benar,
bermatapencaharian benar, perbuatan benar, kemudian usaha kita
benar sehingga samādhi kita benar, kesadaran kita benar. Semuanya
berawal dari sammādiṭṭhi (pandangan benar). Pandangan benar ini dari
mana? dari saddhammassavana, karena mendengarkan, karena belajar
Dhamma yang sejati.

Terkadang orang tidak bisa membedakan yang mana kusala


dan akusala. Karena Buddha muncul di dunia ini kita bisa
membedakan kusala dan akusala. Karena kita mendengar Dhamma
yang sejati, belajar Dhamma yng sejati, karena kita berlatih Dhamma
yang sejati, kita punya pandangan yang benar “Oh, seharusnya kita
seperti ini, hidup itu ternyata begini.” Meskipun kita belum bisa
melihat misalnya “Oh, ini adalah buah dari kamma saya, dulu karena
berbuat seperti ini maka sekarang berbuah seperti ini.” Meskipun kita
tidak secara langsung melihat itu dengan batin kita sendiri, tetapi
setidaknya karena Buddha jelaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi
pada diri kita dikarenakan oleh kamma kita sendiri. Sehingga saat kita
merenungkan hal tersebut, kita seperti mempraktikkan apa yang
Buddha ajarkan. Yang tadinya hanya teori, lalu waktu kita
merenungkannya, kita menerapkannya dalam kehidupan kita, betul
kan?

Itu sebabnya, saat Sang Buddha menjelaskan seperti itu lalu


pikiran kita menjadi “Oh iya!” Karena kita memahaminya maka kita
tidak berpikir “Oh, iya, di dunia ini mengapa setiap orang memiliki

57

kondisi berbeda-beda? Lahir sama-sama, sekolah sama-sama, tetapi


yang ini sukses, sedangkan yang ini tidak sukses. Meskipun kadang
yang tidak sukses itu usahanya lebih keras, tetapi kok yang itu malah
lebih sukses, yang berusaha lebih keras kok tidak sukses-sukses?” Dan
kita bisa renungkan “Oh, ini kamma.” Begitu banyak ragam makhluk-
makhluk di dunia ini, tidak ada yang sama persis. Itu dikarenakan
kamma masa lampau dan semua itu hanyalah sebab-akibat. Kalaupun
bukan karena kamma pasti karena ada penyebab tertentu sehingga
orang itu bisa berbeda satu sama lain. Jika kita bisa praktikkan dengan
merenung demikian, meskipun bukan pencerahan yang bisa
menyingkirkan kotoran-kotoran batin secara bertahap, setidaknya bisa
meredam dan mengikis kotoran batin. Sehingga kita akan semakin
percaya kepada ajaran Buddha.

Dari bentuk kepercayaan ini kita akan semakin tertarik lagi


untuk mempelajari Dhamma-Dhamma yang lebih tinggi. Misalnya
saat kita merenungkan tentang anicca di kehidupan sehari-hari, kita
melihat saat kita sudah tua meski kita ingin memegang gelas pun tidak
bisa, bahkan mengendalikan tangan kita sendiri juga tidak bisa.
Tangan kita bergetar “Oh jadi kalau kita semakin tua itu kita jadi
seperti ini, benar usia tua itu adalah penderitaan. Dulu saya seperti
superman (serba bisa). Sekarang kalau sudah tua, saya itu seperti
orang sakit yang lemah.” Jadi waktu kita bisa merenungkan seperti itu,
apa yang akan terjadi? Akan muncul saṁvega. Pada saat saṁvega
muncul, ia akan membuat kita berusaha untuk mengembangkan
Dhamma-Dhamma yang lebih tinggi, yoniso manasik ra yang lebih
tinggi. Pada akhirnya nanti setelah kita bisa mengembangkan
konsentrasi kita bisa mencapai yang namanya yathābhūtañāṇadassana
(pengetahuan dan penglihatan akan segala sesuatu sebagaimana apa
adanya). Saat kita merealisasi pencerahan yang lebih dalam, akan
muncul virāga (hilangnya nafsu), vimuccati (terbebas); jadi terkadang
pikiran itu terbebas karena konsentrasi, karena kita mengembangkan
jhāna, saat itu tidak ada nafsu (nafsu keserakahan teredam karena


58

kekuatan samādhi). Saat kita mencapai pencerahan, pikiran ini terbebas


dari nafsu (pada saat ini maggañāṇa memotong kotoran-kotoran batin
secara tuntas sehingga berikutnya tidak dapat muncul kembali).
Biasanya virāga mengacu pada Nibbāna55 atau ariyamagga56. Sedangkan
vimuccati mengacu pada ariyamagga57. Biasanya mereka disebut secara
bersamaan, saat itu mereka mengacu pada hal yang sama.

Pertanyaan:

Karena melatih jh na makhluk bisa terlahir di alam brahma.


Tetapi di Tipiṭaka dijelaskan sepertinya ada dua macam brahma;
contohnya Brahma Sahampati yang berkeyakinan pada Tiratana
(Buddha, Dhamma, dan Saṁgha) dan berpandangan benar. Ada juga
Brahma Baka yang berpandangan salah, dia sombong sekali, bahkan
merasa dia lah sang pencipta tetapi disadarkan oleh Buddha. Sewaktu
Sang Buddha menyadarkannya, dia menjadi sadar kalau dia salah.
Jadi sepertinya brahma ini mempunyai kemampuan berlatih
Dhamma, salah satunya lagi saya melihat dari Dhammacakkappavattana
dijelaskan ada delapan belas koṭi58 brahma yang tercerahkan, jadi
kelihatannya kemampuan mereka luar biasa, bagaimana pendapat
Bhante dalam hal ini?

Jawaban:

Di ceramah Bhante sudah menjelaskan tentang


aby pajjalok papatti. Kemunculan brahma di alamnya hanya memiliki

55 Vsm.I hlm. 282.


56 VA.IV hlm. 208.
57 VA.I hlm. 137.
58Koṭi adalah satuan unit numerik yang setara dengan 10 juta. Maka 18 koṭi =
180,000,000.



59

sedikit kesenangan indra. Di dalam batin makhluk brahma tidak bisa


muncul kebencian, iri, dan kikir, sehingga batin mereka tentu lebih
mudah untuk diarahkan. Ini semua dikarenakan kekuatan jhāna
kamma di kehidupan sebelumnya yang membuahkan kehidupan di
alam brahma. Oleh sebab itu pada saat Sang Buddha muncul di
hadapan Brahma Baka, meskipun ia memiliki pandangan salah dan
Sang Buddha hanya membabarkan Dhamma padanya, ia akhirnya
paham dan mengakui keagungan Sang Buddha. Karena sedikitnya
kotoran batin dan karena latihan mereka di masa lampau juga, di
Dhammacakkappavattana Sutta, di akhir Sutta tersebut banyak brahma dan
dewa yang bisa merealisasi Dhamma, sedangkan manusia, hanya satu
saja yaitu Bhante Koṇḍañña.

Dijelaskan di Abhidhamma, misalnya seseorang berlatih


vipassan kemudian melihat anicca, dukkha, anatta; saat di momen
sebelum meninggal masih berusaha melihat anicca, dukkha, anatta,
sewaktu dia meninggal dengan objek vipassan tersebut, dia terlahir
sebagai manusia atau sebagai dewa, kebijaksanaannya akan seperti
pelampung yang mengapung di air. Maksudnya adalah pemahaman
vipassanā tersebut tampak sangat jelas. Kebijaksanaan seperti ini akan
melihat paramatthadhamma (kebenaran hakiki) dengan jelas. Oleh sebab
itu dewa, brahma, atau manusia yang seperti ini, jika sedikit saja
dibuka, didorong, dicuil, atau disentil oleh makhluk bijaksana dengan
ajaran Dhamma, mereka akan dapat segera merealisasi Dhamma
dengan dalam. Kenapa ada orang yang bisa melihat jauh dan dalam
(di momen perealisasian Dhamma)? Kenapa ada orang hanya melihat
di permukaannya saja? Ini dijelaskan bukan karena moha, bukan
karena tidak melihat. Perumpamaannya seperti di tempat terbuka dan
terpapar sinar matahari, ada orang yang tidak dapat melihat jauh
karena silau tetapi ada orang yang dapat melihat jauh. Apakah yang
berbeda? Kekuatan indra mata mereka berbeda. Oleh sebab itu,
meskipun dalam keadaan sama-sama terang, dan bukan dalam
keadaan gelap, keduanya sama-sama melihat tetapi yang satu dapat


60

melihat jarak pandang yang jauh, sedangkan yang satunya hanya


mampu memiliki jarak pandang yang pendek. Ada makhluk-makhluk
yang memiliki indra paññā yang kuat sehingga bisa menembus jauh
kedepan. Sekali mendengar Dhamma langsung Sot patti, Sakad g mi,
An g mi, bahkan Arahat. Tetapi ada juga makhluk-makhluk yang hanya
mencapai Sot patti, dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
berlatih lagi, hingga dapat menjadi Arahat. Itu semua dikarenakan
perbedaan indra kebijaksanaannya.





Anda mungkin juga menyukai